Anda di halaman 1dari 16

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Ikan Sidat (Anguilla sp)


2.1.1 Klasifikasi
Beberapa ahli antara lain Weber dan de Beaufon (1929), Schuster dan
Djajadiredja (1952), serta Hayward dan Ryland (1995) dalam Sasongko dkk
(2007), mengemukakan bahwa klasifikasi ikan Sidat adalah sebagai berikut :
Phylum

: Chordata

Sub Phylum

: Vertebrata

Super Class

: Gnathostomata

Classis

: Teleostei

Sub Class

: Actynopterigii

Order

: Anguilliformes

Sub Order

: Anguillidaei

Famili

: Anguillidae

Genus

: Anguilla

Spesies

: Anguilla sp.

2.1.2 Morfologi Ikan Sidat


Sidat merupakan hewan yang termasuk ke dalam famili Anguillidae. Hewan
ini memiliki banyak nama daerah, seperti ikan Uling, ikan Moa, ikan Lubang,
ikan Lumbon, ikan Larak, dan ikan Pelus (Suitha dan Suhaeri, 2008).
Perbedaan Sidat dengan belut secara langsung adalah Sidat memiliki sirip
ekor, sirip punggung, dan sirip dubur yang sempurna. Sedangkan belut tidak
memiliki sirip sama sekali. Sirip Sidat dilengkapi dengan jari-jari lunak yang
dapat dilihat dengan mata biasa. Ketiga sirip yang dimiliki Sidat saling
berhubungan menjadi satu, mulai dari punggung ke ekor, dan berakhir di bagian
ventral tubuhnya. Salah satu karakteristik Sidat adalah warna tubuhnya. Dari
semua jenis Sidat yang ada, tujuh spesies diantaranya memiliki tubuh yang
bercorak dan sembilan spesies lainnya polos (Liviawaty dan Afrianto, 2005).

Dilihat dari morfologinya, ikan Sidat berbeda dengan jenis-jenis ikan air
tawar dan laut pada umumnya. Namun demikian, Sidat juga memiliki kepala,
perut, dan ekor. Tubuhnya memanjang dengan perbandingan antara panjang dan
tinggi, kepala Sidat berbentuk segitiga, memiliki mata, hidung, mulut, dan tutup
insang. Mata Sidat sangat kecil, bulat, dan berwarna hitam. Fungsi mata sebagai
alat untuk melihat. Mata Sidat tidak tahan terhadap sinar matahari langsung
karena Sidat termasuk binatang malam (nocturnal). Oleh sebab itu, tempat
pemeliharaan Sidat-terutama pada tahap pendederan-harus diberi peneduh
berwarna hitam. Lubang hidung Sidat sangat kecil. Hidung berfungsi sebagai alat
bernafas. Mulut Sidat cukup besar dan membelah secara horizontal hampir
keseluruhan bagian kepala. Mulut berfungsi sebagai alat untuk mengambil
makanan. Tutup insang ada dibagian bawah kepala, atau di depan sirip dada
(Sasongko dkk, 2007). Adapun gambar ikan Sidat dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Ikan Sidat (Anguilla sp) (Trischitta dkk, 2014)


2.1.3

Habitat dan Penyebaran

Sidat berbeda dengan ikan lain. Kebanyakan ikan hanya hidup di air tawar
atau hanya hidup di air laut, tetapi Sidat bisa hidup dikedua tempat itu
(Euryhaline). Sifat itu juga dimiliki juga ikan Salmon. Namun, ikan Salmon tidak
memijah di air laut, tetapi di air tawar sehingga penyebaran benih ikan Salmon
tidak seluas ikan Sidat. Sementara Sidat memijah di air laut dan benihnya akan
dengan mudah menyebar kesegala penjuru daratan karena semua daratan

dikelilingi laut. Sehingga Sidat dapat menyebar ke seluruh penjuru dunia,


termasuk ke Eropa, Amerika, Afrika, Australia, dan Asia (Sasongko dkk, 2007).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jacobsen dkk (2014), Sidat amerika
(Anguilla rostrata) merupakan Sidat generasi pertama. Penyebaran larva oleh arus
teluk dan arus lainnya menuju masing-masing Eropa/Afrika Utara dan pantai
Amerika Utara. Temuan menunjukkan peran penting dari perubahan arus laut
pada penyebaran spesies dari organisme laut.
Anguilla marmorata lebih suka suhu air yang tinggi dan mati pada suhu
rendah. Sedangkan Anguilla japonica dapat bertahan pada suhu rendah, tetapi
kelahiran mereka terhambat pada suhu air yang tinggi. Dengan demikian, glass
eel A. japonica berkembang di musim panas, dengan cepat ke Taiwan, Cina,
Korea, dan Jepang dengan Kuroshio dan perairan anak sungai di musim dingin.
Sementara itu, glass eel A. marmorata, yang berkembang sepanjang tahun,
sebagian besar berputar di Asia Timur di daerah dengan suhu rendah di perairan
pesisir pada musim dingin (Han dkk, 2012).
Hibridisasi ikan Sidat juga terjadi dibeberapa daerah di laut Atlantik. Di
Islandia terjadi dinamika hibridisasi antara Sidat Amerika dan Eropa (Anguilla
rostrata dan Anguilla anguilla). Hal ini terjadi kemungkinan bahwa perubahan
iklim, yang berdampak banyak segi lingkungan di Atlantik Utara, mungkin
memiliki efek determinan pada hasil hibridisasi alam pada Sidat Atlantik
(Vickyalbert dkk, 2006).
Keberadaan 6 jenis Sidat yang mendiami perairan sekitar Indonesia
mendukung hipotesa tersebut. Meskipun Sidat tropis memiliki jenis yang jauh
lebih banyak dan merupakan asal mula Sidat dunia, namun pustaka tentang
keberadaannya masih sangat kurang. Keenam jenis Sidat yang mendiami perairan
Indonesia adalah A. borneensis, A. cebesensis, A. interioris, A. obscura, A. bicolor,
dan A. marmorata. Dua jenis terakhir merupakan ikan Sidat yang memiliki nilai
ekonomis penting disisi lain kedua jenis ini tersebar sangat luat luas (dari
Samudera India hingga Samudera Pasifik). Karena posisi Indonesia berada di
antara kedua benua tersebut maka penelitian pola distribusi kedua jenis ikan ini di

Indonesia sangat penting untuk menjawab pola penyebaran ikan Sidat dunia
(Fahmi dan Hirnawati, 2010).
2.1.4

Siklus Hidup

Sidat dijuluki deep sea eel, karena binatang ini bisa hidup di laut dalam.
Hidupnya mengalami enam fase, yaitu telur, preleptocephale, leptocephale, glass
eel, elver, dewasa, dan induk. Sidat juga dijuluki ikan katadromus, yaitu ikan
yang dewasa berada di hulu sungai atau danau, tetapi bila matang gonad akan
beruaya ke laut lepas dan memijah disana. Perjalanan menelusuri sungai agar
sampai di laut lepas tentu membutuhkan waktu yang cukup lama karena jarak
antara hulu sungai dan laut lepas sangat jauh (Sasongko dkk, 2007).
Telur-telur yang dikeluarkan oleh induk Sidat melayang di dalam air sebab
mempunyai sifat planktonis. Jika tidak dimangsa oleh predator, kurang lebih 24
jam hingga 10 hari sejak dibuahi, telur Sidat akan segera menetas sedangkan yang
gagal menetas akan tenggelam ke dasar perairan. Larva Sidat yang baru menetas
terkenal dengan nama leptocephalus (Liviawaty dan Afrianto, 2005).
Pada saat memasuki perairan tawar, terjadi perubahan bentuk tubuh Sidat
(Leptocephalus) yang berbentuk pipih dan transparan menjadi elver (Sidat kecil)
yang tubuhnya berbentuk silinder. Elver yang berhasil mengatasi semua hambatan
akan hidup di air tawar dan tumbuh menjadi dewasa. Setelah mencapai matang
kelamin, Sidat dewasa secara naluri akan berusaha kembali ke laut dalam untuk
melakukan aktivitas pemijahan (Liviawaty dan Afrianto, 2005).

Gambar 2. Siklus Hidup Ikan Sidat (Churcher dkk, 2015)

2.1.5

Pakan dan Kebiasaan Makan

Sepanjang hidupnya terutama di air tawar Sidat bersifat karnivora, yaitu


hewan pemakan daging. Hewan ini akan memakan ikan dan binatang air lainnya
yang berukuran lebih kecil dari bukaan mulutnya. Sidat juga bersifat kanibal yaitu
memangsa sesama jenis. Saat Sidat masih elver, mulai makan hewan-hewan kecil,
seperti anak kepiting, anak udang, cacing kecil, dan anak kerang atau siput. Sidat
akan mencari makan pada malam hari dan siang hari akan beristirahat serta
bersembunyi di lubang-lubang tanah, akar pohon, di balik daun tumbuh-tumbuhan
air, dan tempat tersembunyi lainnya (Sasongko, 2007).
Makanan Sidat di alam terdiri dari serangga kecil, udang kepiting, kerang dan
siput. Kebutuhan protein untuk ikan Sidat berkisar antara 45-55 % protein dalam
pakannya. Pakan ikan Sidat umumnya dapat diberikan dalam bentuk pasta dan
pelet disesuaikan dengan pertumbuhan atau ukuran ikan Sidat tersebut
(Djajasewaka, 2003).
2.2 Teknik Budidaya
2.2.1 Kelayakan Lokasi Budidaya
Lokasi yang tepat untuk pemeliharaan Sidat adalah daerah sepanjang pantai,
dekat muara sungai, atau genangan-genangan air payau. Usahakan lokasi dipilih
tidak pernah kebanjiran, letaknya terbuka sehingga mendapat sinar matahari
cukup dan hembusan angin dipermukaan kolam tidak terhalang. Dilokasi itu
kolam dapat dikeringkan seperlunya, tersedia jalan untuk transportasi dan tersedia
sumber listrik untuk penerangan (Sarwono, 2011).
Sumber air yang akan digunakan harus bebas dari pencemaran lingkungan.
Penelitian menunjukkan, perkembangan ikan Sidat di muara yang tercemar dari
sungai akan mengganggu fungsi fisiologis penentu kelangsungan hidup dan
kinerja mereka. Pencemaran juga dapat meningkatkan angka kematian selama
fase kehidupan ikan Sidat di alam. Sehingga akan terputus siklus hidup mereka di
alam saat ingin beruaya ke laut dalam untuk melakukan pemijahan
(Guimara dkk, 2009).

2.2.2

Pembesaran

Pembesaran adalah proses budidaya ikan Sidat dari fingerling (ukuran berat
10 gram dan panjang total 10 cm) hingga ukuran konsumsi. Sidat konsumsi
yang laku dipasaran berukuran antara 250-300 gram atau lebih (Ndobe, 2010).
Berikut adalah tahapan pembesaran ikan Sidat mulai dari persiapan wadah
budidaya hingga panen.
a. Persiapan Wadah Budidaya
Untuk pemeliharaan pembesaran ikan Sidat dapat menggunakan bak beton,
bak fiber, kolam beton, kolam tanah yang pinggiranya dilapisi belahan bambu dan
juga dapat dipelihara pada keramba jaring apung (Affandi dan Suhenda, 2003).
Luas kolam pembesaran bervariasi, tergantung pada tingkat pengelolaannya.
Pada awalnya kolam pembesaran banyak dikelola secara ekstensif sehingga dibuat
oleh petani dengan ukuran 6.000 m2 sampai 10.000 m2 atau lebih dengan
kedalaman air kolam rata-rata 100 cm. Tetapi saat ini cenderung mengarah kolam
yang lebih kecil (1.000 m2 sampai 3.000 m2) karena penanganannya lebih mudah
(Liviawaty dan Afrianto, 2005).
Kolam budidaya harus dilengkapi dengan tempat berlindung (shelter) ikan
Sidat yang ditempatkan di dalam kolam. Disamping itu juga harus dilengkapi
dengan wadah pakan yang mengapung yang diletakkan pada tempat gelap yang
dibangun di tepian kolam (Affandi dan Suhenda, 2003).
Membesarkan benih Sidat (fingerling) untuk memperoleh ukuran konsumsi
bisa juga dilakukan di kolam air deras atau kolam air mengalir. Hanya saja
volume air harus tetap terjaga jangan sampai kurang dan suhunya harus berada
sekitar 28C. Dengan pembesaran di kolam air deras, bisa didapatkan hasil 10 kg
ikan Sidat berukuran konsumsi per meter persegi (Sarwono, 2011).
b. Penangkapan dan Seleksi Fingerling
Menurut Liviawaty dan Afrianto (2005), penangkapan Sidat dapat dilakukan
dengan menggunakan beberapa cara, yakni sebagai berikut.
Jaring sorong, yang digunakan pada malam hari di sungai dengan bantuan
lampu untuk menarik perhatian Sidat. Ukuran mata jaring sorong
0,7 mm 1,0 mm.

Memasang jaring secara melintang di sungai dengan ukuran mata jaring


yang sesuai. Pemasangan jaring secara melintang ini untuk menangkap

sebagian besar Sidat yang datang bersama arus pasang.


Menggunakan perangkap khusus yang diletakkan di sungai atau air terjun
tempat Sidat dari laut berdatangan bermigrasi ke perairan tawar.

Benih ikan Sidat harus didapat dari lingkungan atau perairan yang terhindar
dari pencemaran. Menurut Grilo dkk (2015), menyatakan bahwa akumulasi
mercuri (Hg) yang terdapat di ikan Sidat tidak sepenuhnya dapat dibersihkan.
Proses pembersihan yang dilakukan selama tiga hari ikan Sidat hanya kehilangan
2 dan 10% saja dari merkuri (Hg) yang terakumulasi sebelumnya. Hal ini dapat
menjadi masalah kesehatan bagi konsumen pasar internasional.
Menurut Sarwono (2011), fingerling dari tangkapan alam umumnya tidak
seragam ukurannya. Sebelum dibesarkan lebih lanjut perlu dilakukan grading agar
diperoleh fingerling yang ukuranya seragam di setiap bak pembesaran. (Liviawaty
dan Afrianto, 2005), menambahkan Sidat yang berukuran lebih besar umumnya
mempunyai kemampuan memperoleh makanan lebih baik. Oleh karena itu, perlu
dilakukan seleksi agar benih Sidat yang berukuran kecil dapat memperoleh
makanan dalam jumlah yang memadai.
Menurut Liviawaty dan Afrianto (2005), proses penyeleksian dilakukan
dengan cara mengumpulkan benih Sidat pada bagian kolam yang telah dilengkapi
pipa. Melalui pipa tersebut benih Sidat digiring atau dialirkan ke dalam sebuah
wadah yang biasanya berupa kantong berlubang. Selanjutnya, kantong tersebut
diangkat dan benih Sidat ditungkan ke dalam jarring yang sudah dipasang di
kolam lain. Proses penyeleksian dilakukan dengan menggunakan tangan.
Keuntungan yang diperoleh dari dari seleksi benih ini anatar lain :

Dapat memelihara Sidat dengan kepadatan yang sesuai


Meningkatkan laju konversi pakan dengan meminimalkan pakan yang

tebuang karena pemberian yang berlebihan


Memudahkan pengamatan kondisi fisiologis Sidat
Dapat melakukan pembersihan kolam

10

c. Penebaran Benih (Fingerling)


Fingerling sangat peka, maka Sidat yang baru ditangkap sebaiknya tidak
disentuh tangan tetapi langsung ditempatkan di dalam kotak yang telah diberi
kain basah atau menggantungkan pada kurungan dari jaring. Kemudian, Sidat
segera diangkut ke kolam penampungan dalam beberapa jam sebelum
dimasukkan ke kolam pemeliharaan (Liviawaty dan Afrianto, 2005).
Menurut Affandi dan Suhenda (2003), sampai saat ini benih untuk keperluan
budidaya ikan Sidat berasal dari hasil tangkapan dari alam, baik berupa elver atau
fingerling (yellow eel). Karena benih ini diambil dari alam, maka sebelum benih
ditebar di kolam pemeliharaan sebaiknya dilakukan :
Aklimatisasi terhadap lingkungan budidaya
Treatment dengan bahan anti septik (MB, PK, atau garam dapur, dan lain

lain)
Seleksi ukuran
Adaptasi pakan

Penebaran benih dilakukan pada pagi hari saat suhu air dalam kolam masih
rendah, yaitu antara pukul 07.00-09.00. Tujuannya agar benih yang ditebar tidak
stres akibat suhu tinggi. Kepadatan benih di kolam pembesaran adalah 300-500
ekor/m2. Jadi, untuk kolam seluas 200 m2 dapat diisi benih 60.000-100.000 ekor
(Sasongko dkk, 2007). Perbedaan padat tebar tidak berpengaruh nyata terhadap
beberapa parameter produksi, kecuali laju pertumbuhan biomassa (Diansyah,
2014). Putra dkk (2011) dalam Diansyah (2014) menyatakan bahwa pertumbuhan
dapat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pakan, dan kualitas air.
Agar jumlah penebaran tepat, benih harus dihitung terlebih dahulu.
Perhitungan benih harus hati-hati agar tubuh benih tidak terluka akibat
bersentuhan dengan alat atau tangan. Cara menghitung ada berbagai cara, tetapi
yang paling baik dan resikonya paling kecil adalah dengan cara volumetrik
(Sasongko dkk, 2007).

d. Monitoring Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup

11

Pertumbuhan merupakan salah satu faktor penting di dalam budidaya untuk


mengetahui perubahan baik ukuran bobot ikan, panjang maupun volume dalam
laju perubahan waktu (Weatherey, 1927) dalam (Purwanto dan Bastian, 2006).
Dari hasil penelitian Purwanto dan Bastian (2006), menjelaskan bahwa,
pertumbuhan ikan Sidat yang dipelihara dalam wadah kolam beton lebih baik
dibandingkan dengan pemeliharaan dalam wadah bak fiberglass. Sintasan pada
wadah kolam beton mencapai 55 %, sedangkan pada bak fiberglass hanya
mencapai 26,5 %. Hasil ini menunjukan bahwa pemeliharaan ikan Sidat pada
kolam beton dapat memberikan hasil yang cukup tinggi dibandingkan dengan
pemeliharaan pada wadah bak fiberglass.
Selama masa pembesaran sebaiknya sering melakukan seleksi untuk
menjamin keseragaman. Sidat yang pertumbuhannya cepat dipisah dari yang
pertumbuhannya lambat. Selain keseragaman, pemisahan ini juga untuk
menghindari persaingan dalam perebutan pakan (Sarwono, 2011).
2.3 Pengelolaan Pakan
Pakan yang diberikan pada Sidat sangat bervariasi, tergantung pada ukuran
Sidat yang dipelihara. Pakan untuk fingerling, diberi pakan berupa gilingan atau
cincangan ikan kecil, udang, ulat, cacing, dan sebagainya. (Liviawaty dan
Afrianto, 2005). Sedangkan menurut Affandi dan Suhenda (2003), untuk benih
ikan Sidat ( 60 gram) diberikan pakan buatan berupa pasta dan untuk ikan Sidat
( 60 gram) diberikan pakan buatan berupa pellet.
Pakan alami berupa cacing tubifex diberikan dengan porsi 10-20% dari berat
keseluruhan fingerling di dalam kolam (Suitha dan Suhaeri, 2008). Menurut
hasil penelitian (Subekti dkk, 2011), menunjukkan bahwa laju pertumbuhan
dengan pemberian pakan 100% menggunakan pakan alami berupa cacing sutera.
Sumaryam (2000) dalam Sari dkk (2015) menyatakan bahwa cacing sutera
mempunyai peranan yang penting karena mampu memacu pertumbuhan ikan
lebih cepat dibandingkan pakan alami lain seperti kutu air (Daphnia sp atau
Moina sp), hal ini disebabkan cacing sutera mempunyai kelebihan dalam hal
nutrisinya. Sulmartiwi (2003) dalam Sari dkk (2015), menambahkan bahwa
cacing tubifex memiliki kandungan gizi yang cukup baik yaitu protein (57%),

12

lemak (13,3%), karbohidrat (2,04%), kadar abu (3,6%), air (87,7%) dan energi
(5328,41 kkal/kg pakan).
Pakan tambahan diberikan satu hari setelah penebaran agar benih bisa
menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Pemberiannya dilakukan empat
kali dalam sehari, yaitu pada pukul 09.00, 12.00, 15.00, dan 19.00. Dosisnya 5 %
dari bobot total setiap hari (Sasongko dkk, 2007).
Tempat pemberian pakan sebaiknya ditetapkan pada salah satu bagian tertentu
di dinding kolam dan ditutup dengan kayu sehingga Sidat dapat memakan pakan
dalam kondisi lingkungan gelap. Keranjang pakan untuk tempat meletakkan
pakan diturunkan ke bawah permukaan air agar pakan dapat segera dimakan oleh
Sidat (Liviawaty dan Afrianto, 2005).
2.4 Pengelolaan Kualitas Air
Air untuk mengisi kolam harus memiliki kualitas yang baik agar
pertumbuhan Sidat yang dipelihara dapat maksimal. Kemampuan memperhatikan
kualitas air merupakan hal yang penting untuk keberhasilan pemeliharaan Sidat.
Penggunaan air untuk pemeliharaan Sidat sebaiknya dari sumur artesis, sumur
biasa, atau mata air, sebab kualitas air dari ketiga sumber tersebut memenuhi
syarat untuk digunakan dalam budidaya Sidat (Liviawaty dan Afrianto, 2005).
2.4.1

Suhu

Kisaran suhu yang layak dan memenuhi persyaratan untuk pemeliharaan ikan
Sidat adalah pada suhu 29 30oC (Rusmaedi dkk, 2010) dalam (Kusen dkk,
2015). Liviawaty dan Afrianto (2005), menambahkan Sidat mengalami penurunan
nafsu makan pada suhu lebih rendah dari 12 oC dan suhu yang optimal berkisar
24-27 oC.
Berbeda dengan pendapat Affandi dan Suhenda (2003), suhu air yang cocok
untuk pemeliharaan ikan Sidat adalah berkisar antara 29-30 oC. Sedangkan
menurut Sasongko (2007), menyatakan bahwa untuk suhu air dalam pemeliharaan
ikan Sidat berkisar antara 27- 30o C (pendederan), dan 25 30o C.

2.4.2

Dissolved Oxigen (DO)

13

Konsentrasi oksigen terlarut dalam air yang optimal untuk pemeliharaan ikan
Sidat berada dalam kisaran 5-6 mg/l. Pendapat ini diperkuat oleh pendapat
Liviawaty dan Afrianto (2005), konsentrasi oksigen terlarut yang cocok dalam
pemeliharaan ikan Sidat sebaiknya >5 mg/l (Affandi dan Suhenda, 2003).
2.4.3

Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman adalah suatu logaritma negatif dari kepekatan konsentrasi


ion-ion hidrogen yang terdapat dalam suatu medium cair, yang merupakan suatu
ukuran konsentrasi ion hidrogen terlarut di dalam air yang menunjukkan perairan
tersebut bersifat asam, basa atau netral. Ikan Sidat mampu hidup dalam perairan
yang mempunyai derajat keasaman antara 4-11. Konsentrasi derajat keasaman
optimum untuk budidaya ikan Sidat adalah pada tingkat 8-9. Nilai derajat
keasaman (pH) diatas 9,5 sering menyebabkan penurunan nafsu makan
(Liviawaty dan Afrianto, 2005). Sedangkan menurut Rusmaedi dkk (2010) dalam
Kusen dkk (2015) mengatakan pH yang baik untuk budidaya ikan Sidat adalah
6-9.
2.4.4

Amoniak (NH3)

Zat beracun di dalam air yang berbahaya bagi kehidupan ikan Sidat salah
satunya adalah amoniak. Gas yang berbau sangat menusuk dapat berasal dari
proses metabolisme atau dari proses pembusukan bahan organik yang dilakukan
oleh bakteri. Batas konsentrasi kandungan amoniak yang dapat ditoleransi ikan
Sidat adalah antara < 0,1 mg/l (Affandi dan Suhenda, 2003).
2.5 Pengendalian Hama dan Penyakit
Salah satu kendala yang sering dihadapi dalam budidaya Sidat adalah
serangan hama dan penyakit. Keduanya dapat menimbulkan kerugian yang sangat
besar karena serangan hama dan penyakit bisa terjadi dengan tiba-tiba, terkadang
tanda-tandanya sering tidak terlihat sebelumnya. Oleh sebab itu, adanya serangan
hama dan penyakit harus dapat dikendalikan (Sasongko dkk, 2007).

2.5.1

Hama

14

Hama ikan Sidat yaitu organisme yang berukuran besar yang mampu
menimbulkan gangguan atau memakan ikan Sidat. Hama dapat berperan sebagai
predator yang bersifat memangsa terutama pada larva. Ada juga hama yang
sifatnya sebagai kompetitor yang bisa menimbulkan persaingan dalam
mendapatkan oksigen, pakan dan ruang gerak (Liviawaty dan Afrianto, 2005).
Menurut Sasongko (2007), hama yang biasa menyerang Sidat adalah ular, dan
tikus. Berikut cara pencegahan atau pengendalian hama tersebut.

Ular, pencegahannya membuat biosecurity disekitar kolam berupa pagar

jaring. Pengendaliannya yaitu dengan cara membunuh ular tersebut.


Tikus, cara yang paling sering dilakukan adalah membuat perangkap tikus
disekitar kolam. Hal ini merupakan pencegahan sekaligus pengendalian

2.5.2

agar tikus tidak masuk kolam pemeliharaan.


Penyakit

Penyakit ikan Sidat dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang secara
langsung maupun tidak langsung menimbulkan gangguan suatu fungsi atau
struktur dari alat tubuh atau sebagian alat tubuh ikan Sidat. Pada prinsipnya
penyakit yang menyerang ikan Sidat tidak datang begitu saja, melainkan melalui
proses hubungan antara tiga faktor yaitu kondisi lingkungan (kualitas air), kondisi
inang dan jasad pathogen (jasad penyakit), Timbulnya penyakit merupakan hasil
interaksi yang tidak serasi antara lingkungan, ikan dan jasad/organisme penyakit.
Penyakit ikan Sidat dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu penyakit infektif
dan non infektif (Sasongko dkk, 2007).
Di Eropa terdapat parasit bernama Spinitectus inermis (Nematoda :
Cystidicolidae) yang menyerang ikan Sidat. Meskipun masih langka tetapi terjadi
peningkatan prevalensi dari 1,8% menjadi 43,3% sehingga parasit ini menjadi
umum. Populasi S. inermis hampir selalu ditandai oleh tingginya tingkat
menyebar luas, bahkan pada prevalensi rendah (Kennedy, 2012).
Gyrodactylus anguillae dan Vibrio vulnificus merupakan patogen yang sangat
kritis dalam budidaya ikan Sidat. Ciri-ciri dari penyakit ini terdapat lendir yang
berlebihan dan pendarahan pada bagian luar tubuh ikan Sidat. Untuk mencegah

15

terjadinya serangan penyakit ini maka harus dilakukan peningkatan biosecurity


pada saat persiapan air (Elgendy dkk, 2016).
Selain parasit dan bakteri, ikan Sidat juga dapat terinfeksi virus. Survey ikan
Sidat dari alam (Spanyol) menunjukan bahwa terdapat anguillid herpesvirus
(AngHV-1), aquabirnavirus, dan betanodavirus. Dari ketiga jenis virus tersebut,
anguillid herpesvirus yang paling sering ditemukan diikuti aquabirnavirus dan
betanodavirus. Keragaman virus dan tingginya tingkat deteksi virus menunjukkan
bahwa infeksi virus dapat memainkan peran yang lebih menonjol dalam
penurunan ikan Sidat (Bandin dkk, 2014).
Menurut

Guan

dkk

(2010), menyatakan

bahwa

terdapat

perbaikan

perlindungan imunitas dari vaksin Aeromonas sobria dan Aeromonas hydrophila


untuk ikan Sidat. Vaksin ini memberi kekebalan tubuh bagi ikan Sidat terhadap
bakteri Aeromonas hydrophila dan Aeromonas sobria. Oleh karena itu vaksin di
rekomendasikan untuk mencegah terjadinya serangan bakteri A. hydrophila dan
A. sobria dari ikan Sidat.
2.6 Panen dan Pasca Panen
Panen ikan Sidat dapat dilakukan dengan beberapa cara tergantung teknik dan
fase pemeliharaan. Menurut Liviawaty dan Afrianto (2005), pemanenan ikan
Sidat dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya :
a. Menggunakan Scoop Net
Penggunaan alat ini dianggap paling sederhana dan efektif. Panen
menggunakan scoop net dilakukan pada saat pemberian pakan, karena pada saat
itu ikan Sidat berkumpul dengan kepadatan tinggi. Jumlah ikan Sidat yang ada
dalam kolam pemeliharaan dapat ditangkap dengan cara ini sekitar 95 %
(Liviawaty dan Afrianto, 1998).
b. Pengeringan Kolam
Cara ini dilakukan dengan mengeringkan kolam dan memasang

jaring

kantong pada saluran pengeluaran sehingga diharapkan ikan Sidat akan terkumpul
pada jaring kantong tersebut. Cara ini biasanya dilakukan pada saat panen total.

16

Pengeringan dilakukan pada pagi hari sehingga ikan Sidat dapat dipanen sebelum
kondisi lingkungan belum panas. (Affandi dan Suhenda, 2003).
Penanganan pasca panen yang benar diharapkan mampu mempertahankan
nilai jual Sidat. Kebanyakan konsumen menginginkan Sidat dalam keadaan hidup
dan segar, sehingga langkah langkah penanganan pasca panen hingga
pendistribusian sangat penting untuk diperhatikan. Sidat yang akan dikirim harus
dikemas khusus untuk Sidat yang akan dikirim jauh (ekspor) dengan perjalanan
lebih dari 12 jam. Tahapan pengemasan Sidat menurut SNI 01-4853-2006 sebagai
berikut:
a. Sidat dimasukan ke dalam kotak styrofoam yang sudah berisi air, dengan
tambahan es yang dimasukan ke dalam kantong plastik masing masing 1
kg, dengan perbandingan berat Sidat, air dan es 15:1:1
b. Kotak styrofoam yang telah diisi tersebut ditutup dengan tutup styrofoam
dan selanjutnya disatukan menggunakan tape band.
c. Selanjutnya kotak diikat dengan menggunakan strapping band di kedua
sisinya. Berat kotak dan isinya ditimbang (diperhitungkan) agar tidak lebih
dari 35 kg.
d. Kotak yang sudah ditutup ditimbang dan diberi label.
2.7 Analisis Usaha
Prospek budidaya Sidat sangat cerah. Dari kegiatan itu bisa diperoleh
keuntungan yang tidak sedikit. Namun, dari mana keuntungan itu bisa diperoleh.
Berikut perihitungan analisis usaha pendederan ikan Sidat (Sasongko dkk, 2007).
2.7.1

Biaya Investasi

Biaya investasi merupakan penanaman modal dalam suatu kegiatan yang


dimiliki jangka waktu relatif panjang dalam berbagai bidang usaha. Jangka waktu
investasi biasanya lebih dari satu tahun, terutama digunakan untuk pembelian
aktif tetap (Kasmir dan Jakfar, 2003).
2.7.2

Biaya Produksi

Biaya produksi merupakan modal yang harus dikeluarkan oleh pembudidaya


untuk membudidayakan ikan, dari persiapan sampai waktu panen. Termasuk
dalam hal ini bisa pembuatan, perawatan sampai panen. Biaya produksi ini
dibedakan menjadi 2 yaitu:

17

a. Biaya Tetap
Menurut Sunyoto (2014), biaya tetap adalah biaya usaha yang dikeluarkan
secara tetap per periode waktu yang jumlahnya tetap, tidak tergantung pada
perubahan tingkat kegiatan dalam menghasilkan keluaran atau produk didalam
interval tertentu. Contohnya gaji karyawan/pegawai per bulan.
b. Biaya Tidak Tetap
Menurut Sunyoto (2014), bahwa biaya tidak tetap adalah biaya usaha yang
besar kecilnya dipengaruhi oleh kegiatan produksi, misalnya upah tenaga kerja
dan biaya bahan baku.
2.7.3 Keuntungan
Analisis keuntungan adalah selisih antara pendapatan total dan biaya total
meliputi biaya tidak tetap dan biaya tetap yang digunakan untuk produksi, bila
selisih menunjukan angka positif berarti laba, sebaliknya jika selisih menunjukan
angka negatif berarti rugi.
2.7.4 Analisis Kelayakan Usaha
a. Benefit Cost Ratio (B/C Ratio)
Menurut Sunyoto (2014), perhitungan dengan mengunakan konsep dasar
Benefit cost ratio adalah pendekatan dengan waktu jangka pendek dan
perhitungan ini lebih ditekankan pada kriteria investasi yang pengukuranya
diarahkan pada usaha untuk membandingkan, mengukur, serta menghitung tingkat
usaha budidaya. Fungsi dari Benefit cost ratio sebagai pedoman untuk mengetahui
suatu jenis ikan harus diproduksi pada musim berikutnya.
b. Break Even Point (BEP)
Menurut Sunyoto (2014), break event point (BEP) atau titik pulang pokok
(TPP) adalah keadaan usaha tidak rugi dan juga tidak laba, karena penerimaan
total (total revenue = TR) besarnya sama dengan biaya total (total cost = TC) atau
break event point (BEP) dicapai saat TR = TC. Dengan menghitung break event
point, kita dapat mengetahui berapa minimum unit produk yang seharusnya dijual
agar tidak rugi.
c. Payback Period (PP)

18

Menurut Kasmir dan Jakfar (2003), metode payback period (PP) merupakan
teknik penilaian terhadap jangka waktu (periode) pengembalian investasi suatu
proyek atau usaha. Perhitungan ini dapat dilihat dari perhitungan kas bersih
(proceed) yang diperoleh setiap tahun. Nilai kas bersih merupakan penjumlahan
laba setalah pajak ditambah dengan penyusutan (dengan catatan jika investasi
100% menggunakan modal sendiri).
Kelemahan metode payback period adalah :

Mengabaikan time value of money


Tidak mempertimbangkan arus
pengembalian

kas

yang

terjadi

setelah

masa

Anda mungkin juga menyukai