Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Udang vaname merupakan salah satu produk perikanan penting saat ini.

Sejak agro industri udang windu di Indonesia mengalami penurunan,

pengembangan udang vaname merupakan alternatif budidaya yang cocok

dilakukan. Udang vaname (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu jenis

udang introduksi yang akhir-akhir ini banyak diminati, karena memiliki

keunggulan seperti tahan penyakit, pertumbuhan lebih cepat (masa pemeliharaan

100-110 hari), sintasan selama pemeliharaan tinggi dan nilai konversi pakan

rendah (Suliswati, 2016).

Kegiatan budidaya ikan atau udang secara intensif dengan padat

penebaran tinggi dan pemberian pakan, penimbunan kotoran terjadi sangat cepat.

Sebagian besar pakan yang dimakan oleh ikan dan udang akan dirombak menjadi

daging atau jairngan tubuh, sedangkan sisanya dibuang berupa kotoran padat

(feses) dan terlarut menjadi ammonia (NH3) (Kodri dan Tancung, 2007).

Amonia dalam air akan mempengaruhi pertumbuhan biota budidaya.

Pengaruh langsung dari kadar amonia tinggi yang belum mematikan adalah

rusaknya jaringan insang, dimana lempeng insang membengkak sehingga

fungsinya sebagai alat pernapasan akan terganggu. Sebagai akibat lanjut, dalam

keadaan kronis biota budidaya tidak lagi hidup normal. Penyebab timbulnya

amonia dalam air kolam/tambak adalah sisa-sisa ganggang yang mati, sisa pakan

dan kotoran budidaya itu sendiri (Kodri dan Tancung, 2007).

1
Menurut Guttierrez-Wing dan Malone (2006) metode yang biasa

digunakan dalam mengatasi masalah buangan akuakultur adalah dengan sistem

ganti air secara terus menerus. Kelemahan yang dimiliki oleh metode ini adalah

diperlukannya air baru dalam jumlah banyak dan energi yang cukup besar

terutama untuk kegiatan produksi skala menengah sehingga metode ini dinilai

kurang efisien. Oleh karena itu, permasalahan ini dapat diatasi dengan

menerapkan sistem resirkulasi dengan penambahan filter untuk menyaring air

dengan tujuan memperbaiki kualitas air agar bisa digunakan kembali (Darmayanti

et al., 2011). Kualitas air atau media pemeliharaan ikan merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi pertumbuhan (Effendie, 2003; Nurlela et al., 2010;

dan Prasetyo et al., 2018). Bahan-bahan yang dapat digunakan untuk

meningkatkan kualitas air yaitu pasir, kerikil, arang, ijuk, bubur kapur, tawas,

batu, dan lain-lain (Syafriadiman et al., 2005).

Recirculation Aquaculture System (RAS) atau Sistem Resikulasi

merupakan sistem yang hanya mengandalkan perputaran air, dimana air pada

media budidaya ikan akan dimanfaatkan kembali. Pada sistem ini air yang

digunakakan dialirkan melalui filter dan akan dialirkan kembali kedalam wadah

pemeliharaan, sehingga lebih menghemat penggunaan air karena air sebagai

media budidaya dapat di gunakan berulang kali (Fauzzia et al., 2013).

Filter air adalah alat yang digunakan untuk menyaring air dengan tujuan

memperbaiki kualitas air agar bisa digunakan kembali. Filter berfungsi mekanis

untuk menjernihkan air dan berfungsi biologis untuk menetralisasi senyawa

amoniak yang toksik menjadi senyawa nitrat yang kurang toksik dalam suatu

proses yang disebut nitrifikasi (Widayat et al., 2010).

2
Filter dapat melakukan fungsinya dengan dua cara yaitu menyerap, dan

pertukaran ion. Serapan merupakan proses tertangkapnya suatu partikel ke dalam

stuktur media akibat dari pori-pori yang dimilikinya. Suatu partikel menempel

pada suatu permukaan yang disebabkan adanya perbedaan muatan lemah di antara

dua benda, dinamakan dengan proses adsorpsi (Darmayanti et al., 2011).

Menurut Sidik (2002) filter dibagi atas filter fisika, kimia dan biologi.

Filter fisika atau disebut juga filter mekanis berfungsi untuk memisahkan padatan

dari air secara fisika (berdasarkan ukuran) dengan cara menangkap atau

menyaring kandungan bahan tersebut manjadi berkurang. Filter kimia berfungsi

membersihkan molekul – molekul bahan organik terlarut melalui proses oksidasi

atau penyerapan langsung. Sedangkan filter biologi berfungsi menguraikan

senyawa nitrogen organik oleh bakteri pengurai.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis berinisiatif melakukan penelitian

untuk mengetahui pengaruh kombinasi filter yang berbeda terhadap pertumbuhan

dan kelangsungan hidup udang vaname.

3
1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu :

1) Apakah jenis filter yang berbeda dapat memberikan pengaruh terhadap

pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva udang vaname (Litopenaeus

vanamei)?

2) Manakah jenis filter yang terbaik untuk pertumbuhan dan kelangsungan

hidup larva udang vaname (Litopenaeus vanamei)?

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu :

1) Untuk mengetahui pengaruh jenis filter terhadap pertumbuhan dan

kelangsungan hidup larva udang vaname

2) Untuk mengetahui jenis filter yang terbaik terhadap pertumbuhan dan

kelangsungan hidup larva udang vaname.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari peelitian ini yaitu :

Memberikan informasi dan pengetahuan kepada mahasiswa dan

pembudidaya mengenai jenis filter yang terbaik terhadap pertumbuhan

larva udang vaname pada sistem resilkulasi.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biologi Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei)

2.1.1. Klasifikasi
Berdasarkan data WHO, terdapat 343 jenis udang yang mempunyai nilai

ekonomis dan 110 spesies berasal dari famili Penaeidae, saat ini baru delapan

jenis udang yang bisa dikembangkan untuk akuakultur antara lain : Penaeus

chinensis, P. indicus, P. japonicus, P. merguensis, P. monodon, P. stylirostris,

P.vannamei, dan Metapenaeus merguensis (Rosenberry, 1989).

Menurut Haliman dan Adijaya (2005) klasifikasi udang vaname

(Litopenaeus vannamei) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Sub kingdom : Metazoa

Filum : Arthropoda

Subfilum : Crustarocea

Kelas : Malacostraca

Subkelas : Eumalacostraca

Superordo : Eucarida

Ordo : Decapodas

Subordo : Dendrobrachiata

Familia : Penaeidae

Genus : Litopenaeus

Spesies : Litopenaeus vannamei

5
2.1.2 Morfologi
Menurut Haliman dan Adijaya (2005) tubuh udang vaname dibentuk oleh

dua cabang (biramous), yaitu exopodite dan endopodite, vaname memiliki tubuh

berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit luar atau eksoskeleton secara periodik

(moulting). Bagian tubuh udang vaname sudah mengalami modifikasi, sehingga

dapat digunakan untuk keperluan sebagai berikut :

1. Makan, bergerak, dan membenamkan diri ke dalam lumpur (burrowing)

2. Menopang insang karena struktur insang udang mirip bulu unggas.

3. Organ sensor, seperti pada antena dan antenula. Kepala (thorax).

Kepala udang vaname terdiri dari antenula, antena, mandibula, dan dua

pasang maxillae. Kepala udang vaname juga dilengkapi dengan tiga pasang

maxillipied dan lima pasang kaki berjalan (periopoda) atau kaki sepuluh

(decapoda). Maxillipied sudah mengalami modifikasi dan berfungsi sebagai organ

untuk makan. Endopodite kaki berjalan menempel pada chepalothorax yang

dihubugka oleh coxa. Morfologi udang vaname Bentuk periopoda beruas-ruas

yang berujung di bagian dactylus. Dactylus ada yang berbentuk capit (kaki ke-1,

ke-2, dan ke-3) dan tanpa capit (kaki ke-4 dan ke-5). Di antara coxa dan dactylus,

terdapat ruang berturut-turut disebut basis, ischium, merus, carpus, dan cropus.

Pada bagian ischium terdapat duri yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi

beberapa spesies penaeid dalam taksonomi (Haliman dan Adijaya, 2005).

6
Gambar 1. Morfologi Udang Vaname (Warsito, 2012).

2.1.3 Habitat dan Siklus Hidup


1) Habitat
Udang vaname adalah jenis udang laut yang habitat aslinya di daerah dasar

dengan kedalaman 72 meter. Udang vaname dapat ditemukan di perairan atau

lautan Pasifik mulai dari Mexico, Amerika Tengah dan Selatan. Habitat udang

vaname berbeda-beda tergantung dari jenis dan persyaratan hidup dari tingkatan-

tingkatan dalam daur hidupnya. Umumnya udang vaname bersifat bentis dan

hidup pada permukaan dasar laut. Adapun habitat yang disukai oleh udang

vaname adalah dasar laut yang lumer (soft) yang biasanya campuran lumpur dan

pasir (Haliman dan Adijaya, 2006).

Menurut Haliman dan Adijaya (2006) bahwa induk udang vaname

ditemukan diperairan lepas pantai dengan kedalaman berkisar antara 70-72 meter

(235 kaki). Udang ini menyukai daerah yang dasar perairannya berlumpur. Sifat

hidup dari udang vaname adalah catadromous atau dua lingkungan, dimana udang

dewasa akan memijah di laut terbuka. Setelah menetas, larva dan juvenil udang

akan bermigrasi ke daerah pesisir pantai atau mangrove yang biasa disebut daerah

estuarine dan setelah dewasa akan bermigrasi kembali ke laut untuk melakukan

kegiatan pemijahan seperti pematangan gonad (maturasi) dan perkawinan (Wyban

dan Sweeney, 1991).

7
2) Siklus Hidup

Siklus hidup udang vaname sejak telur mengalami fertilisasi dan lepas dari

tubuh induk betina menurut Wyban dan Sweeney (1991) mengalami berbagai

macam tahap, yaitu:

a) Naupli

Stadia Naupli terbagi atas enam tahapan dengan waktu yang berkisar antara

46-50 jam. Larva dengan ukuran 0,32-0,58 belum memiliki pencernaan yang

sempurna dan masih memiliki cadangan makanan berupa kuning telur.

b) Zoea

Stadia Zoea berukuran 1,05-3,30 mm. Stadia zoea terbagi atas tiga tahapan,

dan berlangsung selama kurang lebih empat hari. Pada stadia ini larva

mengalami molting sebanyak 3 kali, yaitu stadia zoea 1, zoea 2, dam zoea 3.

Stadia zoea sangat peka terhadap perubahan lingkungan terutama salinitas dan

suhu. Zoea mulai membutuhkan makanan berupa pakan alami yaitu

fitoplankton.

c) Mysis

Stadia Mysis terbagi atas 3 tahapan, yang lamanya sekitar 4-5 hari. Bentuk

udang stadia Mysis mirip udang dewasa, bersifat planktonis dan bergerak

mundur dengan cara membengkokkan badannya. Udang stadia Mysis sudah

mulai menggemari pakan berupa zooplankton.

8
d) Post Larva

Stadia Post Larva sudah seperti udang dewasa. Hitungan stadia berdasarkan

hari, contohnya PL1 yang artinya post larva yang sudah berumur satu hari.

Post larva ditandai dengan tubuhnya Plepoda (kaki renang) yang berambut.

Stadia post larva bersifat bentik atau organisme penghuni dasar perairan.

Gambar 2. Siklus Hidup Udang Vaname (Wyban and Sweeney, 1991).

2.1.4 Makan dan Kebiasaan Makan


Udang vaname merupakan omnivora dan scavenger (pemakan bangkai).

Makanannya biasanya berupa crustacea kecil dan plychaetes (cacing laut). Udang

memiliki pergerakkan yang terbatas dalam mencari makanan dan mempunyai

sifat dapat menyesusaikan diri terhadap makanan yang tersedia di lingkungannya

(Wyban & Sweeney, 1991).

Udang vaname termasuk golongan udang penaeid. Maka sifatnya antara

lain bersifat nocturnal, artinya aktif mencari makan pada malam hari atau apabila

intensitas cahaya berkurang. Sedangkan pada siang hari yang cerah lebih banyak

pasif, diam pada rumpon yang terdapat dalam air tambak atau membenamkan diri

dalam lumpur (Effendie, 2000).

9
Pakan yang mengandung senyawa organik, seperti protein, asam amino,

dan asam lemak, maka udang akan merespon dengan cara mendekati sumber

pakan tersebut. Saat mendekati sumber pakan, udang akan berenang

menggkunakan kaki jalan yang memiliki capit. Pakan langsung dijapit

menggunakan capit kaki jalan, kemudian dimasukkan ke dalam mulut.

Selanjutnya, pakan yang dikonsumsi berukuran lebih besar, akan dicerna secara

kimiawi terlebih dahulu oleh maxilliped di dalam mulut (Ghufron, 2017).

2.2.1 Bioball

Bioball merupakan salah satu media filter biologi yang berbahan sintetis

dan memiliki daya tahan yang cukup lama. Bioball memiliki keunggulan

dibanding dengan media filter lain yaitu luas spesifik yang cukup besar,

pemasangannya sangat mudah (random), tidak memerlukan manhole yang cukup

besar sehingga memudahkan dalam Instalassi Pengelolaan Air Limbah (IPAL)

kecil sangat sesuai. Kelebihan lain dari media ini adalah bobot yang ringan,

mudah dibersihkan, ekonomis, mudah didapatkan, memiliki luas spesifik yang

paling besar dibanding dengan media filter lainnya (Said., 2005).

Bioball merupakan filter biologi sebagai tempat pertumbuhan bakteri-

bakteri yang berperan dalam proses nitrifikasi, sehingga mampu memperbaiki

kualitas air terutama amonia. Bakteri yang biasanya tumbuh pada bioball adalah

Nitrosomnas sp. yang berperan merubah ammonia menjadi nitrit dan Nitrobacter

sp. yang berperan merubah nitrit menjadi nitar dan nitrat akan berbah menjadi

plankton yang menjadi pakan ikan (Nelvia et.al., 2015).

10
Gambar 3. Bioball
(Sumber : Dokumentasi Pribadi )

2.2.2 Dakron atau Serat Kapas

Dakron adalah resin polimer plastik termoplast yang termasuk dalam

kelompok polyester yang di produksi oleh perusahaan Du Pont di Amerika pada

awal 1950-an. Dakron bersifat elastis mudah dipakai dalam berbagai ruang,

sehingga banyak digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti untung mengisis

bantal, bad cover, boneka dan lain sebagainya (Rufaidah dan Achir., 2014).

Dakron atau serat kapas biasa digunakan sebagai filter fisika sebagai sama

seperti ijuk dan spons, untuk menyaring kotoran dan sisa pakan yang terkandung

dalam air budidaya (Satyani., 2001 dalam Nurhidayat., 2009). Filter fisika

manyaring kotoran-kotorang atau partikel berukuran besar dalam pori-porinya

media filter (Purwakusuma., 2003 dalam Nurhidayat., 2009)

Gambar 4. Dakron
Sumber : Dokumentasi Pribadi

2.2.3 Zeolit

11
Zeolit merupakan senyawa dengan kation aktif yang bergerak dan

umumnya bertindak sebagai penukar ion. Di samping itu, zeolit juga mudah

melepas kation dan diganti dengan kation lain. Sedangkan keberadaan atom

alumunium di dalam zeolit akan menyebabkan memiliki muatan negatif. Muatan

negatif inilah yang menyebabkan zeolit mampu mengikat kation, sehingga dapat

digunakan untuk mengikat kation-kation pada air, seperti Fe, Al atau Mg. Dengan

mengalirkan air baku pada filter zeolit, kation akan diikat oleh zeolit yang

memiliki muatan negatif. Dengan demikian, zeolit berfungsi sebagai penukar ion

dan adsorben dalam pengolahan air (Kusnaedi, 2010).

Zeolit merupakan filter kimia yang dapat digunakan sebagai biofilter yang

mendegradasi bahan organik dan anorganik oleh mikroorganisme (Amrizal et al.,

2015; Nurhidayat et al., 2012). Selain itu zeolit juga dapat dimanfaatkan sebagai

pendukung pada piranti elektronika yaitu sebagai material semikonduktor

(Kalogeras dan Dova, 1998).

Gambar 5. Zeolit
(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

2.2.4 Pasir Silika


Pasir silika merupakan bahan galian yang terdiri dari kristal-kristal silika

(SiO2) dan mengandung senyawa pengotor yang terbawa selama proses

pengendapan. Pada umumnya, senyawa pengotor tersebut terdiri atas oksida

magnesium, lempung, dan zat organik hasil pelapukan sisa-sisa hewan serta

12
tumbuhan. Secara umum, pasir silika di Indonesia mempunyai komposisi SiO2

(55.3-99.87 %), Fe2O3 (0.01-9.14 %), Al2O3 (0.01-18 %), TiO2 (0.01-0.49 %),

CaO (0.01-3.24 %), MgO (0.01-0.26 %), K2O (0.01-17 %) (Fairus et al., 2018).

Pasir silika memiliki kekerasan 7 skala Mohs, berat jenis 2,65, titik lebur

1715 oC, bentuk kristal hexagonal, konduktivitas panas 12-100 oC. Pasir silika

sangat efektif dalam menyaring lumpur dan bahan pengotor air lainnya (Alwin, et

al., 2017). Pasir silika juga sering digunakan untuk pengolahan air kotor menjadi

air bersih. Fungsi ini baik untuk menghilangkan sifat fisiknya, seperti kekeruhan,

atau lumpur dan bau. (Suryani, et al., 2012).

Gambar 6. Pasir Silika


(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

2.2.5 Kerikil
Batu Kerikil (Pebbles) adalah butiran batu lebih besar dari pada pasir dan

lebih kecil daripada kerakal (kira-kira sebesar biji kacang tanah atau biji nangka)

dan Geoendapan batuan yang komponennya bulat, biasanya bercampur dengan

tanah liat dan pasir. Batu kerikil sebenarnya menunjukkan besaran butir pasir,

dapat dikategorikan sebagai batu pasir yang banyak mengandung silika. Tersedia

dalam beberapa warna, ukuran dan bentuk. Kerikil berfungsi sebagai media

penyangga/penahan dalam proses penyaringan, agar media pasir, zeolit dan arang

13
aktif tidak terbawa aliran hasil penyaringan, sehingga penyumbatan dapat di

hindari. (Kusnaedi 2006).

Kerikil merupakan batuan yang berukuran lebih besar dari 2 mm. Kerikil

mempunyai bentuk yang tidak berarturan namun ukurannya dapat disamakan

melalui proses pengayakan analisa kerikil. Persyaratan kerikil sebagai media

penahan pasir harus bersih, keras, tahan lama, dan bulat-bulat (Asmadi, et al.,

2011).

Gambar 7. Kerikil
(Sumber : Dokumentasi Pribadi)
2.2.6 Batu Apung

Batu apung disebut pula batu timbul yaitu jenis batu yang berasal dari

gunung berapi yang tidak tenggelam di dalam air. Warnanya bermacammacam,

dari yang kekuning-kuningan hingga jingga, kemerah-merahan, abuabu kebiru-

biruan, abu-abu, dan warna-warna lainnya. Unsur terbanyak yang terkandung di

dalam batu apung adalah silika. Selain itu ada juga bahan lain seperti alumina,

besi oksida, potash, dan soda. (Komandoko, 2010)

Media tanam akuaponik secara umum seperti batu apung memberikan

pengaruh sebagai filter air di dalam kolam terutama terhadap nitrat dan pospat

sisa perombakan pakan ikan. Ditambah dengan penggunaan tanaman maka akan

membentuk sistem biofilter (Fang et al., 2017).

14
Humaedi (2012) telah mengamati media adsorbsi (serapan) dari batu

apung setelah diaktifasi mempunyai kemampuan menyerap ion-ion logam sebesar

66-99,5%, sedangkan yang tidak diaktifasi sebesar 55-89%. Pemanfaatan batu

apung ini digunakan sebagai media adsorbsi yang mempunyai beberapa

keunggulan yaitu, ramah lingkungan, ekonomis dan aplikasi dilapangan yang

mudah serta sederhana.

Gambar 8. Batu Apung


(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

2.4 Pertumbuhan Dan Kelangsungan Hidup


2.4.1 Pertumbuhan
Pertumbuhan adalah suatu proses pertambahan ukuran, baik volume,

bobot, dan jumlah sel yang bersifat ireversible (tidak dapat kembali ke asal).

Pertumbuhan larva dan pasca larva udang merupakan perpaduan antara proses

perubahan struktur melalui metamorfotsis dan anti kulit (moulting), serta

peningkatan biomassa sebagai proses transformasi materi dan energi pakan

menjadi massa tubuh udang (Anggoro, 1992).

Pertumbuhan udang ditandai dengan terjadinya moulting atau pergantian

kulit. Moulting merupakan pergantian kulit yang dipengaruhi oleh faktor

eksternal seperti salinitas, temperatur dan faktor internal seperti status nutrisi, dan

ablasi mata (Karim, 2005).

15
Proses moulting terjadi dalam 5 tahap, proses moulting ini sangat

menentukan waktu ablasi induk udang dan waktu panen yang tepat. Waktu yang

dibutuhkan untuk melakukan moulting tergantung jenis dan umur udang.

Moulting akan terjadi pada udang yang sehat dan umumnya terjadi pada malam

hari, nafsu makan udang akan mulai menurun 1–2 hari sebelum moulting dan

berhenti total saat akan moulting sehingga udang akan melakukan persiapan

dengan menyimpan cadangan makanan berupa lemak dikelenjar pencernaan

(hepatopangkreas) (Haliman dan Adijaya, 2005).

Banyak faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan udang. Menurut

Iswandi et al., (2014) pertumbuhan udang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu

internal (Keturunan, umur, dan ketahanan terhadap penyakit) dan eksternal (suhu

perairan, besarnya ruang gerak, kualitas air, jumlah dan mutu makanan)

Pertumbuhan udang vaname dipengaruhi dua faktor yaitu frekuensi

moulting/ganti kulit (waktu antara moulting) dan pertumbuhan pada setiap

moulting. Tubuh udang mempunyai karapas/kulit luar yang keras, sehingga pada

setiap kali berganti kulit, karapas terlepas dan akan membentuk karapas baru.

Ketika karapas masih lunak, udang berpeluang untuk dimangsa oleh udang

lainnya (Malik, 2014).

2.4.2 Kelangsungan Hidup


Kelangsungan hidup adalah perbandingan antara jumlah individu yang

hidup pada akhir periode pemeliharaan dan jumlah individu yang hidup pada awal

periode pemeliharaan dalam populasi yang sama. Faktor-faktor yang

mempengaruhi tingginya prosentase kelangsungan hidup adalah faktor biotik dan

16
abiotik seperti kompetitor, kepadatan populasi, penyakit, umur, kemampuan

organisme dalam beradaptasi dan penanganan manusia (Effendie, 2003).

Faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup organisme ditentukan

oleh ketersediaan pakan yang sesuai dan dari faktor lingkungan itu sendiri.

Kekurangan pakan akan mengakibatkan pertumbuhan udang menjadi lambat,

ukuran udang tidak seragam, tubuh tampak keropos dan memunculkan

kanibalisme. Sebaliknya kelebihan pakan akan mencemari perairan dan

mengakibatkan kualitas air tambak menjadi jelek sehingga udang mudah stressss

dan pertumbuhan udang jadi terhambat. Selain itu daya tahan udang terhadap

penyakitpun menurun sehingga angka mortalitasnya meningkat (Nuhman, 2008).

2.5 Kualitas Air

Kualitas media pemeliharaan (air) merupakan faktor penentu utama dalam

tingkat berlangsungan hidup organisme air. Menurut Kusdiarti et al.,(2003) media

pemeliharaan organisme budidaya harus mampu mendukung kehidupan dan

pertumbuhan organisme yang dibudidayakan. Organisme akuatik memerlukan

lingkungan yang nyaman untuk dapat tumbuh secara optimal dan sehat. Bila

lingkungan tidak memenuhi syarat, organisme akuatik akan mengalami stres dan

mudah terserang penyakit yang menyebabkan kematian. Terdapat beberapa

parameter utama yang dapat diamati yaitu parameter fisika dan kimia (Kodri dan

Tancung., 2007).

Pengelolaan kualitas air yang baik dapat membantu pertumbuhan dan

kelangsungan hidup udang. Parameter kualitas air yang sering diamati dalam

kegiatan peliharaan udang vaname yaitu suhu, oksigen terlarut, pH, dan salinitas.

17
Pengukuran parameter kualitas air dilakukan sehari dua kali pada waktu pagi dan

sore hari (Untara et al., 2018).

2.5.1 Suhu
Suhu adalah salah satu parameter fisika air yang merupakan faktor

pembatas bagi kehidupan organisme akuatik dan paling mudah untuk diamati.

Aktivitas metabolisme serta penyebaran organisme air dapat dipengaruhi oleh

suhu air (Hamuna et al., 2018).

Suhu optimal pertumbuhan udang antara 26-32 ºC jika suhu lebih dari

angka optimum maka metabolisme dalam tubuh udang akan berlangsung cepat.

Imbasnya pada kebutuhan oksigen terlarut meningkat (Suliswati, 2016). Jika suhu

dalam kisaran yang optimum maka metabolisme udang akan berlangsung cepat

dan kebutuhan oksigen meningkat, pada suhu rendah metabolisme udang menjadi

rendah dan secara nyata berpengaruh nyata terhadap nafsu makan udang yang

menurun (Mudjiman dan Suyanto, 2001).

2.5.2 Salinitas

Salinitas merupakan faktor perbatas parameter fisika air selain suhu.

Salinitas merupakan konsentrasi seluruh larutan garan yang diperoleh dalam air

laut dan berpengaruh terhadap tekanan osmotik air, semakin tinggi salinitas maka

akan semakin besar pula tekanan osmotiknya. Salinitas merupakan kadar ion-ion

dalam air secara keseluruhan, komposisi ion-ion dalam air laut didominasi oleh

khlorida, karbonat, bikarbonat, sulfat, natrium, kalsium, dan magnesium (Kordi

dan Tancung., 2007).

18
Udang vaname memiliki toleransi salinitas yang lebar, yaitu dari 2-40 ppt,

tapi akan tumbuh cepat pada salinitas yang lebih rendah, saat lingkungan dan

darah isoosmotik (Wyban et al., 1991).

2.5.3 Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen/DO)

Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas dan salah satu parameter

kimia air. Oksigen terlarut adalah total jumlah oksigen terlarut di air. Oksigen

terlarut dibutuhkan oleh sebagian besar jasad hidup untuk pernapasan, proses

metabolisme untuk pertumbuhan dan perkembang biakan. Selain itu, oksigen

dibutuhkan untuk proses oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam

proses aerobik (Hamuna, 2018).

Menurut Rahardjo et al., (2003) konsentrasi oksigen terlarut pada tambak

yang baik untuk budidaya udang vaname adalah 3,5 – 7,5 mg/l. Level oksigen

terlarut (DO) minimum yang dapat ditolerir ikan dengan aman bergantung pada

suhu hingga batas – batas tertentu untuk tiap spesies. Kelarutan oksigen dalam air

naik sejalan dengan penurunan suhu. Pada kolam, DO dapat berubah secara

dramatis selama periode 24 jam. Konsentrasi DO pada benur menurut SNI 7311

(2009) adalah 5 mg/l.

2.5.4 Derajat Keasaman (Puissance Negatif de H /pH)

Derajat Keasaman merupakan logaritma negatif dari konsentrasi ion-ion

hidrogen yang terdapat dalam suatu cairan dan merupakan indikator baik

buruknya suatu perairan. pH air merupakan salah satu parameter kimia yang

sangat penting dalam memantau kestabilan perairan (Hamuna, 2018).

pH air yang asam sangat tidak produktif dan dapat menyebabkan kematian

pada organisme akuatik. pH asam yang tinggi akan menyebabkan kandungan

19
rendahnya kandungan oksigen terlarut, sebagai akibatnya konsumsi oksigen

menurun, aktifitas pernafasan naik dan nafsu makan ikan berkurang. Hal itu dapat

berbanding terbalik apabila pada kondisi basah (Kodri dan Tancung, 2007).

Haliman dan Adijaya (2005) menyatakan bahwa derajat keasaman (pH)

yang baik untuk budidaya udang vaname adalah 7,5 – 8,5. Selanjutnya Effendi

(2000) menyatakan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap

perubahan pH dan menyukai pH sekitar 7-8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi

proses biokimiawi perairan, misal proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah.

2.5.5 Amonia (NH3)

Kualitas air merupakan salah satu syarat keberhasilan budidaya. Salah satu

masalah utama dalam manajemen kualitas air adalah adanya akumulasi amonia.

Jumlah amonia diekskresikan oleh ikan/udang bervariasi tergantung jumlah pakan

dimasukkan ke dalam kolam atau sistem budidaya (Durborow et al., 1997)

Amonia merupakan sisa proses metabolisme organisme budidaya.

Amonium (NH4+) bersifat non toksik, sedangkan yang berbentuk tak terionisasi

(NH3) bersifat sangat toksik. Konsentrasi NH3 dipengaruhi atau ditentukan oleh

pH dan suhu perairan. Melalui proses nitrifikasi, amonia akan dioksidasi oleh

bakteri menjadi nitrit (NO2) dan nitrat (NO3). Sebaliknya melalui proses

dinitrifikasi nitrat akan direduksi oleh bakteri oleh bakteri menjadi nitrit dan dari

nitrit menjadi ammonia atau N2 (Affandi dan Usman, 2002).

Konsentrasi amonia yang tinggi akan mengiritasi insang udang sehingga

dapat menyebabkan hiperplasia (pembekakan filamen insang) yang akan

mengurangi kemampuan darah udang mengikat oksigen dari air, level amonia

yang tinggi di perairan juga dapat meningkatkan konsentrasi amonia di dalam

20
darah. Tingginya konsentrasi amonia dalam darah akan mengurangi afinitas

pigmen darah (hemocyanin) dalam mengikat oksigen, selain itu tingginya

konsentrasi amonia dapat meningkatkan kerentanan udang terhadap penyakit

(Van Wyk et al., 1999).

2.5.6 Nitrit dan Nitrat (NO2- dan NO3-)

Kandungan nitrit yang tinggi dalam perairan sangat berbahaya bagi udang

dan ikan, karena nitrit dalam darah mengoksidasi hemoglobin menjadi

metahemoglbin yang tidak mampu mengedarkan oksigen, kandungan nitrit

sebaiknya lebih kecil dari 0,3 ppm. Kadar oksigen terlarut dalam air merupakan

faktorv pembatas dan sangat berpengaruh terhadap berlangsungnya proses

nitrifikasi. Pada salinitas diatas 20 ppt, batas ambang aman nitrit adalah < 2.ppm

(Suharyadi, 2011).

Nitrat (NO3-) adalah ion-ion organik alami, yang merupakan bagian dari

siklus nitrogen. Nitrat dibentuk dari asam nitrit yang berasal dari amonia melalui

proses oksidasi katalistik. Nitrat pada konsentrasi tinggi bersama-sama dengan

phosphpor akan menyebabkan alga blooming sehingga manyebabkan air menjadi

berwarna hijau (green-colored water) dan penyebab eutrofikasi (Manampiring,

2009). Kadar nitrat yang baik untuk perairan adalah 2-5 mg/l (Nurhidayat, 2009).

2.6 Hipotesis Penelitian

H0 : Jenis fiter yang berbeda tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan

dan kelangsungan hidup larva udang vaname (Litopenaeus vanamei).

H1 : Jenis fiter yang berbeda memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan

kelangsungan hidup larva udang vaname (Litopenaeus vanamei).

21
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu Dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai Juli 2021, bertempat di

UPTD Balai Perikanan Budidaya Laut dan Payau Dinas Kelautan dan Perikanan,

Desa Lamu, Kecamatan Tilamuta, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo.

3.2 Alat Dan Bahan

3.2.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini, dapat dilihat pada tabel 1

berikut :

Tabel 1. Alat yang Digunakan dalam Penelitian


No. Alat Fungsi
1. Akuarium Wadah pemeliharan
2. Unit filtrasi Tempat media filter
3. Perangkat sistem Menyuplai oksigen pada media
Aerasi budidaya.
4. Timbangan digital Menimbang hewan uji dan pakan
5. Jangka Sorong digital Mengukur panjang hewan uji
6. Gelas Ukur Menghitung pakan yang diberikan dan
volume air
7. Refraktometer Mengukur kadar Salinitas
8. DO meter Mengukur kandungan oksigen
9. pH meter Mengukur tingkat keasaman
10. Termometer Mengukur suhu
11. Teskit Mengukur kadar amonia
12. Kamera Pengambilan dokumentasi
13. Alat Tulis Menulis Mencatat hasil pengamatan
3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, dapat dilihat pada tabel 2

berikut :

Tabel 2. Bahan yang Digunakan dalam Penelitian


No. Bahan Fungsi
1. Udang Vaname PL10 Hewan uji
2. Air dengan salinitas 30 ppt Media uji
3. Pellet. Pakan udang
4. Bahan Filter (Zeolit, pasir Media Filter
silika, ijuk, batu, kerikil,
22
bioball)
3.3 Metode Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimen

dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan

dan tiga ulangan. Adapun perlakuan yang digunakan adalah sebagai berikut:

a. Perlakuan A, Zeolit, Pasir, Ijuk

b. Perlakuan B, Batu, Kerikil, Ijuk

c. Perlakuan C, Bioball, Ijuk, Pasir

d. Perlakuan D, Tanpa Filter, (Kontrol)

Tabel 3. Perlakuan dan Ulangan

Perlakuan Ulangan

A A1 A2 A3

B B1 B2 B3

C C1 C2 C3

D D1 D2 D3

Rancangan acak lengkap (RAL) merupakan jenis rancangan percobaan

yang paling sederhana. Pada umumnya, rancangan ini biasa digunakan untuk

percobaan yang memiliki media atau lingkungan percobaan yang seragam atau

homogen (Mattjik & Sumertajaya, 2000). Adapun model rancangan acak lengkap

adalah sebagai berikut (Sastrosupadi, 2000).

Y ij =μ+ τ i+ ϵ ij

23
Dimana :
i = 1,2, …, t dan j = 1,2, …r
Yij = respon atau nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ = rata-rata umum
τi = pengaruh perlakuan ke-i.
∈ij = pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j.

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Wadah Pemeliharaan

Wadah yang digunakan pada penelitian adalah akuarium berukuran

40x30x30 cm dengan volume air 20 liter. Wadah penelitian berjumlah 12 buah.

Wadah ditempatkan di meja dengan posisi 4 berurutan dan 3 baris.

B3 C2 C3 B2

D1 C1 A1 A3

A2 D3 B1 D2

Gambar 10. Letak Wadah Perlakuan

3.4.2 Media Filter

Pemasangan media filter akan dilakukan sesuai dengan perlakuan yang

telah dibuat yaitu Perlakuan A, Zeolit, Pasir, Ijuk. Perlakuan B, Batu, Kerikil dan

Ijuk. Perlakuan C, Bioball, Ijuk Dan Pasir. Perlakuan D, Tanpa Filter, (Kontrol)

dengan susunan filter yang berbentuk horizontal. Sistem filtrasi dilengkapi dengan

pompa yang berfungsi untuk menyuplai media air ke wadah pemeliharaan dari

24
tempat penampung air yg telah melalui filter. Pembersihan filter dilakukan setiap

tiga hari sekali agar kotoran yang terdapat pada filter tidak menumpuk sehingga

kualitas air tetap terjaga dengan baik.

3.4.3 Biota Akuatik Uji

Biota akuatik yang diujikan pada penelitian ini yaitu udang vaname stadia

PL10. Menurut Wayuni (2018) kriteria larva udang vaname yang baik adalah

mencapai ukuran PL 10 atau organ insangya telah sempurna, seragam atau rata,

tubuh benih dan usus terlihat jelas, berenang melawan arus. Kepadatan larva tiap

wadah pemeliharaan yaitu 1 individu per liter dengan volume air 20 liter per

wadah.

3.4.4 Media Pemeliharaan

Media pemeliharaan udang vaname yaitu air laut dengan tingkatan kadar

salinitas 29 ppt.

3.4.5 Pakan

Pakan yang digunakan pada penelitian ini adalah pellet yang berbentuk

tepung dengan kandungan protein 32% dan dosis 25% dari bobot biomassa.

Sebelum pakan diberikan, pakan ditimbang terlebih dahulu menggunakan

timbangan digital lalu setelahnya pakan ditebar secara merata pada wadah secara

langsung.

3.5 Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian ini dimulai dengan persiapan alat dan bahan, biota uji,

media pemeliharaan, pakan. Tahapan penelitian diawali dengan pembersihan

akuarium, setelah itu pengisian media air dan pemasangan aerasi tiap wadah.

25
Kemudian dilanjutkan dengan pemasangan pompa dan bahan filter sesuai dengan

perlakuan yang dilakukan.

Udang awalnya di aklimatisasi telebih dahulu sebelum masuk pada wadah

pemeliharan. Setelah proses aklimatisasi, udang uji ditimbang serta dicatat untuk

mengetahui bobot sebagai data awal penelitian. Setelah itu udang uji dimasukkan

dalam wadah penelitian yang telah terisi media air dengan padat tebar 20

ekor/akuarium dengan volume air 20 liter. Pemberian pakan diberikan secara

aglibitum (sampai kenyang) yang dilakukan setiap 4 kali dalam sehari yaitu pukul

06.00, 11.00, 16.00, dan 21.00 WITA menggunakan pakan pellet.

3.5.1 Pengamatan Larva Udang Vaname

Pengamatan dalam penelitian ini yaitu pertumbuhan, tingkat kelangsungan

hidup dan kualitas air. Pada pengamatan pertumbuhan panjang dan bobot ikan,

untuk mendapatkan data maka dilakukan sampling sejumlah 50% dari jumlah

total populasi individu dalam wadah. Pengambilan sampel dalam setiap wadah

dilakukan secara acak. Sedangkan untuk tingkat kelangsungan hidup tetap secara

keseluran jumlah individu.

3.5.2 Pengamatan Pertumbuhan Panjang Udang

Panjang tubuh udang akan diukur setiap 7 hari dari awal sampai akhir

penelitian. Pengukuran sampel udang windu diukur menggunakan kaliper (jangka

sorong) dan papan ukur dengan ketelitian 0,01 cm, kemudian dicatat pada buku

pengamatan.

3.5.3 Pengukuran Tingkat Kelangsungan Hidup

26
Pengamatan tingkat kelangsungan hidup dilakuakan setiap hari. Jumlah

udang yang ada pada setiap wadah pemeliharaan dihitung setiap hari sekali dari

awal penelitian hingga akhir penelitian. Jumlah udang yang hidup dan yang mati,

dan akan dimasukkan dalam tabel untuk dikalkulasi.

3.5.4 Kualitas Air

Parameter kualitas air yang diamati pada penelitian ini yaitu suhu,

salinitas, pH (derajat keasaman), oksigen terlarut (DO), Amonia (NH3).

Pengukuran suhu dilakukan setiap hari. Sedangkan untuk pengukuran salinitas,

pH dan DO dilakukan 2 kali setiap 7 hari yaitu pada saat sebelum dan sesudah

melakukan pengukuran panjang dan bobot larva. Untuk pengukuran kandungan

amonia diukur pada awal penelitian dan akhir penelitian. Pengambilan sampel

kualitas air dilakukan sejak awal penelitian hingga akhir. Pengamatan suhu dan

pH menggunakan termometer dan pH meter digital, untuk salinitas dan oksigen

menggunkan refrakto dan DO meter dan untuk pengamatan kandungan amonia

menggunakan teskit.

3.6 Variabel Penelitian

3.6.1 Pertumbuhan Panjang Mutlak

Pertumbuhan panjang mutlak adalah selisih panjang total tubuh udang

pada awal pemeliharaan dan akhir pemeliharaan. Pertumbuhan panjang mutlak

dihitung menggunakan rumus Effendi et al, 2006 sebagai berikut :

L = L2 - L1

27
Keterangan:
L = Pertumbuhan panjang mutlak (cm);
L2 = panjang akhir (cm);
L1 = panjang awal (cm)

3.6.2 Pertumbuhan Bobot Mutlak

Penghitungan pertumbuhan bobot mutlak menggunakan rumus

Weatherley I972 dalam Dewantoro, 2001 sebagai berikut :

W = Wt-W0

Keterangan :
W = Pertumbuhan bobot mutlak (g)
Wt = Bobot ikan akhir pemeliharaan (g)
W0 = Bobot ikan awal pemeliharaan (g)

3.6.4 Laju pertumbuhan Relatif (RGR)

Laju pertumbuhan relatif adalah pertumbuhan relatif terhadap ukuran

populasi. Hal ini juga disebut tingkat pertumbuhan eksponensial atau tingkat

pertumbuhan yang berkelanjutan.

lnWt −ln W 0
RGR= x 100 %
t

Keterangan:
RGR : Laju pertumbuhan relatif
Ln Wt : Berat ikan akhir penelitian
Ln W0 : Berat ikan awal penelitian
t : Waktu penelitian (lama penelitian)

3.6.5 Laju pertumbuhan Harian (DGR)

Laju pertumbuhan harian adalah pertambahan berat udang setiap harinya

selama pemeliharaan. Laju pertumbuhan harian dihitung dengan rumus sebagai

berikut (Zonneveld et al, 1991)

α= (√ )
t wt
w0
−1 x 100 %

dimana:

28
α = Laju pertumbuhan harian (%),
Wt = bobot rata-rata pada akhir perlakuan
(hari ke – t) (gr),
W0 = bobot rata-rata pada awal perlakuan (hari ke – 0) (gr).

3.6.6 Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat kelangsungan hidup merupakan presentase jumlah biota yang

hidup pada akhir waktu tertentu (Cholik, et al., 2005), adalah sebagai berikut :

Nt
SR= x 100 %
No

Dimana :
SR = Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt = Jumlah benih akhir penelitian ke-t
No = Jumlah awal benih

3.6.7 Kualitas Air

Pengukuran parameter kualitas air yang meliputi Suhu, Salinitas, Oksigen

Terlarut, pH. diukur 2 kali setiap 7 hari yaitu pada saat sebelum dan sesudah

melakukan pengukuran variabel pengamatan dan untuk pengukuran kandungan

Amonia diukur pada awal penelitian dan akhir penelitian.

3.7 Analisis Ragam (ANOVA)

Analisa ragam (ANOVA) dilakukan untuk mengetahui pengaruh

perlakuan terhadap pertumbuhan mutlak dan tingkat kelangsungan hidup, apabila

hasil analisis terdapat perbedaan dalam taraf kepercayaan 95% maupun 99% maka

dilanjutkan uji terhadap nilai tengah dengan uji BNT untuk mengetahui perlakuan

yang terbaik (Steel and Torrie, 1980)

Tabel 4. Analisis Ragam (ANOVA)


Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung F Tabel
Keragaman Bebas kuadrat Tengah

Perlakuan (t-1) JKP KTP = JKP

29
(t-1) KTP/KTG
Galat t (r-1) JKG TKG =
JKG/t(r-1)
Total t.r-1 JKT

Kaidah keputusan yakni sebagai berikut :


1. Jika Fhit (KTP/KTG)  Ftabel (5%, DB perlakuan, DB galat) maka H0

diterima, hai ini berarti perlakuan tidak berpengaruh nyata.


2. Jika Fhit (KTP/KTG)  Ftabel (5%, DB perlakuan, DB galat) maka H1

diterima, hai ini berarti perlakuan berpengaruh nyata.


3. Jika Fhit (KTP/KTG)  Ftabel (1%, DB perlakuan, DB galat) maka H0

diterima, hai ini berarti perlakuan berpengaruh sangat nyata.

BAB IV
HASIL DAN PEMBHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Kualitas Air

Hasil pengukuran kualitas air udang vaname dengan system resirkulasi


menggunakan kombinasi filter yang berbeda (perlakuan A: zeolit, silika,
perlakuan B : batu apung, kerikil, perlakuan C : bioball, silika ) pada setiap

30
perlakuan yang dipelihara selama 45 hari yang meliputi suhu, DO, pH, salinitas,
amonia, nitrit, nitrat dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Paramter Kualitas Air
Perlakua Ulangan Suhu DO pH Salinita Amoni Nitrat Nitrit
n (oC) (mg/ s a (mg/l) (mg/
l) (ppt) (mg/l) l)
1 27.37 7.2 7.27 31.1
A 2 27.39 7.1 7.31 32.3 0.63 <1.0 1.0
3 27.41 7.2 7.27 32.6
1 27.31 7.1 7.27 32
B 2 27.47 7.2 7.30 31.7 0.11 0.9 1.0
3 27.36 7.2 7.30 31.9
1 27.40 7.2 7.30 31.1
C 2 27.39 7.2 7.30 31 0.29 1.0 1.0
3 27.46 7.2 7.30 32
1 27.39 7.1 7.29 31.9
D 2 27.41 7.1 7.30 32.1 0.08 1.9 1.0
3 27.33 7.1 7.33 32.6

4.1.2 Analisis Sidik Ragam (ANOVA)


Berdasarkan dari pengukuran Suhu, DO, pH, Salinitas, Amonia, Nirat, dan
nitrit pada setiap perlakuan, didapatkan hasil analisis sidik ragam dari setiap
parameter sebagai berikut
A. Suhu
Rata-rata suhu pada setiap perlakuan dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Perlakua Ulangan
Jumlah
n 1 2 3
A 27.37 27.39 27.41 82.17
B 27.31 27.47 27.36 82.14
C 27.40 27.39 27.46 82.24
D 27.39 27.41 27.33 82.13
Jumlah 109.47 109.66 109.56 328.69
Setelah dilakukan perhitungan analisis sidik ragam, didapatkan hasil
sebagai berikut.
Sumber Ftabel
DB JK KT Fhitung
Keragaman 0.05 0.01
Perlakuan 3 0.002585 0.000862
Gallat 9 0.020816 0.002313 0.37 … …
Total 11 0.023401 0.002127

31
B. Disolved Oxygen (DO)
Rata-rata suhu pada setiap perlakuan dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Perlakua Ulangan
Jumlah
n 1 2 3
A 7.18 7.12 7.18 21.48
B 7.1 7.15 7.18 21.43
C 7.18 7.21 7.22 21.61
D 7.07 7.1 7.12 21.29
Jumlah 28.53 28.58 28.7 85.81

Setelah dilakukan perhitungan analisis sidik ragam, didapatkan hasil


sebagai berikut.
Ftabel
Sumber Keragaman DB JK KT Fhitung
0.05 0.01
Perlakuan 3 0.01749 0.00583
6.7275
Gallat 9 0.00780 0.00087 .. ..
6
Total 11 0.02529 0.00230

C. pH
Rata-rata suhu pada setiap perlakuan dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Perlakua Ulangan
Jumlah
n 1 2 3
A 7.27 7.31 7.27 21.86
B 7.27 7.30 7.30 21.87
C 7.30 7.30 7.30 21.90
D 7.29 7.30 7.33 21.91
Jumlah 29.13 29.21 21.87 87.54

Setelah dilakukan perhitungan analisis sidik ragam, didapatkan hasil


sebagai berikut.
Fhitun Ftabel
Sumber Keragaman DB JK KT
g 0.05 0.01
0.000680 0.00022
Perlakuan 3 3 7
0.002721 0.00030 0.75 … …
Gallat 9 1 2
Total 11 0.003401 0.00030

32
4 9

D. Salinitas

Rata-rata suhu pada setiap perlakuan dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Perlakua Ulangan
Jumlah
n 1 2 3
A 31.7 32.3 32.6 96.57
B 32.0 31.7 31.9 95.57
C 31.1 31.0 32.0 94.14
D 31.9 32.1 32.6 96.57
Jumlah 126.71 127.14 129.00 382.86

Setelah dilakukan perhitungan analisis sidik ragam, didapatkan hasil


sebagai berikut.

Fhitun Ftabel
Sumber Keragaman DB JK KT
g 0.05 0.01
Perlakuan 3 1.320 0.440
Gallat 9 1.265 0.141 3.129 … …
Total 11 2.585 0.235

E. Amonia
Rata-rata suhu pada setiap perlakuan dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Perlakua Ulangan
Jumlah
n 1 2 3
A 0.63 0.63 0.63 1.89
B 0.11 0.11 0.11 0.33
C 0.29 0.29 0.29 0.87
D 0.08 0.08 0.08 0.24
Jumlah 1.11 1.11 1.11 3.33

4.1.2 Pertumbuhan Panjang Mutlak


Hasil perhitungan Pertumbuhan panjang mutlak udang vaname disajikan
pada tabel dibawah ini.
Perlakua Ulangan Jumlah
n 1 2 3
A 47.38 38.26 36.19 121.84

33
B 39.49 36.63 30.87 106.99
C 41.23 37.01 38.95 117.19
D 36.86 37.28 27.45 101.60
Jumlah 164.96 149.18 133.46 447.60

Setelah dilakukan perhitungan analisis sidik ragam, didapatkan hasil


sebagai berikut.
Sumber DB JK KT Fhitung Ftabel
Keragaman 5% 1%
Perlakuan 3 85.66 28.55 1.43
Gallat 9 180.15 20.02
Total 11 265.81 24.16
4.1.2 Pertumbuhan Bobot Mutlak
Hasil perhitungan Pertumbuhan bobot mutlak udang vaname disajikan
pada tabel dibawah ini.
Perlakua Ulangan Jumlah
n 1 2 3
A 0.41 0.60 0.44 1.45
B 0.37 0.41 0.43 1.21
C 0.52 0.47 0.38 1.36
D 0.44 0.39 0.32 1.15
Jumlah 1.74 1.87 1.57 5.18

Setelah dilakukan perhitungan analisis sidik ragam, didapatkan hasil


sebagai berikut.
Sumber DB JK KT Fhitun Ftabel
Keragaman g 5% 1%
Perlakuan 3 0.02 0.01
Gallat 9 0.04 0.00 1.45
Total 11 0.06 0.01

4.1.4 Tingkat Kelangsungan Hidup


Hasil perhitungan tingkat kelangsungan hidup udang vaname disajikan
pada tabel dibawah ini.
Perlakua Ulangan Jumlah
n 1 2 3
A 41 40 40 121
B 41 41 38 120

34
C 42 40 41 123
D 40 40 39 119
Jumlah 164 161 158 483

Setelah dilakukan perhitungan analisis sidik ragam, didapatkan hasil


sebagai berikut.
Sumber DB JK KT Fhitung Ftabel
Keragaman 5% 1%
Perlakuan 3 2.92 0.97 0.94 .. ..
Gallat 9 9.33 1.04
Total 11 12.25 1.11

4.2 Pembahasan

4.2.1 Kualitas Air

Kualitas media pemeliharaan merupakan faktor penentu utama dalam


tingkat berlangsungan hidup organisme air. Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan, kualitas air udang vaname (Litopeaneus Vannamei) yang
dipelihara dengan sistem resirkulasi menggunakan kombinasi filter yang berbeda,
didapatkan hasil adanya perbedaan.

A. Suhu

Suhu adalah salah satu parameter fisika air yang merupakan faktor

pembatas bagi kehidupan organisme akuatik dan paling mudah untuk diamati.

(Hamuna et al., 2018).

Suhu optimal pertumbuhan udang antara 26-32 ºC jika suhu lebih dari

angka optimum maka metabolisme dalam tubuh udang akan berlangsung cepat.

Imbasnya pada kebutuhan oksigen terlarut meningkat (Suliswati, 2016).

35
28.5
28
27.5
Perlakuan A

(C)
27 Perlakuan B
26.5 Perlakuan C
Perlakuan D
26
0 1 2 3 4 5 6
Minggu

Pada awal penelitian, suhu media yang digunakan yaitu 27 oC di setiap

wadah perlakuan. Bersadarkan grafik diatas, suhu pada setiap perlakuan berkisar

antara 27-28,2oC. Peningkatan suhu tertinggi terjadi pada minggu ke-5 dengan

nilai rata-rata perlakuan A, (Zeolit, Silika) 28,1 oC, perlakuan B (Batu Apung,

Kerikil) 28,2oC, perlakuan C (Bioball, Silika) 28,1oC dan perlakuan D 28,2oC

sedangkan suhu terendah pada minggu ke-6 dengan nilai rata-rata perlakuan A

27,1oC, perlakuan B 27,1oC, perlakuan C 27,1oC dan perlakuan D 27,2oC.

Pada minggu ke-1, suhu pada setiap perlakuan mengalami peningkatan

dengan nilai rata-rata perlakuan A (Zeolit, Silika) 27,7oC, perlakuan B 27,5oC,

perlakuan C 27,8oC dan perlakuan D 27,7oC dan pada minggu ke-2 mengalami

penurunan dengan kisaran nilai rata-rata 27,2oC-27,4oC dan pada minggu ke-3

kembali mengalami peningkatan hingga minggu ke-5 Dengan nilai rata-rata

Pada minggu ke-2 dan ke-6 mengalami penurunan. Hal ini disebabkan

oleh cuaca pada saat itu (mendung). Hal ini didukung oleh pernyataan oleh

Zonneveld (1991) yang menyatakan bahwa salah satu penyebab menurunya suhu

pada perairan yaitu cuaca yang mendung yang mengakibatkan metabolisme

menurun hingga nafsu makan berkurang.

36
Berdasarkan hasil diatas, setiap perlakuan cenderung mendekati standar

yang ditentukan SNI 8037.1.2014 yang mana telah ditetapkan suhu optimum

dalam pemeliharaan udang vaname yaitu 28-33oC.

B. Disolved Oxygen (DO)

Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas dan salah satu parameter

kimia air. Oksigen terlarut adalah total jumlah oksigen terlarut di air (Hamuna,

2018). konsentrasi oksigen yang baik untuk budidaya udang vaname adalah 3,5 –

7,5 mg/l (Rahardjo et al., 2003).

7.5
7.4
7.3
7.2
(mg/l)

Perlakuan A
7.1
Perlakuan B
7
Perlakuan C
6.9 Perlakuan D
6.8
0 1 2 3 4 5 6
MInggu

Kandungan oksigen terlarut yg didapatkan pada awal penelitian yaitu 7.2

mg/l untuk setiap wadah perlakuan. Berdasarkan grafik diatas, oksigen terlarut

pada setiap perlakuan berkisar antara 7-7,4 mg/l. Nilai oksigen terlarut terendah

berada pada perlakuan D yaitu dengan kisaran rata-rata 7 mg/l pada minggu ke-1

dan ke 5. Sedangkan nilai tertinggi pada perlakuan C yaitu dengan rata-rata 7.4

mg/l pada minggu ke-2

Perubahan DO setiap minggu pada tiap perlakuan cenderung tidak stabil.

Dalam arti, selalu terjadi kenaikkan dan penurunan setiap minggu.. Walaupun

demikian, kisaran kandungan oksigen terlarut pada setiap perlakuan berada

dibatas aman untuk budidaya udang vaname berdasarkan SNI 8037.1.2014,

kandungan oksigen terlarut untuk pemeliharaan udang vaname yaitu < 4,0 mg/l.

37
Hal ini juga didukung oleh pernyataan Sedana et al, (2001) bahwa

kandungan oksigen terlarut dapat digolongkan menjadi empat, yaitu kandungan

lebih atau sama dengan 8 mg/l digolongkan sangat baik, kurang dari 6 mg/l

digolongkan baik, kurang dari 4 mg/l kritis serta 2 mg/l digolongkan sangat

buruk.

C. pH

Derajat Keasaman merupakan logaritma negatif dari konsentrasi ion-ion

hidrogen yang terdapat dalam suatu cairan dan merupakan indikator baik

buruknya suatu perairan. pH air merupakan salah satu parameter kimia yang

sangat penting dalam memantau kestabilan perairan (Hamuna, 2018).

7.6
7.5
7.4
7.3
7.2 Perlakuan A
7.1 Perlakuan B
7 Perlakuan C
6.9 Perlakuan C
6.8
0 1 2 3 4 5 6
Minggu

Kandungan pH yang didapatkan pada awal penelitan yaitu 7.1. Hasil

pengukuran pH rata-rata tiap perlakuan yaitu berkisar antara 7.1-7.5. Berdasarkan

grafik diatas, pada minggu pertama. Pada perlakuan A dan perlakuan B meningkat

dengan nilai rata-rata 7.4 sedangkan pada perlakuan C dan D meningkat dengan

nilai rata-rata 7.5.

Pada minggu ke-2 nilai pH pada setiap masing-masing perlakuan

cenderung mengalami penurunan ke angka 7,3 dan nilai pH tersebut cenderung

tetap hingga akhir penelitian. Nilai tersebut mendekati SNI 8037.1.2014, bahwa

standar minimum nilai pH untuk budidaya udang vaname yaitu 7,5.

38
Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan dari Effendi (2000) yang

menyatakan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH

dan menyukai pH sekitar 7-8,5. pH berpengaruh terhadap toksisitas beberapa

senyawa kimia air. Daya racun amonia akan meningkat dengan adanya pH.

Amonia yang tidak terionisasi konsentrasinya lebih tinggi pada peraian yang

memiliki pH yg tinggi (Boyd, 1990).

D. Salinitas

Salinitas merupakan faktor perbatas parameter fisika air selain suhu.

Salinitas merupakan konsentrasi seluruh larutan garan yang diperoleh dalam air

laut dan berpengaruh terhadap tekanan osmotik air, semakin tinggi salinitas maka

akan semakin besar pula tekanan osmotiknya. (Kordi dan Tancung., 2007).

40

30

20 Perlakuan A
ppt

Perlakuan B
10 Perlakuan C
Perlakuan D
0
0 1 2 3 4 5 6
MIinggu

Kadar salinitas yang digunakan pada awal penelitian yaitu 29 ppt. hasil

pengukuran tingkat salinitas pada penelitian ini berkisar antara 29 ppt hingga 35

ppt. Berdasarkan grafik diatas, kadar salinitas pada tiap perlakuan cenderung terus

mengalami peningkatan di setiap minggunya.

Hal ini diduga disebabkan karena terjadinya penguapan mengingat tinggi

air pada setiap wadah sedikit mengalami penurunan tinggi air pada setiap

minggunya. Hal ini didukung dengan pernyataan Astuti (2007) yang menyatakan

39
bahwa salinitas tinggi dipengaruhi oleh pasang surut, curah hujan, penguapan,

presipitasi dan topografi pada suatu perairan.

Pada minggu pertama, kadar salinitas pada perlakuan A berada pada

kisaran rata-rata 30,7 ppt dan pada perlakuan B,C dan D memiliki nilai

kandungan yang sama yaitu dengan nilai kandungan rata-rata 30,3 ppt.

Tingkat kadar salinitas pada setiap perlakuan terus mengalami

peningkatan disetiap minggunya hingga mencapai nilai rata–rata 34,3-33,7 ppt.

Namun kisaran tersebut masih dikategorikan pada kisaran yang baik untuk

pemeliharaan udang vaname berdasarkan SNI 8037.1.2014 bahwa kisaran

minimum kandungan salinitas pada budidaya udang vaname yaitu 30-33 ppt.

Hal ini pun didukung oleh pernyataan Haliman dan Adijaya, (2005)

dengan rentang salinitas yang masih dapat di tolerir untuk pertumbuhan udang

vannamei yaitu 1 sampai 42 ppt dan salinitas yang optimum bagi pemeliharaan

larva kisaran antara 15-30 ppt ( Suprapto, 2005), udang vannamei termasuk

orgnisme akuatik tipe osmoregulator, kemampuan osmoregulasinya sangat

tergantung pada tingkat salinitas medianya.

4.2.2 Tingkat Kelangsungan Hidup

Persentase tingkat kelangsungan hidup udang vaname (Litopeaneus

Vannamei) disajikan pada grafik dibawah ini.

40
100.00
80.67 80.00 82.00 79.33

Kelangsungan Hidup (%)


80.00

60.00

40.00

20.00

0.00
A B C D
Perlakuan

Berdasarkan grafik diatas, persentase tingkat kelangsungan hidup udang


vaname tertinggi yaitu pada perlakuan C (bioball, silika) dengan persentase
82,00%. Sedangkan persentase tingkat kelangsungan hidup udang vaname
terendah yaitu pada perlakuan D dengan persentase 79,33%.

41
DAFTAR PUSTAKA

Adinawan, M. Cholik dan Sugijono. 2005. Matematika SMP/MTs Jilid 1. Jakarta:


Erlannga.

Adiwidjaya, D., Rahardjo, S.P., Suktiono, E., Sugeng & Subiyanto. 2003.
Petunjuk teknis budidaya udang vaname (Litopeaneus vannamei) system
tertutup yang ramah lingkungan. Departemen Kelautan dan Perikanan
Direktorat Jendral Perikanan Budidaya, Balai Pasar Pengembangan
Budidaya Air Payau, Jepara, 19 hlm

Affandi, R dan U. M. Tang, 2002. Fisiologi hewan air. UNRI Press. Pekanbaru.

Amrizal, A. Munzir dan Elfrida. 2015. Pengaruh Penggunaan Bahan Filter Yang
Berbeda Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Benih Ikan Nila
(Oreochromis Niloticus). Skripsi, Fakutas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Bung Hatta Padang. Sumatera Barat.

Anggoro, S. 1992. Efek osmotik berbagai tingkat salinitas media terhadap daya
tetas telur dan vitalitas larva udang windu, Penaeus monodon Fabricius.
Disertasii, Fak. Pascasarjanan, IPB, Bogor. 127 halaman.

Asmadi, Khayan, Kasjono H.S. 2011. Teknologi Pengolahan Air Minum.


Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Darmayanti, L. Yohanna L., dan Josua MTS. 2011. Pengaruh Penambahan Media
pada Sumur Resapan Dalam Memperbaiki Kualitas Air Limbah Rumah
Tangga. Jurnal Sains dan Teknologi 10: 61-66.

Djokosetiyanto, D., A. Sunarma., dan Widanarni. 2006. Perubahan Ammonia


(NH3-N), Nitrit (NO2-N) dan Nitrat (NO3-N) pada Media Pemeliharaan
Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) di dalam Sistem Resirkulasi. Jurnal
Akuakultur Indonesia, V (1): 13-20.

Effendi, M.I. 1985.Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara, Yogyakarta.

Effendi, F. 2000, Budidaya Udang Putih. Penebar Swadaya. Jakarta

Effendi 2006, I N.J. Bugri, dan Widanarni. 2006. Pengaruh Padat Penebaran
Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Benih Ikan Gurami
(Osphornemus gouramy). Ukuran 2 cm. jurnal akuakultur Indonesia, 5(2):
127-135

Effendi. H 2003. Kualitas Air Bagi Pengengolaan Sumber Daya Dan Lingkungan.
Yokyakarta:Kanisius

Fairus, S et al. 2018. Proses Pembuatan Waterglass dan Pasir Silika Dengan
Pelebur Natrium Hidroksida, Jurnal teknik kimia Indonesia, 8(2), p. 56.
Doi: 10.5614/jkti.2009.8.2.4.

42
Fauzzia, M., Izza, R., dan Nyoman W. 2013. Penyisihan Amonia dan Kekeruhan
pada Sistem Resirkulasi Budidaya Kepiting dengan Teknologi Membran
Biolfiter. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri 2: 155- 161.

Ghufron, M., Lamid, M., Sari, P. W., & Suprapto, H. 2017. Teknik Pembesaran
Udang Vannamei (Litopeaneus Vannamei) pada Tambak Pendamping PT
Central Proteina Prima Tbk di Desa Randutatah, Kecamatan Paiton,
Probolinggo, Jawa Timur. Journal of Aquacultural and Fish Health, Vol.
7 No. 2 Hal 70-77.

Gutierrez-Wing, M.T. & Malone, R.F. 2006. Biological filters in aquaculture:


trends and research directions of freshwater and marine applications.
Departement of Civil and Environmental Enginering, Louisiana State
University, Baton Riouge, LA. USA, 34: 163-171:.

Hamuna, B., Tanjung, R., Suwito, Maury, K., Alianto. 2018. Kajian Kualitas Air
Laut dan Indeks Parameter Fisika-Kimia Di Perairan Distrik Depapre,
Jayapura. Jurnal Ilmu Lingkungan. Pascasarjana UNDIP. Semarang.

Humaedi, A. 2012. Pemanfaatan Batu Apung (Pumice) Sebagai Media Adsorpsi


Limbah Cair. Makalah Ilmiah. Banten: Jurusan Kimia Universitas
Mathla’ul Anwar.

Haliman, R.W. dan D. Adijaya S. 2005. Udang Vannamei. Penebar Swadaya.


Jakarta. 75 hlm..

Han, H., Fang, X., Wei, X., Liu, Y., Jin, Z., Chen, Q., dkk. 2017. Dose-Response
Relationship between Dietary Magnesium Intake, Serum Magnesium
Concentration and Risk of Hypertension: a System Review and
MetaAnalysis of Prospective Cohort Studies. Nutrition Journal. 16(26).

Iswandi, N., Rusliandi. dan Putra, I. 2014. Growth And Survival of Giant Prawns
(Macrobraachium Rosenbergii) Universitas Riau. Riau

Kalogeras, I. M. dan A. Dova, V., 1998, Electrical Properties of Zeolitic Catalyst,


Defect and Diffusion Forum, Vol. 164 pp. 1-36,.

Komandoko, G. 2010. Ensiklopedia Pelajar dan Umum. Yokyakarta: Pustaka


Widyatama

Kusdiarti, H. Mundriyanto, M. Yunus, I. Insan, N. Suhenda dan T. H. Prihadi.


2003. Penentuan kriteria kualitas air berdasarkan umur dan ukuran ikan
Patin jambal (Pangasius djambal). Prosiding Seminar Hasil Riset
BRPBAT tahun 2003. 21-34.

Kusnaedi. 2010. Mengolah Air Kotor untuk Air Minum. Jakarta:Swadaya

Kordi, K dan Andi Baso Tancung. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam
Budidaya Perairan. PT. Rhineka Cipta. Jakarta.

43
Kordi, G. H. K. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Penerbit Bina
Adiaksara dan Rineka Cipta. Jakarta.

Kusrini, E. Hadie, W. Alimuddin, Sumantadinata, K & Sudrajat, A. 2008. Studi


morfometrik udang jebrung (Fenneropenaeus meguensis) dari beberapa
populasi di perairan Indonesia. J. Ris. Akuakultur 4(1): 15-21.

Kumalasari F., Satoto Y. 2011. Teknik Praktis Mengolah Air Kotor Menjadi Air
Bersih. Bekasi: Laskar Aksara

Kusnaedi, 2006. Mengelolah Air Gambut Untuk Air Minum, Penebar Swadaya,
Jakarta

Karim, M. Y. 2005. Kinerja Pertumbuhan Kepiting Bakau Betina (Scylla serrata


Forskal) pada berbagai salinitas media dan evaluasinya pada salinitas
optimum dengan kadar protein berbeda (disertasi). Bogor. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Malik, I. 2014. Budidaya Udang Vannamei : Tambak Semi Intensif dengan


Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). WWF-Indonesia. Jakarta.
Halaman 3-30.

Manampiring, dr. A. E.,M.Kes. 2009. Studi Kandungan Nitrat (NO -3) pada
Sumber Air Minum Masyarakat Kelurahan Runtukan Kecamatan
Tomohon Timur Kota Tomohon. Fakultas Kedokteran Universitas Sam.
Ratulangi. Manado. Hal. 9-15, 21-27

Mayunar. 1990. Pengaruh Pergantian Air dan Kelangsungan Hidup Kerapu


Macan. Jurnal Penelitian Perikanan Pantai, Maros.

Mudjiman. A. dan Suyanto. R. 2001. Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya.


Jakarta.

Mugiyantoro, Alwin., dkk. 2017. Penggunaaan Bahan Zeolite, Pasir Silika, dan
Arang Aktif Dengan Kombinasi Teknik Shower Dalam Filterisasi Fe, Mn
dan Mg pada air tanah di UPN Veteran Yokyakarta.

Nelvia, L., Elfrida dan Y. Basri. 2015. Penambahan bioball pada Filter Media
Pemeliharaan Terhadap Kalengsungan Hidup dan Pertumbuhan Benih
Ikan Mas Koki (Carassius Auratus): 1-5.

Nuhman. 2008. Pengaruh Prosentase Pemberian Pakan terhadap Kelangsungan


Hidup dan Laju Pertumbuhan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei).
Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan Vol. 1 No. 2. Surabaya: Universitas
Hang Tuah.

Nurhidayat, 2009, Efektifitas Kinerja Media Biofilter dalam Sistem Resirkulasi


Terhadap Kualitas Air, Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Ikan Red
Rainbow (Glossolepis incises Weber). Tesis. Sekolah Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

44
Putra, Iskandar., dan N.A Pamungkas, 2011. Pemeliharaan Ikan Selais (Ompok
sp). Dengan Resirkulasi, Sistem Aquaponik. Jurnal Perikanan dan
Kelautan, XVI(1): 125-131

Rosenberry, R. 1989. World Shrimp Farming 1989. Aquaculture Digest, CA., 28


hal.

Said, Nusa Idaman & Ruliasih. 2005. Tinjauan Aspek Teknis Pemilihan Media
Biofilter Untuk Pengolahan Air Limbah. Teknik Lingkungan, BPPT. JAI
Vol. 1, No. 3.

Sidik, A.S. 2002. Pengaruh Padat Penebaran Terhadap Laju Nitrifikasi Dalam
Budidaya Ikan Sistem Resirkulasi Tertutup. Jurnal Akuakultur Indonesia,
I(2): 47-51.

Suliswati. 2016. Panen Rupiah Dari Bisnis Pembesaran udang. PT.Palapa: Air
Publishing, (Hal 80-81).

Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1980. Principles and procedures of statistic, Second
Ed, Graw-Hall, Book Comp, New York.

Suharyadi. 2011. Budidaya Udang Vaname (Litopeaneus Vannamei). Kementrian


Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Hal. 3-6, 32.

Suryani. 2012. Studi Pegolahan Air Melalui Media Filter Pasir Kuarsa (studi
kasus sungai malimpung)

Syafriadiman., Niken, A, P., Saberina. 2005. Prinsip Dasar Pengelolaan Kualitas


Air. MM Press. Pekanbaru. 132 hlm.

Untara, L. Agus, M., Studi, P., Perairan, B., & Pekalongan, F.P. 2018. Kajian
Teknik Budidaya Udang Vaname (Litopeaneus Vannamei) Pada Tabak
Busmetik Spum Negeri Tegal Dengan Tambak Tuvami 16 Universitas
Pekalongan.17(1), 76-88.

Widayat, W. S. 2010. Penyisihan amoniak dalam upaya meningkatkan kualitas air


baku PDAM-IPA Bojong Renged dengan proses biofiltrasi menggunakan
media plastik tipe sarang tawon. Kualitas Air, 64-74 hlm.

Wyban, J. A dan Sweeney, J. 1991. Intensif Shrimp Production Technology the


Oceanic. Institute Shrimp Manual the Oceanic Institute, Honolulu, HI,
USA. 158 pp.

45

Anda mungkin juga menyukai