Anda di halaman 1dari 49

0

TUGAS TERSTRUKTUR
TEKNOLOGI PEMBENIHAN HEWAN AIR

MANAGEMENT HATCHERY UDANG WINDU

Dosen Pengampu:
Dr. Ir. MAHENO SRI WIDODO, MP

Disusun oleh:

DESY EMILYASARI 156080100111022

PROGRAM MAGISTER
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Usaha perbenihan adalah usaha penyediaan benih yang berkualitas baik


untuk dilakukan pembesaran dan pengembangan sekaligus menyediakan
peluang kerja yang lebih luas. Hal ini tidak saja disebabkan oleh teknologi yang
dikuasai sepenuhnya, akan tetapi bagian-bagian dalam siklus pembenihan
udang skala perusahaan sudah menggunakan teknologi yang berkembang
hingga saat ini. Unit usaha pembenihan yang ada harus melakukan pembenahan
agar dapat memenuhi standar kualitas akan kebutuhan bagi para petani tambak.
Keberadaan hatchery udang dapat membantu kebutuhan para petani tambak
dalam hal ketersediaan benih karena benih dari alam sangat terbatas (Yustianti
et al., 2013).
Udang merupakan salah satu komoditas utama dalam industri perikanan
budidaya karena memiliki nilai ekonomis tinggi (high economic value) serta
permintaan pasar tinggi (high demand product). Besarnya potensi budidaya
udang windu ini menyebabkan potensipembenihan udang windu juga sangat
besar. Salah satu masalah yangdihadapi para petani tambak sampai sekarang ini
adalah terbatasnya benih,yang merupakan hambatan dalam meningkatkan
produksi udang.Kebutuhan benih udang windu yang besar ini merupakan potensi
yang besarbagi peningkatan jumlah dan produksi panti pembenihan.
Usaha perbenihan udang windu merupakan salah satu cara yang
dilakukan oleh pemerintah maupun swasta untuk memenuhi kebutuhan benih
sekaligus menjaga kelestarian udang di alam. Sehingga hadirnya usaha
perbenihan(hatchery) udang ini sangat berperan dalam penyediaan benur
dengan kualitas yang baik dan jumlah yang memadai.Perbenihan udang windu
merupakan salah satu jenis usaha yang berupaya memenuhi kebutuhan benur
bagi pembudidaya udang windu. Maka dari itu untuk mengembangkan suatu
usaha, khususnya perbenihan udang windu selain sangat dibutuhkantenaga
terampil dan berpengalaman juga dibutuhkan manajemen yang baik untuk
mengelola hatchery.
2

1.1 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana Teknik Manajemen Induk dan Proses Pemijahan
2. Bagaimana Teknik Manajemen Larva dan Benih
3. Bagaimana Teknik Manajemen Biosecurity
4. Bagaimana Teknik Pemanenan dan Transportasi

1.2 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, dapat diketahui tujuan
penyusunan laporan ini, yaitu sebagai berikut :
1. Mengetahui Teknik Manajemen Induk dan Proses Pemijahan
2. Mengetahui Teknik Manajemen Larva dan Benih
3. Mengetahui Teknik Manajemen Biosecurity
4. Mengetahui Teknik Pemanenan dan Transportasi
3

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1Klasifikasi Udang Windu (Penaeus monodon)

Udang windu digolongkan dalam famili Penaeidae pada filum Arthropoda.


Klasifikasi udang windu menurut Suwignyo (1990) sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Fillum : Arthropoda
Subfillum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Penaeidae
Genus : Penaeus
Spesies : Penaeus monodon

2.2 Morfologi
Tubuh udang windu terdiri dari dua bagian yaitu kepala dan dada
(cephalothorax) dan perut (abdomen). Pada bagian cephalothorax terdiri dari 13
ruas, yaitu 5 ruas kepala dan 8 ruas dada. Bagian kepala terdiri dari antenna,
antenulle, mandibula dan 6 dua pasang maxillae. Kepala dilengkapi dengan 3
pasang maxilliped dan 5 pasang kaki jalan (periopoda). Bagian perut atau
abdomen terdiri dari 6 ruas yang tersusun seperti genting. Pada bagian abdomen
terdapat 5 pasang kaki renang (Pleopod) dan sepasang uropods (mirip ekor)
yang membentuk kipas bersama-sama telson yang berfungsi sebagai alat
kemudi (Tricahyo, 1995).
Tubuh udang windu dibentuk oleh 2 cabang (biramous), yaitu exopodite
dan endopodite. Udang windu mempunyai tubuh berbuku-buku dan aktifitas
berganti kulit luar atau eksoskleton secara perodik yang biasa disebut dengan
istilah moulting (Mujiman dan Suyanto, 1999).
4

Gambar 1. Morfologi Udang Windu (Penaeus monodon)( Suwignyo, 1990).

Udang penaeid dapat dibedakan dengan yang lainnya oleh bentuk dan
jumlah gigi pada rostrumnya. Udang windu mempunyai 2-4 gigi pada bagian tepi
ventral rostrum dan 6-8 gigi pada tepi dorsal (Mujiman dan Suyanto, 1999).
Udang windu betina mempunyai thelicum sebagai alat reproduksinya. Letak
thelicum berada diantara pangkal kaki jalan ke-4 dan ke-5 dengan lubang
saluran kelaminnyua terletak diantara pangkal kaki ke-3. Sedangkan alat kelamin
udang jantan disebut petasma yang terletak pada kaki renang pertama. Udang
windu bersifat kanibalisme yaitu suka memangsa jenisnya sendiri. Hal ini terjadi
jika udang windu kekurangan pakan.
Dilihat dari luar, tubuh udang windu (P. monodon) terdiri dari dua bagian,
yaitu bagian depan dan bagian belakang (Gambar 1). Bagian depan disebut
bagian kepala, yang sebenarnya terdiri dari bagian kepala dan dada yang
menyatu, sehingga dinamakan kepala-dada (cephalotthorax). Pada bagian
belakang perut (abdomen) terdapat ekor (Martosoedarmo dan Ranoemihardjo.
1980)
Semua bagian badan beserta anggota-anggotanya terdiri dari ruasruas
(segmen). Kepala-dada terdiri dari 13 ruas, yaitu kepala terdiri dari lima ruas dan
dada terdiri dari delapan ruas. Bagian perut terdiri dari enam ruas, tiap ruas
badan mempunyai sepasang anggota badan yang beruas-ruas pula
(Martosoedarmo dan Ranoemihardjo. 1980).
Seluruh tubuh tertutup oleh kerangka luar yang disebut
eksoskeleton,yang terbuat dari bahan khitin. Kerangka tersebut mengeras,
kecuali pada sambungan-sambungan antara dua ruas tubuh yang berdekatan.
Hal ini memudahkan mereka untuk bergerak (Martosoedarmo dan
Ranoemihardjo. 1980).
5

Bagian kepala-dada tertutup oleh sebuah kelopak kepala ataucangkang


kepala (carapace). Di bagian depan, kelopak kepala memanjang dan meruncing,
yang pinggir-pinggirnya bergigi-gigi dinamakan cucuk kepala (rostrum). Pada
bagian kepala terdapat anggota-anggota tubuh lain yang berpasang-pasangan,
yaitu sungut kecil (antennula), sungut besar (antenna), dua pasang alat-alat
pembantu rahang (maxilla), tiga pasang maxilliped, dan lima pasang kaki jalan
(pereiopoda). Tiga pasang kaki jalan yang pertama (kaki jalan ke-1, ke-2, ke-3),
ujung-ujungnya bercapit, yang dinamakan chela(Martosoedarmo dan
Ranoemihardjo. 1980). Di bagian perut (abdomen) terdapat lima pasang kaki
renang (pleopoda) yaitu pada ruas ke-1 sampai ke-5. Pada ruas ke-6, kaki
renang mengalami perubahan bentuk menjadi ekor kipas atau ekor (uropoda).
Ujungruas ke-6 arah belakang membentuk ujung ekor (telson). Di bawah pangkal
ujung ekor terdapat lubang dubur (anus) (Martosoedarmo dan Ranoemihardjo.
1980).
Rostrum berbentuk sigmoid, memanjang keluar melewati ujung
dariantennular peduncle, terdiri dari enam sampai delapan (kebanyakan tujuh)
gigi dorsal dan dua sampai empat (kebanyakan tiga) gigi ventral. Carapace dan
abdomen berwarna transparan dengan corak berwarna merah dan putih. Antena
berwarna coklat keabu-abuan. Kaki jalan dan kaki renang berwarna coklat dan
terdapat bulu-bulu kasar yang berwarna merah. Pada daerah perairan payau
yang dangkal atau jika udang dipelihara di tambak warna bisa berubah menjadi
coklat gelap dan sering sampai coklat kehitaman. Udang windu mempunyai
ukuran terbesar dari spesies udang komersil lainnya, dan bisa mencapai ukuran
33 cm atau lebih (Motoh, 1981).
6

Gambar 2. Morfologi (Penaeus monodon Fabricius, 1798), a = alat pembantu


rahang; b = kerucut kepala; c = mata; d = cangkang kepala; e = sungut kecil; f =
sungut besar; g = kaki jalan; h = kaki renang; i = anus; j = telson; k = ekor kipas
(Murtidjo, 2003)

2.3 Sistem Reproduksi Udang Jantan

Secara umum ukuran udang yang dapat dipakai sebagai induk adalah
ukuran yang dicapai pada saat matang pertama yang terjadi di alam. Di alam
maupun di tambak, ukuran induk yang matang biasanya dicapai setelah
berumur 8 sampai 10 bulan. Pada umur ini, P. vannamei bisa mencapai bobot
sekitar 40 g, sedikit lebih besar dari P. stylirostris. Pada induk P. vannamei, yang
sesuai untuk betina adalah lebih besar dari 45 g dan jantan berukuran lebih
besar 40 g. Pada P. monodon yang merupakanspesies terbesar dari genus ini,
ukuran untuk udang jantan adalah setelah mencapai 60 g dan betina sekitar 90
g. Pada spesies berukuran kecil, seperti P. indicus, reproduksinya sudah mulai
aktif pada ukuran 10 g atau kurang. (Wyban et al., 1987 dalam Bray dan
Lawrence, 1992).
Udang penaeid termasuk hewan yang heteroseksual, yaitu mempunyai
jenis kelamin jantan dan betina yang terpisah dan masingmasing dapat
dibedakan dengan jelas. Udang jantan mempunyai alat kelamin jantan yang
disebut petasma dan terletak pada kaki renang pertama, sedangkan udang
betina mempunyai alat kelamin betina yang disebut thelycum serta terletak di
antara kaki jalan keempat dan kelima. Thelycumpada udang penaeid betina bisa
bersifat terbuka (open) atau tertutup (closed) tergantung pada spesies. Pada
thelycum tertutup, spermatofora ditempatkan oleh udang jantan di bawah
lekukan lapisan pada kelamin betina pada saat kulit luar udang betina dalam
keadaan lembek setelah terjadinya molting. Spermatofora disimpan selama
beberapa hari sebelum udang betina bertelur. Pada udang yang mempunyai
kelamin terbuka (open thelycum) spermatofora diletakkan oleh udang jantan
ketika kulit luar udang betina masih dalam keadaan keras, biasanya beberapa
jam sebelum bertelur. Udang yang memiliki kelamin terbuka ditemukan pada
beberapa spesiesudang endemik di belahan Bumi Barat seperti P. stylirostris dan
P. vannamei, sedang yang memiliki kelamin tertutup ditemukan pada
7

kebanyakan spesies di Asia seperti P. monodon, P. chinensis, P. japonicus, P.


indicus, P.merguinensis dan Metapenaeus ensis (Bailey-Brock dan Moss, 1992).
Alat reproduksi udang windu (P. monodon) jantan terdiri atas organ
internal dan eksternal. Organ internal terdiri dari sepasang testes, sepasang vas
deferens dan sepasang terminal ampula. Organ eksternal terdiri dari sebuah
petasma dan sepasang appendix masculina. Testes merupakan organ bening
dan tidak berpigmen, terdiri dari sebuah anterior dan lima cabang samping
terletak di bawah karapaks pada daerah hepatopankreas. Cabang-cabang ini
berhubungan satu sama lain dan selanjutnya menuju kepada organ berikutnya
yaitu vas deferens. Vas deferens merupakan perpanjangan bagian posterior dari
pusat saluran testes dan membuka menuju ke daerah eksterior sampai pada
lubang genital yang terletak di bagian pertengahan coxopod kaki jalan kelima
(Gambar 2). Setiap vas deferens terdiri dari empat bagian yang bisa dibedakan
dengan jelas yaitu: proximal vas deferens, medial vas deferens, distal vas
deferens dan terminal ampula (Motoh, 1981). Pada bagian proximal dan medial
vas deferens terdapat lumen-lumen yang berfungsi menjaga komponen-
komponen pembentuk spermatofora. Pada medial vas deferens, terdapat lumen
primeryang mengandung spermatozoa matang dan lumen sekunder. Distal yang
membesar yang merupakan bagian akhir dari vas deferens adalah terminal
ampula (seminal vesicle). Disinilah spermatofora diletakkan dan dipersiapkan
untuk ditempatkan pada udang betina (Harrison dan Humes, 1992).
Terminal ampula merupakan sebuah struktur yang berbentuk bulat,
mempunyai sebuah dinding otot yang tebal dengan sel-sel epithelium yang
berbentuk kolom. Terminal ampula mempunyai dua ruangan di dalamnya; salah
satu berisi spermatofora dan yang lainnya material calcareous yang berwarna
keabu-abuan. Sepasang terminal ampula terdapat pada bagian pangkal dari
coxopod pada kaki jalan kelima (Harrison dan Humes, 1992).
Petasma adalah sebuah pasangan dari endopod dari kaki renang
pertama, yang mempunyai bentuk seperti struktur yang berpautan satu sama lain
yang berfungsi untuk mentransfer spermatofora (Gambar 3). Appendix masculina
(Gambar 4) terletak pada endopod dari kaki renang ke dua yang pada umumnya
berbentuk oval (Motoh, 1981).
8

Gambar 3. Sistem reproduksi (Penaeus monodon Fabricius, 1798) jantan. T =


testes; PVD = proximal vas deferens; MVD= medial vas deferens; DVD = distal
vas deferens; TA = terminal ampula. Skala 1 : 5 mm (Motoh, 1981).

Gambar 4. Petasma ( Penaeus monodon Fabricius, 1798). Skala 1 : 0.2 mm


(Motoh, 1981).

Gambar 5. Appendix masculina (Penaeus monodon Fabricius, 1798). Skala 1 : 1


mm (Motoh, 1981)
9

Gambar 6. Spermatofora (Penaeus monodon Fabricius, 1798) (Lante dan


Haryanti, 2005)

Gambar 7. Spermatozoa (Penaeus monodon Fabricius, 1798) Skala 1 : 5 mikron


(Motoh, 1981)

Pada spermatofora (Gambar 5) terdapat spermatozoa. Spermatozoa


berbentuk bulat kecil terdiri dari dua bagian yaitu bagian kepala dan
ekor(Gambar 6). Bagian kepala adalah bagian yang besar dan berbentuk bulat
dengan diameter sekitar 3 mikron, sedang ekor adalah relatif tebal dan pendek
(Motoh, 1981). Spermatozoa bersifat non-motile dan berbentuk seperti sebuah
bola golf dengan spike yang memanjang keluar (King, 1948 dalam Bray dan
Lawrence, 1992). Pada P. setiferus terdapat hubungan yang berkorelasi positif
antara jumlah spermatozoa dengan bobot badan. Pada P. setiferus yang sudah
dewasa dengan bobot 35 g bisa menghasilkan 70 juta spermatozoa untuk setiap
spermatofora (Trujillo, 1990dalam Bray dan Lawrence, 1992).

2.4 Kematangan Gonad Induk Betina

Kematangan telur pada udang betina dapat dilihat dari perkembangan


ovarinya yang terletak di bagian punggung atau dorsal dari tubuh udang mulai
dari kepala sampai pangkal ekor (telson) . Ovari tersebut berwarna hijau sampai
hijau gelap. Semakin matang ovari makin gelap warnanya dan tampak melebar
serta berkembang ke arah kepala (carapace). Menurut Motoh (1981),
perkembangan ovari udang windu dikategorikan ke dalam empat tingkatan yaitu:
10

tingkat I (undeveloped atau spent stage), tingkat II (developing stage), tingkat III
(nearly ripe stage), dan tingkat IV (ripe stage).
Pada tingkat IV (ripe stage) terlihat ovari pada ruas abdomen tersebut
menggelembung di tiga tempat, dan perkembangan ovarinya juga terlihat jelas
pada bagian kepala yang menyerupai bulan sabit di sebelah kiri dan kanan.
Tingkat ini merupakan puncak kematangan telur, dimana telur kemudian
dilepaskan dan dibuahi oleh sperma yang dikeluarkan dari spermatofora yang
tersimpan dalam thelycum. Setelah itu ovarium akan terlihat berwarna pucat dan
telur sudah siap dipijahkan (Motoh, 1981).
Pada dasarnya proses pematangan gonad merupakan faktor penentu
utama awal keberhasilan usaha pembenihan udang. Proses pematangan itu
sendiri ditentukan oleh keberadaan dan efektivitas hormon yang secara alami
diatur oleh endokrin. Orang pertama yang menemukan organ endokrin yang
disebut kelenjar sinus dan organ – X adalah Hanstrom (Carlisle dan Knowlwa,
1959). Organ- X yang terdapat pada kelenjar sinus merupakan sumber penghasil
hormon (Carlisle dan Passano, 1953).
Penelitian terhadap proses pematangan gonad telah dilakukan orang
sampai sekarang. Adiyodi dan Adiyodi (1970) telah membahas beberapa
hormon, antara lain Gonad-Inhibiting Hormone (GIH) dan Gonad-
StimulatoryHormone (GSH) yang berperan dalam reproduksi dan sistem
mekanisme hormon pada Decapoda. Gonad-Inhibiting Hormone ini sebelum
dilepas ke organ sasaran terlebih dahulu disimpan dalam kelenjar sinus yang
terletak di tangkai mata (Kukarni dan Nagabhushanam, 1980). Gonad-
InhibitingHormone menghambat perkembangan gonad, baik pada udang jantan
maupun betina, dengan menghambat aktivitas organ-Y yang terletak padabagian
kepala. Kerja organ-Y menghasilkan Gonad- Stimulatory Hormone yang
merangsang pembentukan sperma dan telur. Diagram sistembekerjanya hormon
dalam reproduksi Decapoda lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 7.
11

Gambar 8. Sistem bekerjanya hormon dalam reproduksi Decapoda. AG =


kelenjar androgenic (androgenic gland), AH = hormon androgenik (androgenik
hormone); B = otak (brain); CNS = sistyem syaraf pusat (central nervous
system); FH = hormone betina (female hormone); GIH = hormone penghambat
gonad (gonad-inhibitinghormone); GSH = hormone penstimulir gonad (gonad-
stimulatory hormone); IG = kelenjar intermedia hypothetika (hypothetical
intermediate gland); OV= ovari; SD = saluran sperma; T = testes; TG = thoracic
ganglion; XSC = organ-sinus gland complex(Adiyodi dan Adiyodi, 1970).

2.5 Kematangan Spermatozoa


Alfaro (1993) menyatakan bahwa pada P. stylirostris yang dipelihara di
tambak telah ditemukan spermatofora terbentuk pada setiap individuindividu
jantan yang berukuran di atas 23.6 g (panjang total 100 mm). Selanjutnya
dikemukakan juga bahwa spermatofora pada udang yang lebih muda (berat 20-
30 g, panjang 100 – 111 mm) memiliki bobot spermatofora yang lebih rendah
dan jumlah persentase spermatozoa abnormal yang lebih tinggi dibandingkan
12

dengan yang dihasilkan oleh udang yang lebih tua(ukuran 30- 40 g, panjang 112
– 116 mm).
Pada proses pematangan jantan sedikitnya ada tiga tahap (Alfaro, 1993):
Tahap pertama adalah pematangan dari testes, dengan produksi sperma yang
masih muda. Tahap kedua adalah pematangan vas deferens, dimana terjadi
pematangan spermatozoa dengan pembentukan spike. Tahap ketiga adalah
pembentukan spermatofora pada terminal ampula yangmerupakan produk
terakhir.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas akhir dari spermatoforadi
bak pemeliharaan adalah penanganan dalam pemeliharaan, penanganan
lingkungan, dan nutrisi yang diberikan. Disamping itu juga perbedaan secara
alami pada populasi udang penaeid, tergantung pada letak geografis,
sebagaimana yang telah dilaporkan oleh Benzie (1995) dan Daud et al. (1996).

2.6 Perkembangan dan Pertumbuhan Larva Udang Windu

Perkembangan dan pertumbuhan larva udang windu mengalami


beberapa perubahan bentuk dan pergantian kulit (moulting). Secara umum
pergantian kulit larva dimulai dari menetas sampai menjadi post larva (PL) yang
siap untuk ditebar dalam tambak. Ada empat fase larva udang windu yang perlu
diketahui yaitu: fase nauplius, zoea, mysis dan post larva (Gambar 3).

Gambar 9. Siklus Hidup Udang Windu (Penaeus monodon) (Suwignyo,1990).

Setelah telur menetas, larva udang windu mengalami perubahan bentuk


beberapa kali seperti pada gambar diatas yaitu :
13

1. Periode nauplius atau periode pertama larva udang. Periode ini dijalani selama
46-50 jam dan larva mengalami enam kali pergantian kulit.
2. Periode zoea atau periode kedua. Periode ini memerlukan waktu sekitar 96-
120 jam dan pada saat itu larva mengalami tiga kali pergantian kulit.
3. Periode mysis atau periode ketiga. Periode ini memerlukan waktu 96-120 jam
dan larva mengalami pergantian kulit sebanyak tiga kali.
4. Periode post larva (PL) atau periode keempat. Udang windu mencapai sub
stadium post larva sampai 20 tingkatan. Ketika mencapai periode ini, udang lebih
menyukai perairan payau dengan salinitas 25-35 ppt.
5. Periode juvenil atau periode kelima. Juvenil merupakan udang muda yang
menyukai perairan dengan salinitas 20-25 ppt.
6. Periode udang dewasa. Periode ini berlangsung setelah periode juvenil hingga
udang siap berkembang biak. Setelah matang kelamin dan matang gonad,
udang dewasa akan kembali ke laut dalam untuk melakukan pemijahan. Udang
dewasa menyukai perairan payau dengan salinitas 15-20 ppt (Soetomo, 2000).
14

3. PEMBAHASAN

3.1 Pemilihan Lokasi Pembenihan


Persyaratan lokasi untuk membangun pembenihan udang antara lain :
1. Lokasi Panti Benih jauh dari kota dan lahan pertanian.
2. Panti benih harus jauh dari fasilitas produksi.
3. Lokasi panti benih adalah tempat yang berpasir dan berbatu dimana tempat
tersebut bersih, bebas dari cemaran, dan mempunyai kualitas air yang bagus
setiap tahunnya.
4. Bukan tempat yang sering terkena banjir dan berlumpur karena pada waktu
terjadi hujan air akan menjadi sangat keruh.
5. Lokasi untuk mendirikan panti benih tidak berdekatan dengan muara sungai
karena dapat menurunkan salinitas secara mendadak.
6. Lokasi panti benih juga harus bebas dari kontaminasi limbah pertanian dan
limbah industri.
7. Lokasi pembenihan harus terdapat akses listrik.
8. Sebaiknya panti benih bertempat di area yang banyak petani udang
beroperasi, agar larva yang diproduksi dapat dengan mudah dikirimkan dan
disalurkan ke tambak.
9. Pemilihan tempat untuk pembangunan panti benih harus dapat diakses dari
fasilitas komunikasi dan transportasi.
Suyanto dan Panjaitan (1985) menjelaskan bahwa lokasi hatchery
yang baik adalah berada di tepi pantai dengan tujuan untuk memudahkan
penyediaanair laut bagi kegiatan operasional hatchery. Lokasi hatchery juga
harus berada jauh dari pencemaran lingkungan, baik itu pencemaran limbah
industri maupun pencemaran limbah rumah tangga.
Djunaidah dkk (2002) menjelaskan bahwa persyaratan lokasi
unit pembenihan udang untuk menunjang aspek teknis, ekonomis, dan kekuatan
konstruksi antara lain sebagai berikut:
a. Area pembenihan harus dekat dengan pantai, dengan dasar perairan
tidak  berlumpur, air laut jernih dan tidak tercemar, salinitas 29-34 ppt, pH
7,5-8,5, alkalinitas 33-60 ppm, bahan organik < 10 ppm. 
b. Tanah dasar untuk bangunan harus stabil, untuk menjaga daya
tahan bangunan
15

c. Letak strategis, mudah dijangkau untuk kelancaran operasional


dan pemasarannya
d.  Tersedia sumber tenaga listrik 24 jam, dari PLN atau generator 
e. Sumber air tawar cukup, bersalinitas maksimal 10 ppt dan kesadahan 50-500
ppm
Marsoedi dan Muchlis (1992) menyatakan yang perlu diperhatikan dalam
pemilihan lokasi pembenihan udang ialah:
1. Terlindung dari angin keras, gelombang besar atau arus kuat yang
menyebabkan pengikisan daerah pantai
2. Sedapat mungkin dekat dengan daerah pengembangan agar memudahkan
distribusi/transportasi benih ke tambak. Apabila pembenihan udang
ditempatkan diluar daerah pengembangan diharapkan transportasi hanya
memerlukan waktu sekitar 15-20 jam.
3. Lokasi tidak jauh dari daerah penyediaan calon induk, baik dari penangkapan
di laut maupun dari tambak agar kelangsungan serta kelancaran calon induk
dapat diperoleh setiap saat.
4. Hendaknya lokasi tidak jauh dari perkapungan untuk memudahkan
mendapatkan tenaga kerja
5. Perlu diperhatikan apakah sarana komunikasi ke daerah lokasi cukup
memadai dan mudah di jangkau.

 Air Laut
Air laut untuk pembenihan udang harus bersih atau jernih sepanjang tahun
dan sedikit mengandung bahan organik. Bahan-bahan organik terlarut dan jasad
renik yang tidak dapat tersaring akan menyebabkan “blooming” diatomae. Ini
adalah salah satu sebab kematian total pada larva udang. Bahan organik dapat
berasal dari air sungai atau vegetasi dari pantai yang menyebabkan air laut jadi
keruh sewaktu musim hujan dan musim angin barat atau timur. Oleh karena itu
daerah muara sungai dan sekitarnya tidak sesuai untuk pembangunan
pembenihan udang.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah keadann pasang surut. Bila pada
saat pasang surut batas air di laut jauh dari pantai (lebih dari 100 meter) akan
merupakan hambatan dalam penyediaan air laut sebab untuk mendapatkan air
laut perlu untuk memasang pipa jauh ke tengah laut.
Perlu mendapat perhatian dalam penyediaan air laut apakah lokasi daerah
sekitarnya terdapat pabrik, industri, tempat berlabuh perahu/kapal bermotor.
16

Sebab dari air laut yang berada di daerah tersebut akan tercemar. Hal ini akan
menyebabkan gagalnya usaha pembenihan.

 Air Tawar
Air tawar diperlukan berkaitan dengan kebutuhan untuk:Mencuci bak-bak
pembenihan dan peralatan pembenihan, dengan menggunakan air tawar
diharapkan dapat mematikan organisme-organisme laut yang ada di bak-bak
pembenihan.Menurunkan kadar garam air laut sebelum benih ditransformasikan
juga untuk keperluan sehari-hari bagi pekerja.Mengingat air tawar diperlukan
untuk pembenihan udang maka daerah calon lokasi hendaknya tersedia sumber
air tawar.

 Tata Letak
Penempatan dari setiap unit bangunan pembenihan hendaknya diatur yang
tepat sehingga efisien dan ekonomis dari segi biaya konstruksi serta memenuhi
persyaratan biologis guna keberhasilan pembenihan udang tersebut. Dalam
menentukan pembenihan beberapa hal penting yang perlu diperhatikan yaitu:
1. Bangunan mesin generator harus cukup jauh dari bangunan bak-bak
induk,pemijahan, penetasan.
2. Ruang pemeliharaan larva harus berdekatan dengan ruang pemeliharaan
pasca larva untuk memudahkan pemindahan larva
3. Ruang kultur plankton harus berdekatan dengan pemeliharaan larva, agar
memudahkan dalam pemberian pakan.
4. Diharapkan ruang kultur murni planktion terletak berdampingan dengan
laboratorium dan ruang kultur artemia.
5. Bangunan aklimatisasi induk, ruang penampungan dan pengepakan larva/
pasca larva, bak pengendapan, bak saringan pasir, resevoir harus terletak
agak berjauhan dengan kegiatan pokok pembenihan.
17

Gambar 10. Alternatif tata letak sarana hatchery udang

3.2 Biosekuriti

Biosecurity didefinisikan sebagai set praktik yang akan mengurangi


penyebaran patogendari satu tempat ke tempat lain. Prosedur biosekuriti
dimaksudkan untuk menjaga "keamanan" fasilitassehubungan dengan organisme
penyebab penyakit tertentu yang mungkin belum hadirdalam sistem tertentu.
Biosekuriti meliputi kebijakan, peraturan dan Programkerangka kerja (termasuk
instrumen dan kegiatan) dalam menanggapi mengelola risikoterkait dengan
penyakit.Elemen dasar dari program biosekuriti meliputi fisik, kimia danmetode
biologis yang diperlukan untuk melindungi hatcheri dari konsekuensi
semuapenyakit yang merupakan risiko tinggi.
Biosekuriti pencegahan penyakit melalui penerapan sistem karantina
perbenihan, sterilisasi tempat pemeliharaan, sterilisasi peralatan, treatment
udang yang dipelihara, serta sanitasi area tempat perbenihan.Biosekuriti adalah
suatu perangkat aturan, perlengkapan,atau peralatan  yang sangat penting untuk
melakukan pencegahan, pengendalian,dan pemberantas infeksi penyakit yang
bisa menyebabkan kerugian. Biosekuriti didefinisikan sebagai serangkaian usaha
untuk mencegah atau mengurangi peluang masuknya suatu penyakit ke suatu
18

sistem budidaya dan mencegah penyebarannya dari suatu tempat ke tempat


lain. Prinsip dasar dalam pengaplikasiannya adalah isolasi dan desinfeksi.
Di Indonesia khususnya sektor perikanan, istilah dan pelaksanaan
biosekuriti masih sangat terbatas dipahami pelaku perikanan, sehingga konsep
ini belum banyak diterapkan. Paling tidak ada dua hal yang menyebabkan para
pelaku perbenihan belum melaksanakan program ini, antara lain kurangnya
pengetahuan dan konsepsi terutama tentang besarnya biaya dalam penerapan
biosekuriti tanpa mempertimbangkan keuntungan yang akan diperoleh.
Penerapan biosekuriti pada kegiatan budidaya perikanan dilakukan
dengan berbagai tujuan, diantaranya untuk memperkecil risiko udang yang
dibudidayakan terserang penyakit, mendeteksi secara dini adanya wabah
penyakit. Selain itu diharapkan juga dapat menekan kerugian yang lebih besar
apabila terjadi kasus wabah penyakit, lebih efisien dari sisi waktu, pakan  dan
tenaga serta kualitas yang dihasilkan lebih terjamin
 
3.2.1 Penerapan Biosekuriti
Penerapan biosekuriti pada kegiatan budidaya perikanan berbeda-beda
tergantung pada jenis komoditas perikanan yang dibudidayakan dan metode
teknologi budidaya yang diterapkan serta tempat dilakukannya kegiatan
budidaya. Berikut ini contoh penerapan biosekuriti pada kegaiatan perbenihan
udang windu. Penerapan biosekuriti pada perbenihan udang windu khususnya
ditujukan pada dua hal, yaitu upaya pencegahan dan upaya pengobatan.
Untuk mencegah masuknya wabah penyakit ke dalam lingkungan
perbenihan atau mencegah meluasnya wilayah yang terserang penyakit dalam
upaya mengurangi kerugian akibat timbulnya wabah penyakit. Beberapa
tindakan upaya pencegahan antara lain melalui penerapan sistem karantina
perbenihan, sterilisasi tempat pemeliharaan, sterilisasi peralatan, treatment
udang yang dipelihara, serta sanitasi area tempat perbenihan.
 
a. Sistem Karantina
Sistem karantina perbenihan pada prinsipnya berfungsi sebagai langkah awal
tindakan pencegahan. Sistem ini tidak umum diterapkan oleh suatu  pelaku
perikanan. Karantina perbenihan merupakan tempat pemeriksaan atau
pemeliharaan awal dimana biota hidup jenis apapun baik induk, calon induk
ataupun larva udang windu  bahkan jenis biota hidup lain dari luar yang
dimasukkan kedalam lingkungan perbenihan seperti pakan segar yang hidup.
19

Karantina perbenihan dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas seperti ruang


sterilisasi pada pintu masuk dan jalur masuk ruangan karantina, tempat
pemeliharaan atau penampungan  induk dan larva serta bak pemeliharaan biota
lainnya. Sebagai langkah akhir kegiatan dikarantina dilakukan pemeriksaan
laboratorium untuk memastikan udang atau biota lain yang dimasukkan tidak
membawa penyakit.
Jika teridentifikasi adanya penyakit maka dilakukan tindakan-tindakan
pengobatan khusus jenis penyakit yang masih bisa disembuhkan seperti jamur
atau serangan bakteri. Tapi jika jenis penyakit yang berisiko dan tidak bisa
disembuhkan seperti misalnya penyakit yang disebabkan oleh virus maka
dilakukan tindakan pemusnahan.
   
b. Sterilisasi Tempat Pemeliharaan
Sterilisasi tempat atau bak pemeliharaan meliputi bak pemeliharaan induk
bak pemeliharan larva, bak pemeliharaan atau kultur plankton serta bak-bak
pendukung kegiatan perbenihan seperti bak pemijahan bak penetasan telur.
Sterilisasi dilakukan dengan cara pencucian menggunakan deterjen yang
dicampur dengan kaporit kemudian pembilasan dengan air tawar dan
pengeringan.
 
c. Sterilisasi Peralatan
Perlengkapan dan peralatan diharapkan selalu dalam kondisi steril. Metode
sterilisasi peralatan tergantung dari jenis peralatan yang digunakan. Untuk
peralatan-peralatan yang ukuran besar dilakukan sterilisasi menggunakan
metode perendaman dengan kaporit sebanyak 200 ppm selama 30-60 menit.
Peralatan yang ukuran kecil disterilisasi dengan menggunakan chlorin cair 100
ppm atau autoclave.

d. Treatment Biota
Selama peroses pemeliharaaan biota tidak terlepas adanya peluang
terjadinya infeksi serangan penyakit, sehingga diperlukan tindakan yang
bertujuan untuk tetap mencegah, mempertahankan kualitas dan kesehatan
udang yang dipelihara. Kegiatan treatment (perlakuan) yang dilakukan seperti
perendaman iodine sebanyak 100 ppm selama 10-15 menit.
Tindakan ini khusunya dilakukan untuk treatmen nauplii yang baru menetas
dengan tujuan menghindari terjadinya serangan penyakit bakteri karena potensi
20

adanya sumber bakteri dari telur yang menetas. Kemudian penggunaan iodin
diberikan pada induk yang baru didatangkan dari luar jika diindikasi adanya
gejala membawa penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Bagitu pula pakan
segar untuk induk atau calon induk serta naupli artemia di-treatment dengan
menggunakan iodine.
 
e. Sanitasi Area Perbenihan
Sanitasi atau sterilisasi area tempat perbenihan terutama pada lantai dan
saluran bak pemilaharaan. Sanitiasi dilakukan menggunakan kaporit yang sudah
dilarutkan kedalam air tawar sebanyak 1000 ppm. Tindakan ini bertujuan untuk
mematikan dan memutus rantai mikro organisme yang bisa menyebabkan
penyakit.
Efektivitas program biosekuriti tergantung pada beberapa hal, baik faktor
teknis, managerial maupun ekonomi. Oleh karenanya, dalam pelaksanaannya
sangat memerlukan kedisiplinan dan kepedulian yang tinggi baik pada level
pelaksana maupun manager.Aplikasi di tingkat pengusaha harus dilakukan
secara komprehensif sehingga dapat mencegah masuk, berkembang dan
menyebarnya patogen tertentu yang sangat berbahaya. Dalam suatu kegiatan
perbenihan, pelaksanaan konsep ini diharapkan mampu menjadi solusi alternatif
bagi terciptanya budidaya perikanan yang berkelanjutan.

3.3 Manajemen Induk


3.3.1 Pengadaan Induk
Produksi induk matang telur merupakan mata rantai pertama dalam
kegiatan pembenihan udang. Induk matang telur dapat diperoleh langsung dari
hasil penangkapan di laut, dihasilkan melalui proses ablasi mata dan budidaya.
Calon induk dari hasil tangkapan nelayan harus diseleksi terlebih dahulu agar
dapat diperoleh induk yang sesuai dengan persyaratan. Pada dasarnya induk
yang baik berasal dari hasil penangkapan di laut.

 Induk Udang Hasil Tangkapan di Laut


Induk udang yang terbaik adalah induk udang windu yang ditangkap di
laut. Selain dapat diandalkan produktivitasnya, kualitas benur yang dihasilkan
sangat prima. Tentu saja, induk udang windu hasil tangkapan laut tersebut
adalah induk betina yang matang telur.Penangkapan induk udang betina di laut
dapat dilakukan dengan jarng pukat atau gill net, pada perairan laut yang
21

memiliki kedalaman sekitar 20 m- 40 m. Di perairan dengan dasar berupa lumpur


berpasir lebih sering dapat diperoleh induk udang dibandingkan dengan daerah
perairan yang dasarnya berupa lumpur.
Jika hanya mengandalkan induk udang windu hasil tangkapan laut, kita
harus memahami musimnya. Hal ini disebabkan oleh sifat induk udang windu
yang dalam kondisi matang telyr mulai hijrah ke perairan laut yang dalam. Bulan
Januari-Maret dan Juni-Agustus merupakan musim yang tepat untuk melakukan
penangkapan induk udang yang matang telur. Pada bulan tersebut, terutama di
daerah perairan yang banyak menghasilkan benur alam, biasanya banyak
nelayan-nelayan yang beralih operasi khusus usaha menangkap induk udang.

Ketersediaan induk udang dengan kualitas baik serta jumlah yang cukup
sangat penting bagi usaha pembenihan udang. Dalam hal ini, pemilihan induk
udang windu sangat menentukan keberhasilan pembenihan. Sebagai pedoman,
syarat clon induk udang windu yang baik serta produktif adlah sebagai berikut:
1. Berat induk udang minimal 100 g, sedangkan induk udang jantan minimal 80
g.
2. Tubuh induk udang tidak cacat dan luka, terutama organ reproduksi dan
bagian punggung.
3. Bentuk punggung induk udang relatif datar dan berkulit keras.

Calon induk (spawner) hasil tangkapanmaupun pembelian ditempatkan


dalam bak aklimatisasi terlebih dahulu agar beradaptasi dengan salinitas dan
temperatur air di tempat pembenihan. Proses tersebut umumnya berlangsung
selama sehari (24 jam), tanpa diberi makan.
Kelebihan induk yang berasal dari penangkapan,diantaranya :
 Memberikan fekunditas yang tinggi
 Kualitas telur dan tingkat penetasan yang tinggi
 Tingkat kematian rendah jika di ablasi
Adapun kriteria / persyaratan induk yang baik dapat dilihat pada tabel.2
Tabel 2. Persyaratan Induk Udang
22

 Ciri-ciri Induk Jantan dan Betina


Pada umumnya induk udang betina lebih besar dari induk jantan. Perbedaan
alat kelamin induk jantan dan induk betina dapat dilihat dari sisi bawah (ventral)
udang tersebut.
Alat kelamin betina bernama thelicum dan terletak di antara dasar
sepasang kaki jalan atau periopoda yang berfungsi untuk menyimpan sperma.
Alat kelamin udang betina dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 11. Alat kelamin udang betina

Alat kelamin jantan bernama petasma dan terletak pada pangkal kaki
renangke-1 (satu) yang berfungsi untuk mentransfer sperma. Alat kelamin
udangjantan dapat dilihat pada gambar.

Gambar 12. Alat kelamin udang jantan


23

Ukuran dan Kualitas Induk Udang yang Sesuai Syarat Hatchery


Induk betina yang dipilih harus memiliki syarat-syarat sebagai adalah (a) berat
lebih dari 50 gram, (b) kandungan telur tinggi, (c) sudah matang telur (terlihat dari
warna abu-abu dipunggung), (d) bentuk tubuh normal, tidak cacat, dan € bersih
dari kotoran dan parasit. Sedangkan persyaratan induk jantan adalah sebagai
adalah (a) berat lebih dari 40 gram, (b) kaki jalan kedua tidak terlalu besar, (c)
tidak agresif, (d) bentuk tubuh normal, tidak cacat, dan € bersih dari kotoran dan
parasit (Wardana,2011)

3.3.2. Ciri-ciri Induk Matang Gonad


Tingkat kematangan telur diukur berdasarkan perkembangan ovari, yang
terletak dibagian punggung atau dorsal dari tubuh udang, mulai dari carapace
sampai kepangkal ekor (telson). Ovari tersebut berwarna hijau sampai hijau
gelap makin matang ovari makin gelap warnanya dan tampak melebar serta
berkembang kearah kepala (Carapace).
Tingkat Kematangan Gonad (TKG) pada udang windu sebagai berikut :
a. TKG I (Early Maturing Stage): Garis ovari kelihatan hijau kehitam-hitamanyang
kemudian membesar. Pada akhir TKG I garis nampakjelas berupa garis lurus
yang tebal.
b. TKG II (Late Maturing Stage): Warna ovari semakin jelas dansemakin tebal.
Pada akhir TKG II ovarium membentuk gelembungpada ruas abdomen
pertama.
c. TKG III (The Mature Stage): Terbentuk beberapa gelembunglagi sehingga
ovarium mempunyai beberapa gelembung pada ruasabdomennya.
Gelembung pada ruas pertama membentuk cabangke kiri maupun kekanan
yang menyerupai setengah bulan sabit.Tingkat ini merupakan fase terakhir
sebelum udang melepastelurnya.
d. TKG IV (Spent Recovering Stage): Bagian Ovarium terlihatpucat yang berarti
telur telah dilepaskan.

Cara mengamati perkembangan telur udang dapat dilakukan dengan 2


cara,yaitu:
a. Mengangkat induk betina, lalu bagian bawah badan (ventral)dihadapkan ke
arah sinar
24

b. Menyinari bagian tubuh udang dengan lampu yang kedap air.Kegiatan ini
dilakukan di dalam bak induk.

Gambar 13. Bak pemeliharaan induk

3.3.3 Merangsang Kematangan Gonad Induk Udang

 Ablasi
Merangsang kematangan telur pada induk udang betina agar cepat
memijah dapat dilakukan dengan beberapa cara, baik untuk induk udang hasil
tangkapan laut maupun induk udang yang dibesarkan dalam tambak. Beberapa
cara yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Pemijatan tangkai bola mata dan bola mata.
2. Pembakaran tangkai mata dengan menggunakan solder atau dengan benda
perak nitrat.
3. Pengikatan tangkai mata.
4. Pemotongan atau pengguntingan tangkai mata
Dari keempat cara tersebut, cara yang paling praktis dan efektif serta
menunjukkan hasil yang baik adalah dengan melakukan pemotongan tangkai
mata (ablasi). Ablasi pada udang windu berpedoman pada perkembangan alat
kelamin kepiting yang dihambat oleh hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar
pada tangkai mata. Jika tangkai mata kepiting dihilangkan, hormon yang
menghambat perkembangan alat kelamin tidak diproduksi sehingga kepiting
sanggup mematangkan telur dan memijah.
Induk udang yang diablasi, baik induk hasil tangkapan maupun hasil
pembesaran di tambak, hanya induk udang betina. Syarat yang harus dipenuhi
oleh induk udang betina yang akan diablasi antara lain berat badannya sudah
lebih dari 100 g (sudah dewasa kelamin). Selain itu, induk udang tidak dalam
25

keadaaan moulting atau berganti kulit, sebab dalam kondisi moulting kondisi
tubuhnya sangat lemah.
Sebelum dilakukan ablasi, udang ditempatkan dalam bak berisi air laut
yang bersih dicampur larutan formalin 70% dengan dosis 4 ppm- 5ppm. Larutan
formalin sangat bermanfaat untuk menghindarkan induk dari kemungkinan
terserang penyakut, selain untuk mempertinggi daya tahan tubuh induk
udang.Proses ablasi dapat dilakukan dengan memotong pangkal mata,
menggunting salah satu mata di bagian pertemuan antara pangkal tangkai mata
dan bola mata. Untuk menghindari terjadinya infeksi, bekas potongan di sundut
dengan solder sehingga kering dan steril. Ablasi pada induk udang betina dapat
dilakukan pada siang atau malam hari. Selanjutnya, induk udang windu
ditempatkan dalam bak perkawinan.
Secara umum, keberhasilan proses pematangan goand dan pemijahan
induk udang sangat tergantung pada teknik ablasi untuk induk udang hasil
tangkapan laut dan pada teknik ablasi dan penyuntikan HCG sebanyak 300 iu/kg
berat tubuh untuk induk yang dibesarkan dalam tambak. Selain itu, juga
ditentukan oleh jumlah dan kualitas makanan, induk, dan lingkungan.Kegagalan
teknik ablasi dapat terjadi akibat goncangan temperatur air, kualitas air yang
kurang baik, komposisi makanan yang tidak memadai, serta penanganan induk
udang yang kurang baik. Cekaman (stress) terhadap induk udang pada waktu
ablasi dilakukan dapat mengakibatkan aborsi telur pada tingkat kematangan
gonad kedua. Kadang telur dikeluarkan namun tidak dibuahi.
Makanan yang berkualitas rendah juga dapat menggagalkan proses
pematangan gonad, selain menurunkan vitalitas larva hasil penetasan. Makanan
yang cocok bagi induk udang untuk mendukung proses reproduksi adalah
makanan segar dan bervariasi, seperti daging kerang, udang jambret, ikan segar
atau kombinasi cacing polikit, daging kerang, udang, ikan, dan cumo-cumi.
Pemberian kombinasi makanan segar dan buatan diketahui lebih efektif jika
dibandingkan dengan makanan satu jenis.
Ablasi merupakan teknik ransangan buatan pada induk betina udang
windu. Prinsip dari ablasi ini adalah untuk mempercepat perkembangan
kematangan gonad pada udang.
Cara ablasi yang umum digunakan pada panti pembenihan yaitu dengan
mengikat salah satu tangkai mata dengan karet gelang yang sudah disiapkan.
Adapun cara kerja ablasi mata yang dilakukan Penyusun di lokasi, yaitu:
26

 Menyiapkan alat dan bahan berupa karet gelang.


 Induk ditangkap dengan menggunakan scopnet.
 Karet gelang diikatkan pada salah satu tangkai mata udang dengan erat.
 Kemudian disimpan di bak pemeliharaan.

3.3.4 Pemeriksaan Ovari


Kegiatan ini dilakukan untuk memastikan bahwa induk telah mencapai
masa / waktu untuk bertelur.
Tingkat kematangan gonad udang, yaitu:
 Tingkat I : Garis ovary tampak seperti garis lurus pada bagian
abdomen dan berwarna hijau kehitaman.
 Tingkat II : Garis ovary terlihat jelas dan tebal, terdapat satu
tonjolan/gelembung pada bagian dorsal abdomen.
 Tingkat III : Garis ovary semakin tebal dan jelas (Matang) dan terdapat dua
tonjolan/ gelembung pada bagian dorsal abdomen, dan meluas sampai
bagian kepala serta membentuk seperti bulan sabit.
 Tingkat IV : Telur telah dilepaskan, ovary kosong dan terlihat pucat.

3.4  Pemijahan
Perkawinanan udang dimulai dengan kegiatan percumbuan dan ini terjadi
bila ada udang betina yang berganti kulit dan pada waktu malam hari. Pada saat
berganti kulit thelycum udang betina dengan mudah dapat dibuka dan disisipi
spermatozoa. Pergantian kulit udang betina merupakan syarat mutlak untuk
dapat melakukan perkawinan, karena udang windu termasuk udang penaeid
yang mempunyai thelycum tertutup. Dengan demikian kantong sperma harus
dimasukkan ke dalam tempat penerimaan dalam thelycum. Pemasukan hanya
dapat terjadi bila thelycum lemah, ini terjadi saat baru berganti kulit dan kantong
sperma yang dilepaskan disalurkan melalui petasma ke thelycum udang betina.
Pelepasan dan pemasukan kantong sperma terjadi terjadi pada waktu udang
jantan membalik menghadap udang betina secara tegak lurus.

3.5 Fertilisasi dan Penetasan


Udang betina bertelur biasanya antara jam 8 malam dan jam 6 pagi,
sebagian besar antara jam 10 malam dan jam 2 pagi. Biasanya udang
beristirahat atau bergerak perlahan-lahan di dasar dalam keadaan normal.
27

Kemudian bergerak melingkar keatas pada saat telur disemprotkan melalui


sepasang genitalpore yang terletak pada pangkal kaki jalan ke 3. Pelepasan telur
dapat berlangsung antara 2-7 menit, pada waktu yang bersamaan spermatozoa
dari thelycum dikeluarkan dan membuahi telur sehingga terjadi fertilisasi diluar
tubuh. Pada awalnya telur yang telah dibuahi tenggelam perlahan-lahan tetapi
kemudian akan melayang-layang. Hal ini terjadi karena membesarnya rongga
perivitelin yang mengakibatkan berat jenis telur menjadi kurang dari satu.
Fekunditas atau jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor udang betina
dalam peneluran berkisar antara 100.000 samppai 600.000 butir, sedangkan
rata-ratanya tergantung dari asal induk. Induk udang dari alam rata-rata
menghasilkan 300.000 butir, sedangkan induk udang dari tambak budidaya rata-
rata menghasilkan 200.000 butir telur.
Telur udang windu akan menetas setelah 13 jam, agar telur tidak
mengendap maka dilakukan pengadukan telur setiap 1 jam dan menempatkan
aerasinya ditengah-tengah bak. Suhunya dijaga agar tetap stabil yaitu 30-32ºC
dengan menggunakan thermometer.

3.6 Panen Nauplius


Benur atau benih udang merupakan salah satu mata rantai dari
budidaya udang. Penebaran nauplius ke dalam bak pemeliharaan larva
dilakukan dengan padat tebar 50 – 70 ekor / lt (hitungan berdasarkan volume
air). Penebaran nauplius ini dilakukan pada pagi hari dengan tujuan untuk
menghindari perubahan suhu yang terlalu tinggi. Ciri – ciri nauplius yang baik
antara lain. Warna gelap kecoklatan, ukuran relative seragam, gerakan aktif,
respon terhadap cahaya, mengumpul dipermukaan bila aerasi dimatikan.
Penebaran nauplius ke dalam bak pemeliharaan larva harus dilakukan dengan
hati – hati agar nauplius tidak stress dengan lingkungan barunya harus
diaklimatisasi terlebih dahulu, juga sebelum ditebar ke dalam bak pemeliharaan
larva air media yang ada di bak pemeliharaan larva harus dicek terlebih dahulu
baik salinitas, pH, oksigen terlarut, juga suhunya. Hal ini dilakukan agar nauplius
udang dapat tumbuh dengan baik.
Aklimatisasi dilakukan dengan cara, air media yang ada di dalam bak
pemeliharan larva dialirkan perlahan ke dalam baskom yang berisi nauplius
dengan menggunakan tangan secara perlahan dan hati – hati. Setelah itu
nauplius dilepaskan ke dalam bak pemeliharaan dengan cara baskom
28

dijungkirkan perlahan – lahan ke dalam bak pemeliharaan larva sampai nauplius


habis keluar dari baskom. Setelah Nauplius berada di dalam bak pemeliharaan
maka aerasi diatur dengan baik dan diperiksa keadaan aerasi apakah berjalan
dengan lancar.
Panen nauplius dapat dilakukan yaitu sebagai berikut:
 Nauplius didiamkan tanpa aerasi.
 Setelah beberapa saat nauplius akan berenang di permukaan.
 Kemudian dilakukan penyeseran dengan ukuran seser 200 mesh di
dalam bak, sampai nauplius yang ada di dalam bak habis.
 Nauplius siap untuk ditebar ke bak pemeliharaan.

3.7 Pemeliharaan Larva


Keberhasilan dalam pemeliharaan larva tidak tergantung dari metode
yang diterapkan namun tergantung dari pola cara pengelolaan yang
diterapkandan kemampuan teknik dalam memanfaatkan dan pengembangan
teknologi yang ada.

 Persiapan
Bak pemeliharaan larva harus dipersiapkan dalam 24 jam sebelum larva
ditebarkan yang meliputi kegiatan:
a) Pencucian Bak
b) Pengisian Air
Adapun parameter kualitas air yang akan digunakan yaitu sebagai
berikut:
 Salinitas 29-31 ppt, dengan alat monitoring yaitu refraktometer.
 pH 7,5 dengan alat monitoring yaitu pH meter.
 Suhu 30-32 °C, dengan alat monitoring yaitu thermometer air raksa
Kemudian untuk mencegah timbulnya penyakit dan hama di dalam
air, maka setelah pengisian air dilakukanlah treatmen air dengan cara
sebagai berikut:
 Memberikan kaporit dengan dosis 10 ppm dan diberi aerasi kuat-kuat selama ±
7-8 jam.
 Bak yang telah diberi kaporit selanjutnya diberi natrium thiosulfat sebanyak 5
ppm. Natrium thiosulfat dilarutkan dan ditebar pada bak yang telah dikaporit
tersebut dan diberi aerasi kuat-kuat selama ± 3 - 4 jam.
29

 Setelah itu aerasinya dimatikan supaya kotorannya mengendap. Jika


kotorannya sudah mengendap, air dipindahkan ke bak kosong dengan
menggunakan pompa celup.
 Jika nauplius sudah siap dipindahkan ke bak pemeliharaan, maka dilakukanlah
pemberian obat-obatan berupa EDTA dengan dosis 7,5 ppm, elbasin 1 ppm
dan trevlan 0,5 ppm yang sudah dilarutkan satu persatu dan ditebar pada bak
pemeliharaan.
 Nauplius siap dipindahkan.
 Pemasangan terpal
Biasanya yang dapat menurunkan kualitas air yaitu karena adanya
kontaminasi dari luar, maka dari itu bak harus ditutup dan salah satu
yang dapat digunakan sebagai penutup yaitu terpal. Terpal yang digunakan
berwarna gelap agar dapat mengikat dan mempertahankan suhu air di dalam
bak serta dapat menghalangi kontaminasi langsung dari cahaya.
 Penebaran Nauplius
Untuk menghindari terjadinya stres pada nauplius yang ditebar,
maka penebaran dilakukan pada saat suhu rendah yakni pada pagi hari
antara pukul 06:00 s/d pukul 07.00.
 Pemeliharaan Nauplius
Kegiatan ini dilakukan agar nauplius yang telah ditebar dapat
berkembang dan bertumbuh dengan baik serta memiliki ketahanan untuk
dibesarkan di unit-unit pembesaran udang.
Sebelum mencapai masa layak tebar (tujuan pembesaran), nauplius ini
terlebih dahulu melewati tahap-tahap perkembangan (stadia) selama masa
pemeliharaan. Adapun stadianya yaitu Zoea, Mysis dan Post Larva (PL),
yang disetiap stadianya memilki beberapa stage yang akan berkembang
disetiap harinya.

3.7.1 Persiapan Bak dan Media Pemeliharaan Larva


Fasilitas Pemeliharaan Larva
Fasilitas yang digunakan untuk pemeliharaan larva terbagi menjadi dua,
yaitu fasilitas pokok dan fasilitas pendukung yang secara prinsip diperlukan untuk
usaha pemeliharaan larva udang adalah sebagai berikut :
30

Fasilitas Pokok
1. Bak filter, yaitu bak penyaring air dengan komponen penyaring berupa koral,
pasir, arang, dan ijuk.
2. Bak tandon air tawar dan air laut, yaitu bak bak penampung air laut dan air
tawar yang terbuat dari beton dengan volume minimal 30% dari kapasitas total
bak pemeliharaan.
3. Bak pemeliharaan larva, yaitu bak tempat pemeliharaan larva yang terbuat dari
semen maupun fiber plastik dengan volume minimal 10 m3.
4. Bak kultur fitoplankton, yaitu tempat kultur fitoplankton sebagai penyedia
pakan untuk larva yang berbentuk persegi empat dengan volume 20% - 40%
dari bak larva.
5. Penetasan kista artemia, yaitu untuk menetaskan telur artemia sebagai
makanan larva udang yang berbahan fiber glass maupun plastik dengan
volume 0,02 m3.
6. Tenaga listrik, dapat disuplai dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) di daerah
lokasi budidaya.
7. Pompa air atau sarana penyedia air: pompa air laut dengan kapasitas pompa
yang dapat memompa air laut dengan volume minimal 30 % per hari dari total
volume air yang dibutuhkan dalam bak pemeliharaan benih udang, dan
pompa air tawar dengan kapasitas minimal 5 % dari total volume air bak.
8. Aerasi blower atau hi blow, selang aerasi dan batu aerasi (Heryadi dan Sutadi,
1993)

Fasilitas Pendukung
1. Peralatan lapangan antara lain seser, saringan pembuangan air, kantong
saringan air, gelas piala, sepatu lapangan, senter, gayung, ember, timbangan,
selang, saringan pakan, alat sipon dan peralatan panen.
2. Peralatan laboratorium antara lain pengukur kualitas air (termometer,
refraktometer, pH meter atau kertas pH) dan mikroskop.
3. Generator. Peralatan ini sangat dibutuhkan, meskipun unit pembenihan
mempergunakan sumber listrik PLN, khususnya jika terjadi gangguan listrik
PLN.

Bak yang akan digunakan untuk kegiatan pemeliharaan larva sebelumnya


harus dibersihkan dan diberi desinfektan. Bak dibersihkan menggunakan air
bersih dan detergen dengan cara menyikat seluruh permukaan dinding bak. Hal
31

tersebut bertujuan untuk membuang seluruh kotoran yang ada dalam bak
pemeliharaan. Kemudian diberi desinfektan berupa hypochlorite sebanyak 20 –
30 ppm, dan dibilas menggunakan air bersih untuk menghilangkan sisa dari
klorin, kemudian bak yang sudah dibersihkan dijemur. Bak yang berada di luar
ruangan dan bak yang berukuran kecil dapat disterilisasi dengan cara
penjemuran terhadap bak tersebut bak yang akan digunakan untuk tempat
pemeliharaan larva dibersihkan menggunakan bleaching powder, kemudian
dibilas menggunakan air tawar dan dijemur selama 24 jam. Sebagian dari bak
pemeliharaan diisi air laut, selanjutnya dilakukan pemasangan aerasi pada
beberapa titik bak pemeliharaan. sebelum bak pemeliharaan larva digunakan
untuk siklus selanjutnya, bak harus dicuci menggunakan larutan Hydrocloric Acid
(HCl) kemudian dibilas menggunakan air tawar atau air laut (Subaidah, 2006).
Air yang masuk ke unit pembenihan harus dibersihkan dan diberi
desinfektan berupa klorin dan dilakukan proses filtrasi sebelum didistribusikan ke
area pembenihan seperti panti benih , kultur plankton, artemia, dan lain-lain. Air
yang digunakan untuk kegiatan pembenihan di panti benih harus difilter dan
ditreatmen untuk mencegah masuknya organisme yang membawa penyakit dan
patogen yang terbawa oleh air. Air yang akan digunakan, biasanya diberi
desinfektan berupa klorin. Kemudian air disaring menggunakan filter bag dan
terakhir didesinfektan kembali menggunakan sinar ultraviolet (UV) atau ozon. Air
laut dalam bak pemeliharaaan larva ditreatmen menggunakan EDTA sebanyak
10 ppm dan trefflan sebanyak 0,1 ppm (Subaidah, 2006).

3.7.2 Penebaran Naupli


Naupli ditebar setelah persiapan bak dan media pemelihraan larva selesai
dilakukan. Padat penebaran naupli maksimal adalah 100 ekor per liter dengan
ukuran naupli yaitu 0,5 mm. naupli yang akan ditebar pada bak pemeliharaan
harus mempunyai kualitas yang baik, berikut adalah ciri naupli yang mempunyai
kualitas baik:
1. Warna coklat orange
2. Gerakan berenang aktif, periode bergerak lebih lama dibandingkan dari
periode diam
3. Kondisi organ tubuh lengkap, ukuran dan bentuk normal serta bebas pathogen
4. Respon terhadap rangsangan bersifat fototaksis positif
32

Kepadatan larva yang ditebar dalam bak pemeliharaan larva paling sedikit
adalah 75 ekor naupli per liter. Naupli yang ditebar dalam bak pemeliharan larva
mempunyai kepadatan 100 sampai dengan 150 ekor naupli per liter atau atau
100.000 sampai dengan 150.000 ekor naupli per ton. Penebaran naupli
dilakukan pada pagi hari dengan tujuan untuk menghindari perubahan suhu yang
terlalu tinggi dengan cara aklimatisasi. Sebelum naupli ditebar pada bak
pemeliharaan larva, harus dilakukan aklimatisasi. Aklimatisasi yang dilakukan
berupa penyesuaian suhu dan salinitas air terhadap naupli. Proses aklimatisasi
ini dilakukan hingga menunjukan naupli sudah dapat beradaptasi dengan media
air dalam bak pemeliharaan larva (Elovaara, 2001).

Gambar 14. Bak pemeliharaan larva


33

3.8 Pengelolaan Pakan


A. Pakan Alami
Pakan alami yang diberikan kepada larva udang adalah fitoplankton dan
zooplankton. Beberapa jenis fitoplankton yang digunakan untuk makanan larva
udang adalah Skeletonema costatum, Tetraselmis chuii, dan Chaetoceros
calcitrans. Sedangkan naupli artemia merupakan zooplankton yang banyak
diberikan pada larva udang. Hal ini dikarenakan naupli artemia banyak
mengandung nilai nutrisi yang dibutuhkan oleh larva udang (Edhy et al., 2003).
Pemberian pakan alami berupa Chaetoceros diberikan mulai dari stadia
zoea 1 sedangkan pada stadia naupli belum diberikan pakan, karena pada stadia
ini larva udang masih memanfaatkan kuning telur sebagai pensuplai makanan.
Pada stadia naupli belum memerlukan makanan karena masih mempunyai
cadangan makanan berupa egg yolk selama 36 – 72 jam. Stadia zoea larva
udang diberi makanan Skeletonema sp., Chaetoceros sp. dan Thalassiosira
(Edhy et al., 2003).
Pemberian algae berupa Chaetoserros dan Thalasiosiosira pada stadia
naupli diberikan sebanyak 60.000 sel/ml, stadia zoea 1 sebanyak 80.000 sel/ml,
pada stadia zoea 2 diberikan sebanyak 80.000 – 100.000 sel/ml, stadia zoea 3 –
mysis 1 diberikan sebanyak 100.000 sel/ml, dan pada stadia mysis 2 - 3
diberikan sebanyak 80.000 sel/ml (Edhy et al., 2003).

Gambar 15. Bak Pemeliharaan Fitoplankton atau Alga


34

Kultur Artemia sebelumnya menentukan banyaknya Artemia yang


dibutuhkan sebagai pakan larva, setelah itu dilakukan kultur cyste Artemia
dengan menebarkan cyste Artemia dan memberikan aerasi yang kuat dalam tank
kultur untuk mempercepat penetasan. Setelah cyste menetas dilakukan
pemisahan antara cangkang Artemia dengan nauplinya, kemudian dilakukan
pemanenan Artemia (Harefa, 2003). Pemberian pakan artemia dilakukan enam
kali dalam satu hari yaitu pada pukul 00.00, 04.00, 08.00, 12.00, 16.00, dan
20.00. Greece dan Fox (2000), menyatakan bahwa naupli Artemia yang baru
menetas diberi aerasi kemudian diberikan untuk larva. Hal ini dilakukan agar
naupli dalam penampungan sementara tetap dalam kondisi hidup. Selanjutnya
naupli Artemia diberikan menggunakan beaker glass dengan cara ditebarkan
secara merata (Harefa, 2003).

Gambar 16. Kultur Artemia

B. Pakan Buatan
Kriteria pakan buatan yang berkualitas baik adalah sebagai berikut:
1. Kandungan gizi pakan terutama protein harus sesuai dengan kebutuhan larva
udang
2. Diameter pakan harus lebih kecil dari ukuran bukaan mulut larva udang
3. Pakan mudah dicerna
4. Kandungan nutrisi pakan mudah diserap tubuh
5. Memilki rasa yang disukai larva udang
6. Kandungan abunya rendah
7. Tingkat efektivitasnya tinggi
Pakan buatan yang biasa diberikan untuk larva udang adalah pakan yang
berbentuk bubuk, cair dan flake (lempeng tipis) dengan ukuran partikel sesuai
dengan stadianya. Kadungan nutrisi pada pakan buatan larva udang terdiri dari
protein minimum 40 %. Pakan buatan yang akan diberikan sebelumnya disaring
menggunakan saringan berukuran 10 – 80 mikron. Pada stadia mysis pakan
35

buatan diberikan dengan cara disaring menggunakan saringan berukuran 50 –


150 mikron, Pakan buatan yang diberikan pada stadia PL 1 – PL 8 sebelumnya
disaring menggunakan saringan berukuran 200 – 300 mikron, sedangkan pada
stadia PL 9 sampai dengan panen sebelumnya disaring menggunakan saringan
dengan ukuran 300 – 500 mikron (Kordi, 2010).

3.9 Pemanenan
Panen terbagi atas dua, yaitu panen selektif dan panen total. Panen selektif
akan dilakukan apabila permintan benur dalam jumlah sedikit, atau dengan
kata lain permintan benur kurang dari jumlah total benur dalam bak.
Panen total akan dilaksanakan apabila permintaan benur dalam jumlah
yang banyak, yaitu sesuai atau melebihi jumlah benur di dalam bak.
Untuk mendapatkan kemudahan dalam pemasaran dan pengangkutan,
maka terlebih dahulu dilakukan pengemasan (packing).Sebelum dilakukan
pengangkutan, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan jumlah benur yang
telah dikemas dengan cara mengambil satu kantong benur sebagai sampel
dari semua benur yang telah dikemas, hal ini dilakukan untuk memastikan
bahwa tidak terjadi kekurangan atau kelebihan takaran benur dan sekaligus
untuk menentukan harga setiap kantongnya yang dihitung dari harga setiap
benur yang ada di dalam kantong.

3.9.1 Distribusi Induk Udang dan Benur


1. Pengepakan
Pengepakan memegang peranan yang sangat penting, terutama dalam
menjaga keselamatan benur maupun induk untuk ekspor, selama pengangkutan.
Tidak jarang benur maupun induk yang dikemas rapi, tetapi masih banyak yang
mati. Hal ini terjadibiasanya akibat pengikatan plastik tidak kuat, sehingga plastik
bocor ataumemang plastiknya tidak rangkap dua hingga mudah pecah. Dalam
kondisiseperti ini otomatis kandungan oksigen semakin berkurang, sehingga
benur cepat lemah dan mati. Cara pengepakan yang baik adalah:
a. Setelah udang dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah diisi denganair
dan artemia, harus segera diisi dengan oksigen lalu di packing.
b. Pengisian oksigen diusahakan tidak terlalu cepat dan mendadak, sebab
akanmenimbulkan stress terutama pada benur. Untuk itu cukup dengan
membuka kranttabung oksigen secara pelan – pelan.
36

c. Ujung selang oksigen jangan dimasukkan terlalu dalam ke plastik


packing,tetapi cukup 2 – 3 cm ke dalam kantong.
d. Banyaknya oksigen jangan sampai kurang dari banyaknya air yang ada di
dalam kantong plastik, sebagai patokan perbandingan air dan oksigen adalah
2:3.
e. Pengikatan kantong plastik diusahakan sekuat mungkin dengan karet,
tetapimudah untuk dibuka kembali.
f. Apabila jarak angkut terlalu jauh (lebih dari 8 jam). Kantong plastik yangtelah
terikat dengan baik, diletakkan dalam kardus membujur. Inidimaksudkan agar
permukaan dasar dan permukaan air lebih luas sehingga oksigen mudah terlarut
dan ruang gerak benurpun lebih luas.
g. Agar tutup kardus tidak mudah terlepas selama dalam pengangkutan,
makasebagai perekat digunakan lakban yang mempunyai lebar 5 cm dan
direkatkandisepanjang tutup yang mudah terbuka.

3.9.2. Pengangkutan
Untuk keperluan pengangkutan yang menggunakan jalur darat, harus
sudah dipersiapkan kendaraanpengangkut untuk membawa sejumlah induk
maupun benur secara tepat dan cepat. Ini dimaksudkan agar udang/benur yang
akan diangkut dengan kendaraan tidak berlebihandan tidak terlalu kurang,
sehingga biaya angkut bisa lebih hemat.
Selama dalam pengangkutan, benur/udang harus sering dilihat jangan
sampai adaposisi kardus yang berubah. Apabila benur sudah sampai
ketujuan,kardus – kardus segera diturunkan dengan hati – hati. Khusus untuk
menghindaribanyaknya benur yang mati, maka harus dilakukan adaptasi suhu
terhadap airtambak yang akan ditebari benur.

3.10 Struktur Organisasi dalam Hatchery Udang Windu

Untuk menjamin kelancaran kegiatan perbenihan dan untuk menunjang


terlaksananya aktivitas perusahaan dengan efisien dan efektif, maka salah satu
syarat yang harus dipenuhi adanya organisasi yang disusun harus menunjukkan
garis wewenang dan tanggung jawab jelas dengan pembagian tugas yang tepat
berupa ketepatan pekerjaan dengan ketepatan sumber daya manusia, sehingga
efisiensi dan efektifitas kegiatan perusahaan dapat diperoleh.
37

Efesiensi yang dimaksud adalah berupa hal – hal yang rill seperti
mencegah terjadinya pemborosan bahan dan tenaga kerja, penggunaan alat
produksi yang efisien dan efektif juga meliputi adanya menciptakan hubungan
yang baik antara karyawan di dalam menjalankan tugas masing – masing.
Efektifitas adalah suatu usaha agar semua faktor produksi yang ada bekerja dan
berfungsi dengan sebaik – baiknya dalam suatu kegiatan yang terorganisasi
sehingga tujuan perusahaan yang direncanakan dapat tercapai.
Organisasi dalam suatu unit pembenihan adalah dalam bentuk lini dan
staf dimana wewenang dan tanggung jawab masing – masing dapat dilihat
dengan jelas. Para manajer bertanggung jawab langsung terhadap bagian yang
di bawahannya dan memberikan pertanggungjawabannya kepada pimpinan
perusahaan. Susunan atau struktur organisasi dari usaha pembenihan udang
windu terdiri dari:

A. Direksi
B. Staf ahli Direksi
C. General Manajer
D. Bagian – bagian :
1. Bagian laboratorium
2. Bagian Marketing
3. Bagian Produksi Nener
4. Bagian Mechannical Engineeriing dan Construction
5. Bagian Administrasi dan Keuangan
6. Bagian General Affair
7. Bagian Tambak
E. Seksi – Seksi
1. Seksi Produksi Induk 10. Seksi Gudang

2. Seksi pakan 11.Seksi Administrasi Umum

3. Seksi Induk dan Penetesan Benur 12.Seksi Personalia

4. Seksi Kepala Unit Produksi Benur 13.Seksi Rumah Tangga

5. Seksi Sarana Teknik Produksi 14.Seksi Transportasi

6. Seksi Listrik dan Genzet 15.Seksi Kebersihan dan Pertamanan

7. Seksi Engineering dan Civil Construction 16.Seksi Pengadaan


38

8.Seksi Accounting 17.Seksi Sarana Teknik

9.Seksi kasir 18.Seksi Workshop

Diagram Struktur Organisasi Hatchery udang Windu

Direksi Staf Ahli

GM & WGM

Laboratorium Marketing

Kepala
Perusahaan

Penjualan dan
Packing

Manajer Mec. Eng & Manajer Adm & Manajer Gen Manajer
Produksi Constuct Keuangan Affair Tambak
Benur

Induksi Pen. Listrik dan Accounting Security Produksi Indu


Benur Genset Udang

Pakan Benur Workshop Kasir Personalia Sarana Teknik


Maint &
Perbaikan

Kepala Unit Engineering Gudang Rumah Tangga


Produksi & Civil Conct
Benur

Administrasi Transportasi
Sarana
Umum
Teknik
Produksi
Pengadaan
39

Adapun uraian tugas dari struktur organisasi diatas, dalam hal ini yang
berhubungan dengan produksi benur, yaitu :
1. Staf Ahli
a. Staf ahli perusahaan adalah badan yang bertugas secara sendiri - sendiri atau
bersama –sama untuk melakukan audit, evaluasi, pengawasan, bimbingan
dan petunjuk kepada unsur –unsur pimpinan karyawan sesuai keahlian
mereka masing –masing dengan maksud untuk melakukan koreksi,
menciptakan efisiensi , efektifitas, peningkatan produktifitas didalam
pengelolaan hatchery.
b. Staf ahli didalam melaksanakan tugasnya terlebih dahulu berkonsultasi
dengan general manajer / wakil general manajer tentang kegiatan yang akan
dilaksanakan dan wajib melaporkan hasilnya sebagai bahan didalam
pengelolaan hatchery.
c. Staf ahli dibidangnya masing – masing berkewajiban secara berkala
memberikan saran dan pertimbangan kepada direksi tentang langkah–
langkah yang perlu diambil agar pengelolaan hatchery lebih efisien, efektif
dan produktif.
d. Staf ahli terdiri dari :
- Staf ahli bidang budidaya perikanan
- Staf ahli bidang manajemen dan keuangan
- Staf ahli teknik dan konstruksi

2. General Manajer
a. Memimpin dan mengelola hatchery sehingga tercipta suasana kerja yang
sehat, aman, disiplin, efektif dan produktif pada semua karyawan di semua
tingkatan.
b. Bertanggung jawab sepenuhnya atas terselenggaranya semua peraturan,
ketentuan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh direksi.
c. Memimpin, membina, mengkoordinir, mengarahkan dan mengawasi para
manajer didalam melaksanakan kegiatannya.
d. Bertanggung jawab dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan
kegiatan operasional hatchery terhadap pihak ketiga : Instansi pemerintah,
swasta dan lain – lain.
40

e. Setiap akhir tahun pada tahun yang berjalan, mengajukan kepada direksi
rencana kerja untuk tahun berikutnya yang meliputi : budget, cash flow dan
hasil usaha yang ingin dicapai.
f. Mengelola dan mengendalikan budget yang disetujui oleh direksi secara efektif,
efisien dan produktif untuk masing – masing pops biaya yang realistis serta
proporsional dengan tingkat produksi yang ingin dicapai.
g. Setiap akhir bulan membuat laporan evaluasi atas pelaksanaan rencana kerja
menurut sistem dan petunjuk yang telah ditetapkan.
h. Menetapkan kebijaksanaan dibidang personalia.
i. Menetapkan policy terhadap harga penjualan dan pembelian serta memberikan
persetujuan atas pembelian barang yang dibutuhkan oleh para manajer baik
mengenai jumlah , jenis, kualitas, maupun mengenai harga.

3. Manajer Produksi Benur


a. Memimpin dan bertanggung jawab sepenuhnya atas kegiatan operasional
teknis dan administratif departemen produksi benur sesuai rencana kerja
yang ditetapkan oleh direksi.
b. Memimpin, membina, mengkoordinir, mengarahkan dan mengawasi kepala
seksi induk dan penetasan, kepala seksi pakan, kepala seksi unit produksi,
kepala seksi sarana teknik produksi didalam melaksanakan kegiatannya.
c. Berwenang mengambil kebijakan sendiri dibidang karyawan yang dipimpinnya
pada semua tingkat jabatan.
d. Berkewajiban membuat laporan atas kegiatan bagian produksi benur yang
dipimpinnya.
e. Bertanggung jawab atas pengelolaan dan pengendalian anggaran /budget
yang dialokasikan pada bagian produksi benur sehingga tercapai efektifitas,
produktifitas, dan efisiensi pemanfaatan anggaran.
f. Berkewajiban membuat dan mengusulkan rancangan Rencana Kerja Tahunan
dan setiap akhir rencana kerja tahunan yang berjalan membuat laporan
evaluasi atas pelaksanaan realisasi rencana kerja tahunan.

4. Kepala Seksi Produksi Benur


a. Memimpin dan bertanggung jawab sepenuhnya atas kegiatan seksi produksi
benur.
41

b. Memimpin, membina , mengkoordinir, mengarahkan dan mengawasi karyawan


yang dipimpinnya agar melaksanakan tugas sesuai program.
c. Berkewajiban membuat laporan (harian, mingguan, bulanan) atas kegiatan
seksi produksi benur kepada manajer atasannya.
d. Bertanggung jawab atas perawatan dan keselamatan kerja dan sarana
produksi yang ditempatkan / dipergunakan di seksi nya.
42

1. SOP (STANDART OPERASIONAL PROSEDUR)

1.1 Persiapan Sarana dan Prasarana Pembenihan

SARANA DAN PRASARANA PEMBENIHAN UDANG WINDU

Membersihkan kotoran
Pencucian yang memenempel

Membunuh patogen
Desinfeksi penyakit dengan bahan
kimia

Pengeringan Penjemuran

Membersihkan sisa
Pencucian ulang bahan kimia

Pemasangan selang dan


Pemasangan perlengkapan batu aerasi, blower, saringan,
hatchery pipa outlet dll

Prosedur Kerja
1. Bangunan hatchery dibersihkan dengan sapu, lantainya didesinfeksi dengan
kalsium hipoklorit 10%
2. Mencuci kotoran yang menempel pada permukaan bak dengan memakai
detergen selanjutnya diseka dengan kalsium hipoklorit 10%
3. Pipa saluran air didesinfeksi dengan cara memasukkan larutan kalium
permanganat dengan dosis 100 g/ton ke dalamnya dan ditahan selama
minimal 24 jam
4. Perlengkapan aerasi dan perlengkapan lapang lainnya dicuci dengan
detergen selanjutnya direndam pada larutan iodin dengan dosis 100 ml/ton
selama minimal 24 jam, lalu dibilas dan dikeringkan (dijemur) di tempat yang
bersih
5. Bangunan dan bak pemeliharaan dibiarkan terjemur selama minimal 1 minggu
selanjutnya dicuci ulang dengan menggunakan natrium thiosulfat 5% sampai
residu kaporit hilang.
6. Pemasangan perlengkapan aerasi dan pipa outlet/dop di setiap wadah
pemeliharaan.
43

1.2 Penglolaan Sumber Air

AIR SUMBER:
TAWAR DAN LAUT

Pada bak tendon minimal 3 hari


Pengendapan

Penyaringan Dengan sand filter

Pada bak pencampuran tawar-laut


Pencampuran air sesuai peruntukan

Membunuh patogen penyakit


Desinfeksi dengan bahan kimia

AIR SIAP PAKAI

1.3 Pengelolaan Induk

Induk Udang Windu Alam, luar atau hasil


pemuliaan

Terutama bagi induk yang


Karantina dicurigai terinfeksi penyakit

Adaptasi, pemberian pakan,


Perawatan pergantian air

Dilakukan pada induk betina


Ablasi pada malam hari

Pemijahan

Induk Udang Windu matang


44

1.4 Penetasan Telur

INDUK BERTELUR

Pemilahan tingkat Berdasarkan pola


kematangan telur warna telur

Penempatan pada wadah


penetasan

LARVA

Pemanenan

4.5 Pengelolaan Larva

Persiapan bak
pemeliharaan

Pengisian air

Penebaran larva Sampling jumlah


Aklimatisasi

Pemberian pakan alami & buatan,


Pemeliharaan larva Pergantian air

BENUR

4.6 Penyediaan Pakan Alami


45

SISTE ARTEMIA

Menggunakan bahan kimia


Dekapsulasi kaporit dan soda api

SISTE ARTEMIA Pengawetan suhu dingin


TANPA CANGKANG pada kulkas

Salinitas 12 ppt; 24
Penetasan
jam

Pemanenan

4.7 Panen dan Pasca Panen

Pengamatan benih Persiapan wadah


yang akan dipanen dan peralatan panen

Melakukan panen

Pengepakan

Transportasi

4.1 Pengelolaan Biosekuriti


46

B Pengaturan Tata Letak


I
O Pengaturan akses masuk lokasi
SE
K
U Sterilisasi wadah, peralatan
R dan ruangan
I
T Sanitasi Lingkungan Pembenihan
AS

Pengelolaan limbah

Pengaturan personil
47

2. PENUTUP

2.1 Kesimpulan

Adapun beberapa tahapan dalam usaha pembenihan Udang Windu adalah


sebagai berikut:
 Pemilihan Lokasi Pembenihan dengan mempertimbangkan air laut, air
tawar, tata letak dan penerapan biosekuriti untuk mencegah masuknya
wabah penyakit ke dalam lingkungan perbenihan atau mencegah
meluasnya wilayah yang terserang penyakit dalam upaya mengurangi
kerugian akibat timbulnya wabah penyakit.
 Manajemen Induk, meliputi pengadaan Induk udang hasil tangkapan di
laut, merangsang kematangan gonad induk udang dengan proses ablasi,
pemeriksaan ovari (kegiatan ini dilakukan untuk memastikan bahwa induk
telah mencapai masa / waktu untuk bertelur)
 Pemijahan, fertilisasi dan penetasan, pemanenan nauplius, pemeliharaan
larva, persiapan bak dan media pemeliharaan larva
 Pengelolaan pakan alami dan pakan buatan
 Pemanenan
 Distribusi induk udang dan benur
 Pengepakan dan pengangkutan
48

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, 2006 SNI 01-6143. Benih udang windu (Penaeus monodon fabriciu,
1798)kelas benih sebar. Jakarta.

Anonymous, 1998. Pembenihan Udang Windu Skala Rumah Tangga Suatu


Alternatif Usaha Keluarga Di     Indonesia, Balai Budidaya Air Payau
(BBAP), Jepara.

Anonim. 1984. Perkembangan Stadia Larva Udang. Erlangga, Jakarta

Anonim, 1987. Petunjuk teknik bagi pengoprasian unit usaha pembenihan udang
windu, Direktorat Jendral Perikanan.

Agus Murtidjo, 2003. Benih Udang Windu Skala Kecil, Dalam Seri Penangkapan.
Kanisius, Yogyakarta.

Marsoedi dan Muchlis. 1992. Teknik Pembenihan Udang. Fakultas Perikanan


Universitas Brawijaya. Malang

Murtidjo. 2003. Kematangan Gonad Udang Windu. Agro Media Pustaka,


Surabaya

Murtidjo. 2005. Persyaratan udang windu. Gramedia Pustaka, Jakarta

Soetomo, M.J.A., 2000. Teknik Budidaya Udang Windu (Penaeus


monodon).Kansius. Yogyakarta. 78 hal.

Sutaman, 1993. Pembenihan Udang Windu Skala Rumah Tangga, Kanisius,


Yogyakarta.

Sumeru, Umiyati.S dan Anna.S 1992. Pakan Udang Windu. (Penaeus Mondon).
Kanisius. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai