Anda di halaman 1dari 20

2.

TINJUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Dan Mrofologi Rajungan


Ciri-ciri rajungan terbagi menjadi dua yaitu : rajungan betina punggung
berwarna batik juga tapi hijau kotor, Abdomennya lebar dan ujungnya membulat
agar dapat menampung telur sedangkan rajungan jantan punggungnya berwarna
batik indah, putih di atas dasar biru kecoklat-coklatan Abdomennya sempit,
memanjang dan ujungnya runcing (Sulistiono & Zahid, 2009).
Munurut (Muthmainnah, 2020). Rajungan adalah salah satu anggota
filum Crustacea yang memiliki tubuh beruas-ruas secara taksonomi rajungan
tergolong kedalam :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Crustaceae
Subkelas : Malacostraca
Ordo : Eucaridae
Subordo : Decapoda
Famili : Portunidae
Genus : Portunus
Species : Portunus pelagicus

(a) (b)
Gambar 1. Morfologi Rajungan Keterangan : a. Rajungan jantan b. Rajungan
betina (Muthmainnah, 2020).
walaupun rajungan mempunyai bentuk dan ukuran yang beragam tetapi
seluruhnya mempunyai kesamaan pada bentuk tubuh (Prianto, 2007). ciri morfologi
rajungan mempunyai karapaks berbentuk bulat pipih dengan warna yang sangat
menarik kiri kanan dari karapas terdiri atas duri besar, jumlah duri-duri sisi
belakang matanya 9 buah. Rajungan dapat dibedakan dengan adanya beberapa
tanda-tanda khusus, diantaranya adalah pinggiran depan di belakang mata, rajungan
mempunyai 5 pasang kaki, yang terdiri atas 1 pasang kaki (capit) berfungsi sebagai
pemegang dan memasukkan makanan kedalam mulutnya, 3 pasang kaki sebagai
kaki jalan dan sepasang kaki terakhir mengalami modifikasi menjadi alat renang
yang ujungnya menjadi pipih dan membundar seperti dayung. Oleh sebab itu,
rajungan dimasukan kedalam golongan kepiting berenang (swimming crab) (Jafar,
2011).
Ukuran rajungan antara yang jantan dan betina berbeda pada umur yang
sama; jantan lebih besar dan berwarna lebih cerah serta berpigmen biru terang;
sedangkan betina berwarna sedikit lebih coklat (Mirzads, 2009). Rajungan jantan
mempunyai ukuran tubuh lebih besar dan capitnya lebih panjang daripada betina.
Perbedaan lainnya adalah warna dasar, rajungan jantan berwarna kebiru-biruan
dengan bercak-bercak putih terang, sedangkan betina berwarna dasar kehijau-
hijauan dengan bercak-bercak putih agak suram (Chalim et al., 2017).
Rajungan merupakan hewan karnivora pemakan bangkai rajungan
merupakan hewan karnivora, makanannya berupa ikan, dan binatang invertebrate
(Mustafa & Abdullah, 2013). Cara rajungan mencari makan yaitu dengan
membenamkan tubuhnya di permukaan pasir dan hanya menonjolkan matanya
menunggu ikan dan jenis invertebrate lainnya yang mencoba mendekat untuk di
mangsa (Muliana, 2009).
2.2 Habitat Rajungan
penyebaran rajungan terutama terdapat di daerah estuaria dan pantai di
kawasan Asia dan Pasifik Barat Perikanan Rajungan Indonesia tersebar di seluruh
perairan Indonesia. Produksi terbesar rajungan diperoleh dari WPP 712 yang
meliputi perairan utara Jawa dan perairan timur menyumbangkan produksi rajungan
sekitar 47.49 % dari total produksi rajungan nasional. Sentra produksi rajungan
terbesar selanjutnya yaitu WPP 713 dan WPP 711 (Muawanah et al., 2017).

Di Indo-pasifik Barat diperkirakan terdapat 234 jenis hewan dari suku


Portunidae. Di Indonesia terdapat 124 jenis kepiting dari suku tersebut. Di Teluk
Jakarta dan Pulau-pulau Seribu diperkirakan terdapat 46 jenis. Dari sekian jenis
tersebut, hanya beberapa jenis yang dikenal oleh banyak orang karena bisa
dimakan. Kepiting yang biasanya dimakan adalah kepiting yang memiliki ukuran
agak besar. Jenis kepiting yang tubuhnya berukuran kurang dari 6 cm tidak lazim
dimakan karena tidak memiliki daging yang berarti (Nontji, 2007). Rajungan
(Portunus pelagicus) hidup membenamkan diri dalam pasir di daerah pantai
berlumpur, hutan bakau, batu karang atau terkadang dapat dijumpai sedang
berenang ke permukaan laut. Hewan dewasa memakan moluska, krustasea, ikan
atau bangkai pada malam hari. Larva rajungan bersifat planktonik, berkembang
menjadi dewasa melalui stadia zoea, megalopa dan rajungan dewasa (Widiansyah,
2017).
2.3 Siklus Hidup Rajungan
Rajungan hidup di perairan yang relatif dangkal terutama perairan dengan
karateristik dasar lumpur berpasir di sekitar pantai (Panggabean & Pane, 2018).
Rajungan termasuk dalam kelompok kepiting perenang (Portunidae) yang
merupakan bagian Krustase dari kelas Malacostraca dan ordo (Kembaren et al.,
2016).
Rajungan (Portunus pelagicus, Linnaeus, 1758) merupakan populasi
krustasea yang memiliki habitat alami di laut. Rajungan melakukan migrasi
ontogeni karena ada perpindahan habitat yangdilakukannya sepanjang
metamorfosis daur hidupnya sejak fase telur yang dilepas ke perairan, hingga larva,
juvenil, dan rajungan dewasa. rajungan jantan yang matang melepaskan
cangkangnya (moulting) beberapa minggu sebelum periode moulting betina.
Rajungan jantan membawa seekor betina yang dijepit di bawahnya (coupling)
selama 4-10 hari sebelum betina moulting. Perkawinan terjadi setelah betina
moulting dan ketika cangkangnya masih lunak. Sperma disimpan secara internal
dalam spermatheca tetapi pembuahan terjadi secara eksternal. Telur-telur yang
telah dibuahi diletakkan dalam bagian abdomennya dan memiliki bentuk seperti
busa atau spons. Rajungan betina yang menggendong telur-telurnya yang telah
dibuahi diistilahkan dengan sponge crab. Telur pada ovigerous female yang masih
muda berwarna oranye dan secara bertahap berubah menjadi coklat dan hitam.
Telur-telur yang bersifat planktonis menetas antara tengah malam sampai pagi
setelah sekitar 15 hari pada suhu 24°C. Selama fase larva rajungan dapat terhanyut
sejauh 80 km ke laut sebelum kembali menetap pada perairan dangkal di dekat
pantai. Zoea memiliki ukuran mikroskopik dan bergerak di dalam air sesuai dengan
pergerakan arus air. Setelah enam atau tujuh kali moulting, zoea berubah menjadi
bentuk post-larva yang dikenal sebagai megalopa yang memiliki bentuk mirip
rajungan dewasa. Sebagian besar megalopa bersifat planktonis dan dipengaruhi
oleh sirkulasi arus di dasar perairan hingga akhirnya menetap (settle) pada ukuran
lebar karapas sekitar 15 mm dan bermetamorfosis menjadi juvenil, serta bergerak
ke perairan lebih dalam untuk tumbuh dan matang. Jantan dan betina umumnya
mencapai kematangan kelamin pada ukuran lebar karapas 70-90 mm, ketika
umurnya mendekati satu tahun (Afifah et al., 2017)

Rajungan
muda
Estuarin bermigrasi Laut
ke estuarin terbuka
Megalop
a
Rajungan
dewasa
Zoea

Pelepas
an

Gambar 2. Siklus hidup rajungan dan habitatnya (Afifah et al., 2017).

2.4 Aspek Biologi Rajungan


2.4.1 Hubungan Lebar Bobot
Pertumbuhan dapat diartikan sebagai pertambahan dari ukuran lebar
karapas atau bobot tubuh dalam periode waktu tertentu. Pertumbuhan
merupakan suatu indikator yang baik untuk melihat kondisi kesehatan
individu, populasi, dan lingkungan. Pertumbuhan dipengaruhi faktor internal
dan faktor eksternal (Asnidar et al., 2018).
Penurunan potensi sumberdaya rajungan (Portunus pelagicus) di beberapa
perairan Indonesia mulai memprihatinkan hal tersebut dapat dihindari dengan
memahami faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh pada sumberdaya
rajungan Faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu jumlah makanan
yang tersedia dan kualitas air. Faktor internal yang mempengaruhi pertumbuhan
adalah keturunan, jenis kelamin, umur, dan penyakit (Hidayah et al., 2019).
2.4.2 Ukuran Pertama Kali Tertangkap (Lc)
Pengukuran morfometri dan pengamatan TKG yang diambil 10% dari total
tangkapan rajungan dapat mengetahui ukuran petama kali tertangkap. Ukuran
ratarata rajungan tertangkap diperoleh dengan mencari nilai rata-rata 50% yang
menandakan ukuran tengah rajungan yang tertangkap. Nilai Lc 50% diperoleh
dengan memplotkan presentase frekuensi kumulatif rajungan yang tertangkap
dengan ukuran lebar totalnya (V P Ningrum et al., 2015)
2.4.3 Ukuran Pertama Kali Matang Gonat (Lm)
Ukuran rajungan saat pertama kali matang gonad (Lm50%) penting
diketahui dalam kaitannya untuk pengelolaan sumberdaya rajungan. Ukuran saat
pertama kali dewasa dan matang gonad pada rajungan berbeda-beda tergantung dari
lokasi pada masing-masing habitat. Berdasarkan ukuran diameter oosit, rajungan
(Portunus pelagicus) memiliki empat tingkat kematangan gonad yaitu diawali saat
pertama kali belum adanya tanda perkembangan secara makroskopis pada gonad,
selanjutnya gonad belum masak (immature), kemudian gonad menjelang matang
(maturing) dan akhirnya telur masak (mature). Tingkat perkembangan gonad saat
telur berada pada abdomen induk (ovigerous) juga dapat ditentukan berdasarkan
perubahan warna yang terjadi pada telur dan muncul tidaknya bagian mata pada
telur (Valentina Pristya Ningrum et al., 2015).
2.5 Aspek Reproduksi
2.5.1 Nisbah Kelamin (Sex Ratio)
Nisbah kelamin merupakan perbandingan antara jumlah rajungan jantan
dan betina dalam suatu populasi dan penting diketahui karena berpengaruh terhadap
kestabilan populasi rajungan pada suatu perairan. Perbedaan komposisi rajungan
jantan dan betina pada suatu perairan diduga disebabkan oleh adanya perbedaan
perilaku individu rajungan, aktifitas penangkapan, mortalitas dan rekruitmen di
alam. Variasi nisbah kelamin rajungan salah satunya disebabkan oleh migrasi
rajungan betina pada beberapa periode dalam satu tahun. Migrasi rajungan betina
dipengaruhi oleh proses pemijahan dan penetasan telur yang membutuhkan kadar
salinitas perairan yang lebih tinggi ( Tharieq et al., 2020).
Menurut (Tuhuteru & Chodrijah, 2018) untuk mengetahui keseimbangan
nisbah kelamin menggunakan uji Chi-Square. Pada selang kepercayaan 95%
dibandingkan antara X2 hitung dengan Xtabel kemudian keputusan yang diambil
untuk mengetahui keseimbangan nisbah kelamin yaitu : X2 hitung > Xtabel :
Nisbah kelamin jantan dan betina tidak seimbang; X2 hitung < Xtabel : Nisbah
kelamin jantan dan betina seimbang; X2 hitung = Xtabel : Nisbah kelamin jantan
dan betina seimbang (Tirtadanu, 2018).

Gambar 3 . Penentuan Jenis Kelamin Rajungan berdasarkan Bentuk


(Simanjuntak, 2017)
2.5.2 Tingkat Kematangan Gonad (TKG)
kematangan gonad (TKG) merupakan aspek penting dalam biologi
reproduksi rajungan, Portunus pelagicus (Arshad et al., 2006). Menentukan
TKG rajungan diamati dengan membuka karapasnya. TKG tersebut
dikategorikan kedalam lima kelas yang dibedakan berdasarkan bentuk,
ukuran dan warna gonad mengikuti prosedur yang diadaptasi (Costa &
Negreiros-Fransozo, 1998) & (Sumpton et al., 1994) dalam (Basri et al., 2014)

Tabel 1. Tingkat perkembangan gonad rajungan betima dan jantan (Costa &
Negreiros Fransozo, 1998) & (Sumpton et al., 1994) dalam (Basri et
al., 2014)
TKG Ciri

I Bentuk gonad betina memanjang tipis, agak lunak berwarna putih susu
atau kuning pucat, sedangkan gonad jantan terdiri dari sepasang
filamen putih yang jernih atau putih susu.
II Ukuran ovarium bertambah, warna kuning keemasan, butir telur belum
kelihatan, sedang gonad jantan ukurannya bertambah besar dan
berwarna putih susu atau kuning muda.
III Volume ovarium hampir mengisi seluruh dada (chepalotorax),
berwarna semakin kuning, butir telur mulai terlihat namun masih
dilapisi oleh kelenjar minyak, sementara pada jantan gonadnya
memanjang, hampir memenuhi ruang bagian punggung, berwarna putih
pucat terkadang berwarna coklat muda
IV Butiran telur berwarna jingga (orange) dan mudah dipisahkan, lapisan
minyak sudah berkurang, sementara jantan, gonadnya menyelubungi
saluran pencernaan dan berwarna putih susu kekuningan.
V Ovarium mulai mengecil, butiran telur sangat banyak terlihat pada
bagian abdomen. Di sekitar hepatopankreas masih tampak butir telur
yang tidak dikeluarkan, sedang pada jantan, gonadnya berwarna kuning
kecoklatan, coklat tua atau coklat kehitaman dan menciut ke bagian
koksopodit.
(A)

(B) (C)
Gambar 4. Rajungan betina mengerami telur berwarna kuning (A), oranye (B) dan
coklat muda (C)((Hamid et al., 2015)

2.6 Aspek perikanan


2.6.1 Alat tangkap
Teknologi penangkapan ikan dengan menggunakan bubu banyak
dilakukan di hampir seluruh dunia mulai dari skala kecil, menengah sampai dengan
skala besar Alat tangkap bubu lipat rajungan termasuk ke dalam alat tangkap
perangkap (trap) menggunakan kapal berbahan kayu, dimensi kapal dengan
panjang 10,2 m, lebar 2,8 m, dan dalam 1,1 m, menggunakan mesin 20 PK
merk Dongfeng dengan jumlah awak kapal 5 orang (Prihatiningsih & Wagiyo,
2017). Bubu lipat rajungan termasuk perikanan bubu skala kecil dengan
bentuk segi empat terdiri dari rangka, badan dan pintu masuk (Martasuganda,
2008).
2.6.2 Daerah dan musim penangkapan
Pola musim rajungan dipengaruhi oleh jumlah rekruitmen yang dihasilkan
oleh setiap individu rajungan di daerah penangkapan. Setiap daerah penangkapan
rajungan tidak ada yang bersifat tetap, selalu berubah, pergeseran dan berpindah
mengikuti pergerakan kondisi lingkungan, yang secara alamiah rajungan akan
memilih habitat yang lebih sesuai (Wiyono et al., 2014).
Kondisi lingkungan perairan dapat mempengaruhi pola kehidupan
rajungan daerah penangkapan rajungan (fishing ground) dapat diprediksi dengan
mengetahui parameter oseanografi seperti kedalaman, arus, salinitas dan suhu
perairan yang mempengaruhinya (Ekawati et al., 2019). Menurut (Ernawati, 2013)
intensitas cahaya optimum yang masuk ke perairan lebih dalam hingga dasar
perairan akan memudahkan rajungan untuk mencari makan karena rajungan
umumnya bersifat nokturnal, aktif pada malam hari terutama untuk mencari makan.
2.6.3 Komposisi hasil tangkap
Hasil tangkapan sampingan adalah bagian dari hasil tangkapan yang terdiri
dari organisme laut yang bukan merupakan target penangkapan utama (Rainaldi et
al., 2017). Hasil tangkapan sampingan dapat memberikan informasi tentang
produktivitas alat tangkap (Wahju & Riyanto, 2017).
Hasil tangkapan yang diutamakan adalah rajungan dari famili Portunidae,
tetapi terdapat juga jenis-jenis lain yang juga tertangkap (bycatch), yang sebagian
dimanfaatkan (useable) dan sebagian lain dibuang ke laut (discarded). Hasil
tangkapan yang ditemukan menunjukkan bahwa sumberdaya ikan di perairan
beragam (Ferdiansyah et al., 2017).
2.7 Konsep pengelolaan dan pemanfaatan perikanan rajungan
2.7.1 Pengertian dan teknik-teknik pengelolaan
Pengelolaan perikanan dalam konteks adopsi hukum berdasarkan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang
ditegaskan kembali pada perbaikan undangundang yaitu Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 45 Tahun 2009, didefinisikan sebagai semua upaya, termasuk
proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan,
konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta
penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan
(Mardyani et al., 2019).
dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk
mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan
yang telah disepakati (Budiarto et al., 2015). Pengelolaan perikanan menyangkut
berbagai tugas yang kompleks yang bertujuan untuk menjamin adanya hasil dari
sumber daya alam yang optimal bagi masyarakat setempat, daerah dan negara, yang
diperoleh dari memanfaatkan sumber daya ikan secara berkelanjutan (Jamilah &
Mawardati, 2019).
2.7.2 Landasan pengelolaan
pengelolaan sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi
yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu (1) dimensi sumberdaya perikanan dan
ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan
sosial ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan perikanan itu sendiri
(Charles & Anthony, 2001). Terkait dengan tiga dimensi tersebut, pengelolaan
perikanan saat ini masih belum mempertimbangkan keseimbangan ketiganya, di
mana kepentingan pemanfaatan untuk kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat
dirasakan lebih besar dibanding dengan misalnya kesehatan ekosistemnya (Budiarto
et al ., 2015).
Dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan sumber daya perikanan,
Menteri Kelautan dan Perikanan melalui Pasal 7(1) Undang-undang No. 31 Tahun
2004 jo UU No. 45 Tahun 2009 wajib menetapkan potensi dan alokasi sumberdaya
ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia (Suman et al., 2017).
Kondisi yang sama terjadi pada penangkapan rajungan di seluruh perairan
Indonesia,yaitu 63% dalam kondisi overfishing sehingga perlu dilakukan
pengelolaan (Lakudo et al., 2017). Dalam menyusun strategi pengelolaan rajungan
pada suatu perairan diantaranya harus didasarkan pada data ekobiologi rajungan
yang meliputi data kondisi habitat, biologi reproduksi dan dinamika populasi
rajungan (Arshad et al., 2006).
2.7.3 Pengelolaan sumberdaya rajungan
Ada 3 unsur utama yang memegang peranan penting dalam pengelolaan
rajungan yakni pemerintah, swasta, dan masyarakat nelayan. Dalam kasat mata,
pemerintah dan swasta dominan terhadap masyarakat nelayan, namun
sesungguhnya ketiga unsur ini saling berkompetisi dalam hal akses dan kontrol
sumberdaya, penerapan kebijakan dan kekuasaan, serta dalam mewujudkan
kepentingan-kepentingan (Abidin et al., 2014).
Secara kasat mata dapat dilihat bahwa pihak pemerintah dan pihak swasta
yang menguasai pengelolaan dari rajungan, namun sebenarnya pihak nelayan pun
juga memiliki kewenangan yang sama (Kusuma & Dewi, 2017). Ketiga unsur
tersebut saling berkompetisi dalam penggunaan akses penangkapan dan kebijakan,
serta pemenuhan akses-akses pribadi yang lebih mengarah kepada menguasai
sumber daya rajuangan. Di mana kemudian muncul sebuah politisasi yang
membuat dua kemungkinan pada ketiga unsur tersebut yaitu adanya perselisihan
dan adanya kolaborasi. Namun kolaborasi lebih dibutuhkan dari ketiga unsur
tersebut yang akan bersinergi dan saling menguntungkan (Abidin et al., 2014).
2.7.4 Pemanfaatan sumberdaya rajungan
Prinsip pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan juga telah
diamanatkan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang
Perikanan, yang menyatakan dengan tegas bahwa pengelolaan perikanan ditujukan
untuk tercapainnya manfaat yang optimal dan berkelanjutan serta terjaminnya
kelestarian sumber daya (Chotib, 2017). Tingkat pemanfaatan potensi perikanan
khususnya rajungan akan berpengaruh terhadap kelestarian stok. Apabila tingkat
pemanfaatan masih di bawah potensi sumberdaya yang ada tidak akan banyak
berpengaruh terhadap ketersediaan stok (Wijayanto & Yulianto, 2014). Apa bila
tingkat pemanfaatan masih di bawah potensi sumberdaya yang ada tidak akan
banyak berpengaruh terhadap ketersediaan stok namun apabila tingkat pemanfaatan
melebihi potensi yang ada maka akan membahayakan kelestarian stok (Muhsoni &
Abida, 2009).
Pada kegiatan pemanfaatan sumberdaya rajungan khususnya untuk
keperluan usaha terdapat faktor yang harus diperhatikan, diantaranya adalah
ketersediaannya sumberdaya rajungan yang dapat di manfaatkan (Salim &
Febrianto, 2020). Hal ini didasari dengan, bahwa pengelolaan sumberdaya
perikanan adalah bagaimana kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan, sehingga
memberikan manfaat secara ekonomi yang tinggi namun tetap menjaga kelestarian
dari sumberdaya ikan tersebut (Hakim et al., 2014).
2.7.5 Upaya alat tangkap
Data Kementrian Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa potensi
lestari rajungan yang bisa dimanfaatkan diperkirakan sebesar 7,2 juta ton/tahun, dan
yang sudah termanfaatkan baru sekitar 40% atau 2,7 juta ton/tahun, namun
kenyataannyasaat ini effort untuk penangkapan rajungan semakin tinggi dan jumlah
2penangkapan yang semakin berkurang (Prabawa et al., 2014). Pemanfaatan
rajungan umumnya dilakukan oleh perikanan skala kecil, yang mana kegiatan
penangkapan dilakukan dengan perahu yang berukuran kurang dari 5 GT
(Nugraheni et al., 2015).
2.7.6 Pembatasan ukuran rajungan
Semakin tingginya permintaan akan rajungan untuk diekspor membuat
eksistensi dari rajungan menjadi semakin menurun. Hal tersebut yang membuat
pemerintah membuat kebijakan yang dituangkan dalam PERMEN-KP No. 1 Tahun
2015 yang berisi tentang larangan penangkapan lobster (Panulirus spp.), kepiting
(Scylla spp.), dan rajungan (Portunus palagicus spp.) (Fajari et al., 2016).
Perlu adanya informasi mengenai ukuran dan kondisi rajungan yang ada di
Sambiroto sebagai pemantau kondisi populasi rajungan sekarang. Kementrian
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. 01/PERMEN-KP/2015, tanggal 6
januari 2015, mengatur tentang ukuran tangkap rajungan (Portunus pelagicus)
diperbolehkan hanya pada ukuran lebar karapas di atas 10 cm dan rajungan tidak
sedang bertelur. Kegiatan penangkapan rajungan yang demikian tersebut
diharapkan dapat memberikan keberlanjutan sumberdaya rajungan (Wahyu et al.,
2020).

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z., Bambang, A. N., & Wijayanto, D. (2014). Manajemen Kolaboratif Untuk

Introduksi Pengelolaan Rajungan Yang Berkelanjutan DI Desa Betahwalang,


Demak. Journal OF Fisheries Resources Utilization Management AND

Technology, 3(4), 29-36.

Afifah, N., Bengen, D. G., Sunuddin, A., & Agus, S. B. (2017). Afifah, N., Bengen, D.

G., Sunuddin, A., & Agus, S. B. (2017). Morfometri Dan Sebaran Ukuran

Rajungan (Portunus Pelagicus, Linnaeus, 1758) Di Perairan Pulau Lancang,

Kepulauan Seribu. Prosiding Pusat Riset Perikanan, 31–44.

Arshad, A., Efrizal, M. S., Kamarudin, C. R., & Saad. (2006). Study on fecundity,

embryology and larval development of blue swimming crab Portunus pelagicus

(Linnaeus, 1758) under laboratory conditions. Res.J.Fish.& Hydrobiol.

Asnidar, S., Viruly, L., & Raza’i, T. S. (2018). Lebar Berat Dan Mortalitas Pada

Tempat Pendaratan Ikan Di Desa Kawal Kabupaten Bintan. Departemen

Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan, Ipb.

Bogor.

Basri, M. I., Sara, L., & Yusnaini, Y. (2014). Aspek Biologi Reproduksi Sebagai Dasar

Pengelolaan Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus, Linn 1758) di Perairan

Toronipa, Konawe. JSIPi (Jurnal Sains dan Inovasi Perikanan)(Journal of

Fishery Science and Innovation), 1(2).

Budiarto, A., Adrianto, L., & Kamal, M. (2015). Status pengelolaan perikanan rajungan

(Portunus pelagicus) dengan pendekatan ekosistem di Laut Jawa (WPPNRI

712). Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia, 7(1), 9-24.

Chalim, M. A., Budiman, J., & Reppie, E. (2017). Pengaruh bentuk bubu terhadap hasil

tangkapan rajungan portunus pelagicus di perairan pantai Desa Kema tiga

Kabupaten Minahasa Utara Provinsi Sulawesi Utara (The effect of pots shape
toward the catch of swimming crab in coastal waters Kema Tiga Village). Jurnal

Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap, 2(5).

Charles, P., & Anthony, T. (2001). Sustainable fishery system. Blackwell Scientific

Publications. Oxford. UK. 370.

Chotib, A. (2017). Perlindungan Sumber Daya Perikanan Untuk Menjamin

Terwujudnya Pembangunan Perikanan Berkelanjutan (Studi Terhadap

Pelaksanaan Perlindungan Lobster, Kepiting DAN Rajungan Berdasarkan

Peraturan Menteri Kelautan DAN Perikanan Nomor 1/Men-Kp/2015

TENTANG Penangkapan Lobster, Kepiting DAN Rajungan) Di Kabupaten

Jepara. (Doctoral DISSERTATION, Fakultas Hukum Unissula.

Ekawati, A. K., Adrianto, L., & Zairion, Z. (2019). PENGELOLAAN PERIKANAN

RAJUNGAN (Portunus pelagicus) BERDASARKAN ANALISIS SPASIAL

DAN TEMPORAL BIOEKONOMI DI PERAIRAN PESISIR TIMUR

LAMPUNG. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia, 11(1), 65-74.

Ernawati, T. (2013). Dinamika populasi dan pengkajian stok sumberdaya rajungan

(Portunus pelagicus Linnaeus) di perairan Kabupaten Pati dan sekitarnya [tesis].

Sekolah Pascasarjana. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Fajari, Z., Soemarmi, A., & Hananto, U. D. (2016). Pelaksanaan Peraturan Menteri

Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 Tentang

Penangkapan Lobster (Panulirus Spp), Kepiting (Scylla Spp), Dan Rajungan

(Portunus Pelagicus Spp) Sebagai Upaya Pelestarian Sumber Daya Hayati Laut.

Diponegoro Law Journal, 5(2), 1-15.

Ferdiansyah, M. R., Asriyanto, A., & Rosyid, A. (2017). Perbandinganhasil Tangkapan

Bubu Lipat Kotak dengan Bubu Lipat Kubah Terhadap Hasil Tangkapan
Rajungan (Portunus pelagicus) Di Perairan Rembang, Jawa Tengah. Jurnal

Perikanan Tangkap: Indonesian Journal of Capture Fisheries, 1(01).

Hakim, L. L., Anna, Z., & Junianto, J. (2014). Analisis Bioekonomi Sumber Daya Ikan

Tenggiri (Scomberomorus Commerson) Di Perairan Kabupaten Indramayu Jawa

Barat. Jurnal Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan, 4(2), 117-127.

Hamid, A., Wardiatno, Y., Batu, D. T. L., & Riani, E. (2015). Fekunditas Dan Tingkat

Kematangan Gonad Rajungan (Portunus Pelagicus) Betina Mengerami Telur Di

Teluk Lasongko. Bawal Widya Riset Perikanan Tangkap. 7(1) : 43-50.

Hidayah, U. N., Partikto, I., & Irwani, I. (2019). Biologi Portunus pelagicus, Linnaeus,

1758 (Malacostraca: Portunidae) dari Perairan Jepara Ditinjau dari Distribusi

Ukuran, Tingkat Kematangan Gonad, dan Pertumbuhan. Journal of Marine

Research, 8(3), 223-228.

Jafar, L. (2011). Perikanan Rajungan di Desa Mattiro Bombang (Pulau Salemo,

Sabangko dan Sagara) Kabupaten Pangkep. Skripsi tidak diterbitkan. Makassar:

Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan Universitas Hasanuddin.

Jamilah, J., & Mawardati, M. (2019). Hubungan Tingkat Kemiskinan dengan

Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Tangkap pada Kawasan Minapolitan.

Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, 3(2), 336-347.

Kembaren, D. D., Ernawati, S., & Suprapto, S. (2016). BIOLOGI DAN PARAMETER

POPULASI RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI PERAIRAN BONE DAN

SEKITARNYA. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 18(4), 273-281.

Kusuma, B. T., & Dewi, D. M. (2017). PERAN KEBIJAKAN DAN LEMBAGA

PERIKANAN DALAM PENGELOLAAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus)


SEHINGGA MENJADI PERIKANAN YANG BERKELANJUTAN.

PROSIDING PUSAT RISET PERIKANAN, 67-77.

Lakudo, A. H., Wardiatno, Y. W., Batu, D. T. L., & Riani, E. R. (2017). Pengelolaan

Rajungan (Portunus Pelagicus) Yang Berkelanjutan Berdasarkan Aspek

Bioekologi Di Teluk Lasongko, Sulawesi Tenggara. Jurnal Kebijakan Perikanan

Indonesia, 9(1), 41-50.

Mardyani, Y., Kurnia, R., & Adrianto, L. (2019). Status Pengelolaan Perikanan Skala

Kecil Berbasis Zonasi di Wilayah Perairan Kabupaten Bangka. . Jurnal

Kebijakan Perikanan Indonesia, 11(2), 125-137.

Martasuganda, S. (2008). Cambria (Body) Teknologi Penangkapan Ikan Berwawasan

Lingkungan. Departemen Pemanfaatan dan Sumber Daya Perikanan dan Pusat

Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Mirzads, R. (2009). Pengemasan Daging Rajungan Pasteurisasi dalam Kaleng.

Http://mirzads.wordpress.com/2009/02/12/ pengemasan-dagingrajungan-

pasteurisasi-dalam-kaleng/. (Akses 11 Juni 2010).

Muawanah, U., Huda, H. M., & Koeshendrajana, S. (2017). Keberlanjutan Perikanan

Rajungan Indonesia: Pendekatan Model Bioekonomi Sustainability Of

Indonesian Blue Swimming Crabs. The Bioeconomic Model Approach.

Muhsoni, F. F., & Abida, I. W. (2009). Analisis potensi rajungan (Portunus pelagicus)

di Perairan Bangkalan-Madura. Jurnal Embryo, 6(2), 140-47.

Muliana, R. (2009). Stock assesment of portunus crab (Portunus pelagicus). Landed on

Pengudang village of Bintan Diskiet.

Mustafa, A., & Abdullah, A. (2013). Strategi Pengaturan Penangkapan Berbasis

Populasi dengan Alat Tangkap Bubu Rangkai pada Perikanan Rajungan: Studi
Kasus di Perairan Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara. AQUASAINS: Jurnal

Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan, 2(1), 45-52.

Muthmainnah, M. (2020). PENGARUH BERBAGAI WARNA WADAH

PEMELIHARAAN TERHADAP LAJU PEMANGSAAN PAKAN DAN

SINTASAN LARVA RAJUNGAN (Portunus pelagicus). Doctoral dissertation,

Universitas Hasanuddin.

Ningrum, V P, Ghofar, A., & Ain, C. (2015). Beberapa Aspek Biologi Perikanan

Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Betahwalang Dan Sekitarnya.

Indonesian Journal of Fisheries Science and Technology. 11(1) : 62-71.

Ningrum, Valentina Pristya, Ghofar, A., & Ain, C. (2015). BEBERAPA ASPEK

BIOLOGI PERIKANAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI PERAIRAN

BETAHWALANG DAN SEKITARNYA Biological Aspects of Blue Swimmer

Crab (Portunus pelagicus) in Betahwalang Waters and Around. Saintek

Perikanan: Indonesian Journal of Fisheries Science and Technology, 11(1), 62–

71.

Nontji, A. (2007). Ocean Of Nusantara. Djambatan, Jakarta.[Indonesia].

Nugraheni, D. I., Fahrudin, A., & Yonvitner, T. (2015). Variasi Ukuran Lebar Karapas

dan Kelimpahan Rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus) di Perairan Kabupaten

Pati. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 7(2337), 493–510.

https://doi.org/10.14710/ik.ijms.20.2.87-100.

Panggabean, A. S., & Pane, A. R. P. (2018). Panggabean, A. S., & Pane, A. R. P.

(2018). Dinamika populasi dan tingkat pemanfaatan rajungan (Portunus

pelagicus Linnaeus, 1758) di Perairan Teluk Jakarta. Jurnal Penelitian Perikanan

Indonesia, 24(1), 73-85.


Prabawa, A., Riani, E., & Wardianto, Y. (2014). Pengaruh Pencemaran Logam Berat

Terhadap Struktur Populasi dan Organ Tubuh Rajungan. (Portunus pelagicus,

LINN). 4(1), 17–23.

Prianto, E. (2007). Peran Kepiting Sebagai Spesies Kunci (Keystone Spesies) pada

Ekosistem Mangrove. In Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia IV. Balai

Riset Perikanan Perairan Umum. Banyuasin.

Prihatiningsih, P., & Wagiyo, K. (2017). Sumber daya rajungan (Portunus pelagicus) di

perairan Tangerang. BAWAL Widya Riset Perikanan Tangkap, 2(6), 273-282.

Rainaldi, B., Zamdial, Z., & Hartono, D. (2017). Komposisi Hasil Tangkapan

Sampingan (Bycatch) Perikanan Pukat Udang Skala Kecil Di Perairan Laut

Pasar Bantal Kabupaten Mukomuko. Jurnal Enggano, 2(1), 101– 114.

Salim, K., & Febrianto, A. (2020). Analisis Strategi Pengembangan Perikanan Rajungan

Di Pantai Puding Bangka Selatan. Akuatik: Jurnal Sumberdaya Perairan, 14(1),

9-18.

Simanjuntak, A. T. (2017). Analisis Sebaran Lebar Karapas Dan Proporsi Bef (Berried

Egg Female) Rajungan, Portunus Pelagicus (Linn, 1758) Yang Tertangkap Di

Pantai Timur Lampung. Jurnal Perikanan Dan Ilmu Kelautan,.

Sulistiono, T. N., & Zahid, M. (2009). Ekobiologi Dan Potensi Pengembangan

Perikanan Rajungan Indonesia. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan, Ipb. Bogor.

Suman, A., Irianto, H. E., Satria, F., & Amri, K. (2017). Potensi dan Tingkat

Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara

Republik Indonesia (WPP NRI) Tahun 2015 serta Opsi Pengelolaannya. Jurnal

Kebijakan Perikanan Indonesia. 8(2) : 97–100.


Tharieq, M., Sunaryo, S., & Santoso, A. (2020). Aspek Morfometri Dan Tingkat

Kematangan Gonad Rajungan (Portunus Pelagicus) Linnaeus, 1758

(Malacostraca: Portunidae) Di Perairan Betahwalang Demak. . Journal Of

Marine Research, 9(1), 25–34.

Tirtadanu, T. (2018). ). PARAMETER POPULASI DAN TINGKAT

PEMANFAATAN KEPITING BAKAU (Scylla serrata Forsskal, 1775) DI

PERAIRAN SEBATIK, KALIMANTAN UTARA. Jurnal Penelitian Perikanan

Indonesia, 24(3), 187-196.

Wahju, R. I., & Riyanto, M. (2017). . Komposisi hasil tangkapan dan ukuran lobster

dengan jaring insang di perairan Kabupaten Aceh Jaya. ALBACORE, 1(2).

Wahyu, R., Taufiq-SPJ, N., & Redjeki, S. (2020). Hubungan Lebar Karapas dan Berat

Rajungan Portunus pelagicus, Linnaeus, 1758 (Malacostraca: Portunidae) di

Perairan Sambiroto Pati, Jawa Tengah. Journal of Marine Research, 9(1), 18-24.

Widiansyah, E. (2017). Pengaruh Lama Fermentasi Limbah Cangkang Rajungan

(Portunus Pelagicius) Oleh Lactobacillus Acidophilus Dilanjutkan Dengan

Sacharomyces Cerevisiae Terhadap Kandungan Protein. (The Effect Of Long

Fermentation By Lactobacillus Acidophilus Continued With Sacharomyces

Cerevisiae On Flower Crab (Portunus Pelagicius) Shell Waste On Content Of

Protein) [Phd Thesis]. Undip.

Wijayanto, D., & Yulianto, T. (2014). Analisis Potensi Tangkap Sumberdaya Rajungan

(Blue Swimming Crab) di Perairan Demak. Journal of Fisheries Resources

Utilization Management and Technology, 3(3), 248-256.

Wiyono, E. S., Wisudo, S. H., & Haluan, J. (2014). POLA MUSIM DAN DAERAH

PENANGKAPAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI PERAIRAN


KABUPATEN PANGKEP (Season And Patterns of Catching Swimming Crab

(Portunus pelagicus) in Pangkep Waters Regency). Marine Fisheries: Journal of

Marine Fisheries Technology and Management, 5(2), 193-200.

Anda mungkin juga menyukai