Anda di halaman 1dari 23

PROPOSAL PENELITIAN PARASIT

PADA KEPITING RAJUNGAN

PROPOSAL PENELITIAN

JENIS DAN POLA DISTRIBUSI EKTOPARASIT PADA KEPITING


RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI PERAIRAN DESA LAKARA
KECAMATAN TINANGGEA KABUPATEN KONAWE SELATAN

OLEH :

LA ODE TANDA
I1A2 10 127

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN


JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2014
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kepiting Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan kepiting laut yang banyak terdapat
di Perairan Indonesia. Rajungan telah lama diminati oleh masyarakat baik di dalam negeri
maupun luar negeri, oleh karena itu harganya relatif mahal. Daging kepiting ini selain
dinikmati di dalam negeri juga di ekspor ke luar negeri seperti ke Jepang, Singapura dan
Amerika. Rajungan di Indonesia sampai sekarang masih merupakan komoditas perikanan
yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Sampai saat ini seluruh kebutuhan ekspor rajungan
masih mengandalkan dari hasil tangkapan di laut (Mania 2007).
Menurut Mustafa dkk (2012), menyatakan bahwa Sulawesi Tenggara adalah salah satu
pemasok bahan baku industri pengalengan Kepitingrajungan (Portunus pelagicus) yang
merupakan komoditas ekspor penting dari sektor perikanan. Komoditi ini dihasilkan dari
usaha perikanan dengan alat tangkap bubu hanyut yang tebuat dari besi dan pengoperasian
dilakukan secara berderetan, dihubungkan pada tiap-tiap bubu, yang diberikan pemberat
utama dan pelampung tanda yang berbendera (Amgyat, 1982 dalam Jafar 2011).
Parasit merupakan organisme yang hidupnya tergantung pada organisme lain dan
memiliki hubungan timbal balik dengan organisme yang ditumpanginya. Organisme tempat
parasit hidup dinamakan inang yang berperan sebagai sumber nutrien, tempat hidup dan
tinggal. Parasit Kepiting rajungan artinya parasit yang hidup di tubuh Rajungan dan
menjadikannya sebagai inang. Sedangkan ektoparasit adalah parasit yang melekat pada
bagian permukaan tubuh (Noble et al, 1989).
Informasi tentang keberadaan parasit khsusunya ektoparasit di tubuh Rajungan dapat
digunakan untuk perkembangan perikanan baik perikanan tangkap maupun perikanan
budidaya serta kesehatan masyarakat. Pada kegiatan budidaya ektoparasit dapat
menimbulkan kematian larva (Grabda, 1991). Sedangkan hubungan parasit dengan kesehatan
masyarakat adalah berkaitan dengan Zoonosis, yaitu infeksi yang secara alamiah dapat
berpindah antara hewan dengan manusia, dimana manusia terinfeksi bila
memakan organisme yang telah terinfeksi ektoparasit dari larva Nematoda. Efek yang timbul
dapat berupa inflamasi, pendarahan dan pembengkakan pada usus (Grabda, 1991).
Menurut Sinderman (1990), efek ekonomis yang diakibatkan oleh infeksi ektoparasit
dalam kegiatan penangkapan maupun budidaya yaitu dapat berupa pengurangan populasi,
penurunan bobot dan penolakan konsumen akibat adanya perubahan morfologi. Menyikapi
akan bahaya yang timbul akibat serangan ektoparasit maka perlu dilakukan identifikasi dan
intensitas ektoparasit pada Rajungan yang di tangkap dengan alat tangkap bubu di Desa
Lakara, Kecamatan Tinanggea Kabupaten Konawe Selatan. Untuk itu langkah yang paling
awal adalah mengetahui jenis-jenis ektoparasit yang menginfeksi Kepiting rajungan.
B. Rumusan Masalah
Banyaknya manfaat yang dapat diambil dari informasi tentang identifikasi dan intensitas
serta pola distribusi ektoparasit pada Kepiting rajungan (P. pelagicus), untuk perkembangan
perikanan dan kesehatan masyarakat serta masih sedikitnya informasi tentang ektoparasit
yang menginfeksi Kepiting rajungan (P. pelagicus) sehingga perlu dilakukanya penelitian ini.
Penelitian ini difokuskan terhadap pola ditribusi serta identifikasi dan intensitas ektoparasit
yang menginfeksi Kepiting rajungan (P. pelagicus) yang berlokasi di desa Lakara,
Kecematan Tinanggea Kabupaten Konawe Selatan.
B. Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi serta menghitung intensitas ektoparasit
pada Kepiting rajungan (P. pelagicus) yang ditangkap dengan alat tangkap bubu di perairan
desa Lakara Kecamatan Tinanggea Kabupaten Konewe Selatan.
Kegunaan dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang berbagai
jenis dan pola distribusi ektoparasit pada Kepiting rajungan yang tertangkap dengan alat
tangkap bubu di perairan desa Lakara, Kecamatan Tinanggea Kabupaten Konewe Selatan.
.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi dan Morfologi
Kepiting Rajungan hidup pada kedalaman air laut sampai 40 m, pada daerah pasir,
lumpur, atau pantai berlumpur. Klasifikasi Kepiting rajungan Menurut Mirzads (2009) adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Athropoda
Kelas : Crustasea
Ordo : Decapoda
Famili : Portunidae
Genus : Portunus
Species : Portunus pelagicus
Gambar 1. Morfologi Kepiting Rajungan (Portunus pelagicus)
Menurut Nontji (1986), ciri morfologi rajungan mempunyai karapaks berbentuk bulat
pipih dengan warna yang sangat menarik kiri kanan dari karapas terdiri atas duri besar,
jumlah duri-duri sisi belakang matanya 9 buah. Rajungan dapat dibedakan dengan adanya
beberapa tanda-tanda khusus, diantaranya adalah pinggiran depan di belakang mata, rajungan
mempunyai 5 pasang kaki, yang terdiri atas 1 pasang kaki (capit) berfungsi sebagai
pemegang dan memasukkan makanan kedalam mulutnya, 3 pasang kaki sebagai kaki jalan
dan sepasang kaki terakhir mengalami modifikasi menjadi alat renang yang ujungnya
menjadi pipih dan membundar seperti dayung. Oleh sebab itu, rajungan dimasukan kedalam
golongan kepiting berenang (swimming crab).
Ukuran rajungan antara yang jantan dan betina berbeda pada umur yang sama. Yang
jantan lebih besar dan berwarna lebih cerah serta berpigmen biru terang. Sedang yang betina
berwarna sedikit lebih coklat (Mirzads 2009). Rajungan jantan mempunyai ukuran tubuh
lebih besar dan capitnya lebih panjang daripada betina. Perbedaan lainnya adalah warna
dasar, rajungan jantan berwarna kebiru-biruan dengan bercak-bercak putih terang, sedangkan
betina berwarna dasar kehijau-hijauan dengan bercak-bercak putih agak suram. Perbedaan
warna ini jelas pada individu yang agak besar walaupun belum dewasa (Moosa
1980 dalam Fatmawati 2009).
Ukuran rajungan yang ada di alam bervariasi tergantung wilayah dan musim. Berdasarkan
lebar karapasnya, tingkat perkembangan rajungan dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu
juwana dengan lebar karapas 20-80 mm, menjelang dewasa dengan lebar 70-150 mm, dan
dewasa dengan lebar karapas 150-200 mm (Mossa 1980 dalam Fatmawati 2009). Secara
umum morfologi rajungan berbeda dengan kepiting bakau, di mana rajungan (Portunus
pelagicus) memiliki bentuk tubuh yang lebih ramping dengan capit yang lebih panjang dan
memiliki berbagai warna yang menarik pada karapasnya. Duri akhir pada kedua sisi karapas
relatif lebih panjang dan lebih runcing.
B. Habitat dan Penyebaran
Menurut Moosa (1980) habitat rajungan adalah pada pantai bersubstrat pasir,pasir berlumpur dan
di pulau berkarang, juga berenang dari dekat permukaan laut (sekitar 1 m) sampai kedalaman 65
meter. Rajungan hidup di daerah estuaria kemudian bermigrasi ke perairan yang bersalinitas lebih
tinggi untuk menetaskan telurnya, dan setelah mencapai rajungan muda akan kembali ke estuaria
(Nybakken 1986).
Rajungan banyak menghabiskan hidupnya dengan membenamkan tubuhnya di permukaan pasir
dan hanya menonjolkan matanya untuk menunggu ikan dan jenis invertebrata lainnya yang mencoba
mendekati untuk diserang atau dimangsa. Perkawinan rajungan terjadi pada musim panas, dan terlihat
yang jantan melekatkan diri pada betina kemudian menghabiskan beberapa waktu perkawinan dengan
berenang (Susanto 2010).
Menurut Juwana (1997), rajungan hidup di berbagai ragam habitat, termaksud tambak-tambak
ikan di perairan pantai yang mendapatkan masukan air laut dengan baik. Kedalaman perairan tempat
rajungan ditemukan berkisar antara 0-60 m. Substrat dasar habitat sangat beragam mulai dari pasir
kasar, pasir halus, pasir bercampur lumpur, sampai perairan yang ditumbuhi lamun.
Menurut Nontji (1986) dalam Jafar (2011), rajungan merupakan salah satu jenis dari famili
Portunidae yang habitatnya dapat ditemukan hampir di seluruh perairan pantai Indonesia, bahkan
ditemukan pula pada daerah-daerah subtropis. Nyabakken (1986) mengemukakan bahwa rajungan
hidup sebagai binatang dewasa di daerah estuaria dan di teluk pantai. Rajungan betina bermigrasi ke
perairan yang bersalinitas lebih tinggi untuk menetaskan telurnya dan begitu stadium larvanya
dilewati rajungan muda tersebut bermigrasi kembali ke muara estuaria.
Rajungan hidup pada kedalaman air laut sampai 40 m, pada daerah pasir, lumpur, atau pantai
berlumpur (Coleman 1991).
C. Siklus Hidup Kepiting Rajungan (P. pelagicus)

Menurut Effendy dkk. (2006), rajungan hidup di daerah estuaria kemudian bermigrasi ke perairan
yang mempunyai salinitas lebih tinggi. Saat telah dewasa, rajungan yang siap memasuki masa
perkawinan akan bermigrasi di daerah pantai. Setelah melakukan perkawinan, rajungan akan kembali
ke laut untuk menetaskan telurnya.
Saat fase larva masih bersifat planktonik yang melayang-layang di lepas pantai dan kembali ke
daerah estuaria setelah mencapai rajungan muda. Saat masih larva, rajungan cenderung sebagai
pemakan plankton. Semakin besar ukuran tubuh, rajungan akan menjadi omnivora atau pemakan
segala. Jenis pakan yang disukai saat masih larva antara lain udang-udangan seperti rotifera
sedangkan saat dewasa, rajungan lebih menyukai ikan rucah, bangkai binatang, siput, kerang-
kerangan, tiram, mollusca dan jenis krustacea lainnya terutama udang-udang kecil, pemakan bahan
tersuspensi di daratan lumpur (Effendy, dkk 2006).

D. Alat dan Tehnik Penangkapan


Alat tangkap yang digunakan dalam menangkap Kepiting rajungan (P. pelagicus) yaitu bubu
hanyut. Menurut Amgyat (1982) dalam Jafar (2011), bubu hanyut merupakan alat tangkap rajungan
yang terbuat dari besi dengan ukuran 80x60 cm, seperti yang disajikan pada Gambar 2. Pengoperasian
bubu dilakukan secara berderetan, dihubungkan pada tiap-tiap bubu, yang diberikan pemberat utama
dan pelampung tanda yang berbendera. Bubu dioperasikan selama 24 – 48 jam.

Gambar 2. Bubu yang terbuat dari besi

E. Hubungan antara Inang dan Ektoparasit

Ektoparasit adalah parasit yang melekat pada bagian permukaan tubuh inang. Ektoparasit
mempunyai habitat yang berbeda pada bagian permukaan tubuh inang sebagai tempat hidupnya.
Parasit yang menginfeksi bagian permukaan tubuh inang adalah protozoa, monogenea dan
copepod. Akibat dari infeksi ektoparasit ini akan memberikan perubahan-perubahan baik pada
jaringan organ tubuh maupun perubahan sifat-sifat inang secara umum Nourina dan Martiadi (2002)
menyebutkan bahwa ektoparasit dapat merugikan inangnya dengan banyak cara, yaitu dengan
mengisap darah, mengisap makanan hospes dan menyerap jaringan tubuh inang, akibat dari hal
tersebut akan berdampak negatif pada inang yakni dapat merusak jaringan tubuh, menimbulkan
gangguan mekanik, membawa bibit penyakit (vektor), menimbulkan penyumbatan secara mekanis,
menurunkan resistensi tubuh hospes terhadap penyakit lainnya (Ratmin, 2002).
Menurut Izhar (1998) dalam Sarita dkk. (2003) bahwa ektoparasit adalah yang hidup pada
permukaan tubuh inang atau rongga tubuh yang terbuka, seperti kulit, mata, sirip, insang dan
mulut. Sedangkan menurut Anderson (1974) dalam Fatmah (2001) bahwa ektoparasit adalah suatu
jenis penyakit yang menyerang bagian tubuh luar ikan. Bagian tubuh yang umumnya terinfeksi
adalah bagian luar yaitu kulit, insang, sirip dan mata.
Pemeriksaan terhadap setiap hospes (inang) harus dimulai dari bagian luar tubuh misalnya kulit
yang umumnya merupakan tempat tinggal copepoda, crustacea, nematoda monogenik dan beberapa
jenis protozoa. Tampat berikut yang harus diperiksa adalah di dalam mulut dan insang, sebab pada
kedua tempat tersebut, mungkin ditemukan cacing dari jenis yang sama pada kulit dan jenis-jenis lain
(Noble dan Noble, 1989) dalam Sarita, dkk (2003).
Menurut Afrianto dan Liviawaty (1992), menjelaskan bahwa untuk mengetahui jenis dan jumlah
ektoparasit yang menempel pada tubuh inang perlu adanya identifikasi dan intensitas. Identifikasi
pada dasarnya merupakan pengenalan dan deskripsi dari spesies yang kita teliti sedangkan intensitas
adalah jumlah rata-rata ektoparasit yang menempel pada permukaan tubuh inang/organisme.

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli – September 2014, pengambilan sampel penelitian
bertempat di Desa Lakara, Kecamatan Tinanggea Kabuapaten Konawe Selatan dan pengamatan
ektoparasit dilakukan di Laboratorium Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Halu Oleo, Kendari.

B. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Alat dan
Bahan pada Penelitian

No. Alat dan Bahan Kegunaan


a. Alat
1. Mikroskop elektrik Untuk pengamatan sampel dan
pengambilan foto
2. Objek gelas Tempat sampel yang diamati
3. Kaca penutup Penutup objek gelas
4. Pinset Penjepit sampel
5. Petri disk Tempat sampel yang diamati
6. Dissecting set Untuk memotong organ sampel
7. Bubu besi Sebagai alat tangkap Rajungan
8. Buku identifikasi Untuk mengidentifikasi jenis
ektoparasit yang ditemukan
9. Thermometer Untuk mengukur suhu perairan
10. Hand Refraktometer Untuk mengukur salinitas perairan
11. pH meter Untuk mengukur pH perairan

b. Bahan
1. Kepiting rajungan Sebagai sampel
2. (P. pelagicus) Dapat mempermudah pewarnaan
Metilen blue parasit
3. Untuk mensterilkan alat
4. Akuadest Untuk membersihkan alat
Tissu

C. Prosedur Penelitian

1. Pengambilan Sampel
Sampel Kepiting rajungan (P. pelagicus) diambil pada hasil tangkapan bubu di perairan desa
Lakara, Kecamatan Tinanggea, Kabupaten Konawe Selatan. Pengambilan sampel dilakukan enam kali
selama tiga bulan dengan selisih waktu 15 hari setiap pengambilan sampel. Kepiting rajungan dipilih
yang kondisinya masih baik atau dalam keadaan hidup dan dikelompokan berdasarkan lebar
karapasnya, tingkat perkembangan rajungan dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu juwana dengan
lebar karapas 20-80 mm, menjelang dewasa dengan lebar 70-150 mm, dan dewasa dengan lebar
karapas 150-200 mm.

2. Pemeriksaan/Identifikasi Ektoparasit

Prosedur pemeriksaan ektoparasit mengacu pada prosedur yang dikemukakan Kabata (1985) yaitu
sebagai berikut :
- Mengamati bagian luar tubuh organisme, kemudian mencatat jika terjadi pendarahan, luka atau
pembengkakan dan memperhatikan jenis organisme yang melekat pada tubuh Kepiting
rajungan (P. pelagicus)
- Mengeruk bagian-bagian tertentu pada bagian luar tubuh rajungan seperti karapaks, kaki jalan,
kaki renang dan insang,
- Mengambil dengan pingset kemudian meletakan pada objek glass yang telah disediakan dan
diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran 100X
- Melihat jenis ektoparasit yang telah ditemukan kemudian bandingkan pada buku identifikasi.

3. Penghitungan Intensitas Ektoparasit

Intensitas merupakan kuantitas yang diukur berdasarkan ukuran dari suatu objek yang diteliti.
Persamaan intensitas jenis ektoparasit dihitung dengan jumlah total parasit tertentu yang menginfeksi
dibagi jumlah Portunus pelagicus yang terserang ektoparasit tertentu. Penghitungan intensitas
ektoparasit menggunakan rumus Bush et al, (1997) yaitu sebagai berikut :
Dimana : I = Intensitas serangan ektoparasit (Individu/ekor)
p = Jumlah parasit yang ditemukan (Individu)
N= Jumlah sampel yang terinfeksi (ekor)

4. Perameter Kualitas Air

Parameter yang diukur dalam penelitian ini yaitu suhu perairan (0C), salinitas perairan (ppt) dan
pH.

5. Analisis Data
Data sampel ektoparasit yang ditemukan dari hasil identifikasi dan intensitas serangan parasit
pada Kepiting rajungan (P. pelagicus) serta data parameter kualitas perairan dianalisis secara
deskriptif yaitu analisa data yang telah diperoleh secara sistematis dan terperinci dengan
menggunakan bagan, diagram maupun tabel (Yusufdkk, 2012).

DAFTAR PUSTAKA
Afrianto dan Liviawaty, 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan. Kanisius. Yogiakarta.
110 hal.
Amgyat.N.T. 1982. Bahan dan Desain Jaring Insang Hanyut. Jakarta. 12 hlm.
Bush, A. O., Lafferty, K.D., Lotz, J.M., and Shostak, W. 1997. Parasitology Meets Ecologi
on its Own Terms Morgolis. Resivited. Parasitology. 83:575-583.
Coleman. N. 1991. Encyclopedia of marine animals. Angus & Robertson, An Inprint of
harper colling Publishers. Australia, 324 pp.
Effendy, S., Sudirman, S. Bahri, E. Nurcahyono, H. Batubara, dan M. Syaichudin. 2006.
Petunjuk Teknis Pembenihan Rajungan (Portunus Pelagicus Linnaenus). Diterbitkan
Atas Kerjasama Departemen Kealutan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan
dengan Balai Budidaya Air Payau, Takalar.
Fatmawati. 2009. Kelimpahan Relatif dan Struktur Ukuran Rajungan Di Daerah Mangrove
Kecamatan Tekolabbua Kabupaten Pangkep.Skripsi. Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Grabda, J. 1991. Marine Fish Parasitogy : An Outline. Weinheim. New York. PWN-Polish
Scientific Publishers. Warszawa. hal 3-267.
Jafar, L. 2011. Perikanan Rajungan Di Desa Mattiro Bombang (Pulau Salemo, Sabangko Dan
Sagara) Kabupaten Pangkep. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Universitas Hasanuddin. Makassar. 105 hal.
Juwana, S. 1997. Tinjauan tentang Perkembangan Penelitian Budidaya Rajungan (Portunus
pelagicus,Linn). Oseana 22(4); 1-12.
Kabata, Z. 1985. Parasites dan Diseases of Fish Cultured in The Tropics. Taylor & Francis,
London, Philadelphia. 317 pp.
Mania. 2007. Pengamatan Aspek Biologi Rajungan dalam Menunjang Teknik Perbenihannya.
http://ikanmania.wordpress.com/2007/12/31/ pengamatan- aspek-biologi- rajungan-
dalam- menunjang- teknik perbenihannya. (Akses 11 Juni 2014).
Mirzads. 2009. Pengemasan Daging Rajungan Pasteurisasi dalam Kaleng.
http://mirzads.wordpress.com/2009/02/12/pengemasan-daging-rajungan pasteurisasi-
dalam-kaleng/. (Akses 12 Juni 2014).
Moosa, M. K. 1980. Beberapa Catatan Mengenai Rajungan dari Teluk Jakarta dan Pulau-
Pulau Seribu. Sumberdaya Hayati Bahari, Rangkuman Beberapa Hasil Penelitian
Pelita II. LON-LIPI, Jakarta. Hal 57-79.
Mustafa, A., Abdullah dan D. Oetama. 2011. Studi Disain dan Pengoperasian Long Line Pots
sebagai Alat Penangkap Rajungan (Swimming Crab) yang Efisien dan Ramah
Lingkungan. Laporan Penelitian. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Haluoleo. Kendari.
Noble, E. R., G. A. Noble, G. A. Schad dan A. J. McInnes, 1989. Parasitology : The Biologi
Of Animal Parasiter. 6 th Ed. Lea end Febiger. Philadelphia. London. 549 hal.
Nourina dan Martiadi, 2002. Inventrisasi Parasit Pada Tubuh Ikan. PT. Rineka Cipta. Jakarta.
130 Hal.
Nontji, A. 1986. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta. 105 hlm.
Nyabekken, J.W. 1986. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Biologi. Penerbit Gramedia, Jakarta.
Ratmin, R. 2002. Inventarisasi Ektoparasit dan Endoparasit Pada Tubuh Ikan Lema
(Rastrelliger canagurta, curiver) di Perairan Seri Kotamadya Ambon. Skripsi.
Fakultas Perikanan Universitas Pattimura. Ambon. 100 hal.
Sarita, A., H., Nurdin, A., R., Nur, I., dan Riani, I., 2003. Penuntun Praktikum Parasit dan
penyakit Ikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Haluoleo. Kendari.
Sinderman, C. J. 1990. Diseases of Marine Fish in Principal and Shellfish. Vol 1 Second
Edition. Academic Press, Inc. San Diego. California. 15 Hal.
Susanto, N. 2010. Perbedaan antara Rajungan dan Kepiting. http://blog.unila.
ac.id/gnugroho/category/bahan-ajar/karsinologi/. (Akses 11 Juni 2014).
Yusuf Irvansyah, M., Abdulgani, N., dan Mahasri, G., 2012. Identifikasi dan Intensitas
Ektoparasit pada Kepiting Bakau (Scylla serrata) Stadia Kepiting Muda di
Pertambakan Kepiting, Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo. Jurnal Sains dan Seni
ITS Vol. 1. Departemen Perikanan, Fakultas Perikanan Universitas Airlangga.
MENGENAL IKAN PARI
(Dasyatis sp.)

Seputarika - Ikan pari adalah kelompok ikan yang merupakan ikan bertulang rawan sama
dengan hiu. Mereka diklasifikasikan dalam subordo Myliobatoidei dari Myliobatiformes
ketertiban dan terdiri dari delapan keluarga: Hexatrygonidae (ikan pari sixgill), Plesiobatidae
(ikan pari air dalam), Urolophidae (stingarees), Urotrygonidae (sinar bulat), Dasyatidae (ikan
pari whiptail), Potamotrygonidae (ikan pari sungai), Gymnuridae (sinar kupu-kupu), dan
Myliobatidae (pari elang).

Deskripsi
Kebanyakan ikan pari memiliki satu atau lebih sengatan berduri (dimodifikasi dari dentikel
kulit) pada ekor, yang digunakan secara eksklusif untuk membela diri. Stinger dapat
mencapai panjang sekitar 35 cm, dan bagian bawahnya memiliki dua taring seperti alur
dengan kelenjar racun. stinger ditutupi dengan lapisan tipis kulit selubung yg menutupi, di
mana racun terkonsentrasi. beberapa anggota tidak memiliki sengatan.

Ikan pari yang umum di perairan laut pesisir tropis dan subtropis di seluruh dunia, dan juga
termasuk spesies yang ditemukan di lautan beriklim lebih hangat, seperti Dasyatis thetidis,
dan yang ditemukan di laut dalam, seperti Plesiobatis daviesi. Ubur-ubur sungai, dan
sejumlah ikan pari whiptail (seperti ikan pari Niger). Kebanyakan myliobatoids yang
demersal (di sebelah zona terendah), tetapi beberapa, seperti ikan pari pelagis dan pari elang.

Karakteristik (Prilaku)
Sementara sebagian besar ikan pari relatif banyak jumlah populasinya dan saat ini tidak
terancam punah, untuk beberapa spesies (misalnya Taeniura meyeni, D. colarensis, D.
garouaensis, dan D. laosensis), status konservasi yang lebih bermasalah, yang menyebabkan
mereka yang terdaftar sebagai rentan atau terancam punah oleh IUCN.

Status beberapa spesies lain yang kurang dikenal, yang menyebabkan mereka yang terdaftar
sebagai Data Kurang. Badan rata ikan pari memungkinkan mereka untuk secara efektif
menyembunyikan diri di lingkungan mereka. melakukan hal ini dengan mengaduk pasir dan
bersembunyi di bawahnya

Karena mata mereka berada di atas tubuh mereka dan mulut mereka pada sisi bawah, ikan
pari tidak bisa melihat mangsanya; sebagai gantinya, mereka menggunakan bau dan
electroreceptors (disembut ampullae dari Lorenzini) mirip dengan hiu. ikan pari memakan
terutama moluska, krustasea, dan kadang-kadang juga ikan kecil. Beberapa mulut ikan pari
'mengandung dua gigi taring yang kuat.
Biologi
Ikan Pari adalah ovoviviparous, bantalan muda hidup dalam "dasar laut" dari lima sampai 13.
Betina memegang embrio dalam rahim tanpa plasenta. Sebaliknya, embrio menyerap nutrisi
dari kantung kuning telur, dan setelah kantung habis, induk menyediakan Makanan dalam
arahimnya. Baca Juga

A. Morfologi
Berdasarkan hasil pengamatan ikan pari Dasyatus Sabina, secara morfologi memiliki
bentuk tubuh yang pipih dorsal dan ventral, tidak memiliki duri/ pina dorsalis seperti pada
ikan Squalus acanthias. Tubuh bagian dorsal memiliki warna yang lebih gelap dibandingkan
tubuh bagian ventral dengan bitnik-bintik. Ikan pari Dasyatus Sabina memiliki ekor yang
digunakan untuk pertahanan diri, berbentuk memanjang dengan permukaan yang agak kasar.
Ekor ikan Dasyatus Sabina biasanya mengandung toksik yang dapat mematikan.

B. Anatomi
Berdasarkan hasil pengamatan Dasyatus Sabina, secara anatomis system pencernaan ikan
Dasyatus Sabina hamper sama dengan ikan hiu namun struktur pada ikan hiu lebih panjang.
Selain itu ikan Dasyatus Sabina memiliki mulut yang terletak dibagian ventral, dimana gigi
ikan Dasyatus Sabina berjumlah lebih kurang 800 berbentuk pasak dan nyaris
tersenyembunyi dibawah kulit. Hati dengan struktur 2 buah lobus dan pancreas terdapat
diantara lambung dan usus hingga anus. System respirasi dengan menggunakan insang yang
terletak dibagian ventral tubuh, tepat dibawah mulut. System sirkulasi oleh jantung
dibungkus pericardium. Jantung berhubungan dengan insang sebagai organ tempat difusi
udara.

1. GAMBARAN UMUM IKAN PARI Dasyatis sp.

Ikan pari (rays) termasuk ke dalam sub kelas elasmobrancii (ikan bertulang rawan). Ikan ini
dikenal sebagai ikan batoid, yaitu sekelompok ikan bertulang rawan yang mempunyai ekor seperti
cambuk. Ikan ini diperkirakan memiliki lebih dari 300 spesies dan bersifat kosmopolitan di laut (Bond
1979). Distribusi geografis ikan pari sangat luas. Ikan pari ditemukan di perairan tropis, subtropis
(beriklim sedang), dan perairan antartika yang dingin.

Berikut klasifikasi ikan pari Dasyatis sp.

Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Chondrichthyes
Subkelas : Elasmobranchii
Ordo : Myliobatiformes
Famili : Dasyatidae
Genus : Dasyatis
Beberapa spesies dari genus Dasyatis antara lain: D. americana, D. imbricatus, D kuhlii, D.
lata, D. longa, D. margarita, D. bennetti, D. brevicaudatus, D. sabina, D. centroura, D. chrysonota, D.
marmorata, D. pastinaca, D. margarita, D. margaritella, D. rudis, D. thetidis (Schwartz 2007; Jerez et
al. 2011).

Ikan yang relatif lebih datar dibandingkan hiu ini, mempunyai bentuk tubuh gepeng melebar
(depressed). Sepasang sirip dada (pectoral fins) yang melebar dan menyatu dengan sisi kiri-kanan
kepalanya, membuat tampak atas dan tampak bawah ikan ini terlihat bundar atau oval. Lebar
ukuran tubuh ini umumnya dijadikan sebagai acuan untuk melihat pola pertumbuhan dan ukuran
saat kematangan gonad (Schwartz 2007; Henningsen & Leaf 2010). Ikan pari umumnya mempunyai
ekor yang sangat berkembang, berukuran panjang dan menyerupai cemeti. Berikut pada gambar 1
dan 2 disajikan morfologi ikan pari Dasyatis sp.

Gambar 1. Morfologi ikan pari Dasyatis kuhlii.

Ikan pari memiliki celah insang, mulut, anus, serta klasper yang terletak disisi ventral kepala.
Bentuk ekor seperti cambuk pada beberapa spesies dengan sebuah atau lebih duri tajam di bagian
ventral dan dorsal. Ekor ikan pari pada beberapa spesies dilengkapi duri penyengat yang
mengandung racun sehingga disebut stingrays. Mata ikan pari umumnya terletak pada kepala bagian
samping. Posisi dan bentuk mulutnya terminal. Alat pernapasan berupa celah insang (gill
openings atau gill slits), berjumlah 5-6 pasang. Posisi celah insang berada di dekat mulut pada bagian
ventral.

Ukuran ikan pari dewasa bervariasi. Ikan pari yang berukuran relatif kecil memiliki panjang 10
cm dan lebar 5 cm. Ikan pari terbesar, dikenal juga pari manta, berukuran panjang 700 cm, lebar
610 cm, dan berat 1-3 ton (Bond 1979).
2. EKOLOGI Dasyatis sp.

Ikan pari (famili Dasyatidae) mempunyai variasi habitat yang sangat luas dengan pola sebaran
yang unik. Daerah sebaran ikan pari adalah perairan pantai dan kadang masuk ke daerah pasang
surut. Dasyatis sp. banyak ditemukan pada habitat dasar di perairan pesisir (Schwartz
2007). Habitat ikan pari ini berada di dasar perairan berlumpur, lumpur berpasir, tanah keras,
bahkan yang berbatu atau koral.

Dasyatis pastinaca merupakan salah satu contoh ikan pari yang hidup di perairan dengan
substrat lumpur atau pasir dan kadang-kadang memasuki periran dengan substrat batu karang atau
ke daerah estuari. Beberapa jenis ikan pari tidak hidup di dasar perairan, melainkan di zona
epipelagis, misalnya dari genus Manta. Dasyatis longa memiliki habitat di daerah estuari dengan
dasar lumpur atau pasir minimal pada kedalaman 100 m dibawah permukaan air laut (Garcia et al.
2012).

Perubahan ontogeni juga berpengaruh terhadap habitat Dasyatis sp. Garcia et al. (2012)
menjelaskan bahwa pada saat juvenile, Dasyatis longa akan hidup di habitat dasar berlumpur, ketika
dewasa beralih ke dasar dengan substrat berbatu-batu. Jerez et al.(2011) mengungkapkan bahwa D.
centroura dan D. pastinaca banyak ditemukan di sekitar area budidaya ikan di pesisir.

Beberapa speseis Dasyatis umumnya akan memasuki air tawar di area Amerika utara bagian
tenggara walaupun tidak sampai menembus ke hulu (Berra 2001). D. sabinaatau yang lebih dikenal
dengan sebutan Atlantic stingrays mampu mentolerir variasi salinitas dan dapat masuk ke air tawar.
Hal ini telah dilaporkan berdasarkan penelitian di sungai Missisipi, danau Pontchartrain, dan sungai
St. Johns. Spesies ini umumnya memiliki habitat di pesisir dangkal dengan dasar berpasir atau
berlumpur. Menyukai suhu perairan 15°C dan dapat mentolelir hingga suhu 30°C.

Beberapa Dasyatis tropis hanya ditemukan di perairan tawar Asia, Afrika, Papua New Guinea,
dan Australia. Selain itu terdapat pula D. garouaensis yang merupakan pari endemik dari perairan
tawar Afrika, D. ukpam dari persilangan sungai di Nigeria (sungaiOgowe dan sungai Congo),
serta D. laosensis spesies endemik dari sungai Mekong, perbatasan antara Laos dan Thailand.

3. PERTUMBUHAN Dasyatis sp.


Seperti ikan pada umumnya, pertumbuhan ikan pari dipengaruhi oleh dua faktor; faktor dalam
dan faktor luar. Faktor dalam dapat berupa genetik, umur atau ukuran, ketahanan terhadap
penyakit, dan kemampuan memanfaatkan makanan. Faktor luar berupa pengaruh lingkungan
meliputi sifat fisika kimia perairan serta komponen hayati seperti ketersediaan makanan dan
kompetisi.

Pola pertumbuhan Dasyatis imricatus telah diteliti oleh Devadoss (1983). Hasil yang
didapatkan bahwa hubungan panjang berat ikan jantan adalah W = 0,00004070 x L2,9838 dan untuk
ikan betina W = 0,0000009114 x L3,6907. Berdasarkan pola tersebut dapat diketahui bahwa nilai b
pada ikan betina lebih besar dibandingkan ikan jantan. Pola pertumbuhan D. imricatus tidak
sepenuhnya bersifat isometrik.

Tingkat kedewasaan ikan pari jantan dilihat pada ukuran klaspernya (berfungsi sebagai alat
kelamin), sedangkan pari betina didaasarkan pada ada tidaknya telur pada indung telur. Ikan pari
jantan muda dicirikan oleh ukuran klasper yang lebih pendek dari sirip perut (pelfic fin), ikan pari
mulai dewasa memiliki klasper yang sejajar dengan sirip perut, dan ikan pari dewasa mempunyai
klasper yang ukurannya lebih panjang dari sirip perut (gambar 4)

4. REPRODUKSI Dasyatis sp.

Ikan pari merupakan dioecious. Ikan pari jantan dilengkapi sepasang alat kelamin, disebut
klasper (clasper) yang terletak di pangkal ekor. Ikan pari betina tidak dilengkapi klasper, tetapi
lubang kelaminnya mudah dilihat. Ikan pari berkembang biak secara ovovivivar dengan jumlah anak
sekitar 5-6 ekor.

Pengamatan yang dilakukan pada reproduksi ikan pari Dasyatis pastinaca menunjukkan hasil
bahwa setelah terjadi pembuahan, embrio pada akan mendapatkan energi dari kuning telur yang
selanjutnya diberikan suplemen oleh histotrof (uterine milk yang diperkaya dengan protein, lemak,
dan mukosa). Transfer energi ini dilakukan dari induk betina melalui sejumlah uterine
epithelium yang disebut troponemata.

Ukuran pertama kali matang gonad ditentukan berdasarkan rata-rata berat tubuh dan rata-
rata panjang ikan dan dapat juga berdasarkan perhitungan persentase berat hati dibandingkan berat
tubuh (Devadoss 1983). D. americana jantan umumnya matang gonad pada ukuran lebar tubuh 48-
52 cm, sedangkan ikan betina pada ukuran lebar tubuh 75-80 cm. Umur saat pertama kali matang
gonad pada ikan jantan sekitar 3-4 tahun, sedangkan betina sekitar 5-6 tahun. Karakteristik ini juga
mengindikasikan bahwa pertumbuhan dan umur pada saat matang gonad dari D. americana sama
seperti pada Dasyatis sp. pada umumnya (Henningsen &Leaf 2010).

Meskipun umur dan ukuran pada saat matang gonad hampir sama pada setiap
spesies Dasyatis, terdapat juga variasi ukuran antar individu pada spesies yang sama. Variasi ini jelas
terlihat berbeda berdasarkan sebaran geografis (Henningsen & Leaf 2010). Hal ini mengindikasikan
bahwa faktor lingkungan berperan sangat penting bagi pertumbuhan dan kematangan
gonad Dasyatis sp. Kesesuaian habitat, kecukupan makanan, dan kenyamanan ikan (faktor fisika-
kimia perairan, predator, pencemaran) menjadi hal penting yang berpengaruh pada proses biologis
ikan.

Ilmuwan terdahulu telah melakukan studi untuk melihat hubungan antara ukuran hati dengan
saat pertama kali matang gonad. Devadoss (1983) menjelaskan bahwa ada suatu mekanisme
perkembangan tertentu pada hati yang terjadi secara signifikan sebelum dan sesudah awal
kematangan individu. Berat hati maksimum Dasyatis imbricatussebesar 6,5% dari berat tubuh rata-
rata (220 gr) ditemukan pada ikan-ikan yang betina yang sedang tidak memijah, dan sebesar 3,2%
pada ikan jantan dengan berat tubuh rata-rata 190 gr.
Tahap awal dari proses pemijahan menyebabkan berat hati mencapai maksimum, akan tetapi
secara berangsur-angsur akan menurun selama perkembangan periode kehamilan. Hati berfungsi
sebagai tempat penyimpanan energi yang dikonsumsi selama proses kehamilan sebagai makanan
selama perkembangan embrio (Devadoss 1983).

5. MAKANAN DAN KEBIASAAN MAKAN Dasyatis sp.


Ikan pari termasuk pemakan di dasar perairan (bottom feeder). Ikan ini umumnya bersifat
sebagai predator, memiliki gigi kecil-kecil yang berfungsi sebagai penghancur. Tubuh yang berbentuk
pipih dorsoventral dengan mulut pada posisi ventral membuat ikan ini sangat cocok untuk
mengkonsumsi hewan dasar, baik infauna maupun epifauna.

Garcia et al. (2012) menjelaskan bahwa preferensi makanan untuk ikan-ikan predator, seperti
halnya Dasyatis sp. termasuk kompleks. Pilihan makanan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor
misalnya ketersediaan, pergerakan dan kelimpahan mangsa, faktor lingkungan, tahapan
perkembangan individu, serta umur.

Berdasarkan analisis isi lambung yang dilakukan Devadoss (1983), dapat diketahui bahwa
ikan Dasyatis imbricatus mengkonsumsi krustasea (64,8%); polichaeta (33,5%); gastopoda dan
bivalvia (0,3%); serta larva ikan dan ikan muda (1,4%). Umumnya juga ditemukan berbagai jenis
butiran pasir pada organ pencernaan ikan pari.

Penelitian yang dilakukan Garcia et al. (2012) memberikan hasil bahwa Dasyatis
longa memiliki ruas relung makanan yang sempit. Sebagian besar makanannya berupa udang
(49,5%), ikan (26%), dan stomatopod (15,6%). Penelitian ini juga membuktikan bahwa terdapat
perbedaan makanan yang dikonsumsi berdasarkan tahapan perkembangan individu. D. longa muda
hanya mengkonsumsi udang. Bertambahnya usia menyebabkan kebutuhan nutrisi juga
berubah. D. longa dewasa mengonsumsi tidak hanya udang melainkan juga kepiting, stomatopod,
dan ikan teleostei. Kebiasaan makan D. longadipengaruhi oleh ukuran, bukan pada jenis kelamin
atau musim. D. longa pada trofik level digolongkan sebagai konsumen sekunder atau tersier.

6. PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP PROSES


BIOLOGIS Dasyatis sp.
Theiss et al. (2007) melakukan penelitian paparan cahaya yang berbeda terhadap adaptasi
sistem sensori pada Dasyatis kuhlii. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa paparan
cahaya yang berbeda menyebabkan perubahan sistem sensori pada D. kuhlii. Paparan cahaya
maksimum untuk sistem sensori D. kuhlii terletak pada panjang gelombang 497 nm, sedangkan
panjang gelombang <380 nm tidak dapat direspon. Hal ini memandakan bahwa D. kuhlii tidak
sensitif terhadap radiasi ultraviolet.

Perubahan lingkungan juga berpengaruh terhadap proses reproduksi pada Dasyatis Sabina.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Johnson dan Snelson (1996) diperoleh hasil bahwa
perubahan musim yang ekstrim menyebabkan stress fisiologi pada Dasyatis sabina. Hal ini
berdampak pada penurunan heparosomatic index dan lemak hati yang mengindikasikan adanya
perubahan proses fisiologis dalam tubuh D. Sabina. Perubahan ini menyebabkan kegagalan proses
reproduksi D. Sabina selama akhir musim gugur dan musim semi tahun 1991 di sungai St. Johnson,
Florida.

Perubahan lingkungan juga menyebabkan adanya migrasi Dasyatis sabrina dari laut hingga ke
perairan tawar sungai St. Johns, sekitar 300 km dari laut. Migrasi ini merupakan migrasi yang
konstan dilakukan oleh D. sabrina. Hasil penelitian Piermarini dan Evans (1998) menunjukkan
bahwa D. sabrina telah memiliki mekanisme osmoregulasi untuk beradaptasi terhadap perubahan
salinitas.

DAFTAR PUSTAKA
`Berra TM. 2001. Freshwater Fish Distribution. California: Academis Press. 606 hal.

Bond CE. 1979. Biology of Fishes. Philadephia: W.B. Saunders Company. 514 hal.

Devadoss P. 1983. Further Observations on the Biology of the Stingray, Dasyatis


imbricatus (Schneider) at PortoNovo. Matsya 9-10; 129-134.

Garcia JL, AF Navia, PAM Falla, EA Rubio. 2012. Feeding Habits and Trophic Ecology of Dasyatis
longa (Elasmobranchii: Myliobatiformes): sexual, temporal and ontogenetic effects. Journal
of Fish Biology (2012) 80, 1563–1579.

Henningsen AD, RT Leaf. 2010. Observations on the Captive Biology of the Southern
Stingray. Transactions of the American Fisheries Society 139:783–791.

http://www. discoverlife.org. [diakses tanggal 28 Juni 2012].

http://www.wikipedia.org. [diakses tanggal 28 Juni 2012].

Jerez PB, DF Jover, I Uglem, PA Lopez, T Dempster, JTB Sempere, CV Pérez, D Izquierdo, PA Bjørn, R
Nilsen.2011. Artificial Reefs in Fisheries Management. Edited by Bortone SA,FP Brandini, G
Fabi, S Otake. Florida: CRC Press Taylor & Francis Group.

Jobling M. 1995. Environmental Biology of Fishes. London: Chapman & Hall. 454 hal.

Johnson MR, FF Snelson. 1996. Reproductive Life History of the Atlantic StingraysDasyatis
sabina (Pisces, Dasyatidae) in the Freshwater St. Johns River, Florida.Bulletine of Marine
Science 59(1): 74-88.

Piermarini PM, DH Evans. 1998. Osmoregulation of the Atlantic Stingray (Dasyatis sabina) from the
Freshwater Lake Jesup of the St. Johns River, Florida.Physiological Zoology 71(5): 553-560.

Schwartz FJ. 2007. A Survey of Tail Spine Characteristics of Stingrays Frequenting African,
Arabian to Chagos-Maldive Archipelago Waters. Smithiana Bulletin 8: 41-52.

Theiss SM, TJ Lisney, SP Collin, NS Hart. 2007. Colour Vision and Visual Ecology of the Blue-spotted
Maskray, Dasyatis kuhlii Mu¨ ller & Henle, 1814. J Comp Physiol A 193:67–79.
Cumi-Cumi
BAB I

PENDAHULUAN
Mollusca merupakan hewan yang mempunyai ciri bertubuh lunak. Tubuhnya bersimetri bilateral,
pada anterior terdapat kepala, kaki terletak di ventral dan bagian dorsal berisi organ visceral.
Memiliki kepala yang jelas dengan organ reseptor kepala yang bersifat khusus, dinding tubuh tebal
dan berotot, mempunyai mantel atau pallium yang berfungsi untuk mensekresi cangkang dan
melingkupi rongga mantel yang di dalamnya berisi insang. Habitatnya mulai dari laut sampai garis
pasang surut tertinggi. Sifat hidupnya bebas dan ada yang bersifat parasit pada organisme lain.
Adapun hewan yang termasuk dalam filum ini antara lain remis, tiram, cumi-cumi, oktopus dan
siput. Menurut para ahli, filum mollusca ini dapat dibedakan dalam beberap kelas, yaitu
Aplacophora, Monoplacophora, Polyplacopora, Schapopoda, Gastropoda, Bivalvia dan Cephalopoda.
Untuk lebih memahami Mollusca, dalam laporan ini saya membahas tentang pengamatan morfologi
dan anatomi pada cumi-cumi (Loligo sp) yang termasuk dalam kelas Cephalopoda dari filum
Mollusca.
1.1 Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari morfologi dan anatomi tubuh cumi-
cumi (Loligo sp).

1.2 Kajian Teori.

Cephalopoda merupakan salah satu kelas yang terdapat dalam filum Mollusca. Di dalamnya
mencakup semua gurita, cumi-cumi, dan sotong. Namanya berasal dari bahasa Yunani, yaitu cephal
yang berarti kepala dan poda yang berarti alat gerak. Jadi, cephalopoda adalah kaki yang bergabung
di kepala dengan bentuk tangan/sifon. Ciri khas hewan ini memiliki tentakel di sekitar kepalanya,
yang berfungsi seperti tungkai (lengan dan kaki). Ilmu yang mempelajari Cephalopoda disebut
sebagai teutologi (theutology, “ilmu mengenai cumi-cumi”), dan merupakan cabang dari malakologi.
Hidup Cephalopoda seluruhnya di laut dan secara umum lebih aktif dari mollusca lain,
pergerakannya dilakukan dengan merayap atau berenang di dasar laut secara cepat dengan menekan
dinding tubuh untuk menghasilkan gerakan meluncur dan menyemprotkan air melalui sifon,
sedangkan tentakel dan tangan digunakan untuk mencari makan. Makananya berupa kepiting atau
invertebrata lainnya. Sebagai hewan pemangsa, hampir semua Cephalopoda bergerak cepat dengan
berenang. Umumnya Cephalopoda memiliki organ pertahanan berupa kantong tinta, kecuali
Nautilus. Kantong tinta berisikan cairan seperti tinta berwarna coklat atau hitam yang terletak di
ventral tubuhnya. Tinta ini akan di keluarkan jika hewan ini merasa terancam dengan cara
menyemburkannya. Untuk melindungi dirinya dari serangan musuh, Cephalopoda dapat mengubah
warna tubuh sesuai warna lingkungan. Hal ini dimungkinkan karena pada kulit terdapat pembawa
warna atau kromatofora.

Cephalopoda memiliki sistem saraf yang berpusat di kepalanya menyerupai otak. Chalopoda
bernapas dengan insang dan memiliki organ indera serta sistem saraf yang berkembang baik. Di
dalam mulutnya terdapat radula. Ukuran tubuhnya bervariasi, dari beberapa centimeter hingga
puluhan meter. Kecuali Nautilus, semua anggota tubuh Cephalopoda tidak terlindungi oleh
cangkang. Untuk reproduksi hewan ini berlangsung secara seksual. Cephalopoda memiliki organ
reproduksi berumah dua (dioseus). Pembuahan berlangsung secara internal dan menghasilkan telur.
Pada dasarnya kelas Cephalopoda dapat dibedakan menjadi dua sub kelas berdasar perbedaan
jumlah dan bentuk tentakel. Subkelas Coleidea terdiri atas cumi-cumi, sotong, dan oktopus yang
kesemuanya memiliki 8 tangan dengan batil isap pada permukaan dalam tangan. Subkelas kedua
adalah Nautiloidea, termasuk Nautilus. Hewan ini mempunyai lebih dari 90 tentakel tanpa batil isap
dan tiap tentakel dapat ditarik masuk ke dalam sarungnya.
Berikut akan dibahas lebih jauh tentang Cephalopoda pada hewan cumi-cumi (Loligo sp).
Secara morfologi, tubuh cumi relatif panjang, langsing dan bagian belakang meruncing (rhomboidal).
Tubuh cumi-cumi dibedakan atas kepala, leher dan badan. Kepala terletak di bagaian ventral serta
memiliki dua mata yang besar dan tidak berkelopak, berfungsi sebagai alat untuk melihat. Leher
pendek dan badan berbentuk tabung dengan sirip lateral berbentuk segitiga di setiap sisinya. Pada
kepala terdapat mulut yang dikelilingi oleh empat pasang tangan dan sepasang tentakel (8 tangan
dan 2 tentakel panjang). Pada permukaan dalam tangan dan tentakel terdapat batil isap yang
berbentuk mangkok terletak pada ujung tentakel. Gigi khitin atau kait terletak pada tepi batil isap
untuk memperkuat melekatnya mangsa yang diperolehnya. Di posterior kepala terdapat sifon atau
corong berotot yang berfungsi sebagai kemudi. Jika ia ingin bergerak ke belakang, sifon akan
menyemburkan air ke arah depan, sehingga tubuhnya bertolak ke belakang. Sedangkan gerakan
maju ke depan menggunakan sirip dan tentakelnya. Di bagian perut, tepatnya sebelah sifon akan
ditemukan cairan tinta berwarna hitam yang mengandung pigmen melanin. Fungsinya untuk
melindungi diri. Jika dalam keadaan bahaya cumi-cumi menyemprotkan tinta hitam ke luar sehingga
air menjadi keruh. Pada saat itu cumi-cumi dapat meloloskan diri dari lawan. Sedangkan pada
anterior badan terdapat endoskeleton. Sistem skeletal terdiri atas endoskeleton yang berbentuk pen
atau bulu dan beberapa tulang rawan. Beberapa tulang rawan tersebut membentuk artikulasi untuk
sifon dan mantel, yang lain melindungi ganglia dan menyokong mata. Endoskeleton yang berbentuk
pen tersebut homolog dengan cangkang pada Mollusca lain. Pada Loligo endoskeleton tersebut
(cangkang) terletak di dalam rongga mantel berwarna putih transparan, tipis dan terbuat dari bahan
kitin. Mantel berwarna putih dengan bintik-bintik merah ungu sampai kehitaman dan diselubungi
selaput tipis berlendir.

Adapun secara anatomi, organ respirasi cumi terdiri atas sepasang insang berbentuk bulu yang
terdapat di rongga mantel. Prosesnya, air keluar masuk melalui tepi lingkaran ujung badan.
Kontraksi dan relaksasi mantel menyebabkan sirkulasi air dalam rongga mantel sehingga terjadi
pertukaran gas. Filamen insang disuplai oleh kapiler-kapiler darah. Darah mengandung pigmen
repirasi yaitu hemocyanin.

Sistem pembuluh darah berkembang baik dan sistem peredaran darahnya terdiri dari jantung
sistematik, aorta, dan arteri bersifat ganda dan tertutup, jadi darah seluruhnya mengalir di dalam
pembuluh darah.
Alat ekskresinya berupa dua ginjal atau nefridia berbentuk segitiga berwarna putih yang
berfungsi menapis cairan dari ruang perikardium dan membuangnya ke dalam rongga mantel
melalui lubang yang terletak di sisi usus.
Organ pencernaan terdiri atas mulut yang mengandung radula dan dua rahang yang terbuat dari
kitin dan berbentuk seperti paruh burung betet. Gerak kedua rahang tersebut dikarenakan kontraksi
otot. Selanjutnya makanan di bawa ke esofagus, lambung, usus, rektum dan anus yang bermuara
dalam rongga mantel. Pencernaan dilengkapi dengan dua kelenjar ludah (di masa bukal) dan di dekat
ujung anterior hati, digunakan untuk mensekresikan racun di daerah rahang. Selain itu juga memiliki
kelenjar pencernaan yaitu kelenjar hati pada anterior dan pankreas di posterior. Makanan cumi-cumi
berupa ikan, udang dan Mollusca lainnya.
Sistem saraf terdiri atas tiga pasang ganglion dan saraf. Ganglion serebral, pedal, viseral,
suprabukal, infrabukal dan optik terletak di kepala. Indera sensoris juga sangat berkembang dan
dilengkapi dengan mata, dua statosis pada masing-masing lateral kepala sebagai organ
keseimbangan dan organ pembau.
Sistem reproduksi cumi-cumi dilakukan secara kawin. Hewan ini umumnya memijah satu kali dan
biasanya mati setelah melakukan reproduksi. Alat kelaminnya terpisah (diosius), masing-masing alat
kelamin terdapat di dekat ujung rongga mantel dengan saluran yang terbuka ke arah corong sifon.
Pada saat kopulasi spermatofor jantan dimasukkan ke dalam rongga mantel betina dengan
pertolongan hektokotikulus (modifikasi ujung tangan kiri ke-5 jantan) yang berbentuk seperti sisir.
Cumi-cumi betina menghasilkan telur yang akan dibuahi di dalam rongga mentel. Kemudian, telur
yang sudah dibuahi dibungkus dengan kapsul dari bahan gelatin, panjang dan berlubang pada
ujung-ujungnya. Telur yang menetas menghasilkan cumi-cumi muda berukuran kecil. Hewan ini
tidak memiliki stadium larva, embrio setelah lepas menjadi cumi kecil yang dapat berenang bebas.
Cumi-cumi bersifat kosmopolit, hidup berkelompok di perairan bagian atas. Hewan ini aktif
berburu mangsa yang berupa ikan-ikan kecil dan crustacea pada malam hari. Bila merasa terancam
mereka akan berenang mundur dengan cepat atau menyemburkan tinta berwarna hitam kecoklat-
coklatan. Hewan ini banyak diperjualbelikan, selain rasanya enak cumi-cumi merupakan sumber
protein hewani yang kaya akan protein.
1.3 Metode Penelitian
1.3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 12 Januari 2010 bertempat di laboratorium
biologi Universitas MuhammadiyahProf.Dr.Hamka.
1.3.2 Alat dan Bahan
1. Cumi-cumi segar ukuran sedang
2. Baki lilin/papan lilin
3. Peralatan bedah
4. Kaca objek
5. Mikroskop
6. Baskom
7. Alat tulis
1.3.3 Cara Kerja
Morfologi:
1. Menyiapkan seekor cumi-cumi yang sudah mati dan masih segar.
2. Meletakkan cumi-cumi pada baki lilin.
3. Menentukan bagian dorsal, ventral, anterior dan posterior.
4. Menggambar cumi dan memberi keterangan selengkap mungkin.
5. Menentukan jenis kelamin.
Anatomi:
1. Meletakkan cumi pada baki lilin/papan bedah dengan sisi posterior menghadap ke atas.
2. Memotong cumi secara hati-hati dengan menggunakan gunting kemudian membedah bagian
tengah posterior mantel dari ujung ventral sampai dorsal, lalu menyibakkan kedua sisi mantel
sampai terlihat struktur anatomi dalamnya.
3. Menggambar struktur anatomi cumi dan memberi keterangan lengkap.
4. Setelah itu membersihkan tinta pada cumi secara hati-hati pada air kran yang mengalir, lalu
mengeluarkan cangkang yang terdapat pada bagian tip of pen dengan menariknya secara hati-hati.
5. Menggambar cangkang.
6. Mengambil satu batil isap pada pasangan lengannya dengan menggunakan pinset kemudian
melihat batil dengan mikroskop lalu menggambar batil isap tersebut.
7. Menentukan struktur batil isap yang dilihat dan menentukan spesiesnya dengan mencocokkan
pada petunjuk gambar.
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1 Hasil Penelitian
Berikut adalah hasil penelitian dari morfologi cumi-cumi.
Adapun hasil penelitian dari anatomi cumi-cumi yang telah dibedah sebagai berikut:
2.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang didapat, diketahui bahwa cumi-cumi mempunyai morfologi
dengan ciri-ciri:
Tubuh panjang, langsing dan bagian belakang meruncing (rhomboidal). Terdiri atas kepala, leher
dan badan. Kepala memiliki dua mata besar dan tidak berkelopak, Leher pendek dan badan
berbentuk tabung mempunyai sirip di setiap sisinya. Pada kepala terdapat 8 tangan dan 2
tentakel panjang yang ujungnya terdapat batil isap. Di posterior kepala terdapat sifon atau
corong berotot yang berfungsi sebagai kemudi. Di bagian perut, terdapat cairan tinta berwarna
hitam yang mengandung pigmen melanin. Pada anterior badan terdapat endoskeleton yang
berbentuk pen atau bulu. Endoskeleton tersebut (cangkang) terletak di dalam rongga mantel
berwarna putih transparan, tipis dan terbuat dari bahan kitin. Mantel berwarna putih dengan
bintik-bintik merah ungu sampai kehitaman dan diselubungi selaput tipis berlendir.
Cumi-cumi yang diteliti merupakan cumi berjenis kelamin betina, karena terdapat telur pada saat
cumi dibedah.
Sedangkan secara anatomi, dari hasil penelitian terdapat beberapa organ seperti sifon, katup
sifon, cangkang (endoskeleton), telur, oviduk, articulating ridge, kantung tinta, integument dll.
Berdasarkan struktur batil isapnya, cumi yang di bedah termasuk dalam spesies Loligo devaucelli.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kesimpulan yang telah diteliti dapat disimpulkan bahwa cumi-cumi (Loligo sp)
merupakan hewan yang bertubuh lunak dan termasuk kedalam filum Mollusca kelas
Cephalopoda. Hewan ini mempunyai kaki yang terdapat di kepala dengan bentuk tangan dan
tentakel . Memiliki delapan tangan dan dua tentakel yang mempunyai batil isap pada ujungnya
serta mempunyai cangkang yang terletak di dalam mantel berwarna putih transparan berbentuk
pena terbuat dari kitin. Serta mempunyai kantung tinta sebagai alat pertahanan.
Secara anatomi, alat pencernaan cumi-cumi terdiri atas mulut, esofagus, lambung, usus, rektum
dan anus. Sistem pencernaan dilengkapi kelenjar pencernaan yaitu kelenjar ludah, hati, dan
pankreas. Sistem pembuluh darah cumi-cumi adalah sistem pembuluh darah tertutup. Hewan ini
bernafas dengan insang yang terdapat di rongga mantel. Ekskresi dilakukan dengan ginjal berupa
nefridium yang terletak di sebelah jantung. Reproduksi terjadi secara seksual dengan fertilisasi
internal. Alat reproduksinya terpisah, masing-masing dengan gonad yang terletak dekat ujung
rongga mantel. Sistem saraf terdiri atas tiga pasang ganglion. Indera sensoris dilengkapi dengan
dua stasista dan alat pembau.
DAFTAR PUSTAKA
Kastawi, Yusuf.dkk. 2003. Zoologi Avertebrata. Jica: Malang.
Oemarjati, Boen S dan Wisnu Wardhana. 1990. Taksonom Avertebrata Pengantar Praktikum
Laboratorium. UI Press: Jakarta.
http: // http://www.e-dukasi.net › Modul Online SMA › Kelas X › Biologi
http: // http://www.ortipulang.blogspot.com/2008/09/molusca.html

Anda mungkin juga menyukai