Anda di halaman 1dari 79

-[ T A K ada G U N A ]-

Powered by Translate

Sabtu, 01 Januari 2011


TEKNIK PEMELIHARAAN LARVA UDANG WINDU DI HATCHRY
TARAKAN

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Benih adalah salah satu sarana vital dalam pengembangan sistem usaha perikanan
budidaya. Sistem pengadaan, distribusi maupum mutu benih seringkali dituduh sebagai
penyebab utama kegagalan usaha budidaya. Adanya ketersediaan induk dan benih udang
yang semakin menipis di alam bebas menyebabkan semakin menurunnya produksi udang
hasil tangkapan, sehingga produksi udang hasil budidaya perlu ditingkatkan.
Telah disadari bahwa peningkatan produksi udang melalui budidaya tersebut hanya
mungkin dapat dicapai bila suplay faktor-faktor produksi, khususnya benih udang dapat
terjamin sepenuhnya. Pengembangan teknik-teknik pembenihan udang harus terus dilakukan
untuk menunjang kegiatan budidaya atau pembesaran udang ini. Diantara jenis-jenis
komoditas udang laut yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi adalah udang windu
(Penaeus monodon Fab). Udang windu ini telah memberikan kontribusi yang sangat berarti
bagi pendapatan devisa Negara, khususnya pada sektor perikanan melalui kegiatan ekspor
produk udang ke luar negeri (Anonim, 1993).
Untuk menunjang usaha budidaya, yang harus dilakukan adalah dengan mendirikan
balai-balai pembenihan (hatchery) udang windu.Keberhasilan usaha pembenihan udang
windu merupakan langkah awal dalam sistem mata rantai budidaya. Keberhasilan
pembenihan tersebut pada akhirnya akan mendukung usaha penyediaan benih udang windu
yang berkualitas.
Menurut Anonim (1993), produksi dapat menguntungkan dari suatu budidaya
perikanan, salah satunya budidaya udang windu sangat sulit dikembangkan dengan baik,
karena berbagai faktor dan kegagalan dalam pembenihan udang windu, disebabkan beberapa
faktor salah satu diantaranya adalah rendahnya kualitas telur induk udang windu atau
nauplius. Kualitas telur atau nauplius berhubungan dengan angka kematian atau pertumbuhan
larva.
B. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari Kegiatan Praktek Kerja Lapang di Hatchery CV. Windu Amal Mandiri ini
adalah untuk mengetahui :
1. Mengetahui teknik penanganan larva udang windu.
2. Mengetahui cara, jenis dan dosis pemberian pakan pada larva udang windu.
3. Mengetahui penanganan kualitas air serta pencegahan yang dilakukan terhadap penyakit pada
larva udang windu.
Adapun manfaat dari praktek kerja lapang (PKL) ini adalah :
1. Menambah pengalaman PKL di lapangan.
2. Menambah wawasan dan pengetahuan melalui penerapan teori dan praktek lapangan dalam
penanganan larva udang windu.
3. Menjadi bahan bacaan dan informasi dalam tekhnik penanganan larva udang windu bagi
kalangan akademisi dan masyarakat pada umumnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Biologi Udang Windu


Udang windu (Penaeus monodon Fab) dalam bahasa daerah udang ini dinamakan
sebagai udang ekspor, udang pacet, udang bago, udang lotong, udang liling, udang baratan,
udang palapas, udang tapus dan udang wewedi. Namum dipasaran atau dalam dunia
perdagangan udang ini biasa dikenal dengan nama “ Tiger Prawn” atau terkadang juga
dikenal dengan nama “ Jumbo Tiger Prawn”. Udang windu dewasa yang hidup di laut biasa
berwarna merah cerah kekuning-kuningan dengan sabuk-sabuk melintang dibadannya. Kaki
renang berwarna merah agak pucat pada udang muda dan pada udang dewasa berwarna
merah cerah. Udang windu memiliki kulit yang keras dan terdapat titik-titik hijau ditubuhnya.
Udang windu biasanya hidup di perairan pantai yang berlumpur atau berpasir. Udang
ini banyak terdapat diperairan laut antara Afrika Selatan dan Jepang, dan juga ada di antara
Pakistan Barat sampai Australia bagian utara.
Apabila ditinjau dari daya tahannya terhadap pengaruh lingkungan, udang windu ini
juga salah satu udang yang paling unggul, walaupun menempati posisi ke dua setelah udang
werus. Dengan daya tahan tubuhnya yang tinggi terhadap pengaruh lingkungan
memungkinkan kita untuk memlihara udang windu ini dalam waktu yang cukup (5-6 bulan)
untuk dapat mencapai ukuran yang besar (King Size)yaitu antara 80 - 100 gram/ekor.
Disamping daya tahan yang tinggi pada saat pemeliharaan, benih udang windu juga cukup
tahan selama dalam penampungan dan pengangkutan.
Udang windu bersifat noktural yaitu binatang yang aktif mencari makan pada malam
hari. Dan pada siang hari udang windu ini biasanya lebih suka menempel pada suatu benda
atau membenamkan tubuhnya pada lumpur disekitar tambak. Sedangkan sifat lain dari udang
windu adalah sifat kanibal, yaitu suka memangsa jenisnya sendiri. Sifat kanibal ini biasanya
mucul pada udang-udang yang sehat dan tidak sedang dalam keadaan molting atau ganti kulit
dan sifat kanibal ini akan sangat nampak apabila udang kekurangan pakan. Sedangkan
mangsanya bisanya udang yang pada saat itu sedang ganti kulit. Sifat kanibal pada udang
biasanya muncul pada saat masih pada tingkatan mysis.

Gambar 1. Daur hidup udang windu (Penaeus Monodon Fab.)


B. Klasifikasi Udang Windu
Klasifikasi Udang Wiindu menurut Soetomo (2000) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phyllum : Arthropoda
Class : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Family : Panaeidae
Genus : Penaeus
Species : Penaeus monodon Fabricus

C. Morfologi Udang Windu


Ditinjau dari morfologinya, tubuh udang windu (Penaeus monodon Fab.) terbagi
menjadi dua bagian, yakni bagian kepala yang menyatu dengan bagian dada (kepala-dada)
disebut cephalothorax dan bagian perut (abdomen) yang terdapat ekor di bagian belakangnya.
Semua bagian badan beserta anggota-anggotanya terdiri dari ruas-ruas (segmen). Kepala-dada
terdiri dari 13 ruas, yaitu kepalanya sendiri 5 ruas dan dadanya 8 ruas, Sedangkan bagian
perut terdiri atas segmen dan 1 telson. Tiap ruas badan mempunyai sepasang anggota badan
yang beruas-ruas pula (Suyanto dan Mujiman, 1994).
Seluruh tubuh tertutup oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton, yang terbuat dari
zat chitin. Bagian kepala ditutupi oleh cangkang kepala (karapas) yang ujungnya meruncing
disebut rostrum. Kerangka tersebut mengeras, kecuali pada sambungan-sambungan antara
dua ruas tubuh yang berdekatan. Hal ini memudahkan mereka untuk bergerak (Suyanto dan
Mujiman, 1994). Penaeus monodon memiliki karakteristik kultur yang unggul. Berat udang
ini dapat bertambah lebih dari 3 gram tiap minggu dalam kultur dengan densitas tinggi (100
udang/m²). Berat udang dewasa dapat mencapai 20 gram dan diatas berat tersebut, Penaeus
monodon tumbuh dengan lambat yaitu sekitar 1 gram/ minggu. Udang betina tumbuh lebih
cepat dari pada udang jantan (Soetomo, 2000).
Penaeus monodon memiliki toleransi salinitas yang lebar, yaitu dari 2 – 40 ppt, tapi
akan tumbuh cepat pada salinitas yang lebih rendah. Rasa udang dapat dipengaruhi oleh
tingkat asam amino bebas yang tinggi dalam ototnya sehingga menghasilkan rasa lebih
manis. Selama proses post-panen, hanya air dengan salinitas tinggi yang dipakai untuk
mempertahankan rasa manis alami udang tersebut. Temperatur juga memiliki pengaruh yang
besar pada pertumbuhan udang. Penaeus monodon akan mati jika berada dalam air dengan
suhu dibawah 15oC atau diatas 33oC selama 24 jam atau lebih. Stres subletal dapat terjadi
pada 15-22oC dan30-33oC. Temperatur yang cocok bagi pertumbuhan Penaeus monodon
adalah 23-30oC (Suyanto dan Mujiman, 1994). Pengaruh temperatur pada pertumbuhan
udang winduspesifitas tahap dan ukuran. Udang muda dapat tumbuh dengan baik dalam air
dengan temperatur hangat, tapi semakin besar udang tersebut, maka temperatur optimum air
akan menurun.
Di bagian kepala sampai dada terdapat anggota-anggota tubuh lainnya yang
berpasang-pasangan. Berturut-turut dari muka ke belakang adalah sungut kecil (antennula),
sirip kepala (scophocerit), sungut besar (antenna), rahang (mandibula), alat-alat pembantu
rahang (maxilla), dan kaki jalan (pereiopoda). Di bagian perut terdapat lima pasang kaki
renang (pleopoda). Ujung ruas ke-6 arah belakang membentuk ujung ekor (telson). Di bawah
pangkal ujung ekor terdapat lubang dubur (anus).
Alat kelamin jantan disebut petasma yang terdapat pada pangkal periopoda kelima,
sedangkan alat kelamin betina disebut thelicum yang terdapat pada pangkal periopoda ketiga
(Suyanto dan Mudjiman, 1994).
Gambar 2. Morfologi udang windu
(Penaeus monodon) (Suyanto dan
Mudjiman, 1994)

Keterangan gambar: 1. Cangkang kepala; 2. Cucuk kepala; 3. Mata; 4. Sungut kecil


(antennules); 5. Kepet kepala (sisik sungut); 6. Sungut; 7. Alat-alat pembantu rahang
(maxilliped); 8. Kaki jalan (pereiopoda, 5 pasang); 9. Kaki renang (pleopoda , 5 pasang); 10.
Ekor kipas (uropoda); 11. Ujung ekor (telson).

D. Perkembangan dan Pertumbuhan Larva Udang Windu


Dalam perkembangan dan pertumbuhannya, larva udang windu mengalami beberapa
perubahan bentuk dan pergantian kulit. Secara umum pergantian kulit larva dimulai dari
menetas sampai menjadi postlarva (PL) yang siap untuk ditebar dalam tambak. Ada empat
fase larva udang windu yang perlu diketahui yaitu : Fase Nauplius, Zoea, Mysis dan
postlarva.
Setelah telur menetas, larva udang windu mengalami perubahan bentuk beberapa kali
seperti berikut ini.
1. Periodenauplius atau periode pertama larva udang. Periode ini dijalani selama 46-50 jam
dan larva mengalami enam kali pergantian kulit.
2. PeriodeZ oea atau periode kedua. Periode ini memerlukan waktu sekitar 96-120 jam dan
pada saat itu larva mengalami tiga kali pergantian kulit.
3. Periodem ysis atau periode ketiga. Periode ini memerlukan waktu 96-120 jam dan larva
mengalami pergantian kulit sebanyak tiga kali.
4. Periode post larva (PL) atau periode keempat. Udang windu mencapai sub-stadium post
larva sampai 20 tingkatan. Ketika mencapai periode ini, udang lebih menyukai perairan
payau dengan salinitas 25-35 ppt.
5. Periode juvenil atau periode kelima. Juvenil merupakan udang muda yang
menyukai perairan dengan salinitas 20-25 ppt.
6. Periode udang dewasa. Periode ini berlangsung setelah periode juvenil hingga udang siap
berkembang biak. Setelah matang kelamin dan matang gonad, udang dewasa akan kembali ke
laut dalam untuk melakukan pemijahan. Udang dewasa menyukai perairan payau dengan
salinitas 15-20 ppt.
Gambar 3. Perkembangan stadia larva udang windu.

III. METODELOGI

A. Waktu dan Tempat


Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini dilaksanakan selama 30 hari terhitung mulai
tanggal 20 Maret 2010 sampai dengan 01 Desember 2010. Adapun tempat kegiatan ini
berlangsung di CV. Windu Amal Mandiri pembenihan udang windu (hatchery) di Jl. Pantai
Amal Lama Tarakan.

B. Prosedur Kerja
Adapun prosedur Praktek Kerja Lapangan (PKL) yang saya rencanakan di CV. Windu
Amal Mandiri, yaitu :
1. Mengikuti seluruh kegiatan yang ada di CV. Windu Amal Mandiri.
2. Mencatat, mengamati, serta mendokumentasikan semua kegiatan penanganan larva
udang windu, mulai dari stadia zoea, mysis dan post larva.
3. Wawancara dengan teknisi Hatchry di CV. Windu Amal Mandiri.

C. Alat dan Bahan


1. Alat
a. Ember
b. Gayung
c. Seser (tangguk)
d. Gelas ukur (bekker)
e. Kantong plastic
f. Tabung oksigen
g. Alat pengukur kualitas air
h. Instalasi aerasi
i. Instalasi saluran air

2. Bahan
a. Air laut
b. Air tawar
c. Induk udang windu
d. Pakan, Vitamin dan obat2an
e. Bahan-bahan pengukur kualitas air
Gambar 4. Alat dan bahan di CV. Windu Amal Mandiri

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Keadaan Lokasi Pembenihan Udang Windu


Keadaan Lokasi pembenihan udang windu di CV. Windu Amal Mandiri, yang terletak
di daerah
Pantai Amal Lama Tarakan adalah sebagai berikut:
1. Lokasinya tersebut berada di dekat pinggiran pantai.
2. Pinggiran pantai banyak terdapat pohon mangrove dan pohon kelapa dekat dengan laut.
3. Mudah dijangkau oleh transportasi darat atau laut.
4. Jauh dari lokasi pertambangan dan pabrik.
5. Tidak berada dekat dengan sungai atau limbah penduduk.
6. Tidak jauh dari tempat pemasaran larva dari daerah pertambakan.
Adapun fasilitas-fasilitas yang ada di CV. Windu Amal Mandiri adalah dapat dilihat pada
Tabel 1 berikut :
Tabel 1. Fasilitas yang ada di CV. Windu Amal Mandiri
Fasilitas Jumlah Ukuran
Bak Induk 4 Bak 13 m3
Bak Larva 27 Bak 26,3 m3
Bak Plankton 6 Bak 12,8 m3
Bak Tandon Air Laut 2 Bak 62 m3
Bak Filterisasi (Tower) 2 Bak 21,5 m3
Bak Treatmen 2 Bak 33,7 m3
Mesin Pompa Listrik 3 unit _
Mesin Pompa Diesel 2 unit _
Mesin Blower 1 unit _
Mesin Genset 1 unit _

B. Persiapan Awal
Sebelum melakukan proses pembenihan atau pembelian induk udang windu, terlebih
dahulu segala sarana pembenihan yang akan digunakan harus dipersiapkan seperti :
a. Pembersihan Bak
Langkah awal yang harus dilakukan sebelum memulai suatu produksi adalah
membersihkan atau mencuci semua bak yang telah di gunakan pada produksi sebelumnya,
Adapun bak-bak yang harus di persiapkan dan dibersihkan terlebih dahulu adalah sebagai
berikut :
 Bak tandon air laut
 Bak pemeliharaan larva
 Bak penampungan induk
Bak harus dibersihkan dari segala kotoran baik bakteri atau jamur yang masih melekat
pada bak, bak harus dibersihkan dengan menggunakan detergen dan kaporit, bahan-bahan
organic seperti amoniak yang masih tersisa akan mengganggu kehidupan dan biasa
mematikan larva, selain itu mikro organisme (jasad-jasad renik) yang masih menempel yang
belum mati akan menimbulkan suatu penyakit. Oleh karena itu pembersihan media
pembenihan harus terjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan.
b. Penyedotan Air Laut
Penyedotan atau pemompaan air laut dilakukan pada saat air laut pasang, pompa
penyedotan air luaut di CV. Windu Amal Mandiri dengan menggunakan sumber tenaga
mesin diesel, serta pipa paralon yang berdiameter 3 inch sepanjang ± 600 m, dan pada ujung
pipa paralon tersebut di beri kurungan kotak yang terbuat dari papan serta dilapisi saringan
halus, guna untuk menyaring kotoran secara langsung dari laut. Hasil dari proses penyedotan
air laut tersebut ditampung pada bak tandon air laut dan diaerasi ± 12 jam.

c. Proses Filterisasi Air Laut


Air laut yang telah di tampung ke bak tandon selama ± 24 jam, kemudian dipompa ke
bak filter guna air laut tersebut bebas dari bibit ikan dan jasad renik yang masih ada didalam
air laut yang ditampung di bak tandon.
Di CV. Windu Amal Mandiri dilakukan 2x proses filterisasi. Pada setiap bak filter terdapat 4
buah sekat untuk proses penyaringan air laut, Bahan yang digunakan pada setiap sekatnya
untuk penyaringan air laut dari tandon adalah:
 Papan
Papan terletak pada bagian paling bawah, berfungsi sebagai penyangga bahan-bahan
filterisasi yang lain. Papan ini memiliki ketebalan 6 cm dan diberi lobang-lobang kecil
sebagai tempat keluar masuknya air pada saat proses filterisasi.
 Saringan halus
Saringan halus ini digunakan sebagai pemisah antara bahan filterisasi yang satu
dengan yang lainnya
 Pasir (Sand Filter)
Pasir adalah lapisan teratas yang digunakan untuk bahan dari proses filterisasi.
Ketebalan dari pasir ini adalah 12 cm.
 Arang
Arang berfungsi untuk mengikat kandungan logam berat dalam air. Pada proses
filterisasi Arang diletakkan di bawah pasir setelah dipisahkan oleh saringan halus. Ketebalan
dari arang ini adalah 12 cm.
Hasil akhir dari proses filterisasi tersebut di tamping pada suatu bak yang dinamakan
dengan bak treatmen.

Gambar 5. Bak Filterisasi ( Tower ).

d. Proses Treatmen
Sebelum digunakan untuk beroprasi, media air laut hasil dari proses filterisasi perlu di
treatmen atau dinetralkan terlebih dahulu. Di CV. Windu Amal Mandiri terdapat 2 bak yang
khusus digunakan untuk proses treatmen air laut sebelum digunakan ke media bak larva.
Proses treatmen menggunakan kaporit 15-30 ppm. Tujan dari pemberian kaporit ini adalah
untuk membunuh kuman atau mikro organism yang berbahaya serta untuk menjernihkan air
laut. Jumlah pemberian kaporit ini adalah 500 gram per 33,7 ton air laut. Setelah pemberian
kaporit tersebut, air diaerasi selama 24 jam kemudian dinetralkan menggunakan tiosulfat 1/5
dari jumlah kaporit yang diberikan, Lalu air laut tersebut dites dengan chlorine tes, Untuk
mengetahui apakah air tersebut sudah benar-benar netral dari kaporit. Cara untuk
menggunakan chlorine tes ini adalah dengan cara pengambilan sampel air yang akan di tes
sebanyak 10-15 ml, lalu teteskan chlorine tes sebanyak 1-2 tetes. Apabila air sampel tersebut
bening maka air tersebut siap dipakai, namun apabila air tersebut berwarna kuning kemerah
merahan maka air harus ditambahkan thiosulfat lagi secukupnya sampai air tersebut netral.
satu jam kemudian dari proses tersebut air diendapkan dengan EDTA 10 ppm dengan tujuan
untuk mengikat logam berat. Setelah proses tersebut air laut siap ditampung pada bak larva
atau bak induk.
C. Penanganan Induk, Telur dan Nauplius
Menurut Bambang Augus Murtidjo (2003) Untuk kualitas induk udang windu yang
terbaik adalah induk udang windu yang ditangkap di laut, selain dapat dihandalkan
produktivitasnya, kualitas benur yang dihasilkan juga sangat prima. Begitu pula Induk udang
windu di CV. Windu Amal Mandiri adalah induk dari alam yang telah matang telur atau MT
2 dan MT 3 yang diperoleh dari para nelayan secara langsung. Induk yang tiba dilokasi
diseleksi satu per satu untuk mengetahui tingkat kematangan gonadnya. Induk tersebut tidak
lagi memerlukan induk jantan untuk melakukan proses perkawinan, karena telah di lakukan
di alam sebelumnya. Untuk mengetahui induk yang telah matang telur dapat dilihat pada
Tabel 2 berikut ini :
Tabel 2. Tingkat kematangan gonad Induk udang windu
TKG Bentuk
Ovari terlihat masih kecil
Tingkat I

Garis ovari sudah mulai nampak


Tingkat II menebal dan nampak jelas.

Ovari semakin menebal dan


Tingkat III samping kiri dan kanan terbentuk
seperti bulan sabit.

Warna transparan menandakan


Tingkat IV ovari sudah kosong (telur sudah
lepas)

Sebelum dimasukkan kedalam bak induk untuk proses penetasan, induk udang windu
yang telah diseleksi tersebut di tampung pada bak fiber guna untuk proses adaptasi selama ±
8 jam. Setelah itu induk udang windu dipindahkan kedalam bak penetasan induk, Setelah ±
12 jam Induk udang windu di angkat dari bak penetasan satu per satu karena induk tersebut
telah mengalami penetasan.
Telur hasil dari penetasan induk udang windu tersebut di diamkan ± 12 jam, selama
proses ini dilakukan pengadukan telur setiap 1 jam, agar telur-telur yang mengendap di dasar
bak dapat mengapung di permukaan air dan membantu perangsangan dalam penetasan telur.
Setelah telur menetas dilakukan pemanenan pada stadia naupli 4-5, pemanenan menggunakan
kelambu panen berukuran 200 mikron.
Hasil dari pemanenan nauplius tersebut dikumpulkan pada suatu wadah dengan
volume air 50 liter, kemudian dilakukan perhitungan guna untuk proses pembagian naupli
yang merata ke bak-bak penampungan larva. Pengmbilan sampel pada wadah penampungan
hasil panen naupli tersebut dengan menggunakan pipet sebanyak 10 cc ( 0,01 Liter) pada
setiap wadahnya, Perhitungan menggunakan rumus :

Jumlah Naupli = Volume air . Jumlah naupli sampel


Volume sampel

Untuk lebih jelasnya lagi Hasil perhitungan naupli yang telah dilakukan dapat dilihat pada
Tabel berikut :

Tabel 3. Perhitungan jumlah nauplius.


Volume Volume Jumlah Jumlah
No. Bak air Gelas pengambilan Keseluruhan
Induk dalam Sampel Sampel Naupli Keterangan
Bak (Liter) Naupli dalam Bak
(Liter) dalam pipet

Dibagi
1 50 0,01 2625 13125000 menjadi 6
bak
Dibagi
2 50 0,01 3564 17820000 menjadi 8
bak
Dibagi
3 50 0,01 2554 12770000 menjadi 6
bak
Dibagi
4 50 0,01 2134 10670000 menjadi 5
bak

D. Pemeliharaan Larva Udang Windu


1. Persiapan Bak Larva
Persiapan wadah pemeliharaan merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting
dalam usaha pembenihan udang windu. Bak yang akan digunakan untuk kegiatan
pembenihan di keringkan terlebih dahulu selama beberapa hari baru kemudian di bersihkan
untuk membuang kotoran serta lumut yang menempel pada bak, serta di lakukan juga
sterilisasi untuk membuang kandungan asam yang terlalu tinggi karena bak yang telah lama
tidak beropersi. Kegiatan sterilisasi dilakukan dengan menggunakan kaporit dengan dosis 500
- 100 ppm, yang telah dilarutkan ke dalam ± 15 liter air lalu disiramkan secara merata ke
dinding-dinding atau dasar bak. Untuk menghilangkan kotoran serta lumut yang menempel
pada dinding bak dilakukan dengan cara menggosok dinding bak dengan menggunakan sikat,
setelah itu disiram dengan air tawar dan kemudian bak dikeringkan selama ± 2 – 3 hari.
Setalah dibersihkan dan dilakukan sterilisasi, selanjutnya dipasang peralatan
pendukung seperti heater, jaringan aerasi (pipa, selang, dan batu aerasi), dan terpal untuk
menutup bagian atas bak pemeliharaan nauplius. Pengisian air dilakukan setelah bak telah
bersih dan semua peralatan pendukung terpasang. Pengisian air dilakukan sampai ketinggian
mencapai 70 – 80 cm, yang sebelumnya air laut tersebut telah disaring terlebih dahulu dengan
menggunakan kain satin (filter back) yang di ikatkan pada ujung pipa pemasukan air.

2. Pengolahan Kualitas Air


Pemantauan kualitas air seperti suhu dan salinitas dilakukan tiap pagi (jam 08.00)dan
sore hari (jam 16.00). Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan thermometer yang
diletakan didalam air dibak, sedangkan pengukuran salinitas dilakukan dengan menggunakan
refraktometer yang harus dikalibrasi atau dibersihkan dengan aquades sampai menunjukan
angka 0ppt.
Pengukuran dilakukan dengan meneteskan 1-2 tetes air bak yang akan di ukur, kemudian
tutup kembali dengan penutupnya dan terakhir refraktometer dihadapkan kearah datangnya
cahaya untuk dapat melihat hasilnya (angka salinitas ditunjukan oleh garis pembatas warna
biru).
Pada awal tebar suhu pada air pemeliharaan adalah 29-31 oC, setelah benih udang
mencapai stadia zoea suhu air dinaikan yaitu 30-33 oC, karena suhu < 29 oC napsu makan
menjadi menurun atau proses metabolisme rendah. Untuk mempertahankan suhu pada air
media digunakan Heater 100 watt dan bak ditutup dengan menggunakan terpal untuk
menjaga suhu agar tetap stabil dan untuk mencegah masuknya air hujan yang asam, serta
menjaga fitoplankton agar tidak blooming. Penutup/terpal dibuka setengahnya pada pagi hari
jam 07.00-10.00 agar sinar matahari dapat masuk. Untuk menjaga salinitas agar tetap stabil
pergantian air harus dilakukan secara teratur dan kondisi salinitas tetap dipertahankan pada
kisaran 25-29 ppt. Penyiponan dilakukan apabila pada dasar bak banyak terdapat kotoran
yang biasanya disebabkan oleh endapan sisa pakan. Penyiponan dilakukan dengan
menggunakan selang dan dilakukan secara berlahan-lahan agar kotoran tidak teraduk ke atas.
Berikut adalah table hasil pengukuran suhu, salinitas dan pH di CV. Windu Amal Mandiri.
Tabel 4. Hasil pengukuran kualitas air.
Tempat Pagi (08.00) Sore (16.00)
(Bak) pH Salinitas Suhu pH Salinitas Suhu
Air Laut 8,1 27 _ 7,80 27 _
Bak Tandon 8,2 27 _ 7,92 27 _
Bak Tower 7,92 28 _ 7,98 29 _
Bak 8,05 28 28-30oC 8,01 29 28-30oC
Treatmen
Bak Zoea 7,87 28 29-31 oC 7,97 29 29-31 oC
Bak Mysis 7,91 29 30-33 oC 8,0 28 30-33 oC
Postlarva 8,01 30 29-31 oC 7,05 29 29-31 oC
3. Pemberian Pakan
Setiap tekhnisi memiliki cara yang berbeda beda dalam mengatur waktu pemberian
pakan larva udang windu. Berikut adalah jadwal pemberian pakan yang dilakukan di CV.
Windu Amal Mandiri :
Tabel 5. Jadwal pemberian Pakan
Pakan Buatan Pakan Alami Obat – Obatan
(Antibiotik)
06.00 09.00 09.00
12.00 15.00 _
18.00 20.00 _
22.00 24.00 _
02.00 _ _

Pada stadia awal larva udang windu yaitu stadia nauplius, tidak diberi pakan karena
pada stadia ini larva masih memiliki kuning telur yang melekat pada tubuhnya sebagai pakan.
Pada saat stadia zoea, mysis dan postlarva, larva diberi pakan tambahan yaitu pakan alami
dan pakan buatan. Berikut disajikan dalam bentuk table jenis, dosis pemberian pakan larva
udang windu di hatchery CV. Windu Amal Mandiri.

Gambar 6. Pemberian pakan larva udang windu.


Tabel 6. Komposisi pakan alami dan pakan buatan
Stadia Jenis Pakan
Pakan Dosis Pakan Dosis
Buatan (Konsentrasi) Alami (Konsentrasi)
_ _ _ _
Nauplius

 Frippak #1 Skeletonema
Zoea 1 Car ½ ppm costatum ½ kantong
 Seastar
Spirulina
 Rotemia Skeletonema
Zoea 2 – Zoea 3  P. 1 ppm costatum 1 kantong
Japonicus
no.0
 Micromac
30
 Rotemia Skeletonema
Mysis 1 – Mysis 3  P. 1-2 ppm costatum ½ kantong
Japonicus
no.0
 Micromac
30
 CD 2
 Frippak
PL 1 – PL jual PL 1-2 ppm Artemia 1 liter
 Micromac
70
 Rotofier
 P.
Japonicus
no.1

Pada masa stadia Zoea – Mysis pemberian pakan alami berupa (Skeletonema
Costatum) dan pada stadia postlarva pemberian pakan alami diganti dengan artemia.
Pemberian pakan alami dan buatan ini dilakukan dengan cara penebaran secara merata
kedalam bak larva agar tidak terjadi kompetisi dalam mendapatkan pakan. Syarat yang
mutlak untuk terpenuhinya pakan yang baik adalah penebaran secara merata, dalam arti dapat
diusahakan agar satu individu udang memperoleh bagian pakan yang sama dengan individu
lainnya, sehingga diharapkan dengan pemberian pakan merata pertumbuhannya akan
seragam.
Untuk pemberian pakan buatan terlebih dahulu ditakar sesuai dengan kebutuhan larva,
kemudian dimasukkan pada kantong pakan yang sesuai ukuran lalu diikat, setelah itu pakan
buatan dilarutkan kedalam air yang berisikan ± 5 liter air dengan cara digosok-gosokkan
kedalam air tersebut agar benar-benar larut dan mudah dicerna oleh larva.

4. Perlakuan Pada Larva Udang Windu


Perlkuan setiap stadia larva udang windu di CV. Windu Amal Mandiri dapat dilihat
pada table 7 berikut :
Tabel 7. Perlakuan setiap stadia larva udang windu
Stadia Volume Ketinggian Pemindahan larva ke Penutupan bak
bak air dalam bak bak (Terpal)
(Cm) baru/pemeliharaan
Nauplius I 140 Tidak dilakukan Tertutup
II 13 m3 140 Tidak dilakukan Tertutup
III 140 Tidak dilakukan Tertutup
IV 140 Tidak dilakukan Tertutup
V 90 Dilakukan/Panen Tertutup
VI 90 Tidak dilakukan Tertutup
Zoea I 90 Tidak dilakukan Tertutup
II 90 Tidak dilakukan Tertutup
III 26,3 m3 90 Tidak dilakukan Tertutup
Mysis I 100 Tidak dilakukan Tertutup
II 100 Tidak dilakukan Tertutup
III 100 Tidak dilakukan Tertutup
PL I-IV 120 Tidak dilakukan Tertutup
V- 26,3 m3 120 Dilakukan pada saat
Terbuka
Panen PL5

Pada stadia larva PL5 dilakukan pemindahan larva ke bak penampungan baru dengan
cara melakukan pemanenan. Hal ini dilakukan karena berdasarkan pengamatan perhitungan
SR, larva mengalami penyusutan lebih dari 50%. Selain itu proses pemanenan juga bertujuan
untuk memperbaiki kualitas air di dalam bak pemeliharaan larva, dimana pada bak
sebelumnya terdapat banyak kotoran dan sisa-sisa makanan yang mengendap didasar bak.
Hasil dari proses pemanenan larva PL5 dipindahkan ke bak penampungan larva yang baru
sampai PLjual.
Untuk penutupan bak dilakukan dengan menggunakan terpal. Hal ini bertujuan untuk
menjaga kestabilan suhu yang ada didalam bak.

5. Pengendalian Hama dan Penyakit


Pencegahan penyakit juga dilakukan pada larva udang windu dengan cara
memberikan obat-obatan, pemberian anti biotic ini bertujuan untuk mebunuh virus/bakteri
yang ada pada bak pemeliharaan larva. Untuk lebih jelasnya pemberian obat-obatan di CV.
Windu Amal Mandiri berikut disajikan dalam bentuk tabel.
Tabel 8. Jenis dan Dosis pemberian obat-obatan
Stadia Antibiotik Konsentrasi

Nauplius 6 Elbazine 1 ppm


Zoea 1 OTC 2 ppm
Mysis 1 OTC 2 ppm
Mysis 3 Erytromycne 1 ppm
PL 3 Erytromycne, Treflan 1 ppm

Untuk jadwal pemberian obat-obatan ini tidak ditentukan secara pasti, karena melihat kondisi
dari larva udang windu tersebut. Apabila kondisi larva udang windu baik, maka tidak perlu
diberikan obat-obatan.

E. Perhitungan SR (Kelangsungan Hidup Hewan Uji) Setiap Stadia.


Kelangsungan hidup larva udang windu di CV. Windu Amal mandiri diamati setiap
hari selama kurang lebih satu bulan. Perhitungan SR menggunakan rumus :
SR (%) = Nt / No x 100

Dimana:
SR = Kelangsungan Hidup hewan uji.
Nt = Jumlah yang hidup sampai akhir penelitian.
No = Jumlah yang hidup awal penelitian.
Metode pengambilan sampel dan perhitungan larva udang windu pada setiap stadia
awal dan stadia akhir sebagai berikut :
1. Stadia Zoea dihitung mulai dari stadia awal yaitu Zoea 1 dan akhir dari stadia Zoea 3
dengan cara pengambilan sampel disetiap sudut bak larva sebanyak empat kali dengan
menggunakan gelas ukur ( bekker) sebanyak 500 cc. Pengambilan sampel dilakukan pada
pukul 16.00 dan menutup kran aerasi sebelum pengambilan sampel dilakukan.
2. Stadia Mysis dihitung mulai dari stadia awal yaitu Mysis 1`dan akhir stadia Mysis 3.
dengan cara pengambilan sampel disetiap sudut bak larva sebanyak empat kali dengan
menggunakan gelas ukur ( bekker) sebanyak 500 cc. Pengambilan sampel dilakukan pada
pukul 16.00 dan menutup kran aerasi sebelum pengambilan sampel dilakukan.
3. Stadia Post Larva dihitung empat kali pada bak yang berbeda. mulai dari stadia awal (PL
1) dan PL 5. Dan dilakukan perhitungan untuk stadia PL 6 dan PL panen di bak yang baru
setelah proses pemindahan, cara perhitungan sama dengan cara sebelumnya yaitu dengan cara
pengambilan sampel disetiap sudut bak larva sebanyak empat kali dengan menggunakan
gelas ukur ( bekker) sebanyak 500 cc. Pengambilan sampel dilakukan pada pukul 16.00 dan
menutup kran aerasi sebelum pengambilan sampel dilakukan.

4. Perhitungan setiap stadia menggunakan rumus sebagai berikut :

Jumlah Larva = Volume air . Jumlah Larva sampel


Volume sampel

Gambar 7. Pengambilan sampel larva udang windu.


Untuk lebih jelasnya Berikut adalah table hasil perhitungan larva udang windu yang
telah dilakukan di CV. Windu Amal Mandiri :
Tabel 9. Hasil perhitungan awal dan akhir stadia larva udang windu.
Volume Volume Jumlah Jumlah Rata-rata
Stadia No. air Gelas Larva Larva Jumlah
Bak dalam Sampel dalam dalam Larva
Bak (Liter) Gelas Bak Keseluruhan
(Liter) (ekor) (ekor)
1 A 14787 0,5 81 2395494
Zoea 1 1 A 14787 0,5 68 2011032 2011037
1 A 14787 0,5 53 1567442
1 A 14787 0,5 70 2070180
1 A 14787 0,5 48 1419552
Zoea 3 1 A 14787 0,5 56 1656144 1360404
1 A 14787 0,5 33 975942
1 A 14787 0,5 47 1389978
1 A 16430 0,5 30 985800
Mysis 1 1 A 16430 0,5 37 1215820 1067950
1 A 16430 0,5 41 1347260
1 A 16430 0,5 22 722920
1 A 16430 0,5 17 558620
Mysis 3 1 A 16430 0,5 25 821500 763870
1 A 16430 0,5 31 1018660
1 A 16430 0,5 20 657200
1 A 19716 0,5 13 512616
PL 1 1 A 19716 0,5 20 788640 591480
1 A 19716 0,5 9 354888
1 A 19716 0,5 18 709776
1 A 19716 0,5 21 828072
PL 5 1 A 19716 0,5 8 315456 483042
1 A 19716 0,5 11 433752
1 A 19716 0,5 9 354888
7 A 19716 0,5 34 1340688
PL 6 7 A 19716 0,5 27 1064664 1301256
7 A 19716 0,5 41 1616712
7 A 19716 0,5 30 1182960
7 A 19716 0,5 25 985800
PL Jual 7 A 19716 0,5 30 1182960 1025230
7 A 19716 0,5 17 670344
7 A 19716 0,5 32 1261824
Hasil perhitungan dari tabel 7 diatas adalah merupakan hasil dari perhitungan pada
bak no. 1A di CV. Windu Amal Mandiri. Untuk mengetahui persentase kelangsungan hidup
setiap stadia larva udang windu, mulai dari stadia zoea, mysis, dan postlarva di CV. Windu
Amal Mandiri dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus:
SR (%) = Nt / No x 100

Dimana:
SR = Kelangsungan Hidup hewan uji.
Nt = Jumlah yang hidup sampai akhir penelitian.
No = Jumlah yang hidup awal penelitian.
Perhitungan jumlah persentase setiap stadia dilakukan sebanyak 4 fase, dimana:

 Fase I adalah jumlah persentase antara stadia Nauplius 6 – Zoea 1


 Fase II adalah jumlah persentase antara stadia Zoea 3 – Mysis 1
 Fase III adalah jumlah persentase antara stadia Mysis 3 – PL1
 Fase IV adalah jumlah persentase antara stadia PL1 – PL6
dapat dilihat pada table 8 berikut:
Tabel 10. Perhitungan Kelangsungan Hidup Setiap Stadia Larva (SR)
Perhitungan Perhitungan Hasil perhitungan
akhir stadia awal stadia X kelangsungan
Fase Larva (Nt) Larva (No) 100 hidup setiap
stadia larva
(SR)%
Fase I 2011037 2187500 100 91,9%
N6 – Z1
Fase II 1067950 1360404 100 78,5%
Z3 – M1
Fase III 591480 763870 100 77,4%
M3 – PL1
Fase IV 483042 591480 100 81,6%
PL1 – PL5

Untuk perhitungan SR pada bak no.1A di CV. Windu Amal Mandiri hanya dapat
dilakukan sampai pada stadia PL5. Karena pada saat stadia PL5 tersebut akan dilakukan
pemanenan untuk dipindahkan ke bak pemeliharaan larva yang baru. Pemanenan larva udang
windu pada stadia PL5 tersebut dilakukan karena telah terjadi penyusutan larva serta terdapat
banyak pengendapan kotoran dan sisa-sisa makanan. Maka dari itu larva harus dipindahkan
ke bak pemeliharaan yang baru.
Pada bak pemeliharaan baru yang telah disiapkan, hasil dari pemanenan larva stadia
PL5 pada setiap bak Digabungkan dan dibagi secara merata ke bak penampungan yang baru
tersebut. Perkiraan dari pembagian tersebut adalah 2-3 bak dari hasil pemanenan
digabungkan ke satu bak penampungan yang baru.

Berikut adalah Tabel 8 Hasil perhitungan SR pada bak penampungan baru (Bak no. 7A) di
CV. Windu Amal Mandiri:

Tabel 11. Hasil perhitungan SR pada bak penampungan larva pertama dan kedua.
Perhitungan Perhitungan X
Stadia Larva Akhir Stadia Awal Stadia 100 SR %
Larva Larva

Nauplius6-PL5 2187500 483042 100 22%

PL6 - PLJual 1025230 1301256 100 78,8%

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Penanganan larva udang windu di CV. Windu Amal Mandiri yaitu, mulai dari
stadia Nauplius, Zoea, Mysis dan Postlarva meliputi tahapan-tahapan yaitu:
persiapan awal, penyedotan air laut, proses filterisasi dan treatmen air laut,
pengaturan kualitas air.
2. Kebutuhan akan pakan harus tersedia setiap waktu, baik pakan alami maupun
pakan buatan sesuai komposisi dan dosis yang sesuai untuk larva udang
windu.
3. Dalam penanganan penyakit pada proses produksi, tindakan pencegahan
merupakan suatu tindakan yang diutamakan untuk menjaga agar larva yang
dihasilkan tidak terserang penyakit.
4. Pengamatan akan parameter kualitas air sangat mempengaruhi terhadap
perkembangan larva udang windu.
5. Dari hasil perhitungan SR yang telah dilakukan, pada bak penampungan larva
pertama mengalami penyusutan lebih dari 50%.

B. Saran

1. Hendaknya dilakukan perhitungan larva pada setiap stadia, sebagai data untuk
mengukur tingkat kelangsungan hidup larva udang windu didalam bak.
2. Perlunya penambahan dan perbaikan sarana dan prasarana pembenihan agar
tidak mengganggu atau menghambat kegiatan pembenihan.
3. Pemberian pakan dan obat-obatan harus benar-benar disesuaikan, serta
penebaran pakan dan obat-obatan tersebut secara merata.
4. Kerja sama team yang kompak antara karyawan dan tekhnisi merupakan factor
penunjang keberhasilan suatu unit pembenihan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, 2006 SNI 01-6143. Benih udang windu (Penaeus monodon fabriciu, 1798) kelas benih
sebar. Jakarta. 7 hal
Anonymous, 1998. Pembenihan Udang Windu Skala Rumah Tangga Suatu Alternatif Usaha Keluarga
Di Indonesia, Balai Budidaya Air Payau (BBAP), Jepara. 14 hal
Anonim, 1987. Petunjuk teknik bagi pengoprasian unit usaha pembenihan udang windu, Direktorat
Jendral Perikanan, 101 hal
Agus Murtidjo, 2003. Benih Udang Windu Skala Kecil, Dalam Seri
Penangkapan, Kanisius, Yogyakarta. 60 hal
Sutaman, 1993. Pembenihan Udang Windu Skala Rumah Tangga, Kanisius, Yogyakarta. 37 hal
Sumeru, Umiyati.S dan Anna.S 1992. Pakan Udang Windu. (Penaeus
Mondon). Kanisius. Yogyakarta. 85 hal
Soetomo, M.J.A., 2000. Teknik Budidaya Udang Windu (Penaeus monodon).Kansius. Yogyakarta. 78
hal.

Diposting oleh Makhrozi Tanzani di 05.50


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest

1 komentar:

Anonim mengatakan...

bagaimana kalau divideokan daari turun induk

11 Oktober 2013 00.43

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Beranda


Langganan: Posting Komentar (Atom)

Laman
 Beranda
 Teknik Penanganan Larva Udang Windu

Ada kesalahan di dalam gadget ini

Pengikut
Ada kesalahan di dalam gadget ini
SEMOGA BLOG INI BERMANFAAT
Ada kesalahan di dalam gadget ini

Arsip Blog
 ► 2016 (1)

 ▼ 2011 (4)
o ▼ Januari (4)
 Cara menginstalasi (Instal Ulang) windows XP SP2
 CARA MEMBUAT MAKALAH
 cara mempercepat koneksi internet pada browser moz...
 TEKNIK PEMELIHARAAN LARVA UDANG WINDU DI
HATCHRY T...

Tema Perjalanan. Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman


12,614

Adeede88
Kamis, 14 November 2013
laporan teknik pemeliharaan larva udang windu

TEKNIK PEMELIHARAAN LARVA UDANG WINDU (Penaeus monodon Fabr)


DI HATCHERY SKALA RUMAH TANGGA MILIK BAPAK BASHORI DESA PACIRAN
KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN
LAMONGAN PROVINSI JAWA TIMUR

LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANG II


JURUSAN TEKNOLOGI BUDIDAYA PERIKANAN
SEMESTER III
Oleh :

DEDE HERMAWAN
NIT. 10.3.02.097

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN


BADAN PENGEMBANGAN SDM KELAUTAN DAN PERIKANAN
AKADEMI PERIKANAN SIDOARJO
2013

LEMBAR PENGESAHAN

dul : Teknik Pemeliharaan larva Udang Windu (Penaeus Monodon) di HSRT


Milik Bapak Bashori Desa Paciran Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Provinsi
Jawa Timur

Nama : Dede Hermawan

NIT : 10.3.02.097

Jurusan : Teknologi Budidaya Perikanan

Laporan ini Disusun Sebagai Pertanggungjawaban


Pelaksanaan Praktek Kerja Lapang II
Jurusan Teknologi Budidaya Perikanan
Akademi Perikanan Sidoarjo
Tahun Akademik 2012/2013
Menyetujui, Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing lI

Drs. Djoko Surahmat, M.P. Dicky Prania, S.Pi.

Tanggal: Tanggal:

Mengetahui,

Ketua Jurusan TBP


Teknologi Budidaya Perikanan

Dr. Muh. Hery Riyadi A., S.Pi., M. Si.


NIP : 19740304 199903 1 002

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala

rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktek Kerja

Lapang II ini tepat pada waktunya.

Dengan tersusunnya Laporan Praktek Kerja Lapang II ini penulis mengucapkan

banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Endang Suhaedy, A.Pi., MM, M.Si. selaku Direktur Akademi Perikanan Sidoarjo

yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk melaksanakan PKL II.

2. Bapak Dr. Muh. Hery Riyadi A., S.Pi., M.Si. selaku Ketua Jurusan Teknologi Budidaya

Perikanan yang telah memberikan petunjuk dan memfasilitasi jalannya PKL II.
3. Bapak Drs. Djoko Surahmat, M.P. dan Bapak Dicky Prania, S.Pi. selaku Dosen Pembimbing

I dan Dosen Pembimbing II yang telah memberikan arahan dan bimbingannya dalam

penyusunan laporan ini.

4. Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Penyusunan Laporan

Praktek Kerja Lapang II ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Laporan ini masih ada bahkan banyak

terdapat kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat

membangun demi kesempurnaan Laporan ini.

Sidoarjo, Januari 2013

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ i


KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ........................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. viii

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2. Maksud Dan Tujuan ....................................................................... 2
1.2.1 Maksud ................................................................................... ......... 2
1.2.2 Tujuan ................................................................................. ......... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biologi Udang Windu ..................................................................... 3
2.1.1. Taksonomi Udang Windu .................................................. 3
2.1.2. Morfologi Udang Windu ..................................................... 3
2.1.3. Reproduksi Udang Windu ...................................................... 4
2.1.4. Makan dan Kebiasaan Makan ............................................ 5
2.1.5. Siklus hidup ........................................................................................ 5
2.1.6. Perkembangan Stadia Larva Udang Windu ................................... 6
2.2. Tingkah Laku ......................................................................................... 8
2.3. Penentuan Lokasi ................................................................................. 9
2.4. Sarana Dan Prasarana Pembenihan ............................................................ 9
2.5. Kegiatan Pembenihan ............................................................................. 11
2.5.1. Persiapan Bak Dan Air Media ............................................................ 11
2.5.2. Pengaturan Aerasi ............................................................................... 12
2.5.3. Pengelolaan Kualitas Air ..................................................................... 12
2.5.4. Induk Dan Pemijahan .......................................................................... 13
2.5.5. Pemeliharaan Larva ............................................................................. 14
2.5.6. Pakan ..................................................................................................... 14
2.5.7. Penyakit Dan Penanggulangannya ..................................................... 16
2.5.8. Pemanenen ............................................................................................ 18

III. METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan .................................................................... 20
3.2. Metode Praktek Kerja Lapang ....................................................................... 20
3.3. Sumber Data ..................................................................................................... 20
3.4. Teknik Pengumpulan Data ............................................................................. 21
3.5. Teknik Pengolahan Data ................................................................................. 21
3.6. Analisa Data ..................................................................................................... 22
3.7. Analisis Usaha ................................................................................................ 22
3.7.1. Analisa Laba Rugi ............................................................................... 23
3.7.2. Analisa Rasio Hasil dan Harga ........................................................... 23
3.7.3. Analisa Break Event Point .................................................................. 23
3.7.4. Revenue Cost (R/C) .............................................................................. 24

IV. KEADAAN UMUM


4.1. Lokasi Perusahaan .................................................................................. 25
4.2. Kegiatan Pokok ....................................................................................... 25
4.3. Organisasi Ketenagakerjaan .................................................................. 26
4.4. Fasilitas Utama ........................................................................................ 26
4.4.1. Sumber Energi .............................................................................. 26
4.4.2. Wadah dan Tata Letak ................................................................. 26
4.4.3. Air dan Sistem Pengairan ............................................................ 27
4.4.4. Sistem Aerasi ................................................................................. 28
4.5. Fasilitas Pendukung ................................................................................ 29

V. HASIL DAN PEMBAHASAN


5.1. Persiapan Pemeliharaan Larva ...................................................... 30
5.1.1. Persiapan Bak ........................................................................ 30
5.1.2. Pemasangan Sistem Aerasi ................................................... 31
5.1.3. Pengisian Air .......................................................................... 32
5.1.4. Penebaran Naupilus ............................................................... 33
5.2. Manajemen Pakan ........................................................................... 33
5.3. Manajemen Kualitas Air ................................................................. 39
5.4. Monitoring Pertumbuhan Larva .................................................... 39
5.5. Pengendalian Hama dan Penyakit ................................................. 40
5.6. Panen ................................................................................................. 41
5.7. Pasca Panen ...................................................................................... 41
5.8. Pemasaran ........................................................................................ 42
5.9. Analisa Usaha ................................................................................... 43

VI. KESIMPULAN DAN SARAN


6.1. Kesimpulan ....................................................................................... 44
6.2. Saran ................................................................................................. 45

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1. Persyaratan Kualitas air dan Parameternya . ................................. 13
2. Jenis Makanan, Ukuran Pakan Pada Stadia Larva ........................ 15
3. Fasilitas Penunjang Usaha Pembenihan Udang Windu ................ 27
4. Jenis Pakan, Dosis dan Stadia Pemberian ..................................... 35
5. Campuran Pakan Buatan. ................................................................ 36
6. Dosis dan Frekuensi Pemberian Pakan Buatan ............................. 36
7. Bahan Treatmen Air Media .............................................................. 39
8. Perlakuan Pada Air Media Pemeliharaan ....................................... 40
9. Biaya Investaris Awal dan Variabel ................................................ 43

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1. Persyaratan Kualitas air dan Parameternya . ...................................... 13
2. Jenis Makanan, Ukuran Pakan Pada Stadia Larva ............................ 15
3. Fasilitas Penunjang Usaha Pembenihan Udang Windu ..................... 27
4. Jenis Pakan, Dosis dan Stadia Pemberian ......................................... 35
5. Campuran Pakan Buatan. .................................................................. 36
6. Dosis dan Frekuensi Pemberian Pakan Buatan .................................. 36
7. Bahan Treatmen Air Media ................................................................ 39
8. Perlakuan Pada Air Media Pemeliharaan .......................................... 40
9. Biaya Investaris Awal dan Variabel .................................................... 43

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman
1. Denah Lokasi PT. Hasil Windu Makmur.............................................. 46
2. Rencana Kegiatan Praktek Kerja Lapang II ........................................ 47

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jenis Udang Windu merupakan salah satu jenis udang yang memiliki nilai ekonomis

yang cukup tinggi dan merupakan komoditas ekspor andalan pemerintah. Konsekuensi dari

peningkatan tersebut adalah semakin tingginya kebutuhan benur yang berkualitas baik.

(Menurut Sutaman, 1993).

Dalam usaha memenuhi pasar dunia akan ketersediaan udang windu, para

pengusaha pembenihan memulai kegiatan dari pembenihan, pembesaran sampai pada

pemanenan dan pemasaran udang windu. Salah satu usaha yang menentukan keberhasilan

produksi udang windu yaitu usaha pembenihan. Usaha pembenihan adalah usaha yang

menyediakan benih yang berkualitas baik untuk dibesarkan. Usaha pembenihan memberikan

harapan yang baik sekaligus peluang kerja yang lebih luas. Hal ini tidak saja disebabkan oleh

teknologi yang dikuasai sepenuhnya, akan tetapi bagian- bagian dalam siklus pembenihan

udang skala besar sekarang sudah diusahakan secara mandiri. (Menurut Sutaman, 1993).

Oleh karena itu, usaha pembenihan yang ada harus melakukan pembenahan, supaya

dapat memenuhi standar kualitas akan kebutuhan benur bagi petani tambak. Sesuai dengan

uraian tersebut penulis perlu melaksanakan pembelajaran dan praktek di lapangan tentang

teknik pembenihan udang windu mulai tahap persiapan sampai panen. Pemeliharaan larva

sangat penting, dikarenakan kualitas suatu benih akan mempengaruhi budidaya udang saat

ditambak.

1.2. Maksud Dan Tujuan

1.1.2 Maksud
Maksud Praktek Kerja Lapang (PKL) II adalah :

(1) Mengikuti kegiatan secara langsung teknik pemeliharaan larva udang windu di HSRT milik

Bapak Bashori.

(2) Mempelajari lebih detail tentang teknik pemeliharaan udang windu mulai dari persiapan

sampai panen.

(3) Memperoleh data teknis dan finansial tentang kegiatan usaha pembenihan udang windu.

1.2.2 Tujuan

Tujuan Praktek Kerja Lapang (PKL) II adalah :

(1) Memperoleh pengetahuan dan keterampilan tentang teknik pemeliharaan larva udang windu

di HSRT milik Bapak Bashori.

(2) Mengetahui teknis analisis usaha pembenihan udang windu.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biologi Udang Windu

2.1.1. Taksonomi Udang Windu

Menurut Saanin (1968), Udang Windu digolongkan ke dalam :

Phyllum : Arthopoda

Sub- phylum : Mandibulata

Class : Crustacea

Sub- class : Malcostraca

Ordo : Decapoda

Sub- ordo : Matantia

Famili : Penaedae

Genus : Penaeus

Species : Penaeus monodon Fabr


2.1.2. Morfologi Udang Windu

Menurut Murtidjo (2003), tubuh udang windu terbagi menjadi dua bagian, yakni bagian

kepala hingga dada dan abdomen yang meliputi bagian perut dan ekor. Bagian kepala hingga

dada disebut chepalothorax, dibungkus kulit kitin yang tebal atau carapace. Bagian ini terdiri

dari kepala dengan 5 segmen dan dada dengan 8 segmen. Bagian abdomen terdiri atas 6

segmen dan 1 telson. Udang windu (Penaeus monodon) memiliki 1 pasang appendage. Lima

pasang terdapat pada kepala, masing- masing antenulla pertama dan antenulla kedua yang

berfungsi untuk penciuman dan keseimbangan, mandibulla untuk mengunyah, serta maxillula

dan maxilla untuk membantu makanan dan bernafas. Tiga pasang appendage yang terakhir

merupakan kesatuan bagian mulut. Bagian dada Penaeus monodon memilki tiga pasang

maxilliped yang berfungsi untuk berenang serta membantu mengomsumsi makanan. Bagian

dada memilki lima pasang kaki renang yang berguna untuk berenang sertaa sepasang

uropoda untuk membantu melakukan gerakan melompat dan naik turun. Jenis kelamin udang

windu betina dapat diketahui dengan adanya telikum di antara kaki jalan ke-4 dan ke-5.

Telikum berupa garis yang tipis dan akan melebar setelah terjadi feritlisasi. Sementara, jenis

kelamin udang windu jantan dapat diketahui dengan adanya petasma, yakni tonjolan diantara

kaki renang pertama, dapat di lihat pada gambar I.

Gambar I. Udang Windu ( Penaeus monodon Fabr )

2.1.3. Reproduksi Udang Windu

Sistem reproduksi udang betina terdiri dari sepasang ovarium, dan sepasang oviductus,

lubang genital, dan sebuah alat kelamin yang disebut thelikum. Komponen struktur utama dari

ovari adalah dinding ovari, epithelium, folikel dan terusan dinding ovari yang meliputi

pembuluh darah dan sel-sel otot.


Sistem reproduksi udang jantan terdiri dari sepasang testis, vasa deferentia, sebuah

petasma yang berada diluar, serta appendiks maskulina. Sperma matang terdiri dari kepala,

tutup, badan dan duri, tidak berekor, tidak bergerak, dan mengandung inti yang tidak pekat.

Waktu menembus vasa diferentia kumpulan sperma yang berubah dikumpulkan dalam cairan

sekretori dan dimasukkan ke dalam spermatophora berkhitin (Ahmad dkk, 1988).

2.1.4. Makan dan Kebiasaan Makan

Udang termasuk golongan omnivora atau pemakan segala. Beberapa sumber pakan

udang antara lain udang kecil (rebon), fitoplankton, cocepoda, polyhaeta, larva kerang, dan

lumut. Udang vannamei mencari dan mengidentifikasi pakan menggunakan sinyal kimiawi

berupa getaran dengan bantuan organ sensor yang terdiri dari bulu-bulu halus (setae). Organ

sensor ini terpusat pada ujung anterior antenula, bagian mulut, capit, antena, dan maxillipied.

Dengan bantuan sinyal kimiawi yang ditangkap, udang akan merespon untuk mendekati atau

menjauhi sumber pakan. Bila pakan mengandung senyawa organik, seperti protein, asam

amino, dan asam lemak maka udang akan merespon dengan cara mendekati sumber pakan

tersebut.

Untuk mendekati sumber pakan, udang akan berenang menggunakan kaki jalan yang

memiliki capit. Pakan langsung dicapit menggunakan kaki jalan, kemudian dimasukkan ke

dalam mulut. Selanjutnya, pakan yang berukuran kecil masuk ke dalam kerongkongan dan

oesophagus. Bila pakan yang dikonsumsi berukuran lebih besar, akan dicerna secara kimiawi

terlebih dhulu oleh maxillipied di dalam mulut (Haliman dan Adijaya, 2005).

2.1.5. Siklus Hidup

Menurut Wardiningsih (1999) dan Mudjiman (2003) secara umum pergantian bentuk

larva mulai dari menetas sampai menjadi post larva (PL), yang siap untuk ditebar ke dalam

tambak ada 4 fase atau stadia. Empat fase tersebut adalah : fase nauplius, fase protozoa atau

disebut pula swbagai fase zoea, fase mysis dan yang terakhir adalah fase post larva. Bila

diamati lebih teliti, maka pada setiap fase terdiri dari beberapa sub fase (stadium), yang

mempunyai bentuk berlainan. Siklus hidup udang windu dapat di lihat pada gambar 2.
Ganbar 2. Siklus Hidup Udang Windu

2.1.6. Perkembangan Stadia Larva Udang Windu

a. Fase Nauplius

Fase ini dimulai sejak telur menetas, dan berlangsung selama 46- 50 jam atau 2- 3

hari. Dalam fase ini larva belum memerlukan makanan dari luar karena masih terdapat

persediaan makanan dalam kantung kemih telur itu sendiri. Fase nauplius ini mengalami

pergantian bentuk, dengan tanda- tanda sebagai berikut :

Nauplius I : Badan berbentuk bulat telur, tetapi sudah mempunyai anggota badan 3 pasang.

Nauplius II : Badan masih bulat tetapi pada ujung antenna pertama terdapat setae (rambut) yang satu

panjang dan yang dua pendek.

Nauplius III : Tunas maxilla dan maxilliped mulai tampak, demikian juga furcal yang jumlahnya 2 buah mulai

terlihat jelas, masing- masing dengan 3 duri (spine).

Nauplius IV : Pada antenna kedua mulai tampak beruas- ruas dan pada setiap furcal terdapat 4 buah duri.

Nauplius V : Organ bagian depan sudah mulai tampak jelas disertai dengan tumbuhnya tonjolan pada

pangkal maxilla.

Nauplius VI : Perkembangan bulu- bulu makin sempurna dan pada duri furcal semakin panjang.

b. Fase Protozoea

Pada fase zoea larva harus diberi pakan dan aktif mengambil makanan sendiri dari

luar yaitu plankton. Fase zoea hanya berlangsung selama 3- 4 hari. Larva pada fase ini sangat

peka terhadap lingkungan.

Fase zoea terdiri dari 3 tingkatan yang mempunyai tanda- tanda yang berbeda sesuai

dengan perkembangnya yaitu :

Zoea I : Bentuk badan pipih, mata dan carapace mulai tampak, maxilla pertama dan kedua mulai

nerfungsi, alat pencernaan tampak jelas.


Zoea II : Mata mulai bertangkai dan pada carapace sudah terlihat rostrum dan duri supra orbital yang

bercabang.

Zoea III : Sepasang uropoda yang bercabang dua mulai berkembang dan duri pada ruas- ruas perut

mulai tumbuh.

c. Fase Mysis

Fase mysis berikutnya mirip udang- udangan, sifatnya yang paling menonjol adalah

gerakan mundur dengan cara membengkokkan tubuhnya. Pada fase ini berlangsung selama

4- 5 hari.

Fase mysis pada larva ditandai dengan tiga kali perubahan dengan tanda- tanda

sebagai berikut :

Mysis I : Bentuk badan ramping dan memanjang seperti udang mudah, tetapi kaki renang masih belum

tampak.

Mysis II : Tunas kaki renang mulai tampak nyata tetapi belum beruas- ruas.

Mysis III : Tunas kaki renang bertambah panjang dan beruas- ruas.

d. fase Post Larva (PL)

Perubahan bentuk pada fase ini yang paling akhir dan paling sempurna dari seluruh

metamorfosa, tetapi larva ini tidak mengalami perubahan bentuk, karena seluruh bagian tubuh

sudah lengkap dan sempurna seperti udang windu.

2.2. Tingkah Laku

Dalam usaha pembenihan udang windu, perlu adanya pengetahuan tentang tingkah

laku udang. Menurut Darmono (1991), beberapa tingkah laku udang windu yang perlu

diketahui antara lain :

a. Sifat Nokturnal
Yaitu sifat binatang yang aktif mencari makanan pada waktu malam hari, pada siang

hari mereka lebih suka beristirahat, baik membenamkan diri dalam lumpur maupun menempel

pada suatu benda yang terbenam dalam air dengan tujuan menghindarkan diri dari musuh-

musuhnya.

b. Sifat Kanibalisme

Yaitu sifat suka memangsa sejenisnya. Sifat ini sering timbul pada udang yang

kondisinya sehat, yang sedang tidak ganti kulit. Sasarannya adalah udang- udang yang

kebetulan ganti kulit.

c. Ganti Kulit (Moulting)

Yaitu proses pergantian kutikula lama digantikan dengan kutikula yang baru. Kutikula

adalah kerangka luar udang yang keras atau (tidak elastis). Oleh karena itu untuk tumbuh

menjadi lebih besar mereka perlu melepas kulit lama dan menggantikan dengan kulit yang

baru.

d. Migrasi

Yaitu proses perpindahan sekelompok udang dari habitat satu ke habitat yang lain.

Kegiatan migrasi ini dilakukan karena terbatasnya persediaan makanan atau udang betina

yang bertelur.

e. Daya Tahan

Udang windu terutama pada waktu masih berupa benih, sangat tahan pada perubahan

kadar garam atau salinitas. Sifat demkian dinamakan sifat Euryhaline. Sifat lain yang

menguntungkan adalah ketahanan terhadap perubahan suhu dan sifat ini dikenal dengan

nama Eurytherma.

2.3. Penentuan Lokasi


Menurut Murtidjo (2003), lokasi yang memenuhi syarat untuk pembenihan udang

windu adalah :

a. Dekat dengan pantai, sehingga mudah mendapatkan air laut.

b. Kualitas air laut yang digunakan memenuhi syarat sebagai berikut :

 Salinitas air laut sekitar 30 ppt

 Air cukup bersih dan tidak mengandung zat- zat organik maupun anorganik.

H 7 – 8 ; pH laut yang potensial 7 – 9

 Lokasi jauh dari pencemaran, baik dari pabrik, pestisida bekas pembasmian hama di sawah.

c. Tersedia tenaga listrik yang menyalurkan arus menerus selama 24 jam.

Tidak jauh dari pertambakan dan sumber induk nauplius.

2.4. Sarana dan Prasarana Pembenihan

Wardiningsih (1999) dan Soetomo (2000), menjelaskan bahwa sarana dan prasarana

pembenihan terdiri dari :

a. Bak pemeliharaan larva

Berdasarkan bentuknya, bak pembenihan terbagi atas empat macam yaitu bak

berbentuk persegi empat, bak berbentuk lingkaran, bentuk bulat telur dan bentuk kerucut. Bak

persegi empat biasanya digunakan dalam sistem jepang, biasanya digunakan dalam

pembenihan yang berukuran besar dengan kapasitas lebih besar dari 15 ton. Bak berbentuk

kerucut dikenal dalam pembenihan metode Galveston, biasanya digunakan pada bak

pembenihan berukuran kecil dan berkapasitas lebih kecil dari 3 ton. Bak berbentuk lingkaran

ataupun bulat telur dapat menghasilkan sirkulasi yang baik, yang biasanya digunakan dalam

pembenihan udang skala rumah tangga dengan kapasitas antara 10 – 15 ton.

b. Bak kultur plankton


Untuk menyediakan pakan alami fitoplankton satu siklus pemeliharaan dalam bak

larva 30 ton, diperlukan bak kultur alga sebanyak 2 bak dengan kapasitas 2 x 2 x 0,6 m.

Pemberian plankton dilakukan dalam media pemeliharaan larva hanya 2 hari pertama stadia

20. Selanjutnya plankton akan tumbuh dengan sendiri pada bak pemeliharaan larva.

c. Bak penetasan artemia

Untuk menetaskan cyste artemia, dapat digunakan wadah yang cukup sederhana

dengan harga yang relatif murah. Wadah tersebut dapat di buat dengan kombinasi antara

ember plastik dengan corong plastik sehingga membentuk kerucut. Volume wadah penetasan

artemia berkisar 20 – 25 liter.

d. Generator

Generator mutlak digunakan sebagai penggerak blower, pompa air, untuk

penerangan, dan lain- lain. Kapasitasnya diseuaikan dengan kebutuhan pasca larva dibuat

dari semen dengan kapasitas 20 30 m3 dengan kedalaman 1 m yang ditempatkan di luar.

e. Pompa air

Blower dipergunakan sebagai alat untuk membantu dan menigkatkan kelarutan dalam

air.

2.5. Kegiatan Pembenihan

2.5.1. Persiapan bak dan Air Media

Menurut Wardiningsih (1999), dalam kegiatan pembenihan udang, persiapan bak yang

dimaksud adalah untuk mengeringkan dan membersihkan bak dari segala bentuk kotoran,

yang dikerjakan sebelum bak digunakan atau diisi air.

a. Persiapan Bak

Kegiatan persiapan bak berupa membersihkan bak- bak untuk kegiatan pembenihan

agar bersih dan steril sehingga bak tersebut terbebas dari penyakit. Setelah bak dibersihkan,

dilakukan pengeringan bak selam 2- 3 hari supaya organisme air yang terdapat dalam bak

mati. Bila proses pengeringan bak ini tidak dapat dilakukan maka untuk membersihkan dinding
bak dilakukan dengan cara lain, yaitu dengan cara menggunakan larutan chlorin 100 ppm

(100 ml larutan cholorin 10 % dalam 1 m3 air). Pada pencucian dengan penggunaan larutan

chlorin, sebelum diisi air maka bak perlu dinetralisasi dan cholorin, karena chlor yang masih

menempel pada dinding bak biasa bersifat racun bagi larva dan dapat meatikan plankton yang

akan diberikan sebagai makanan larva. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Wardiningsih

(1999) bahwa sebelum bak digunakan atau diisi air perlu dilakukan pengeringan dan

pembersihan bak. Cara menetralisis chlor ini dengan menggunakan larutan Natrium Tio Sulfat

sebanyak 40 ppm, atau sebelum diisi air bak dikeringkan selama 1-2 jam untuk

menghilangkan chlor yang bersifat racun tersebut.

b. Persiapan Air

Air yang digunakan berasal dari laut, kemudian air itu disaring dalam bak penyaringan,

dalam bak penyaringan air di beri kaporit 7-10 gram/ton untuk membunuh bakteri-bakteri

patogen dari laut. kemudian air dalam bak di beri aerasi untuk menghilangkan kandungan

kaporit, proses ini dilakukan selama 2-3 hari, kemudian air disalurkan ke bak tandon untuk

siap digunakan proses penbenihan.

2.5.2. Pengaturan Aerasi

Menurut Wardiningsih (1999), kondisi aerasi harus diperhatikan karena selama

pemeliharaan tidak jarang dijumpai larva yang meletik ke dinding bak, maka untuk

mengatasinya adalah aerasi harus dinaikkan kekuatannya. Walaupun demikian aerasi juga

harus dijaga pengeluarannya, tidak boleh terlalu kecil ataupun terlalu besar, dan tidak boleh

mati sama sekali karena berakibat buruk terhadap larva yang dipelihara, bahkan dapat

mengakibatkan kematian missal. Kekuatan aerasi dibuat sekitar 101/menit untuk kedalaman

air 50 cm, sedangkan jumlah aerasi diperhitungkan satu buah aerasi per meter persegi. Jadi

untuk satu bak dengan luas 4 x 4 meter persegi diperlukan paling sedikit 16 buah aerasi.

Aerasi harus dipasang dengan posisi yang dapat tersebar merata didasar bak.
2.5.3. Pengelolaan Kualitas Air

Kualitas air merupakan factor penting selama pembenihan berlangsung. Baik

buruknya sangat menentukan hasil yang akan dicapai. Oleh karena itu kualitas air diusahakan

sebaik mungkin dan selalu dipantau. Persyaratan kualitas air dan parameternya yang baik

untuk pembenihan udang windu dapat dilihat pada table dibawah ini.

Tabel 1. Persyaratan Kualitas Air dan Parameternya

No Parameter Standar Ukur

(1) (2) (3)

1. Fisika

a. Suhu 26 - 300 C

b. Salinitas 0 – 35 permil dan optimal 10 – 30

permil

c. Kecerahan air 25 – 30 cm

2. Kimia

1. pH air 7,5 – 8,5

2. DO (Oksigen terlarut) 4 – 8 mg/ltr

3. Amoniak (NH3) < 0,1 mg/ltr

4. H2S < 0,1 mg/ltr

5. Nitrat 200 mg/ltr

Sumber : www.dkp.go.id (2012)

2.5.4. Induk dan Pemijahan

Menurut Wardiningsih (1999), pada umumnya Udang Penaid memijah di daerah lepas

pantai, kecuali beberpa spesies dari genus Metapenaeus yang memijah didaerah pantai.
Pemijahan sebenarnya terjadi sepanjang tahun, tetapi terdapat pada dua puncak musim yaitu

pada awal dan akhir musim hujan. Perubahan kadar garam yang bersamaan dengan

perubahan suhu yang mendadak dapat memberikan rangsangan pada induk udang yang

matang telur untuk memijah. Sedangkan pemijahan yang paling efektif didapatkan pada waktu

suhu air relative tinggi. Pada umumnya udang bertelur pada malam hari, akan tetapi juga

tergantung pada perkembangan musim.

2.5.5. Pemeliharaan Larva

Wardiningsih (1999), menjelaskan bahwa stadium larva merupakan stadia yang lemah

pada daur hidup. Oleh karena itu peranannya sangat penting dalam menentukan berhasil

tidaknya suatu pembenihan udang. Dalam hal ini penanganannya harus benar-benar

diperhatikan yaitu mulai dari stadium Nauplius sampai stadium Post Larva. Selain itu juga

perlu dihindari hal- hal yabg akan menimbulkan stres pada larva antara lain adalah : kondisi

aerasi, pemberian pakan dan pengamatan terhadap perkembangan larva, dan juga

pengamatan kualitas air media. Selama pemeliharaan, perawatan, pemberian pakan dan

penggantian air merupakan kegiatan rutin yang setiap hari harus diperhatikan dan ditangani

secara seksama.

2.5.6. Pakan

Menurut Wardiningsih (1999), pada stadium nauplius belum diberi makan karena

dalam tubuh masih mempunyai persediaan makanan dalam kantung kuning telur. Tetapi

pemberian makanan seperti Skeletonema sp dan Tetraselmis sp dalam bak besar harus

sudah dimulai 2 hari sebelum induk matang telur dipindahkan ke dalam bak peneluran. Hal ini

dimaksudkan supaya setelah Nauplius menjadi Zoea makanan yang dikultur sudah siap untuk

diberikan kepada larva. Setelah menjadi zoea larva memerlukan makanan yang melayang-

melayang dalam air. Pemberian makanan berupa Skeletonema sp dan Tetraselmis sp

bersama massa airnya mempunyai keuntungan yaitu untuk mengurangi kepadatan


penebaran larva dalam bak. Secara umum makanan yang diberikan kepada larva udang

selama pemeliharaan ada 2 jenis makanan, yaitu makanan alami yang berupa fitoplankton

dan zooplankton, dan makanan buatan. Jenis makanan, ukuran pemberian pakan sesuai

dengan stadium perkembangannya, dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jenis Makanan, Ukuran Pemberian Pakan Pada Stadium Larva.

STADIA JENIS PAKAN DOSIS FREKUENSI

(1) (2) (3) (4)

Naupli Makanan dari - -

cadangan isi

kantung telur.

Zoea Plankton nabati 15 – 20 % dari berat 4 – 6 kali sehari

Diatome tubuhnya

(skeletonema,

Navicula, Amphora,

Tetraselmis, dll)

Mysis 15 – 20 % dari berat 4 – 6 kali sehari

tubuhnya

Post Larva 5 – 10 % dari berat 4 – 6 kali sehari

tubuhnya

Udang Dewasa 5 – 10 % dari berat 4 – 6 kali sehari

tubuhnya

Sumber : www.dkp.go.id (2012)

2.5.7. Penyakit dan Penanggulangannya


Selama perkembangannya larva sering kali terserang beberapa jenis jamur, bakteri

atau protozoa yang dapat mengganggu pertumbuhan bahkan dapat mengakibatkan kematian.

www.dkp.go.id (2012)

Menurut Mutidjo (2003), berbagai jenis penyakit yang spesifik menyerang larva udang

windu diuraikan sebagai berikut :

1. Penyakit Virus

Ada empat jenis penyakit virus yang ttidak dikenal menyerang tingkat larva dan post

larva : Baculoviruspanei (BP), Baculo viral midgut gland neocrosis (BMN), dan Injectious

hemato poletic neocrosis virus (IHHN). Di Indonesia baru satu yang dikenal menyerang udang

windu, yaitu Baculovirus panei atau Monodon baculo (MBV). Umumnya menyerang post larva

(PL), khususnya diatas post larva 20 (PL 20). Induk udang sebagai sumber dan pembawa

penyakit ( carrier ) dengan mudah menularkan virus ke larva melalui telur karena vrus banyak

terdapat pada fesesnya. Oleh alasan ini, pengisolasian induk udang windu yang positif

terinfeksi dari tempat pemeliharaan larva merupakan salah satu pengendalian penyakit virus,

disamping mengurangi faktor cekaman ( stress ) dan kepadatan.

2. Penyakit Bakteri Non- Filamen

Meskipun penyakit bacterial sangat umum menyerang larva udang windu, Namun

infeksinya bersifat oportunis, dalam arti bakteri merupakan penyebab timbulnya penyakit.

Salah satu jenis penyakit bakterial yang akhir- akhir ini sering menimbulkan masalah pada

larva udang windu disebut penyakit “ bakteri menyala “ atau “ bakteri pasar malam “. Penyakit

ini diduga disebabkan oleh bakteri vibrio luminescent. Serangan bakteri ini sering dikaitkan

dengan adanya perubahan kondisi lingkungan sehingga larva menjadi stress. Akibatnya,

bakteri berkembang dengan cepat dan mengakibatkan kematian pada larva secara missal.

Penggunaan obat- obatan seperti terramicin, choramphericol, dan furanace telah dikenal

cukup efektif membasmi penyakit bakteri tersebut. Namun, cara yang lebih baik adalah usaha

sanitasi , baik sebelum maupun pada saat pemeliharaan larva, disamping desinfeksi bak

pemeliharaan serta menghindarkan keluar masuknya pekerja dari suatu hatchery ke hatchery
lain, penggunaan filter, dan sebagainya. Akan tetapi, penggunaan obat secara rutin dapat

berdampak negative, meskipun antibiotik itu pada awalnya efektif.

3.Penyakit Bakteri Filamen

Terhadap infeksi bakteri filament, larva udang windu lebih tahan dibandingkan dengan

tingkatan post larva (PL). Hal ini disebabkan oleh proses ganti kulit ( moulting ) pada larva

lebih sering dan cepat terjadi sehingga bakteri filament ( Leuconthrix mucor ) tidak

sempatterakumulasi dalam tubuhnya. Dalam keadaan infeksi berat sering terjadi kematian

akibat terjeratnya larva udang oleh benang- benang bakter tersebut. Selain itu, bakteri banyak

menempel di bagian insang sehingga mengganggu pernapasan. Selanjutnya, nafsu makan

menurun dan akhirnya mengalami kematian. Usaha pencegahan yang perlu dilakukan adalah

perbaikan kualitas air, penanganan yang baik, mengurangi kepadatan, dan mengurangi stress

( cekaman ). Pengobatan yang dapat dilakukan antara lain pemberian furanace 1 ppm,

formalin 25 ppm, dan KMnO4 sebanyak 2 ppm.

4. Penyakit Jamur

Penyakit karena jamur merupakan kasus yang sering terjadi pada larva udang windu.

Penyebabnya adalah Lagenidium sp. Jamur ini biasanya menyerang larva pada stadium zoea

dan mysis. Serangan jamur ini bersifat sistemik, yakni dapat menyerang sampai ke dalam

tubuh larva udang windu. Penularan jamur ini terjadi melalui zoospore, yaitu fase infeksi yang

berenang bebas di air. Zoospora juga terdapat pada Artemia sehingga makanan alami larva

tersebut juga menjadi sumber infeksi. Serangan Lagenadum sp dapat memusnahkan populasi

larva udang windu dalam waktu 2 - 3 hari. Larva yang terinfeksi sulit diobati sehingga hanya

dapat di usahakan melalui pencegahan penyebaran fase infeksi parasit dengan cara

pencucian bak pemeliharaan dengan klorin atau Malachite Green. Tindakan pencegahan

yang sebaiknya dilakukan adalah memandikan induk udang dalam larutan Malachite Green 5

ppm selama 2 menit sebanyak 2 – 3 kali berturut- turut, atau menggunakan Treflan 0,01 ppm

pada saat penggantian air dari desinfeksi bak pemeliharaan larva.


5. Penyakit Protozoa

Penyakit protozoa pada larva udang windu pada umumnya disebabkan oleh golongan

ciliate ( Epicommonsel peneitrichous cilintes ), terutama dari jenis spesies Zoothamnium,

Epystylis, dan Vorticella. Serangan penyakit protozoa ini biasanya terjadi bersama- sama

dengan serangan organisme pathogen lainnya, misalnya bakteri filamen. Pada infeksi yang

berat, terlihat seluruh permukaan tubuh larva ditempeli oleh parasit. Akibatnya, larva penderita

tampak dilakukan di hatchery. Namun, salah satuu pencegahan yang efektif adalah

penggunaan formalin dengan dosis 15ppm – 25 ppm untuk larva dan 100 ppm – 250 ppm

untuk desinfeksi bak pemeliharaan.

2.5.8. Pemanenan

Menurut Wardiningsih (1999), waktu yang dibutuhkan untuk panen adalah saat benih

berumur 35 hari. Pemanenan dilakukan secara bertahap, umumnya dilakukan dua atau empat

kali dalam satu masa pemeliharaan agar larva udang tidak stress.

Cara pemanenan dilakukan pertama- tama dengan melakukan pengeringan bak, yaitu

menurunkan permukaan air dengan mengeluarkannya kira-kira ¼ volume air untuk

mengurangi stress pada benur. Seser yang digunakan harus menggunakan jaring yang halus,

supaya tidak merusak fisik benur. Penangkapan benur ini pun tidak boleh dilakukan secara

kasar, harus dilakukan dengan pelan-pelan. Jika pada dasar tambak mempunyai pipa

pembuangan, maka ke dalam kotak panen atau ember. Benur yang telah dimasukkan ke

dalam wadah penampungan yang telah dipersiapkan, yaitu ember besar yang dilengkapi

dengan aerasi.

III. METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan


Praktek Kerja Lapang II akan dilaksanakan pada tanggal 22 Oktober sampai dengan

2 November 2012 bertempat di HSRT Milik Bapak Bashori Desa Paciran Kecamatan Paciran

Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur.

3.2. Metode Praktek Kerja Lapang

Praktek Kerja Lapang II dilaksanakan dengan metode survei. Menurut Nazir (1988),

metode survei adalah penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala

yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang instusi sosial,

ekonomi, atau politik dari suatu kelompok ataupun daerah.

Sedangkan untuk memperoleh keterampilan penulis menggunakan metode magang.

Metode magang adalah penulis mengikuti serta berpartisipasi secara langsung dalam semua

kegiatan yang berhubungan dengan proses pemeliharaan udang Windu yang dilaksanakan

di tempat Praktek Kerja Lapang dibawah bimbingan eksternal.

3.3. Sumber Data

Sumber data yang diperoleh dari Praktek Lapang adalah data primer dan sekunder.

Data primer adalah data yang dikumpulkan dan disatukan secara langsung dari obyek yang
diteliti dan untuk kepentingan studi yang bersangkutan dalam bentuk pengamatan dan
mengikuti segala jenis kegiatan yang meliputi kegiatan (Nazir, 1988). Adapun data yang
diambil meliputi pemeliharaan larva, pemeliharaan setiap stadia, panen sampai pemasaran.
Data skunder adalah data yang dikumpulkan dari lembaga lain yang sudah

dipublikasikan (Nazir,1988). Ditambahkan oleh (Subagyo,1991). Data sekunder dikumpulkan

sebagai studi literatur dan bahan pembanding terhadap data primer yang dikumpulkan.

Jenis data sekunder adalah literatur buku yang digunakan dalam pembahasan

tinjauan pustaka, literatur dari internet.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Nazir (1988), data yang diperoleh diambil dengan cara :

a. Observasi Langsung
Pengumpulan data dengan observasi langsung atau dengan pengamatan langsung

dengan cara pengambilan data dengan menggunkan mata tanpa ada pertolongan alat standar

lain untuk keperluan tersebut. Daftar data yang akan dipelajari dapat dilihat pada lampiran 2.

b. Wawancara / interview

Yang dimaksud dengan wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk

tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau

pewawancara dengan sipenjawab atau responden dengan menggunakan alat yang

dinamakan interview guide (panduan wawancara) atau juga dengan menggunakan daftar

kuisioner. Daftar pertanyaan dapat dilihat pada lampiran 3.

3.5. Teknik Pengolahan Data

Menurut Naburko dan Achmadi (2004), data yang telah terkumpul baik data primer

maupun sekunder selanjutnya dilkukan pengelolaan data sebagai berikut :

1. Editing

Sebelum data diolah, data tersebut perlu diedit terlebih dahulu, dengan kata lain, dan

atau keterangan yang telah dikumpulkan dalam record book. Agar data yang di peroleh dalam

hasil pembahasan laporan pembenihan udang windu dapat mudah disusun dan dapat di

pahami.

2. Tabulating

Membuat tabulasi termasuk dalam kerja memproses data. Membuat tabulasi tidak lain

memasukkan data kedalam tabel-tabel, dan mengatur angka-angka sehingga dapat dihitung

jumlah kasus dalam berbagai-bagai kategori. Seperti dalam penyajian data nilai standar

kualitas air media pemeliharaan larva udang windu.

3.6. Analisis Data


Data dianalisis dengan menggunakan analisis diskriptif yaitu menyajikan data sesuai

dengan informasi yang diperoleh dilapanagan. Menurut Naburko dan Achmadi (2004), analisa

deskriptif adalah menyajikan data sesuai dengan keadaan sebenarnya guna mempermudah

pengambilan keputusan.

3.7. Analisis Usaha

Analisis usaha dalam bidang perikanan merupakan upaya untuk mengetahui sampai

dimana keberhasilan yang telah dicapai selama usaha perikanan itu berlangsung. Ada

beberapa macam bentuk penyajian analisis usaha yang bisa dipakai untuk menguji

keuntungan analisis usaha antara lain analisis pendapatan usaha dan analisis imbangan

penerimaan dan biaya (Soeharto, 1999).

3.7.1. Analisa Laba Rugi

Laporan Laba dan Rugi dapat dilihat besarnya keuntungan dan kerugian yang

dialami oleh perusahaan pada kurun waktu pertahun, perkuatal atau waktu lainnya

(Soeharto,1999) Rumus analisa laba rugi adalah :

Analisa Rugi/Laba = Total Penjualan - Total Biaya

3.7.2. Analisa Rasio Hasil dan Harga (Benefit Cost Ratio)

Analisa ini diambil untuk mengetahui perbandingan hasil yang diperoleh terhadap

suatu jumlah biaya yang dikeluarkan. Suatu usaha dikatakan menguntungkan jika Benefit

Cost Ratio lebih dari satu. Semakin besar nilai Benefit Cost Ratio, berarti usaha tersebut

menguntungkan (Umar, 2003). Rumus yang digunakan adalah:

Total Penjualan
B/C Ratio =
Total Biaya

3.7.3. Analisa Break Event Point (BEP)


Menurut Soeharto (1999), titik impas menunjukkan bahwa tingkat produksi telah

menghasilkan pendapatan yang sama besarnya (biaya produksi) yang dikeluarkan. Rumus

yang digunakan sebagai berikut ;

Biaya Tetap
a. BEP unit =
Biaya Harga Jual – Biaya Variabel

Biaya Tetap
b. BEP Rp =
1 - [Biaya Variabel / Total Penerimaan]

3.7.4. Revenue Cost (R/C)

Menurut Soekartawi (1986), pendapatan usaha yang diperhitungkan untuk

mengetahui untung atau tidak suatu usaha tersebut dapat diketahui dengan perhitungan R/C

sebagai berikut :

Revenue
R/C Ratio =
Cost

Keterangan :

R/C > 1 = Menguntungkan

R/C < 1 = Tidak Menguntungkan

R/C = 1 = Break Even (Impas)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Persiapan Pemeliharaan Larva


5.1.1. Persiapan bak

Persiapan bak pemeliharaan induk memegang peranan penting di dalam usaha

pembenihan udang windu. Sebelum bak digunakan harus dilakukan pengeringan dan

pembersihan terlebih dahulu. Pencucian bak di Hatchery skala rumah tangga milik Bapak

Bashori tidak menggunakan diterjen ataupun bahan kimia lainnya meliankan hanya di gosok

dengan menggunakan waring sambil di siram langsung dengan air tawar. Untuk

menghilangkan lumut membandel pada dinding dan dasar bak dilakukan penggosokan

dengan sikat. Setelah itu baru dibilas dengan air tawar yang steril dan terakhir bak dikeringkan

selama ± 3 - 4 hari. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Wardiningsih (1999) yang

menjelaskan bahwa proses sterilisasi menggunakan chlorin yang dilarutkan ke dalam air.

Proses pemberishan bak dapat dlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Pembersihan Bak

Dalam hal ini persiapan bak yang di lakukan di Hatchry skala rumah tangga milik

Bapak Bashori kurang steril karena tidak menggunakan chlorin namun untuk menekan biaya

produksi Bapak Bashori hanya melakukan penggosokan saja dan di siram dengan air tawar.

Tetapi walaupun tidak menguunakn chlorin persiapan bak dianggap cukup dan bak siap untuk

di gunakan.

5.1.2. Pemasangan sistem aerasi

Penularan penyakit biasa terjadi melalui media peralatan yang terkontaminasi dengan

bakteri atau parasit, oleh sebab itu sebelum digunakan semua peralatan harus di sterilkan
dengan cara di rendam dalam air tawar selama 24 jam setelah itu di bersihkan dengan cara

digosok menggunakan waring selanjutnya di jemur slama 3 – 4 hari.

Setelah pencucian dan penjemuran dilakukan maka kegiatan selanjutnya adalah

pemasangan kran, selang aerasi, pemberat serta batu aerasi pada bak larva. Pemasangan

aerasi pada bak larva diberikan jarak 40 cm dari titik yang satu ke titik yang lain dengan batu

aerasi menempel di dasar bak. Pemasangan aerasi dapat di lihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Pemasangan aerasi

Pemasangan instalasi aerasi ini dilakukan sebagai penyuplai oksigen dalam air saat

pemeliharaan berlanjut. Kandungan oksigen terlarut yang optimum sangatlah penting dalam

pemeliharaan larva karena dapat mempengaruhi laju pertumbuhan udang, setelah

pemasangan aerasi selasai bak siap untuk diisi air media pemeliharaan.

5.1.3. Pengisian air

Setelah air media sudah disterilkan maka tahap selanjutnya adalah pengisian air

kedalam bak pemeliharaan dengan ketinggian awal 80 cm air yang dimasukkan kedalam

sudah disaring dengan menggunakan filterbag. Kualitas air yang digunakan untuk usaha

pembenihan udang windu harus baik, bebas dari polusi, endapan logam berat serta

mempunyai kandungan bahan organik yang cukup rendah. Penyaringan air menggunakan

filterbag dan kapas. Penyaluran air media dari bak penampungan ke bak pemeliharaan larva

ini menggunakan instalasi pipa ukuran 1,5 inchi dan menggunakan pompa clup. setelah air

media selesai dimasuk ke dalam bak pemeliharaan aerasi di nyalakan dengan tekanan kecil.
Pengisian air media dapat dilihat pada gambar 6.

Gambar 6. Persiapan Air Media

Karena air media merupakan hal yang paling dalam pemeliharaan larva maka proses

sterilisasi trlebih dahulu terhadap air media dan penyaringan menggunakan filterbag dalam

pengisian air ini diharapkan untuk mencapai tujuan yang diharapkan yaitu air media yang

digunakan bebas dari polusi, endapan logam berat, dan bibit penyakit.

5.1.4. Penebaran nauplius

Sebelum melakukan penebaran terlebih dahulu dilakukan aklimatisasi. Hal ini di

karenakan kondisi air pada tempat asal nauplius dengan lingkungan yang baru berbeda, baik

suhu, pH dan kadar garam maupun faktor kualitas air lainnya. Aklimatisasi dilkukan dengan

cara memindahkan nauplius dari kantong plastik ke bak plastik. Kemudian masukan air media

dari bak pemeliharaan larva sebanyak 3- 4 liter ke dalam bak plastik yang berisi naupli, setelah

15 menit tambahkan kembali air media sebanyak 3- 4 liter. Hal ini dilakukan selama 1 jam.
Setelah 1 jam dan naupli beradaptasi masukan naupli ke dalam bak pemeliharaan dengan

cara menggunakan gayung dan ditungkan pelan- pelan.

Penebaran nauplius yang ideal adalah ± 100 ekor/liter, di Hatchery skala rumah tangga

milik Bapak Bashori sendiri bak bervolume air 10 ton biasanya ditebar 1.500.000- 2.000.000

nauplius dan penebaran dilakukan pada sore atau malam hari. Sedangkan Bapak Bashori

mendapatkan nauplius dari UD. Sari Benur Ds. Jatisari kec. Sluke kab. Rembang - Jawa

tengah.

Cara penebaran yang benar dan baik akan mempengaruhi terhadap naupli maka dari

itu diHatchery skala rumah tangga milik Bapak Bashori dilakukan aklimatisai terlebih dahulu,

pemberian elbasin 2 ppm terhadap air media dan pencucian naupli menggunakan treflan 1

ml / liter, Hal ini dilakukan agar mencapai suatu tujuan dalam proses penebaran naupli yaitu

naupli dapat beradaptasi terhadap lingkungan baru dan tidak strees.

5.2. Manajemen Pakan

Pemberian pakan buatan dengan dosis tertentu diberikan sebanyak 6 kali/hari mulai

stadia zoea 1. Pakan disaring dengan menggunakan saringan sesuai dengan ukuran yang

sudah ditentukan berdasarkan stadia larva, dan dilarutkan ± 5 liter air tawar agar saat

diberikan dapat merata. Untuk stadia Zoea jenis pakan alami yang diberikan untuk larva udang

windu adalah fitoplankton jenis Skeletonema costatum dan untuk stadia Post larva diberikan

Artemia salina.

Artemia salina. diberikan dua kali sehari yaitu pagi dan malam, setelah diberikan

pakan buatan. Artemia salina ini diberikan mulai dari stadia mysis 3 sampai PL 10, pemberian

4 kali yaitu 9.00, 15.00, 21.00, dan 03.00 ( tiga jam setelah diberikan paka buatan ). Ada dua

jenis pakan yang diberikan yaitu :

A. Pakan Alami
Pakan alami yang diberikan adalah berupa Skeletonema costatum dan Artemia salina.

Skeletonema costatum di berikan pada stadia zoea sampai mysis. Adapun cara kultur

Skeletonema yaitu:

 Skeletonema costatum

Bahan-bahan yang diperlukan dalam kultur Skeletonema antara lain :

a. Media Air

Media air dalam mengkultur plankton baik Skeletonema costatum maupun Artemia

salina di hatchery skala rumah tangga milik Bapak Bashori diambil dari bak tandon.

b. Bibit

Bibit yang digunakan sebaiknya mempunyai kepadatan yang tinggi, tidak mengandung

lumut, selnya yang panjang serta mempunyai bau yang khas.

c. Pupuk

Jenis pupuk yang digunakan untuk kultur Skeletonema costatum, di Hatchery skala

rumah tangga milik Bapak Bashori pupuk yang digunakan adalah pupuk jenis NPK

d. Vitamin

Jenis vitamin yang digunakan untuk kultur skeletonema costatum adalah vitamin B12

dengan dosis 2 ml ke dalam 4,5 ton air media.

Langkah-langkah yang dilakukan untuk mengkultur Skeletonema costatum adalah

sebagai berikut :

a. Bak kultur berukuran 2 x 3 m dicuci menggunakan air tawar dengan cara disikat dinding dan

dasar bak, selang aerasi juga dibersihkan menggunakan waring kemudian dibilas dengan air

tawar sampai bersih.

b. Bak diisi air tandon 3,75 ton (ketinggian air 1 m) dan ditambah air tawar 0,75 ton (ketinggian

air 20 cm).

c. Masukan pupuk pada bak kultur dengan cara pupuk saring dan dilarutkan dalam air kemudian

ditebar secara merata, hal ini bertujuan agar pupuk dapat tercampur secara merata di dalam

bak kultur plankton.

d. Masukan vitamin B12 dengan menggunakan injeksi dan di sebar merata ke dalam air media.
e. Langkah selanjutnya masukkan bibit Skeletonema sebanyak 10 liter ke dalam bak kultur, bibit

yang digunakan sebaiknya bibit yang sudah bersel panjang dan masih muda agar

pertumbuhannya lebih bagus.

f. Panen Skeletonema dapat dilakukan setelah 24 jam dari proses kultur.

Pemanenan Skeletonema costatum dilakukan dengan cara membuka kran pipa air

keluar (outlet) bak kultur dan dipasang saringan khusus digunakan untuk menyaring plankton.

Saringan yang digunakan berukuran 100 mikron terbuat dari kain satin. Skeletonema

costatum ditampung dalam ember plastik berkapasitas 20 liter dan siap diberikan pada larva

sesuai dosis yang telah ditentukan.

Sedangkan kultur Artemia salina adalah sebagai berikut :

 Artemia salina

a. cysta artemia sebanyak 25- 50 gr langsung direndam dalam air laut pada fiber yang bervolume

air 75 liter dan diaerasikan.

b. Setelah 24 jam artemia akan menetas dan siap untuk di panen.

c. Sebelum di panen aerasinya dimatikan dan di endapkan selama 3 jam kemudian di tutup rapat.

d. 30 menit pertama keluarkan artemia dari kran menggunakan saringan dan di cuci dengan air

tawar.

e. Artemia yang telah dipanen kemudian di letakkan pada dalam ember yang di isi air laut dan di

aerasi.

f. Setiap 15 menit sekali artemia di panen sampai artemia yang mengendap habis.

Untuk dosis dan frekuensi pemberian pakan alami dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Jenis Pakan, Dosis dan Stadia Pemberian


No. Stadia Jenis Pakan Frekwensi Dosis
(per hari) Pakan
Zoea I Skeletonema costatum 6 kali 5 cm
1 Zoea II Skeletonema costatum 6 kali 5 cm
Zoea III Skeletonema costatum 6 kali 10 cm
Mysis I Skeletonema costatum 6 kali 15 cm
2 Mysis II Skeletonema costatum 6 kali 20 cm
Mysis III Artemia salina 6 kali 20 cm
Post Larva
3 PL1 – PL4 Artemia salina 6 kali 25 gr
PL5 – PL 9 Artemia salina 6 kali 30 gr
Sumber: Data Primer, (2012)

Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa semakin bertambah umur atau stadia

semakin bertambah juga dosis pemberian pakan alami pada udang windu. Hal ini dikarenakan

semaikn banyak pula nutrisi yang dibutuhan dan untuk sumber energi yang cukup, Distadia

Zoea I sampai Mysis II diberikan pakan alami jenis Skeletonema costatum dan distadia Mysis

III sampai panen itu diberikan pakan alami jenis Artemia salina, Hal ini karena jenis dan ukuran

pakan alami disesuaikan dengan bukaan mulut udang dan kandungan nutrisi yang dibutuhkan

oleh udang windu.

B. Pakan buatan

Pakan buatan diberikan pada stadia zoea sampai dengan post larva. Pemberian

pakan ini harus sesuai dengan bukaan mulut dan perkembangan larva sehingga pakan

buatan perlu disaring sebelum diberikan. Mengenai jenis pakan yang diberikan, dosis,

frekuensi pemberian pakan buatan masing-masing stadia disajikan pada Tabel 5. dan Tabel

Tabel 5. Campuran Pakan Buatan.


Perbanding
No Stadia Campuran Pakan
an
1 Zoea Frippak-1, GAP, RDN-Ultra Diet No.0 1:1:1
Frippak No. 2, GAP, RDN-Ultra Diet No.1,
2 Mysis 1:1:1:1:1:1
Lensi,ZM, Harves
Flak, Powder, RDN-Ultra Diet No.2,Frippak No.
3 PL 1-7 2:1:1:1:1:1
2,pearls golden, feeds PL +150.
PL 7- Flak, Powder, RDN-Ultra Diet No.2,Frippak No.
4 2:1:1:1:1:1
10 2,pearls golden, feeds PL +150.
Sumber: Data Primer, (2012)

Jenis- jenis pakan buatan yang dicampurkan telah disesuaikan dengan umur udang

dan nomor pakan, Pakan buatan

Tabel 6. Dosis dan Frekuensi Pemberian Pakan Buatan


Dosis tiap Frekuensi 6 kali/hari
kali
No Stadia
pemberian Waktu
(gr/bak)
1 Z1 5 09.00 13.00 17.00 21.00 01.00 05.00

2 Z2 7 09.00 13.00 17.00 21.00 01.00 05.00

3 Z3 10 09.00 13.00 17.00 21.00 01.00 05.00

4 M1 10 09.00 15.00 18.00 21.00 03.00 06.00

5 M2 15 09.00 15.00 18.00 21.00 03.00 06.00

6 M3 15 09.00 15.00 18.00 21.00 03.00 06.00

7 PL1 15 09.00 15.00 18.00 21.00 24.00 06.00

8 PL2 15 09.00 15.00 18.00 21.00 24.00 06.00

9 PL3 20 09.00 15.00 18.00 21.00 24.00 06.00

10 PL4 20 09.00 15.00 18.00 21.00 24.00 06.00

11 PL5 20 09.00 15.00 18.00 21.00 24.00 06.00

12 PL6 25 09.00 15.00 18.00 21.00 24.00 06.00

13 PL7 25 09.00 15.00 18.00 21.00 24.00 06.00

14 PL8 25 09.00 15.00 18.00 21.00 24.00 06.00

15 PL9 30 09.00 15.00 18.00 21.00 24.00 06.00

16 PL10 30 09.00 15.00 18.00 21.00 24.00 06.00


Sumber: Data Primer, (2012)

Untuk lebih jelas mengenai pakan buatan yang dipakai dalam pembenihan udang

windu, dapat dilihat Tabel 5 pada Gambar 7.


Gambar 7. Pakan Buatan

5.3. Manajemen Kualitas Air

Air media sangat berperan dalam keberasilan dalam usaha pembenihan udang windu.

Kualitas air yang diamati meliputi suhu, salinitas, dan pH. Suhu rata-rata pada siang hari 33-

34 o C dan pada malam hari berkisar 28- 30 o C dan salinitas awal yaitu 30 ppt. Adapun teknis

pengolahan air laut yang dilakukan pada Hatchery skala rumah tangga milik Bapak Bashori

adalah sebagai berikut:

 Air laut disedot langsung dari laut dengan menggunakan Halkon. Kemudian air masuk ke bak

penampungan, Setelah air masuk kedalam pak penampungan kemudian air media ditreatmen

dengan menggunakan bahan seperti yang ada dalam tabel.7 berikut:

Tabel.7 Bahan treatmen air media


No. Bahan Dosis

1 Kaporit 15 – 25 ppm

2 EDTA 10 – 15 ppm

Sumber: Data Primer, (2012)


 Di bak penampungan air laut ditreatmen dengan menggunakan kaporit 15- 25 ppm untuk

mensterilkan air laut dari hama dan penyakit, setelah 3 jam air diberi EDTA dengan dosis 10-

15 ppm untuk menetralkan kaporit. air laut diendapkan kurang lebih 24 jam. Setelah dilakukan

treatment air kemudian air laut dipompa ke bak filter, dari bak filter air dialirkan ke bak larva.

Setelah air masuk ke bak larva air media tersebut sudah siap untuk digunakan sebagai

media pemeliharaan.

5.4. Monitoring Pertumbuhan Larva

Monitoring perkembangan larva diHatchery skala rumah tangga milik Bapak Bashori

dilakukan sejak penebaran nauplius. Setiap hari larva udang dikontrol dengan rutin.

Monitoring ini dilakukan dengan mengambil sampel dari beberapa titik, namun yang sering

diambil yaitu titik pojok bak karena larva udang akan cenderung mengumpul pada pojok.

Pengambilan sampel ini menggunakan beaker glass yang diterawang disinar matahari,

selanjutnya diamati. Dalam pengamatan itu dapat dilihat bagaimana perkembangan larva.

Larva udang windu ini jika diamati dengan beaker glass pada zoea-mysis akan

melayang-layang di air bila pada stadia Post larva akan terlihat aktif bergerak, PL yang

pertumbuhanya lebih rendah dari pada yang lainnya atau mempunyai bentuk badan yang

lebih yang kurus dari yang lain akan berada di permukaan beaker gelas jika diamati, selain

mengamati tingkat perkembangan larva juga dilakukan pengamatan terhadap perubahan

suhu dalam bak.

Dari hasil pengamatan akan di ketahui peningkatan stadia pada larva dan kondisi

kesehatan pada larva.

5.5. Pengendalian Hama dan Penyakit

Untuk mencegah timbulnya jamur maka diberikan anti jamur treflan (0,5 ppm),

Sedangkan untuk mencegah infeksi dan bakteri diberikan anti biotik Clorampenicol (0,5 ppm)

dan diberikan pada saat pergantian stadia larva (nauplius – zoea, zoea – mysis – post larva).
Clorampenicol ini disaring dengan planktonet dan dilarutkan ke dalam kurang lebih 5 liter air

laut terlebih dahulu. Setelah itu di tebar merata ke dalam bak pemeliharaan. Selain pemberian

antibiotik dilakukan juga perlakuan pada air media penambahan dan pergatian air seperti yang

ada pada tebel.8 berikut:

Tabel.8 Perlakuan pada air media pemeliharaan.


Stadia Pengurangian Penambahan

M- 2 - 10 %

PL- 1 - 10 %

PL- 3 20 % 20 %

PL- 5 Larva dipindah ke bak pe meliharaan lain

Sumber: Data Primer, (2012)

Penambahan air sebayak 10 % pada stadia mysis-2, PL-1 dan Pergantian air

dilakukan pada stadia PL- 3. Sedangkn sistem pindah dilakukan pada stadia PL-5 dengan

perbandingan air lama 70 % dan air baru 20 %. Hal ini dilakukan agar kondisi larva tetap baik

dan bebas dari serangan penyakit.

5.6. Panen

Panen merupakan salah satu tahap akhir dari pemeliharaan, dimana pemaneman

dilakukan pada saat udang memasuki PL 9. waktu panen dilakukan pada pagi atau malam

hari. Cara pemanenan ini cukup mudah yaitu pipa outlet bak dicabut dan disisipkan jaringan

yang luasnya sama dengan kotak penangkapan, setelah itu PL diseser dengan menggunakan

saringan halus dan masukan ke bak penampungan kemudian di kasih artemia, Benur yang

telah terkumpul dihitung jumlahnya. Hasil panen yang diperoleh selama satu siklus berkisar ±

1.800.000 ekor benur per bak atau tingkat kelangsungan hidup ( SR ) 41%.

Pada periode bulan Febuari- maret Bapak Bashori telah melakukan pemanenan pada

9 bak yang menghasilkan benur 4.151.000.

5.7. Pasca Panen


Sebelum benih dimasukkan ke plastik untuk pengepakan terlebih dahulu diseser agar

menyatu dan siap ditakar dengan menggunakan sendok takar. Untuk plastik ukuran 40 x 20

cm dengan volume air 2 – 3 liter air dibutuhkan 1 sendok takaran dan rata- rata jumlah

perkantong adalah ± 5000-7000 ekor. Air sebelum dimasukkan ke dalam kantong terlebih

dahulu diturunkan suhunya sampai 220 C dengan es batu yang bertujuan menurunkan tingkat

metabolisme udang.

Perbandingan air dengan oksigen adalah 1

: 2. Setelah benur udang windu dipacking selanjutnya kantong-kantong plastik yang berisikan

benur udang windu dimasukkan dan ditata ke dalam sterefoam yang berisikan es, untuk

mempertahankan suhu 220 C selama diperjalanan dan terakhir sterefoam di tutup rapat

kemudian di bungkus dengan plastik. Pemanenan dan pengepakan benih udang windu

disajikan pada gambar di bawah 8.

Gambar 8. Packing

5.8. Pemasaran
Benur udang windu Hatchery skala rumah tangga milik Bapak Bashori dipasarkan ke

sedayu, sembayah disekitar daerah Gresik jawa timur. Karena derah tersebut sudah

pelanggan tetap. Tapi tidak menuntut kemungkinan ada juga yang dijual ke luar jawa, seperti

Tarakan dan Balikpapan tergantung ada pesanan

Untuk pengiriman keluar jawa dilakukan pada waktu pagi pukul 4, melalui bandara

juanda. 1 hari sebelum pengiriman diambil sampel pada bak yang akan dilakukan pemanenan

pada esok hari, sampel tersebut akan diguanakn untuk uji kelayakan, apabila benur telah

dinyatakan layak maka benur akan dipanen dan dikirim pada esok harinya.

Umumnya pembeli dari luar jawa tersebut membeli benur dengan jumlah yang banyak,

lebih dari 1000.000. dengan harga Rp 10 /ekor. Sedangkan para pembeli di sekitar daerah

Gresik yang sudah jadi pelanggan membeli benur dengan jumlah di kisaran ±500.000.

dengan harga antara Rp 7,5- 9 /ekor.

5.9. Analisa Usaha

Untuk melihat kelayakan, keberhasilan maupun keuntungan suatu usaha pembenihan

lobster air tawar, maka dapat dibuat suatu analisis usaha. Dimana dalam analisis usaha ini

mencakup biaya investasi, total biaya operasional, nilai jual, maupun keuntungannya. Data

selengkapnya tercantum dalam Tabel 9 berikut ini.

Tabel 9. Biaya investasi awal dan biaya variabel 1 siklus


No. Bahan dan Volume Nilai Jumlah Umur
Peralatan Satuan (Rp) Ekonomis
(Rp)
Investasi Awal
1. Blower 1 buah 5.000.000 5.000.000 3 tahun
2. Halkon 1 buah 200.000 1.200.000 3 tahun
3. Sanyo 1 buah 300.000 300.000 2 tahun
4. Hiblaw air pump. 2 buah 1000.000 2000.000 5 tahun
5. Trepal 6 buah 200.000 1.200.000 5 tahun
6. Peralatan aerasi 1 set 1.500.000 1.500.000 4 tahun
7. Sewa bak 6 buah 500.000 3.000.000 1 tahun
8. Pompa clup 1 buah 750.000 750.000 2 tahun
9. Peralatan teknis 1 set 1.000.000 1.000.000 4 tahun
10. Genset 1 buah 3.500.000 3.500.000 5 tahun
Jumlah Biaya Investasi 18.130.000
Kebutuhan Bahan dan Biaya Lainnya selama 1 Siklus
1. Pakan 30 kg 100.000 3.000.000
2. Listrik 2 bulan 350.000 700.000
3. Gaji Karyawan 3 orang 500.000 1.500.000
4. Nauplius 10,5 jt 500.000 5.250.000
Jumlah 10.450.000
Jumlah keseluruhan 28.580.000
Sumber : Data primer (2012)

a. Biaya tetap per bulan

1. Biaya penyusutan peralatan

Blower Rp 5.000.000: 3 : 12 = Rp 140.000

Halkon Rp 1.200.000: 3 : 12 = Rp 34.000

Sanyo Rp 300.000: 2 : 12 = Rp 12.500

Hiblaw air pump. Rp 2.000.000: 5 : 12 = Rp 34.000

Trepal Rp 1.200.000: 5 : 12 = Rp 20.000

Peralatan aerasi Rp. 1.500.000: 4 : 12 = Rp 31.250

Pompa clup Rp 750.000: 2 : 12 = Rp 31.250

Peralatan teknis Rp 1.000.000: 4 : 12 = Rp 21.000

Genset Rp 3.500.000: 5 : 12 = Rp 56.000

2. Biaya tenaga kerja tetap 1 siklus (3 orang) = Rp1.500.000

Jumlah = Rp1.880.000

b. Biaya variable per siklus

Pakan 30 kg Rp 100.000 = Rp 3.000.000

Listrik 2 bulan Rp 350.000 = Rp 700.000

Nauplius 10,5 jt Rp 500.000 = Rp 5.250.000

Jumlah = Rp 8.950.000

Biaya tetap + variable = Rp 10.830.000

c. Analisa laba/rugi
1. Penjualan = 4.151.000 ekor benur x Rp 8 = Rp 33.208.000

2. Pendapatan = total penjualan – total biaya

= Rp 33.208.000 – Rp 10.830.000

= Rp 22.378.000

d. Analisa rasio manfaat-biaya (B/C)

B/C = Total keuntungan = Rp 22.378.000

= 2,07

Total biaya Rp 10.830.000

Artinya, setiap penanaman biaya sebesar Rp 1,00 akan diperoleh keuntungan sebesar

Rp 2,07 (usaha tersebut layak untuk dijalankan).

e. Break Even Point (BEP)

Biaya Tetap

1. BEP dalam rupiah =


1- Biaya Variabel

Total Penerimaan

= Rp 1.880.000

Rp 8.950.000
1-
Rp 33.208.000

= Rp 2.575.342,5

= Rp 2.575.342 Artinya, titik balik

modal akan tercapai bila nilai rupiah yang diperolehkan sebesar Rp 2.575.342.

Biaya Tetap
2. BEP dalam unit =
Biaya Harga Jual – Biaya Variabel

= Rp 1.880.000

Rp 8 – Rp 2

= 313.333 benur

Artinya, titik balik modal akan tercapai bila volume produksi sebanyak 313.333 benur.

f. Revenue Cost

Total Penerimaan
R/C Ratio =
Total Biaya

Rp 33.208.000
R/C Ratio =
Rp 10.830.000

R/C Ratio = 3,1

Artinya, dengan nilai R/C 2,32 berarti setiap penambahan biaya sebesar Rp 1,00 akan

diperoleh tambahan pendapatan sebesar Rp 3,1. Dengan demikian, pembenihan udang

windu sangat layak diusahakan.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dari hasil Praktek Kerja Lapang II di Hatchery skala rumah tangga milik Bapak Bashori,

dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Persiapan bak larva yang dilakukan oleh Bapak Bashori menggunakan beberapa tahapan

yaitu pembersihan bak dengan air tawar, penggosokan dan pengeringan bak. Bak

pemeliharaan larva sudah dipersiapkan sebaik mungkin sehingga mampu memenuhi

kebutuhan bagi kehidupan naupli udang windu.


2. Pengelolaan pakan cukup bagus dengan pemilihan pakan alami dan pakan buatan sebagai

makanan larva udang windu. Pakan alami yang digunakan berupa Skeletonema dan Artemia,

sedangkan pakan buatan menggunakan flake,fripak,UD.0 dan GAP. Pemberian pakannya

sudah sesuai dengan dosis, waktu dan frekuensi yang tepat sehingga tidak mempengaruhi

kualitas air media pemeliharaan larva.

3. Pengelolaan kualitas air yang dilakukan berupa pengukuran hanya berdasarkan 1 parameter

kualitas air saja yakni suhu. Selama kegiatan pemeliharaan larva berlangsung, dilakukan tiap

hari sekali pengecekan kualitas air dan diperoleh hasil yang optimal yakni suhu berkisar antara

30 – 32 0C. Sehingga media ini layak dan cocok untuk perkembangan larva udang.

4. Monitoring pertumbuhan yang dilakukan yakni dengan mengetahui tingkat kelulus hidupan

larva (survival rate) dengan cara sampling dan diperoleh SR yang cukup tinggi yakni 41%.

5. Pemindahan larva dilakukan apabila larva sudah memasuki stadia PL- 5 dan dipindah ke bak

pemeliharaan larva yang baru. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan air media yang bersih

dan bebas dari kotoran.

6. Pengendalian penyakit pada larva udang windu diberikan anti jamur treflan 0,5 ppm

sedangkan untuk mencegah infeksi dan bakteri diberikan antibiotik Clorampenicol 0,5 ppm.

Hal ini dikarenakan selama kegiatan pemeliharaan larva berlangsung, sering penyakit

menyerang pada larva udang windu.

7. Panen dilakukan setelah seluruh larva memasuki stadia PL- 10, yakni setelah berumur 16 -

20 hari pemeliharaan dan menghasilkan 4.151.000 ekor benur udang windu dengan SR yang

dihasilkan yakni 41%. Sedangkan hasil dari pemeliharaan larva udang dipasarkan kedaerah

lokal dan luar jawa.

8. Berdasarkan analisis usaha, diperoleh hasil perhitungan sebagai berikut :

(1) B/C = 2,07

(2) R/C = 3,1

(3) BEP (Rp) = 2.575.342

(4) BEP (Unit) = 313.333

(5) Keuntungan = Rp 22.378.000


6.2 Saran

1. Dalam proses pencucian bak seharusnya menggunakan chlorin atau diterjen agar bak lebih

steril dan terjamin kebersihannya.

2. Alat pengecekan parameter kualitas air harus dilengkapi agar dapat mengontrol parameter air

lainnya seperti pH dan salinitas.

3. Voltase listrik dari sumber PLN harus ditambah lagi agar tidak menghambat suatu kegiatan

produksi hal ini diindikasikan dengan seringnya listrik mati karena kekurangan voltase.

DAFTAR PUSTAKA

DKP.2009.Teknik Budidaya Air Payau,http://www.dkp.go.id


Murtidjo. 2003. Budidaya Udang Windu. Aneka Ilmu.Semarang.
Narbuko dan A. Achmadi. 2001. Methode Penelitian. Jakarta. Bumi Aksara.
Saanin, H. 1968. Taksonomi Dan Kuntjin Identifikasin Ikan. Binatjipta. Bandung.
Soeharto. I., 1999. Manajemen Proyek dari Konseptual Sampai Operasional. Erlangga.
Jakarta. halaman 394-436.
Soekartawi, dkk. 1986. Ilmu Usaha Tani dan Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil.
Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Sutaman. 1993. Petunjuk Teknis Pembenihan Udang Windu Skala Rumah
Tangga. Kanisius. Yogyakarta.
Wardiningsih. 1999. Materi Pokok Teknik Pembenihan Udang Windu. Universitas
Terbuka. Jakarta.
Diposting oleh dede hermawan di 07.08
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Posting Komentar (Atom)

Arsip Blog
 ► 2015 (1)

 ► 2014 (2)

 ▼ 2013 (8)
o ▼ November (8)
 cerita kisah cintaku
 kau selalu di hatiku.
 proposal monitoring kesehatan larva udang vannamei...
 proposal monitoring kesehatan larva udang vannamei...
 laporan teknik pembenihan ikan gurami
 proposal teknik pembenihan ikan gurami
 laporan teknik pemeliharaan larva udang windu
 proposal PKL udang windu

Mengenai Saya
dede hermawan
Lihat profil lengkapku

Tema Perjalanan. Gambar tema oleh simonox. Diberdayakan oleh Blogger.

1. Biologi Udang Windu (Peneaeus monodon Fab)


Udang windu (Penaeus monodon Fab) dalam bahasa-bahasa daerah udang ini dinamakan sebagai
udang pacet, udang bago, udang lotong, udang liling, udang baratan, udang palapas, udang tapus
dan udang wewedi. Namum dipasaran atau dalam dunia perdagangan udang ini biasa dikenal
dengan nama “ Tiger Prawn” atau terkadang juga dikenal dengan nama “ Jumbo Tiger Prawn”.
Udang windu dewasa yang hidup dilaut biasa berwarna merah cerah kekuning-kuningan dengan
sabuk-sabuk melintang dibadannya. Kaki renang berwarna merah agak pucat pada udang muda dan
pada udang dewasa berwarna merah cerah. Udang windu memiliki kulit yang keras dan terdapat
titik-titik hijau di tubuhnya.
Udang windu bisanya hidup di perairan pantai yang berlumpur atau berpasir. Udang ini banyak
terdapat diperairan laut antara afrika selatan dan jepang, dan juga ada di antara Pakistan Barat
sampai Australia bagian utara. Udang windu termasuk dalam golongan udang penaeid yang dapat
ukuran besar hingga mencapai panjang 34 cm dam mencapai berat 270 gram.
Karena ukurannya yang bisa mencapai besar itulah maka udang ini dewasa ini telah menjadi salah
satu komoditas unggulan dan ekspor untuk jenis komoditas air laut di indonesia.
Apabila ditinjau dari daya tahannya terhadap pengaruh lingkungan, udang windu ini juga salah satu
udang yang paling unggul, walaupun menempati posisi ke dua setelah udang werus. Dengan daya
tahan tubuhnya yang tinggi terhadap pengaruh lingkungan memungkinkan kita untuk memlihara
udang windu ini dalam waktu yang cukup (5-6 bulan) untuk dapat mencapai ukuran yang besar (King
Size)yaitu antara 80 - 100 gram/ekor. Disamping daya tahan yang tinggi pada saat pemeliharaan,
benih udang windu juga cukup tahan selama dalam penampungan dan pengangkutan.
Menurut Marto Sudarmo dan Ranoemiharjo (1980), klasifikasi udang windu yaitu sebagai berikut :
Phylum : Arhtopoda
Kelas : Crustasea
Sub kelas : Malacostraca
Seri : Eumalacostraca
Super ordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Seksi : Penaieda
Famili : Penaeidae
Sub famili : Penainae
Genus : Penaeus
Spesies : Penaeus monodon Fabricius

Morfologi udang windu terdiri dari ruas-ruas atau segmen. Bagian kepala udang windu terdiri dari 13
ruas, yaitu kepala sendiri terbagi atas 5 ruas dan 8 ruas bagaian dada. Sedangkan untuk bagian
perutnya terdiri dari 6 ruas. Bagian kepala dan dada tertutup oleh kerangka kepala yang disebut
cangkang kepala (carapace). Dibagian depan, kelopak kepala mamanjang dan meruncing yang
pinggirnya bergerigi yang disebut dengan cucuk kepala (rostrum). Udang windu memiliki mata
majemuk yang bertangkai dan dapat digerak-gerakan yang berada di bawah pangkal cucuk kepala.
Mulut terletak dibawah kepala diantara rahang-rahang (bagmandibula)
Pada bagian kepala dan dada terdapat bagian-bagian tubuh lainya yang berpasang-pasangan yaitu
dari muka ke belakang adalah sungut kecil (antennula), sirip kepala (scopherocerit), sungut besar
(antenna), rahang (mandibula), alat-alat pembantu rahang (maxilla) yang terdiri atas 2 pasang,
maxilliped yang terdiri atas 3 pasang, dan kaki jalan (periopoda) yang terdiri atas 5 pasang,pada
bagian perut udan windu terdapat 5 pasang kaki renang yang lama kelamaan akan mengalami
perubahan menjadi kipas atau ekor.
Udang windu bersifat noktural yaitu binatang yang aktif mencari makan pada malam hari. Dan pada
siang hari udang windu ini biasanya lebih suka menempel pada suatu benda atau membenamkan
tubuhnya pada lumpur disekitar tambak. Sedangkan sifat lain dari udang windu adalah sifat kanibal,
yaitu suka memangsa jenisnya sendiri. Sifat kanibal ini biasanya mucul pada udang-udang yang sehat
dan tidak sedang dalam keadaan molting atau ganti kulit dan sifat kanibal ini akan sangat nampak
apabila udang kekurangan pakan. Sedangkan mangsanya bisanya udang yang pada saat itu sedang
ganti kulit. Sifat kanibal pada udang biasanya muncul pada saat masih pada tingkatan mysis.
Secara umum pakan untuk udang windu ini sangat bervariasi, ini tergantung pada tingkatan atau
umur udang. Pada waktu masih burayak, makanan utama udang windu adalah plankton, setelah
meningkat menjadi zoea makanannya berupa plankton jenis plankton nabati seperti skeletonema,
amphora, dan navicula. Pada tingkatan mysis makanan yang cocok untuk jenis udang ini yaitu
plankton jenis plankton hewani seperti rotifera dan lain-lain. Sedangkan untuk udang dewasa
makanan yang disukai yaitu daging binatang lunak atau molusca. Namun pada budidaya udang
ditambak secara intensif sering digunakan pakan buatan seperti pellet dan jenis pakan crumble atau
fine crumble.

2. Biologi Pakan Alami


Klasifikasi Skeletonema adalah sebagai berikut :
Devisi : Bacillario phyto
Kelas : Bacillario ceae
Bangsa : Centralis
Suku : Skeletonema seae
Marga : Skeletonema
Jenis : Skeletonema costatum
Dilihat secara morfologinya Skeletonema merupakan hewan bersel tunggal, berukuran 4 sampai 6
mikron, bentuk sel seperti kotak dengan sitoplasma yang memenuhi sel dan tidak memiliki alat
gerak, kotak sel tersebut terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian atas dinamakan katup dan bagian bawah
berupa wadah berhiaskan lubang-lubang dengan pola yang khas berwarna coklat dan mempunyai
kemampuan menghasilkan sketel eksternal silikat yang disebut frastule.
Skeletonema terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian katup atas disebut epitaka dan katup bagian bawah
yang disebut hipoteka. Proses pembelahan sel yang berulang-ulang menyebabkan sel Skeletenema
mereproduksi hingga mencapai generasi tertentu. Skeletonema hidup diperairan laut atau pantai
dengan kisaran suhu 250C - 320C dan kisaran salinitas 28 – 34 0/00. Skeletonema akan tumbuh
dengan baik apabila intensitas cahayanya sekitar 12000lux.

3. Pembenihan Udang Windu


Benih adalah salah satu sarana vital dalam pengembangan sistem usaha perikanan budidaya. Sistem
pengadaan, distribusi maupum mutu benih seringkali dituduh sebagai penyebab utama kegagalan
usaha budidaya .
Adanya ketersediaan induk dan benih udang yang semakin menipis dialam bebas menyebabakan
semakin menurunnya produksi udang hasil tangkapan, sehingga produksi udang hasil budidaya perlu
ditingkatkan. Telah disadari bahwa peningkatan produksi udang melalui budidaya tersebut hanya
mungki dapat dicapai bila suplay factor-faktor produksi, khususnya benih udang dapat terjamin
sepenuhnya. Pengembangan teknik-teknik pembenihan udang harus terus dilakukan untuk
menunjang kegiatan budidaya atau pembesaran udang ini. Diantara jenis-jenis komoditas udang laut
yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi adalah udang windu (Penaeus monodon Fab). Udang windu
ini telah memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi pendapatan devisa Negara, khususnya pada
sektor perikanan melalui kegiatan ekspor produk udang ke luar negeri (Anonim, 1993).
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara adalah salah satu balai terbesar
milik pemerintah yang mengedepankan aspek keilmuan disamping aspek ekonominya. Dengan
demikian balai benih dapat menghasilkan benih udang windu yang memenuhi kriteria kualitas dan
kuantitasnya.

Kegiatan Pembenihan Udang


A. Persiapan wadah
Persiapan wadah pemeliharaan merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting dalam usaha
pembenihan udang windu. Bak yang akan digunakan untuk kegiatan pembenihan di keringkan
terlebih dahulu selama beberapa hari baru kemudian di bersihkan untuk membuang kotoran serta
lumut yang menempel pada bak, serta di lakukan juga sterilisasi untuk membuang kandungan asam
yang terlalu tinggi karena bak yang telah lama tidak beropersi. Kegiatan sterilisasi dilakukan dengan
menggunakan kaporit dengan dosis 500 - 100 ppm, yang telah dilarutkan ke dalam ± 15 liter air lalu
disiramkan secara merata ke dinding-dinding atau dasar bak. Untuk menghilangkan kotoran serta
lumut yang menempel pada dinding bak dilakukan dengan cara menggosok dinding bak dengan
menggunakan sikat, setelah itu disiram dengan air tawar dan kemudian bak dikeringkan selama ± 2 –
3 hari.
Setalah dibersihkan dan dilakukan sterilisasi, selanjutnya dipasang peralatan pendukung seperti
heater, jaringan aerasi (pipa, selang, dan batu aerasi), dan terpal untuk menutup bagian atas bak
pemeliharaan nauplius. Pengisian air dilakukan setelah bak telah bersih dan semua peralatan
pendukung terpasang. Pengisian air dilakukan sampai ketinggian mencapai 70 – 80 cm, yang
sebelumnya air laut tersebut telah disaring terlebih dahulu dengan menggunakan kain satin (filter
back) yang di ikatkan pada ujung pipa pemasukan air.

B. Penebaran Nauplius
Sebelum nauplius ditebar ke dalam bak pemeliharaan terlebih dahulu dilakukan pemilihan nauplius
yang berkualitas dengan ciri-ciri sebagai berikut :
 Warna gelap kecoklatan
 Ukuran besar
 Gerakan aktif atau naik turun
 Tertarik ke arah cahaya
 Banyak dipermukaan dan tidak banyak yang mengendap
 Bebas dari virus
Untuk penebaran nauplius ideal adalah ± 100 ekor/liter, di BBPBAP Jepara sendiri penebaran
nauplius untuk bak dengan volume 10 ton ditebar nauplius sebanyak 1000.000 ekor nauplius dan
ditebar pada malam atau sore hari.
Sebelum nauplius ditebarkan terlebih dahulu dilakukan aklimatisasi, adapun proses aklimatisasi yaitu
sebagai berikut : nauplius yang masih dibungkus plastik atau diember dimasukan kedalam bak yang
akan digunakan untuk pemeliharaan. Bungkusan plastik dibiarkan mengapung dipermukaan selama
± 15 menit agar suhu dalam bungkusan plastik dan suhu dalam bak menjadi seimbang (sampai
timbul embun pada permukaan plastik bagian dalam). Setelah itu bungkusan plastik dibuka dan
diberi aerasi, serta dimasukan air dari bak ke dalam plastik sedikit demi sedikit dan dibiarkan selama
± 10 menit. Terakhir nauplius dilepaskan sedikit demi sedikit ke dalam bak pemeliharaan.
Pemeliharaan pada bak nauplius dilakukan hanya sampai stadia PL 7 saja, setelah mencapai stadia
tersebut kemudian dipindahkan ke dalam bak yang berukuran lebih besar. Hal ini karena pada stadia
ini larva udang sudah agak besar, dan juga untuk menghindari terjadinya saling mangsa (kanibal)
pada larva udang tersebut. Kepadatan ideal untuk pemeliharaan PL 7 ini adalah 5000 ekor/m2.

C. Pemberian Pakan
Pemberian pakan buatan (pellet) dengan dosis tertentu diberikan sebanyak 6 kali per hari (pukul
08.00, 12.00, 16.00, 23.00 dan 05.00). Pakan buatan diberikan mulai dari stadia zoea 1, pada stadia
nauplius tidak diberikan pakan buatan ataupun pakan alami karena pada stadia ini larva udang masih
memiliki kuning telur (yolk egg) yang menempel pada tubuhnya yang dijadikan sebagai cadangan
makanan bagi larva tersebut. Pakan buatan yang diberikan dilarutkan dalam air laut sebanyak ± 5
liter agar dapat merata pada saat ditebarkan dalam bak.
Jenis pakan buatan yang diberikan harus sesuai dengan perkembangan stadia larva udang, karena
ukuran pakan yang diberikan harus di sesuaikan dengan bukaan mulut si larva. Pada kegiatan
pembenihan udang windu yang di lakukan di BBPBAP Jepara jenis pakan buatan yang sering
digunakan adalah pakan buatan jenis FRIPPAK # 1 CAR, FRIPPAK # 2 CD, SP +, FRIPPAK PL + 300,
pellet D1 halus dan pellet D2 kasar.
Untuk pemberian pellet D2 kasar harus di blender terlebih dahulu sebelum diberikan agar ukurannya
menjadi lebih kecil dan merata. Pakan yang sudah ditimbang kemudian dimasukan ke dalam wadah-
wadah kecil dan ditempatkan pada papan pemberian pakan. Papan pemberian pakan ini dilengkapi
dengan ruang-rung kecil untuk menaruh wadah yang berisi pakan tersebut dan dilengkapi juga
dengan waktu atau jam pemberian pakan sehingga pemberian pakan dapat lebih terkontrol.
Jenis pakan alami yang diberikan untuk larva udang windu adalah fitoplankton jenis skeletonema sp
dan zooplankton jenis Arthemia sp. Skeletonema sp diberikan 2 kali sehari yaitu pagi dan
sore/malam, satu jam setelah pemberian pakan buatan. Skeletonema ini diberikan pada saat larva
mencapai stadia zoea 1 sampai PL 3. Sedangkan Arthemia sp ini diberikan mulai dari stadia mysis 3
sampai PL 15, yang diberikan dua kali sehari yaitu pagi jam 09.00 dan malam hari pada jam 23.00
dan diberikan 1 jam setelah pemberian pakan buatan.

D. Pengelolaan Kualitas Air


Pemantauan kualitas air seperti suhu dan salinitas dilakukan tiap pagi (jam 08.00)dan sore hari (jam
16.00). Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan thermometer yang diletakan didalam air
dibak, sedangkan pengukuran salinitas dilakukan dengan menggunakan refraktometer yang harus
dikalibrasi atau dibersihkan dengan aquades sampai menunjukan angka 0 ppt.
Pengukuran dilakukan dengan meneteskan 1-2 tetes air bak yang akan di ukur, kemudian tutup
kembali dengan penutupnya dan terakhir refraktometer dihadapkan kearah datangnya cahaya untuk
dapat melihat hasilnya (angka salinitas ditunjukan oleh garis pembatas warna biru). Sedangkan
untuk pengukuran Dissolved Oxygen (DO) dan Power of Hydrogen (pH) dilakukan seminggu sekali.
Pada awal tebar suhu pada air pemeliharaan adalah 29-310C, setelah benih udang mencapai stadia
zoea suhu air dinaikan yaitu 30-330C, karena suhu < 290C napsu makan menjadi menurun atau
proses metabolisme rendah. Untuk mempertahankan suhu pada air media digunakan Heater 100
watt dan bak ditutup dengan menggunakan terpal untuk menjaga suhu agar tetap stabil dan untuk
mencegah masuknya air hujan yang asam, serta menjaga fitoplankton agar tidak blooming.
Penutup/terpal dibuka setengahnya pada pagi hari jam 07.00-10.00 agar sinar matahari dapat
masuk. Salinitas pada awal tebar adalah 30 ppt dan diturunkan sedikit demi sedikit hingga mencapai
minimal 25 ppt. untuk menjaga salinitas agar tetap stabil pergantian air harus dilakukan secara
teratur dan kondisi salinitas tetap dipertahankan pada kisaran 25-27 ppt. Penyiponan dilakukan
apabila pada dasar bak banyak terdapat kotoran yang biasanya disebabkan oleh endapan sisa pakan.
Penyiponan dilakukan dengan menggunakan selang dan dilakukan secara berlahan-lahan agar
kotoran tidak teraduk keatas. E. Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Pencegahan sebetulnya
merupakan tujuan utama dalam rencana pengendalian penyakit. Tindakan ini meliputi persiapan
bak, air, alat, dan bahan yang baik, pengelolaan kualitas aur agar tetap optimum dan stabil,
pemberian pakan yang cukup baik kualitas dan kuantitasnya, penggunaan alat-alat yang terpisah
untuk masing-masing bak pemeliharaan larva dan perendaman alat-alat tersebut dengan PK 2 ppm,
pembuatan tempat cuci kaki menggunakan larytan PK, serta pemilihan nauplius yang baik dan bebas
penyakit. Untuk mencegah timbulnya jamur, maka di berikan anti jamur Treflan (0,05 ppm) sekali
per hari sekitar jam 07.00 pagi, yang di berikan pada stadia zoea 1-PL5. sedangkan untuk mencegah
infeksi dari bakteri diberikan antibiotik Frythromycin (1,5 ppm) dan di berikan pada saat pergantian
stadia larva (nauplius-zoea, zoea-mysis, dan mysis-post larva), Frythromycin ini di saring dengan
plantonet dan di larutin ke dalam ± 5 liter air laut terlebih dahulu. Untuk meningkatkan ketahanan
tubuh larva maka diberikan multivitamin EIKOSO (0,3 ppm) sekali per hari sekitar jam 09.00 pagi, dan
di berikan dari zoea 1 sampai PL3. sebelum digunakan di saring dengan plantonet dan di larytin ke
dalam ± 5 liter air laut terlebih dahulu. multivitamin EIKOSO ini terdiri dari : vitamin A, vitamin D2, dl-
tocapherol, vitamin K3, thiamin HCL, riboblavia, pyridoxine, vitamin B12, ascorbic acid, biotin, folic
acid, innositol. Pemberian probiotok SMS MIKRO TAMBAK (5 ppm) sekali per hari setelah pemberian
pakan buatan. Probiotok ini di berikan mulai dari zoea 1 sampai PL 5. jika pagi diberikan antibiotik
maka probiotik di berikan pada malam harinya dan dilarutin dulu dengan air laut. Keuntungan
pemberian probiotik ini adalah mencegah bakteri atau racun yang merugikan, meningkatkan
ketahanan dan kesehatan udang, memperkecil stress udang, menetralisir pH (buffer). F. Sampling
Kepadatan dan Pertumbuhan Sampling mulai dilakukan dari naupli sampai PL 1 atau 2 pada malam
hari tiap 3 hari sekali (taiap pergantian stadia). Adapun cara sampling kepadatan yaitu sebagai
berikut, ambil air dengan menggunakan gelas piala (beaker glass) sebanyak 500 cc, kemudian hitung
jumlah larva yang ada dalam gelas piala. Setelah di ketahui jumlah larva yang ada selanjutnya
dilakukan perhitungan kepdatan dengan rumus : Volume air bak ∑ larva = x Total sampling Volume
air sampel

Anda mungkin juga menyukai