Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

TEKNOLOGI PEMBENIHAN
TEKNIK PEMBENIHAN KEPITING RAJUNGAN (Portunus pelagicus)

Oleh :
Kelompok 4
Sabri
Rusdiansyah
Muhammad Iswan.G
Heri Prasetio
Rasman

14.101010.013
14.101010.052
14.101010.046
14.101010.014
14.101010.031

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
2016

KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puji syukur kepada-Nya, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada
kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Adapun makalah dengan judul Pembenihan Rajungan (Portunus pelagicus) ini telah
kami usahakan semaksimal mungkin. Kami tidak lupa menyampaikan banyak terima kasih
kepada pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini. Namun terlepas dari
semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi penyusun
bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu bagi pembaca yang ingin memberi saran dan
kritik kepada kami sehingga kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhirnya kami mengharapkan semoga dari makalah ini kita dapat mengambil
manfaatnya sehingga dapat memberikan inspirasi terhadap pembaca.

Tarakan, 17 November 2016

Kelompok IV

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia.
Dengan garis pantai yang panjang ini, Indonesia memiliki potensi kepiting yang sangat besar.
dari 234 jenis kepiting yang hidup di perairan Indo-Pasifik Barat, 124 jenis diantaranya dapat
dijumpai di perairan Indonesia. Namun diantara semua jenis kepiting ini, hanya beberapa
jenis saja yang telah dikenal dan dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat sebagai makanan
yang bernilai gizi tinggi.
Salah satu jenis kepiting yang saat ini menjadi andalan ekspor non migas adalah
rajungan (Portunus pelagicus).

Rajungan (Portunus pelagicus) termasuk dalam kelas

Krustacea, family Portunidae, penyebarannya meliputi perairan Indo-Pasifik. Rajungan


banyak ditemukan pada daerah dengan kondisi perairan yang sama seperti Kepiting Bakau
(Scylla serrata). Rajungan dikenal dengan nama blue swimming crab atau Kepiting Pasir dan
merupakan hasil samping dari tambak tradisional pasang surut di Asia (Cowan,
1992 dalam Susanto dkk., 2005).
Rajungan merupakan komoditas perikanan yang banyak diminati, memiliki nilai
ekonomis tinggi dan mulai dikembangkan pembudidayanya. Rajungan telah banyak diekspor
diberbagai negara dalam bentuk rajungan segar maupun olahan, dimana rajungan segar
banyak diminta oleh negara Singapura dan dalam bentuk beku ke negara Jepang dan
Amerika. Informasi dari Dinas Perikanan dan Kelautan, Jawa Tengah bahwa rajungan pada
tahun 2003 masih mendominasi nilai ekspor hasil perikanan. Sampai Juni 2003 nilai
ekspornya sekitar 7,4 juta dolar AS. Komoditas rajungan merupakan komoditas ekspor urutan
ketiga dalam arti jumlah, setelah udang dan ikan. Sampai saat ini seluruh kebutuhan
ekspor rajungan masih mengandalkan hasil tangkapan dari laut, sehingga akan
mempengaruhi populasi di alam (Susanto dkk., 2005).
Selain rajungan ukuran konsumsi sebagai komoditas ekspor unggulan. Dewasa ini
rajungan ukuran kecil (berat 1,8 gram/ekor) telah menjadi jenis makanan baru yang banyak
diminati oleh orang Jepang sebagai camilan ketika minum sake. Hal ini menjadi peluang baru
dalam usaha budidaya rajungan. Namun peluang ini, belum missal. Salah satu kendala dalam
pengembangan teknologi untuk memproduksi baby crab rajungan tersebut dalam skala
massal. Salah satu kendala dalam pengembangan teknologi pemeliharaan baby crab rajungan
adalah rendahnya tingkat kelangsungan hidup (Ruliaty dkk., 2004).

Sampai saat ini rajungan (Portunus pelagicus) masih merupakan komoditas laut
yang mempunyai nilai ekonomis yang penting. Penangkapan rajungan yang semakin intensif
dapat mengakibatkan populasi alami rajungan mengalami penurunan. Akibat penangkapan di
alam yang kurang terkendali, maka terjadi kelangkaan populasi rajungan di perairan
Indonesia (Juwana, 2000). Permasalahan yang terjadi pada budidaya antara lain adalah
kanibalisme

yang

tinggi

terutama pada

saat

larva

rajungan

mengalami

proses

moulting. Kanibalisme dapat ditekan dengan salah satu cara yaitu pemberian tempat
berlindung baik berupa shelter maupun substrat dasar yang cocok, grading dan pengurangan
kepadatan larva selama pemeliharaan (Djunaedi, 2009).
Karena keberhasilan kegiatan budidaya rajungan salah satunya ditentukan oleh kegiatan
produksi benih. Oleh karena itu mahasiswa perikanan dituntut untuk dapat menguasai dan
memahami seluk-beluk proses pembenihan rajungan. Maka dari itulah makalah ini dibuat.
1.2 Rumusan Masalah
1)
2)
3)
4)
5)

Apa yang harus dipersiapkan sebelum melakukan pembenihan rajungan?


Bagaimana cara penanganan induk rajungan?
Bagaimana cara penanganan larva rajungan?
Bagaimana cara pemanenan larva rajungan?
Bagaimana cara pengelolaan kualitas air pada pemeliharaan rajungan?

1.3 Tujuan
1) Untuk mengetahui yang harus dipersiapkan sebelum melakukan pembenihan
2)
3)
4)
5)

rajungan.
Untuk mengetahui cara penanganan induk rajungan.
Untuk mengetahui cara penanganan larva rajungan.
Untuk mengetahui cara pemanenan larva rajungan.
Untuk mengetahui cara pengelolaan kualitas air pada pemeliharaan rajungan.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Biologi Rajungan
2.1.1 Morfologi Rajungan
Rajungan (Portunus pelagicus) adalah sejenis kepiting renang atau swimming crab;
disebut demikian karena memiliki sepasang kaki belakang yang berfungsi sebagai kaki
renang, berbentuk seperti dayung. Karapasnya memiliki tekstur yang kasar, karapas melebar
dan datar; sembilan gerigi disetiap sisinya; dan gerigi terakhir dinyatakan sebagai tanduk
dapat dilihat pada (Gambar 1). Karapasnya tersebut umumnya berbintik biru pada jantan dan
berbintik coklat pada betina, tetapi intensitas dan corak dari pewarnaan karapas berubah-ubah
pada tiap individu (Kailola, 1993 dalam Kangas, 2000).

Ukuran rajungan antara yang jantan dan betina berbeda pada umur yang sama. Yang
jantan lebih besar dan berwarna lebih cerah serta berpigmen biru terang. Sedang yang betina
berwarna sedikit lebih coklat (Mirzads 2009). Rajungan jantan mempunyai ukuran tubuh
lebih besar dan capitnya lebih panjang daripada betina. Perbedaan lainnya adalah warna
dasar, rajungan jantan berwarna kebiru-biruan dengan bercak-bercak putih terang, sedangkan
betina berwarna dasar kehijau-hijauan dengan bercak-bercak putih agak suram. Perbedaan
warna ini jelas pada individu yang agak besar walaupun belum dewasa (Moosa 1980 dalam
Fatmawati 2009).
Ukuran rajungan yang ada di alam bervariasi tergantung wilayah dan musim.
Berdasarkan lebar karapasnya, tingkat perkembangan rajungan dapat dibagi menjadi tiga
kelompok yaitu dengan lebar karapas 20-80 mm, menjelang dewasa dengan lebar 70-150
mm, dan dewasa dengan lebar karapas
2.1.2 Klasifikasi Rajungan
Menurut Mirzads (2009), dilihat dari sistematiknya, rajungan termasuk ke dalam:

Filum : Animalia
Filum : Athropoda
Kelas : Crustasea
Ordo : Decapoda
Famili : Portunidae
Genus : Portunus
Spesies : Portunus pelagicus
2.1.3 Habitat Rajungan
Menurut Moosa (1980) Habitat rajungan adalah pada pantai bersubstrat pasir, pasir
berlumpur dan di pulau berkarang, juga berenang dari dekat permukaan laut (sekitar 1 m)
sampai kedalaman 65 meter. Rajungan hidup di daerah estuaria kemudian bermigrasi ke
perairan yang bersalinitas lebih tinggi untuk menetaskan telurnya, dan setelah mencapai
rajungan muda akan kembali ke estuaria (Nybakken 1986).
Rajungan banyak menghabiskan hidupnya dengan membenamkan tubuhnya di
permukaan pasir dan hanya menonjolkan matanya untuk menunggu ikan dan jenis
invertebrata lainnya yang mencoba mendekati untuk diserang atau dimangsa. Perkawinan
rajungan terjadi pada musim panas, dan terlihat yang jantan melekatkan diri pada betina
kemudian menghabiskan beberapa waktu perkawinan dengan berenang (Susanto 2010).
2.1.4 Siklus Hidup Rajungan
Menurut Effendy dkk. (2006), rajungan hidup di daerah estuaria kemudian
bermigrasi ke perairan yang mempunyai salinitas lebih tinggi. Saat telah dewasa, rajungan
yang siap memasuki masa perkawinan akan bermigrasi di daerah pantai. Setelah melakukan
perkawinan, rajungan akan kembali ke laut untuk menetaskan telurnya.
Saat fase larva masih bersifat planktonik yang melayang-layang di lepas pantai dan
kembali ke daerah estuaria setelah mencapai rajungan muda. Saat masih larva, rajungan
cenderung sebagai pemakan plankton. Semakin besar ukuran tubuh, rajungan akan menjadi
omnivora atau pemakan segala. Jenis pakan yang disukai saat masih larva antara lain udangudangan seperti rotifera sedangkan saat dewasa, rajungan lebih menyukai ikan rucah, bangkai
binatang, siput, kerang-kerangan, tiram, mollusca dan jenis krustacea lainnya terutama
udang-udang kecil, pemakan bahan tersuspensi di daratan lumpur (Effendy, dkk 2006).
2.1.5 Pertumbuhan Rajungan
Pertumbuhan pada rajungan adalah perubahan ukuran, dapat berupa panjang atau berat
dalam waktu tertentu setelah molting. Pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor jumlah dan
ukuran makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut, kualitas air, umur dan ukuran
organisme (Fatmawati 2010).

Nontji (1986) memukakan bahwa kepiting rajungan dalam siklus hidupnya zoea sampai
dewasa mengalami pergantian kulit sekitar 20 kali dan ukuran lebar karapakknya dapat
mencapai 18 cm. Selanjutnya Soim (1994) memukakan bahwa berdasarkan hasil penelitian
ditemukan rajungan jantan memiliki pertumbuhan lebar karapaks lebih baik dibandingkan
dengan betina.
2.1.6 Musim Pemijahan Rajungan
Romimohtarto (2005) menyatakan bahwa musim pemijahan rajungan lebih mudah
diamati dari pada ikan, hal ini dapat ditandai dengan terdapatnya telur-telur yang sudah
dibuahi yang masih terbawa induknya yang melekat pada lipatan abdomen bersama
pleopodanya. Musim pemijahan rajungan terjadi sepanjang tahun dengan puncaknya terjadi
pada musim barat di bulan Desember, musim peralihan pertama di bulan Maret, musim Timur
di bulan Juli, dan musim peralihan kedua di bulan September.
Untuk mengetahui kemampuan individu dalam menghasilkan keturunan (larva/anak)
dapat dilihat dari jumlah telur yang dihasilkan oleh individu betina dalam suatu pemijahan.
Nakamura (1990) menyatakan bahwa perhitungan fekunditas umumnya dilakukan dengan
mengestimasi jumlah telur yang ada di dalam ovarium pada organisme matang gonad.
Jumlah telur yang dihasilkan oleh kepiting rajungan bervariasi tergantung besarnya individu.
Untuk kepiting yang panjang karapasnya 140 mm dapat menghasilkan 800.000 butir,
sedangkan yang panjang karapaksnya 160 mm dapat menghasilkan 2.000.000 dan individu
dengan panjang karapaks 220 mm menghasilkan 4.000.000 butir.
Menurut Nontji (1986), seekor rajungan dapat menetaskan telurnya menjadi larva
mencapai lebih sejuta ekor. Selanjutnya massa telur kepiting rajungan yang berwarna kuning
atau jingga berisi antara 1.750.000 hingga 2.000.000 butir telur.
2.2 Pembenihan Rajungan
2.2.1 Pemilihan Lokasi
Pemilihan lokasi yang tepat sangat menentukan keberhasilan dan kelanjutan usaha
budidaya. Oleh karena itu penetapan lokasi untuk usaha pembenihan harus dipertimbangkan
secara matang. Ada beberapa faktor yang harus di penuhi yaitu faktor teknis dan faktor non
teknis
2.2.1.1 Faktor Teknis
Pemilihan lokasi merupakan faktor utama dalam menentukan keberhasilan pembenihan
rajungan. Lokasi pembenihan harus berada di tepi pantai, hal ini dikarenakan untuk
penyediaan air laut sebagai media pemeliharaan. Air laut tersebut sebelum dimasukkan ke

bak pemeliharaan terlebih dahulu disaring dengan menggunakan filter bag. Bak yang akan
digunakan berada di dekat pantai dan penyediaan air laut lebih mudah untuk disalurkan
secara langsung dengan cara dipompa, maka harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) Kondisi dasar laut tidak berlumpur.
b) Air laut yang dipompa harus bersih, jernih dan tidak tercemar dengan salinitas 30-34
ppt.
c) Air laut dapat dipompa secara terus menerus minimal selama 20 jam.
Pemilihan tempat pembenihan kepiting harus mempertimbangkan aspek-aspek yang
berkaitan dengan lokasi. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam persyaratan lokasi adalah
a) Status tanah dalam kaitannya dengan peraturan daerah dan perundang-undangan perlu
diperhatikan dengan jelas sebelum hatchery dibangun.
b) Terletak pada tanah datar tidak terlalu jauh dari garis pantai.
2.2.1.2 Faktor Non Teknis
Dalam pembenihan rajungan ini, sebaiknya hatchery terletak pada daerah yang sudah
mempunyai beberapa prasarana pendukung seperti jaringan jalan, listrik PLN, dan lain
sebagainya (Ramelan, 1994).
2.2.2 Wadah
2.2.2.1 Jenis wadah
Bak yang digunakan untuk pemeliharaan induk terbuat dari semen berbentuk empat
persegi panjang yang bagian dalamnya sebaiknya berwarna gelap. Penetasan telur kepiting
dapat dilakukan dalam bak fibre glass yang berbentuk kerucut dengan volume 300-500 liter
(Kanna, 2002).
Penetasan telur kepiting dilakukan di bak-bak semen, akuarium kaca atau fiberglass,
yang dilengkapi dengan aerator. Semua peralatan dan kebutuhan penetasan harus disiapkan
untuk mendukung keberhasilan penetasan telur. Kordi (1997). Bak yang digunakan dalam
pemeliharaan benih rajungan adalah 2 buah bak semen volume 6 ton. Bak ditempatkan di
ruang terbuka dengan atap dari kaca agar mendapatkan cahaya yang cukup. Bak
pemeliharaan benih dilengkapi dengan sistem aerasi dengan jarak aerasi satu dengan yang
lainnya adalah 0,5 m. Bak sebagian ditutup dengan terpal yang berfungsi untuk menjaga
kestabilan suhu dalam bak pemeliharaan (Tanti dan Laksmi, 2010).
2.2.2.2 Bentuk wadah
Wadah yang digunakan dalam pembenihan rajungan dapat berupa bak oval yang
dirancang, dan bak bulat volume 3.000 L yang dindingnya dicat warna hitam, dan bagian
dasar bak dicat warna putih ( Susanto dkk., 2005).

Wadah-wadah pemeliharaan berbentuk bulat sangat baik, karena tidak adanya pojokpojok dimana larva, makanan, dan kotoran lainnya dapat terakumulasi. Pemeliharaan larva
dilakukan pada berbagai wadah dan ukuran yang disesuaikan dengan usaha. Untuk
pemeliharaan larva komersial yang berskala besar, ukuran wadah 75-300 ton cukup besar.
Sedangkan usaha-usaha kecil disesuaikan ketersediaan induk yang hendak ditetaskan ( Kordi,
1997).
Larva rajungan dipelihara dalam bak berbentuk bulat walaupun larva juga dapat
dipelihara pada berbagai bentuk bak, tetapi yang lebih sesuai untuk pemeliharaan larva
rajungan adalah bentuk bak bulat yang ditempatkan dalam ruangan yang memiliki intensitas
cahaya dan suhu yang cukup (Susanto dkk., 2005).
2.2.2.3 Persiapan Wadah
Sebelum melakukan pembenihan, ada beberapa persiapan yang harus dilakukan. Sarana
dan prasarana pembenihan yang mau digunakan harus higienis, siap pakai, dan bebas dari
bahan-bahan cemaran yang dapat mengakibatkan kegagalan proses pembenihan. Untuk itu,
bak-bak yang akan dipergunakan untuk pembenihan harus dibersihkan, disikat dan dicuci
dengan deterjen kemudian dikeringkan selama 2-3 hari. Pembersihan bak pembenihan juga
dapat dilakukan dengan cara bagian dalam bak dengan kain yang telah dicelupkan ke dalam
larutan bahan-bahan desinfektan, seperti chlorine dosis 150 ppm, kemudian didiamkan
selama 1-2 jam. Kemudian, bak pembenihan dinetralisasi dengan larutan Na- Thiosulfat 50
ppm (Kanna, 2002).
2.2.3 Media
2.2.3.1 Sumber Air
Sumber air yang digunakan untuk pembenihan rajungan adalah air laut (32-34 ppt)
yang telah disucihamakan dengan chlorine 25 mg/liter, dibiarkan selama 24 jam dan
dinetralisir dengan sodium thiosulfat 0,175 mg/liter (Susanto dkk., 2005).
2.2.3.2 Kualitas
Kualitas air yang dimaksud dalam pembenihan ini yaitu meliputi suhu, pH, oksigen
terlarut salinitas dan amoniak. Pendapat Juwana dan Romimohtarto (2000), bahwa suhu
optimum untuk larva rajungan fase megalopa berkisar antara 28-34C. Menurut Juwana dan
Romimohtarto (2000), menyatakan bahwa pH yang baik untuk megalopa rajungan adalah
7,5-8,5. Oksigen terlarut merupakan suatu parameter pembatas utama karena pengaruh
oksigen terlarut sangat penting pada kelangsungan hidup dan pertumbuhan. Apabila
kandungan oksigen rendah menyebabkan pada kematian larva. Menurut Adi (2011), oksigen

terlarut di dalam air antara 4-6 ppm dianggap paling ideal untuk tumbuh dan berkembang
larva. Salinitas merupakan salah satu parameter kualitas air yang sangat berpengaruh
terhadap kelangsungan hidup larva rajungan. Menurut Juwana (1997), salinitas yang optimal
untuk larva rajungan berkisar 2834 ppt. Dikatakan Adi (2011), bahwa salinitas 31-33 ppt
dan suhu air 31oC dengan pemberian pakan yang cukup dapat mempercepat molting larva
rajungan.
2.2.3.3 Kuantitas
Media yang digunakan adalah air laut bersih yang telah disterilkan dengan klorin untuk
mencegah adanya parasit dari air laut dan telah dinetralkan pada bak penampungan air
(Mardjono dan Arifin, 1992). Air laut yang dipompa harus bersih, jernih dan tidak tercemar
dengan salinitas 30-34 ppt.
2.2.4 Pemeliharaan Induk
2.2.4.1 Teknik Pemeliharaan
Dalam pematangan gonad induk kepiting ini kepadatan calon induk dalam bak
perkawinan adalah 5 ekor/ m2 dengan perbandingan jantan dan betina 2 : 3. Sebelum
dimasukkan kedalam bak perkawinan terlebih dahulu dilakukan adaptasi dalam bak
penampungan kurang lebih 3 hari (Ramelan, 1994).
Pemeliharaan induk sebelum dan sesudah perkawinan dilakukan di bak-bak khusus,
berupa tangki air yang dilengkapi dengan dasar berpasir setebal 10 cm dengan air yang
mengalir sedalam 50 cm (Kordi, 1997).
2.2.4.2 Pengelolaan Pakan.
Menurut Susanto dkk., (2005) selama masa pemeliharaan calon induk diberi pakan
berupa kombinasi pakan segar yaitu cumi, kerang, dan ikan rucah dengan dosis
10%/bobot/hari. Sementara induk yang telah membawa telur pada lipatan abdomennya
ditempatkan secara individu dalam bak fibre glass berukuran diameter 90 cm, tinggi 80 cm
dengan volume air laut sekitar 300 L yang dilengkapi dengan system aerasi. Sedangkan
menurut Ramelan (1994), jumlah makanan yang diberikan 10 15 % total berat badan
kepiting setiap hari. Pakan diberikan dua kali sehari, pagi dan sore hari. Sebelum memberikan
pakan, dilakukan pengamatan terhadap sisa makanan yang diberikan sebelumnya. Jika
terlihat ada kelebihan, maka jumlah pakan yang diberikan harus dikurangi, sebaliknya jika
tidak terlihat adanya sisa makanan, maka jumlah pakan harus ditambah.

2.2.4.3 Pengelolaan Air


Selama pemeliharaan kualitas air harus dijaga supaya tetap baik. Pergantian air
dilakukan setiap hari sekitar 50-100%. Secara periodik dalam waktu 15 hari sekali bak
dikeringkan sehingga dasar bak menjadi kering dan diharapkan terjadi proses mineralisasi
bahan organic yang ada dalam lumpur. Pengeringan dilakukan selama 1 minggu dan selama
pengeringan calon induk dipindahkan ke tempat lain (Ramelan, 1994).
2.2.4.4 Seleksi Induk
Calon induk dapat berasal dari hasil penangkapan di tambak tradisional atau perairan di
pinggir pantai, atau dapat juga berasal dari penangkapan di laut. Induk yang berasal dari laut
biasanya terlihat lebih jernih dibandingkan dengan calon induk dari tambak. Kesehatan calon
induk juga harus diperhatikan, oleh karena itu dipilih yang bersih, tidak berbercak atau
mempunyai tanda-tanda penyakit pada tubuhnya. Di samping itu calon induk dipilih yang
mempunyai organ tubuh lengkap. Ramelan (1994). Induk rajungan yang digunakan adalah
induk alam yang telah berisi telur (Kordi, 2008).
2.2.5 Teknik Pemijahan
Menjelang perkawinannya, kepiting betina akan mengeluarkan cairan kimiawi
perangsang (disebut pheromone) ke dalam air untuk menarik kepiting jantan. Kepiting jantan
yang berhasil menemukan pheromone tersebut segera naik ke atas karapas kepiting betina
yang sedang dalam kondisi pra lepas cangkang (premolt) dan membantu kepiting betina
untuk berganti kulit (molting) (Ramelan, 1994).
Perkawinan rajungan terjadi pada musim panas dimana yang jantan terlihat melekatkan
diri pada betina kemudian menghabiskan beberapa waktu perkawinan dengan berenang
Coleman, (1991) dalam Susanto dkk., (2005) sampai menetas memerlukan waktu sekitar 5-8
hari tergantung dari perkembangan embrio.
Untuk mengetahui musim pemijahan rajungan dapat dilakukan dengan mengamati
kematangan gonad rajungan betina. Musim pemijahan rajungan lebih muda diamati daripada
ikan. Hal ini dapat ditandai dengan terdapatnya telur-telur yang melekat pada lipatan
abdomen bersama pleopodanya. Musim pemijahan rajungan terjadi sepanjang tahun dengan
puncaknya terjadi pada bulan Desember, Maret, Juli, dan September (Kembaren dkk., 2012).
2.2.6 Penetasan Telur
Lama masa inkubasi sampai menetas memerlukan waktu 5-8 hari tergantung dari
perkembangan embrio, biasanya induk rajungan dengan telur yang berwarna kuning
memerlukan waktu lebih lama dibandingkan dengan berwarna coklat atau hitam.

Dalam bak penetasan biasanya telur akan menetas pada waktu malam atau pagi hari
antara pukul 20.00 24.00 dan pukul 06.00 08.00. setelah semua telur yang ada dalam
lipatan abdomen menetas, aerasi dalam bak diangkat/dimatikan dan ditunggu sampai larva
mengumpul pada bagian permukaan air. Dari seekor induk rajungan dapat menghasilkan
zoea-1 sebanyak 450.000 sampai 950.000 ekor. Hubungan antara induk rajungan dengan
jumlah zoea yang dihasilkan sangat erat dimana semakin besar ukuran induk akan
menghasilkan zoea yang banyak (Susanto dkk., 2005).
2.2.7 Pemeliharaan Larva
2.2.7.1 Teknik Pemeliharaan
Setelah telur rajungan menetas menjadi larva, semua larva dipindahkan ke bak-bak
pemeliharaan larva pada kepadatan 100 ekor/liter. Larva rajungan berkembang melalui empat
fase dan satu fase megalopa. Zoea 1 akan berkembang ke zoea 2 dalam waktu 2-3 hari.
Sedangkan zoea 2, zoea 3, dan zoea 4 berturut-turut berkembang dalam selang waktu 2 hari.
Pada saat semua zoea telah mencapai megalopa, maka dalam bak-bak pemeliharaan
digantungkan untaian serabut plastik yang berfungsi untuk memperluas tempat permukaan
tempat berlindung megalopa yang bersifat kanibal (Kordi, 2008).
Larva yang menetas diseleksi dimana larva yang kurang baik dengan tanda-tanda antara
lain gerakannya lemah dan berenang di dasar bak, kurang tertarik pada cahaya, serta ukuran
panjang karapas larva kecil (< 0,50 mm), dalam keadaan seperti ini sebaiknya dibuang. Induk
rajungan setelah menetaskan telurnya dapat digunakan lagi untuk penetasan berikutnya,
dengan pemberian pakan yang berkualitas dan pemeliharaan yang optimal. Induk masih dapat
menghasilkan telur sampai 2-3 kali, tetapi telur yang dihasilkan pada pemijahan kedua dan
seterusnya umumnya memiliki jumlah larva yang lebih rendah (Susanto dkk., 2005).
Langkah awal yang dilakukan dalam pemeliharaan larva rajungan yaitu menyiapkan
bak dengan melengkapi system aerasi, dan mengisi air laut sebanyak tiga perempat dari
volume bak.
2.2.7.2 Pengelolaan Pakan
Benih

rajungan

selama

masa

pemeliharaan

diberikan

pakan

alami

berupa phytoplankton dan zooplankton, pakan tambahan dan udang halus. Pemberian pakan
tambahan dan udang halus untuk memenuhi nutrisi yang tidak terdapat pada pakan alami.
Mardjono dan Arifin (1992) menyatakan bahwa makanan yang komposisinya dilengkapi
dengan makanan tambahan dapat lebih sempurna dalam penyediaan vitamin dan mineral,
selain efisiensi dalam penggunaan makanan. Makanan alami yang digunakan adalah Rotifer,
Chlorella dan Artemia, sedangkan pakan buatan yang diberikan adalah pakan buatan

merek Frippak dan udang yang dihaluskan dengan waktu pemberian dan jenis pakan. Tanti
dan Laksmi (2010). Pemeliharaan benih rajungan selain diberikan pakan alami, diberikan
pula pakan buatan. Pemberian pakan buatan dimaksudkan untuk melengkapi nutrisi yang
tidak terdapat dalam pakan alami baik fitoplankton maupun zooplankton. Selain itu pakan
buatan mudah diperoleh. Mujiman (2000) menyatakan bahwa makanan buatan sangat penting
untuk disediakan agar dapat tersedia dalam jumlah yang cukup, tepat waktu,
berkesinambungan, memenuhi syarat gizi.
Menurut Watanabe dan Kiron (1994) dalam Fibro dkk, (2010), pakan alami merupakan
jenis pakan yang mutlak diperlukan dalam semua kegiatan pembenihan. Pakan alami
termasuk fitoplankton, zooplankton ukuran kecil dan larva hewan invertebrata yang telah
diketahui sebagai makanan dalam pemeliharaan larva. Jenis pakan yang diberikan bervariasi
sesuai bukaan mulut larva.
Ditambahkan dalam Baharuddin (2011), Brachionus dan nauplius Artemia merupakan
pakan alami yang cocok diberikan pada pemeliharaan larva, karena selain ukurannya yang
kecil juga memiliki nilai nutrisi yang cukup baik yakni mengandung asam-asam amino
esensial dalam jumlah yang cukup.
Frekuensi pemberian pakan diberikan dua kali sehari yaitu pada pagi hari dan sore hari.
Penyiponan dan pergantian air media pemeliharaan larva dilakukan sebanyak 30-50% setiap
hari pada waktu pagi sebelum pemberian pakan, untuk menghindari penumpukan sisa pakan
dan kotoran larva rajungan di dasar wadah pemeliharaan. Selama pemeliharaan berlangsung
(Zaidin dkk., 2013).
Tabel 2. Dosis pakan komersial, rotifera dan naupli artemia yang diberikan
selama pemeliharaan larva rajungan

Stadia
Larva

Dosis
pakan
komersial
g/M3/hari

Ukuran
partikel
pakan
komersial
(mm)

Frekuensi
pemberian
(kali/hari)

Kepadata
rotifera
(ind./mL)

Kepadata
artemia
(ind./mL)

Zoea- 1

0,5-2

5-30

0,5

Zoea- 2

2-3

30-90

10

1,0

Zoea- 3

4-5

30-90 dan
150-200

15

1,5

Zoea- 4

6-8

150-200

20

2,0

Megalopa
8-10
150-200
Sumber : (Susanto dkk., 2005).

2,0

2.2.7.3 Pengelolaan Air


Sumber air yang baik digunakan dalam pemeliharaan larva rajungan berupa air laut
yang disaring dengan filter pasir, kemudian disucihamakan dengan chlorine. Nogami dkk.,
(1995) dalam Susanto dkk., (2005) menyatakan bahwa sumber air untuk pemeliharaan larva
rajungan berasal dari laut yang telah disaring dengan filter pasir, kemudian disterilkan
dengan sodium hypochlorite dan dinetralkan dengan sodium thiosulfate. Pergantian air dalam
bak pemeliharaan larva dimulai saat stadia zoea 2 yaitu sebanyak 10% per hari, kemudian
meningkat

smpai

stadia

megalopa

menjadi

20%-50%

per

hari.

Susanto dkk.,

(2005). penggantian air sebanyak 20% setiap dua hari sekali untuk menjaga kualitas air media
pemeliharaan. Penggantian air dapat menjaga tingkat kelarutan oksigen, mengurangi
kandungan bahan organik serta senyawa beracun lainnya (Mardjono dan Arifin, 1992).
Monitoring kualitas air bertujuan agar dapat mengontrol suhu dan salinitas air
media pemeliharaan tetap stabil. Monitoring kualitas air dilakukan setiap hari dengan
mencatat suhu dan salinitas air media di pagi dan sore hari. Suhu sangat berperan dalam
mempercepat metabolisme dan aktivitas organisme. Suhu tinggi akan menyebabkan
penurunan kandungan oksigen terlarut karena terjadi peningkatan konsumsi oksigen
oleh organisme akibat meningkatnya metabolisme (Mardjono dan Arifin, 1992).
2.2.7.4 Pertumbuhan
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ialah makanan dan suhu perairan, di daerah
tropik makanan lebih penting dari pada suhu (Pet dan Mous, 2000 dalam Santoso dkk., 2014).
Pengukuran pertumbuhan benih rajungan dilakukan dengan cara mengukur berat dan panjang
yang dilakukan setiap tiga hari sekali. Pengukuran berat menggunakan timbangan analitik
sedangkan pengukuran panjang menggunakan kertas milimeter yang diamati melalui
mikroskop pembesaran 40x (Tanti dan Laksmi, 2010).
Ruliaty dkk. (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan panjang benih rajungan pada
stadia zoea mengalami peningkatan pada setiap sub stadia. Besarnya pertambahan panjang
tubuh pada setiap sub stadia berbeda-beda. Pada stadia megalopa panjang tubuh benih
rajungan mengalami penurunan bila dibandingkan panjang pada stadia zoea. Hal ini
disebabkan karena stadia megalopa merupakan stadia peralihan dari bentuk benih menjadi
bentuk tubuh seperti rajungan dewasa.
2.2.8 Hama dan Penyakit
Pencegahan terhadap hama dan penyakit dapat dilakukan dengan beberapa cara
misalnya penerapan biosekuriti dan sanitasi yang bertujuan memperkecil resiko serangan

patogen, sebagai upaya pencegahan masuk, tumbuh berkembang dan meluasnya patogen di
lingkungan kerja (Mohan, 2002 dalam Haliman dan Adijaya, 2005).
Haliman dan Adijaya (2005) menjelaskan bahwa biosekuriti merupakan hal yang
penting dalam mendukung suksesnya pembenihan rajungan hendaknya dilakukan sejak
kegiatan pra produksi hingga pasca panen untuk mencegah timbulnya penyakit.
Penerapan biosekuriti dapat ditempuh dengan beberapa cara, yaitu peningkatan sanitasi,
lingkungan, mengoptimalkan lingkungan hidup larva.
Sunarto (2005) menyatakan bahwa penerapan prinsip biosekuriti dalam usaha
pembenihan dilakukan sejak awal produksi sampai panen. Prinsip-prinsip yang diterapkan
dalam biosekuriti adalah sebagai berikut:
a) Sterilisasi Wadah, Peralatan dan Lingkungan Kerja.Sterilisasi dilakukan dengan
mencuci bak dan peralatan kemudian disterilisasi menggunakan larutan klorin dengan
dosis 100-1000 ppm. Peralatan gelas dicuci bersih kemudian direndam dalam larutan
formalin dengan dosis 100 ppm. Bak dan peralatan gelas terlebih dahulu dibilas
menggunakan air tawar sebelum digunakan (Sunarto, 2005). Tindakan pencegahan juga
dilakukan menggunakan Kalium Permanganat dengan dosis 1,5 ppm yang ditempatkan
pada awal pintu masuk ruangan (Subaidah dkk., 2006).
b) Sterilisasi Air/Media Budidaya. Air yang akan digunakan untuk proses produksi benur
disterilisasi dengan menggunakan lampu ultra violet dan ozonisasi (Sunarto, 2005).
Standar baku air dapat diperoleh melalui pengendapan, filtrasi dan perlakuan air baik
secara fisik, kimia maupun biologi.
Penyakit yang biasa ditemukan dalam pembenihan rajungan adalah penyakit yang
disebabkan oleh fungi (jamur) dan bakteri Vibrio harveyi. Biasanya pada larva rajungan
terserang penyakit pada kondisi lingkungan media pemeliharaan yang tidak stabil, misalnya
fluktuasi suhu yang terlalu tinggi dan kadar oksigen yang terlalu rendah sehingga
mengakibatkan larva mengalami stress. Pada keadaan stress larva berada pada kondisi kritis
sehingga memudahkhan organisme pathogen atau parasit penyebab penyakit menyerang larva
(Suparmo, 2003).
2.2.9 Panen dan Pasca Panen
Tahap akhir dari pemeliharaan benih rajungan adalah panen. Panen dilakukan saat
benih rajungan berumur 18 hari yang didukung oleh pernyataan Ruliaty dkk. (2004) bahwa
panen dilakukan saat benih rajungan berumur 18 hari atau benih siap tebar (crab-5). Peralatan
panen yang harus disediakan antara lain ember, gayung, scoop net, mangkok plastik putih dan
saringan. Pemanenan dilakukan dengan cara mengurangi seluruh air media pemeliharaan
dengan menggunakan saringan. Pipa pengeluaran pada bak pemeliharaan diberi saringan

untuk

menampung

benih

rajungan.

Pengumpulan

benih

dilakukan

dengan

menggunakan scoop net dan ditampung dalam ember plastik yang diberi aerasi. Penghitungan
benih dilakukan dengan menggunakan mangkok plastik putih. Benih rajungan tersebut segera
dipindahkan ke dalam tambak pembesaran rajungan yang telah dipersiapkan sebelumnya.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1) Sebelum melakukan pembenihan rajungan, harus dilakukan pemilihan lokasi yang
tepat meliputi yaitu faktor teknis (Lokasi, Status Tanah, Kualitas Air laut) dan faktor
non teknis (jaringan jalan, listrik PLN, dan lain sebagainya). Selanjutnya yaitu
penentuan wadah budidaya yang dapat berupa bak semen, atau bak fiberglass dengan
bentuk oval atau bulat yang telah di sterilisasi. Air yang digunakan ialah air laut yang
juga telah disterilisasi sebelumnya.
2) Calon induk berasal dari hasil budidaya tambak tradisional atau tangkapan perairan di
pinggir pantai, atau dapat juga berasal dari penangkapan di laut. Induk dipilih yang
bersih, tidak berbercak atau mempunyai tanda-tanda penyakit pada tubuhnya serta
mempunyai organ tubuh lengkap. kepadatan calon induk dalam bak adalah 5 ekor/ m 2.
Selama masa pemeliharaan calon induk diberi pakan berupa kombinasi pakan segar
yaitu cumi, kerang, dan ikan rucah dengan dosis 10 15 % total berat badan kepiting
per hari. Bak induk dilengkapi dengan system aerasi.
3) Langkah awal yang dilakukan dalam pemeliharaan larva rajungan yaitu menyiapkan
bak dengan melengkapi system aerasi, dan mengisi air laut sebanyak tiga perempat
dari volume bak. Larva yang menetas diseleksi dimana larva yang kurang baik dengan
tanda-tanda antara lain gerakannya lemah dan berenang di dasar bak, kurang tertarik
pada cahaya, serta ukuran panjang karapas larva kecil (< 0,50 mm). larva dipindahkan
ke bak-bak pemeliharaan larva pada kepadatan 100 ekor/liter. Benih rajungan selama
masa pemeliharaan diberikan pakan alami berupa phytoplankton dan zooplankton
(Rotifer, Chlorella dan Artemia,) sedangkan pakan buatan dan udang yang dihaluskan
dengan waktu pemberian dan jenis pakan. Frekuensi pemberian pakan diberikan dua
kali sehari yaitu pada pagi hari dan sore hari. Penyiponan dan pergantian air media
pemeliharaan larva dilakukan sebanyak 30-50% setiap hari pada waktu pagi sebelum
pemberian pakan.
4) Panen dilakukan saat benih rajungan berumur 18 hari atau benih siap tebar (crab-5).
Peralatan panen yang harus disediakan antara lain ember, gayung, scoop net, mangkok
plastik putih dan saringan. Pemanenan dilakukan dengan cara mengurangi seluruh air
media pemeliharaan dengan menggunakan saringan. Pipa pengeluaran pada bak
pemeliharaan diberi saringan untuk menampung benih rajungan. Pengumpulan benih
dilakukan dengan menggunakan scoop net dan ditampung dalam ember plastik yang

diberi aerasi. Penghitungan benih dilakukan dengan menggunakan mangkok


plastik putih.
5) Air untuk pemeliharaan larva rajungan berasal dari laut yang telah disaring dengan
filter pasir, kemudian disterilkan. Pergantian air dalam bak pemeliharaan larva dimulai
saat stadia zoea 2 yaitu sebanyak 10% per hari, kemudian meningkat sampai stadia
megalopa menjadi 20%-50% per hari. Monitoring kualitas air dilakukan setiap hari
dengan mencatat suhu dan salinitas air media di pagi dan sore hari.
3.2 Saran
1) Diharapkan jika melakukan pembenihan rajungan, pemilihan lokasi harus tepat karena
sangat menentukan keberhasilan.
2) Sebaiknya gunakan induk hasil tangkapan laut karena biasanya punya kualitas yang
lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
Adi, Sapto. 2011. Analisa Usaha Perikanan Budidaya. Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara
Baharuddin. 2011. Perbandingan Pakan Alami Artemia salina Terhadap Sintasan Larva
Rajungan (Portunus pelagicus) Stadia Megalopa. Skripsi. Fakultas Pertanian
Universitas Muhammadiyah. Makassar. 48 hal.
Coleman. N. 1991. Encyclopedia of marine animals. Angus & Robertson, An Inprint of
harper colling Publishers. Australia, 324 pp.
Effendy, S., Sudirman, S. Bahri, E. Nurcahyono, H. Batubara, dan M. Syaichudin. 2006.
Petunjuk Teknis Pembenihan Rajungan (Portunus Pelagicus Linnaenus). Diterbitkan
Atas Kerjasama Departemen Kealutan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan
dengan Balai Budidaya Air Payau, Takalar.
Fatmawati. 2009. Kelimpahan Relatif dan Struktur Ukuran Rajungan Di Daerah Mangrove
Kecamatan Tekolabbua Kabupaten Pangkep.Skripsi jurusan Perikanan Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Fibro, A.F., Sulaeman, dan Muslimin. 2010. Laju Pemangsaan Larva Kepiting Bakau
(Scylla serata) terhadap Pakan Alami.
Rotifera (Brachionus sp.). Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros, Sulawesi
Selatan. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 21(3): 139-144.
Haliman, R. W., dan Adijaya, J. S. 2005. Udang Vannamei, pembudidayaan dan prospek
pasar udang putih yang tahan penyakit. Penebar swadaya Jakarta.
Juwana, S. 1997. Tinjauan tentang Perkembangan Penelitian Budidaya Rajungan (Portunus
pelagicus,Linn). Oseana 22(4); 1-12.
Kailola, P. J. 1993. Australian Fisheries Resources. Fisheries Research and Development
Corporation (Australia). Australia.
Kangas, M. I. 2000. Synopsis of The Biology and Exploitation of The Blue Swimmer Crab,
Portunus pelagicus Linnaeus, in Western Australia Fisheries Research Report no. 121,
2000. Fisheries Western Australia. http://www.fish.wa.gov.au
Kanna. I. 2002. Budidaya Kepiting Bakau (Pembenihan dan pembesaran). Kanisius.
Yogyakarta. 130 hal.
Kembaren D.D., Ernawati. T. dan Suprapto, 2012. Biologi dan parameter populasi rajungan
(Portunus pelagicus) di perairan Bone dan sekitarnya. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia. Diterbitkan oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi
Sumber Daya Ikan-Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan
Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.

Kordi, G.H. 1997. Budidaya Kepiting dan Ikan Bandeng di Tambak Sistim Polikatur. Dahara
Press. Semarang.
Kordi., Gufran, H., Andi Baso Tancung. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya
Perairan. Rineka Cipta. Jakarta
Mardjono et al., 1994. Pedoman Pembenihan Kepiting Bakau (Scylla serrata). Balai
Budidaya Air Payau. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta.
Mirzads. 2009. Pengemasan Daging Rajungan Pasteurisasi dalam Kaleng.
http://mirzads.wordpress.com/2009/02/12/pengemasan-daging-rajungan-pasteurisasidalam-kaleng/. (Akses 11 Juni 2010).
Moosa, MK. 1980. Beberapa Catatan Mengenai Rajungan dari Teluk Jakarta dan PulauPulau Seribu. Sumberdaya Hayati Tawar, Rangkuman Beberapa Hasil Penelitian
Pelita II. LON-LIPI, Jakarta. Hal 57-79.
Nontji, A. 1986. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta. 105 hlm.
Nyabekken, J.W. 1986. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Biologi. Penerbit Gramedia,
Jakarta.
Ramelan H.S., 1994. Pembenihan Kepiting Bakau (Scylla serrata). Direktorat Bina
Perbenihan, Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta.
Romimohtarto, K dan S. Juwana. 2005. Biologi Laut Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut.
Djambatan. Jakarta.
Soim, A. 1994. Pembesaran Kepiting. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sunarto, Agus., Rukyani, Akhmad. And Toshiaki Itami. 2005. Indonesian Experience on the
Outbreak of Koi Herpes virus in Koi and Carp (Cyprinus carpio). Bulletin of
Fisheries Research Agency Supplement 2
Susanto, B. M. Marzuki, dan I Setyadi, 2005. Pengamatan Aspek Biologi rajungan
(Portunus pelagicus) dalam menunjang teknik pembenihannya warta penelitian
perikanan Indonesia. 10 (1): 6-11.
Susanto, N. 2010. Perbedaan antara Rajungan dan Kepiting. http://blog.unila.
ac.id/gnugroho/category/bahan-ajar/karsinologi/.
Tanti, Yus., Laksmi, Sulwartiwi. 2010. Teknik Pemeliharaan Benih Rajungan (Portunus
pelagicus). Jurnal Ilmiah perikananan dan kelautan Vol. 2 / No. 1 / Published : 201004. ISSN 2085-5842
Zaidin, M. Z., I. J. Effendy dan K. Sabilu. 2013. Sintasan Larva Rajungan (Portunus
pelagicus) Stadia Megalopa Melalui Kombinasi Pakan Alami Artemia salina dan
Brachionus plicatilis. Jurnal Mina Laut Indonesia. Vol. 01 No. 01: 112121.

Anda mungkin juga menyukai