Anda di halaman 1dari 9

KEMENTRIAN KELAUTAN DAN PERIKANA BADAN PENGEMBANGAN SDM

KELAUTAN DAN PERIKANAN AKADEMI PERIKANAN SIDOARJO 2012


I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Jenis Udang Windu merupakan salah satu jenis udang yang memiliki nilai
ekonomis yang cukup tinggi dan merupakan komoditas ekspor andalan pemerintah. Konsekuensi
dari peningkatan tersebut adalah semakin tingginya kebutuhan benur yang berkualitas baik.
(Menurut Sutaman, 1993). Dalam usaha memenuhi pasar dunia akan ketersediaan udang windu,
para pengusaha pembenihan memulai kegiatan dari pembenihan, pembesaran sampai pada
pemanenan dan pemasaran udang windu. Salah satu usaha yang menentukan keberhasilan
produksi udang windu yaitu usaha pembenihan. Usaha pembenihan adalah usaha yang
menyediakan benih yang berkualitas baik untuk dibesarkan. Usaha pembenihan memberikan
harapan yang baik sekaligus peluang kerja yang lebih luas. Hal ini tidak saja disebabkan oleh
teknologi yang dikuasai sepenuhnya, akan tetapi bagian- bagian dalam siklus pembenihan udang
skala besar sekarang sudah diusahakan secara mandiri. (Menurut Sutaman, 1993). Oleh karena
itu, usaha pembenihan yang ada harus melakukan pembenahan, supaya dapat memenuhi standar
kualitas akan kebutuhan benur bagi petani tambak. Sesuai dengan uraian tersebut penulis perlu
melaksanakan pembelajaran dan praktek di lapangan tentang teknik pembenihan udang windu
mulai tahap persiapan sampai panen. Pemeliharaan larva sangat penting, dikarenakan kualitas
suatu benih akan mempengaruhi budidaya udang saat ditambak.
1.2. Maksud Dan Tujuan 1.1.2 Maksud Maksud Praktek Kerja Lapang (PKL) II adalah : (1)
Mengikuti kegiatan secara langsung teknik pemeliharaan larva udang windu di HSRT milik
Bapak Bashori. (2) Mempelajari lebih detail tentang teknik pemeliharaan udang windu mulai
dari persiapan sampai panen. (3) Memperoleh data teknis dan finansial tentang kegiatan usaha
pembenihan udang windu. 1.2.2 Tujuan Tujuan Praktek Kerja Lapang (PKL) II adalah : (1)
Memperoleh pengetahuan dan keterampilan tentang teknik pemeliharaan larva udang windu di
HSRT milik Bapak Bashori. (2) Mengetahui teknis analisis usaha pembenihan udang windu.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biologi Udang Windu 2.1.1. Taksonomi Udang Windu
Menurut Saanin (1968), Udang Windu digolongkan ke dalam :
Phyllum
: Arthopoda

Sub- phylum : Mandibulata Class : Crustacea Sub- class : Malcostraca Ordo : Decapoda Subordo : Matantia Famili : Penaedae Genus : Penaeus Species : Penaeus monodon Fabr
2.1.2. Morfologi Udang Windu Menurut Murtidjo (2003), tubuh udang windu terbagi menjadi
dua bagian, yakni bagian kepala hingga dada dan abdomen yang meliputi bagian perut dan ekor.
Bagian kepala hingga dada disebut chepalothorax, dibungkus kulit kitin yang tebal atau carapace.
Bagian ini terdiri dari kepala dengan 5 segmen dan dada dengan 8 segmen. Bagian abdomen

terdiri atas 6 segmen dan 1 telson. Udang windu (Penaeus monodon) memiliki 1 pasang
appendage. Lima pasang terdapat pada kepala, masing- masing antenulla pertama dan antenulla
kedua yang berfungsi untuk penciuman dan keseimbangan, mandibulla untuk mengunyah, serta
maxillula dan maxilla untuk membantu makanan dan bernafas. Tiga pasang appendage yang
terakhir merupakan kesatuan bagian mulut. Bagian dada Penaeus monodon memilki tiga pasang
maxilliped yang berfungsi untuk berenang serta membantu mengomsumsi makanan. Bagian dada
memilki lima pasang kaki renang yang berguna untuk berenang sertaa sepasang uropoda untuk
membantu melakukan gerakan melompat dan naik turun. Jenis kelamin udang windu betina
dapat diketahui dengan adanya telikum di antara kaki jalan ke-4 dan ke-5. Telikum berupa garis
yang tipis dan akan melebar setelah terjadi feritlisasi. Sementara, jenis kelamin udang windu
jantan dapat diketahui dengan adanya petasma, yakni tonjolan diantara kaki renang pertama,
dapat di lihat pada gambar I.
Gambar I. Udang Windu ( Penaeus monodon Fabr )
2.1.3. Reproduksi Udang Windu
Sistem reproduksi udang betina terdiri dari sepasang ovarium, dan sepasang
oviductus, lubang genital, dan sebuah alat kelamin yang disebut thelikum.
Komponen struktur utama dari ovari adalah dinding ovari, epithelium, folikel
dan terusan dinding ovari yang meliputi pembuluh darah dan sel-sel otot.

Sistem reproduksi udang jantan terdiri dari sepasang testis, vasa deferentia, sebuah petasma yang
berada diluar, serta appendiks maskulina. Sperma matang terdiri dari kepala, tutup, badan dan
duri, tidak berekor, tidak bergerak, dan mengandung inti yang tidak pekat. Waktu menembus
vasa diferentia kumpulan sperma yang berubah dikumpulkan dalam cairan sekretori dan
dimasukkan ke dalam spermatophora berkhitin (Ahmad dkk, 1988). 2.1.4. Makan dan Kebiasaan
Makan
Udang termasuk golongan omnivora atau pemakan segala. Beberapa sumber pakan
udang antara lain udang kecil (rebon), fitoplankton, cocepoda, polyhaeta,
larva kerang, dan lumut. Udang vannamei mencari dan mengidentifikasi pakan
menggunakan sinyal kimiawi berupa getaran dengan bantuan organ sensor yang
terdiri dari bulu-bulu halus (setae). Organ sensor ini terpusat pada ujung
anterior antenula, bagian mulut, capit, antena, dan maxillipied. Dengan
bantuan sinyal kimiawi yang ditangkap, udang akan merespon untuk mendekati
atau menjauhi sumber pakan. Bila pakan mengandung senyawa organik, seperti
protein, asam amino, dan asam lemak maka udang akan merespon dengan cara
mendekati sumber pakan tersebut.

Untuk mendekati sumber pakan, udang akan berenang menggunakan kaki jalan yang memiliki
capit. Pakan langsung dicapit menggunakan kaki jalan, kemudian dimasukkan ke dalam mulut.
Selanjutnya, pakan yang berukuran kecil masuk ke dalam kerongkongan dan oesophagus. Bila
pakan yang dikonsumsi berukuran lebih besar, akan dicerna secara kimiawi terlebih dhulu oleh
maxillipied di dalam mulut (Haliman dan Adijaya, 2005). 2.1.5. Siklus Hidup Menurut
Wardiningsih (1999) dan Mudjiman (2003) secara umum pergantian bentuk larva mulai dari
menetas sampai menjadi post larva (PL), yang siap untuk ditebar ke dalam tambak ada 4 fase
atau stadia. Empat fase tersebut adalah : fase nauplius, fase protozoa atau disebut pula swbagai

fase zoea, fase mysis dan yang terakhir adalah fase post larva. Bila diamati lebih teliti, maka
pada setiap fase terdiri dari beberapa sub fase (stadium), yang mempunyai bentuk berlainan.
Siklus hidup udang windu dapat di lihat pada gambar 2.
Ganbar 2. Siklus Hidup Udang Windu
2.1.6. Perkembangan Stadia Larva Udang Windu a. Fase Nauplius Fase ini dimulai sejak telur
menetas, dan berlangsung selama 46- 50 jam atau 2- 3 hari. Dalam fase ini larva belum
memerlukan makanan dari luar karena masih terdapat persediaan makanan dalam kantung kemih
telur itu sendiri. Fase nauplius ini mengalami pergantian bentuk, dengan tanda- tanda sebagai
berikut : Nauplius I : Badan berbentuk bulat telur, tetapi sudah mempunyai anggota badan 3
pasang. Nauplius II : Badan masih bulat tetapi pada ujung antenna pertama terdapat setae
(rambut) yang satu panjang dan yang dua pendek. Nauplius III : Tunas maxilla dan maxilliped
mulai tampak, demikian juga furcal yang jumlahnya 2 buah mulai terlihat jelas, masing- masing
dengan 3 duri (spine). Nauplius IV : Pada antenna kedua mulai tampak beruas- ruas dan pada
setiap furcal terdapat 4 buah duri. Nauplius V : Organ bagian depan sudah mulai tampak jelas
disertai dengan tumbuhnya tonjolan pada pangkal maxilla. Nauplius VI : Perkembangan bulubulu makin sempurna dan pada duri furcal semakin panjang.
b. Fase Protozoea Pada fase zoea larva harus diberi pakan dan aktif mengambil makanan sendiri
dari luar yaitu plankton. Fase zoea hanya berlangsung selama 3- 4 hari. Larva pada fase ini
sangat peka terhadap lingkungan. Fase zoea terdiri dari 3 tingkatan yang mempunyai tandatanda yang berbeda sesuai dengan perkembangnya yaitu : Zoea I : Bentuk badan pipih, mata dan
carapace mulai tampak, maxilla pertama dan kedua mulai nerfungsi, alat pencernaan tampak
jelas. Zoea II : Mata mulai bertangkai dan pada carapace sudah terlihat rostrum dan duri supra
orbital yang bercabang. Zoea III : Sepasang uropoda yang bercabang dua mulai berkembang dan
duri pada ruas- ruas perut mulai tumbuh.
c. Fase Mysis Fase mysis berikutnya mirip udang- udangan, sifatnya yang paling menonjol
adalah gerakan mundur dengan cara membengkokkan tubuhnya. Pada fase ini berlangsung
selama 4- 5 hari. Fase mysis pada larva ditandai dengan tiga kali perubahan dengan tanda- tanda
sebagai berikut : Mysis I : Bentuk badan ramping dan memanjang seperti udang mudah, tetapi
kaki renang masih belum tampak. Mysis II : Tunas kaki renang mulai tampak nyata tetapi belum
beruas- ruas. Mysis III : Tunas kaki renang bertambah panjang dan beruas- ruas.
d. fase Post Larva (PL) Perubahan bentuk pada fase ini yang paling akhir dan paling sempurna
dari seluruh metamorfosa, tetapi larva ini tidak mengalami perubahan bentuk, karena seluruh
bagian tubuh sudah lengkap dan sempurna seperti udang windu.
2.2. Tingkah Laku Dalam usaha pembenihan udang windu, perlu adanya pengetahuan tentang
tingkah laku udang. Menurut Darmono (1991), beberapa tingkah laku udang windu yang perlu
diketahui antara lain : a. Sifat Nokturnal Yaitu sifat binatang yang aktif mencari makanan pada
waktu malam hari, pada siang hari mereka lebih suka beristirahat, baik membenamkan diri dalam
lumpur maupun menempel pada suatu benda yang terbenam dalam air dengan tujuan
menghindarkan diri dari musuh- musuhnya. b. Sifat Kanibalisme Yaitu sifat suka memangsa

sejenisnya. Sifat ini sering timbul pada udang yang kondisinya sehat, yang sedang tidak ganti
kulit. Sasarannya adalah udang- udang yang kebetulan ganti kulit. c. Ganti Kulit (Moulting)
Yaitu proses pergantian kutikula lama digantikan dengan kutikula yang baru. Kutikula adalah
kerangka luar udang yang keras atau (tidak elastis). Oleh karena itu untuk tumbuh menjadi lebih
besar mereka perlu melepas kulit lama dan menggantikan dengan kulit yang baru.
d. Migrasi Yaitu proses perpindahan sekelompok udang dari habitat satu ke habitat yang lain.
Kegiatan migrasi ini dilakukan karena terbatasnya persediaan makanan atau udang betina yang
bertelur. e. Daya Tahan Udang windu terutama pada waktu masih berupa benih, sangat tahan
pada perubahan kadar garam atau salinitas. Sifat demkian dinamakan sifat Euryhaline. Sifat lain
yang menguntungkan adalah ketahanan terhadap perubahan suhu dan sifat ini dikenal dengan
nama Eurytherma.
2.3. Penentuan Lokasi Menurut Murtidjo (2003), lokasi yang memenuhi syarat untuk
pembenihan udang windu adalah : a. Dekat dengan pantai, sehingga mudah mendapatkan air
laut. b. Kualitas air laut yang digunakan Salinitas air laut sekitar 30 ppt memenuhi syarat
sebagai berikut : Air cukup bersih dan tidak mengandung zat- zat organik maupun Lokasi jauh
dari pH 7 8 ; pH laut yang potensial 7 9 anorganik. pencemaran, baik dari pabrik,
pestisida bekas pembasmian hama di sawah. c. Tersedia tenaga listrik yang menyalurkan arus
menerus selama 24 jam. d. Tidak jauh dari pertambakan dan sumber induk nauplius.
2.4. Sarana dan Prasarana Pembenihan Wardiningsih (1999) dan Soetomo (2000), menjelaskan
bahwa sarana dan prasarana pembenihan terdiri dari :
a. Bak pemeliharaan larva Berdasarkan bentuknya, bak pembenihan terbagi atas empat macam
yaitu bak berbentuk persegi empat, bak berbentuk lingkaran, bentuk bulat telur dan bentuk
kerucut. Bak persegi empat biasanya digunakan dalam sistem jepang, biasanya digunakan dalam
pembenihan yang berukuran besar dengan kapasitas lebih besar dari 15 ton. Bak berbentuk
kerucut dikenal dalam pembenihan metode Galveston, biasanya digunakan pada bak pembenihan
berukuran kecil dan berkapasitas lebih kecil dari 3 ton. Bak berbentuk lingkaran ataupun bulat
telur dapat menghasilkan sirkulasi yang baik, yang biasanya digunakan dalam pembenihan udang
skala rumah tangga dengan kapasitas antara 10 15 ton.
b. Bak kultur plankton Untuk menyediakan pakan alami fitoplankton satu siklus pemeliharaan
dalam bak larva 30 ton, diperlukan bak kultur alga sebanyak 2 bak dengan kapasitas 2 x 2 x 0,6
m. Pemberian plankton dilakukan dalam media pemeliharaan larva hanya 2 hari pertama stadia
20. Selanjutnya plankton akan tumbuh dengan sendiri pada bak pemeliharaan larva. c. Bak
penetasan artemia Untuk menetaskan cyste artemia, dapat digunakan wadah yang cukup
sederhana dengan harga yang relatif murah. Wadah tersebut dapat di buat dengan kombinasi
antara ember plastik dengan corong plastik sehingga membentuk kerucut. Volume wadah
penetasan artemia berkisar 20 25 liter. d. Generator Generator mutlak digunakan sebagai
penggerak blower, pompa air, untuk penerangan, dan lain- lain. Kapasitasnya diseuaikan dengan
kebutuhan pasca larva dibuat dari semen dengan kapasitas 20 30 m3 dengan kedalaman 1 m
yang ditempatkan di luar. e. Pompa air Blower dipergunakan sebagai alat untuk membantu dan
menigkatkan kelarutan dalam air.

2.5. Kegiatan Pembenihan 2.5.1. Persiapan bak dan Air Media Menurut Wardiningsih (1999),
dalam kegiatan pembenihan udang, persiapan bak yang dimaksud adalah untuk mengeringkan
dan membersihkan bak dari segala bentuk kotoran, yang dikerjakan sebelum bak digunakan atau
diisii air. a. Persiapan Bak Kegiatan persiapan bak berupa membersihkan bak- bak untuk
kegiatan pembenihan agar bersih dan steril sehingga bak tersebut terbebas dari penyakit. Setelah
bak dibersihkan, dilakukan pengeringan bak selam 2- 3 hari supaya organisme air yang terdapat
dalam bak mati. Bila proses pengeringan bak ini tidak dapat dilakukan maka untuk
membersihkan dinding bak dilakukan dengan cara lain, yaitu dengan cara menggunakan larutan
chlorin 100 ppm (100 ml larutan cholorin 10 % dalam 1 m3 air). Pada pencucian dengan
penggunaan larutan chlorin, sebelum diisi air maka bak perlu dinetralisasi dan cholorin, karena
chlor yang masih menempel pada dinding bak biasa bersifat racun bagi larva dan dapat meatikan
plankton yang akan diberikan sebagai makanan larva. Hal ini sesuai dengan pendapat dari
Wardiningsih (1999) bahwa sebelum bak digunakan atau diisi air perlu dilakukan pengeringan
dan pembersihan bak. Cara menetralisis chlor ini dengan menggunakan larutan Natrium Tio
Sulfat sebanyak 40 ppm, atau sebelum diisi air bak dikeringkan selama 1-2 jam untuk
menghilangkan chlor yang bersifat racun tersebut. b. Persiapan Air Air yang digunakan berasal
dari laut, kemudian air itu disaring dalam bak penyaringan, dalam bak penyaringan air di beri
kaporit 7-10 gram/ton untuk membunuh bakteri-bakteri patogen dari laut. kemudian air dalam
bak di beri aerasi untuk menghilangkan kandungan kaporit, proses ini dilakukan selama 2-3 hari,
kemudian air disalurkan ke bak tandon untuk siap digunakan proses penbenihan.
2.5.2. Pengaturan Aerasi Menurut Wardiningsih (1999), kondisi aerasi harus diperhatikan karena
selama pemeliharaan tidak jarang dijumpai larva yang meletik ke dinding bak, maka untuk
mengatasinya adalah aerasi harus dinaikkan kekuatannya. Walaupun demikian aerasi juga harus
dijaga pengeluarannya, tidak boleh terlalu kecil ataupun terlalu besar, dan tidak boleh mati sama
sekali karena berakibat buruk terhadap larva yang dipelihara, bahkan dapat mengakibatkan
kematian missal. Kekuatan aerasi dibuat sekitar 101/menit untuk kedalaman air 50 cm,
sedangkan jumlah aerasi diperhitungkan satu buah aerasi per meter persegi. Jadi untuk satu bak
dengan luas 4 x 4 meter persegi diperlukan paling sedikit 16 buah aerasi. Aerasi harus dipasang
dengan posisi yang dapat tersebar merata didasar bak.
2.5.3. Pengelolaan Kualitas Air Kualitas air merupakan factor penting selama pembenihan
berlangsung. Baik buruknya sangat menentukan hasil yang akan dicapai. Oleh karena itu kualitas
air diusahakan sebaik mungkin dan selalu dipantau. Persyaratan kualitas air dan parameternya
yang baik untuk pembenihan udang windu dapat dilihat pada table dibawah ini.
Tabel 1. Persyaratan Kualitas Air dan Parameternya No Parameter Standar Ukur (1) (2) (3) 1.
Fisika a. Suhu 26 - 300 C b. Salinitas 0 35 permil dan optimal 10 30 permil c. Kecerahan air
25 30 cm 2. Kimia 1. pH air 7,5 8,5 2. DO (Oksigen terlarut) 4 8 mg/ltr 3. Amoniak (NH3)
< 0,1 mg/ltr 4. H2S < 0,1 mg/ltr 5. Nitrat 200 mg/ltr
Sumber : www.dkp.go.id (2012)
2.5.4. Induk dan Pemijahan Menurut Wardiningsih (1999), pada umumnya Udang Penaid
memijah di daerah lepas pantai, kecuali beberpa spesies dari genus Metapenaeus yang memijah
didaerah pantai. Pemijahan sebenarnya terjadi sepanjang tahun, tetapi terdapat pada dua puncak

musim yaitu pada awal dan akhir musim hujan. Perubahan kadar garam yang bersamaan dengan
perubahan suhu yang mendadak dapat memberikan rangsangan pada induk udang yang matang
telur untuk memijah. Sedangkan pemijahan yang paling efektif didapatkan pada waktu suhu air
relative tinggi. Pada umumnya udang bertelur pada malam hari, akan tetapi juga tergantung pada
perkembangan musim.
2.5.5. Pemeliharaan Larva Wardiningsih (1999), menjelaskan bahwa stadium larva merupakan
stadia yang lemah pada daur hidup. Oleh karena itu peranannya sangat penting dalam
menentukan berhasil tidaknya suatu pembenihan udang. Dalam hal ini penanganannya harus
benar-benar diperhatikan yaitu mulai dari stadium Nauplius sampai stadium Post Larva. Selain
itu juga perlu dihindari hal- hal yabg akan menimbulkan stres pada larva antara lain adalah :
kondisi aerasi, pemberian pakan dan pengamatan terhadap perkembangan larva, dan juga
pengamatan kualitas air media. Selama pemeliharaan, perawatan, pemberian pakan dan
penggantian air merupakan kegiatan rutin yang setiap hari harus diperhatikan dan ditangani
secara seksama.
2.5.6. Pakan Menurut Wardiningsih (1999), pada stadium nauplius belum diberi makan karena
dalam tubuh masih mempunyai persediaan makanan dalam kantung kuning telur. Tetapi
pemberian makanan seperti Skeletonema sp dan Tetraselmis sp dalam bak besar harus sudah
dimulai 2 hari sebelum induk matang telur dipindahkan ke dalam bak peneluran. Hal ini
dimaksudkan supaya setelah Nauplius menjadi Zoea makanan yang dikultur sudah siap untuk
diberikan kepada larva. Setelah menjadi zoea larva memerlukan makanan yang melayangmelayang dalam air. Pemberian makanan berupa Skeletonema sp dan Tetraselmis sp bersama
massa airnya mempunyai keuntungan yaitu untuk mengurangi kepadatan penebaran larva dalam
bak. Secara umum makanan yang diberikan kepada larva udang selama pemeliharaan ada 2 jenis
makanan, yaitu makanan alami yang berupa fitoplankton dan zooplankton, dan makanan buatan.
Jenis makanan, ukuran pemberian pakan sesuai dengan stadium perkembangannya, dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Jenis Makanan, Ukuran Pemberian Pakan Pada Stadium Larva. STADIA JENIS PAKAN
DOSIS FREKUENSI (1) (2) (3) (4) Naupli Makanan dari cadangan isi kantung telur. - - Zoea
Plankton nabati Diatome (skeletonema, Navicula, Amphora, Tetraselmis, dll) 15 20 % dari
berat tubuhnya 4 6 kali sehari Mysis 15 20 % dari berat tubuhnya 4 6 kali sehari Post Larva
5 10 % dari berat tubuhnya 4 6 kali sehari Udang Dewasa 5 10 % dari berat tubuhnya 4 6
kali sehari
Sumber : www.dkp.go.id (2012) 2.5.7. Penyakit dan Penanggulangannya Selama
perkembangannya larva sering kali terserang beberapa jenis jamur, bakteri atau protozoa yang
dapat mengganggu pertumbuhan bahkan dapat mengakibatkan kematian. www.dkp.go.id (2012)
Menurut Mutidjo (2003), berbagai jenis penyakit yang spesifik menyerang larva udang windu
diuraikan sebagai berikut : 1. Penyakit Virus Ada empat jenis penyakit virus yang ttidak dikenal
menyerang tingkat larva dan post larva : Baculoviruspanei (BP), Baculo viral midgut gland
neocrosis (BMN), dan Injectious hemato poletic neocrosis virus (IHHN). Di Indonesia baru satu
yang dikenal menyerang udang windu, yaitu Baculovirus panei atau Monodon baculo (MBV).
Umumnya menyerang post larva (PL), khususnya diatas post larva 20 (PL 20). Induk udang
sebagai sumber dan pembawa penyakit ( carrier ) dengan mudah menularkan virus ke larva

melalui telur karena vrus banyak terdapat pada fesesnya. Oleh alasan ini, pengisolasian induk
udang windu yang positif terinfeksi dari tempat pemeliharaan larva merupakan salah satu
pengendalian penyakit virus, disamping mengurangi faktor cekaman ( stress ) dan kepadatan. 2.
Penyakit Bakteri Non- Filamen Meskipun penyakit bacterial sangat umum menyerang larva
udang windu, Namun infeksinya bersifat oportunis, dalam arti bakteri merupakan penyebab
timbulnya penyakit. Salah satu jenis penyakit bakterial yang akhir- akhir ini sering menimbulkan
masalah pada larva udang windu disebut penyakit bakteri menyala atau bakteri pasar malam
. Penyakit ini diduga disebabkan oleh bakteri vibrio luminescent. Serangan bakteri ini sering
dikaitkan dengan adanya perubahan kondisi lingkungan sehingga larva menjadi stress.
Akibatnya, bakteri berkembang dengan cepat dan mengakibatkan kematian pada larva secara
missal. Penggunaan obat- obatan seperti terramicin, choramphericol, dan furanace telah dikenal
cukup efektif membasmi penyakit bakteri tersebut. Namun, cara yang lebih baik adalah usaha
sanitasi , baik sebelum maupun pada saat pemeliharaan larva, disamping desinfeksi bak
pemeliharaan serta menghindarkan keluar masuknya pekerja dari suatu hatchery ke hatchery lain,
penggunaan filter, dan sebagainya. Akan tetapi, penggunaan obat secara rutin dapat berdampak
negative, meskipun antibiotik itu pada awalnya efektif. 3.Penyakit Bakteri Filamen Terhadap
infeksi bakteri filament, larva udang windu lebih tahan dibandingkan dengan tingkatan post larva
(PL). Hal ini disebabkan oleh proses ganti kulit ( moulting ) pada larva lebih sering dan cepat
terjadi sehingga bakteri filament ( Leuconthrix mucor ) tidak sempatterakumulasi dalam
tubuhnya. Dalam keadaan infeksi berat sering terjadi kematian akibat terjeratnya larva udang
oleh benang- benang bakter tersebut. Selain itu, bakteri banyak menempel di bagian insang
sehingga mengganggu pernapasan. Selanjutnya, nafsu makan menurun dan akhirnya mengalami
kematian. Usaha pencegahan yang perlu dilakukan adalah perbaikan kualitas air, penanganan
yang baik, mengurangi kepadatan, dan mengurangi stress ( cekaman ). Pengobatan yang dapat
dilakukan antara lain pemberian furanace 1 ppm, formalin 25 ppm, dan KMnO4 sebanyak 2
ppm.
4. Penyakit Jamur Penyakit karena jamur merupakan kasus yang sering terjadi pada larva udang
windu. Penyebabnya adalah Lagenidium sp. Jamur ini biasanya menyerang larva pada stadium
zoea dan mysis. Serangan jamur ini bersifat sistemik, yakni dapat menyerang sampai ke dalam
tubuh larva udang windu. Penularan jamur ini terjadi melalui zoospore, yaitu fase infeksi yang
berenang bebas di air. Zoospora juga terdapat pada Artemia sehingga makanan alami larva
tersebut juga menjadi sumber infeksi. Serangan Lagenadum sp dapat memusnahkan populasi
larva udang windu dalam waktu 2 - 3 hari. Larva yang terinfeksi sulit diobati sehingga hanya
dapat di usahakan melalui pencegahan penyebaran fase infeksi parasit dengan cara pencucian
bak pemeliharaan dengan klorin atau Malachite Green. Tindakan pencegahan yang sebaiknya
dilakukan adalah memandikan induk udang dalam larutan Malachite Green 5 ppm selama 2
menit sebanyak 2 3 kali berturut- turut, atau menggunakan Treflan 0,01 ppm pada saat
penggantian air dari desinfeksi bak pemeliharaan larva.
5. Penyakit Protozoa Penyakit protozoa pada larva udang windu pada umumnya disebabkan oleh
golongan ciliate ( Epicommonsel peneitrichous cilintes ), terutama dari jenis spesies
Zoothamnium, Epystylis, dan Vorticella. Serangan penyakit protozoa ini biasanya terjadi
bersama- sama dengan serangan organisme pathogen lainnya, misalnya bakteri filamen. Pada
infeksi yang berat, terlihat seluruh permukaan tubuh larva ditempeli oleh parasit. Akibatnya,
larva penderita tampak dilakukan di hatchery. Namun, salah satuu pencegahan yang efektif

adalah penggunaan formalin dengan dosis 15ppm 25 ppm untuk larva dan 100 ppm 250 ppm
untuk desinfeksi bak pemeliharaan.
2.5.8. Pemanenan Menurut Wardiningsih (1999), waktu yang dibutuhkan untuk panen adalah
saat benih berumur 35 hari. Pemanenan dilakukan secara bertahap, umumnya dilakukan dua atau
empat kali dalam satu masa pemeliharaan agar larva udang tidak stress. Cara pemanenan
dilakukan pertama- tama dengan melakukan pengeringan bak, yaitu menurunkan permukaan air
dengan mengeluarkannya kira-kira volume air untuk mengurangi stress pada benur. Seser yang
digunakan harus menggunakan jaring yang halus, supaya tidak merusak fisik benur.
Penangkapan benur ini pun tidak boleh dilakukan secara kasar, harus dilakukan dengan pelanpelan. Jika pada dasar tambak mempunyai pipa pembuangan, maka ke dalam kotak panen atau
ember. Benur yang telah dimasukkan ke dalam wadah penampungan yang telah dipersiapkan,
yaitu ember besar yang dilengkapi dengan aerasi.

III. METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktek Kerja Lapang II akan dilaksanakan pada tanggal 22
Oktober sampai dengan 2 November 2012 bertempat di HSRT Milik Bapak Bhasori Desa
Paciran Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur.
3.2. Metode Praktek Kerja Lapang Praktek Kerja Lapang II dilaksanakan dengan metode survei.
Menurut Nazir (1988), metode survei adalah penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh
fakta-fakta dari gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang
instusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok ataupun daerah. Sedangkan untuk
memperoleh keterampilan penulis menggunakan metode magang. Metode magang adalah
penulis mengikuti serta berpartisipasi secara langsung dalam semua kegiatan yang berhubungan
dengan proses pemeliharaan udang Windu yang dilaksanakan di tempat Praktek Kerja Lapang
dibawah bimbingan eksternal.
3.3. Sumber Data
Sumber data yang diperoleh dari Praktek Lapang adalah data primer dan
sekunder.

Data primer adalah data yang dikumpulkan dan disatukan secara langsung dari obyek yang
diteliti dan untuk kepentingan studi yang bersangkutan dalam bentuk pengamatan dan mengikuti
segala jenis kegiatan yang meliputi kegiatan (Nazir, 1988). Adapun data yang diambil meliputi
pemeliharaan larva, pemeliharaan setiap stadia, panen sampai pemasaran. Data skunder adalah
data yang dikumpulkan dari lembaga lain yang sudah dipublikasikan (Nazir,1988). Ditambahkan
oleh (Subagyo,1991). Data sekunder dikumpulkan sebagai studi literatur dan bahan pembanding
terhadap data primer yang dikumpulkan. Jenis data sekunder adalah literatur buku yang
digunakan dalam pembahasan tinjauan pustaka, literatur dari internet.
3.4. Teknik Pengumpulan Data Menurut Nazir (1988), data yang diperoleh diambil dengan cara :
a. Observasi Langsung Pengumpulan data dengan observasi langsung atau dengan pengamatan

langsung dengan cara pengambilan data dengan menggunkan mata tanpa ada pertolongan alat
standar lain untuk keperluan tersebut. Daftar data yang akan dipelajari dapat dilihat pada
lampiran 2. b. Wawancara / interview Yang dimaksud dengan wawancara adalah proses
memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka
antara si penanya atau pewawancara dengan sipenjawab atau responden dengan menggunakan
alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara) atau juga dengan menggunakan
daftar kuisioner. Daftar pertanyaan dapat dilihat pada lampiran 3. . 3.5. Teknik Pengolahan Data
Menurut Naburko dan Achmadi (2004), data yang telah terkumpul baik data primer maupun
sekunder selanjutnya dilkukan pengelolaan data sebagai berikut :
1. Editing Sebelum data diolah, data tersebut perlu diedit terlebih dahulu, dengan kata lain, dan
atau keterangan yang telah dikumpulkan dalam record book. Agar data yang di peroleh dalam
hasil pembahasan laporan pembenihan udang windu dapat mudah disusun dan dapat di pahami.
2. Tabulating Membuat tabulasi termasuk dalam kerja memproses data. Membuat tabulasi tidak
lain memasukkan data kedalam tabel-tabel, dan mengatur angka-angka sehingga dapat dihitung
jumlah kasus dalam berbagai-bagai kategori. Seperti dalam penyajian data nilai standar kualitas
air media pemeliharaan larva udang windu.
3.6. Analisis Data Data dianalisis dengan menggunakan analisis diskriptif yaitu menyajikan data
sesuai dengan informasi yang diperoleh dilapanagan. Menurut Naburko dan Achmadi (2004),
analisa deskriptif adalah menyajikan data sesuai dengan keadaan sebenarnya guna
mempermudah pengambilan keputusan.
3.7. Analisis Usaha Analisis usaha dalam bidang perikanan merupakan upaya untuk mengetahui
sampai dimana keberhasilan yang telah dicapai selama usaha perikanan itu berlangsung. Ada
beberapa macam bentuk penyajian analisis usaha yang bisa dipakai untuk menguji keuntungan
analisis usaha antara lain analisis pendapatan usaha dan analisis imbangan penerimaan dan biaya
(Soeharto, 1999).

Anda mungkin juga menyukai