: Chordata
Sub Phylum
: Vertebrata
Super Class
: Gnathostomata
Classis
: Teleostei
Sub Class
: Actynopterigii
Order
: Anguilliformes
Sub Order
: Anguillidaei
Famili
: Anguillidae
Genus
: Anguilla
Spesies
: Anguilla sp.
Dilihat dari morfologinya, ikan Sidat berbeda dengan jenis-jenis ikan air
tawar dan laut pada umumnya. Namun demikian, Sidat juga memiliki kepala,
perut, dan ekor. Tubuhnya memanjang dengan perbandingan antara panjang dan
tinggi, kepala Sidat berbentuk segitiga, memiliki mata, hidung, mulut, dan tutup
insang. Mata Sidat sangat kecil, bulat, dan berwarna hitam. Fungsi mata sebagai
alat untuk melihat. Mata Sidat tidak tahan terhadap sinar matahari langsung
karena Sidat termasuk binatang malam (nocturnal). Oleh sebab itu, tempat
pemeliharaan Sidat-terutama pada tahap pendederan-harus diberi peneduh
berwarna hitam. Lubang hidung Sidat sangat kecil. Hidung berfungsi sebagai alat
bernafas. Mulut Sidat cukup besar dan membelah secara horizontal hampir
keseluruhan bagian kepala. Mulut berfungsi sebagai alat untuk mengambil
makanan. Tutup insang ada dibagian bawah kepala, atau di depan sirip dada
(Sasongko dkk, 2007). Adapun gambar ikan Sidat dapat dilihat pada Gambar 1.
Sidat berbeda dengan ikan lain. Kebanyakan ikan hanya hidup di air tawar
atau hanya hidup di air laut, tetapi Sidat bisa hidup dikedua tempat itu
(Euryhaline). Sifat itu juga dimiliki juga ikan Salmon. Namun, ikan Salmon tidak
memijah di air laut, tetapi di air tawar sehingga penyebaran benih ikan Salmon
tidak seluas ikan Sidat. Sementara Sidat memijah di air laut dan benihnya akan
dengan mudah menyebar kesegala penjuru daratan karena semua daratan
Indonesia sangat penting untuk menjawab pola penyebaran ikan Sidat dunia
(Fahmi dan Hirnawati, 2010).
2.1.4
Siklus Hidup
Sidat dijuluki deep sea eel, karena binatang ini bisa hidup di laut dalam.
Hidupnya mengalami enam fase, yaitu telur, preleptocephale, leptocephale, glass
eel, elver, dewasa, dan induk. Sidat juga dijuluki ikan katadromus, yaitu ikan
yang dewasa berada di hulu sungai atau danau, tetapi bila matang gonad akan
beruaya ke laut lepas dan memijah disana. Perjalanan menelusuri sungai agar
sampai di laut lepas tentu membutuhkan waktu yang cukup lama karena jarak
antara hulu sungai dan laut lepas sangat jauh (Sasongko dkk, 2007).
Telur-telur yang dikeluarkan oleh induk Sidat melayang di dalam air sebab
mempunyai sifat planktonis. Jika tidak dimangsa oleh predator, kurang lebih 24
jam hingga 10 hari sejak dibuahi, telur Sidat akan segera menetas sedangkan yang
gagal menetas akan tenggelam ke dasar perairan. Larva Sidat yang baru menetas
terkenal dengan nama leptocephalus (Liviawaty dan Afrianto, 2005).
Pada saat memasuki perairan tawar, terjadi perubahan bentuk tubuh Sidat
(Leptocephalus) yang berbentuk pipih dan transparan menjadi elver (Sidat kecil)
yang tubuhnya berbentuk silinder. Elver yang berhasil mengatasi semua hambatan
akan hidup di air tawar dan tumbuh menjadi dewasa. Setelah mencapai matang
kelamin, Sidat dewasa secara naluri akan berusaha kembali ke laut dalam untuk
melakukan aktivitas pemijahan (Liviawaty dan Afrianto, 2005).
2.1.5
2.2.2
Pembesaran
Pembesaran adalah proses budidaya ikan Sidat dari fingerling (ukuran berat
10 gram dan panjang total 10 cm) hingga ukuran konsumsi. Sidat konsumsi
yang laku dipasaran berukuran antara 250-300 gram atau lebih (Ndobe, 2010).
Berikut adalah tahapan pembesaran ikan Sidat mulai dari persiapan wadah
budidaya hingga panen.
a. Persiapan Wadah Budidaya
Untuk pemeliharaan pembesaran ikan Sidat dapat menggunakan bak beton,
bak fiber, kolam beton, kolam tanah yang pinggiranya dilapisi belahan bambu dan
juga dapat dipelihara pada keramba jaring apung (Affandi dan Suhenda, 2003).
Luas kolam pembesaran bervariasi, tergantung pada tingkat pengelolaannya.
Pada awalnya kolam pembesaran banyak dikelola secara ekstensif sehingga dibuat
oleh petani dengan ukuran 6.000 m2 sampai 10.000 m2 atau lebih dengan
kedalaman air kolam rata-rata 100 cm. Tetapi saat ini cenderung mengarah kolam
yang lebih kecil (1.000 m2 sampai 3.000 m2) karena penanganannya lebih mudah
(Liviawaty dan Afrianto, 2005).
Kolam budidaya harus dilengkapi dengan tempat berlindung (shelter) ikan
Sidat yang ditempatkan di dalam kolam. Disamping itu juga harus dilengkapi
dengan wadah pakan yang mengapung yang diletakkan pada tempat gelap yang
dibangun di tepian kolam (Affandi dan Suhenda, 2003).
Membesarkan benih Sidat (fingerling) untuk memperoleh ukuran konsumsi
bisa juga dilakukan di kolam air deras atau kolam air mengalir. Hanya saja
volume air harus tetap terjaga jangan sampai kurang dan suhunya harus berada
sekitar 28C. Dengan pembesaran di kolam air deras, bisa didapatkan hasil 10 kg
ikan Sidat berukuran konsumsi per meter persegi (Sarwono, 2011).
b. Penangkapan dan Seleksi Fingerling
Menurut Liviawaty dan Afrianto (2005), penangkapan Sidat dapat dilakukan
dengan menggunakan beberapa cara, yakni sebagai berikut.
Jaring sorong, yang digunakan pada malam hari di sungai dengan bantuan
lampu untuk menarik perhatian Sidat. Ukuran mata jaring sorong
0,7 mm 1,0 mm.
Benih ikan Sidat harus didapat dari lingkungan atau perairan yang terhindar
dari pencemaran. Menurut Grilo dkk (2015), menyatakan bahwa akumulasi
mercuri (Hg) yang terdapat di ikan Sidat tidak sepenuhnya dapat dibersihkan.
Proses pembersihan yang dilakukan selama tiga hari ikan Sidat hanya kehilangan
2 dan 10% saja dari merkuri (Hg) yang terakumulasi sebelumnya. Hal ini dapat
menjadi masalah kesehatan bagi konsumen pasar internasional.
Menurut Sarwono (2011), fingerling dari tangkapan alam umumnya tidak
seragam ukurannya. Sebelum dibesarkan lebih lanjut perlu dilakukan grading agar
diperoleh fingerling yang ukuranya seragam di setiap bak pembesaran. (Liviawaty
dan Afrianto, 2005), menambahkan Sidat yang berukuran lebih besar umumnya
mempunyai kemampuan memperoleh makanan lebih baik. Oleh karena itu, perlu
dilakukan seleksi agar benih Sidat yang berukuran kecil dapat memperoleh
makanan dalam jumlah yang memadai.
Menurut Liviawaty dan Afrianto (2005), proses penyeleksian dilakukan
dengan cara mengumpulkan benih Sidat pada bagian kolam yang telah dilengkapi
pipa. Melalui pipa tersebut benih Sidat digiring atau dialirkan ke dalam sebuah
wadah yang biasanya berupa kantong berlubang. Selanjutnya, kantong tersebut
diangkat dan benih Sidat ditungkan ke dalam jarring yang sudah dipasang di
kolam lain. Proses penyeleksian dilakukan dengan menggunakan tangan.
Keuntungan yang diperoleh dari dari seleksi benih ini anatar lain :
10
lain)
Seleksi ukuran
Adaptasi pakan
Penebaran benih dilakukan pada pagi hari saat suhu air dalam kolam masih
rendah, yaitu antara pukul 07.00-09.00. Tujuannya agar benih yang ditebar tidak
stres akibat suhu tinggi. Kepadatan benih di kolam pembesaran adalah 300-500
ekor/m2. Jadi, untuk kolam seluas 200 m2 dapat diisi benih 60.000-100.000 ekor
(Sasongko dkk, 2007). Perbedaan padat tebar tidak berpengaruh nyata terhadap
beberapa parameter produksi, kecuali laju pertumbuhan biomassa (Diansyah,
2014). Putra dkk (2011) dalam Diansyah (2014) menyatakan bahwa pertumbuhan
dapat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pakan, dan kualitas air.
Agar jumlah penebaran tepat, benih harus dihitung terlebih dahulu.
Perhitungan benih harus hati-hati agar tubuh benih tidak terluka akibat
bersentuhan dengan alat atau tangan. Cara menghitung ada berbagai cara, tetapi
yang paling baik dan resikonya paling kecil adalah dengan cara volumetrik
(Sasongko dkk, 2007).
11
12
lemak (13,3%), karbohidrat (2,04%), kadar abu (3,6%), air (87,7%) dan energi
(5328,41 kkal/kg pakan).
Pakan tambahan diberikan satu hari setelah penebaran agar benih bisa
menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Pemberiannya dilakukan empat
kali dalam sehari, yaitu pada pukul 09.00, 12.00, 15.00, dan 19.00. Dosisnya 5 %
dari bobot total setiap hari (Sasongko dkk, 2007).
Tempat pemberian pakan sebaiknya ditetapkan pada salah satu bagian tertentu
di dinding kolam dan ditutup dengan kayu sehingga Sidat dapat memakan pakan
dalam kondisi lingkungan gelap. Keranjang pakan untuk tempat meletakkan
pakan diturunkan ke bawah permukaan air agar pakan dapat segera dimakan oleh
Sidat (Liviawaty dan Afrianto, 2005).
2.4 Pengelolaan Kualitas Air
Air untuk mengisi kolam harus memiliki kualitas yang baik agar
pertumbuhan Sidat yang dipelihara dapat maksimal. Kemampuan memperhatikan
kualitas air merupakan hal yang penting untuk keberhasilan pemeliharaan Sidat.
Penggunaan air untuk pemeliharaan Sidat sebaiknya dari sumur artesis, sumur
biasa, atau mata air, sebab kualitas air dari ketiga sumber tersebut memenuhi
syarat untuk digunakan dalam budidaya Sidat (Liviawaty dan Afrianto, 2005).
2.4.1
Suhu
Kisaran suhu yang layak dan memenuhi persyaratan untuk pemeliharaan ikan
Sidat adalah pada suhu 29 30oC (Rusmaedi dkk, 2010) dalam (Kusen dkk,
2015). Liviawaty dan Afrianto (2005), menambahkan Sidat mengalami penurunan
nafsu makan pada suhu lebih rendah dari 12 oC dan suhu yang optimal berkisar
24-27 oC.
Berbeda dengan pendapat Affandi dan Suhenda (2003), suhu air yang cocok
untuk pemeliharaan ikan Sidat adalah berkisar antara 29-30 oC. Sedangkan
menurut Sasongko (2007), menyatakan bahwa untuk suhu air dalam pemeliharaan
ikan Sidat berkisar antara 27- 30o C (pendederan), dan 25 30o C.
2.4.2
13
Konsentrasi oksigen terlarut dalam air yang optimal untuk pemeliharaan ikan
Sidat berada dalam kisaran 5-6 mg/l. Pendapat ini diperkuat oleh pendapat
Liviawaty dan Afrianto (2005), konsentrasi oksigen terlarut yang cocok dalam
pemeliharaan ikan Sidat sebaiknya >5 mg/l (Affandi dan Suhenda, 2003).
2.4.3
Amoniak (NH3)
Zat beracun di dalam air yang berbahaya bagi kehidupan ikan Sidat salah
satunya adalah amoniak. Gas yang berbau sangat menusuk dapat berasal dari
proses metabolisme atau dari proses pembusukan bahan organik yang dilakukan
oleh bakteri. Batas konsentrasi kandungan amoniak yang dapat ditoleransi ikan
Sidat adalah antara < 0,1 mg/l (Affandi dan Suhenda, 2003).
2.5 Pengendalian Hama dan Penyakit
Salah satu kendala yang sering dihadapi dalam budidaya Sidat adalah
serangan hama dan penyakit. Keduanya dapat menimbulkan kerugian yang sangat
besar karena serangan hama dan penyakit bisa terjadi dengan tiba-tiba, terkadang
tanda-tandanya sering tidak terlihat sebelumnya. Oleh sebab itu, adanya serangan
hama dan penyakit harus dapat dikendalikan (Sasongko dkk, 2007).
2.5.1
Hama
14
Hama ikan Sidat yaitu organisme yang berukuran besar yang mampu
menimbulkan gangguan atau memakan ikan Sidat. Hama dapat berperan sebagai
predator yang bersifat memangsa terutama pada larva. Ada juga hama yang
sifatnya sebagai kompetitor yang bisa menimbulkan persaingan dalam
mendapatkan oksigen, pakan dan ruang gerak (Liviawaty dan Afrianto, 2005).
Menurut Sasongko (2007), hama yang biasa menyerang Sidat adalah ular, dan
tikus. Berikut cara pencegahan atau pengendalian hama tersebut.
2.5.2
Penyakit ikan Sidat dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang secara
langsung maupun tidak langsung menimbulkan gangguan suatu fungsi atau
struktur dari alat tubuh atau sebagian alat tubuh ikan Sidat. Pada prinsipnya
penyakit yang menyerang ikan Sidat tidak datang begitu saja, melainkan melalui
proses hubungan antara tiga faktor yaitu kondisi lingkungan (kualitas air), kondisi
inang dan jasad pathogen (jasad penyakit), Timbulnya penyakit merupakan hasil
interaksi yang tidak serasi antara lingkungan, ikan dan jasad/organisme penyakit.
Penyakit ikan Sidat dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu penyakit infektif
dan non infektif (Sasongko dkk, 2007).
Di Eropa terdapat parasit bernama Spinitectus inermis (Nematoda :
Cystidicolidae) yang menyerang ikan Sidat. Meskipun masih langka tetapi terjadi
peningkatan prevalensi dari 1,8% menjadi 43,3% sehingga parasit ini menjadi
umum. Populasi S. inermis hampir selalu ditandai oleh tingginya tingkat
menyebar luas, bahkan pada prevalensi rendah (Kennedy, 2012).
Gyrodactylus anguillae dan Vibrio vulnificus merupakan patogen yang sangat
kritis dalam budidaya ikan Sidat. Ciri-ciri dari penyakit ini terdapat lendir yang
berlebihan dan pendarahan pada bagian luar tubuh ikan Sidat. Untuk mencegah
15
Guan
dkk
(2010), menyatakan
bahwa
terdapat
perbaikan
jaring
kantong pada saluran pengeluaran sehingga diharapkan ikan Sidat akan terkumpul
pada jaring kantong tersebut. Cara ini biasanya dilakukan pada saat panen total.
16
Pengeringan dilakukan pada pagi hari sehingga ikan Sidat dapat dipanen sebelum
kondisi lingkungan belum panas. (Affandi dan Suhenda, 2003).
Penanganan pasca panen yang benar diharapkan mampu mempertahankan
nilai jual Sidat. Kebanyakan konsumen menginginkan Sidat dalam keadaan hidup
dan segar, sehingga langkah langkah penanganan pasca panen hingga
pendistribusian sangat penting untuk diperhatikan. Sidat yang akan dikirim harus
dikemas khusus untuk Sidat yang akan dikirim jauh (ekspor) dengan perjalanan
lebih dari 12 jam. Tahapan pengemasan Sidat menurut SNI 01-4853-2006 sebagai
berikut:
a. Sidat dimasukan ke dalam kotak styrofoam yang sudah berisi air, dengan
tambahan es yang dimasukan ke dalam kantong plastik masing masing 1
kg, dengan perbandingan berat Sidat, air dan es 15:1:1
b. Kotak styrofoam yang telah diisi tersebut ditutup dengan tutup styrofoam
dan selanjutnya disatukan menggunakan tape band.
c. Selanjutnya kotak diikat dengan menggunakan strapping band di kedua
sisinya. Berat kotak dan isinya ditimbang (diperhitungkan) agar tidak lebih
dari 35 kg.
d. Kotak yang sudah ditutup ditimbang dan diberi label.
2.7 Analisis Usaha
Prospek budidaya Sidat sangat cerah. Dari kegiatan itu bisa diperoleh
keuntungan yang tidak sedikit. Namun, dari mana keuntungan itu bisa diperoleh.
Berikut perihitungan analisis usaha pendederan ikan Sidat (Sasongko dkk, 2007).
2.7.1
Biaya Investasi
Biaya Produksi
17
a. Biaya Tetap
Menurut Sunyoto (2014), biaya tetap adalah biaya usaha yang dikeluarkan
secara tetap per periode waktu yang jumlahnya tetap, tidak tergantung pada
perubahan tingkat kegiatan dalam menghasilkan keluaran atau produk didalam
interval tertentu. Contohnya gaji karyawan/pegawai per bulan.
b. Biaya Tidak Tetap
Menurut Sunyoto (2014), bahwa biaya tidak tetap adalah biaya usaha yang
besar kecilnya dipengaruhi oleh kegiatan produksi, misalnya upah tenaga kerja
dan biaya bahan baku.
2.7.3 Keuntungan
Analisis keuntungan adalah selisih antara pendapatan total dan biaya total
meliputi biaya tidak tetap dan biaya tetap yang digunakan untuk produksi, bila
selisih menunjukan angka positif berarti laba, sebaliknya jika selisih menunjukan
angka negatif berarti rugi.
2.7.4 Analisis Kelayakan Usaha
a. Benefit Cost Ratio (B/C Ratio)
Menurut Sunyoto (2014), perhitungan dengan mengunakan konsep dasar
Benefit cost ratio adalah pendekatan dengan waktu jangka pendek dan
perhitungan ini lebih ditekankan pada kriteria investasi yang pengukuranya
diarahkan pada usaha untuk membandingkan, mengukur, serta menghitung tingkat
usaha budidaya. Fungsi dari Benefit cost ratio sebagai pedoman untuk mengetahui
suatu jenis ikan harus diproduksi pada musim berikutnya.
b. Break Even Point (BEP)
Menurut Sunyoto (2014), break event point (BEP) atau titik pulang pokok
(TPP) adalah keadaan usaha tidak rugi dan juga tidak laba, karena penerimaan
total (total revenue = TR) besarnya sama dengan biaya total (total cost = TC) atau
break event point (BEP) dicapai saat TR = TC. Dengan menghitung break event
point, kita dapat mengetahui berapa minimum unit produk yang seharusnya dijual
agar tidak rugi.
c. Payback Period (PP)
18
Menurut Kasmir dan Jakfar (2003), metode payback period (PP) merupakan
teknik penilaian terhadap jangka waktu (periode) pengembalian investasi suatu
proyek atau usaha. Perhitungan ini dapat dilihat dari perhitungan kas bersih
(proceed) yang diperoleh setiap tahun. Nilai kas bersih merupakan penjumlahan
laba setalah pajak ditambah dengan penyusutan (dengan catatan jika investasi
100% menggunakan modal sendiri).
Kelemahan metode payback period adalah :
kas
yang
terjadi
setelah
masa