PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Menurut JICA (2008), pemeliharaan mutu baik ikan non budidaya maupun
salinitas yang tinggi serta dapat dipelihara pada padat tebar yang tinggi
(Panjaitan,2012).
Menurut Wijandi (2003), Jenis-jenis ikan yang termasuk dalam kekayaan
perairan Indonesia yang mempunyai nilai ekonomis penting yang banyak
diusahakan dan ditangkap adalah diantaranya adalah udang. Udang sangat
digemari dipasaran karena rasanya yang khas, oleh karena itu pemasaran udang
dalam bentuk segar sangat disukai oleh konsumen. Untuk itu, kualitas dan
kesegaran udang harus tetap dijaga dengan baik sehingga udangtersebut sampai ke
pasar atau ke tangan konsumen. Penanganan hasil panen merupakan tindakan
teknis, yaitu penanganan secara fisis mekanis berkaitan dengan proses lebih
lanjut. Penanganan udang hasil panen harus dilakukan dengan cepat, karena
kualitas udang mudah rusak. Kesalahan atau keterlambatan penanganan
mengakibatkan udang tidak bisa diharapkan menjadi komoditas ekspor.
1.2.
1.
2.
3.
4.
Rumusan Masalah
Bagaimana klasifikasi dari Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)?
Bagaimana morfologi dari Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)?
Bagaimana siklus hidup dari Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)?
Apa sajakah teknik pasca panen dalam penanganan Udang Vannamei
(Litopenaeus vannamei)?
5. Bagaimana sistem pemasaran Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) ke
tangan konsumen?
1.3.
1.
2.
3.
4.
Tujuan
Mengetahui klasifikasi dari Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei).
Mengetahui morfologi dari Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei).
Memahami siklus hidup dari Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei).
Mengetahui teknik pasca panen dalam penanganan Udang Vannamei
(Litopenaeus vannamei).
5. Memahami sistem pemasaran Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)
ke tangan konsumen.
BAB II
PEMBAHASAN
: Arthropoda
Kelas
: Crustacea
Sub-kelas
: Malacostraca
Series
: Eumalacostraca
Super order
: Eucarida
Order
: Decapoda
Sub order
: Dendrobranchiata
Infra order
Famili
: Penaeidae
Genus
: Penaeus
Sub genus
: Litopenaeus
Spesies
: Litopenaeus vannamei
Penaeidea
Udang vanamei (Litopenaeus vannamei)
mata, sepasang antena, sepasang antenula bagian dalam dan luar, tiga buah
maksilipied, lima pasang chelae (periopod), lima pasang pleopod, sepasang telson
dan uropod.
Menurut KPPKK (2011), secara morfologi udang dapat di bedakan
menjadi 2 bagian, yaitu:
- Cephalothorax (bagian.kepala dan badan yang dilindungi carapace)
- Abdomen (bagian perut terdiri dari segmen/ruas-ruas)
Bagian kepala : Pada ruas kepala terdapat mata majemuk yang bertangkai.
Selain itu,memiliki 2 antena yaitu: antenna I dan antenna II. Antena I dan
antenullesmempunyai dua buah flagellata pendek berfungsi sebagai alat
peraba ataupenciuman. Antena II atau antenae mempunyai dua cabang,
exopodite berbentuk pipih disebut prosantema dan endopodite berupa cambuk
panjang yang berfungsi sebagai alat perasa dan peraba. Juga, pada bagian
kepala terdapat mandibula yang berfungsi untuk menghancurkan makanan
yang keras dan dua pasang maxilla yang berfungsi membawa makanan ke
mandibula.
Bagain dada (thorax): Bagian dada terdiri 8 ruas, masing-masing
mempunyai sepasang anggotabadan disebut thoracopoda. Thoracopoda 1-3
disebut maxiliped berfungsi pelengkap bagian mulut dalam memegang
makanan. Thoracopoda 4-8 berfungsi sebagai kaki jalan (periopoda);
sedangkan pada periopoda 1-3 mempunyai capit kecil yang merupakan ciri
khas udang penaeidae.
Bagian perut (abdomen) : Bagian abdomen terdiri dari 6 ruas. Ruas 1-5
memiliki sepasang anggotabadan berupa kaki renang disebut pleopoda
(swimmered). Pleopoda berfungsisebagai alat untuk berenang bentuknya
pendek dan ujungnya berbulu (setae). Pada ruas ke 6, berupa uropoda dan
bersama dengan telson berfungsi sebagai kemudi.
3. Pada jantan Petasma tumbuh dari ruas coxae kaki renang No:1. Yaitu protopodit
yang menjulur kearah depan. Panjang petasma kira-kira 12 mm. Lubang
pengeluaran sperma ada dua kiri dan kanan terletak pada dasar coxae dari
pereopoda (kaki jalan) no.5 .
4. Pada betina thelycum terbuka berupa cekungan yang ditepinya banyak
ditumbuhi oleh bulu-bulu halus, terletak dibagian ventral dada/thorax, antara ruas
coxae kaki jalan no: 3 dan 4. Yang juga disebut Fertilization chamber. Lubang
pengeluaran telur terletak pada coxae kaki jalan no:3. Coxae ialah ruas no:1 dari
kaki jalan dan kaki renang.
Keterangan:
1 = Cangkang kepala, 2 = Cucuk kepala, 3 = Mata, 4 = Sungut kecil (antennulus), 5 = Kepet
kepala (sisik sungut), 6 = Sungut, 7 = Alat-alat pembantu rahang (maxilipied), 8 = Kaki jalan
(periopoda, 5 pasang), 9 = Kaki renang (pleopoda, 5 pasang), 10 = Ekor kipas (uropoda), 11 =
Ujung ekor (telson), 12 = Kerongkongan, 13 = Perut, 14 = Hati, 15 = Usus, 16 = Dubur.
2.3.
tengah laut dan fase di perairan muara. Fase di tengah laut adalah fase dewasa,
untuk kawin dan bertelur. Beberapa saat sebelum kawin, udang betina terlebih
dahulu berganti kulit. Pada beberapa jenis udang biasanya menghasilkan telur
sebanyak 100.000 butir sekali memijah. Kira-kira setelah 12 jam telur
dikeluarkan, telur menetas menjadi larva yang pada stadium pertama disebut
nauplius. Setelah alami pergantian kulit beberapa kali, nauphilus menjadi zoea.
Pada stadium zoea, larva mulai mengambil makanan dari sekitarnya. Selanjutnya
bentuk zoea akan berubah lagi menjadi mysis. Dari stadium mysis, larva
2. Lakukan panenan dengan menggunakan alat tangkap seperti bubu atau jala
lempar.
3. Tampunglah udang hasil panenan pada bak penampung yang aimya mengalir
atau ditampung pada hapa yang ditempatkan pada kolam yang aimya mengalir.
4. Hindari perlakuan kasar sehingga udang tidak rusak atau terluka.
5. Usahakan agarudang hasil panenan terhindardari sinar matahari langsung.
Menurut Irianto dan Soesilo (2007) krustasea merupakan hewan yang mempunyai
alat pernapasan tambahan yangdisebut labirinth. Dengan adanya alat pernapasan
tambahan ini, krustasea mampu beradaptasi untuk hidup di luar air selama
beberapa jam dalam lingkungan yang lembab pada suhu rendah. Secara anatomi,
pada saat udang dalam keadaan tanpa air, pada rongga karapas masih mengandung
air, sehingga masih mampu menyerap oksigen yang terdapat pada air dalam
rongga karapas. Dengan memanfaatkan sifat fisiologis yang unik tersebut, maka
krustasea dapat diangkut dengan menggunakan sistem kering. Krustasea yang
diimotilisasi
dengan
penurunan
suhu
bertahap
sampai
14150C
dapat
ditransportasikan dengan sistem kering selama 19 jam untuk udang dan 2540
jam.
Menurut Irianto dan Soesilo (2007), teknologi yang banyak diterapkan
adalah transportasi ikanhidup sistem basah, yaitu pengangkutan ikan dengan
menggunakan air sebagai media.Dalam hal ini air ditempatkan pada wadah
pengangkut dengan sitem tertutup atau sistem terbuka. Pada pengangkutan jarak
jauh sebaiknya dilengkapi dengan aerator untuk memungkinkan terjadinya suplai
oksigen. Selain itu ikan hidup juga dapat ditransportasikan dengan menempatkan
ikan di dalam kantung plastik berisi air dan kemudian diinjeksikan oksigen serta
ditutup atau diikat rapat-rapat.Oleh karena itu komoditas ini dihargai sangat tinggi
di pasar. Selain ditransportasikan dengan sistem basah produk tersebut juga dapat
ditransportasikan dengan sistem kering.Transportasi sistem kering merupakan
sistem transportasi dengan menggunakan media pengangkutan bukan air. Karena
tidak menggunakan air, udang diimotilisasi dengan menggunakan suhu rendah
sehingga tenang dan berada pada tingkat metabolisme dan respirasi rendah. Akan
tetapi, sebelum diimotilisasi diperlukan beberapa tahap persiapan yang meliputi
habitat udang secara bertahap sampai suhu tertentu dan dipertahankan selama
waktu tertentu. Adapun caranya adalah sebagai berikut.
Suhu air diturunkan sampai mencapai 14-150C dengan kecepatan
Suhu dipertahankan stabil selama 10-20 menit atau sampai udang imotil
yang dapat ditandai dengan posisi tubuh udang roboh, gerakan kaki jalan
3.
140C.
Permintaan konsumen akan komoditas perikanan terutama udang daam
keadaan hidup semakin besar dan berkembang. Hal ini menyebabkan persaingan
perdagangan udang di pasar internasional dirasakan semakin keras dan ketat.
Untuk ikut meningkatkan daya saing ekspor udang di pasar internasional,
berbagai tindakan dilakukan, salah satu diantaranya adalah perubahan ekspor
dalam bentuk beku atau segar menjadi bentuk segar dan hidup. Pengeksporan
dalam bentuk hidup ini adalah harganya yang dapat mencapai 3 hingga 4 kali
harga udang mati. Pasar Jepang, Eropa, dan Amerika merupakan
pasar potensial untuk jenis produk ini.(Karnila, et al., 1999)
2.4.3. Penanganan Saat Pengangkutan
Menurut Karnila, et al., (1999), salah satu cara ekspor udangdalam bentuk hidup
dan
menjadipilihan
yang
tepat
apabila
kondisioptimalnya
diketahui
adalah
denganpenanganan sistem kering (tanpamedia air) yaitu penggunaan suhu rendah yang
dapat dilakukan denganpenurunan suhu secara bertaliapmaitpun secara langsung. Dengan
penanganan suhu rendah ini, udang hidup dibuat dalam kondisi terbius sebelum dikemas
dan ditransportasikan.
10
11
12
13
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berikut merupakan kesimpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
-
14
3.2. Saran
Sebaiknya dalam penanganan Udang Vanneme dilakukan secara hati-hati
agar tidak menurunkan nilai kualitas dan mutu dari udang itu sendiri. Serta dalam
proses pemasaran harus dilakukan strategi tertentu dalam penjualan udang
Vanneme untuk meningkatkan harga produk perikanan tersebut di pasar nasional
maupun internasional.
15
Daftar Pustaka
16
Purwodadi Kabupaten
Muhammadiyah.
Purworejo.
Fakultas
Pertanian.
Universitas
Widanarni, Dinamella W., Fiska P., 2012. Aplikasi Bakteri Probiotik Melalui
Pakan Buatan untuk Meningkatkan Kinerja Pertumbuhan Udang Windu
(Penaeus monodon). Jurnal Sains Terapan Edisi II Vol-2 (1) : 32 49
Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
IPB.
Wahyudi dan Wijandi, Soesarsono. 2003. Memilah dan Membersihkan Udang.
Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Departemen Pendidikan
Nasional.
17