Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PENGELOLAAN LARVA DAN PASCA LARVA UDANG VANAME

MATA KULIAH : MANAJEMEN PRODUKSI PERIKANAN


MODUL : PRODUKSI PEMBENIHAN UDANG
DOSEN : DR. ANDI RUSDI WALINONO, S.Pi.,M.Si

ZAINAL SAMPARA
SULKIFLI ALAMSYAH ZAKARIA
NURAKSAN ISHAK

POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PANGKEP


2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena
hanya dengan segala rahmat-Nyalah akhirnya kami bisa menyusun makalah
dengan judul “Pengelolaan Larva dan Pasca Larva Udang Vaname” ini tepat pada
waktunya.

Kami selaku penyusun berharap semoga makalah yang telah kami susun
ini bisa memberikan banyak manfaat serta menambah pengetahuan terutama
dalam hal pengelolaan larva udang vaname.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan


yang membutuhkan perbaikan, sehingga kami sangat mengharapkan masukan
serta kritikan dari para pembaca

Mandalle, 25 Agustus 2019

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Udang vannamei merupakan salah satu jenis udang yang potensial untuk
dibudidayakan karena memiliki laju pertumbuhan yang relatif cepat serta
kemampuan adaptasi yang relatif tinggi terhadap perubahan lingkungan seperti
perubahan suhu dan salinitas (Adiwijaya et al., 2003). Peningkatan produksi
budidaya udang vannamei selalu dilakukan dengan cara meningkatkan padat tebar
dengan lahan dan sumber air yang terbatas sehingga mengakibatkan penurunan
kualitas air budidaya (Ariawan, 2005).

Penurunan kualitas udang vaname disebabkan oleh sistem pengelolaan usaha


budidaya udang vaname di tambah lagi dengan kualitas air pada kolam atau
tambak yang mengandum limbah budidaya yang terdiri dari bahan organik dan
nutrien baik yang bersifat partikel tersuspensi maupun terlarut (Viadero dan
Noblett, 2002). Limbah budidaya udang berupa bahan organik merupakan sumber
utama ammonia di media budidaya. Kadar ammonia yang tinggi berpengaruh
negatif terhadap kehidupan organisme akuatik dan bersifat toksik bagi organisme
(Bergheim dan Brinker, 2003).

Salah satu upaya untuk menanggulangi masalah penurunan kualitas


lingkungan yaitu bioremediasi. Bioremediasi merupakan pendekatan biologis
dalam pengelolaan kualitas air tambak dengan memanfaatkan aktivitas bakteri
nitrifikasi dan denitrifikasi 2 dalam merombak bahan organik dalam sistem
budidaya perairan. Beberapa jenis atau kelompok bakteri diketahui mampu
melakukan proses perombakan (dekomposisi) senyawa-senyawa metabolit toksik,
dan dapat dikembangkan sebagai bakteri agen bioremediasi untuk pengendalian
kualitas air (Priadie, 2012). Maka dari itu sistem pengelolaan yang tepat akan
memberikan keuntungan bagi usaha tambak/ kolam udang vaname.

B. Rumusan Masalah
1. Menjelaskan biologi udang vaname?
2. Menjelaskan sarana pokok dan sarana penunjang?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui biologi udang vaname.
2. Untuk mengetahui sarana pokok dan sarana penunjang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biologi Udang Vaname
1. Morfologi

Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) tubuh udang


vannamei dibentuk oleh dua cabang (biramous), yaitu exopodite dan
endopodite. Vannamei memiliki tubuh berbuku-buku dan aktivitas
berganti kulit luar atau eksoskeleton secara periodik (moulting). Bagian
tubuh udang vannamei sudah mengalami modifikasi sehingga dapat
digunakan untuk keperluan sebagai berikut.

1. Makan, bergerak, dan membenamkan diri ke dalam lumpur


(burrowing).
2. Menopang insang karena struktur insang udang mirip bulu unggas.
3. Organ sensor, seperti pada antena dan antenula.

a. Kepala (thorax)

Kepala udang vannamei terdiri dari antenula, antena, mandibula,

dan dua pasang maxillae. Kepala udang vannamei juga dilengkapi dengan

tiga pasang maxillipied dan lima pasang kaki berjalan (periopoda) atau

kaki sepuluh (decapoda). Maxillipied sudah mengalami modifikasi dan

berfungsi sebagai organ untuk makan. Endopodite kaki berjalan menempel

pada chepalothorax yang dihubugka oleh coxa. Bentuk periopoda beruas-

ruas yang berujung di bagian dactylus. Dactylus ada yang berbentuk capit

(kaki ke-1, ke-2, dan ke-3) dan tanpa capit (kaki ke-4 dan ke-5). Di antara

coxa dan dactylus, terdapat ruang berturut-turut disebut basis, ischium,

merus, carpus, dan cropus. Pada bagian ischium terdapat duri yang bisa

digunakan untuk mengidentifikasi beberapa spesies penaeid dalam

taksonomi.
b. Perut (abdomen)

Abdomen terdiri dari 6 ruas. Pada bagian abdomen terdapat 5

pasang kaki renang dan sepasang uropods (mirip ekor) yang membentuk

kipas (Haliman, R.W dan Adijaya, D.S, 2005). Untuk lebih jelasnya bisa

dilihat dari gambar 1 berikut ini :

Gambar 1. Morfologi udang vannamei (Haliman, R.W dan Adijaya, D.S 2005)

2. Klasifikasi

Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) klasifikasi


udang vannamei (Litopenaeus vannamei) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Sub kingdom : Metazoa

Filum : Artrhopoda

Sub filum : Crustacea

Kelas : Malascostraca

Sub kelas : Eumalacostraca

Super ordo : Eucarida

Ordo : Decapoda
Sub ordo : Dendrobrachiata

Infra ordo : Penaeidea

Super famili : Penaeioidea

Famili : Penaeidae

Genus : Litopenaeus

Spesies : Litopenaeus vannamei

3. Siklus Hidup

Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005)udang vannamei


bersifat noktural, yaitu melakukan aktifitas pada malam hari. Proses
perkawinan ditandai dengan loncatan betina secara tiba-tiba. Pada saat
loncatan tersebut, betina mengeluarkan sel-sel telur. Pada saat besamaan,
udang jantan mengeluarkan sperma sehingga sel telur dan sperma bertemu.
Proses perkawinan berlangsung sekitar 1 menit. Sepasang udang
vannamei dapat menghasilkan 100.000-250.000 butir telur yang
menghasilkan telur yang berukuran 0,22 mm.Siklus udang vannamei
meliputi stadia naupli, stadia zoea, stadia mysis, dan stadia postlarva.

4. Perkembangan Stadia Larva Udang Vaname

Stadia larva dalam budidaya udang vannamei adalah sebagai berikut :

a. Stadia Naupli
Udang masih belum memiliki sistem pencernaan sempurna dan
masih memiliki cadangan makanan berupa kuning telur sehingga udang
masih belum membutuhkan makanan dari luar. Menurut Haliman, R.W
dan Adijaya, D.S (2005) pada stadia ini, larva berukuran 0,32 - 0,58 mm.
Sistem pencernaannya belum sempurna dan masih memiliki cadangan
makanan berupa kuning telur sehingga pada stadia ini larva udang
vannamei belum membutuhkan makanan dari luar.
Menurut Elovaara, A.K (2001) fase naupli dimulai dari
pengeraman sampai hari ke-2 yaitu N1 sampai N2.
b. Stadia Zoea
Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) stadia
selanjutnya adalah stadia zoea, stadia ini terjadi setelah naupli ditebar di
bak pemeliharaan sekitar 15-24 jam. Larva sudah berukuran 1,05 - 3,30
mm. Pada stadia ini, benih udang mengalami moulting sebanyak 3 kali,
yaitu stadia zoea 1, zoea 2, zoea 3. Lama waktu proses pengantian kulit
sebelum memasuki stadia berikutnya (mysis) sekitar 4 - 5 hari. Pada stadia
ini udang dapat diberi pakan alami berupa artemia.
Menurut Elovaara, A.K (2001) fase zoea dimulai dari hari ke-2
sampai hari ke-4 yaitu Z1, Z2, Z3.
c. Stadia Mysis
Menurut Haliman RW dan Adijaya D (2005)pada stadia ini, benih
sudah menyerupai bentuk udang yang dicirikan dengan sudah terlihat ekor
kipas (uropoda) dan ekor (telson). Benih pada stadia ini sudah mampu
menyantap pakan fitoplankton dan zooplankton. Ukuran larva sudah
berkisar 3,50 - 4,80 mm. Stadia ini memiliki 3 substadia, yaitu mysis 1,
mysis 2, mysis 3 yang berlangsung selama 3 - 4 hari sebelum masuk pada
stadia post larva.
Menurut Elovaara, A.K (2001) fase mysis dimulai dari hari ke-5
sampai hari ke-10 yaitu M1, M2, M3.
d. Stadia Post larva
Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) pada stadia ini
benih udang sudah tampak seperti udang dewasa dan sudah mulai bergerak
lurus ke depan.
Sedangkan menurut Elovaara, A.K (2001) fase post larva dimulai
dari hari ke-11 sampai hari ke-21 yaitu PL1 sampai M2.
Fase larva udang vannamei dapat dilihat dari gambar 2 berikut :
Gambar 2. Fase larva udang vannamei (Elovaara, A.K, 2001)

5. Tingkah Laku Makan

Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005), udang


merupakan golongan hewan omnivora atau pemakan segala. Beberapa
sumber pakan udang antara lain udang kecil (rebon), fitoplankton,
cocepoda, polyhaeta, larva kerang, dan lumut.

Udang vannamei mencari dan mengidentifikasi pakan


menggunakan sinyal kimiawi berupa getaran dengan bantuan organ
sensor yang terdiri dari bulu-bulu halus (setae) yang terpusat pada
ujung anterior antenula, bagian mulut, capit, antena, dan maxillipied.

Untuk mendekati sumber pakan, udang akan berenang


menggunakan kaki jalan yang memiliki capit. Pakan langsung dicapit
menggunakan kaki jalan, kemudian dimasukkan ke dalam mulut.
Selanjutnya, pakan yang berukuran kecil masuk ke dalam
kerongkongan dan oesophagus. Bila pakan yang dikonsumsi berukuran
lebih besar, akan dicerna secara kimiawi terlebih dahulu oleh
maxillipied di dalam mulut.
6. Sifat Udang Vaname

Dalam usaha pemeliharaan larva udang vannamei, perlu adanya


pengetahuan tentang sifat udang vannamei, menurut Haliman, R.W
dan Adijayam D.S (2005), beberapa tingkah laku udang vannamei
yang perlu kita ketahui antara lain :

a. Aktif pada kondisi gelap (sifat noktunal)


b. Dapat hidup pada kisaran salinitas lebar (euryhaline)
c. Suka memangsa sesama jenis (sifat kanibal)
d. Tipe pemakan lambat, tapi terus-menerus (continuo feeder)
e. Menyukai hidup di dasar (bentik)
f. Mencari makanan lewat organ sensor (chemoreceptor)

B. Sarana Pokok dan Sarana Penunjang


1. Bak Pemeliharaan Larva

Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) bak pemliharaan adalah bak


unuk pemliharan larva. Untuk membangunnya perlu diperhatikan
bentuk dan ukurannya.

a. Bentuk

Larva udang tidak memerlukan bentuk bak yang spesifik. Bak


dapat berbentuk segi empat, bulat, atau oval. Yang penting sesuai
dengan biaya yang tersedia dan agar bentuk pekarangan tetap indah

Bak larva sudut-sudutnya tidak mati, agar sisa-sisa metabolisme,


sisa-sisa makanan, larva yang mati, dan kotoran lainnya tidak
terkumpul pada bagian ini. Dasar bak memiliki kemiringan 2% kearah
pembuangan,agar mudah dikeringkan dan dibersikan. Sedang dinding
harus licin, agar kotoran, jamur atau parasit tidak menempel serta
mudah dibersihkan.
b. Ukuran

Baik bak yang berukuran besar maupun yang kecil keduanya sama
baiknya. Karena keduanya dapat digunakan untuk menghasilkan
postlarva (PL) jual. Namun, dari kedua ukuran itu ada keuntungan dan
kerugiannya. Bak besa akan menciptakan kondisi air media yang
stabil seperti suhu dan salinitasnya, tetapi sering mendapat serangan
penyakit.

Dengan demikian ukuran yang ideal adalah yang kapasitasnya 10-


20 ton; tingginya 1,2-1,5 m; panjang dan lebarnya masing-masing 4 m
dan 2,5 m.

2. Bak kultur pakan alami

Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) bak kultur pakan alami


dapat dibuat dari kayu yang dilapisi plastik atau semen. Ukuran bak
yang baik 10% dari ukuran kapasitas bak pemeliharaan, yaitu
panjangnya 2 m; lebar 2 m; tinggi 0,6 m. Bak sebesar itu sudah cukup
untuk memenuhi satu siklus pemeliharaan pada bak pemeliharaan yang
berkapasitas 10 ton.

3. Instalasi Sistem Aerasi

Oksigen terlarut (DO) merupakan faktor pembatas bagi sebagian


besar organisme aquatik, menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) bahwa
oksigen yang terlarut saling berkaitan dengan parameter-parameter
kualitas air lainya, oleh karena itu kandungan okigen harus stabil.
Untuk menjaga kestabilan oksigen terlarut di air media, maka perlu
alat yang menyuplai oksigen. Kalau hanya mengandalkan difusi dan
fotosintesis Skletonema costotum akan kurang mencukupi. Alat yang
biasa di digunakan adaah blower yang dilengkapi dengan slang, batu
aerasi, dan kran pengatur udara.
4. Tenaga Listrik

Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) tanpa energi listrik,


kegiatan operasional tidak dapat berjalan sesui rencana. Energi listrik
digunakan sebagai penggerak blower, pompa celup, dan penerangan
karenanya tenaga listrik disalur selama 24 jam. Sumber energi listrik
diperoleh dari mesin genset atau PLN. Namun yang baik didatangkan
dari PLN bila ditinjau dari tegangannya maupun kebersihannya. Jika
digunakan genset akan muncul asap sisa pembakaran dan tumpahan
solar yang akan mengganggu kehidupan larva.

5. Sarana Pengadaan Air Laut


1. Pompa air

Pompa air digunakan untuk pengambilan air baik untuk


pengambilan air laut maupun untuk mengalirkan air dari bak
penampungan air laut ke bak pengendapan, kemudian dari bak
pengendapan ke ruang Ozonisasi yang kemudian dialirkan ke
tandon, dan yang terakhir dari tandon ke bak pemeliharaan.

2. Bak penampungan air laut


Bak penampungan ini terdiri dari berbagai bak yang
menggunakan sistem gravitasi. Bak yang digunakan diantaranya
adalah bak batu, dan bak ijuk, arang, pasir.
3. Bak Pengendapan

Bak ini digunakan untuk mengendapakan partikel yang lolos


dari proses filter pressure.

4. Tandon

Bak yang digunakan untuk menampung air setelah dilakukan


beberapa threatment, dimana air tersebut dipakai untuk persediaan.
Tandon yang ada terdiri dari 2 tandon, hal tersebut dikarenakan
agar pergantian air dapat berlangsung setiap hari, karena untuk
mengisi penuh 1 tandon dibutuhkan waktu 1 hari.
5. Bak penampungan 1

Air dari hasil budidaya dialirkan ke bak penampungan ini dan


selanjutnya diproses oleh protein skimmer.

6. Bak penampungan 2

Bak penampungan ini digunakan untuk menampung air yang


telah diproses (BBAP Situbondo, 2006).

2. Sarana Penunjang

Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) yang merupakan sarana


penunjang yaitu saringan, termometer, salinometer, pompa celup, ember,
wadah penetasan Artemia sp.

1. Pemeliharaan Larva Udang Vannamei

Pada pembenihan udang, pemeliharaan larva merupakan aspek


terpenting dalam pengoperasian sebuah hatchery. Kegiatan
pemeliharaan larva dimulai dari stadium nauplius hingga mencapai
stadium post larva (PL) yang dikenal sebagai benih udang atau benur
yang sudah menyerupai udang dewasa. Termasuk didalamnya
kegiatan-kegiatan seperti persiapan bak pemeliharaan, penebaran
nauplius, penyediaan dan pemberian pakan, pengelolaan kualitas air,
pengendalian penyakit dan proses pemanenan (Heryadi D dan Sutadi
1993).

2. Persiapan Bak

Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) persiapan bak meliputi :

a. Sanitsi Bak

Bak pemeliharaan yang akan digunakan harus disucihamakan


sehingga bebas dari penyakit. Caranya, bak dikeringkan (dijemur),
kemudian dasar dan dinding bak disikat. Agar lebih steril gunakan zat-
zat kimia seperti klorin dengan dosis 100 ppm, KMnO4 (kalium
permanganat) 10 ppm, dan formalin 50 ppm.

b. Perlakuan air media

Air media, umumnya dibeli pada penjual khusus yang


menyediakan jasa penyaluran air laut. Air laut yang dibutuhkan adalah
air yang berkadar garam 29-31 permil, dan bebas bahan pencemar.

1. Sterilisasi tahap I

Sebelum dipakai, air laut diberi perlakuan dengan


menggunakan zat-zat kimia agar bebas dari bakteri, protozoa,
jamur, dan mikroorganisme lainnya. Setelah air laut ditampung
dalam bak ditambahkan kaporit 30 ppm (30 g/m3 air).

Setelah itu tambahkan natrium tiosulfat sebanyak 10-12,5


ppm, kemudian biarkan proses tersebut berlangsung selama 24 jam
sambil tetap diaerasi.

Apabila air laut sudah netral kembali, tambahkan EDTA


sebanyak 10 ppm (10g/m3), dibiarkan selama 24 jam sambil
diaerasi. Langkah berikutnya menyimpan endapan sampai air
jernih dan steril. Cara lain yang dapat ditempuh yaitu dengan
memindahkan air yang sudah jernih tersebut ke bak lain dengan
menggunakan pompa celup.

2. Sterilisasi tahap II

Sterilasasi air laut tahap kedua dilakukan pada saat air


sudah dalam kondisi jernih dan dilakukan 2-3 hari sebelum larva
ditebar. Pada tahap ini masih digunakan EDTA sebanyak 8 ppm
yang dimasukan ke air media. Setelah itu ditambah antibiotic,
misalnya Erytromycyn sebanyak 1 ppm (1g/m3). Antibiotik
berfungsi untuk menghilangkan bakteri dan protozoa, sedangkan
untuk menghilangkan jamur dapat ditambahkan Trefflan sebanyak
0,1 ppm (0,1ml/m3). Dengan demikian zat kimia tersebut diberikan
dalam waktu yang sama dengan urutan, EDTA, antibiotik, dan
trefflan.

c. Perlakuan terhadap organisme


Walaupun bak dan air media sudah bebas panyakit, justru
organisme yang ditebar yang membawa penyakit. Karenanya,
organisme yang akan dipelihara sebaiknya diberi perlakuan dahulu
sebelum ditebar.
Apabila usahanya dimuai dari telur, maka telur diberi
perlakuan dengan meggunakan bahan kimia di antaranya Methelen
Blue 1 ppm selama 10 menit atau KMNO4 dengan dosis 3 ppm
selama 30 menit. Jika usahanya mulai dari nauplius, maka perlu
direndam dengan larutan Trefflan 0,1-0,2 ppm agar nauplius bebas
jamur.
d. Memeriksa Aerasi
Sehari sebelum penebaran, aerasi perlu di cek apakah
penyebaran gelembung dari batu aerasi sudah rata. Untuk
mengetahuinya, hidupkan blower lalu kran udara dibuka. Bila
gelembung udara yang dihasikan sama rata berarti aerasinya baik.
Aerasi ini juga meningkatkan kandungan oksigen sehingga gas-gas
beracun akan menguap keluar.
3. Penyediaan Telur
Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) cara untuk mendapatkan
telur udang penaeid :
a. Menyewa Induk
Menyewa induk udang di Jawa Timur sudah lazim
dilakukan oleh para pembenih. Harga sewa induk sepasang
sekitar Rp 25.000,00. Sistem ini cukup menguntungkan pihak
penyewa dan yang menyewa.
Bagi penyewa dengan mengeluarkan biaya sewa masih
biasa memperoleh keuntungan, karena sekali berelur bias
sebanyak 600.000-700.000 butir/induk. Daya tetas telur
(hatching rate) ditingkat pembenihan antara 70-80%
b. Membeli Telur
Membeli telur udang memang menjanjikan keuntungannya
dari pada membeli nauplius karena harganya lebih murah.
Namun resikonya juga lebih besar, karena daya tetas telur dan
kesehatan induknya belum diketahui.

3. Penebaran Nauplius
Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) sebelum naupli ditebar ke
dalam bak perlu diperhatikan salinitas, kondisi naupli, dan suhu air media.
Ciri naupli yang sehat, gerakannya sangat aktif terutama jika kena sinar.
Dan bila terjadi perbedaan suhu dan salinitas, maka dilakukan proses
penyesuaian yang dikenal dengan proses aklimatisasi.
Aklimatisasi salinitas dilakukan dengan cara, air media yang di dalam
bak dialirkan ke dalam baskom yang berisi naupli dengan menggunakan
dengan menggunakan slang plastik yang berdiameter kecil, sehingga aliran
airnya hanya sebesar benag jahit.
Untuk penurunan kadar garam sebesar 1 permil diperlukan waktu
antara 15-30 menit. Apabila salinitas antara air media pada bak
pemeliharaan sudah sama dengan air media pada baskom naupli, maka
proses akilmatisasi salinitas dianggap selesai.
Setelah aklimatisasi selesai naupli ditebarkan ke dalam bak
pemeliharaan dengan menjungkirkan baskom yang berisi naupli perlahan-
lahan. Padat tebar nauplii yang aman berkisar 100-150 ekor/L

4. Penyediaan Pakan

Jenis pakan yang diberikan pada larva udang vannamei selama


proses pemeliharaan yaitu pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami
yang biasa diberian pada larva uadang vannamei yaitu Skeletonema
costatum dan Artemia sp. Pakan alami ini sangat dibutuhkan pada stadium
akhir napulius (N-6) atau awal stadium zoea. Sedangkan pakan buatan
mulai diperlukan ketika larva memasuki stadium zoea. Pakan buatan ini
ada yang dijual dalam bentuk kalengan maupun bungkusan.

Dosis pakan yang diberikan pada larva tidak dihitung berdasarkan


jumlah populasi larva, tetapi diukur dengan satuan ppm, sebab larva
membutuhkan pakan yang tersedia setiap saat. Yang dimaksud dengan
ppm adalah gram/ton volume air media yang jika pakan berbentuk tepung,
sedangkan yang cair ml/ton. Dosis terebut hanya untuk pakan buatan,
sedangkan untuk dosis pakan alami yaitu sel/cc/hari atau individu /ekor
larva/hari.

Pemberian pakan dilakukan setiap 4-6 kali/hari dengan selang


waktu 4-5 jam. Larva suka makan pada malam hari maka pemberian
pakan pada malam hari lebih baik dari pada siang hari, yaitu pukul 05.00,
10.00, 15.00, 20.00 dan pukul 24.00.

Pemberian pakan dilakukan dengan cara dimasukkan kedalam


saringan yang kemudian dimaukkan ke dalam ember yang berisi air tawar.
Setelah itu saringn diremas-remas sampai pakan yang ada dalam saringan
habis, kemudian ditambahkan pakan alami. Pakan yang berada dalam
ember yang berisi air tadi langsung ditebar ke dalam bak pemeliharan
(Heryadi D dan Sutadi, 1993)

5. Pengelolaan Kualitas Air

Menurut Elovaara, A.K (2001) temperatur air untuk optimalkan


pertumbuhan dan transisi dari satu larva ke larva berikutnya adalah 280C,
sedangkan salinitas adalah 26-30 dan pH sekitar 8,0, namun pH 7,8 sampai
8,4 sudah cukup.

Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993), dalam pengelolaan kualitas


air ada beberapa perlakuan agar air media tetap sesuai untuk pertumbuhan
dan kelangsungan hidup larva, diantaranya :
1. Penyimpanan
Penyimpanan dilakukan agar sisa-sisa pakan buatan maupun sisa-
sisa metabolisme larva dapat dikeluarkan sehingga tidak terjadi
penumpukan dan pembusukandalam air media.
Penyimponan dapat dilakukan setelah larva mencapai stadium
mysis, frekuensinya 2 hari sekali, waktunyasetelah 2 jam pemberian
pakan. Cara menyimpon adalah sebagai berikut :
 Blower dimatikan,setelah itu slang yang akan digunakan utuk
menyedot air diisi air penuh dan dipasang saringan pada salah satu
ujungnya.
 Kemudian slang dimasukkan kedalam bak dan ujungnya yang
dilepas tutupnya sehingga air keluar dengan sendirinya.
2. Pengaturan cahaya
Untuk stadium naupli dan zoea, keduaya bersifat plangtonis yang
aktif berenang di permukaan air. Bagi kedua stadium ini diusahakan
agar suasana bak pemeliharaan gelap dengan cara menutup bak.
Apabila larva sudah masuk stadium post larva, bak pemeliharaan lebih
sering dibuka dalam upaya penyesuaian lingkungan.
Parameter kualitas air untuk budidaya udang vannamei dapat dilihat
dari Tabel 1, berikut :
Tabel 1. Parameter kualitas air untuk budidaya udang vannamei

Parameter Kualitas Air Batasan yang dianjurkan

DO 5,0 – 9,0

Karbondioksida ≥ 20 ppm

pH 7,0 – 8,3

Salinitas 0,5 – 35 ppt

Clorda ≥ 300 ppm

Sodium ≥ 200 ppm


Total Hardness (as CaCO3) ≥ 150 ppm

Calcium Hardness (as CaCO3) ≥ 100 ppm

Magnesium Hardness (as CaCO3) ≥ 50 ppm

Total Alkalinitas (as CaCO3) ≥ 100 ppm

Uninoized Ammonia (NH3) ≤ 0,03 ppm

Nitrit (NO2) ≤ 1 ppm

Nirat( NO3) ≤ 60 ppm

Hidrogen Sulfida (H2S) ≤ 2 ppb

Klorin ≤ 10 ppb

Kadmium ≤ 10 ppb

Kromium ≤ 100 ppb

Kopper ≤ 25 ppb

Lead ≤ 100 ppb

Merkuri ≤ 0,1ppb

Zinc ≤ 100 ppb

Suhu 28 – 32 0 C

Total Iron ≤ 1,0 ppm

Sumber :Elovaara, A.K (2001)

Menurut Subaidah, S dan Pramudjo, S (2008) selain pengukuran


parameter-parameter tersebut dilakukan pergantian dan penambahan
air secara sirkulasi dengan cara melihat air secara visual, bila
dipermukaan air telah banyak mengandung gelembung-gelembung
busa yang telah menumpuk dan gelembung tersebut tidak dapat pecah
kembali ini diasumsikan air pada kondisi jenuh dan telah terjadi
banyak perombakan-perombakan gas di dalam air. Pengisian air pada
awal penebaran naupli adalah sekitar 30% dari kapasitas wadah, saat
stadia zoea ditambah sampai 70%, stadia mysis 80% dan stadia post
larva 100%.

Menurut Subaidah, S dan Pramudjo, S (2008), Pergantian air


dilakukan setelah mencapai stadia mysis 3 sampai PL 5 berkisar 10-
30% dan PL 5 sampai dengan panen 30-50% dari volume wadah yang
terisi.

6. Penerapan Bioscurity

Menurut Subaidah, S dan Pramudjo, S (2008), tindakan


pencegahan penyakit dilakukan dengan penerapan biosecurity dengan
menggunakan PK (Kalium Permanganat) sebanyak ±1,5 ppm yang
ditempatkan pada awal pintu masuk sebelum memasuki dan akan
memasuki ruangan.

7. Pengendalian Penyakit

Menurut Ghufron M.H Kordik K (2006) penyakit adalah segala


sesuatu yang dapat menimbulkan gangguan pada fungsi atau struktur dari
alat-alat tubuh atau sebagian alat tubuh, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Pada dasarnya penyakit yang menyerang udang datangnya
melalui tiga faktor yaitu kondisi lingkungan (kualtas air), kondisi inang
(Udang) dan jasad organisme/penyakit.

Udang vannamei juga bukan spesies yang tahan terhadap berbagai


macam penyakit, oleh karena itu perlu penerapan sitem budidaya terbaik
agar kualitas udang yang dihasilkan lebih baik. Sedangkan menurut
Elovaara, A.K (2001) penyakit yang menyerang udang vannamei yaitu
infectious hypodemal and hematopoietic necrosis virus (IHHNV), Reo-like
virus (REO), and Taura Syndrome virus (TSV ).
Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (2005), gejala klinis
penyakit udang yaitu : bercak putih oleh virus, kematangan cepat 2-3 hari,
berenang ke dekat pematang kemudian mati, kepala kuning oleh virus
YHV, kerusakan organ limfoid dan insang, serangan MBV mengakibatkan
kerdil, penyakit bercak putih dicirikan dengan bagian kepala berukuran
kecil.

3. Pemanenan
Pemanenan benur dilakukan mulai pada stadia PL10 atau ukuran
PL telah mencapai 1 cm dan yang telah memenuhi kriteria-kriteria benur
yang siap dipanen. Caranya adalah membuka saluran pembuangan yang
telah diberi saringan di dalamnya agar air yang keluar tidak deras dan
benur tidak ikut keluar. Sebelum hal tersebut dilakukan terlebih dahulu
mengurangi ketinggian air hingga 6-10 cm sehingga benur mudah
ditangkap dengan menggunakan serok. Setelah ketinggian air mencapai 5
cm hentikan penyerokan dan buka saringan, sehinga sisa benur akan
keluar bersama air tersebut. Langkah berikutnya adaptasi salinitas,
penghitungan, dan pengemasan (Heryadi D dan Sutadi 1993).
4. Pengangkutan
Menurut Heryadi D dan Sutadi (1993) pengangkutan benur
umumnya dilakukan dengan cara tertutup dan terbuka. Pengangkutan
cara tertutup disenangi karena pengirimannya dapat dilakukan dengan
menggunakan bus, kereta api, pesawat udara, dan kendaraan lainnya. Cara
ini membutuhkan es, kantong pastik, tabung oksigen dan kardus Styrofoam.
Kunci keberhasilan dalam pengangkutan cara tertutup adalah suhu
dan kepadatan. Dalam pengangkutan diusahakan agar suhu tetap rendah,
oleh karena itu setelah plastik diikat, maka bagian luarnya digantungkan
plastik berisi es. Untuk daerah tropis suhu yang dianggap aman adalah
18-20 0 C.
Kepadatan yang aman dalam pengankutan cara tertutup yaitu
4.000-6.000 ekor /kantong. Setiap kantong diisi dengan 4 liter air dengan
perbandingan oksigen dan air 5:1. Pengangkutan dengan cara ini akan
aman jika lama perjalanan maksimum 6 jam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) tubuh udang


vannamei dibentuk oleh dua cabang (biramous), yaitu exopodite dan
endopodite. Vannamei memiliki tubuh berbuku-buku dan aktivitas
berganti kulit luar atau eksoskeleton secara periodik (moulting).

Stadia larva dalam budidaya udang vannamei adalah sebagai berikut :

1. Stadia Naupli
2. Stadia Zoea
3. Stadia Mysis
4. Stadia Post larva
Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005), udang
merupakan golongan hewan omnivora atau pemakan segala. Beberapa
sumber pakan udang antara lain udang kecil (rebon), fitoplankton,
cocepoda, polyhaeta, larva kerang, dan lumut.
Dalam usaha pemeliharaan larva udang vannamei, perlu adanya
pengetahuan tentang sifat udang vannamei, menurut Haliman, R.W dan
Adijayam D.S (2005), beberapa tingkah laku udang vannamei yang perlu
kita ketahui antara lain :
a. Aktif pada kondisi gelap (sifat noktunal)
b. Dapat hidup pada kisaran salinitas lebar (euryhaline)
c. Suka memangsa sesama jenis (sifat kanibal)
d. Tipe pemakan lambat, tapi terus-menerus (continuo feeder)
e. Menyukai hidup di dasar (bentik)
f. Mencari makanan lewat organ sensor (chemoreceptor)
DAFTAR PUSTAKA

http://digilib.unila.ac.id/4797/17/BAB%20I.pdf
http://repositori.kemdikbud.go.id/10324/1/Teknik%20Pembenihan%20
Krustacea%204.pdf
file:///C:/Users/Hewlett%20Packard/Downloads/21-Article%20Text-
84-1-10-20180814.pdf
http://digilib.umg.ac.id/files/disk1/21/jipptumg--evyluthfia-2052-1-
bab1.pdf
https://www.scribd.com/doc/248421674/Teknik-Pemeliharaan-Larva-
Udang-Vannamei

Anda mungkin juga menyukai