Anda di halaman 1dari 11

PROPOSAL PENELITIAN

JENIS DAN POLA DISTRIBUSI EKTOPARASIT PADA KEPITING


RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI PERAIRAN DESA LAKARA
KECAMATAN TINANGGEA KABUPATEN KONAWE SELATAN

OLEH :
Septian Bagus Widyacahya
135080101111001

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kepiting Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan kepiting laut yang
banyak terdapat di Perairan Indonesia. Rajungan telah lama diminati oleh
masyarakat baik di dalam negeri maupun luar negeri, oleh karena itu harganya
relatif mahal. Daging kepiting ini selain dinikmati di dalam negeri juga di ekspor
ke luar negeri seperti ke Jepang, Singapura dan Amerika. Rajungan di Indonesia
sampai sekarang masih merupakan komoditas perikanan yang memiliki nilai
ekonomis tinggi. Sampai saat ini seluruh kebutuhan ekspor rajungan masih
mengandalkan dari hasil tangkapan di laut (Mania 2007).
Menurut Mustafa dkk (2012), menyatakan bahwa Sulawesi Tenggara
adalah salah satu pemasok bahan baku industri pengalengan Kepiting rajungan
(Portunus pelagicus) yang merupakan komoditas ekspor penting dari sektor
perikanan. Komoditi ini dihasilkan dari usaha perikanan dengan alat tangkap bubu
hanyut yang tebuat dari besi dan pengoperasian dilakukan secara berderetan,
dihubungkan pada tiap-tiap bubu, yang diberikan pemberat utama dan pelampung
tanda yang berbendera (Amgyat, 1982 dalam Jafar 2011).
Parasit merupakan organisme yang hidupnya tergantung pada organisme
lain dan memiliki hubungan timbal balik dengan organisme yang ditumpanginya.
Organisme tempat parasit hidup dinamakan inang yang berperan sebagai sumber
nutrien, tempat hidup dan tinggal. Parasit Kepiting rajungan artinya parasit yang
hidup di tubuh Rajungan dan menjadikannya sebagai inang. Sedangkan
ektoparasit adalah parasit yang melekat pada bagian permukaan tubuh (Noble et
al, 1989).
Informasi tentang keberadaan parasit khsusunya ektoparasit di tubuh
Rajungan dapat digunakan untuk perkembangan perikanan baik perikanan
tangkap maupun perikanan budidaya serta kesehatan masyarakat. Pada kegiatan
budidaya ektoparasit dapat menimbulkan kematian larva (Grabda, 1991).
Sedangkan hubungan parasit dengan kesehatan masyarakat adalah berkaitan
dengan Zoonosis, yaitu infeksi yang secara alamiah dapat berpindah antara hewan
dengan manusia, dimana manusia terinfeksi bila memakan organisme yang telah
terinfeksi ektoparasit dari larva Nematoda. Efek yang timbul dapat berupa
inflamasi, pendarahan dan pembengkakan pada usus (Grabda, 1991).
Menurut Sinderman (1990), efek ekonomis yang diakibatkan oleh infeksi
ektoparasit dalam kegiatan penangkapan maupun budidaya yaitu dapat berupa
pengurangan populasi, penurunan bobot dan penolakan konsumen akibat adanya
perubahan morfologi. Menyikapi akan bahaya yang timbul akibat serangan
ektoparasit maka perlu dilakukan identifikasi dan intensitas ektoparasit pada
Rajungan yang di tangkap dengan alat tangkap bubu di Desa Lakara, Kecamatan
Tinanggea Kabupaten Konawe Selatan. Untuk itu langkah yang paling awal
adalah mengetahui jenis-jenis ektoparasit yang menginfeksi Kepiting rajungan.

B. Rumusan Masalah
Banyaknya manfaat yang dapat diambil dari informasi tentang identifikasi dan
intensitas serta pola distribusi ektoparasit pada Kepiting rajungan (P. pelagicus),
untuk perkembangan perikanan dan kesehatan masyarakat serta masih sedikitnya
informasi tentang ektoparasit yang menginfeksi Kepiting rajungan (P. pelagicus)
sehingga perlu dilakukanya penelitian ini. Penelitian ini difokuskan terhadap pola
ditribusi serta identifikasi dan intensitas ektoparasit yang menginfeksi Kepiting
rajungan (P. pelagicus) yang berlokasi di desa Lakara, Kecematan Tinanggea
Kabupaten Konawe Selatan.
C. Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi serta menghitung intensitas
ektoparasit pada Kepiting rajungan (P. pelagicus) yang ditangkap dengan alat
tangkap bubu di perairan desa Lakara Kecamatan Tinanggea Kabupaten Konewe
Selatan.
Kegunaan dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
tentang berbagai jenis dan pola distribusi ektoparasit pada Kepiting rajungan yang
tertangkap dengan alat tangkap bubu di perairan desa Lakara, Kecamatan
Tinanggea Kabupaten Konewe Selatan.
.

II. TINJAUAN PUSTAKA


A.

Klasifikasi dan Morfologi

Kepiting Rajungan hidup pada kedalaman air laut sampai 40 m, pada


daerah pasir, lumpur, atau pantai berlumpur. Klasifikasi Kepiting rajungan
Menurut Mirzads (2009) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Athropoda
Kelas : Crustasea
Ordo : Decapoda
Famili : Portunidae
Genus : Portunus
Species : Portunus pelagicus
Gambar 1. Morfologi Kepiting Rajungan (Portunus pelagicus)
Menurut Nontji (1986), ciri morfologi rajungan mempunyai karapaks
berbentuk bulat pipih dengan warna yang sangat menarik kiri kanan dari karapas
terdiri atas duri besar, jumlah duri-duri sisi belakang matanya 9 buah. Rajungan
dapat dibedakan dengan adanya beberapa tanda-tanda khusus, diantaranya adalah
pinggiran depan di belakang mata, rajungan mempunyai 5 pasang kaki, yang
terdiri atas 1 pasang kaki (capit) berfungsi sebagai pemegang dan memasukkan
makanan kedalam mulutnya, 3 pasang kaki sebagai kaki jalan dan sepasang kaki
terakhir mengalami modifikasi menjadi alat renang yang ujungnya menjadi pipih
dan membundar seperti dayung. Oleh sebab itu, rajungan dimasukan kedalam
golongan kepiting berenang (swimming crab).
Ukuran rajungan antara yang jantan dan betina berbeda pada umur yang
sama. Yang jantan lebih besar dan berwarna lebih cerah serta berpigmen biru
terang. Sedang yang betina berwarna sedikit lebih coklat (Mirzads 2009).
Rajungan jantan mempunyai ukuran tubuh lebih besar dan capitnya lebih panjang
daripada betina. Perbedaan lainnya adalah warna dasar, rajungan jantan berwarna
kebiru-biruan dengan bercak-bercak putih terang, sedangkan betina berwarna
dasar kehijau-hijauan dengan bercak-bercak putih agak suram. Perbedaan warna
ini jelas pada individu yang agak besar walaupun belum dewasa (Moosa 1980
dalam Fatmawati 2009).
Ukuran rajungan yang ada di alam bervariasi tergantung wilayah dan
musim. Berdasarkan lebar karapasnya, tingkat perkembangan rajungan dapat
dibagi menjadi tiga kelompok yaitu juwana dengan lebar karapas 20-80 mm,
menjelang dewasa dengan lebar 70-150 mm, dan dewasa dengan lebar karapas
150-200 mm (Mossa 1980 dalam Fatmawati 2009). Secara umum morfologi
rajungan berbeda dengan kepiting bakau, di mana rajungan (Portunus pelagicus)

memiliki bentuk tubuh yang lebih ramping dengan capit yang lebih panjang dan
memiliki berbagai warna yang menarik pada karapasnya. Duri akhir pada kedua
sisi karapas relatif lebih panjang dan lebih runcing.
B.

Habitat dan Penyebaran

Menurut Moosa (1980) habitat rajungan adalah pada pantai bersubstrat


pasir, pasir berlumpur dan di pulau berkarang, juga berenang dari dekat
permukaan laut (sekitar 1 m) sampai kedalaman 65 meter. Rajungan hidup di
daerah estuaria kemudian bermigrasi ke perairan yang bersalinitas lebih tinggi
untuk menetaskan telurnya, dan setelah mencapai rajungan muda akan kembali ke
estuaria (Nybakken 1986).
Rajungan banyak menghabiskan hidupnya dengan membenamkan
tubuhnya di permukaan pasir dan hanya menonjolkan matanya untuk menunggu
ikan dan jenis invertebrata lainnya yang mencoba mendekati untuk diserang atau
dimangsa. Perkawinan rajungan terjadi pada musim panas, dan terlihat yang
jantan melekatkan diri pada betina kemudian menghabiskan beberapa waktu
perkawinan dengan berenang (Susanto 2010).
Menurut Juwana (1997), rajungan hidup di berbagai ragam habitat,
termaksud tambak-tambak ikan di perairan pantai yang mendapatkan masukan air
laut dengan baik. Kedalaman perairan tempat rajungan ditemukan berkisar antara
0-60 m. Substrat dasar habitat sangat beragam mulai dari pasir kasar, pasir halus,
pasir bercampur lumpur, sampai perairan yang ditumbuhi lamun.
Menurut Nontji (1986) dalam Jafar (2011), rajungan merupakan salah satu
jenis dari famili Portunidae yang habitatnya dapat ditemukan hampir di seluruh
perairan pantai Indonesia, bahkan ditemukan pula pada daerah-daerah subtropis.
Nyabakken (1986) mengemukakan bahwa rajungan hidup sebagai binatang
dewasa di daerah estuaria dan di teluk pantai. Rajungan betina bermigrasi ke
perairan yang bersalinitas lebih tinggi untuk menetaskan telurnya dan begitu
stadium larvanya dilewati rajungan muda tersebut bermigrasi kembali ke muara
estuaria.
Rajungan hidup pada kedalaman air laut sampai 40 m, pada daerah pasir, lumpur,
atau pantai berlumpur (Coleman 1991).
C.

Siklus Hidup Kepiting Rajungan (P. pelagicus)

Menurut Effendy dkk. (2006), rajungan hidup di daerah estuaria kemudian


bermigrasi ke perairan yang mempunyai salinitas lebih tinggi. Saat telah dewasa,
rajungan yang siap memasuki masa perkawinan akan bermigrasi di daerah pantai.
Setelah melakukan perkawinan, rajungan akan kembali ke laut untuk menetaskan
telurnya.
Saat fase larva masih bersifat planktonik yang melayang-layang di lepas
pantai dan kembali ke daerah estuaria setelah mencapai rajungan muda. Saat
masih larva, rajungan cenderung sebagai pemakan plankton. Semakin besar

ukuran tubuh, rajungan akan menjadi omnivora atau pemakan segala. Jenis pakan
yang disukai saat masih larva antara lain udang-udangan seperti rotifera
sedangkan saat dewasa, rajungan lebih menyukai ikan rucah, bangkai binatang,
siput, kerang-kerangan, tiram, mollusca dan jenis krustacea lainnya terutama
udang-udang kecil, pemakan bahan tersuspensi di daratan lumpur (Effendy, dkk
2006).

D. Alat dan Tehnik Penangkapan


Alat tangkap yang digunakan dalam menangkap Kepiting rajungan (P.
pelagicus) yaitu bubu hanyut. Menurut Amgyat (1982) dalam Jafar (2011), bubu
hanyut merupakan alat tangkap rajungan yang terbuat dari besi dengan ukuran
80x60 cm, seperti yang disajikan pada Gambar 2. Pengoperasian bubu dilakukan
secara berderetan, dihubungkan pada tiap-tiap bubu, yang diberikan pemberat
utama dan pelampung tanda yang berbendera. Bubu dioperasikan selama 24 48
jam.
Gambar 2. Bubu yang terbuat dari besi
E.

Hubungan antara Inang dan Ektoparasit

Ektoparasit adalah parasit yang melekat pada bagian permukaan tubuh


inang. Ektoparasit mempunyai habitat yang berbeda pada bagian permukaan
tubuh inang sebagai tempat hidupnya. Parasit yang menginfeksi bagian
permukaan tubuh inang adalah protozoa, monogenea dan copepod. Akibat dari
infeksi ektoparasit ini akan memberikan perubahan-perubahan baik pada jaringan
organ tubuh maupun perubahan sifat-sifat inang secara umum Nourina dan
Martiadi (2002) menyebutkan bahwa ektoparasit dapat merugikan inangnya
dengan banyak cara, yaitu dengan mengisap darah, mengisap makanan hospes dan
menyerap jaringan tubuh inang, akibat dari hal tersebut akan berdampak negatif
pada inang yakni dapat merusak jaringan tubuh, menimbulkan gangguan mekanik,
membawa bibit penyakit (vektor), menimbulkan penyumbatan secara mekanis,
menurunkan resistensi tubuh hospes terhadap penyakit lainnya (Ratmin, 2002).
Menurut Izhar (1998) dalam Sarita dkk. (2003) bahwa ektoparasit adalah
yang hidup pada permukaan tubuh inang atau rongga tubuh yang terbuka, seperti
kulit, mata, sirip, insang dan mulut. Sedangkan menurut Anderson (1974) dalam
Fatmah (2001) bahwa ektoparasit adalah suatu jenis penyakit yang menyerang
bagian tubuh luar ikan. Bagian tubuh yang umumnya terinfeksi adalah bagian
luar yaitu kulit, insang, sirip dan mata.
Pemeriksaan terhadap setiap hospes (inang) harus dimulai dari bagian luar
tubuh misalnya kulit yang umumnya merupakan tempat tinggal copepoda,
crustacea, nematoda monogenik dan beberapa jenis protozoa. Tampat berikut yang
harus diperiksa adalah di dalam mulut dan insang, sebab pada kedua tempat
tersebut, mungkin ditemukan cacing dari jenis yang sama pada kulit dan jenisjenis lain (Noble dan Noble, 1989) dalam Sarita, dkk (2003).

Menurut Afrianto dan Liviawaty (1992), menjelaskan bahwa untuk


mengetahui jenis dan jumlah ektoparasit yang menempel pada tubuh inang perlu
adanya identifikasi dan intensitas. Identifikasi pada dasarnya merupakan
pengenalan dan deskripsi dari spesies yang kita teliti sedangkan intensitas adalah
jumlah rata-rata ektoparasit yang menempel pada permukaan tubuh
inang/organisme.

III. METODE PENELITIAN


A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli September 2014,


pengambilan sampel penelitian bertempat di Desa Lakara, Kecamatan Tinanggea
Kabuapaten Konawe Selatan dan pengamatan ektoparasit dilakukan di
Laboratorium Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu
Oleo, Kendari.
B.

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Alat dan Bahan pada Penelitian
No

Alat dan Bahan

C.

Prosedur Penelitian

1.

Kegunaan

Pengambilan Sampel

Sampel Kepiting rajungan (P. pelagicus) diambil pada hasil tangkapan


bubu di perairan desa Lakara, Kecamatan Tinanggea, Kabupaten Konawe Selatan.
Pengambilan sampel dilakukan enam kali selama tiga bulan dengan selisih waktu
15 hari setiap pengambilan sampel. Kepiting rajungan dipilih yang kondisinya
masih baik atau dalam keadaan hidup dan dikelompokan berdasarkan lebar
karapasnya, tingkat perkembangan rajungan dapat dibagi menjadi tiga kelompok
yaitu juwana dengan lebar karapas 20-80 mm, menjelang dewasa dengan lebar 70150 mm, dan dewasa dengan lebar karapas 150-200 mm.
2.

Pemeriksaan/Identifikasi Ektoparasit

Prosedur pemeriksaan ektoparasit mengacu


dikemukakan Kabata (1985) yaitu sebagai berikut :

pada

prosedur

yang

Mengamati bagian luar tubuh organisme, kemudian mencatat jika terjadi


pendarahan, luka atau pembengkakan dan memperhatikan jenis organisme yang
melekat pada tubuh Kepiting rajungan (P. pelagicus)
Mengeruk bagian-bagian tertentu pada bagian luar tubuh rajungan seperti
karapaks, kaki jalan, kaki renang dan insang,
Mengambil dengan pingset kemudian meletakan pada objek glass yang
telah disediakan dan diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran 100X
Melihat jenis ektoparasit yang telah ditemukan kemudian bandingkan pada
buku identifikasi.

3.

Penghitungan Intensitas Ektoparasit

Intensitas merupakan kuantitas yang diukur berdasarkan ukuran dari suatu


objek yang diteliti. Persamaan intensitas jenis ektoparasit dihitung dengan jumlah
total parasit tertentu yang menginfeksi dibagi jumlah Portunus pelagicus yang
terserang ektoparasit tertentu. Penghitungan intensitas ektoparasit menggunakan
rumus Bush et al, (1997) yaitu sebagai berikut :

Dimana : I = Intensitas serangan ektoparasit (Individu/ekor)


p = Jumlah parasit yang ditemukan (Individu)
N= Jumlah sampel yang terinfeksi (ekor)
4.

Perameter Kualitas Air

Parameter yang diukur dalam penelitian ini yaitu suhu perairan (0C), salinitas
perairan (ppt) dan pH.
5.

Analisis Data

Data sampel ektoparasit yang ditemukan dari hasil identifikasi dan intensitas
serangan parasit pada Kepiting rajungan (P. pelagicus) serta data parameter
kualitas perairan dianalisis secara deskriptif yaitu analisa data yang telah
diperoleh secara sistematis dan terperinci dengan menggunakan bagan, diagram
maupun tabel (Yusuf dkk, 2012).

DAFTAR PUSTAKA
Afrianto dan Liviawaty, 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan. Kanisius.
Yogiakarta. 110 hal.
Amgyat.N.T. 1982. Bahan dan Desain Jaring Insang Hanyut. Jakarta. 12 hlm.

Bush, A. O., Lafferty, K.D., Lotz, J.M., and Shostak, W. 1997. Parasitology Meets
Ecologi on its Own Terms Morgolis. Resivited. Parasitology. 83:575-583.
Coleman. N. 1991. Encyclopedia of marine animals. Angus & Robertson, An
Inprint of harper colling Publishers. Australia, 324 pp.
Effendy, S., Sudirman, S. Bahri, E. Nurcahyono, H. Batubara, dan M. Syaichudin.
2006. Petunjuk Teknis Pembenihan Rajungan (Portunus Pelagicus
Linnaenus). Diterbitkan Atas Kerjasama Departemen Kealutan dan
Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan dengan Balai Budidaya Air
Payau, Takalar.
Fatmawati. 2009. Kelimpahan Relatif dan Struktur Ukuran Rajungan Di Daerah
Mangrove Kecamatan Tekolabbua Kabupaten Pangkep.Skripsi. Jurusan
Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Grabda, J. 1991. Marine Fish Parasitogy : An Outline. Weinheim. New York.
PWN-Polish Scientific Publishers. Warszawa. hal 3-267.
Jafar, L. 2011. Perikanan Rajungan Di Desa Mattiro Bombang (Pulau Salemo,
Sabangko Dan Sagara) Kabupaten Pangkep. Skripsi. Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin. Makassar. 105 hal.
Juwana, S. 1997. Tinjauan tentang Perkembangan Penelitian Budidaya Rajungan
(Portunus pelagicus,Linn). Oseana 22(4); 1-12.
Kabata, Z. 1985. Parasites dan Diseases of Fish Cultured in The Tropics. Taylor &
Francis, London, Philadelphia. 317 pp.
Mania. 2007. Pengamatan Aspek Biologi Rajungan dalam Menunjang Teknik
Perbenihannya. http://ikanmania.wordpress.com/2007/12/31/
pengamatan- aspek-biologi- rajungan- dalam- menunjang- teknik
perbenihannya. (Akses 11 Juni 2014).
Mirzads. 2009. Pengemasan Daging Rajungan Pasteurisasi dalam Kaleng.
http://mirzads.wordpress.com/2009/02/12/pengemasan-daging-rajungan
pasteurisasi-dalam-kaleng/. (Akses 12 Juni 2014).
Moosa, M. K. 1980. Beberapa Catatan Mengenai Rajungan dari Teluk Jakarta dan
Pulau-Pulau Seribu. Sumberdaya Hayati Bahari, Rangkuman Beberapa
Hasil Penelitian Pelita II. LON-LIPI, Jakarta. Hal 57-79.
Mustafa, A., Abdullah dan D. Oetama. 2011. Studi Disain dan Pengoperasian
Long Line Pots sebagai Alat Penangkap Rajungan (Swimming Crab)
yang Efisien dan Ramah Lingkungan. Laporan Penelitian. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo. Kendari.
Noble, E. R., G. A. Noble, G. A. Schad dan A. J. McInnes, 1989. Parasitology :
The Biologi Of Animal Parasiter. 6 th Ed. Lea end Febiger. Philadelphia.
London. 549 hal.

Nourina dan Martiadi, 2002. Inventrisasi Parasit Pada Tubuh Ikan. PT. Rineka
Cipta. Jakarta. 130 Hal.
Nontji, A. 1986. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta. 105 hlm.
Nyabekken, J.W. 1986. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Biologi. Penerbit
Gramedia, Jakarta.
Ratmin, R. 2002. Inventarisasi Ektoparasit dan Endoparasit Pada Tubuh Ikan
Lema (Rastrelliger canagurta, curiver) di Perairan Seri Kotamadya
Ambon. Skripsi. Fakultas Perikanan Universitas Pattimura. Ambon. 100
hal.
Sarita, A., H., Nurdin, A., R., Nur, I., dan Riani, I., 2003. Penuntun Praktikum
Parasit dan penyakit Ikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Universitas Haluoleo. Kendari.
Sinderman, C. J. 1990. Diseases of Marine Fish in Principal and Shellfish. Vol 1
Second Edition. Academic Press, Inc. San Diego. California. 15 Hal.
Susanto, N. 2010. Perbedaan antara Rajungan dan Kepiting. http://blog.unila.
ac.id/gnugroho/category/bahan-ajar/karsinologi/. (Akses 11 Juni 2014).
Yusuf Irvansyah, M., Abdulgani, N., dan Mahasri, G., 2012. Identifikasi dan
Intensitas Ektoparasit pada Kepiting Bakau (Scylla serrata) Stadia
Kepiting Muda di Pertambakan Kepiting, Kecamatan Sedati, Kabupaten
Sidoarjo. Jurnal Sains dan Seni ITS Vol. 1. Departemen Perikanan,
Fakultas Perikanan Universitas Airlangga.

Anda mungkin juga menyukai