Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH BUDIDAYA HEWAN

“BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei)”


(Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Nilai Tugas Kelompok Dari
Mata Kuliah Budidaya Hewan Oleh Bapak Muhammad Wajdi, S.Pd., M.Pd.)

Oleh:

Nurhikmah. HR
Selmi Puspitasari
Is Ariska

Kelompok II

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena berkat
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
tepat waktu dalam rangka pemenuhan tugas mata kuliah Budidaya Hewan. Shalawat
serta salam tak lupa kami haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah
membawa kita dari zaman jahiliah menuju zaman yang berintelektual seperti
sekarang ini. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai materi “Budidaya
Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)”.
Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Kami menyadari bahwa masih
banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu, tidak menutup
kesempatan bagi pembaca yang hendak memberi kritik dan saran berkenaan dengan
makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita
semua.

Makassar, Juni 2021

Penulis

DAFTAR ISI

ii
SAMPUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah2
C. Manfaat 2
BAB II PEMBAHASAN

A. Klasifikasi Dan Morfologi 3


B. Habitat Dan Siklus Hidup 4
C. Modal Usaha Budidaya Udang vaname 5
D. Persiapan wadah pemeliharaan 7
E. Teknologi budidaya udang vaname 9
F. Persiapan media 11
G. Pemeliharaan Udang Vaname 14
H. Pengelolaan pakan Udang Vaname 16
I. Pengelolaan kualitas air 19
J. Pengendalian hama dan penyakit 22
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan 29
B. Saran 30
DAFTAR PUSTAKA 31

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LatarBelakang
Budidaya udang merupakan salah satu komuditas perikanan dengan
prospek pengembangan yang sangat baik. Budidaya ini pada tahun 2002 pernah
menjadi komuditas unggulan non migas dengan tingkat ekspor mencapai 50% dari
seluruh ekspor perikanan (Felix et al., 2011). Perkembangan budidaya udang di
Indonesia telah dimulai sejak tahun 1980 dengan komuditas utama udang windu
(Penaeus monodon). Budidaya ini kemudian mengalami kemunduran produksi
pada awal tahun 2000 akibat tingginya serangan penyakit. Hal tersebut kemudian
mendorong pemerintah memperkenalkan komuditas alternatif unggulan salah
satunya udang vaname (Macrobrachium rosenbergii (de Man)).
Udang putih (Litopenaeus vannamei) mulai diintroduksi dan 4
dibudidayakan pada tahun 1999 dan menunjukkan hasil yang baik, sehingga telah
menggairahkan kembali usaha pertambakan di Indonesia, udang vaname
mempunyai keunggulan komparatif dibanding jenis udang budidaya lainnya,
sintasan udang tinggi (>70%), ketersediaan benur berkualitas, Spesific Phatogen
Free (SPF), dapat dibudidayakan dengan kepadvanatan tebar tinggi, tahan
penyakit, dan konversi pakan rendah (Gunarto, Suwoyo, & Tampangallo, 2016)
Adanya penurunan dari kualitas air sebagai akibat akumulasi bahan organik baik
yang berasal dari limbah metabolisme dan bahan organik lainnya merupakan salah
satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan produksi ikan
budidaya. Teknologi bioflok menjadi salah satu alternatif peme- cahan masalah
limbah budidaya yang paling menguntungkan, karena dapat menurunkan limbah
nitrogen anorganik (Yuniasari, 2009 dalam Masithah at al, 2016a)
.
B. RumusanMasalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka masalah
yang hendak dipecahkan dalam makalah ini yaitu, sebagai berikut :

1
1. Bagaimana klasifikasi dan morfologi?
2. Bagaimana habitat dan Siklus hidup ?
3. Bagaimana Modal Usaha Budidaya Udang vaname?
4. Bagaimana Persiapan wadah pemeliharaan?
5. Bagaimana Teknologi budidaya udang vaname?
6. Bagaimana Persiapan media?
7. Bagaimana Pemeliharaan Udang Vaname?
8. Bagaimana Pengelolaan pakan Udang Vaname?
9. Bagaimana Pengelolaan kualitas air?
10. Bagaimana Pengendalian hama dan penyakit?
C. Manfaat
Adapun manfaat pada makalah budidaya udang vaname ini sebagai berikut:
1. Untuk dapat mengetahui klasifikasi dan morfologi
2. Untuk dapat mengetahui habitat dan kebiasaan hidup
3. Untuk dapat mengetahui Modal Usaha Budidaya Udang vaname
4. Untuk dapat mengetahui Persiapan wadah pemeliharaan
5. Untuk dapat mengetahui Teknologi budidaya udang vaname
6. Untuk dapat mengetahui Persiapan media
7. Untuk dapat mengetahui Pemeliharaan Udang Vaname
8. Untuk dapat mengetahui Pengelolaan pakan Udang Vaname
9. Untuk dapat mengetahui Pengelolaan kualitas air
10. Untuk dapat mengetahui Pengendalian hama dan penyakit

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Klasifikasi dan Morfologi


P. vannamei sering disebut dengan whiteleg shrimp atau sering disebut
dengan udang putih atau vaname . Penaeus vannamei sering pula disebut dengan
Litopenaeus vannamei yang merujuk pada subgenus Litopenaeus. Udang vaname
banyak ditemukan di perairan Ekuador, Mexico, Panama, dan Honduras.
Menurut Haliman dan Adijaya (2005), klasifikasi udang putih
(Litopenaeus vannamei) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Malacostraca
Ordo : Decapodas
Familia : Penaeidae
Genus : Vanname
Spesies : Litopenaeus vanname

Gambar.1 morfologi udang vaname


Secara Morfologi vaname memiliki tubuh berbuku-buku dan aktivitas
berganti kulit luar atau eksoskeleton secara periodik (moulting). Bagian tubuh
udang vaname sudah mengalami modifikasi, sehingga dapat digunakan untuk
keperluan sebagai berikut :
1. Makan, bergerak, dan membenamkan diri ke dalam lumpur (burrowing)
2. Menopang insang karena struktur insang udang mirip bulu unggas.

3
3. Organ sensor, seperti pada antena dan antenula. Kepala (thorax).
Selanjutnya, kepala udang vaname terdiri dari antenula, antena,
mandibula, dan dua pasang maxillae. Kepala udang vaname juga dilengkapi
dengan tiga pasang maxillipied dan lima pasang kaki berjalan (periopoda) atau
kaki sepuluh (decapoda). Maxillipied sudah mengalami modifikasi dan berfungsi
sebagai organ untuk makan. Endopodite kaki berjalan menempel pada
chepalothorax yang dihubugka oleh coxa. Morfologi udang vaname Bentuk
periopoda beruas-ruas yang berujung di bagian dactylus. Dactylus ada yang
berbentuk capit (kaki ke-1, ke-2, dan ke-3) dan tanpa capit (kaki ke-4 dan ke-5).
Di antara coxa dan dactylus, terdapat ruang berturut-turut disebut basis,ischium,
merus, carpus, dan cropus. Pada bagian ischium terdapat duri yang bisa
digunakan untuk mengidentifikasi beberapa spesies penaeid dalam taksonomi.

B. Habitat dan Siklus Hidup


Udang vaname adalah udang asli dari perairan Amerika Latin yang
kondisi iklimnya subtropics di habitat alaminya suka hidup pada kedalaman
kurang lebih 70 meter, udang vaname bersifat nocturnal, yaitu aktif mencari
makan pada malam hari proses perkawinan pada udang vaname ditandai dengan
loncatan betina secara tiba-tiba. Pada saat meloncat tersebut, betina
mengeluarkan sel-sel telur pada saat yang bersamaan udang jantan mengeluarkan
sperma sehingga sel telur dan sperma bertemu, proses perkawinan berlangsung
kira-kira satu menit.
sepasang udang vaname berukuran 30-45 gram dapat menghasilkan telur
sebanyak 100.000-250.000 butir selanjutnya, dinyatakan siklus hidup udang
vaname sebelum ditebar ditambak yaitu stadia naupli, stadia zoea, stadia mysis,
dan stadia post larva. Pada stadia naupli larva berukuran 0,32-0,59 mm, sistim
pencernaanya belum sempurna dan masih memiliki cadangan makanan berupa
kuning telur. Stadia zoea terjadi setelah larva ditebar pada bak pemeliharaan
sekitar 15-24 jam, larva sudah berukuran 1,05-3,30 mm dan pada stadia ini benur
mengalami 3 kali moulting pada stadia ini pula benur sudah bisa diberi makan

4
yang berupa artemia siklus hidup udang vaname dapat di lihat pada Gambar
berikut.

Gambar 2 siklus udang vanname


Pada stadia mysis benur udang sudah menyerupai bentuk udang yang
dicirikan dengan sudah terlihatnya ekor kipas (uropoda) dan ekor (telson).
Selanjutnya, udang mencapai stadia post larva dimana, udang sudah menyerupai
9 udang dewasa. Hitungan stadianya sudah menggunakan hitungan hari
misalnya, PL1 berarti post larva berumur satu hari pada stadia ini udang sudah
mulai bergerak aktif (Haliman dan Adijaya, 2005)

C. Modal Usaha Budidaya Udang vaname


Modal usaha yang dibutuhkan untuk membangun usaha budidaya ini
sangat bervariasi. Agar lebih jelas, simaklah analisa usaha berikut:
Modal awal
Keterangan  Jumlah 

Pembuatan kolam Rp. 3.000.000

Pompa air standar Rp. 500.000

Alat pembersih kolam  Rp. 1.500.000

selang air  Rp.90.000

Jaring ikan Rp. 30.000

Baskom atau ember Rp.60.000

Peralatan yang lain  Rp. 180.000

5
Total modal tetap Rp. 5.360.000

Biaya tetap
Keterangan  Jumlah 

Penyusutan kolam atau terpal 1/62 X Rp. 3.000.000 Rp. 48.340

Penyusutan pompa air standar 1/62 X Rp. 500.000 Rp.  8.100

Penyusutan alat pembersih kolam 1/62 X Rp. 1.500.000 Rp. 24.200

Penyusutan selang air 1/62 X Rp.90.000 Rp. 1.450

Penyusutan jaring ikan 1/62 X Rp. 30.000 Rp. 485

Penyusutan baskom atau ember 1/62 X Rp.60.000 Rp. 968

Penyusutan peralatan yang lain 1/62 X Rp. 180.000 Rp. 2.904

Total biaya tetap Rp. 86.447

Biaya variabel
Keterangan  Jumlah 

Benih udang vaname  Rp. 1.600.000

Pakan berprotein 30%  Rp. 1.300.000

Probiotik  Rp. 100.000

Vitamin, garam, dan mineral Rp. 200.000

Obat-obatan   Rp.  1.500.000

Box sterofoam  Rp. 500.000

Biaya air dan listrik  Rp.  1.800.000

Jasa karyawan  Rp. 900.000

Biaya yang lain  Rp. 2.600.000

6
Total Rp.  10.500.000

Perhitungan modal keseluruhan:


 Modal = biaya tetap + biaya variabel
 Rp. 86.447 + Rp.  10.500.000
 Rp. 10.586.447
Total modal yang wajib Anda sediakan sebesar Rp. 10.586.447.
Namun modal tersebut bisa saja berkurang bila Anda sudah memiliki air, listrik, serta
tidak membutuhkan jasa karyawan. 

D. Persiapan Wadah Pemeliharaan


1. Pengeringan dan Pembersihan Tambak
Kegiatan usaha budidaya di tambak merupakan proses produksi yang
memerlukan kendali dan keberhasilannya akan sangat tergantung pada faktor
teknis maupun non teknis. Faktor teknis, seperti perencanaan terpadu sangat
penting dalam mata rantai kegiatan budidaya tambak. dengan demikian,
perencanaan harus diarahkan pada kemampuan untuk menciptakan kondisi
yang sesuai dengan keadaan alami yang dituntut oleh organisme akuatik yang
dibudidayakan (Mustafa, 2016).
Persiapan tambak untuk budidaya udang vaname secara intensif
dilakukan berurutan (Utojo & Tangko, 2016) sebagai berikut:
1. Penjemuran tanah dasar tambak hingga kering.
2. Pembersihan dan perbaikan peralatan seperti kincir, kabel,saringan, pipa
paralon, dan lain-lain.
3. Pengolahan tanah dengan membuang lumpur 10 cm di bagian atas
pelataran tambak dan pemberian desinfektan kaporit 20-- 30 mg/L.
4. Perbaikan bocoran pematang dan perataan tanah dasar tambak.
5. Pengecekan potensial redoks hingga ± 50 mV, penghitungan kebutuhan
kapur tergantung dari kondisi tanah dasar tambak.
6. Pemasangan saringan pada pintu-pintu tambak.

7
7. Pengisian air setinggi 20 cm atau macak-macak di pelataran tambak.
8. Diberikan saponin 15--20 mg/L (150--200 kg/ha).
9. Dimasukkan air setinggi 100--120 cm pada tambak10.
10. Diberikan fermentasi mini- mal satu kali pemberian dengan bahan
fermentasi probiotik (super media 1) yang terdiri atas katul 10 kg, saponin
10 kg, ragi tape 250 g/ha, direndam dalamair tawar 24--36 jam tanpa
aerasi.
11. Setelah air sesuai standar, kemudian benur ditebar.

2. Biosecurity
Biosecurity adalah tindakan untuk mengeluarkan pathogen tertentu
dari kultivan yang dibudidayakan di kolam induk, pembenihan maupun kolam
pembesaran dari suatu wilayah atau negara dengan tujuan untuk pencegahan
penyakit, penyakit merupakan penyebab terbesar kegagalan budidaya udang
(viral and bacterial disease) penyakit yang menyerang udang dapat disebabkan
oleh beberapa faktor, antara lain :
a) Degradasi lingkungan
b) Rendahnya pengetahuan tentang penyakit
c) Pemilihan benur yang tidak baik
d) Transfer udang (nasional dan internasional) Biosecuriry dalam
penerapannya memiliki beberapa tingkatan/level, yaitu :
a) Ultra high level , misalnya dalam unit penghasil induk SPF
b) High level, misalnya pada hatcery, tambak intensif
c) Medium level, misalnya pada tambak semi intensif
d) Low level , misalnya pada tambak semi intensif
e) None , misalnya pada tambak ekstensif/tradisional
Penerapan Biosecurity dalam budidaya udang terbagi menjadi dua,
yaitu first line of defense dan second line of defense.
1. First line of defense terdiri dari :
a) Barrier

8
b) Isolasi (quarantine)
c) Water Filtration
d) Zero water exchange
e) Water sterilization
f) Equipment sterilization
g) SPF Fry
2. Sementara Second line of defense terdiri dari
a) Specific Pathogen Resistant(SPR) dan
b) Immunostimulant

E. Teknologi Budidaya Udang Vaname


Terknologi yang digunakan dalam budidaya udang vaname adalah
teknologi bioflog. Teknologi bioflok merupakan salah satu alternatif baru dalam
mengatasi masalah kualitas air dalam akuakultur yang diadaptasi dari teknik
pengolahan limbah domestik secara konvensional Prinsip utama yang diterapkan
dalam teknologi ini adalah manajemen kualitas air yang didasarkan pada
kemampuan bakteri heterotrof untuk memanfaatkan N organik dan anorganik
yang terdapat di dalam air,teknologi bioflok sering disebut juga dengan teknik
suspensi aktif (activated suspension technique AST), menggunakan aerasi
konstan untuk memungkinkan terjadinya proses dekomposisi secara aerobik dan
menjaga flok bakteri berada dalam suspensi dalam sistem ini, bakteri heterotrof
yang tumbuh dengan kepadatan yang tinggi berfungsi sebagai bioreaktor yang
mengontrol kualitas air terutama konsentrasi N serta sebagai sumber protein bagi
organisme yang dipelihara pembentukan bioflok oleh bakteri terutama bakteri
heterotrof secara umum bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan nutrien
menghindari stress lingkungan dan predasi flok bakteri tersusun atas campuran
berbagai jenis mikroorganisme yaitu bakteri pembentuk flok, bakteri filamen,
fungi, partikelpartikel tersuspensi, berbagai koloid dan polimer organik, berbagai
kation dan sel-12 sel mati dengan ukuran bervariasi dengan kisaran 100 - 1000
µm selain flok bakteri, berbagai jenis organisme lain juga ditemukan dalam

9
bioflok scperti protozoa, rotifer dan oligochaeta komposisi organisme dalam flok
akan mempengaruhi struktur bioflok dan kandungan nutrisi
bioflok( (Avnimelech, 2006; deSchryver et al., 2008 dalam.Ekasari, 2009).
Teknologi bioflok merupakan teknologi yang dikembangkan dengan
memadukanpenanganan buangan limbah hasil budidaya dan mereduksi jumlah
penggunaan air secara umum, kelebihan dari teknologi ini adalah biaya
operasional yang lebih kecil tingkat kelangsungan hidup yang tinggi dan nilai
FCR (feed convertion ratio) yang lebih rendah prinsip teknologi ini adalah
mengkonversi limbah budidaya yang mengandung unsur nitrogen yang cukup
tinggi menjadi pakan tambahan bagi udang selama proses peliharaan (Crab et al,
2009). Proses konversi tersebut terjadi jika jumlah kandungan nitrogen dan
karbon dalam media budidaya seimbang, sumber nitrogen dalam perairan
diperoleh dari pakan yang diberikan dengan kandungan protein tinggi
berdasarkan SNI kandungan protein yang diberikan untuk budidaya udang adalah
28%. Pemberian protein yang cukup tinggi ini tidak diimbangi dengan pemberian
karbon yang seimbang dalam pakan untuk itu, perlu upaya penambahan sumber
karbon untuk meyeimbangakn jumlah nitrogen dalam peraiaran budidaya(Amir
at al, 2018a).
Teknologi bioflok telah banyak diaplikasikan pada berbagai komoditas
perikanan budidaya seperti ikan nila, ikan mas, lobster air tawar udang windu
dan udang vaname Secara umum pengaplikasian tekologi tersebut dapat
menghemat penggunaan air karena tidak terjadi penggantian air selama masa
pemeliharaan (zero water exchange) karena kemampuan sistem tersebut
mengkonversi limbah khususnya amoniak dan nitrit menjadi pakan tambahan
dalam bentuk bioflok hal tersebut dapat berdampak pada efisiensi pakan yang
meningkat atau nila rasio konversi pakan yang kecil (Sahu et al., 2013 dalam
Amir et al 2018b).
1. Manfaat bioflok
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa aplikasi teknologi bioflok
berperan dalam perbaikan kualitas air, peningkatan biosekuriti, peningkatan

10
13 produktivitas, peningkatan efisiensi pakan serta penurunan biaya produksi
dan penurunan biaya pakan kemampuan bioflok dalam mengontrol
konsentrasi ammonia dalam sistem akuakultur secara teoritis maupun
aplikasi telah terbukti sangat tinggi (Ekasari, 2009).
2. Kekurangan bioflok
Teknik bioflok dapat menyebabkan masalah lingkungan lain yang
berkaitan dengan akumulasi nitrat (Mook, et al, 2012). Menurut Bunting dan
Pretty (2007) mengungkapkan dalam hal penggunaan energi, jejak karbon
pada kegiatan budidaya udang meliputi penggunaan langsung, seperti
konsumsi bahan bakar fosil dan konsumsi tidak langsung seperti energi
listrik. Klaim ramah lingkungan teknologi bioflok masih terbatas pada
berkurangnya dampak lingkungan perairan, seperti pencemaran bahan
organik, penyebaran patogen dan14 efisiensi penggunaan lahan dan air,
sementara input energi, kebutuhan bahan dan peralatan lainnya dalam
penerapan teknologi bioflok juga berpotensi menyumbang dampak
lingkungan (Ma'in e.t all, 2013).

F. Persiapan Media
1. Pengisian air
a. pemasukan air ke tandon
Dalam proses budidaya pemasukan air tandon merupakan salah
satu langkah awal persiapan air Pemasukan air kepetakan tandon dengan
menggunakan pompa 8 inch dan pada ujung pipa saluran pemasukan
diberi saringan kasa (saringan hijau) agar kotoran yang ikut terhisap tidak
langsung masuk ke bak tandon. Kemudian dilakukan perlakuan dengan
pemberian kaporit. Pemberian kaporit pada air tandon merupakan langkah
untuk mambunuh mikro dan makro organisme dengan dosis 10 ppm
dengan luas tandon 500 m2 .
b. Pemasukan air ke wadah pemeliharaan

11
Pemasukan air ke wadah pemeliharaan secara bertahap hingga
ketinggian air mencapai sekitar 100 cm. Pemasukan air ke wadah
pemeliharaan sama halnya dengan peamasukan air ke petak tandon, juga
menggunakan pompa celup 8 inch yang diujung pipa dipasangi dengan
saringan plankton net 250 mikron dan saringan kasa (saringan hijau) yang
berfungsi mencegah hama masuk ke dalam wadah pemeliharaan namun,
air yang digunakan yaitu air yang telah diendapkan dan ditreatment
menggunakan kaporit dengan dosis 10 ppm selanjutnya, air di aduk
dengan menggunakan kincir hingga airnya terlihat menjadi jernih.
2. Aplikasi Bioflok
Konsep dasar biofloc adalah mengubah senyawa organik dan
anorganik yang mengandung senyawa karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O),
nitrogen (N) dan sedikit fosfor (P) menjadi masa sludge berupa biofloc
dengan menggunakan bakteri pembentuk floc (floc forming bacteria) yang
mensintesis biopolymer sebagai ikatan biofloc,tujuan utama teknologi biofloc
dalam budidaya perairan adalah memanfaatkan limbah nitrogen anorganik
dalam kolam budidaya menjadi nitrogen organik yang tidak bersifat toksik
,sistem biofloc (heterotrophicsystem) 15 dalam budidaya perairan
menekankan pada penumbuhan bakteri pada kolam untuk menggantikan
komunitas autotrofik yang didominasi oleh fitoplankton.
Bioflok terdiri atas partikel serat organik yang kaya selulosa, partikel
anorganik kalsium karbonat hidrat, biopolymer, bakteria, protozoa, detritus,
ragi, jamur, dan zooplankton Selanjutnya menurut Tacon et al. 2002 dalam
Gunarto et al., 2016 , bioflok kaya akan threonin, valin, isoleusin, dan
phenilalanin juga tirosin. Sedangkan menurut (McIntosh 2000 dalam Gunarto
et al., 2016) kandungan asam amino bioflok terdiri atas arginin, lisin, dan
methionin.mendapatkan 15 jenis asam amino yang terkandung dalam bioflok,
dengan persentase yang tinggi yaitu: leusin (2,32%), lisin (1,79%), dan valin
(1,17%). Bioflok juga mengandung vitamin yang fungsinya dapat
menggantikan vitamin yang disuplai melalui pakan komersial dan enzim yang

12
dapat membantu proses pencernaan pakan pada udang, sehingga udang
menjadi tumbuh lebih cepat Dengan demikian, apabila dalam tambak telah
terbentuk bioflok dan bioflok tersebut dimakan oleh udang, maka akan
menghemat pakan yang diberikan pada udang,bioflok mudah terbentuk pada
tambak yang menggunakan plastik High Density Polyethylene (HDPE)
(Saenphon et al. 2005 dalam Gunarto et al., 2016).
Pada teknologi budidaya udang pola intensif agar dapat terbentuk
bioflok, maka rasio C/N harus ditingkatkan >10:1, kemudian sedikit atau tidak
sama sekali dilakukan penggantian air dan diberi aerasi yang kuat dan merata,
sehingga oksigen tidak pernah lebih rendah dari 4 mg/L ((Samocha et al.,
2006 dalam Masithah et al., 2016a). Untuk meningkatkan rasio C:N, maka
beberapa sumber C-karbohidrat dapat ditambahkan, di antaranya molase
tepung tapioka (Hari et al., 2004 dalam Masithah et al., 2016a), glukosa dan
gliserol sukrosa. Pembentukan bioflok oleh bakteri terutama bakteri heterotrof
secara umum bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan nutrien.
menghindari stress lingkungan dan predasi. Flok bakteri tersusun atas
campuran berbagai jenis mikroorganisme bakteri pembentuk flok, bakteri
filamen, fungi, partikel-partikel tersuspensi, berbagai koloid dan polimer
organik, berbagai kation dan sel-sel mati dengan ukuran bervariasi dengan
kisaran 100 - 1000 µm Selain flok bakteri, berbagai jenis organisme lain juga
ditemukan dalam bioflok scperti protozoa, 16 rotifer dan oligochaeta .
Komposisi organisme dalam flok akan mempengaruhi struktur bioflok dan
kandungan nutrisi bioflok . bahan pembentuk bioflok biasa di gunakan
probiotik dan molase .Bahan yang digunakan dalam pembuatan bioflok yaitu
(Masithah et al., 2016a)
1. ProbiotikB (mengandung bakteri Lactobacillus,Rhodopseudomonas,
Saccarhomyces)
2. Probiotik C (mengandung bakteri Lactobacillus, Nitrosomonas, Bacillus
subtilis, Bacillus sp.), air tawar, molase, dedak, pellet ikan, kaporit, pupuk
ZA dan

13
3. kapur kaptan atau dolomit.
4. Molase
Berikut cara pembutan bioflok untuk media pemeliharaan udang di tambak.
1. Strerilisasi air yaitu dengan pemberian kaporit sebanyak 4 gram/20 liter
air. Kemudian dilakukan aerasi selama dua hari sampai bau kaporit hilang
2. Pembuatan bioflok dilakukan dengan memasukkan 20 liter air tawar ke
dalam akuarium berukuran 40 cm x 20 cm x 35 cm yang diberi aerasi,
kemudian memasukkan dua macam probiotik ke masing-masing akuarium
sebanyak 0,1 g/20 liter/hari masing-masing perlakuan (Rangka dan
Gunarto, 2012). Selanjutnya, memasukkan pakan ikan, molase dan dedak.
Kapur kaptan atau dolomite 1 mg/liter ditambahkan untuk stabilitas pH
(Gunarto dan Suwoyo, 2011 dalam Masithah et al., 2016a ) Pemberian
molase pada pembuatan bioflok.
3. Bioflok diberikan sebanyak 84 g/20 liter air pada seluruh perlakuan.
Sedangkan untuk pemberian dedak sebanyak 1 kg/20 liter air (Rangka dan
Gunarto, 2012). Pemberian pupuk ZA sebagai sumber N ditambahkan
sebanyak 10g/20 liter setiap lima hari sekali seperti disarankan oleh
(Gunarto dan Suwoyo 2011 dalam Masithah et al., 2016a).
G. Pemeliharaan Udang Vaname
1. Penebaran Benur
Benur memang berperan penting pada keberhasilan budidaya udang
vaname karena akan menentukan kualitas setelah dipanen. Bila kualitas
benurnya bagus kemungkinan hasil panennya juga bagus. Benur vaname
untuk dibudidayakan harus dipilih yang terlihat sehat. Kriteria benur sehat
dapat diketahui dengan melakukan observasi berdasarkan pengujian visual
mikroskopik dan ketahanan benur. Hal tersebut dapat dilihat dari warna
,ukuran panjang dan bobot sesuai umur PL. Kulit dan tubuh bersih dari
organisme parasit dan patogen tidak cacat tubuh, tidak pucat, gesit, merespon
cahaya, bergerak aktif, dan menyebar di dalam wadah. Kriteria benur yang
sehat dapat diketahui dengan melakukan observasi berdasarkan :

14
a. Pengujian visual
Pengujian visual (kasat mata) benur meliputi aktivitas, kondisi
sirip dan ekor, kecepatan pertumbuhan serta keseragaman. Benur yang
baik berwarna benig memanjag kecoklatan, benur yang tidak sehat
dicirikan dengan warna putih coklat, hitam dan kemerahan pada bagian
tertentu.
b. Pengujian mikroskopis
Secara mikroskopis benur berkualitas baik pada seluruh
permukaan kulitnya terlihat bersih. Hal tersebut menunjukan bahwa benur
mengalami moulting secara periodik. Benur yang berkualitas jelek terlihat
lemah dan pada permukaan kulitnya berwarna coklat keputihan. Hal
tersebut disebabkan infeksi jamur yang menempel pada permukaan kulit
benur vanamei. Selanjutnya,sebelum benur ditebar kedalam tambak perlu
dilakukan aklimitisasi (adaptasi), terhadap lingkungan baru. Secara umum
ada 2 aklimitasi yanng bisa dilakukan yaitu :
1. Aklimatisasi suhu
Aklimatisasi suhu air petakan udang vanamei dilakukan dengan cara
meletakan plastik pengemas yang berisi benur ke dalam tambak.
Tindakan tersebut dilakukan hingga suhu air dalam kemasan plastik
mendekati atau sama dengan suhu air petakan yang dicirikan dengan
munculnya embum di dalam plastik.
2. Aklimatisasi salinitas
Aklimatisasi salinitas air petakan tambak dilakukan setelah
aklimatisasi suhu selsai. Aklimatisasi salinitas dilakukan dengan cara
air tambak dimasukan sebanyak 1-2 liter ke dalam kemasan benur
udang vanamei. Aktivitas tersebut dihentikan hingga salinitas air
dalam kemasan plastik mendekati sama dengan salinitas air di petakan.
Benur udang yang biasa diguanakan didalam kegiatan budidaya
menurut beberapa peneliti berbeda karna banyaksistem dan tehnik
yang di gunakan dalam kegiatan budidaya udang dengan sistem

15
bioflok .Benih yang ditebar di tambak adalah benih udang vanamei
PL-12 SPF hasil pemuliaan (breeding program) BBAP Situbondo
dengan berat rata-rata 0,008 gr. Penebaran dilakukan pada pagi hari
yang tujuannya untuk mengurangi tingkat stres, tingkat teknologi yang
digunakan adalah semi intensif dengan padat tebar 60 ekor/m 2
(Untara dan Agus, 2018).
Adapun beberapa penelitian yang menggunakan padat tebar
yang berbeda di karenakan sistem pemiliharaan yang digunakan
misalnya budidaya udang vaname dengan aplikasi beberapa jenis
probiotik dengan padat tebar 25 ekor/m2 yang benurnya diambil dari
panti benih di Takalar yang lokasinya hanya dua jam transportasi
untuk mencapai tambak, dengan lama pemeliharaan 98 hari
mendapatkan sintasan 91%-96,5% (Gunarto & Hendrajat, 2008).
Selanjutnya pada budidaya udang vaname dengan dosis
probiotik berbeda dengan padat tebar 50 ekor/m2, benih juga diambil
dari panti benih yang sama di Takalar dengan lama pemeliharaan 98
hari diperoleh sintasan 75%-86% adapun pemeliharaan udang sistem
bioflok dengan ukuran tambak 3.520 m2 dengan padat penebaran 75
ekor/m2 (Gunarto et al., 2016).

H. Pengelolaan Pakan
Sumber utama nutrien pakan udang adalah protein, karbohidrat, dan
lemak atau lipid kandungan protein pakan merupakan faktor yang sangat penting
dalam mendukung keberhasilan budidaya udang. Protein merupakan faktor
pembatas pertumbuhan dan berpengaruh besar terhadap harga pakan Kebutuhan
protein pada pakan berkisar antara 30-40% sedangkan menurut Kureshy dan
Davis2002, 19 kebutuhan protein pakan untuk udang L. vanamei sebesar 30-
35%. Kebutuhan protein dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: spesies,
ukuran, kualitas protein, energi:protein rasio serta faktor lingkungan seperti suhu
dan salinitas. Protein selain untuk pertumbuhan, berfungsi sebagai sumber

16
energi,sedangkan fungsi utama karbohidrat dan lipid adalah sebagai sumber
energi. Idealnya protein hanya digunakan untuk pertumbuhan, sedangkan sumber
energi berasal dari karbohidrat dan lipid.
Kandungan energi protein sebesar 4,3 kkal/g, sedangkan lipid dan
karbohidrat mengandung 9,3 kkal/g dan 4,1 kkal/g. Kandungan energi (gross
energy) pakan sekitar 3-4 kkal/g pakan dengan rasio energi:protein sebesar 12
Protein yang terkandung dalam tubuh ikan/udang terdiri dari
miofibril,sarkoplasma, dan stroma. Miofibril larut dalam garam, sementara
sarkoplasma mudah larut dalam air. Miofibril terdiri dari tiga jenis, yaitu miosin,
aktin, dan aktomiosin. Miofibril protein merupakan penyusun utama protein (65-
75%) pada ikan.Benih udang yang sudah ditebar pada petakan tambak selang 6
jam diberi pakan pellet. Pakan (pellet) dengan kadar protein 35 – 40 % diberikan
dengan cara ditebar merata pada pinggir tambak dan dosis pakan 3 – 10 % dari
berat tubuh per hari dengan frekuensi pemberian 4 kali. Untuk mengetahui nafsu
makan udang dilakukan kontrol pakan melalui anco yang diberi pakan sebanyak
1 % dari total pakan yang diberikan.(Subyakto at all, 2009) Pakan yang
digunakan selama kegiatan berupa pellet komersial udang dengan kandungan
protein 30%.
Pemberian pakan dilakukan 4 (empat) kali sehari yaitu 7.00 wita, 11.00
wita, 15.00 wita dan 18.00 wita. Total pakan yang diberikan berkisar 3-4% dari
berat total biomasa benur. Kemudian jumlah sumber karbon yang ditambahkan
sebanyak 25% dari berat total pakan yang diberikan dan dilakukan pada setiap
harinya(Amir et al., 2018b). Pakan komersial yang mengandung protein sekitar
35% di- berikan sejak awal setelah penebaran dengan dosis 100% dari total
biomassa udang, kemudian pakan yang diberikan persentasenya diturunkan
setiap dua minggu sekali hingga mencapai 2,5% dari bobot biomassa udang
setelah masuk periode pemeliharaan bulan ke-IV.
Pada budidaya yang semi intensif apalagi intensif, pakan buatan sangat
diperlukan, karena dengan padat penebaran yang tinggi, pakan alami yang ada
tidak akan cukup yang mengakibatkan pertumbuhan udang terhambat dan akan

17
20 timbul sifat kanibalisme udang.Pelet udang dibedakan dengan penomoran
yang berbeda sesuai dengan pertumbuhan udang yang normal.
 Umur 1-10 hari pakan 01z Umur 11-15 hari campuran 01 dengan 02
 Umur 16-30 hari pakan 02
 Umur 30-35 campuran 02 dengan 03
 Umur 36-50 hari pakan 03
 Umur 51-55 campuran 03 dengan 04 atau 04S. (jika memakai 04S, diberikan
hingga umur 70 hari).
Umur 55 hingga panen pakan 04, jika pada umur 85 hari size rata-rata
mencapai 50, digunakan Pemberian pakan disesuaikan dengan kebutuhan udang
tertentu sesuai pertumbuhannya.
Kebutuhan pakan awal untuk setiap 100.000 ekor adalah 1 kg,
selanjutnya tiap 7 hari sekali ditambah 1 kg hingga umur 30 hari. Mulai umur
tersebut dilakukan pengecekan menggunakan ancho dengan jumlah pakan di
ancho 10% dari pakan yang diberikan. Waktu angkat ancho untuk ukuran 100-
166 adalah 3 jam, ukuran 166-66 adalah 2,5 jam, ukurane 66-40 adalah 2,5 jam
dan kurang dari 40 adalah 1,5 jam dari pemberian. Juga digunakan bahan untuk
meningkatkan pertumbuhan udang berupa penambahan nutrisi lengkap dalam
pakan (100%).Untuk itu, pakan juga dicampur dengan bahan yang mengandung
mineralmineral penting,protein, lemak dan vitamin dengan dosis 5 cc/kg pakan
untuk umur di bawah 60 hari dan setelah itu 10 cc/kg pakan hingga panen (Utara,
2015)
 Kriteria pakan
Pakan udang memiliki kriteria tertentu sesuai dengan kebutuhan
dankarakteristik udang. Kriteria pakan udang yang baik memiliki kriteria
sebagai berikut :
1. Syarat fisik , pakan udang memiliki syarat fisik tertentu antara lain :
a) Seragam
b) Tidak berdebu
c) Tidak mengapung

18
d) Tidak berjamur
e) Aroma baik, tidak apek
f) Kering (kadar air maks 10%)
2. Stabilitas dalam air
a) Tahan dalam air 2-3 jam
b) Stabilitas rendah : pakan boros, limbah organik
c) Stabilitas tinggi : sulit dicerna
d) Stabilitas tergantung binder atau perek at yang digunakan
3. Daya rangsang (attractability)
a) Daya rangsang kuat, pakan cepat dikonsums

I. Pengelolaan kulaitas Air


Kualitas air tambak pada budidaya udang vaname haruslah dalam
keadaan optimal, utamanya salinitas dan pH air. Udang vaname memiliki
toleransi yang cukup besar antara 3 ‰ sampai 48 ‰ udang vaname mempunyai
toleransi yang cukup tinggi terhadap salinitas, akan tetapi di bawah 10 ‰ dan di
atas 43 ‰ dapat menyebabkan kematian yang cukup tinggi oleh sebab itu,
salinitas dalam keadaan optimal yaitu 18 ‰ sampai 30 ‰, dalam budidaya
udang vaname juga diperhatikan adalah derajat keasaman atau pH air, pH atau
derajat keasaman yang baik bagi budidaya udang vaname adalah 7,5 sampai 8,5
(Mujiman dan Suyanto, 1990). Dalam budidaya udang vaname , sistem budidaya
mempunyai kreteria tersendiri salah satunya adalah luas tambak. Luas petakan
semi intensif 1 hektar sampai 3 hektar dan pada tambak intensif 0,2 sampai 0,5
hektar, makin kecil petakan tambak makin mudah dalam pengelolaan airnya.
Pengelolaan kualitas air yang baik dapat membantu pertumbuhan dan
kelangsungan hidup udang. Parameter kualitas air yang sering diamati dalam
kegiatan peliharaan udang vaname yaitu suhu, oksigen terlarut, pH, dan salinitas.
22 Pengukuran parameter kualitas air dilakukan sehari dua kali pada waktu pagi
dan sore hari(Untara et al., 2018). Gambar 4. Standar kualitas air (Azhar, 2018).

19
Manajemen kualitas Air beberapa variabel kualitas air baik fisika, kimia
maupun biologi air perlumendapat perhatian yang serius dalam budidaya udang
dan seharusnya dijaga agar nilainya tetap dalam kisaran yang optimal bagi
pertumbuhan udang selama proses budidaya berlangsung. Variabel kualitas air
tersebut adalah :
1. Suhu
Suhu merupakan faktor fisika air yang sulit dikontrol karena
dipengaruhi oleh lokasi dan cuaca. Daerah dengan intensitas hujan yang
tinggi akan menyebabkan suhu air turun. turunnya suhu air akan
menyebabkan penurunan metabolisme dan nafsu makan udang. suhu
dibawah 26oC sudah membawa dampak penurunan nafsu makan udang.
Suhu air yang rendah mempengaruhi daya tahan atau imunitas udang. Udang
sering menunjukkan gejala klinis ketika terjadi hujan dalam jangka waktu
lama. Upaya untuk mengurangi efek negatif 23 penurunan suhu air adalah
dengan mengoptimalkan kincir air dan melakukan pergantian air jika
memungkinkan.
2. Oksigen terlarut
Oksigen terlarut atau Dissolved Oxygen (DO) yang rendah < 4 mg/l
dalam air menyebabkan gangguan pada udang, mulai dari penurunan nafsu
makan, timbulnya penyakit sampai terjadi kematian. Secara ringkas pengaruh
DO terhadap udang.
3. Derajat keasaman
Derajat keasaman (pH) mempengaruhi toksisitas amonia dan hidrogen
sulfida.Keberadaan karbondioksida merupakan faktor utama yang
mempengaruhi nilai pH air. Dalam kolam budidaya, pH tinggi sering
dijumpai terutama pada kolam intensif dengan input pakan dan kepadatan
fitoplankton tinggi. Aktivitas fotosintesis fitoplankton membutuhkan
karbondioksada sehingga keberadaan karbondioksida terbatas menyebabkan
derajat keasaman meningkat.pH tinggi dalam kolam dapat diatasi dengan
menaikkan alkalinitas melalui pengapuran untuk meningkatkan kemampuan

20
penyangga air (buffer). Penurunan densitas fitoplankton juga membantu
menurunkan pH air.
4. BOD
Biological oxygen demand (BOD) merupakan total oksigen yang
digunakan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik.
Tingginya nilai BOD mengindikasikan banyaknya limbah organik di kolam.
Tindakan yang bisa dilakukan untuk menurunkan BOD antara lain ganti air
dan penyiponan dasar kolam.
5. Alkalinitas
Alkalinitas berperan sebagai penyangga (buffer) perairan terhadap
penambahan asam dan basa.Alkalinitas dibutuhkan oleh bakteri nitrifikasi
maupun fitoplankton untuk pertumbuhannya.Alkalinitas juga berperan dalam
molting udang. Tindakan yang bisa dilakukan untuk meningkatkan
alkalinitasadalah pengapuran dengan CaCO 3 , CaMg(CO 3 ) 2 ,
CaMg(CO3 ) 2 , dan 24 Ca(OH)2 . Dalam air senyawa tersebut akan bereaksi
dengan karbondioksida menghasilkan bikarbonat (HCO3 - ) sebagai ion
utama pembentuk alkalinitas.
6. Amonia
Amonia merupakan hasil samping metabolisme protein yang
dikeluarkan oleh ikan melalui insang dan hasil dekomposisi sisa pakan, feses,
plankton yang mati dan lain-lainnya yang dilakukan oleh bakteri proteolitik.
Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengontrol keberadaan amonia antara
lain : ganti air jika memungkinkan, aplikasi bakteri nitrifikasi, penambahan
sumber karbon (misalnya molase) untuk merangsang pertumbuhan bakteri
heterotrof, menurunkan pH air untuk menurunkan proporsi amonia bebas,
serta aerasi untuk meminimalisir dampak negatif terhadap udang.
7. Fitoplankton
Fitoplankton dalam jumlah tertentu dibutuhkan untuk meningkatkan
produktivitas kolam, namun dalam jumlah yang besar (blooming)
menimbulkan dampak buruk bagi ekosistem kolam. Oksigen terlarut dan pH

21
air akan berfluktuasi, bahkan beberapa jenis fitoplankton menghasilkan racun
bagi ikan. Jika kecerahan air kurang dari 30 cm, perlu ada treatmen untuk
memperbaiki kondisi kolam. Beberapa tindakan yang dapat dilakukan antara
lain : ganti air, turunkan feeding rate, optimalkan aerasi untuk mencegah die
off fitoplankton, dan gunakan ikan herbivora/pemakan plankton seperti ikan
nila.

J. Pengendalian Hama Dan Penyakit


Keberhasilan budidaya udang ditentukan oleh beberapa faktor antara lain
tingkatkesehatan udang. Beberapa kasus menunjukkan bahwa penyakit menjadi
penyebab utama kegagalan budidaya udang. Penyakit telah menyerang udang di
Indonesia dan menyebabkan kerugian yang besar secara ekonomi antara lain
White Spot Syndrome Virus (WSSV), Infectious Myonecrosis Virus (IMNV),
maupun Taura Syndrome Virus (TSV). Salah satu penyebab utama merebaknya
penyakit tersebut adalah terjadinya degradasi lingkungan kolam. Penyakit pada
udang akan muncul jika terjadi interaksi antara kondisi lingkungan yang jelek,
keberadaan patogen, dan kondisi ikan lemah. Menurunnya kualitas lingkungan
akan menyebabkan patogen dan plankton berbahaya (harmful plankton) seperti
Dinoflagellata dan blue green algae (BGA) berkembang dengan pesat. Limbah
organik yang dihasilkan dalam budidaya udang akan mempengaruhi kualitas air
lainnya. Suhu, pH, polutan, salinitas, amoniak,hidrogen sulfida dan oksigen
terlarut selain mempengaruhi populasi patogen dalam kolam juga mempengaruhi
ketahanan udang terhadap infeksi penyakit.
Penyakit pada udang sangat bervariasi baik yang disebabkan karena
virus,bakteri, jamur, protozoa maupun penyakit karena kekurangan nutrisi.
Beberapa penyakit yang sering menyerang udang serta menimbulkan kerugian
yang besar adalah adanya serangan penyakit pada udang yang dipelihara. Para 28
petambak mencegah kemungkinan serangan penyakit ini antara lain dengan
selalu secara periodik membersihkan dasar tambak melalui penyiponan,
pemantauan gerakan udang dan keaktifan udang selama pemeliharaan, terutama

22
saat pemberian pakan. Kemungkinan penyakit udang yang akan ada antara lain
adalah penyakit bintik putih, penyakit bintik hitam, kotoran putih, insang merah
dan nekrosis.(Utara, 2015).
Penyakit pada udang sangat bervariasi baik yang disebabkan karena virus,
bakteri, jamur, protozoa maupun penyakit karena kekurangan nutrisi. Beberapa
penyakit yang sering menyerang udang serta menimbulkan kerugian yang besar
adalah :
1. White Spot Syndrome Virus
Penyakit White Spot Syndrome Virus (WSSV) sering disebut juga
dengan SEMBV menyebabkan kegagalan utama pada budidaya udang
terutama udang windu di Indonesia. Udang yang terserang penyakit WSSV
akan menunjukkan gejala klinis seperti : berenang di permukaan, kondisi
lemah, menempel di dinding tambak, serta muncul tanda bintik putih pada
tubuhnya terutama pada carapace dan ekor. Kematian udang akan terjadi
secara masal dalam waktu 1-3 hari setelah menunjukkan gejala klinis. Udang
yang terserang penyakit ini tidak bisa diselamatkan.Jika udang sudah
terinfeksi WSSV dan menunjukkan gejala klinis serta sudah berukuran
konsumsi harus segera dipanen. Penularan penyakit WSSV dapat melalui :
kontak langsung dengan udang lain yang terinfeksi, air tambak, maupun
melaui carrier (udang, kepiting, dll.). Contoh udang yang terinfeksi White
Spot Syndrom Virus .

Gambar 3. Udang yang terinfeksi (WSSV)

23
Penyakit Bintik Putih (White Spot), yang menjadi penyebab sebagian
besar kegagalan budidaya udang. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi virus
SEMBV (Systemic Ectodermal Mesodermal Baculo Virus).Serangannya
sangat cepat, dalam beberapa jam saja seluruh populasi udang dalam satu
kolam dapat mati.Gejalanya : jika udang masih hidup, berenang tidak teratur
di permukaan dan jika menabrak tanggul langsung mati, adanya bintik putih
di cangkang (Carapace), sangat peka terhadap perubahan lingkungan. Virus
dapat berkembang biak dan menyebar lewat inang, yaitu kepiting dan udang
liar, terutama udang putih. Kestabilan ekosistem tambak juga harus dijaga
agar udang tidak stress dan daya tahan tinggi, sehingga walaupun telah
terinfeksi virus, udang tetap mampu hidup sampai cukup besar untuk dipanen
(Gunarto at all, 2012).
2. Taura Syndrome Virus
Penyakit Taura Syndrome Virus (TSV) pertama kali ditemukan di
sungai Taura di Ekuador pada tahun 1992 kemudian menyebar secara pesat ke
seluruh Amerika Latin dan Utara dalam tiga tahun (Briggs et al., 2004).
Penyakit ini menyebabkan kematian masal pada udang serta menginfeksi
juvenil 0.15 – 5 g atau udang umur 1 – 45 hari. Gejala klinis udang yang
terserang TSV antara lain : seluruh permukaan tubuh berwarna kemerahan
terutama bagian kipas ekor, saluran pencernaan kosong dan tubuh udang
lemah serta kulit udang menjadi lembek dan mati saat terjadi molting.
Penularan penyakit TSV melalui kontak langsung, air, maupun melaui carrier.
3. Infectious Hypodermal and Hematopoietic Necrosis Virus (IHHNV)
Penyakit Infectious Hypodermal dan Hematopoietic Necrosis Virus
(IHHNV) menyerang udang namun tidak menimbulkan kematian. Udang
yang terinfeksi IHHNV menyebabkan pertumbuhan lambat dan variasi ukuran
tinggi yang dapat menyebabkan penurunan produksi udang dan konversi
pakan tinggi (Masithah at all, 2016b).

24
Gambar.4 Udang yang terserang Virus (IHHNV)
4. Infectious Myo Necrosis Virus Infectious (IMNV)
Myo Necrosis Virus (IMNV) atau sering disebut Mio merupakan
penyakit yang sering menyerang udang putih. Udang yang terserang IMNV
akan mengalami kerusakan jaringan sehingga terjadi perubahan warna tubuh
menjadi putih kapas. Penyakit ini dipicu oleh kondisi lingkungan yang buruk
seperti kadar oksigen rendah dan kepadatan udang terlalu tinggi. Disamping
itu Perubahan suhu dan salinitas diduga sebagai penyebab merebaknya
penyakit ini, Udang yang terinfeksi oksigen rendah dan kepadatan udang
terlalu tinggi. Disamping itu Perubahan suhu dan salinitas diduga sebagai
penyebab merebaknya penyakit ini, udang yang terinfeksi IMNV akan
mengalami nafsu makan turun sampai terjadi kematian secara perlahan-lahan.
Kematian udang dapat mencapai 40-70% serta 31 meningkatnya konversi
pakan (FCR).Penularan penyakit IMNV dapat terjadi melalui kanibalisme
(udang memakan udang), air tambak, dan penularan vertikal dari induk (brood
stock). Pencegahan penyakit IMNV dapat dilakukan dengan menggunakan
benih SPF (specific pathogen free) dan penerapan biosecurity pada fasilitas
budidaya (Gunarto at all, 2012)

25
Gambar.5 Udang yang terserang Virus (IMNV)
5. White feces disease
White Feces Disease (WFD) atau kotoran putih merupakan salah satu
penyakit yang sering menyerang udang vaname . Penyakit ini diduga
disebabkan bakteri dari jenis Vibrio, antara lain : Vibrio parahaemolyticus,
Vibrio fluvialis, dan Vibrio alginolyticus serta dari golongan protozoa yaitu
gregarins. Vibrio dan gregarins tersebut banyak ditemui pada saluran
pencernaan udang yang terinfeksi WFD. Gejala yang ditimbulkan dari WFD
antara lain : nafsu makan udang turun, muncul kotoran udang berwarna putih
di permukaan air, saluran pencernaan kosong sampai terjadi kematian di dasar
tambak.
Pencegahan dan penanggulangan penyakit penyakit WFD ini dapat
dilakukan dengan beberapa tindakan antara lain : mengurangi kandungan
bahan/limbah organik terutama di dasar kolam serta menekan populasi vibrio
dan protozoa penyebab munculnya WFD. Kandungan limbah organik dapat
diatasi dengan penyiponan dasar tambak, sementara populasi vibrio dan
protozoa dapat ditekan dengan penggunaan probiotik dan bahan herbal yang
sudah terbukti sebagai anti bakteri.
6. Udang Kram (Cramped Shrimp)
Kram pada udang sering dijumpai oleh petambak dengan penyebab
yang belum jelas. Beberapa penelitian menduga kram pada udang terjadi
karena kekurangan mineral (Johnson, 1995). Meskipun sering dijumpai di

26
tambak, namun penyakit ini bukan masalah yang serius dalam budidaya udang
vaname .

Gambar 6. Udang Kram


7. Black Gill
Black Gill atau insang hitam sering menyerang udang windu maupun
vaname .Insang udang berwarna hitam. Ada dua tipe black gill pada udang
yaitu (1) terjadi pada saat proses budidaya yang disebabkan oleh organisme
penempel (fouling organism, protozoa dan bakteri yang menempel pada
permukaan insang menyebabkan inflamantasi pada jaringan dan (2) terjadi
pada saat proses panen berlangsung. Black gill yang terjadi pada saat panen
disebabkan kondisi udang yang tidak sehat serta penanganan panen yang
buruk. Kondisi ini dapat menurunkan harga udang di pasaran. Fusarium dan
Aspergillus flavus banyak ditemukan pada insang udang yangterserang black
gill. Udang yang terserang balck gill kan mengalami kesulitan bernafas, nafsu
makan turun dan dapat menyebabkan kematian. Penyebab munculnya
penyakit ini diduga karena beberapa faktor antara lain : kondisi dasar tambak
yang kotor, kualitas air yang jelek, serta over feeding. Metode yang tepat
dalam mencegah munculnya black gill antara lain : persiapan dasar tambak
yang baik, manajemen pakan yang tepat, manajemen kualitas air serta
manajemen dasar tambak. Tanah tambak yang berubah menjadi hitam
biasanya mengandung hidrogen sulfida (H2S) memicu tumbuhnya agen
penyakit seperti jamur, protozoa, bakteri dan virus.material tersebut harus
dibersihkan sebelum pengisian air. Pada proses budidaya hindari pemberian

27
pakan yang berlebih (over feeding) dan lakukan penyiponan secara rutin
unutk membuang limbah yang terakumulasi di dasar tambak.

Gambar 7. Udang normal (A) dan terserang black gill (B)

28
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan makalah di atas mengenai budidaya udang vaname dapat
disimpulkan bahwa :
1. Dalam klasifikasi, udang vaname termasuk famili Penaeidae. Penaeus
vannamei sering pula disebut dengan Litopenaeus vannamei yang merujuk
pada subgenus Litopenaeus. Penaeus monodon banyak ditemukan di
Indonesia, Thailand, India, Vietnam, Filipina, China, Bangladesh dan
Taiwan, sementara udangvaname banyak ditemukan di perairan Ekuador,
Mexico, Panama, dan Honduras.
2. Udang vaname adalah udang asli dari perairan Amerika Latin yang kondisi
iklimnya subtropics di habitat alaminya suka hidup pada kedalaman kurang
lebih 70 meter, udang vaname bersifat nocturnal, yaitu aktif mencari makan
pada malam hari
3. Budidaya udang menggunakan sistem bioflok dapat mengatasi masalah pada
kualitas air dan pakan. Teknologi Bioflok dapat diaplikasikan untuk budidaya
udang vaname menggunakan semua jenis wadah budidaya. Teknologi bioflok
dan probiotik dapat meningkatkan performa sistem imun udang. Dengan
menggunakan teknologi bioflok dapat mengurangi pemberian pakan buatan.
4. Pemeliharaan udang vaname dimulai dengan penebaran benur dengan
memperhatikan beberapa kriteria dengan melakukan observasi
berdasarkan pengujian visual, pengujian mikroskopis, aklimatisasi suhu,
aklimatisasi salinitas.
5. Kualitas air tambak pada budidaya udang vaname haruslah dalam keadaan
optimal, utamanya salinitas dan pH air. Udang vaname memiliki toleransi
yang cukup besar antara 3 ‰ sampai 48 ‰ udang vaname mempunyai
toleransi yang cukup tinggi terhadap salinitas, akan tetapi di bawah 10 ‰ dan
di atas 43 ‰ dapat menyebabkan kematian yang cukup tinggi oleh sebab itu,
salinitas dalam keadaan optimal yaitu 18 ‰ sampai 30 ‰, dalam budidaya

29
udang vaname juga diperhatikan adalah derajat keasaman atau pH air, pH
atau derajat keasaman yang baik bagi budidaya udang vaname adalah 7,5
sampai 8,5
6. Teknologgi yang digunakan dalam budidaya udang vaname adalah teknologi
bioflog yang digunakan dalam mengatasi masalah kualitas air.
7. penyakit menjadi penyebab utama kegagalan budidaya udang. Penyakit telah
menyerang udang di Indonesia dan menyebabkan kerugian yang besar secara
ekonomi antara lain White Spot Syndrome Virus (WSSV), Infectious
Myonecrosis Virus (IMNV), maupun Taura Syndrome Virus (TSV). Salah
satu penyebab utama merebaknya penyakit tersebut adalah terjadinya
degradasi lingkungan kolam. Penyakit pada udang akan muncul jika terjadi
interaksi antara kondisi lingkungan yang jelek, keberadaan patogen, dan
kondisi ikan lemah.
B. Saran
Semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat memberikan gambaran dan
menambah wawasan kita tentang budidaya udang vaname sehingga membangun
usaha sendiri dari produk yang diolah dari budidaya udang vaname.

30
DAFTAR PUSTAKA

Affandi, R. dan U. M. Tang. 2002. Fisiologi Hewan Air.Badan Penerbit


Universitas Riau (Unri Press), Pekanbaru.217 hal

Amir, S., Setyono, B. D. H., Alim, S., & Amin, M. (2018a). Aplikasi teknologi
bioflok pada budidaya 1, 23–25.

Amir, S., Setyono, B. D. H., Alim, S., & Amin, M. (2018b). Aplikasi teknologi
bioflok pada budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei). Prosiding
PKM-CSR ,1, 23–25.

Azhar, F. (2018). Aplikasi Bioflok yang dikombinasikan dengan Probiotik untuk


Pencegahan Infeksi Vibrio parahaemolyticus pada Pemelihaaran Udang
vaname ( Litopenaeus vanamei ) Application of Bioflocs Combined with
Probiotics for Prevention of Vibrio parahaemolyticus Infec. 3(April), 128–
137.

Briggs, M., F.F. Smith, R. Subasinghe, and M. Phillips. 2004. Introduction and
Movement of Penaeus vannamei and Penaeus stylirostris in Asia and The
Pacific. RAP Publication 2004/10

31

Anda mungkin juga menyukai