Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Udang vanamei merupakan udang introduksi yang masuk ke Indonesia pada


tahun 2001 dan diresmikan pada tahun 2002 oleh Menteri Kelautan dan Perikanan
sebagai komoditas alternatif (Mansyur & Rangka, 2002). Introduksi udang
Vaname dimaksudkan untuk membangkitkan kembali usaha pertambakan udang
selama budidaya udang windu masih banyak menemui kendala.Beberapa
perusahaan yang bergerak dalam agrobisnis udang mulai meningkatkan
produktivitas tambaknya dengan mengalihkan ke komoditas baru yaitu udang
vannamei (Supono, 2011).
Udang vaname dinilai sebagai salah satu komoditas yang paling potensial
untuk dikembangkan.Posisi geografis Indonesia yang strategis yaitu terletak
didaerah tropis membuat Indonesia mampu memproduksi udang vanamei
sepanjang tahun (WWF, 2014).Berdasarkan data statistik Direktorak Jenderal
Perikanan Budidaya, pada tahun 2009 hingga tahun 2013 terjadi peningkatan
produksi udang vanamei hingga 215.345 ton.
Udang vanamei juga disebut sebagai varietas unggul (Amri & Kanna, 2008)
karena memiliki beberapa kelebihan seperti mudah dibudidayakan, derajat
kehidupannya atau Survival Rate (SR) dan produktivitas yang tinggi.Menurut
Boyd & Clay (2002) dalamSupono (2011), produktivitas udang vannamei mampu
mencapai 13.600 kg/ha.Lebih lanjut Supono (2011) mengatakan tingkat kelulus
hidupannya udang vannamei berkisar 80-100%.Udang vaname juga memiliki
nafsu makan yang tinggi serta mampu memanfaatkan pakan dengan kadar protein
rendah(Riani et al., 2012).
Pada awalnya udang Vaname dianggap lebih tahan terhadap penyakit, namun
dalam perkembangannya udang ini juga mampu terserang penyakit seperti White
Spot Syndrome Virus (WSSV), Infectious Myo Necrosis Virus, dan Acute
Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND) (Budiardi et al., 2005). Pencegahan
dan pengendalian perlu dilakukan dengan jalan penerapan sistem budidaya yang
baik.

1
Oleh karena itu untuk menunjang keberlanjutan produksi ada banyak hal yang
perlu diperhatikan dalam pembesaran udang vanamei, mulai dari tahap persiapan
lokasi dan media, penebaran benur, pemeliharaan kualitas air, pengelolaan pakan,
pengelolaan hama dan penyakit hingga tahap panen dan pasca panen.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penulisan laporan praktek ini adalah mampu menganalisis


performa kinerja budidaya udang vaname sistem dan menganalisis kelayakan
usaha.

1.3 Batasan Masalah

Laporan praktek keahlian ini dibatasi pada masalah sebagai berikut :


1. Performansi kinerja dibatasi pada masalah: produktivitas budidaya,
Tingkat pertumbuhan harian rata-rata (ADG), kelulushidupan atau
survival rate (SR), FCR dan kesesuaian kualitas air (suhu, pH,
salinitas,dan amoniak)
2. Kelayakan usaha budidaya yang meliputi: analisa laba rugi, RC
Ratio, dan BEP

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Udang Vanamei

2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi

Berikut klasifikasi udang vannamei menurut Budiwardhani (2018)adalah


sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Malacostraca
Sub Kelas : Eumalacostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Penaeidae
Genus : Litopenaeus
Species : Litopenaeus vannamei

Menurut Prayugi (2014), udang vanamei merupakan udang yang tubuhnya


terdiri atas 19 segmen. Lima segmen membentuk kepala, bagian dada terdiri dari
delapan segmen dan bagian perut terdiri dari enam segmen. Pada udang vannamei
bagian kepala dan dada yang menyatu disebut cephalotorax. Pada kepala terdiri
dari mata majemuk yang bertangkai dan memiliki dua buah antena yaitu antena
dan antennulae (lihat Gambar 1). Antena berfungsi sebagai sensorik. Mandibula
berfungsi untuk menghancurkan makanan yang keras dan dua pasang maxilla
yang berfungsi untuk membawa makanan ke mandibula.
Menurut Amri & Kanna (2008), masing-masing ruas pada bagian dada
mempunyai sepasang anggotabadan disebut thoracopoda. Thoracopoda 1-3
disebut maxiliped yang berfungsi dalam memegang makanan. Thoracopoda 4-8
berfungsi sebagai kaki jalan atau periopoda. Ruas 1-5 pada bagian abdomen
memiliki sepasang kaki renang disebut pleopod. Pada ruas keenam terdapat
uropod dan telson yang berfungsi sebagai kemudi.
Rochman (2016) mengatakan bahwa ciri khas dari udang vaname adalah
pada rostrum terdapat dua gigi di sisiventral, dan sembilan gigi di sisi dorsal.
Badan udang vaname tidak terdapat rambut-rambut halus (setae). Pada jantan,
petasma memiliki panjang 12 mm yang tumbuh dari ruas pertama dari kaki jalan
dan kaki renang (coxae). Pada betina thelycum terbuka berupa cekungan yang

3
ditepinya banyak ditumbuhi oleh bulu- bulu halus, terletak dibagian ventral dada,
antara ruas kaki jalan ketiga dan keempat.

Sumber : Prayugi (2014)

Gambar 1. Bentuk Tubuh Udang Vanamei (L. vannamei)

2.1.2 Habitat dan Penyebaran

Habitat adalah tempat tinggal satu individu atau populasi spesies tertentu ).
Udang vanamei mendiami habitat perairan yang memiliki kisaran salinitas 0,5–40
ppt (Kaligis, 2010). Udang vannamei merupakan udang yang mampu hidup
dengan kisaran salinitas yang cukup luas atau sering disebut dengan euryhaline
(Tahe et al., 2009). Udang vannamei tergolong hewan katadromus. Udang
dewasa akan bertelur di laut lepas dengan salinitas tinggi kemudian saat
memasuki stadia larva akan bermigrasi ke daerah estuaria yang bersalinitas rendah
(lihat Gambar 2)(Ernawati & Rochmady, 2017).

4
S
umber : Ernawati & Rochmady (2017)
Gambar 2. Siklus Hidup Udang Vannamei

Udang vaname (L. vannamei) sebenarnya bukan udang lokal atau asli
Indonesia. Udang ini berasal dari Pantai Barat Pasifik Amerika Latin, mulai dari
Peru hingga Meksiko (Purnamasari et al., 2017). Budidaya udang vaname di Asia
pertama kali adalah di Taiwan pada akhir tahun 1990 dan pada akhirnya
merambah ke berbagai negara di Asia diantaranya Indonesia dan mulai meningkat
pada tahun 2001 – 2002(Nadhif, 2016).

2.1.3 Tingkah Laku dan Kebiasaan Makan

Menurut Hendrajat (2003) dalam Rochman (2016), udang vannamei


merupakan golongan omnivora dan scavenger (pemakan bangkai). Spesies ini
menggunakan sinyal kimiawi berupa getaran dengan bantuan organ sensor yang
terdiri dari bulu–bulu halus (setae). Organ sensor ini terletak pada ujung anterior
antenula, bagian mulut, capit, antena dan maxiliped. Pakan udang vaname
biasanya berupa crustacean kecil dan polychaetes (cacing laut) (Mangampa et al.,
2014).

Udang vannamei juga termasuk hewan nocturnal atau aktif mencari makan
saat malam hari atau saat intensitas cahaya berkurang (Dewi, 2014). Udang
mempunyai pergerakan yang hanya terbatas dalam mencari makanan dan
mempunyai sifat dapat menyesuaikan diri terhadap makanan yang tersedia di

5
lingkungannya. Selain itu, kebiasaan makan udang adalah dengan cara makan
sedikit demi sedikit tetapi sering.

2.2 Persiapan Wadah dan Media Pemeliharaan

Persiapan wadah atau kolam dalam budidaya pembesaran udang vanname di


tambak antara lain :

2.2.1 Pembersihan dasar tambak

Pembersihan dasar tambak bertujuan untuk membunuh hama dan penyakit


dengan cara pengeringan dasar tambak (Andriyanto et al., 2014) untuk
memudahkan pengangkutan lumpur dasar secara selektif (Amri dan Kanna, 2008)
agar dapat bersih dari kotoran dan tanah yang menempel (Rahayu, 2013). Durasi
pengeringan tergantung dengan kondisi cuaca yang cerah cukup memerlukan
waktu lebih dari 1 minggu (Farchan, 2006). Amri dan Kanna (2008)
menambahkan pengeringan dilakukan dengan cara pengurangan air menggunakan
pompa hingga kering dan pembersihan lumpur dapat dilakukan dengan cara
lumpur dikeruk dan dimasukkan ke dalam karung, kemudian di buang keluar
tambak. Lumpur yang belum kering dapat di buang dengan cara di semprot air
melalui selang yang diarahkan ke pompa pembuangan sampai lumpur keluar
terbawa air (Haliman dan Adijaya, 2008) dan dilakukan pembersihan tambak
dengan penyikatan pematang dan dasar tambak menggunakan sikat plastik.

2.2.2 Perbaikan konstruksi tambak

Dalam perbaikan konstruksi tambak perlu diperhatikan kondisi


pematangnya agar tetap kokoh dan tidak bocor, kondisi pintu air, serta kondisi
tanggul (WWF-Indonesia, 2014) selain itu pada tambak kolam tanah yang dilapisi
dengan plastik HDPE (High density polyethylene) perlu juga diperhatikan bagian-
bagian dari plastik yang bocor sehingga dapat dilakukan welding atau penambalan.

2.2.3 Pengapuran

Pengapuran bertujuan untuk menaikkan nilai pH dan mempertahankan nilai


pH agar tetap stabil (Andriyanto et al., 2014).

6
2.2.4 Setting Sarana dan Fasilitas Tambak

Setting sarana dan fasilitas tambak dilakukan sebelum penebaran benih,


kegiatan tersebut terdiri atas:

a. Pemasangan kincir

Penentuan jumlah kincir ditentukan dari padat tebar serta luas tambak yang
digunakan, kincir berkekuatan 1 HP (1 PK) diestimasi dapat memenuhi kebutuhan
oksigen untuk memproduksi sekitar 500 kg udang (WWF-Indonesia, 2014).
b. Pengisian air tandon
c. Pemasangan anco dan jembatan anco
d. Setting pipa untuk mengalirkan air dari tandon ke media
pemeliharaan

2.3 Penebaran Benur

Sebelum melakukan penebaran benur ditebar dilakukan aklimatisasi yang


bertujuan agar benur udang dapat beradaptasi dengan keadaan baru di tambak dan
tidak mengakibatkan benur stress hingga mengalami kematian. Aklimatisasi
dilakukan dengan cara mengapungkan kantong plastik benur ke petakan. Proses
adaptasi dilakukan selama 2 jam. Kepadatan penebaran benur vanamei yaitu 100-
125 ekor/m2 (Supomo, 2017)
. Waktu penebaran yang ideal dilakukan pagi hari ketika
suhu air tambak rendah berkisar antara 27-300C (Sandi, 2014). Menurut (Indah,
2012), adaptasi yang dilakukan yaitu:

a. Adaptasi suhu
Plastik wadah benur direndam selama 15-30 menit, agar terjadi
penyesuaian suhu antara air di tambak dan didalam plastik.
b. Adaptasi udara

Plastik dibuka dan dibiarkan terapung selama 15-30 menit agar terjadi
pertukaran udara dari udara bebas dengan udara dalam air di plastik.

c. Adaptasi salinitas

Dilakukan dengan mencampurkan air tambak ke dalam plastik dengan


tujuannya agar terjadi pencampuran air yang berbeda salinitasnya, sehingga benur
dapat menyesuaikan dengan salinitas air tambak.

7
2.4 Manajemen pakan

Manajemen pengelolaan pakan sangant penting dalam budidaya udang,


karena selain biaya pengeluaran yang besar, mutu air tambak dan lingkungan
sekitar juga akan mempengaruhi pertumbuhan terhadap udang. Kriteria pakan
yang baik untuk kelangsungan hidup udang menurut Darwantin et al. (2016) yaitu
pakan yang mengandung nutrisi lengkap tidak rusak dan tidak berjamur.
Pengelolaan pakan dilihat dari ukuran, jumlah dan frekuensi pakan disesuaikan
dengan kondisi udang.

Pengelolaan pakan yang meliputi ukuran, jumlah dan frekuensi pemberian


pakan disesuaikan dengan kondisi udang di tambak.Prinsip dasar pemberian
pakan adalah pakan diberikan dengan jumlah maksimum pada saat laju kosumsi
meningkat.

2.4.1 Waktu Pemberian Pakan

Dalam pemberian pakan, faktor yang sangat penting diperhatikan adalah


takaran, waktu dan respon udang. Waktu pemberian pakan pada pukul 07.00,
12.00, 16.00, 21.00 dan pukul 02.00. Untuk penambahan pemberian pakan pukul
02.00 dilakukan saat udang mulai memasuki DOC 40.

2.4.2 Frekuensi Pemberian Pakan

Frekuensi pemberian pakan pada udang diberikan menurut DOC (Day of


Culture). Menurut Gufran dan Kordi (2010) dalam Ismayani(2017), pemberian
pakan 4-6 kali/hari dengan dosis 2,5- 4% total biomassa. Pada udang DOC kurang
dari satu bulan diberi pakan dengan frekuensi 4 kali sehari, sedangkan pada saat
DOC udang >1 bulan diberi frekuensi pakan dengan 5 kali sehari

2.4.3 Jenis dan Ukuran Pakan

Jenis dan ukuran pakan sangat penting untuk diperhatikan dalam proses
budidaya. Hal ini untuk menentukan banyaknya pakan yang akan diberikan pada
udang sesuai dengan umur udang tersebut. Untuk kadar nutrisi pakan yang
digunakan sama pada setiap jenis pakan. Berikut adalah tabel ukuran dan jenis
pakan berdasarkan SNI 8118:2015 :

8
Tabel 1. Bentuk dan Ukuran Pakan

Umur Berat Udang


Bentuk Pakan
(DOC) (gram/ekor)
1-15 Fine crumble 0,05-1,0
16-30 Crumble 1,1-2,5
31-45 Crumble 2,6-5,0
45-60 Pelet Kecil 5,1-8,0
61-75 Pelet Sedang 8,1-11,0
76-90 Pelet Besar 11,1-14,5
91-105 Pelet Besar 14,6-18,0
106-120 Pelet besar 18,1-22,0

Disamping pemberi pakan, pemberian vitamin juga diperlukana dalam


proses budidaya. Pemberian vitamin bertujuan untuk menambah daya tahan tubuh
pada udang. Sedangkan penambahan rekato bertujuan sebagai perekat dan
menambah atraktan pada pakan udang.

2.4.4 Dosis Pakan

Jumlah pakan meningkat sesuai dengan peningkatan biomassa. Menurut


Kurendi (2017), pemberian pakan dari DOC 1 hingga DOC 30 digunakan metode
prosentase atau blind feeding. Untuk populasi udang sebanyak 100.000 ekor PL,
pada hari pertama diberikan sebanyak 2 kg, selanjutnya jumlah pakan ditambah
20% per hari sampai umur 30 hari. Pemberian pakan untuk DOC <45
menggunakan demand feeding. Persentase pakan yang diberikan pada masing-
masing waktu pemberian pakan dapat dilihat pada tabel 2 dan tabel 3.

Tabel 2. Waktu pemberian dan dosis pakan DOC 1-30

Waktu Dosis (%)

9
07.00 20
12.00 30
16.00 30
21.00 20
Jumlah 100

Tabel 3.Waktu pemberian dan dosis pakan >DOC 30

Waktu Dosis (%)


07.00 20
12.00 22,5
16.00 22,5
21.00 20
02.00 15
Jumlah 100

2.4.5 Penyimpanan Pakan

Pakan agar mampu bertahan lama juga harus disimpan ditempat yang baik.
Jika pakan disimpan dengan tidak baik akan menyebabkan kemunduran mutu
pakan yang mengakibatkan menurunnya kandungan nutrisi dalam pakan,
perubahan warna serta bau sehingga mempengaruhi daya tarik udang.
Menurut Farchan (2006), berikut adalah teknik penyimpanan pakan yang
baik :

1. Gudang merupakan bangunan tertutup yang berventilasi.


2. Gudang harus kering, tidak lembab atau banjir.
3. Pakan tidak boleh menyentuh lantai sehingga harus diberi lapisan
balok kayu.
4. Tumpukan pakan tidak terlalu tinggi untuk menghindarkan dari
kerusakan packing atau kemasan.
5. Menjaga tempat penyimpanan agara tetap bersih dan bebas dari
hama penyakit.
6. Berilah jarak antar tumpukan pakan dan tidak sejajar agar sirkulasi
udara berjalan baik.

10
2.5 Manajemen Kualitas Air

Kualitas air merupakan syarat penting budidaya yang sangat berpengaruh


terhadap pertumbuhan udang vaname (Litopenaeus vannamei) sehingga
mempengaruhi juga tinggi rendahnya produktivitas udang vaname di tambak
(Pirzan & Utojo, 2013). Parameter kualitas air yang menjadi faktor pembatas
antara lain adalah suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut (O2), nitrat, nitrit, fosfat,
bahan organik total (BOT), dan amoniak(Syafaat & Mansyur, 2012).
Menurut WWF-Indonesia (2014) parameter kualitas air yang optimal
untuk budidaya udang vanname yaitu :

Tabel 4. Parameter Kualitas Air dalam Pembesaran Udang Vanamei


PARAMETER OPTIMAL TOLERANSI
DO (mg/L) >4 >3
Temperatur (°C) 28 – 32 26 – 35
Salinitas (g/L) 15 – 25 10 – 35
pH 7,5 – 8 7,5 – 8
Amonia (NH3) (mg/L) 0 0,1 – 0,5
Nitrit (NO2) (mg/L) 0 0,1 – 1

Pengelolaan kualitas air di tambak dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:


1. Penggunaan Kincir
Pada tambak dilengkapi kincir air berfungsi sebagai suplai oksigen terlarut
dimana cara kerja dari kincir ini yaitu memperluas permukaan sentuhan air
dengan udara dengan menambah percikan air dan membentuk gelombang
transversal.Letak kincir yang ideal yaitu pada sebelum dan setelah pemasukan air
(inlet & outlet) (Putra & Manan, 2019). Dalam hal ini kincir yang berperan
sebagai aerator juga menghasilkan arus air dan pengaduk massa air tambak. Pada
malam hari, dimana tidak terjadi proses fotosintesa untuk menghasilkan oksigen,
maka diperlukan operasional sistem aerasi dalam kapasitas penuh untuk
mempertahankanoksigen terlarut pada tengah malam sampai pagi hari agar tidak
menurun (Suwoy et al., 2018).
2. Pemberian Probitotik

11
Dalam hal ini probiotik berperan sebagai pengurai bahan organik di
tambah menjadi senyawa sederhana sehingga dapat meningkatkan kualitas
air(Suwoyo et al., 2018). Probiotik juga dapat meningkatkan pertumbuhan dan
produktivitas udang vanname karna menyeimbangkan mikroorganisme dalam
pencernaan agar tingkat serapannya tinggi (Purwanta & Firdayati, 2002).
Pemberian probiotik selama pemeliharaan yaitu setiap satu minggu dua kali
dengan dosis 1-2 ppm tergantung pada kondisi udang dan lingkungan. Namun
dosis yang diberikan dapat ditingkatkan antara 2-3 kali dari dosis normal apabila
lingkungan dan kondisi udang buruk ( Putra & Manan, 2019).
3. Penambahan dan Pergantian Air
Penambahan air dalam budidaya udang di tambak selain bertujuan untuk
mempertahankan tinggi air menurut WWF-Indonesia (2014), juga berfungsi
mempertahankan kualitas air seperti menambah kadar oksigen dan mencegah
naiknya bahan organik yang beracun dari dasar tambak. Pergantian air dilakukan
pada awal pemeliharaan (DOC-30) apabila masuk bulan selanjutnya pengurangan
dan penambahan air dapat ditingkat 5-30% dari ketinggian awal (Farchan, 2006).
4. Pengapuran
Dalam pengelolaan kualitas air, kapur memiliki peran dalam meningkatkan
pH tanah terutama pada saat hujan deras dimana kadar pH di tambak menjadi
menurun, mempercepat proses penguraian bahan organik, mengikat gas asam
arang (CO2) yang dihasilkan oleh pembusukan bahan organik dan pernafasan
biota air, mematikan bakteri dan parasit serta mengikat partikel-partikel (WWF-
Indonesia, 2014). Penggunaan kapur yaitu dengan cara ditebarkan langsung di
kolam dengan dosis yang diatur sesuai pH ditambak itu sendiri.
5. Penyiponan dasar tambak

Penumpukan bahan organik di dasar tambak akibat kurang optimalnya


pemanfaatan pakan yang berlebihan jika dibiarkan secara terus menerus akan
berakibat pada penurunan kualitas air. Bahan organik tersebut, bila terurai akan
terbentuk amonia yang dapat terperangkap dilapisan substrat dasar tambak atau
terlarut dalam air yang akan bersifat toksik terhadap udang
(Kilawati & Maimunah, 2015). Untuk mengurangi dampak tersebut perlu
dilakukan penyiponan dasar tambak dimana penyiponan bertujuan untuk

12
mengurangi limbah organik yang berada di dasar tambak (Putra et al., 2014).
Penyiponan dilakukan dengan menyedot lumpur di dasar tambak dan dibuang ke
saluran outlet, kemudian ditambahkan lagi air baru dari tandon (Mustofa, 2017).

2.6 Monitoring Pertumbuhan

Pertumbuhan adalah ekspresi pertambahan volume, panjang, serta bobot


terhadap satu-satuan waktu tertentu (Saefulhak, 2004). Pada akuakultur,
pertumbuhan merupakan salah satu komponen untuk menentukan produktivitas.
Menurut Waterman (1960) dalamUtomo (2001), pertumbuhan udang dipengaruhi
oleh beberapa faktor, baik faktor dari dalam maupun luar. Faktor dari dalam antara
lain : keturunan, jenis kelamin serta umur. Adapun faktor dari luar yaitu pakan dan
kualitas air seperti oksigen terlarut, pH, karbon dioksida, dan alkalinitas.
Dalam melakukan monitoring pertumbuhan udang dilakukan melalui
sampling. Sampling udang vaname yang dilakukan dengan dua cara yakni
sampling anco dan sampling jala. Menurut Farchan (2006)dalam
Pratama et al. (2017), sampling adalah pengamatan terhadap udang untuk
mengetahui pertumbuhannya dalam petakan tambak secara individu, populasi, dan
biomassa yang dilakukan secara periodik atau berkala. Sampling dilakukan dalam
7-10 hari sekali. Sampling anco dilakukan saat udang berada pada DOC 30,
sedangkan sampling jala dilakukan saat udang berumur 40 hari atau DOC 40.

2.7 Hama dan Penyakit

Menurut Afrianto dan Liviawaty (1992), hama adalah hewan yang berukuran
lebih besar dan mampu menimbulkan gangguan pada ikan. Menurut Farchan
(2006), hama digolongkan menjadi predator (pemangsa), kompetitor (pesaing)
dan hama perusak konstruksi tambak. Penyakit ikan adalah segala sesuatu yang
menimbulkan gangguan pada ikan, baik secara langsung maupun tidak langsung,
yang disebabkan oleh organisme lain, pakan, maupun kondisi lingkungan yang
kurang mendukung Sachlan (1972) dalam Afrianto & Liviawati (1992).
Menurut Amri & Kanna (2006), penyakit pada udang tidak hanya disebabkan
oleh faktor internal namun juga eksternal seperti lingkungan dan pakan. Menurut
Soetomo (2000) dalam Kilawati & Maimunah (2015), lingkungan yang buruk
mengakibatkan produksi antibodi berkurang sehingga imunitas atau kekebalan

13
tubuh udang vannamei terhadap serangan penyakit menjadi berkurang
Penyebaran penyakit di lokasi tambak dapat terjadi dengan beberapa cara antara
lain karena udang yang karier, bangkai udang yang mati, kontak dengan objek
yang sudah terkontaminasi, sumber air maupun udara yang terkontaminasi
(Reksana et al., 2013). Beberapa penyakit yang menyerang udang vaname seperti
White Spot Syndrome Virus (WSSV), Infectious Myo Necrosis Virus (IMNV) dan
Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND) (Budiardi et al., 2005).
Dalam budidaya, biosecurity dapat diartikan sebagai prosedur tambahan pada
proses budidaya untuk melindungi biota dari organisme pembawa penyakit dan
kondisi tidak sehat lainnya (Pruder, 2004). Upaya perlindungan tersebut dapat
dilakukan dengan vaksinasi, penggunaan benih bebas penyakit, pemasangan pagar
keliling (Afrianto & Liviawaty, 1992). Selain itu, manajemen kualitas air dan
pakan yang baik, monitoring dasar tambak secara intensif, dan menentukan padat
tebar yang sesuai juga harus dilakukan (Andriyanto et al., 2013). Penggunaan
bahan tambahan seperti probiotik juga dinilai mampu meningkatkan imunitas dan
mengendalikan patogen pada inang dan lingkungan (Austin, 1999).

2.8 Panen dan Pascapanen

Panen merupakan kegiatan akhir dalam budidaya udang yang dilakukan


oleh para pembudidaya (Rochman, 2016). Panen dapat dilakukan dengan dua
metode yaitu secara selektif dan total (Farchan, 2006). Panen selektif dilakukan
jika jumlah yang dibutuhkan terbatas. Panen udang dilaksanakan setelah udang
berumur kurang lebih tiga bulan (Sudarno et al., 2014) saat DOC 100-110 hari
dengan ukuran konsumsi atau size 60-80 (1 kg berisi 60 - 80 ekor) (Darmansah et
al., 2016). Suatu kegiatan budidaya dikatakan berhasil jika tingginya tingkat
survival rate atau kelangsungan hidup udang yang berhasil hidup hingga masa
panen tiba (Miranti et al., 2017).
Pasca panen bertujuan untuk menjamin mutu udang tetap tinggi dengan
mempertimbangkan beberapa faktor, seperti udang tidak membahayakan
kesehatan konsumen (Firdausy, 2012 )atau food safety karena udang termasuk
produk makanan yang mudah rusak dan membusuk (Nuryani, 2006). Tindakan
pasca panen dilakukan dengan menyortir udang berdasarkan kualitas dan

14
ukurannya kemudian memasukkan dalam wadah dengan pemberian es curah.
Perbandingan es curah dengan udang adalah 1 : 1 (Rusmiyati, 2012).

15
BAB III

METODE PRAKTEK

3.1 Waktu dan Tempat

Praktek keahlian dilaksanakan selama 45 hari mulai tanggal 4 Maret 2019


sampai dengan 12 April 2019 di Kampus Bagian Administrasi Pelatihan Perikanan
Lapangan, Sekolah Tinggi Perikanan (BAPPL-STP) Serang.

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan selama praktik budidaya ini bertujuan
sebagai alat pendukung keberhasilan suatu kegiatan budidaya (Raharjo, 2017).
Alat dan bahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6.
Tabel 5. Alat Praktek
No Nama Alat Jumlah Spesifikasi Fungsi
(1) (2) (3) (4) (5)
1 Kincir air 4 Daya 1 HP; 3 phase; 380 Menyuplai oksigen,
volt; 1,6 A; 1440 RPM menghomogenkan
bahan tambahan
dengan air
pemeliharaan.
2 Pompa Air 3 2 inch ,Daya 1 HP; 3 phase; Mengisi dan
0,73 kW membuang air.
4 inch ,Daya 2 HP; 3 phase;
1,5 kW
6 inch ,Daya 5 HP; 3 phase;
380 volt; 3,7 kW
3 Termometer Jenis alkohol; ketelitian 1oC; Mengukur suhu.
range 1oC – 100oC
4 Refraktometer Ketelitian 1 ppt; range 1 – Mengukur salinitas.
100 ppt
5 Timbangan 5 Timbagan Neraca ; Menimbang pakan,
Ketelitian 0,1 g; kapasitas vitamin, rekato,
maksimal 110 kg probiotik, kapur,
Timbangan digital; dan menimbang
Ketelitian 0,01 g; kapasitas udang saat
maksimal 500 g sampling.
Timbangan pegas;

16
Ketelitian 10 g; kapasitas
maksimal 5 kg
Timbangan gantung manual;
Ketelitian 100 g; kapasitas
maksimal 10 kg
Timbangan gantung digital;
Ketelitian 0,01 g; kapasitas
maksimal 200 kg
(1) (2) (3) (4) (5)
6 Generator set 1 3 phase; 380 volt; 30 Sumber cadangan
KVA; 45,6 A; Frekuensi listrik
50 Hz
7 Jala 1 Diameter 5 m; mesh size 3 Menangkap udang
inch
8 Ember 3 Volume 20 l Wadah pemberian
pakan, kapur, dan
probiotik.
9 3 Volume 0,5 l; bertangkai Menebar pakan,
kapur, dan
probiotik.
10 Lampu 2 400 watt; Penerangan

Tabel 6. Bahan Praktek


No Bahan Spesifikasi Fungsi
(1) (2) (3) (4)
1 Plastik HDPE Warna hitam, Melapisi wadah budidaya
ketebalan 0,5 mm dan untuk bahan CSD
( Crab Scary Device)
2 Benur Spesies Litopenaeus Biota yang dibudidayakan.
vanname;ukuran PL
12; bersertifikat SPF;
organ tubuh lengkap
3 Pakan buatan Ukuran #0 sampai Pakan untuk pembesaran
dengan #3p; net 30 kg udang Vaname
Kandungan pakan: (L.vannamei).
Protein 30%
Lemak 5%
Abu 15%
Kadar air 12%
4 Kapur Jenis: Tohor (CaO); Mengatur pH, mengikat dan
net 15 kg mengendapkan lumpur
halus, dan mempercepat

17
penguraian bahan organik.
5 Chlorine/ Kalsium Kandungan 60%; net Desinfektan.
hipoklorit (Ca(ClO)2 15 kg
6 Probiotik Bakteri jenis Menumbuhkan bakteri baik
Bacillus sp. dan mendekomposisi bahan
organik.

(1) (2) (3) (4)


7 Suplemen pakan Jenis : vitamin C; net Mecegah fluktuasi suhu air,
500 g mengurangi stress dan efek
racun dari amonia dan nitrit,
meningkatkankan imunitas.

8 Perekat Merk : Rekato B- Merekatkan pakan dengan


Shrimp; net 500 g vitamin C.
9 pH paper Ketelitian 1 Mengukur pH
10 Test kit amoniak Ketelitian 0,5 mg/l Mengukur kandungan
amoniak dalam air
11 Test kit DO Ketelitian 0,1 mg/l Mengukur kandungan
oksigen dalam air
12 Test kit nitrit Ketelitian 0,1 mg/l Mengukur kandungan nitrit
dalam air.
13 Test kit alkalinitas Ketelitian 0,1 mg/l Mengukur kandungan
alkalinitas dalam air.
14 Bahan bakar Jenis: Solar; 48 oktan Bahan bakar genset.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi yaitu dengan


mengikuti dan mengamatai seluruh kegiatan yang berkaitan dengan pembesaran
udang vaname. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder.
Data primer ialah data yang didapat dari hasil pengamatan secara langsung di
lokasi praktik yang terdiri dari kegiatan pra-produksi, produksi, dan pasca
produksi. Data sekunder adalah data kegiatan pembesaran udang vaname yang
dilakukan pada siklus sebelumnya dan data produksi dari beberapa tambak di
sekitar BAPPL Serang.

18
3.4 Metode Kerja

Metode kerja yang dilakukan pada praktek keahlian adalah sebagai berikut:

3.4.1 Persiapan Pemeliharaan

Kegiatan yang dilakukan pada tahap persiapan lahan adalah:


a. Pembersihan dan perbaikan tambak.
b. Persiapan dan pengisian media pemeliharaan di tambak.
c. Pemasangan sarana budidaya tambak.
d. Pengadaan bahan.

3.4.2 Penebaran Benur

Kegiatan yang dilakukan pada tahap penebaran benur adalah:


a. Pengamatan kondisi benur dan uji stress menggunakan Formalin
40% dan air tawar, kemudian dihitung jumlah benur yang hidup (SR).
b. Menghitung jumlah populasi awal tebar dan kepadatan benur di
tambak.
c. Melakukan aklimatisasi sebelum penebaran benur.
d. Melakukan penebaran benur secara perlahan-lahan.

3.4.3 Pengelolaan Pakan

Kegiatan yang dilakukan terkait dengan manajemen pakan adalah:

a. Penentuan jenis pakan.


b. Perhitungan jumlah kebutuhan pakan per hari.
c. Pemberian pakan sesuai prosedur.
d. Kontrol pakan menggunakan anco.
e. Penyimpanan pakan dengan baik.

3.4.4 Pengelolaan Kualitas Air (pergantian air dan pengukuran


kualitas air)

Kegiatan yang dilakukan terkait dengan manajemen kualitas air adalah:


a. Penentuan stasiun dan waktu pengambilan sampel kualitas air.
b. Pencatatan hasil pengukuran kualitas air.
c. Pergantian air.
d. Penyiponan dasar tambak.

19
3.4.5 Monitoring Pertumbuhan

Kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui laju pertumbuhan udang adalah:


a. Sampling setiap 10 hari sekali menggunakan jala.
b. Penimbangan dan perhitungan hasil sampling untuk mengetahui
berat rata-rata udang.
c. Pengolahan data hasil sampling untuk menentukan program pakan
berikutnya.

3.4.6 Pengendalian Hama dan Penyakit

Kegiatan yang dilakukan untuk mengendalikan serangan hama dan penyakit


adalah:
a. Identifikasi jenis hama dan penyakit yang terdapat di tambak.
b. Pemasangan biosecurity berupa scary lines dan pagar keliling dari
plastik HDPE.
c. Penanganan udang yang teridentifikasi penyakit sesuai dengan
intruksi teknisi lapangan.

3.4.7 Panen

Kegiatan yang dilakukan pada saat panen adalah:


a. Pemindahan kincir dari wadah pemeliharaan.
b. Pemasangan pompa untuk menguras air media pemeliharaan.
c. Proses pemanenanmenggunakan trawl.
d. Penampungan udang hasil panen di bak penampungan berisi air
laut dan es.

3.4.8 Pascapanen

Kegiatan yang dilakukan pada tahap pascapanen adalah:


a. Pensortiran untuk memisahkan udang berdasarkan kualitasnya.
b. Wawancara dengan teknisi lapangan mengenai tujuan pemasaran,
pendistribusian hasil panen dan target pasar.
c. Perhitungan analisis usaha

3.5 Metode Pengolahan Data

Kegiatan pengelolaan data yang meliputi tabulasi dan sortasi data. Hasil
pengolahan data disajikan secara kuantitatif dalam bentuk tabel maupun dalam

20
bentuk gambar grafik. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:

a. Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate)

Menurut Darmawan dan Tahapari (2017), persentase kelangsungan hidup


dapat dihitung menggunakan rumus:

Populasi(ekor )
SR (%) = x 100%
Jumla h awaltebar (ekor )

b. Average Body Weight (ABW)

Menurut Farchan (2006), perhitungan berat rata-rata udang atau ABW


adalah sebagai berikut:
Beratsampel(g)
ABW (g/ekor) =
Jumlahsampel (ekor )

c. Biomassa

Cara perhitungan biomassa menurut Farchan (2006) adalah sebagai


berikut:
Biomassa (kg) = ABW (gr/ekor) x Populasi akhir (ekor)

d. Specific Growth Rate (SGR)

Menurut Verdegen dan Eding (2010), laju pertumbuhan spesifik harian


dapat dihitung menggunakan rumus berikut:

SGR (%/hari) =
LnABW 2 ( ekorg )−LnABW 1( ekorg ) x 100
Intervalwaktusampling(h ari)

21
e. Feed Convertion Ratio (FCR)

FCR adalah perbandingan jumlah pakan yang dibutuhkan untuk


menghasilkan 1 kg daging. Menurut Farchan (2006), rumus menentukan FCR
adalah sebagai berikut:
Total pakan komulatif (kg)
FCR =
Biomassa(kg)

f. Feed/Day (F/D)

Rumus ini digunakan untuk menghitung jumlah pakan yang dibutuhkan


per satu hari. Adapun rumus menghitung F/D menurut Farchan (2006) adalah
sebagai berikut:
F/D (kg) = Biomassa (kg) x FR (%)

g. Analisis Laba/Rugi

Rumus ini digunakan untuk menenentukan laba atau rugi suatu usaha.
Rumus analisis laba/rugi menurut Farchan (2006) adalah:

Laba/Rugi (Rp) = Pendapatan – Biaya Produksi

3.6 Metode Analisis Data

Kegiatan analisis data dilakukan setelah data diolah. Data selanjutnya


dianalisis dan dikaji lebih mendalam ke arah tujuan yang telah ditetapkan. Metode
analisis yang digunakan adalah secara deskriptif. Hasil pengamatan dan
pengukuran selama kegiatan praktik keahlian dibahas secara sistematis dan dikaji
dengan literatur yang berkaitan. Adapun referensi pembanding dapat dilihat pada
tabel 7 dan tabel 8.

Tabel 7. Tabel Performasi Kinerja


No Performansi Kinerja Standar Referensi
1 Produktivitas (kg/hektar) 3.000 – 8.000 Budiardi et al. (2005)
2 ADG (gram/hari) 0,12 – 0,17 Pratama et al. (2017)
3 SR (%) Baik : >70 Sulastri et al. (2017)
Sedang : 50-60
Rendah : <50
4 FCR 1,2 – 1,6 Budiardi et al. (2005)

22
Tabel 8. Parameter Kualitas Air
No Parameter Kualitas Air Standar
1 Suhu (℃) 28,5 – 31,5
2 Salinitas (g/L) 15 – 25
3 pH 7,5 – 8,5
4 Amoniak (mg/L) 0,01
Sumber : SNI 01-7426-2006

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Perfomansi Kinerja Budidaya

5.1 Deskripsi Teknologi dan Proses Produksi

5.1.1 Persiapan Tambak


Tambak yang digunakan dalam proses produksi terdiri dari 3 bagian
yaitu petak pemeliharaan, tandon sterilisasi dan tandon pengendapan. Petak
pemeliharaan dan tandon sterilisasi dilapisi plastik High Density Polyethylene
(HDPE). Petak pemeliharaan dan tandon sterilisasi tidak dilengkapi saluran inlet
melainkan pembuangan dan pengisisan air dilakukan menggunakan pompa.
Saluran pembuangan terhubung dengan petak kolam mangrove.
Pembersihan petak pemeliharaan dilakukan untuk membuang kotoran
dan endapan setelah dari panen siklus sebelumnya. Kemudian dilakukan proses
pengeringan selama 3 hari dengan cara membuang air menggunakan pompa.
Pembalikan dan pembersihan bantalan kincir dilakukan setelah dilakukan
pengeringan.. Selanjutnya dilakukan pembilasan tambak dengan air laut
menggunakan pompa alkon dan dilakukan pengeringan kembali untuk membung
air pembilasan tambak. Setelah itu dilakukan pemasangan skala tinggi air,
pembalikan bantalan kincir, pemasangan anco dan perbaikan jembatan anco.
Pembersihan petak tandon dilakukan dengan cara menyemprot air laut
menggunakan pipa yang disambungkan dengan pompa alkon. Pembersihan
tersebut dilakukan untuk menghilangkan kotoran-kotoran atau pasir yang
menempel pada dinding dan dasar petak tandon. Kemudian melakukan

23
pengisian tandon menggunakan pompa 6 inch yang terhubung pada tandon
pengendapan.

Tabel 7. Luas dan jumlah petak tambak


No Jenis Jumlah (unit) Luas (m2)
1 Petak pemeliharaan 1 50 x 50
2 Petak tandon sterilisasi 1 80 x 90
3 Petak tandon pengendapan 1 75 x 70
35 x 70

5.1.2 Persiapan Media Pemeliharaan


Proses awal persiapan media pemeliharaan dimulai dengan pengisian
air laut. Air laut masuk tandon pengendapan setelah pasang dan dipompa
menggunakan pompa 4inch yang pada ujung pipa sudah dipasang filter sejauh 4
m ke petak pemeliharaan yang berkapasitas hingga ketingiian air laut dan
pemompaan ke dalam tandon sterilisasi yang berkapasitas 13.680m3 kemudian
dilanjutkan dengan proses pengendapan selama 2 hari. Hal ini bertujuan agar
partikel-partikel atau bahan-bahan lain dalam air mengendap di dasar tandon.
Setelah proses pengendapan dan air laut terlihat jernih, air laut petak tambak
pemeliharaan dilakukan penyiponan terlebih dahulu guna membuang kotoran-
kotoran masuk ke dalam petak tambak pemeliharaan. Proses pengisian air laut
untuk petak pemeliharaan dilakukan selama 15 jam.
Setelah pengisian air pemeliharaan pada petak tambak, selanjutnya
adalah sterilisasi pada air pemeliharaan menggunaka Clorin dengan dosis.
Proses sterilisasi ini bertujuan untuk mematikan moluska, kepiting, udang liar
atau biota air pengganggu lainnya di dalam media pemeliharaan. Proses
penetralan air laut yang disterilisasi selama 3 hari dan dilakukan pengecekan
menggunakan clorin test. Hasil pengamatan secara visual adalah tidak
ditemukannya hama pengganggu di dalam media pemeliharaan.
Proses persiapan media pemeliharaan selanjutnya adalah pengapuran.
Kapur yang digunakan adalah kapur tohor (CaO) dengan dosis 5 g/m3.
Pengaplikasian kapur dilakukan pada pagi hari dalam kondisi kincir menyala.
Proses pengapuran dilakukan 2 hari berturut turut guna mengikat partikel bebas
supaya mengendapad didasar tambak pemeliharaan.

24
Tahap akhir
persiapan media pemeliharaan adalah penebaran probiotik yang terdiri dari
bakteri Bacillus sp. Dosis probiotik yang digunakan adalah sebanyak 7,5 g/m3
pada petak pemeliharaan yang bertujuan supaya media air pemeliharaan blab la
bla

Gambar 6. Penebaran delstar dan kapur ( lengkapi gambar kita)

5.1.3 Penebaran
Seleksi benur dilakukan sebanyak 2 kali yaitu seleksi di panti
pembenihan (hatchery) dan seleksi di lokasi tambak. Seleksi bertujuan untuk
mendapatkan benur yang berkualitas. Benur yang ditebar berasal dari Hatchery
Ayen yang berumur Post Larvae (PL) 12. Umur benur ini sudah sesuai dengan
pendapat Farchan (2006) yang menyatakan bahwa udang vaname yang dapat
ditebar di tambak berumur mulai PL 9. ( lengkapi literature)
Pada saat benur sudah tiba di lokasi tambak, dilakukan uji visual, uji
stress menggunakan dan pemeriksaan kualitas air yang terdapat di dalam
kantong benur. Uji visual yang dilakukan meliputi pengamatan vibrio, aktivitas
renang, bentuk tubuh, dan warna tubuh. Uji stress dilakukan meliputi
pengamatan …. dan Parameter kualitas air yang diukur adalah salinitas pada
kantong benur. Apabila hasil pengukuran kualitas air berbeda dengan kualitas air
yang terdapat di dalam tambak, maka dilakukan aklimatisasi benur. Selain itu
dilakukan pengukuran panjang dan perhitungan jumlah benur. Nilai pengukuran
panjang dan pengamatan benur dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4 dan hasil
pengujian benur udang dapat dilihat pada Tabel 8.( Lengkapi gambar kita kalau
ada)

25
Tabel 8. Hasil pengukuran dan pengamatan benur
Hasil Pengukuran/Pengamatan
No Parameter
Benur Ayen Benur Ndaru
1 Panjang PL 10 mm 8 mm
2 Keseragaman ukuran SD: 1,4 SD: 0,9
3 Aktivitas Renang Aktif dan Menyebar Aktif dan Menyebar
4 Bentuk Tubuh Lurus Lurus
5 Warna Tubuh Transparan Transparan

Hasil pengukuran dan pengamatan menunjukkan bahwa benur yang


ditebar memiliki ciri-ciri umur benur PL, panjang benur 10 mm, ukuran tidak
seragam, aktif melawan arus dan menyebar, bentuk tubuh lurus dan warna
transparan. Hal ini merupakan indikator benur yang sehat, akan tetapi
keseragaman ukuran > 0,8 menandakan bahwa benur memiliki ukuran yang
berbeda-beda. Iskandar et al., (2017) menyatakan bahwa standar deviasi untuk
keseragaman ukuran benur seharusnya 0,8. Kita butuh jurnal
Setelah benur dipastikan sehat, maka benur siap ditebar. Penebaran
dilakukan pada pagi hari pukul 05.00 WIB. Hal ini dikarenakan pada waktu
tersebut suhu air masih rendah yaitu 27°C. Sebelum penebaran, dilakukan
proses aklimatisasi dengan memasukan kantong benur kedalam petak
pemeliharaan selama 30 menit. Aklimatisasi yaitu penyesuaian lingkungan lama
dengan lingkungan baru dengan tujuan untuk menekan tingkat mortalitas. Hal ini
sesuai dengan pendapat Ghufron et al., (2018) bahwa aklimatisasi benur
dimaksudkan untuk mencegah tingginya tingkat kematian (mortalitas) benur pada
saat sebelum dan setelah penebaran.

26
Gambar 7. Penghitungan dan aklimatisasi benur

Penilaian performa budidaya dilakukan berdasarkan perbandingan target


usaha dan hasil produksi. Target produksi dari hasil produksi disajikan pada
Tabel 9.
Tabel 9. Perbandingan Hasil dan Target Panen di Modul 3A
Parameter Target Panen Hasil Panen
DOC (hari) 100 98
FCR 1,5 1,8
Size 70 73
SR (%) 90 74

Berdasarkan tabel 9, diketahui bahwa siklus produksi bulan April - Mei


kampus BAPPL STP Serang modul 3Atidak mencapai target yang telah
direncanakan. Hal tersebut disebabkan adanya permasalahan pada kegiatan
budidaya. Beberapa faktor yang menjadi pokok permasalahan adalah sebagai
berikut :

1. Tingkat pertumbuhan harian rata-rata (ADG)


Hasil dari tingkat pertumbuhan harian rata-rata (ADG) diperoleh
berdasarkan perhitungan jumlah berat rata-rata udang dibagi dengan interval hari
sampling. Berdasarkan hasil sampling, rata-rata nilai ADG pada modul 3A adalah
0,185 gram/hari. Nilai minimal ADG pada modul 3A adalah 0,08 gram/hari
sedangkan nilai maksimal ADG adalah 0,3 gram/hari. Menurut Pratama et al.

27
(2017), nilai ADG 0,12-0,17 gram/hari. Berikut data pertumbuhan harian rata-rata
(ADG) udang di Modul 3A disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Grafik ADG

Pada DOC 80 terjadi penurunan nilai pertumbuhan rata-rata yang drastis.


Hal ini disebabkan karena pada masa pemeliharaan tersebut kondisi kualitas air
menurun. Penurunan kondisi air ini disebabkan karena kurangnya pembersihan
dasar tambak dengan menggunakan sifon. Kondisi ini membuat pertumbuhan
udang menjadi lambat karena kondisi lingkungan tidak nyaman bagi
udang.Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan perbaikan kualitas air, salah
satunya dengan cara penyiponan dasar tambak.

2. Tingkat efisien pakan yang diukur dari nilai FCR


Pada siklus ini penggunaan pakan dinilai tidak efektif. Penilaian tersebut
berdasarkan hasil perbandingan antara akumulasi jumlah pakan selama satu siklus
dan biomassa yang dihasilkan pada saat panen. Dari hasil pengolahan data
diperoleh nilai FCR sebesar 1,8. Nilai FCR yang tinggi disebabkan karena pakan
yang diberikan selama masa pemeliharaan terlalu banyak dan tidak termakan
sehingga menyebabkan menurunnya kualitas air, apabila kualitas air menurun
maka semakin besar peluang pakan yang tidak dimakan oleh udang dan
menumpuk di dasar sehingga nilai FCR menjadi meningkat. Hal ini tidak sesuai

28
denganpendapat Briggs et al. (2004), konversi pakan (FCR) pada udang vaname
berkisar 1,2 – 1,6.

3. Tingkat kelulushidupan (Survival Rate/SR)

Gambar 4. Grafik SR (Survival Rate)

Cahyono (2009) dalam Fuady et al. (2013)berpendapat bahwa keberhasilan


kegiatan budidaya dapat diukur dari persentase kelangsungan hidup yang tinggi.
Tingkat kelulushidupan pada modul 3A adalah 74% dengan padat tebar 200
ekor/m2. Hasil tersebut terbilang rendah apabila dibandingkan dengan tingkat SR
tambak lain yang dapat mencapai >80% dengan padat tebar yang tidak berbeda
jauh.
Menurut SNI 01-7246-2006 padat tebar yang baik yaitu 100-150 ekor/m 2.
Pada awal masa produksi, benur di modul 3A ditebar dengan kepadatan 200
ekor/m2. Padat tebar yang terlalu tinggi dapat menyebabkan laju pertumbuhan
yang lambat dikarenakan ruang gerak udang dalam mendapatkan makanan,
tempat hidup, dan oksigen terbatas sehingga berpengaruh terhadap bobot rata-rata
udang yang dihasilkan di akhir, demikian pendapat Purnamasari et al.

29
(2017).Selain itu pengelolaan kualitas air dan manajemen pemberian pakan
diduga berpengaruh terhadap rasio tingkat kelulushidupan udang.

4. Kesesuaian kualitas air meliputi suhu, pH, salinitas,dan amoniak


Produktivitas biota dipengaruhi oleh kualitas air selama masa
pemeliharaan. Semakin baik kualitas air semakin tinggi nilai produksi yang
dihasilkan. Hal ini berhubungan dengan faktor stress udang akibat perubahan
kualitas air di tambak. Beberapa parameter kualitas air yang dipantau antara lain :
a) Suhu
Suhu berpengaruh terhadap proses metabolisme udang, dimana semakin
tinggi suhu di perairan tambak semakin cepat juga proses metabolisme
terjadi(Farchan, 2006). Teknik pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat
termometer yang diberi tali dan diukur pada 1 titik. Hasil pengukuran suhu dapat
dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Grafik Pengukuran Suhu

Selama masa pemeliharaan, suhu air pada modul 3A berada pada kisaran
25-30oC. Kondisi suhu selama masa pemeliharaan siklus ini dinilai cenderung
stabil karena kondisi musim yang kemarau. Stratifikasi atau pelapisan suhu dalam
tambak dicegah dengan penggunaan kincir sehingga suhu air di dasar dan
permukaan merata.

b) pH

30
Boyd & Litchtkoppler (1979) mengatakan bahwa pH merupakan nilai
konsentrasi ion dalam air. Nilai pH yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat
menjadikan air bersifat racun. Berikut adalah data hasil pengukuran pH pada
modul 3A (lihat Gambar 6) :

Gambar 6. Grafik Pengukuran pH

Pada masa pemeliharaan, pH berada pada kisaran 7-8. Nilai tersebut terbilang
normal berdasarkan SNI 01-7426-2006. Meski demikian, pertumbuhan udang
tidak akan optimal apabila terjadi fluktuasi pH yang tajam karena dapat
menyebabkan udang stress dan tidak nafsu makan.Hal tersebut mempengaruhi
jumlah pakan yang dimakan atau tingkat efisiensi pakan yang dicerna oleh udang.
Salah satu cara mengatasi masalah tersebut adalah dengan pemberian kapur secara
berkala selama masa pemeliharaan, terutama di musim hujan, agar pH tetap
stabil.
c) Salinitas
Pada masa pemeliharaan modul 3A keadaan salinitas cenderung selalu berada
pada kisaran dibawah 20 g/l. Hal ini disebabkan oleh curah hujan yang cukup
tinggi, namun menurut Farchan (2006) kondisi tersebut masih merupakan kisaran
yang dapat ditoleransi oleh udang vanname. Perubahan salinitas yang drastis
dapat dihindari dengan melakukan pergantian air dan penggunaan kincir. Grafik
pengukuran salinitas disajikan pada Gambar 7.

31
Gambar 7. Grafik Pengukuran Salinitas

d) Amoniak

Amonia merupakan hasil ekskresi atau pengeluaran kotoran udang serta


berasal dari pakan yang tidak termakan oleh udang yang terlarut dalam air
(Rusmiyati, 2012). Hasil pengukuran kadar amonia menunjukkan bahwa pada
masa pemeliharaan sebelum dilaksanakannya praktik keahlian atau pada DOC 70
ke 80 kadar amonia sangat tinggi, yaitu >1 mg/l.Hal tersebut disebabkan oleh
pemberian pakan yang kurang efisien sehingga terjadi penumpukan sisa pakan
yang mengendap di dasar tambak. Selain itu, pada DOC diatas 30 sudah mulai
muncul endapan banyak plankton yang berkumpul membentuk klekap, yang
kemudian mati danmengapung lalu terbawa arus ke pojok tambak. Klekap yang
menumpuk di sudut kolamakanmengalami perombakan (dekomposisi) dan
menghasilkan gas beracun seperti H2S dan NH3(Farchan, 2006)menurunkan kualitas air
tambak modul 3A dan berbahaya karena.Grafik pengukuran amoniak disajikan
pada Gambar 8.

32
Gambar 8. Grafik Hasil Pengukuran Amonia

4.2 Kelayakan Usaha Budidaya

Berdasarkan hasil panen, diperoleh data finansial sebagai berikut:

Tabel 10. Data Finansial Modul 3A


DATA FINANSIAL MODUL 3A (Rp)
Modal 74.400.000
Biaya Produksi 65.272.677
Harga Udang/Kg 56.000 - 60.000
Pendapatan 62.340.000

Data finansial yang diperoleh kemudian dianalisa untuk menentukan


kelayakan usaha tersebut. Analisa usaha kegiatan produksi di modul 3A adalah
sebagai berikut:

4.2.1 Analisa Laba Rugi

Analisa laba/rugi dilakukan untuk mengetahui apakah suatu usaha


mengalami laba atau rugi. Perhitungan laba/rugi pada modul 3A adalah sebagai
berikut:

33
Laba/rugi = Pendapatan – Modal

= Rp62.340.000 - 74.400.000

= - Rp12.060.000

Apabila nilai pendapatan lebih kecil dibangkan modal maka usaha


tersebut akan mengalami kerugian. Pada modul 3A mengalami kerugian
sebesar Rp12.060.000.

4.2.2 R/C Ratio

Perhitungan Revenue Cost Ratio digunakan untuk menentukan kelayakan


suatu usaha berdasarkan perbandingan pendapatan dan pengeluaran. Adapun
perhitungannya adalah sebagai berikut:

Pendapatan
R/C Ratio ¿
Biaya Produksi

62.340 .000
¿
65.272 .677

= 0,95

R/C ratio dapat dikatakan baik apabila nilainya >1 sedangkan


dikatakan kurang baik jika nilainya <1. Nilai 0,95 artinya, dari setiap Rp 1
yang dikeluarkan akan mendapatkan Rp0,95 sehingga usaha mengalami
kerugian Rp 0,05.

4.2.3 Break Even Point (BEP)

Break Even Point (BEP) merupakan suatu cara menganalisa titik impas dari
suatu usaha, yaitu nilai dimana usaha tidak mengalami baik keuntungan maupun
kerugian. BEP terbagi menjadi BEP produksi dan BEP harga.

A. BEP Produksi

Rp 70.000 .000
Modal / hargaudang/kg =
Rp56.000 /kg

= 1.250 kg

34
BEP produksi 1.250 kg artinya usaha akan memperoleh keuntungan apabila
hasil produksi minimal 1.250 kg. Total tonase hasil panen modul 3A adalah 1.200
kg, sehingga hasil produksi di modul 3A bisa dipastikan rugi.

B. BEP Harga

Biaya t etap
Biayaproduksi / hasilpanen = biaya tidak tetap
1−
total penjualan

13.844 .677
= 51.428 .000
1−
62.340 .000

= Rp 65.297

BEP harga Rp65.297 artinya usaha akan memperoleh keuntungan apabila


udang terjual dengan harga minimal Rp 65.297,00. Harga jual udang modul 3A
adalah Rp 56.000- Rp60.000, artinya hasil produksi di modul 3A tidak
memperoleh keuntungan.

35
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan performansi di Badan Administrasi


Pelatihan perikanan Lapangan (BAPPL) STP Serang terdapat beberapa
kesimpulan yang diperoleh yakni :
1. Hasil performansi kinerja budidaya udang pada Modul 3A belum mencapai
target yaitu kelulusan hidup atau survival rate yaitu 73%, FCR tidak sesuai
target, dan tingkat pertumbuhan harian rata-rata (ADG) antara 0,12-0,17
gram/hari, serta pada DOC 80 kadar amoniak yang tinggi (>2,5 mg/l) yang
menyebabkan penurunan kualitas air.
2. Target produksi belum tercapai dikarenakan SOP tidak terlaksana dengan baik,
Kurangnya disiplin para taruna, serta kurangnya pengawasan kegiatan
pemeliharaan budidaya yang dilakukan oleh taruna.
2. Pada analisa laba rugi, usaha ini dinyatakan tidak layak karna mengalami
kerugian dengan R/C Ratio 0,95 yang artinya setiap Rp 1 yang dikeluarkan
mengalami kerugian Rp 0,05. Hasil produksi dan harga jual pada modul 3A
tidak mencapai angka pada analisa BEP produksi dan BEP harga, sehingga
usaha mengalami kerugian.

5.2 Saran

Berdasarkan analisa permasalahan dan kesimpulan yang diperoleh, untuk


meningkatkan produktivitas modul 3A pada siklus selanjutnya, beberapa hal yang
harus dilakukan yaitu:
1. Melakukan pembersihan dasar tambak atau penyiponan secara
rutin agar tidak ada bahan organik yang menumpuk di dasar tambak.
2. Meningkatkan kontroling kualitas air seperti pH, ammonia dan
nitrit sehingga kualitas air lebih terjaga dan dapat mengambil tindakan
pencegahan jika kualitas air menurun.
3. Melakukan kontrol anco 15 Menit setelah pemberian Pakan
sehingga pemberian pakan lebih efektif.
4. Diperlukanya peranan pengawas dalam mengontrol Taruna
dalam melaksanakan Kegiatan pemeliharaan sesuai dengan SOP.

36
DAFTAR PUSTAKA

Amri, K., & Kanna, I. (2006). Budi Daya Udang Vaname Seca Intensif, Semi
Intensif, dan Tradisional. Jakarta: PT Gramedia.

Amri, K., & Kanna, I. (2008). Budi Daya Udang Vanamei Secara Intensif, Semi
Intensif, dan Tradisional.

Andriyanto, F., Efani, A., & Riniwati, H. (2014). Analisis Faktor-Faktor Produksi
Usaha Pembesaran Udang Vanname (Litopenaeus Vannamei) di
Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa Timur; Pendekatan Fungsi
Cobb-Douglass. ECSOFiM (Economic and Social of Fisheries and
Marine), 1(1).

37
Budiardi, T., Muzaki, A., & Utomo, N. B. P. (2005). Produksi Udang Vaname
(Litopenaeus vannamei) di Tambak Biocrete Dengan Padat penebaran
Berbeda. Jurnal Akuakultur Indonesia, 4(2), 109–113.

Budiwardhani, R. H. (2018). Analisis Kualitas Air dan Pemberian Imunostimulan


Ekstrak Rumput Laut Terhadap Perubahan Jumlah Sel Hemosit Udang
Vaname (Litopenaeus vannamei) yang Terinfeksi White Spot Syndrome
Virus (WSSV). Universitas Brawijaya.

Darmansah, A., Sulistiono, Nugroho, T., & Supriyono, E. (2016). Pemberdayaan


Masyarakat melalui Pengembangan Polikultur Bandeng dan Udang di
Desa Karangsong, Indramayu, Jawa Barat. Jurnal Ilmiah Pengabdian
kepada Masyarakat, 2(2), 92–99.

Darwantin, K., Sidik, R., & Mahasri, G. (2016). Efisiensi Penggunaan


Imunostimulan dalam Pakan Terhadap Laju Pertumbuhan, Respon Imun
dan Kelulushidupan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei). Jurnal
Biosains Pascasarjana, 18(2).

Dewi, F. S. (2014). Pemanfaatan Tepung Keong Mas (Pomacea canaliculata)


Sebagai Substitusi Tepung Ikan Pada Pakan Udang Vannamei
(Litopenaeus vannamei) Terhadap Nilai Kecernaan Serat Kasar dan
Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN). Airlangga.

Ernawati, & Rochmady. (2017). Pengaruh Pemupukan dan Padat Penebaran


Terhadap Tingkat Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Post Larva
Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Jurnal Akuakultur, Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, 1, 1–10.

Farchan, M. (2006a). Teknik Budidaya Udang Vaname.

Farchan, M. (2006b). Teknik Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei).


BAPPL. Sekolah Tinggi Perikanan (STP) Serang.

Firdausy, M. (2012). Kelayakan Budidaya Udang Vannamei di Rejo Tengah,


Lamongan. Universitas UPN Veteran, Jawa Timur.

Hendrajat, E. A. (2003). Budidaya Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Pola


Tradisional Plus di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Jurnal Riset
Akuakultur, 2(1).

Indah. (2012). Pertumbuhan Udang Vanamei di Tambak Intensif.

38
Ismayani, E. (2017). Manajemen Usaha Budidaya Udang Vanam ((Litopeneaus
vannamei) (Studi Kasus Tambak PT. Beroro Jaya Vanname di Kabupaten
Konawe Selatan). Universitas Halu Oleo, Kendari.

Kaligis, E. Y. (2010). Laju Pertumbuhan, Efisiensi Pemanfaatan Pakan,


Kandungan Potasium Tubuh, dan Gradien Osmotik Postlarva Vaname
(Litopenaeus vannamei, Boone) Pada Potasium Media Berbeda. Jurnal
Perikanan dan Kelautan, 6(2), 92–97.

Kilawati, Y., & Maimunah, Y. (2015). Kualitas Lingkungan Tambak Intensif


Litapenaeus vannamei Dalam Kaitannya Dengan Prevalensi Penyakit
White Spot Syndrome Virus. RESEARCH JOURNAL OF LIFE SCIENCE,
02(01), 10.

Kurendi, A. (2017). Aplikasi Manajemen Pemberian Pakan Udang Vannamei


Berbasis Android. Universitas Muhammadiyah Malang, Malang.

Mansyur, A., & Rangka, N. A. (2002). Potensi dan Kendala Pengembangan


Budidaya Udang Vanamei di Sulawesi Selatan, 11–14.

Miranti, F., Muslim, & Yulisman. (2017). Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup
Larva Ikan Betok (Anabas testudineus) yang Diberi Pencahayaan dengan
Lama Waktu Berbeda. Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 5(1), 33–44.

Mustofa, A. (2017). KANDUNGAN TOTAL ZAT PADAT TERSUSPENSI DARI


OUTLET TAMBAK UDANG INTENSIF DI KABUPATEN JEPARA,
8(1), 12.

Nadhif, M. (2016). Pengaruh Pemberian Probiotik pada Pakan dalam Berbagai


Konsentrasi terhadap Pertumbuhan dan Mortalitas Udang Vaname
(Litopenaeus vannamei).

Nuryani, A. B. (2006). Pengendalian Mutu Penanganan Udang Beku Dengan


Konsep Hazard Analysis Critical Control Point. Universitas Diponegoro,
Semarang.

Pirzan, A. M., & Utojo, U. (2013). Pengaruh Variabel Kualitas Air terhadap
Produktivitas Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) di Kawasan
Pertambakan Kabupaten Gresik, Jawa imur. Majalah Ilmiah Biologi
BIOSFERA: A Scientific Journal, 30(3), 126–133.

Pratama, A., Wardiyanto, & Supono. (2017). Studi Performa Udang Vaname
(Litopenaeus vannamei) yang Dipelihara dengan Sistem Semi Intensif
pada Kondisi Air Tambak dengan Kelimpahan Plankton yang Berbeda

39
pada Saat Penebaran. e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya
Perairan, 6(1), 10.

Prayugi, I. T. (2014). Respon Pertumbuhan Kultur Sel Limfoid Udang Vaname


(Litopenaeus vannamei) Pada Media yang Berbeda.

Purnamasari, I., Purnama, D., & Fajar Utami, M. A. (2017). Pertumbuhan Udang
Vaname (Litopenaeus vannamei) di Tambak Intensif. Jurnal Enggano,
2(1), 58–67.

Purwanta, I. W., & Firdayati, M. (2002). PENGARUH APLIKASI MIKROBA


PROBIOTIK PADA KUALITAS KIMIAWI PERAIRAN TAMBAK
UDANG, 3(1), 6.

Putra, F. R., & Manan, A. (2019). Monitoring Kualitas Air pada Tambak
Pembesaran Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) di Situbondo, Jawa
Timur [Monitoring of Water Quality on Rearing Ponds of Vannamei
Shrimp (Litopenaeus vannamei) in Situbondo, Jawa Timur]. Jurnal Ilmiah
Perikanan dan Kelautan, 6(2), 137–142.

Putra, S. J. W., Nitisupardjo, M., & Widyorini, N. (2014). ANALISIS


HUBUNGAN BAHAN ORGANIK DENGAN TOTAL BAKTERI PADA
TAMBAK UDANG INTENSIF SISTEM SEMIBIOFLOK DI BBPBAP
JEPARA, 3, 9.

Riani, H., Rostika, R., & Lili, W. (2012). Efek Pengurangan Pakan Terhadap
Pertumbuhan Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) PL-21 yang Diberi
Bioflok. Jurnal Perikanan dan Kelautan, 3(3), 207–211.

Rochman, A. N. (2016). Penerapan Teknologi Busmetik (Budidaya Udang Skala


Mini Empang Plastik) Pada Pembesaran Udang Vannamei (Litopenaeus
vannamei) di UPT PBAP, Bangil, Pasuruan, Jawa Timur (hlm. 57).
Universitas Airlangga.

rusmiyati, sri60. (2012). Menjala Rupiah Budidaya Udang Vannamei, Varietas


Baru Unggulan. Pustaka Baru Press.

Rusmiyati, S. (2012). Menjala Rupiah Budidaya Udang Vannamei Varietas Baru


Unggulan. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

Saefulhak, A. (2004). Metode Pendugaan Biomassa dan Produktivitas Udang


Vaname (Litopenaeus vannamei) Pada Tambak Biocrete. Institut Pertanian
Bogor.

40
Sandi. (2014). Manajemen Produksi Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei).
Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan, 5, 5.

Sovianti, I., & Firmayanti, R. (2017). Makalah konsep dasar ipa habitat hewan
dan lingkungannya.

Sudarno, Mahasri, G., & Kismiyanti. (2014). IbM Bagi Petambak Udang
Tradisional di Desa Masaran, Kecamatan Banyuates, Kabupaten Sampang,
yang Gulung Tikar Akibat Kasus Kematian Udang yang Terus Menerus.
Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan, 6(1), 59–65.

Supomo. (2017). Studi Perfoma Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei) yang


Dipelihara pada Sistem Semi Intensif. Jurnal Rekayasa Budidaya
Perairan, 3.

Supono. (2011). Optimalisasi Budidaya Udang Putih (Litopenaeus vannamei)


Melalui Peningkatan Kepadatan Penebaran di Tambak Plastik. Agromedia,
29(1).

Suwoyo, H. S., Fahrur, M., & Syah, R. (2018). Pengaruh Jumlah Titik Aerasi pada
Budidaya Udang Vaname, Litopenaeus Vannamei. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis, 10(3), 727–738.

Syafaat, M. N., & Mansyur, A. (2012). DINAMIKA KUALITAS AIR PADA


BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei), 8.

Tahe, S., Nawang, A., & Suwoyo, H. S. (2009). Pemasyarakatan Teknologi


Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) Sistem Polikultur
dengan Ikan Bandeng (Chanos chanos) di Tambak Salinitas Rendah, 425–
434.

Utomo, A. D. (2001). Ruaya dan Pertumbuhan Udang Galah (Macrobrachium


rosenbergii de Man) di Sungai Lumpuing Sumatra Selatan (Tesis Program
Pasca Sarjana). Institut Pertanian Bogor, Bogor.

WWF. (2014). Budidaya Udang Vannamei.

WWF-Indonesia. (2014). Seri Panduan Perikanan Skala Kecil BUDIDAYA


UDANG VANNAMEI, 22.

41

Anda mungkin juga menyukai