Oleh
Alviansah Pratama Putra 1754111006
Amir Khadavi 1714111037
Rois Al Amin 1714111007
Di Indonesia, perikanan merupakan salah satu sumber devisa Negara yang sangat
potensial. Pengembangan budidaya air payau di Indonesia untuk waktu yang
akan datang sangat penting bagi pembangunan disektor perikanan serta merupakan
salah satu prioritas yang diharapkanmenjadi sumber pertumbuhan di sektor perikanan.
Untuk dapat mempelajari lebih lanjut cara pembudidayaan udang windu ini, terlebih
dahulu kita harus mengetahui anatomi, morfologi dan fisiologi udang windu. Maka dari
itu penulis membuat paper ini dengan judul Fisiologi Udang windu (Penaeus monodon)
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan Makala fisiologi hewan air ini adalah untuk dapat mengetahui
lebih jelas tentang fisiologi udang windu yaitu pertumbuhan, sistem pencernaan,
makanan dan kebiasaan makan, daur hidup dan reproduksi.
Ditinjau dari morfologinya, tubuh udang windu (P. monodon) terbagi menjadidua
bagian, yakni bagian kepala yang menyatu dengan bagian dada (kepala3dada) disebut
cephalothorax dan bagian perut (abdomen) yang terdapat ekor dibagian belakangnya.
!emua bagian badan beserta anggota-anggotanya terdiri dari ruas-ruas (segmen).
Kepala sampai dada terdiri dari 13 ruas, yaitu kepalanya sendiri 5 ruas dan dadanya 8
ruas, sedangkan bagian perut terdiri atas segmen dan 1 telson (Suyanto dan Mujiman,
1994)
Seluruh tubuh tertutup oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton yang
terbuat dari zat chitin. Bagian kepala ditutupi oleh rangkang kepala yang ujungnya
meruncing disebut rostrum .kerangka tersebut mengeras, kecuali pada sambungan-
sambungan antara dua ruas tubuh yang berdekatan. Hal ini memudahkan
mereka untuk bergerak (Suyanto dan Mujiman, 1994). Udang betina lebih cepat
tumbuh daripada udang jantan, sehingga pada umur yangs ama tubuh udang betina
lebih besar dari pada udang jantan (Soetomo, 2000)
Menurut Amri (2003), habitat udang berbeda-beda tergantung dari jenis dari
persyaratan hidup dari tingkatan-tingkatan dalam daur hidupnya. Udang windu
(P.monodon) bersifat euryhaline yakni bisa hidup di laut yang berkadar garam
tinggi hingga perairan payau yang berkadar garam rendah. Udang windu
(P.monodon) juga bersifat benthik, yaitu hidup pada permukaan dasar laut yanglumer
(soft ) terdiri dari campuran lumpur dan pasir terutama perairan berbentukteluk dengan
aliran sungai yang besar dan pada stadium post larva ditemukan disepanjang pantai
dimana pasang terendah dan tertinggi berfluktuasi sekitar 1 mdengan aliran sungai
kecil, dasarnya berpasir atau pasir lumpur.
Pada siang hari, udang hanya membenamkan diri pada lumpur maupun menempelkan
diri pada sesuatu benda yang terbenam dalam air (Soetomo, 2000). Apabila keadaan
lingkungan tambak cukup baik, udang jarang sekali menampakkan diri pada siang
hari. Apabila udang tampak aktif bergerak di waktu siang hari, hal tersebut merupakan
tanda-tanda bahwa ada hal yang tidak wajar terjadi pada organisme budidaya. Ketidak
sesuaian ini disebabkan oleh jumlah makanan yang kurang, kadar garam meningkat,
suhu meningkat, kadar oksigen menurun atau karena timbulnya senyawa-senyawa
beracun (Suyanto dan Mujiman, 1994).
Udang windu (P. monodon) bersifat omnivor, pemakan detritus dan sisa-sisa
organik baik hewani maupun nabati. Udang ini mempunyai sifat dapat menyesuaikan
diri dengan makanan yang tersedia di lingkungannya, tidak besifat terlalu memilih-
milih (Dall dalam Toro dan Soegiarto, 1979). Sedang pada tingkat Mysis makanannya
berupa campuran diatome, zooplankton seperti balanus,veligere, copepod dan
trehophora (Vilaleg dalam Poernomo, 1976).
Udang windu (P.monodon) merupakan organisme yang aktif mencari makan pada
malam hari (nocturnal ). Jenis makanannya sangat bervariasi tergantung pada tingkatan
umur. Pada stadia benih, makanan utamanya adalah plankton (fitoplankton dan
zooplankton). Udang windu (P. monodon) dewasa menyukai daging binatang lunak
atau moluska (kerang, tiram, siput), cacing, annelida yaitu cacing Polychaeta dan
Crustacea. Dalam usaha budidaya, udang windu (P.monodon) mendapatkan makanan
alami yang tumbuh di tambak, yaitu klekap,lumut, planktondan benthos. Udang windu
(P. monodon) akan bersifat kanibal bilakekurangan makanan (Soetomo, 2000)
Menurut Sutrisno et al, (2010), udang yang sudah dewasa akan memijah dilaut lepas,
sedangkan udang muda (juvenile) bermigrasi dari laut lepas kedaerah pantai. Di alam,
udang dewasa kawin dan memijah pada kolom perairan lepas pantai (kedalaman
kurang lebih 70 m) bagian selatan, tengah dan utara Amerika dengan suhu 26-
28 dan salinitas ppt. Setelah telur-telur menetas, larva hidup di laut lepas mejadi
bagian dari zooplankton. Saat stadium post larva mereka bergerak ke daerah dekat
pantai dan perlahan-lahan turun kedasar di daerah estuari dangkal. Perairan dangkal
ini memiliki kandungan nutrient, salinitas dan suhu yang sangat bervariatif
dibandingkan dengan laut lepas.
Jenis kelamin jantan dan betina dari udang windu(P. monodon) dapat dilihatdari bentuk
alat kelamin luarnya dan kaki jalan (periopod). ALat kelamin jantan
disebut petasmayang terdapat pada kaki renang pertama, sedangkan lubang saluran
kelaminnya disebut dengan gonophore terletak diantara pangkal kaki jalan
ketiga. Sedangkan alat kelamin betina disebut thelycum yang terletak diantara kaki
jalan keempat dan kelima. (Suyanto, 1999 dalam Pratiwi, 2008).
3.Stadia Mysis
Larva akan mencapai stadia Mysis pada hari kelima setelah penetasan.larva pada stadia
ini kelihatan lebih dewasa dari dua stadia sebelumya yaitu stadia nauplius dan
zoea. Stadia mysis lebih kuat dari stadia zoea dan dapat bertahan dalam penanganan
yang tidak terlalu ketat daripada dua stadiasebelumnya, tetapi juga perlu dikontrol
kondisi fisiknya apakah ada penyakt yangmenyerang atau tidak. Pada stadia Mysis
ini larva akan dapat memakan phytoplankton dan zooplankton akan tetapi lebih
menyukai zooplankton menjelang stadia Mysis akhir karena sudah dapat bergerak
aktif untuk mencari makananya
Setelah melewati stadium nauplius, zoea dan mysis pada hari ketujuh larvaudang
windu (P.monodon) sudah berubah menjadi stadium post larva pertama(PL1).
Stadium ini mudah diketahui dan dibedakan dengan stadium mysis ketiga(M3) karena
bentuk tubuh yang lebih lurus dan Cara berenang yang sudah menelungkup atau
tidak berenang dengan kaki terbalik.
Jumlah benur yang dibutuhkan sebanyak 40.465 juta ekor. Kebutuhan benur tersebut
tidak mungkin dapat dipenuhi dengan jalan pengambilan benur secara alami dari laut.
Benur windu (P. monodon ) alam yang dapat tertangkap rata-rata mencapai 600 juta
ekor per tahun. Benur yang tertangkap biasanya bercampur dengan benih jenis udang
putih, windu dan kerosok. Pada umumnya campuran benur alam kebanyakan
terdiri dari udang putih 90-95%, benur windu(P.monodon) hanya sebesar 4-5%
sedangkan sisanya terdiri dari jenis udang lain, hal ini yang menyebabkan
produksi udang windu tidak optimal (Suyanto dan Mujiman, 2005 dalam Purnomo,
2008)
III. KESIMPULAN
Amri, K., 2003. Budidaya Udang Windu Secara Intensif. AgromediaPustaka. Jakarta.
Anonim. 2009. Siklus Hidup Penaeid. Diakses melalui http://galeriukm.web.id/.
Tanggal 10 Januari 2009
Martosudarmo, B. dan B. S. Fanoemihardjo. 1980. PedomanPembenihan Udang
Penaeid. Direktorat Jendral Perikanan Departemen Pertanian. Jepara.
Musida. 2008. Teknik Budidaya udang windu. Diakses melalui http://www.agrina-
online.Com/showGarticle.phpHrid Tanggal 10 Januari 2009
Mutidjo, B. A. 2003. Benih Udang Windu Skala Kecil. Kanisius.Yogyakarta.
Soetomo, M.J.A., 2000. Teknik Budidaya Udang Windu (Penaeusmonodon).
Kansiua. Yogyakarta.
Suyanto, S.R dan A. Mujiman., 1994. Budidaya Udang Windu.Penebar Swadaya.
Jakarta.
Toro, V dan Soegiarto.1979. Biologi Udang Windu. Proyek Penelitian Sumberdaya
Ekonomi. Lembaga Oceanoligi LIPI. Jakarta, hal. 144