Anda di halaman 1dari 21

7

II. TINJAUAN PUSTAKA


II.1. Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus)
II.1.1. Klasifikasi
Rajungan termasuk biota laut yang hidup di dasar perairan. Menurut Kangas
(2000), klasifikasi rajungan adalah sebagai berikut:
Filum

: Arthropoda

Kelas

: Crustacea

Sub kelas

: Malacostraca

Ordo

: Decapoda

Famili

: Portunidae

Genus

: Portunus

Spesies

: Portunus pelagicus (Linnaeus, 1766)

Nama lokal : Rajungan


Nama FAO : Blue swimmer crab, blue manna crab, sand crab, blue crab

Gambar 2. Rajungan (Portunus pelagicus)


II.1.2. Morfologi

Morfologi rajungan (Portunus pelgicus) menurut Lovett (1981); Hermanto


(2004); Sari (2012), hampir sama dengan morfologi kepiting. Perbedaan dicirikan
dari duri akhir karapas pada rajungan yang relatif lebih panjang dan lebih runcing.
Karapas rajungan berbentuk bulat pipih dengan warna cerah putih kebiruan.
Rajungan dapat berjalan sangat baik sepanjang dasar perairan dan daerah interdal
berlumpur yang lembab dan juga perenang yang baik.
Rajungan (Portunus pelagicus) adalah sejenis kepiting renang atau
swimming crab, disebut demikian karena memiliki sepasang kaki belakang yang
berfungsi sebagai kaki renang, berbentuk seperti dayung. Karapasnya memiliki
tekstur yang kasar, karapas melebar dan datar; sembilan gerigi disetiap sisinya;
dan gerigi terakhir dinyatakan sebagai tanduk. Karapasnya tersebut umumnya
berbintik biru pada jantan dan berbintik coklat pada betina, tetapi intensitas dan
corak dari pewarnaan karapas berubah-ubah pada tiap individu (Kangas, 2000).

Gambar 3. Morfologi Rajungan (Portunus pelagicus)

Rajungan (Portunus pelagicus) dapat mencapai panjang hingga 18 cm,


capitnya memanjang, kokoh, dan berduri-duri. Warna karapas pada rajungan
jantan adalah kebiru-biruan dengan bercak-bercak putih terang, sedangkan pada
betina memiliki warna karapas kehijau-hijauan dengan bercak-bercak keputihputihan agak suram. Perbedaan warna ini jelas pada individu yang agak besar
walaupun belum dewasa (Nontji, 1993).

Gambar 4. Rajungan (Portunus pelagicus) (a) betina dan (b) jantan


II.1.3. Daur hidup
Salah satu tingkah laku penting dari rajungan adalah perkembangan siklus
hidupnya yang terjadi di beberapa tempat. Pada fase larva dan fase pemijahan,
rajungan berada di laut terbuka (off-shore) dan fase juvenil sampai dewasa berada
di perairan pantai (in-shore) yaitu muara dan estuaria (Kangas, 2000). Menurut
Adam, et al. (2006), Siklus hidup rajungan tersebut menyebabkan terjadinya
sebaran rajungan yang dinamis. Sebaran ini dipertimbangkan dalam pemanfataan
rajungan yang optimal.
Menurut Nontji (1993), seekor rajungan dapat menetaskan telurnya menjadi
larva dengan jumlah hingga lebih dari sejuta ekor. Bentuk larva yang baru
menetas sangatlah berbeda dengan bentuk dewasa. Larva yang baru menetas

10

mengalami beberapa kali perubahan bentuk hingga pada akhirnya memiliki


bentuk yang sama dengan rajungan dewasa.
Rajungan menjadi dewasa sekitar usia satu tahun. Perkiraan umur rata-rata
rajungan dari lebar karapas tertentu dapat bervariasi. Pada umur 12 bulan, lebar
karapas rata-rata rajungan adalah 90 mm. Rajungan jantan dan betina umumnya
mencapai kematangan seksual pada ukuran lebar karapas 7-9 cm. Rajungan pada
ukuran tersebut berumur sekitar satu tahun. (Kumar et al., 2000; Firman, 2008;
Sari, 2012). Menurut Sumiono (2010), kematangan gonad pertama kali pada
rajungan jantan ditemukan saat ukuran 87 mm lebar karapas dan 98 mm lebar
karapas pada rajungan betina.

Gambar 5. Daur Hidup Rajungan (Portunus pelagicus)


II.1.4. Habitat dan penyebaran
Menurut Nontji (1993), rajungan hidup pada habitat yang beraneka ragam
seperti pantai dengan dasar pasir, pasir lumpur, dan juga di lautan terbuka. Pada

11

keadaan biasa rajungan tinggal di dasar perairan sampai kedalaman 65 meter, tapi
sesekali juga dapat terlihat di dekat permukaan atau kolom perairan pada malam
hari saat mencari makan ataupun berenang dengan sengaja mengikuti arus.
Rajungan cenderung menyenangi perairan dangkal dengan kedalaman yang
paling disenangi berkisar antara 1 sampai 4 meter. Suhu perairan rata-rata 35
Celsius dan salinitas antara 4 sampai 37 ppm (Moosa dan Juwana, 1996). Menurut
Gunarso (1985), rajungan jantan menyenangi perairan dengan salinitas rendah
sehingga penyebarannya di sekitar perairan pantai yang dangkal. Sedangkan
rajungan betina menyenangi perairan dengan salinitas yang lebih tinggi terutama
untuk melakukan pemijahan, sehingga menyebar ke perairan yang lebih dalam
dibanding jantan. Hal ini diperkirakan disebabkan oleh kondisi lingkungan yang
berubah. Perubahan suhu dan salinitas di suatu perairan mempengaruhi aktivitas
dan keberadaan suatu biota (Gunarso, 1985).
Penyebaran rajungan (Portunus pelagicus) sangat luas. Rajungan biasa
hidup di dasar perairan, tetapi dapat juga terlihat berada dekat permukaan atau
pada kolom perairan di malam hari ketika mencari makanan atau saat berenang
dengan sengaja mengikuti arus. Rajungan banyak terdapat di perairan Indonesia
sampai perairan kepulauan Pasifik serta terdapat di sepanjang negara-negara Indo
Pasifik Barat, Samudera Hindia, Asia Timur dan Tenggara (Singapura, Filipina,
Jepang, Korea, Cina, Teluk Benggala), Turki, Lebanon, Sisilia, Syiria, Siprus, dan
sekitar Australia (Sulistiono, et.al., 2010).
II.1.5. Reproduksi dan rekruitmen
Reproduksi rajungan dipengaruhi oleh faktor iklim. Kangas (2000) dalam
Suryakomara (2013) menyebutkan bahwa rajungan mulai matang gonad saat
musim panas yang diawali dengan pergantian kulit (molting). Ukuran pertama kali

12

matang gonad sangat bervariasi, tergantung habitat rajungan itu berada. Namun,
rajungan yang berukuran kecil di suatu habitat sudah matang gonad akan
mengindikasikan rajungan tersebut cenderung lebih cepat memijah dikarenakan
tangkap lebih dan faktor alam.
Musim sangat berpengaruh dalam proses reproduksi rajungan. Menurut Toro
(1981) dalam Ihsan (2013), musim pemijahan rajungan terjadi sepanjang tahun
dengan puncaknya terjadi pada musim barat di bulan Desember, musim peralihan
pertama di bulan Maret, musim Timur di bulan Juli, dan musim peralihan kedua di
bulan September. Induk rajungan yang mengandung telur banyak terdapat pada
bulan Maret sampai Mei dan pada bulan Juni sampai Agustus.
Nisbah kelamin yang ideal antara jantan dan betina adalah 1:1, namun hal
ini berbeda dengan kondisi di alam yang tidak seimbang. Perbandingan jumlah
jenis kelamin dapat digunakan unuk menduga keberhasilan pemijahan, selain itu
dapat mempelajari struktur populasi di alam untuk menduga keseimbangannya
(Simanjuntak, 2010; Suryakomara, 2013). Menurut hasil penelitian Jula (2014),
Nisbah kelamin rajungan jantan dan rajungan betina berkisar antara 0,7-1,5 setiap
pengambilan contoh. Nisbah kelamin jantan:betina secara total adalah 1:0,87.
Nilai ini menunjukkan bahwa jumlah rajungan jantan lebih banyak daripada
jumlah rajungan betina. Hasil yang sama diperlihatkan dari penelitian Hosseini
et.al. (2012) dalam Jula (2014) di Teluk Persia, nisbah kelamin jantan:betina yaitu
1:0,88. Beberapa faktor yang mempengaruhi nisbah kelamin diantaranya faktor
musim, migrasi, dan perubahan cuaca. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
rajungan jantan lebih dominan tertangkap, sedangkan rajungan betina hanya
dominan tertangkap pada bulan Mei.

13

Hal ini diduga karena pada bulan April rajungan melakukan migrasi ke
perairan yang lebih dalam untuk memijah kemudian kembali ke dekat pantai pada
bulan Mei, selain itu pada bulan Mei data yang diperoleh lebih banyak tangkapan
yang tertangkap di daerah perairan dengan (kedalaman 5-10 m). Rajungan betina
saat sebelum memijah tidak menetap di perairan pantai atau muara-muara sungai
seperti rajungan jantan (Potter dan Lestang, 2000; Jula, 2014).
Perkembangan gonad betina lebih banyak diperhatikan

karena

perkembangan diameter telur lebih mudah dilihat dibandingkan perkembangan


sperma jantan (Muna, 2010). Tingkat kematangan gonad (TKG) merupakan
gambaran tentang perkembangan kematangan gonad. Pengamatan TKG dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu secara morfologis dan histologis. Pengamatan
secara morfologis didasarkan pada variabel bentuk, ukuran, warna, dan
perkembangan isi gonad yang dapat dilihat (Saputra, 2009). Menurut Effendie
(1997), Penentuan tingkat kematangan gonad secara histologis dapat dilihat dari
anatomi perkembangan gonadnya.
Rekrutmen rajungan terjadi sepanjang tahun dengan puncak rekrutmen
cenderung satu kali dalam setahun. Pernyataan yang sama dikemukakan oleh
Ehsan et.al., (2010) bahwa rekrutmen rajungan terjadi sepanjang tahun secara
terus menerus di Bandar Abbas, Teluk Persia karena wilayah tersebut beriklim
tropis. Hal ini berbeda dengan penelitian Sunarto (2012), bahwa pola rekrutmen
rajungan di perairan Brebes, Jawa Tengah cenderung 2 kali dalam setahun, puncak
keduanya adalah lemah.
Hasil analisis rekrutmen oleh Jula (2014) menunjukkan adanya presentase
rekrutmen tertinggi pada bulan Mei, Juni dan Juli yaitu sebesar 52.07%. Hal ini

14

berbeda dengan yang dilaporkan Sunarto (2012) bahwa rekrutmen tertinggi terjadi
pada bulan April dan Mei yaitu sebesar 39.47%.
II.1.6. Makanan dan kebiasaan makan
Menurut Williams (1982), rajungan adalah hewan karnifor yang mencari
makan di dasar perairan. Hewan ini memakan bermacam jenis hewan invertebrata
yang berifat menetap dan bergerak lambat. Kebutuhan makannya sangat
tergantung pada ketersediaaan spesies lokal yang menjadi mangsanya. Makanan
utama untuk rajungan pada daerah pasang surut adalah kepiting kecil dan
gastropoda, sedangkan untuk rajungan pada daerah sub pasang surut adalah
hewan-hewan dari kelas bivalvia dan ophiuridea.
Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan 3948 perut kepiting yang
dikumpulkan dari perairan dangkal sub-litoral di Kunduchi, teluk Msasani dan 15
sungai Mzinga yang terletak di sepanjang pantai Dar es Salaam diketahui bahwa
makanan utama rajungan (Portunus pelagicus) terdiri dari Moluska (51.3%),
Krustasea (24.1%), tulang ikan (18%) dan bahan makanan yang tidak dapat
diidentifikasi (6.6%). Adapun bahan makanan yang paling dominan diantaranya
Bivalvia Arcuatula arcuatula dan beberapa jenis Moluska lain yang termasuk ke
dalam kelompok Gastropoda seperti genus Nassarius, Littoraria, dan Conus sp.
(Chande and Mgaya, 2004).
Rajungan aktif di malam hari, berenang mengikuti arus pasang menuju
pantai, pemakan bangkai dan kanibal, meskipun kadang-kadang memakan
tumbuhan air. Menurut Hermanto (2004), rajungan sering berenang melewati
kapal pada malam hari, sehingga mereka mendapatkan keuntungan untuk ikut
bersama. Rajungan juga dapat menggali pasir dalam sekejap untuk menghindari
musuh-musuhnya.

15

II.2. Jaring Arad (Mini Trawl)


Pukat hela arad merupakan salah satu alat penangkap ikan dari jenis pukat
hela yang banyak dipergunakan oleh para nelayan skala kecil, di daerah perairan
Pantai Utara Jawa dalam operasi penangkapan ikan demersal dan udang.
Pengoperasian pukat hela arad yang dilengkapi dengan alat pembuka mulut jaring,
yang berupa palang rentang/beam atau papan rentang/otter board. Pengoperasian
pukat hela arad dihela di belakang perahu/kapal yang sedang berjalan (Badan
Standardisasi Nasional, 2006).
Menurut Badan Standardisasi Nasional (2006), batasan bentuk baku
konstruksi arad terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut:
1. Sayap/kaki pukat (wing)
Bagian pukat yang terletak di ujung depan dari arad yang terdiri dari sayap atas
(upper wing) dan sayap bawah (lower wing).
2. Medan jaring atas (square)
Bagian pukat yang menjorok ke depan pada bagian mulut pukat atas. Square
3.
4.
5.
6.

merupakan selisih antara panjang sayap bawah dengan sayap atas.


Badan pukat (body)
Bagian pukat yang terletak di antara bagian kantong dan bagian sayap pukat.
Kantong jaring (cod end)
Bagian pukat yang terpendek dan terletak di ujung belakang dari arad.
Panjang total jaring
Hasil penjumlahan dari bagian sayap/kaki, badan, dan kantong pukat.
Keliling mulut jaring (circumference at net mouth )
Bagian badan pukat yang terbesar dan terletak di ujung depan dari bagian

badan pukat.
7. Papan rentang (otter board)
Kelengkapan pukat hela arad yang terbuat dari papan kayu berbentuk empat
persegi panjang, yang dipergunakan sebagai alat pembuka mulut pukat.
8. Tali ris atas (head rope)
Tali yang berfungsi untuk menggantungkan dan menghubungkan kedua sayap
pukat bagian atas melalui mulut pukat bagian atas.
9. Tali ris bawah (ground rope)

16

Tali yang berfungsi untuk menghubungkan kedua sayap pukat bagian bawah,
melalui mulut pukat bagian bawah.
10. Tali selambar (warp rope)
Tali yang berfungsi sebagai penghela pukat hela arad di belakang kapal yang
sedang berjalan dan penarik pukat hela arad ke atas geladak kapal.
Tahapan dalam pengoperasian jaring arad adalah penurunan jaring,
penghelaan jaring (towing) dan pengangkatan jaring (hauling). Daerah
penangkapan ikan (fishing ground) dalam pengoperasian jaring arad adalah daerah
yang bersubstrat pasir, lumpur, maupun lumpur dan pasir. Perairan yang
mempunyai daya produktivitas yang besar serta sumberdaya yang melimpah,
kecepatan arus pada midwater level tidak besar (< 3 knot) dan kecepatan arus
pasang tidang begitu besar merupakan syarat daerah penangkapan ikan bagi
bottom trawl. Selain itu, kondisi cuaca dan laut (arus, topan, gelombang, dan lainlain) harus memungkinkan keamanan operasi alat tangkap (Ayodhyoa, 1981;
Andriani, 2011).

II.3. Pendugaan Stok Sumberdaya Perikanan


II.3.1. Hubungan Panjang dan Berat
Berat dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjang. Hubungan panjang
dengan berat hampir megikuti hukum kubik yaitu bahwa berat ikan sebagai
pangkat tiga dari panjangnya, tetapi hubungan yang terdapat pada ikan sebenarnya
tidak demikian karena bentuk dan panjang ikan berbeda-beda. Kegunaan dari
perhitungan panjang berat ini, yaitu dapat untuk menduga berat ikan berdasarkan
panjangnya (Effendie, 2002).
Hubungan panjang berat menunjukkan pertumbuhan yang bersifat relatif
yang berarti dapat dimungkinkan berubah menurut waktu. Apabila terjadi

17

perubahan terhadap lingkungan dan ketersediaan makanan diperkirakan nilai ini


juga akan berubah (Effendie, 1997; Wahyudewantoro, 2013). Perubahan bobot
ikan dapat dihasilkan dari perubahan pakan dan alokasi energi untuk tumbuh dan
reproduksi, yang mengakibatkan bobot ikan berbeda walaupun panjangnya sama
(Meretsky et al., 2000; Wahyudewantoro, 2013).
Hubungan panjang dan berat mempunyai nilai praktis yang memungkinkan
mengkonversi nilai panjang ke dalam berat atau sebaliknya.
Hubungan panjang dan berat ini dinyatakan dalam rumus:
W = a Lb
Dalam bentuk linier persamaan tersebut:
Log W = Log a + b Log L
Menurut Effendi (1997) dalam Saputra (2009), pada ikan nilai b merupakan
angka perpangkatan yang biasanya berkisar antara 1,2 sampai 5,1 dan umumnya
berkisar pada nilai 3. Nilai b yang berada diluar 2,5-3,5 menunjukkan bahwa ikan
tersebut memiliki bentuk tubuh di luar batas kebiasaan bentuk tubuh ikan umum.
Jika ikan bentuknya tetap, pertumbuhannya dikatakan isometrik, dengan
nilai b = 3, dengan asumsi bahwa gravitasi spesifik ikan tidak berubah (Wootton,
1990; Saputra 2009). Artinya pertambahan panjang selaras dengan pertambahan
berat. Menurut Effendi (1997), nilai yang lebih besar atau lebih kecil dari 3, maka
pertumbuhan ikan dikatakan allometrik. Jika nilai b < 3 , maka pertambahan
panjang ikan tersebut tidak seimbang dengan pertambahan beratnya, atau
dikatakan pertambahan panjangnya lebih cepat dari pada pertambahan beratnya.
Kemungkinan yang ketiga adalah jika harga b > 3, dapat ditafsirkan bahwa berat
ikan lebih cepat daripada pertambahan panjangnya.
II.3.2. Faktor kondisi

18

Menurut Saputra (2009), salah satu derivat penting dalam pertumbuhan


adalah faktor kondisi dan sering disebut juga sebagai faktor K. Faktor ini
menunjukkan keadaan baik dilihat dari segi kapasitas fisik untuk survival dan
reproduksi. Sistem ukuran yang dipakai untuk menghitung faktor ini ada 2 macam
yaitu sistem metrik dan sistem Inggris. Sistem metrik dengan rumus sebagai
berikut:

Kemudian untuk sistem Inggris dengan rumus sebagai berikut:

Satuan K sendiri tidak berarti apa-apa, tetapi akan terlihat kegunaannya


apabila kita membandingkan dengan individu lainnya atau antara kelompok
ukuran dengan kelompok ukuran yang lain.
II.3.3. Parameter pertumbuhan
Kecepatan pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain (1)
ketersediaan makanan dalam jumlah yang cukup, (2) faktor stres yang disebabkan
oleh kepadatan (density dependent factor), (3) penyakit dan parasit, (4) faktor
genetis dan (5) lingkungan alami lainnya seperti kualitas air. Daerah tropis
makanan merupakan faktor yang lebih penting daripada suhu perairan. Bila
faktor-faktor yang lain dalam keadaan normal maka dengan makanan berlebih
ikan akan tumbuh lebih pesat (Effendie,1997).
Metode untuk menentukan parameter pertumbuhan (khususnya L dan K)
merupakan implementasi dari versi asli ELEFAN I program dari Pauly dan David
(1981) dengan membandingkan beberapa nilai dari kurva pertumbuhan
(berdasarkan sepasang nilai L dan K) untuk menentukan nilai tersebut sesuai

19

data frekuensi panjang yang didapatkan. Indeks kesesuaian didapatkan dengan


membandingkan dua angka yaitu ESP (explained sum of peaks) dan ASP (thesum
of all scores) dan menghasilkan puncak dan lembah. Kemudian dihitung
menggunakan rumus Rn = 10ESP/ASP / 10. ELEFAN I memiliki sifat bahwa modus
tertinggi akan memberikan nilai optimum, bila modus yang dilalui oleh garis
pertumbuhan lebih banyak pada kelompok yang besar saja maka nilai K akan
kecil, namun apabila kelompok yang kecil ikut dilewati garis regresi akan
bergeser pada slope yang lebih tajam (Iskandar dan Sumiono, 1990). Plot R n
terhadap nilai K berkisar antara skala 0,1 hingga 10. Kemudian perlu dilakukan
response surface analysis untuk mendapatkan pasangan Ldan K yang terbaik
(FISAT II, 2005).
Nilai dugaan L juga dapat dilakukan dengan menggunakan rumus Pauly
(1984) yaitu dengan rumus L= Lmax/0,95. Hubungan tersebut akan menghasilkan
nilai yang berbeda untuk lobster yang berumur panjang dan berumur pendek.
Lobster yang berumur pendek akan lebih kecil dari L = L max/0,95 dan sebaliknya
lobster yang berumur panjang akan lebih besar dari nilai L = Lmax / 0,95. Sparre
dan Venema (1999), mengusulkan cara untuk mendapatkan nilai dugaan awal L
berdasarkan rata-rata ukuran panjang 10 ekor lobster terpanjang yang ada dalam
sampel yang kita teliti (Saputra, 2009).
Pauly (1984) dalam Saputra (2009) berdasarkan pengalamannya melakukan
analisis data frekuensi panjang dari berbagai data ikan pelagis kecil di perairan
tropis mendapatkan suatu hubungan regresi berganda antara umur teoritis saat

20

panjang ikan nol (t0) dengan panjang infinity Ldan K, yang kemudian dikenal
sebagai rumus empiris pauly:
Log -t0 = -0,3952 - 0,2752 Log L- 1,038 Log K
Keterangan:
L = Panjang infiniti (cm)
K

= Koefisien pertumbuhan Von Bertalanffy

II.3.4. Laju mortalitas


Stok ikan di perairan mengalami pengurangan secara alamiah akibat
mortalitas, baik karena tua, penyakit, persaingan maupun pemangsaan. Stok ikan
juga berkurang akibat ditangkap atau mati karena penangkapan. Informasi tentang
jumlah mortalitas (Z), baik karena mortalitas alami (M) maupun mortalitas
penangkapan (F), sangat penting diketahui bagi pegelolaan perikanan. Mortalitas
sangat penting untuk dipisahkan dengan jelas antara mortalitas yang disebabkan
penangkapan dan mortalitas disebabkan karena faktor alami, seperti predasi,
penyakit, dan faktor umur dan sebagainya (Saputra, 2009).
Penghitungan nilai Z (mortalitas total) menurut Gulland (1983), didapatkan
dengan menggunakan metode kurva tangkapan yang dikonversi ke panjang,
dengan rumus sebagai berikut:
Ln(Ni/ti) = a + b . ti
Ni merupakan jumlah ikan pada panjang kelas i, ti adalah waktu yang
dibutuhkan ikan untuk tumbuh, dan ti merupakan umur panjang kelas i.
Data ukuran panjang dapat pula digunakan untuk menentukan Z atau laju
kematian total. Hasil penentuan Z dapat digunakan untuk menduga F (mortalitas
penangkapan) dan M (mortalitas alami). Metode pendugaan F dan M didasarkan
pada persamaan Z = F+M atau secara lengkap dituliskan Z = M + F. Dimana F

21

adalah koefisien daya tangkap. E = F/Z, yaitu laju eksploitasi atau bagian dari
mortalitas yang disebabkan oleh penangkapan (Sparre dan Venema, 1999).
II.3.5. Rekruitmen
Rekruitmen menurut Saputra (2009), diartikan sebagai penambahan baru ke
dalam stok perikanan. Stok adalah kelompok ukuran ikan yang tersedia pada
waktu tertentu sehingga dapat tertangkap oleh alat tangkap. Ditinjau dari sisi
pengelolaan, rekruitmen adalah masuknya ikan ke dalam bagian populasi atau
stok yang terbuka untuk dieksploitasi. Besarnya rekruitmen diatur oleh faktorfaktor yang sifatnya bebas dari kepadatan (density-independent), misalnya polusi,
banjir, suhu, dan faktor lingkungan abiotik lainnya. Faktor ini berpengaruh secara
langsung tanpa bergantung pada besarnya populasi. Sedangkan faktor lain yang
berhubungan dengan kepadatan (density-dependent), antara lain: kompetisi,
prediksi, penyakit dan lain-lain. Faktor ini bergantung pada besarnya populasi.
Faktor yang bersifat density-independent akan langsung berpengaruh
terhadap besarnya kelahiran (rekruitmen), sedangkan faktor yang bersifat
dependent mempengaruhi kematian ikan dewasa. Hal ini menandakan bahwa
faktor dependent mempengaruhi besarnya populasi yang akhirnya mempengaruhi
besarnya kelahiran (rekruitmen), dengan asumsi bahwa tidak ada foktor densitydependent maka hubungan antara rekruitmen dengan besarnya stok akan berupa
garis lurus yang terus naik (Saputra, 2009).
II.4. Pengelolaan Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus)
Menurut Nabunome (2007), sumberdaya laut merupakan sumberdaya yang
unik yaitu open acces sehingga dalam pemanfaatannya mengalami overfishing.
Sumberdaya laut tersebut meliputi berbagai jenis ikan, udang, kerang-kerangan,
moluska, rumput laut dan sebagainya. Upaya untuk memanfaatkan potensi

22

sumberdaya tersebut dilakukan eksploitasi dengan penangkapan. Pada daerahdaerah tertentu, tingkat eksploitasinya telah melebihi dari sumberdaya yang
tersedia (overfishing), sehingga perlu dilakukan suatu usaha pengelolaan terhadap
eksploitasi sumberdaya ikan.
Permintaan ikan yang meningkat memiliki dampak positif terhadap
pengembagan perikanan, baik penangkapan maupun pengembangan budidaya.
Tuntutan pemenuhan kebutuhan akan sumberdaya tersebut akan diikuti dengan
tekanan eksploitasi sumberdaya perikanan yang semakin intensif. Jika tidak
dilakukan pengelolaan secara bijaksana dikhawtirkan pemanfaatan sumberdaya
secara intensif akan mendorong usaha perikanan ke jurang kehancuran dan
terjadinya

konflik

kepentingan

tehadap

sumberdaya

perikanan

tersebut

(Sulistiono, et al., 2009).


Pemanfaatan sumberdaya ikan secara berlebihan akan mengakibatkan
hilangnya manfaat ekonomi yang sebenarnya dapat diperoleh bila pemanfaatan
sumberdaya dilaksanakan secara benar. Hal ini menjadi salah satu penyebab
kemiskinan nelayan pada daerah padat penangkapan perkembangan kegiatan
penangkapan yang tidak dikendalikan menyebabkan kegiatan perikanan ini tidak
efisien, yang diindikasikan oleh volume produksi dan keuntungan ekonomi yang
lebih rendah (Purwanto, 2003).
Proses penipisan populasi sumberdaya ikan di beberapa wilayah perairan
Indonesia merupakan konsekuensi alamiah dari penangkapan. Selama proses
penipisan stok berlangsung, suatu pengurangan dalam populasi ikan sering
disertai dengan kombinasi lima komponen yaitu penurunan produktivitas
perikanan, penurunan hasil tangkapan total yang didaratkan, penurunan bobot

23

rata-rata ikan, perubahan struktur umur populasi ikan, perubahan komposisi


spesies ikan (Sulistiono, et al., 2009).
Pengelolaan perikanan meliputi berbagai aspek termasuk dalam aspek
sumberdaya ikan, habitat, manusia serta berbagai faktor eksternal lainnya. FAO
(1997), mendeskripsikan bahwa pengelolaan peikanan merupakan proses yang
terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi,
pembuat keputusan, alokasi sumberdaya, dan implementasi dari aturan-aturan
main di bidang perikanan dalam rangka menjamin keberlangsungan produktivitas
sumber, dan pencapaian tujuan perikanan lainnya (Widodo dan Suadi 2006).
Menurut Widodo dan Suadi (2006), pengelolaan perikanan membutuhkan
bukti-bukti ilmiah terbaik, proses diskusi melalui konsultasi dengan berbagai
pemangku kepentingan (stakeholder), dan penetapan berbagai tujuan dan strategi
pengelolaan melalui pembuat keputusan, alokasi sumber daya dan implementasi
aturan mainnya. Pengelolaan perikanan saat ini harus diperhatikan karena semakin
meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan serta meningkatnya
kesadaran dan kepedulian umum untuk memanfaatkan lingkungan secara
bijaksana dan berbagai upaya yang berkelanjutan.
Menurut pemaparan Sulistiono, et al. (2009), untuk menghadapi penipisan
sumberdaya perikanan dan untuk merumuskan program perikanan dibutuhkan
beberapa informasi antara lain:
1. Proses biologi dan ekonomi dari setiap perikanan.
2. Penyusunan kerangka teori, dalam hal ini sampai pada tingkat mana penipisan
yang dikehendaki dari suatupenangkapan.
3. Perlu adanya suatu kerangka institusional atau kelembagaan dan harus ada
implementasikan dan diberdayakan untuk mengisi kesenjangan yang terjadi.
II.5. Model Bioekonomi Perikanan

24

Bioekonomi perikanan dapat diaplikasikan pada sektor perikanan tangkap


maupun perikanan budidaya. Namun, selama ini konsep bioekonomi lebih banyak
diaplikasikan pada bidang penangkapan. Hal itu antara lain disebabkan karena
faktor ketidakpastian (uncertainty) yang lebih besar dijumpai pada sektor
Pendekatan Gordon-Schaefer merupakan awal dari pendekatan bioekonomi.
Dalam model Gordon-Schaefer pendekatan statis dapat dipergunakan pendekatan
maximum sustainable yield (MSY), maximum economic yield (MEY) dan open
access equilibrium (OAE) (Wijayanto, 2008).
II.5.1. Model biologi
Model biologi dalam bioekonomi perikanan berkaitan dengan stok
sumberdaya ikan yang memiliki pertumbuhan logistik. Menurut Schaefer (1957)
dalam Fauzi (2010), perubahan cadangan sumberdaya ikan secara alami
dipengaruhi oleh pertumbuhan logistik ikan, yang secara metematis dapat
dinyatakan dalam sebuah fungsi sebagai berikut:
dx/dt = f(x)
dx/dt = xr (1- x/K)
dimana:
x = ukuran kelimpahan biomas ikan
K = daya dukung alam
r = laju pertumbuhan instrinsik
f(x) = fungsi pertumbuhan biomas ikan
dx/dt = 1aju pertumbuhan biomas
Model biologi sumberdaya rajungan di perairan Kabupaten Demak
menggunakan model analitik, yaitu dengan mempertimbangkan secara lebih
mendalam mengenai parameter populasi. Model yang banyak digunakan adalah
model yield per recruit (Y/R). Model ini terdiri atas persamaan yang menyatakan
hasil dari suatu kelas ukuran atau umur rajungan sebagai fungsi parametr
pertumbuhan dan kematian.

25

II.5.2. Model ekonomi


Menurut Schaefer (1957) dalam Fauzi (2010), model ekonomi pengelolaan
sumberdaya ikan berdasarkan dari model biologi di atas. Dengan memasukkan
faktor harga persatuan hasil tangkap dan biaya persatuan upaya penangkapan,
maka persamaan keuntungan dari usaha pemanfaatan sumberdaya perikanan
menjadi:
= TR TC
= p.h c.E
dimana:
= keuntungan pemanfaatan sumberdaya
p = harga rata-rata hasil tangkapan
c = biaya penangkapan ikan per satuan upaya
TR = penerimaan total
TC = biaya total penangkapan ikan
Dalam kondisi open access, tingkat keseimbangan akan tercapai pada saat
penerimaan total (TR) sama dengan biaya total (TC), dengan tingkat upaya = E OA
yang menurut Gordon disebut juga sebagai "bioeconomic equilibrium of open
acces fishery". Pada tingkat upaya di bawah EOA, penerimaan total lebih besar dari
biaya totalnya, sehingga pelaku perikanan akan lebih banyak tertarik untuk
meningkatkan upaya panangkapan ikannya. Pada tingkat upaya di atas E 0A biaya
total lebih besar dari penerimaan total, sehingga mendorong pelaku perikanan
untuk mengurangi upaya, dengan demikian hanya pada tingkat upaya E 0A,
keseimbangan akan tercapai.

26

MC, AC, AR, MR

Gambar 6. Keseimbangan Bioekonomi Gordon-Schaefer


Menurut Wijayanto (2008), berdasarkan gambar di atas, kondisi open
access equilibrium (OAE) atau keseimbangan akses terbuka terjadi pada saat
sumberdaya perikanan bersifat open access. Pada saat kondisi tidak ada hambatan
masuk (entry) dan hambatan upaya (effort), maka akan dapat mengakibatkan
pemanfaatan sumberdaya ikan menuju break even point (BEP), dimana total
revenue (TR) sama dengan total cost (TC).
Menurut Ghaffar (2006), keuntungan maksimum akan dicapai pada tingkat
upaya EMEY, dimana jarak vertikal antara peneriman total dan biaya total mencapai
tingkat yang paling tinggi. Tingkat EMEY disebut sebagai Maximum Economic
Yield (MEY). Apabila tingkat upaya pada keseimbangan open access (E0A)
dibandingkan dengan tingkat upaya pada saat MEY (EMEY), ternyata tingkat upaya
yang dibutuhkan pada keseimbangan open access, jauh lebih banyak dari pada
tingkat upaya pada saat MEY, ini berarti bahwa pada keseimbangan open access
telah terjadi penggunaan sumberdaya yang berlebihan, yang menurut Gordon
disebut sebagai economic overfishing.

27

Menurut Susanto (2006), untuk menghitung parameter ekonomi model


bioekonomi, digunakan rumus rata-rata aritmatik, yaitu:

dimana:
c = biaya penangkapan rata-rata (Rp) pertahun
c1 = biaya penangkapan per upaya penangkapan responden ke i
n1 = harga hasil tangkapan per bulan berdasarkan indeks harga rata-rata per bulan
berdasarkan indeks harga rata-rata per bulan selama periode penelitian atau
pengamatan
p = harga pada bulan ke-i
p1 = jumlah responden
n2= jumlah bulan

Anda mungkin juga menyukai