Anda di halaman 1dari 39

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Lobster air tawar merupakan udang konsumsi yang menjadi salah satu komoditas perikanan tawar yang mulai dikembangkan untuk budidaya di Indonesia sejak tahun 2000 (Sukmajaya dan Suharjo, 2003). Lobster air tawar secara teknis dapat dipelihara pada air tawar yang memiliki kualitas air dengan suhu air 23 310 C, kandungan oksigen terlarut lebih dari 4 ppm, pH 6 9,5 dan amonia kurang dari 1 ppm dengan berbagai variasi wadah pemeliharaan. Jenis pakannya pun relatif banyak dan mudah diperoleh. Daging lobster ini mempunyai tekstur yang padat, empuk, dan rasanya seperti daging udang windu (Sukmajaya dan Suharjo, 2003). Lobster air tawar dengan bobot 30 80 gr merupakan ukuran konsumsi dengan permintaan pasar yang relatif tinggi tetapi jumlahnya masih mengalami kelangkaan. Hal ini terjadi karena waktu yang diperlukan untuk menghasilkan lobster ukuran konsumsi sangat lama sekitar 7 10 bulan sedangkan konsumen membutuhkan lobster dalam jumlah besar setiap hari (Dermawan, 2004). Menurut Tanjung (2009), kebutuhan lobster air tawar untuk memenuhi pasar di Sumatera Utara mencapai 1 2 ton / bulan. Intensifikasi budidaya lobster air tawar saat ini mulai dikembangkan untuk mengatasi kendala tersebut, salah satunya dengan menerapkan pakan alami alternatif bagi pembudidaya. Pada proses budidaya lobster air tawar ini, masih dijumpai beberapa kendala yang menghambat proses produksi. Salah satu kendala produksi lobster adalah tingginya biaya pakan yang berkisar antara 60 - 70% dari total biaya produksi. Tingginya biaya pakan ini disebabkan salah satunya oleh semakin meningkatnya harga tepung ikan yang merupakan sumber utama protein pakan. Berdasarkan kondisi 1

tersebut, maka diperlukan upaya pengembangan pakan berbahan baku sumber protein lokal yang mudah diperoleh, harganya relatif murah, dan memiliki kandungan nutrisi yang sesuai sebagai pengganti tepung ikan. Pertumbuhan yang optimal memerlukan suplai pakan yang tepat agar nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan dapat terpenuhi. Untuk memenuhi kebutuhan pakan lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) beberapa cara yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pakan berupa cacing tanah (Lumbricus rubellus), cacing darah (Chironomus larvae), cacing sutera (Tubifex sp.) dan ulat hongkong (Tenebrio molitor larvae). Cacing tanah merupakan pakan alami yang mengandung protein 72% (Palungkun, 2008). Tidaklah mengherankan, bila cacing tanah sangat baik untuk makanan ternak maupun manusia. Cacing tanah sangat mudah dicerna dalam alat pencernaan dan mudah pula dipecah menjadi asam-asam amino yang berguna untuk tubuh lobster air tawar. Hampir semua protein daging cacing tanah dapat diserap oleh tubuh dengan baik. Asam amino cacing tanah mempunyai kualitas yang sangat baik. Cacing darah adalah larva serangga golongan Chironomus. Oleh karena itu, meskipun disebut sebagai cacing, binatang ini sama sekali bukan golongan cacingcacingan tetapi serangga. Pada tubuh cacing darah, 90% bagian tubuh adalah air dan sisanya 10% terdiri dari bahan padatan. Dari 10% bahan padatan ini 62,5% adalah protein, 10% lemak, dan sisanya lain-lain. Cacing sutera diketahui memiliki kandungan nutrisi penting seperti vitamin, karbohidrat, lemak dan protein sekitar 50 60%. Dengan kandungan nutrisi demikian, cacing sutera tergolong pakan alami yang baik sebagai sumber pakan lobster air tawar (Wikipedia, 2006).

Ulat hongkong mempunyai kandungan nutrisi kurang lebih protein kasar 48%, lemak kasar 40%, kadar abu 3%, dan kandungan ekstrak non nitrogen 8%. Sedangkan kadar airnya mencapai 57%. Dengan kandungan nutrisi demikian ulat hongkong tergolong baik untuk sebagai sumber pakan lobster air tawar. Meskipun demikian beberapa literatur menyebutkan bahwa kandungan lemak pada ulat hongkong sering lebih tinggi daripada kandungan proteinnya, sehingga pemberian ulat hongkong dapat menyebabkan kegemukkan pada binatang yang mengkonsumsinya dengan segala aspek ikutannya. Berdasarkan uraian di atas, pakan alami yang telah disebutkan merupakan sumber protein hewani yang diharapkan dapat memacu pertumbuhan lobster secara optimal. Pakan alami dalam penelitian ini dibandingkan agar diketahui pakan yang tepat untuk pertumbuhan optimal.

1.2 Perumusan Masalah 1. Apakah pemberian pakan yang berbeda yaitu cacing tanah, cacing darah, cacing sutera dan ulat hongkong pada lobster air tawar memberikan tingkat kelulushidupan yang berbeda ? 2. Apakah pemberian pakan yang berbeda yaitu cacing tanah, cacing darah, cacing sutera dan ulat hongkong pada lobster air tawar memberikan pertumbuhan yang berbeda ? 3. Apakah pemberian pakan yang berbeda yaitu cacing tanah, cacing darah, cacing sutera dan ulat hongkong pada lobster air tawar memberikan Rasio Konversi Pakan yang berbeda ?

1.3 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mencari pakan alami terbaik diantara pakan yang diberikan yaitu cacing tanah, cacing darah, cacing sutera dan ulat hongkong terhadap tingkat kelulushidupan (SR), laju pertumbuhan (SGR) dan rasio konversi pakan (FCR) lobster air tawar.

1.4 Manfaat Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dapat memberikan informasi ilmiah pada ilmuwan, mahasiswa dan pembudidaya lobster air tawar tentang pakan yang terbaik untuk lobster air tawar diantara pakan alami yang diberikan yaitu cacing tanah, cacing darah, cacing sutera dan ulat hongkong.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biologi Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) 2.1.1. Klasifikasi dan morfologi Menurut Wiyanto dan Rudi (2003), Genus Cherax memiliki sistematika sebagai berikut : Filum Kelas Sub kelas Ordo Famili Genus Spesies : Arthropoda : Crustacea : Malacostraca : Decapoda : Parastacidae : Cherax : Cherax quadricarinatus

Tubuh lobster air tawar terbagi menjadi dua bagian yaitu bagian depan terdiri dari kepala dan dada yang disebut cephalothorax. Sementara bagian belakang terdiri dari badan dan ekor yang disebut abdomen. Kepala ditutupi oleh kulit atau cangkang kepala (carapace). Carapace ini berperan dalam melindungi organ tubuh, seperti otak, insang, hati dan lambung. Carapace berbahan zat tanduk atau kitin yang tebal dan merupakan nitrogen polisakarida yang disekresikan oleh kulit epidermis dan dapat mengelupas saat terjadinya pergantian cangkang tubuh (moulting). Secara umum tubuh lobster air tawar dibagi menjadi dua bagian, yakni kepala (Chepalothorax) dan badan (abdomen). Hewan ini tertutupi kerangka luar kitin, yang mengandung sebagian besar kapur dan skelerotin yaitu yang membuat rangka lebih keras dan berat tapi sangat baik sebagai lapisan pelindung. Kitin luar tipis dan berhubungan, untuk memberikan kelenturan maksimal. Bagian anterior tubuhnya

disebut Carapace dan masing-masing segmen posterior abdominal terdiri dari lengkungan dorsal tergum, dua lateral pleura dan sebuah ventral sternum. Anggota badan lobster memperlihatkan suatu rangkaian yang sangat penting dari adaptasi dan modifikasi dalam hidupnya. Ada 19 pasang anggota badan secara keseluruhan, satu pasang pada tiap segmen. Antennules dan antennae merupakan modifikasi untuk tactil dan chemical stimulation (rangsangan kimia); rahang bawah untuk mengunyah, lima berikutnya, maxillae dan maxillipeds, terutama untuk mendorong makanan; pasangan berikutnya adalah chelipeds yang sangat besar untuk mencapit makanan dan untuk pertahanan; empat pasang selanjutnya untuk berjalan dan enam pasang terakhir untuk berenang dan untuk berbagai fungsi yang lain. Lubang kecil melubangi seluruh rangka, banyak tersebar di anggota badan dan bagian ekor. Kumpulan di dalam itu adalah bulu-bulu yang membuat hewan itu sangat sensitif terhadap lingkungan sekitar melalui taktil stimulation. Semua anggota badan ini, dengan berbagai macam, bentuk dan fungsi, berawal dari sebuah anggota badan sederhana dengan satu fungsi yang disebut daya penggerak. Lobster air tawar memiliki 19 pasang, antara lain bagian kepala dengan lima bagian, thorax delapan bagian dan abdomen enam bagian. Bagian tubuh crayfish beberapa diantaranya adalah sebagai berikut : Antenela, protopoditnya terbagi menjadi tiga segmen. Segmen pertama adalah coxopodite dan segmen berikutnya adalah basipodit yang terdiri dari dua bagian. Dua set flagella yang panjangnya berbeda merupakan satu bagian dengan antenula dan letaknya berkait dengan basipodit. Flagela yang pendek terletak di sebelah dalam disebut endopodit sedangkan flagella yang panjang terletak di sebelah luar disebut eksopodit. Fungsi antenela untuk mencium pakan.

Antena. Antena mempunyai bagian yang sama dengan antenela. Struktur yang menyerupai daun besar adalah exopodite, termasuk juga squame dan lapisan antenna. Letaknya berada sedikit diatas coxopodite dan membuka di apex. Bagian ini membuka (nepridiophore) sampai ke ginjal dan biasa disebut dengan kelenjar hijau yang berfungsi sebagai ekskresi. Antena berperan sebagai perasa dan peraba terhadap pakan dan kondisi lingkungan. Bagian mulut. Maksila ketiga sebenarnya adalah mulut dengan penyepitnya dan tempatnya di bagian anterior sampai dasar dari sepasang kaki pertama. Mandibel. Letaknya di bagian anterior dan hampir tertutup oleh bagian posterior tubuh. Ciri-ciri mandibel adalah lebar, lembut, mengkilat, permukaannya cembung, tampak dalamnya seperti tepi. Maksila 1. Letaknya di bagian pertama dari maksila, strukturnya seperti daun. Bagian yang agak kecil dan strukturnya runcing adalah endopodit. Dua bagian di samping endopodit adalah endites 1 dan endites 2. Pada pangkal endites 1 banyak terdapat kitinase. Bagian ini disebut coxopodite. Maksila 2. Letaknya setelah maksila 1. Bagian yang besar adalah scaphognathite. Bagian anterior dibatasi oleh mandible dan bagian posterior berupa ruang percabangan yang membantu pergerakan air di dalamnya. Maxilliped 1. Bentuknya memanjang. Bagian dasarnya disebut epipodit dan sesuai dengan ruang masuk insang yang membantu pergerakan air. Maxilliped 2. Bagian tepi Protopodit dan Endopodit terdapat filament yang disebut dengan filament yang bercabang. Struktur epipodalnya pada podobranch berfungsi sebagai insang untuk respirasi. Pada bagian dasar coxopodite merupakan bahan kitin.

Maxilliped 3. Letaknya dekat maxilliped 2. Maxilliped 1, 2 dan 3 bergabung menjadi satu bagian tubuh di thorax. Periopod. Periopod berfungsi sebagai kaki jalan crayfish. Kaki pertama mempunyai capit dan bentuknya lebih besar dibanding kaki renang yang lain. Kaki kedua dan ketiga mempunyai chelate yang ukurannya sama. Kaki ketiga terutama pada terutama pada crayfish betina terdapat suatu modifikasi di bagian permukaannya yaitu adanya operculum genital. Kaki keempat dan kelima tidak mempunyai chelate. Kaki kelima pada crayfish jantan terdapat tempat saluran sperma. Pleopoda. Pleopoda berfungsi sebagai kaki renang. Menurut Wiyanto dan Hartono (2004), disamping sebagai alat berenang, kaki renang pada induk betina yang sedang bertelur memiliki karakteristik memberikan gerakan dengan tujuan meningkatkan kandungan oksigen terlarut di sekitarnya, sehingga kebutuhan oksigen telur dan larva dapat terpenuhi. Kaki renang juga digunakan untuk membersihkan telur atau larva dari tumpukan kotoran yang terendap. Morfologi lobster air tawar yang dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Morfologi Lobster Air Tawar (www.infovisual.info, 2005) Lobster air tawar merupakan spesies dimorfis. Yakni terdiri dari jenis kelamin jantan dan betina. Jenis kelamin jantan dan betina dapat dibedakan secara pasti jika 8

telah berumur dua bulan dengan panjang total rata-rata lima sampai tujuh sentimeter. Ciri-ciri primer pembeda jenis kelamin calon induk lobster air tawar adalah bentuk tertentu yang terletak di tangkai jalan dan ukuran capit. Sementara itu ciri-ciri sekunder yang dapat dilihat secara visual adalah kecerahan warna tubuhnya (Iskandar, 2003).

2.1.2 Habitat dan daerah penyebarannya Pada dasarnya lobster air tawar terdiri dari tiga keluarga besar yaitu Astacidae, Cambaridae dan Parastacidae. Secara alami keluarga lobster air tawar tersebut menyebar hampir di semua benua kecuali Afrika dan Antartika, meskipun di kedua benua tersebut pernah ditemukan fosilnya. Keluarga Astacidae banyak ditemukan di perairan bagian barat Rocky Mountain di Barat Laut Amerika Serikat sampai Kolombia, Kanada dan juga di Eropa. Keluarga Cambaridae banyak ditemukan di bagian timur Amerika serikat (80% dari jumlah spesies) dan bagian selatan Meksiko, Selandia Baru, Amerika Selatan dan Madagaskar. Di Indonesia terutama di perairan Jayawijaya, Papua, juga hidup beberapa spesies dari keluarga Parastacidae (Wiyanto, 2003). Habitat alam lobster air tawar adalah danau, rawa atau sungai yang berlokasi di daerah pegunungan. Di samping itu diketahui lobster air tawar bersifat endemic karena terdapat spesifikasi pada spesies lobster air tawar yang ditemukan di habitat alam tertentu.

2.1.3 Siklus Hidup Pada umumnya lobster air tawar mulai matang gonad pada umur 6 7 bulan. Setelah mencapai umur tersebut, induk jantan dan betina akan melakukan perkawinan.

Selanjutnya, induk betina akan bertelur dan mengeraminya hingga menetas selama 1,5 bulan. Setiap kali bertelur, jumlah anakan yang menetas berkisar 150 800 ekor. Namun, ada jenis lobster yang mampu menghasilkan telur hingga ribuan butir antara lain jenis Astacopsis gouldi dengan jumlah telur sekali bertelur sekitar 4.000 butir. Sebelum bertelur, lobster betina yang telah matang gonad akan melakukan perkawinan dengan lobster jantan. Proses perkawinan biasanya terjadi pada malam hari atau menjelang pagi. Beberapa hari menjelang kawin, lobster jantan dan betina yang berjodoh akan selalu bersama. Lobster jantan terlihat aktif memperindah kakikaki renang dan daerah ventral antara kaki jalan ketiga dan keempat. Sehari sebelum kawin, lobster jantan semakin aktif mendekati lobster betina. Selanjutnya lobster jantan akan mencumbu betina. Setelah beberapa saat bercumbu, lobster betina akan membalikkan tubuhnya dengan posisi terlentang. Pada saat itu, lobster jantan akan segera menaiki tubuh lobster betina yang menghadap ke atas. Ekor lobster betina akan berkontraksi dan abdomen lobster jantan melingkupinya. Pada saat itu lobster jantan akan menyemprotkan spermatoforanya ke permukaan ventral abdomen betina. Proses perkawinan ini diperkirakan berlangsung sekitar 0,5 1 jam. Sekitar 10 15 hari setelah perkawinan, telur akan mulai tampak di bagian bawah badan lobster betina. Telur yang baru muncul tersebut berwarna kuning kemudian dalam beberapa minggu akan berubah menjadi oranye dan timbul bintik-bintik hitam sebelum menetas. Hingga telur tersebut menetas dan menjadi benih akan terus melekat di badan lobster betina. Benih atau anakan lobster akan mulai lepas sekitar 4 5 hari setelah menetas (Wiyanto dan Hartono, 2004). Siklus hidup lobster air tawar secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 2.

10

3 to 12 weeks

About 1,5 to 2 years

About 6 to 8 months

Gambar 2. Siklus hidup lobster air tawar. (www.osl.gc.ca, 2004)

2.1.4 Pakan Lobster Di habitat aslinya, lobster air tawar aktif mencari pakan pada malam hari (nocturnal). Lobster air tawar adalah jenis binatang pemakan tumbuhan dan hewan (omnivora). Pakan lobster air tawar biasanya berupa biji-bijian, ubi-ubian, cacing, lumut, dan bangkai hewan. Lobster memanfaatkan antena panjangnya untuk mendeteksi bahan pakan terlebih dahulu. Jika bahan pakan tersebut sesuai dengan keinginannya, lobster akan menangkapnya menggunakan capit, selanjutnya

memegangnya dengan kaki jalan pertama sebagai tangan pemegang pakan yang akan dikonsumsi. Lobster air tawar memiliki gigi halus yang terletak di permukaan mulut, sehingga cara memakan pakannya sedikit demi sedikit (Iskandar, 2003).

11

2.1.5 Sifat Kanibal Lobster air tawar termasuk binatang yang suka memakan jenisnya sendiri yang biasa disebut dengan kanibal. Kanibal terjadi saat tidak tersedia pakan yang memadai. Sifat kanibal ini juga timbul saat lobster lain dalam keadaan lemah dan tidak dapat mempertahankan diri. Lobster akan lemah saat sakit atau sedang molting. Agar tidak dimakan oleh kerabatnya, biasanya lobster yang sedang mengalami pergantian kulit mencari tempat persembunyian untuk berlindung. Karenanya, tempat budidaya harus dilengkapi dengan tempat-tempat yang dapat digunakan oleh lobster untuk bersembunyi. Kanibal juga terjadi pada lobster dewasa terhadap telur dan lobster kecil yang baru menetas. Namun, jarang sekali induk yang sedang bertelur memakan anaknya sendiri. Pada saat pembenihan lobster, induk yang sudah bertelur sebaiknya dipisahkan dalam wadah yang terpisah agar telur yang menetas tidak dimakan oleh induk yang lain (Iskandar, 2003).

2.1.6 Pergantian kulit atau Moulting Kerangka atau kelopak kulit yang menyelimuti tubuh lobster terbuat dari bahan chitin, sifatnya keras dan tidak elastis. Jika ingin tumbuh besar, lobster perlu membuang kulit lama dan menggantinya dengan kulit baru. Proses pergantian kulit tersebut dikenal dengan istilah moulting. Selama siklus hidupnya, lobster mengalami pergantian kulit hingga puluhan kali. Pergantian kulit mulai terjadi pada umur 2 3 minggu. Frekuensi moulting tergantung umur serta jumlah dan mutu makanan yang dikonsumsi. Lobster muda lebih sering mengalami moulting dibandingkan dengan lobster dewasa karena masih dalam masa pertumbuhan. Lobster yang mendapat pasokan makanan cukup dan berkualitas akan lebih cepat melakukan moulting. Faktor

12

makanan berpengaruh pada percepatan moulting, dikarenakan makanan yang diserap lobster berfungsi untuk membentuk jaringan material pertumbuhan. Selain faktor umur dan makanan, faktor kualitas lingkungan juga bisa mempengaruhi frekuensi moulting. Suplai oksigen yang sangat sedikit, suhu air yang terlalu tinggi, dan adanya timbunan zat-zat beracun dalam air akan membuat pertumbuhan lobster terhambat. Dengan demikian, frekuensi moulting juga terhambat. Lobster yang akan moulting, yaitu sekitar 2 3 jam sebelumnya, terlihat berdiam diri karena kondisinya sangat lemah dan seperti mau mati, bahkan tidak mau makan. Pada tahap awal, kulit kepala akan mengelupas atau terlihat terangkat dan terpisah dari kepala. Dalam beberapa waktu kepala akan keluar dari kulit kepala disusul dengan mengelupasnya kulit eksoskeleton. Tubuh lobster yang sudah berganti kulit masih terlihat lemah karena kulitnya masih sangat lunak. Setelah 24 jam semua kulit akan mengeras kembali seperti sedia kala. Selama proses moulting, lobster tidak makan. Pada dasarnya moulting berfungsi untuk merangsang atau mempercepat pertumbuhan. Moulting juga bisa mempercepat pematangan gonad pada lobster. Dengan demikian, lobster akan cepat menghasilkan telur. Selain fungsi tersebut, pergantian kulit juga untuk menumbuhkan kembali bagian tubuh yang cacat. Capit yang patah akan tumbuh kembali setelah moulting. Namun, kaki bekas patah tersebut tidak sebesar kaki sebelum patah. Secara umum, pertumbuhan lobster air tawar dapat dilihat pada tabel 1.

13

Tabel 1. Hubungan umur dan panjang lobster Umur 1 1,5 bulan 2 bulan 7 bulan 1 tahun > 3 tahun Sumber : Iskandar (2003) Ukuran Tubuh 2,5 4 cm 5 6 cm 10 12 cm 15 17 cm 20 25 cm

2.1.7 Rasio Konversi Pakan Rasio Konversi Pakan adalah perbandingan atau rasio jumlah pakan yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot lobster yang dipelihara. Rasio konversi pakan dapat digunakan untuk mengetahui kualitas pakan yang diberikan terhadap pertumbuhan lobster (Mahyudin, 2009). Rumus untuk menghitung konversi pakan adalah sebagai berikut : FCR = F F Wt - Wo

Keterangan : F Wo Wt = Jumlah pakan yang diberikan selama pemeliharaan (kg) = Berat total lobster saat awal penebaran (kg) = Berat total lobster saat panen (kg)

2.1.8 Kebutuhan Nutrisi Pakan yang baik adalah pakan dengan kandungan zat-zat gizi yang dibutuhkan lobster, seperti protein, lemak, mineral, dan vitamin. Pakan memegang peranan penting untuk pertumbuhan dan perkembangan lobster. Pemberian pakan dengan jenis, jumlah, dan frekuensi yang tepat diharapkan lobster akan tumbuh cepat dalam 14

kondisi sehat, kuat dan terbebas dari serangan penyakit (Wiyanto dan Hartono, 2004). Tabel kebutuhan nutrisi lobster air tawar dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Kebutuhan nutrisi lobster air tawar dalam bahan kering Nutrisi Protein Lemak Serat Kasar BETN Abu Sumber : Apriliani (2006) Kebutuhan 21,6 % 7% 8% 24,9 % -

2.2 Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) 2.2.1 Ciri fisik Ciri-ciri fisik cacing tanah antara lain di tubuhnya terdapat segmen luar dan dalam, berambut, tidak mempunyai kerangka luar, tubuhnya dilindungi oleh kutikula (kulit bagian luar), tidak memiliki alat gerak seperti kebanyakan binatang, dan tidak memiliki mata. Untuk dapat bergerak, cacing tanah harus menggunakan otot-otot tubuhnya yang panjang dan tebal yang melingkari tubuhnya. Adanya lendir pada tubuhnya yang dihasilkan oleh kelenjar epidermis dapat mempermudah

pergerakannya di tempat-tempat yang padat dan kasar. Lendir itu pun dapat memperlicin tubuhnya dalam membuat lubang di tanah sehingga cacing dapat dengan mudah keluar masuk lubang (Palungkun, 2008). Gambar cacing tanah dapat dilihat pada gambar 3.

15

Gambar 3. Lumbricus rubellus Pada tubuhnya, terdapat organ yang disebut seta. Seta yang terdapat pada setiap segmen ini berupa rambut yang relatif keras dan berukuran pendek. Daya lekat organ ini sangat kuat sehingga cacing dapat melekat erat pada permukaan benda. Daya lekat ini akan melemah saat cacing akan bergerak maju. Seta ini pun dapat membantu cacing tanah saat melakukan perkawinan (Palungkun, 2008). Cacing tanah tidak memiliki mata, tetapi di tubuhnya terdapat prostomium. Prostomium ini merupakan organ syaraf perasa dan berbentuk seperti bibir. Organ ini terbentuk dari tonjolan daging yang dapat menutupi lubang mulut. Prostomium terdapat pada bagian depan tubuhnya. Adanya prostomium ini membuat cacing tanah peka terhadap benda-benda di sekelilingnya. Itulah sebabnya cacing tanah dapat menemukan bahan organik yang menjadi makanannya walaupun tidak memiliki mata (Palungkun, 2008). Di bagian akhir tubuhnya terdapat anus. Anus digunakan untuk mengeluarkan sisa-sisa makanan dan tanah yang dimakannya. Kotoran yang keluar dari anus tersebut sangat berguna bagi tanaman karena sangat kaya dengan unsur hara. Kotoran tersebut dikenal dengan istilah kascing (Palungkun, 2008). 16

Cacing tanah dewasa memiliki klitelium yang merupakan alat yang membantu perkembangbiakan. Organ ini merupakan bagian dari tubuh yang menebal dan warnanya lebih terang dari warna tubuhnya. Pada cacing yang masih muda, organ ini belum tampak karena hanya terbentuk saat cacing mencapai dewasa kelamin, sekitar 2 3 bulan (Palungkun, 2008).

2.2.2 Perkembangbiakan Cacing tanah berkembang mulai dari telur yang tersimpan dalam kokon. Kokon yang dihasilkan dari perkawinan sepasang cacing tanah diletakkan di permukaan tanah bila keadaan tanahnya lembab. Namun, kalau tanahnya kering, kokon akan diletakkan dalam tanah. Kokon yang baru keluar dari tubuhnya berwarna kuning kehijauan dan akan berubah kemerahan saat akan menetas. Kokon akan menetas sekitar 14 21 hari setelah terlepas dari tubuh cacing tanah (Palungkun, 2008). Kalau keadaan tanah lembab. Cadangan makanan mencukupi, dan faktor lingkungan lain sangat mendukung maka cacing tanah akan menghasilkan kokon sepanjang tahun. Namun, jumlah kokon yang dihasilkan tergantung pada perubahan suhu. Bila suhu rendah atau sekitar 30 C, kokon yang dihasilkan sangat sedikit. Sebaliknya kalu suhunya dinaikkan maka cacing tanah akan menghasilkan kokon lebih banyak. Suhu ideal untuk keperluan ini adalah 60 160 C (Palungkun, 2008).

2.2.3 Siklus hidup Siklus hidup cacing tanah dimulai dari kokon, cacing muda, (juvenil), cacing produktif, dan cacing tua. Lama siklus hidup ini tergantung pada kesesuaian kondisi lingkungan, cadangan makanan, dan jenis cacing tanah. Dari berbagai penelitian

17

diperoleh lama siklus hidup cacing tanah L.rubellus hingga mati mencapai 1 5 tahun (Palungkun, 2008). Kokon yang dihasilkan dari cacing tanah akan menetas setelah berumur 14 21 hari. Setelah menetas, cacing tanah muda ini akan hidup dan dapat mencapai dewasa kelamin dalam waktu 2,5 3 bulan. Saat dewasa kelamin cacing tanah akan menghasilkan kokon dari perkawinannya yang berlangsung 6 10 hari (Palungkun, 2008). Masa produktif aktif cacing tanah akan berlangsung selama 4 10 bulan dan akan menurun hingga cacing mengalami kematian. Cacing yang sudah tidak produktif atau cacing tua biasanya bagian ekornya agak pipih dan warna kuning pada ekornya sudah mencapai punggung. Bila cacing masih produktif, warna kuning tersebut masih berada di ujung ekor (Palungkun, 2008).

2.2.4 Kandungan nutrisi cacing Cacing tanah sangat potensial untuk dikembangkan. Ini disebabkan kandungan gizinya cukup tinggi, terutama kandungan proteinnya yang mencapai 64 76%. Kandungan protein cacing tanah ini ternyata lebih tinggi dari sumber protein lainnya (Palungkun, 2008). Selain protein, kandungan gizi lainnya yang terdapat dalam tubuh cacing tanah antara lain lemak 7 10%, kalsium 0,55%, fosfor 1%, dan serat kasar 1,08%. Selain itu, cacing tanah mengandung auxin yang merupakan zat perangsang tumbuh untuk tanaman. Kandungan nutrisi cacing tanah (Lumbricus rubellus) dapat dilihat pada tabel 3.

18

Tabel 3. Kandungan Nutrisi Cacing Tanah berdasar Bahan Kering Bahan Penyusun Protein Kasar Lemak Serat Kasar BETN Abu Kandungan Gizi (%) 39,5 15,2 1,2 39 4,9

Sumber : Laboratorium Pakan Ternak Universitas Airlangga (2009) Protein yang sangat tinggi pada tubuh cacing tanah terdiri dari setidaknya sembilan macam asam amino esensial dan empat macam asam amino non-esensial. Asam amino esensial antara lain arginin, histidin, leusin, isoleusin, valin, metionin, fenilalanin, lisin, dan treonin. Sementara asam amino non-esensial ialah sistin, glisin, serin, dan tirosin. Selain bahan tersebut, diketahui pula mengandung alfa tokoferol atau vitamin E yang berfungsi sebagai anti oksidan dan bisa memicu proses reproduksi ikan. Komposisi kandungan asam amino pada cacing tanah tersebut dapat dilihat pada tabel 4.

19

Tabel 4. Komposisi Kandungan Asam Amino pada Cacing Tanah Asam Amino Asam Amino Esensial Arginin Histidin Isoleusin Leusin Lisin Metionin Fenilalanin Treonin Valin Asam Amino Non-Esensial Sistin Glisin Serin Tirosin Sumber : Palungkun (2008) 2,29 2,92 2,88 1,36 4,13 1,56 2,58 4,84 4,33 2,18 2,25 2,95 3,01 Komposisi (%)

2.3 Cacing Darah (Chironomus larvae) Cacing darah adalah larva serangga golongan Chironomus. Oleh karena itu, meskipun disebut sebagai cacing, binatang ini sama sekali bukan golongan cacingcacingan tetapi serangga. Nyamuk Chironomus tidak menggigit dan kerap dijumpai di perairan bebas dengan dasar berlumpur atau berpasir sangat halus yang kaya akan bahan organik. Fase makan dari serangga ini terdapat pada fase larvanya, sedangkan bentuk dewasanya, sebagai nyamuk yang tidak menggigit, hanya berperan untuk kawin kemudian bertelur dan mati.

20

Tubuh cacing darah mengandung 90% air dan sisanya 10% terdiri dari bahan kering. Kandungan nutrisi yang dimiliki cacing darah berdasarkan bahan kering dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. Kandungan Nutrisi Cacing Darah berdasar Bahan Kering Bahan Penyusun Protein Lemak Serat Kasar BETN Abu Kandungan Gizi (%) 60,9 16,3 0,9 13,5 8,1

Sumber : Laboratorium Pakan Ternak Universitas Airlangga (2009) Dengan kandungan nutrisi yang kaya protein, cacing darah merupakan salah satu pakan ikan yang disukai. Dalam blantika ikan hias, cacing darah telah digunakan sebagai pakan ikan sejak tahun 1930-an. Komposisi kandungan asam amino pada cacing darah tersebut dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 6. Kandungan asam amino cacing darah Asam mino Kandungan Lisin Histidin Arginin Treonin Fenilalanin Triptopan Tirosin Valin Metionin Leusin Isoleusin Sistin Glisin Serin Asam Aspartik Asam Glutamik Alanin Prolin

Asam Amino Esensial

Asam Amino Non-Esensial

Sumber : Spingerlink (2004) 21

Sering disalah-artikan bahwa warna merah pada cacing darah dapat ditularkan pada ikan/lobster air tawar, sehingga orang berlomba-lomba mendapatkan cacing darah untuk memerahkan ikan/lobsternya. Warna merah pada cacing darah disebabkan oleh haemoglobin, yang sangat diperlukan oleh makhluk tersebut agar dapat hidup pada kondisi dengan kadar oksigen rendah. Sejauh ini tidak ada hubungan antara haemoglobin dengan warna ikan/lobster. Kandungan protein yang tinggi akan menyebabkan ikan / lobster yang mengkonsumsinya menjadi lebih sehat sehingga ikan / lobster tersebut warnanya menjadi lebih cerah. (o-fish, 2004)

2.4 Cacing Sutera (Tubifex sp.) Tubifex sp. disebut juga dengan sludge worm, sewage worm, atau lime snake. Spesies ini termasuk cacing bersegmen yang hidup di lapisan sedimen danau dan sungai di beberapa benua. Cacing ini dapat hidup dengan sedikit oksigen dan menggunakan hemoglobin yang berada di ujung ekornya untuk mengabsorbsi oksigen (wikipedia, 2006). Gambar cacing sutera (Tubifex sp.) dapat dilihat pada gambar 4.

22

Gambar 4. Cacing Sutera (Tubifex sp.) Cacing tubifex dikenal sebagai pemacu pertumbuhan benih ikan hias karena selain memiliki ukuran yang kecil juga memiliki kandungan protein yang tinggi. Oleh karena itu yang diberi pakan cacing tubifex tumbuh dengan cepat (Ward, 1997). Komposisi nutrisi cacing tubifex dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Kandungan nutrisi cacing sutera berdasar Bahan Kering Bahan Penyusun Protein Kasar Lemak Serat Kasar BETN Abu Kandungan Gizi (%) 41,1 20,9 1,3 30,0 6,7

Sumber : Laboratorium Pakan Ternak Universitas Airlangga (2009) Sedangkan komposisi kandungan asam amino pada cacing sutera dapat dilihat pada tabel 8.

23

Tabel 8. Kandungan asam amino cacing sutera Asam Amino Kandungan Isoleusin Leusin Lisin Asam Amino Esensial Methionin Fenilalanin Treonin Triptophan Valin Alanin Asparagin Aspartat Sistin Glutamat Asam Amino Non-Esensial Glutamin Glisin Prolin Serin Tirosin Arginin Histidin Sumber : Wikipedia (2009)

2.5 Ulat Hongkong (Tenebrio molitor larvae) Ulat hongkong merupakan salah satu alternatif pakan ikan / lobster. Panjang tubuhnya bisa mencapai 3 cm. Pada awalnya, ulat ini dikenal sebagai pakan burung, dan banyak dijumpai di toko-toko atau kios-kios penjual burung. Kemudian banyak hobiis ikan hias / lobster memanfaatkannya sebagai pakan ikan / lobster hiasnya.

24

Sedangkan di luar negeri ulat hongkong sudah lama dikenal sebagai pakan ikan, pakan reptil, dan pakan amfibi (o-fish, 2004). Ulat hongkong sebenarnya merupakan larva dari serangga yang bernama latin Tenebrio molitor. Serangga ini merupakan hama pada produk biji-bijian atau serealia. Serangga T.molitor mempunyai sebaran luas hampir diseluruh permukaan planet bumi ini. Mereka mempunyai panjang tubuh sekitar 13 16 mm. Berwarna merah kehitaman atau hitam. Serangga ini aktif di malam hari, dan sering menyerang karpet, pakaian dan juga tanaman kering. Sedangkan ulatnya memakan biji-bijian, sereal, dan makanan cadangan manusia lainnya. Gambar cacing hongkong atau larva Tenebrio molitor dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Larva Tenebrio molitor Secara ekonomis T.molitor mempunyai nilai positif, khususnya, ketika dalam fase larva sebagai ulat hongkong, karena mereka bisa diternakan dan dijadikan komoditi yang diperjual-belikan sebagai sumber makanan ikan, reptil, amfibi dan juga burung. Sedangkan dalam bentuk dewasa, sebagai kumbang, mereka mempunyai nilai negatif karena merusak biji-bijian dan makanan simpanan manusia (o-fish, 2004). Ulat hongkong mempunyai kandungan nutrisi kurang lebih protein kasar 48%, lemak kasar 40%, kadar abu 3%, dan kandungan ekstrak non nitrogen 8%. Sedangkan kadar airnya mencapai 57%. Dengan kandungan nutrisi demikian ulat hongkong 25

tergolong baik sebagai sumber pakan ikan / lobster hias. Meskipun demikian beberapa literatur menyebutkan bahwa kandungan lemak pada ulat hongkong sering lebih tinggi daripada kandungan proteinnya, sehingga pemberian ulat hongkong dapat menyebabkan kegemukkan pada binatang yang mengkonsumsinya dengan segala aspek ikutannya. Kandungan nutrisi ulat hongkong (Tenebrio molitor larvae) dapat dilihat pada tabel 9. Tabel 9. Kandungan Nutrisi Ulat Hongkong berdasar Bahan Kering Bahan Penyusun Protein Lemak Serat Kasar BETN Abu Sumber : Aguilar-Miranda et al. (2001) Satu hal yang mungkin tidak begitu disukai dari ulat hongkong adalah kandungan kitinnya. Kitin merupakan bahan yang tidak bisa dicerna oleh ikan / lobster, oleh karena itu sering direkomendasikan agar ulat hongkong diberikan pada saat baru ganti kulit. Satu atau dua hari setelah ganti kulit ulat akan membentuk lapisan kitin sehingga ulat tampak berubah warna menjadi kecoklatan hingga coklat gelap, sebelum akhirnya ganti kulit kembali (o-fish, 2004). Komposisi kandungan asam amino pada ulat hongkong tersebut dapat dilihat pada tabel 9. Tabel 10. Kandungan asam amino ulat hongkong Asam Amino Asam Amino Esensial Kandungan Fenilalanin Tirosin Triptophan Sumber : Aguilar-Miranda et al. (2001) Kandungan Gizi (%) 58,4 32,4 6,3 3

26

Ulat hongkong dapat pula diberikan setelah dimanipulasi atau diperkaya kandungan gizinya. Sebagai contoh ulat hongkong diberi makan makanan yang mengandung nutrisi tertentu, seperti beta karoten, sebelum diberikan pada ikan / lobster. Dengan demikian beta karoten yang terdapat pada ulat hongkong dapat ditransfer pada ikan / lobster sebagai media pemicu warna ikan / lobster. Siklus hidup ulat hongkong terdiri dari 4 tahap, yaitu : telur, larva, kepompong dan serangga dewasa. Siklus ini bisa berlangsung antara 3 4 bulan. Telur pada umunya berbentuk seperti kacang dalam bentuk gerombol atau sendiri-sendiri. Ukuran telur ini kurang lebih 1,8 1,9 mm dengan diameter sekitar 1 mm. Telur tersebut biasanya diselimuti oleh suatu bahan cair yang lengket sehingga kerap mereka tertutup oleh bahan-bahan yang menempel pada telur tersebut (o-fish, 2004). Larva yang baru menetas berukuran sekitar 3 mm dengan berat kurang lebih 0,6 mg. Pada awalnya larva ini berwarna keputihan. Kemudian secara perlahan akan berubah warna menjadi kuning kecoklatan. Larva atau ulat hongkong ini akan berganti kulit sebanyak 15 kali sebelum akhirnya berubah menjadi kepompong. Pada suhu ruangan normal larva akan tumbuh mencapai ukuran optimalnya setelah 3 3,5 bulan. Pada saat itu ulat bisa mencapai panjang sampai dengan 3 cm dan berat ratarata 150 mg (o-fish, 2004). Kepompong ulat hongkong tidak bersifat aktif. Mereka tidak makan ataupun bergerak. Meskipun demikian mereka akan memberikan respon berupa gerakan apabila disentuh. Masa kepompong biasanya akan berlangsung selama 7 hari, setelah itu maka keluarlah serangga dewasa. Kepompong ulat hongkong tampak transparan sehingga pertumbuhan serangga didalamnya dapat dilihat. Serangga dewasa pada umumnya akan hidup selama 2 sampai 3 bulan. Selama itu seekor serangga betina bisa memproduksi telur sebanyak 200 300 butir(o-fish, 2004).

27

BAB III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Konseptual

Lobster air tawar merupakan salah satu komoditas air tawar yang berprospek cukup cerah dan sangat diminati oleh sebagian besar masyarakat dunia selain untuk dapat dikonsumsi juga dapat dijadikan sebagai lobster hias karena warnanya yang menarik. Menurut Tanjung (2009), kebutuhan lobster air tawar untuk memenuhi pasar di Sumetera Utara mencapai 1 2 ton/bulan. Agar produksi lobster air tawar meningkat maka salah satunya dengan cara memberikan pakan yang baik untuk pertumbuhannya.

Pakan dengan kandungan nutrisi yang baik dapat meningkatkan pertumbuhan pada lobster air tawar. Pada budidaya, efisiensi biaya sangat dibutuhkan agar keuntungan yang didapatkan akan semakin besar dengan tidak mengesampingkan peningkatan pertumbuhan lobster tersebut. Salah satu caranya yaitu dengan memberikan pakan alami. Pakan alami yang murah dan mudah ditemui di pasaran diantaranya cacing tanah, cacing darah, cacing sutera, dan ulat hongkong. Selain murah dan mudah ditemui di pasaran, pakan alami ini dapat diproduksi secara massal.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian pakan alami terhadap tingkat kelulushidupan (SR), laju pertumbuhan (SGR) dan rasio konversi pakan (FCR) lobster air tawar. Skema kerangka konseptual dapat dilihat pada gambar 6.

28

Kebutuhan lobster meningkat

Stock di alam terbatas

Alternatif pakan lobster air tawar

Efisiensi Budidaya Lobster Air Tawar

Pemilihan Pakan Alami yang tepat

Pertumbuhan

Rasio Konversi Pakan

Kelulushidupan

Meningkatkan Produksi

Gambar 6. Bagan Kerangka Konseptual Penelitian

3.2 Hipotesis H1 : Terdapat perbedaan tingkat kelulushidupan terhadap losbter air tawar yang diberi pakan yang berbeda H1 : Terdapat perbedaan pertumbuhan terhadap losbter air tawar yang pakan yang berbeda diberi

29

H1 :

Terdapat perbedaan rasio konversi pakan terhadap losbter air tawar yang diberi pakan yang berbeda

30

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini akan dilaksanakan pada tanggal 25 Februari 2010 sampai 08 April 2010 di Laboratorium Pendidikan Perikanan Fakultas Teknik dan Kelautan Universitas Hang Tuah.

4.2 Materi Penelitian 4.2.1 Alat Penelitian Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah akuarium, aerator untuk aerasi secukupnya, slang untuk penyiponan, pipa paralon kecil untuk dijadikan tempat persembunyian lobster, timbangan analitik digital untuk menimbang pakan maupun berat badan lobster, pisau untuk mencacah pakan alami dan peralatan pengukur kualitas air berupa pH meter untuk mengukur pH air, termometer untuk mengukur suhu air, spektrofotometer untuk mengukur amoniak (NH3) serta DO meter untuk mengukur kandungan oksigen terlarut dalam air.

4.2.2 Bahan Penelitian Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) berumur + 2 bulan dengan ukuran 5 - 6 cm dan bobot rata-rata 1,3 1,6 gram sejumlah 60 ekor. Pakan alami yang digunakan adalah cacing tanah, cacing sutera, cacing darah, dan ulat hongkong.

31

4.3 Metode Penelitian 4.3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari Yunita Kakam (2007) dengan judul Pemberian Pakan yang Berbeda terhadap Pertumbuhan dan Rasio Konversi Pakan Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) dengan Sistem Botol. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan yang dipakai adalah perbedaan pemberian pakan alami yang diberikan pada lobster dan diulang sebanyak 5 kali, yaitu : Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C Perlakuan D : Pemberian cacing tanah : Pemberian cacing sutera : Pemberian cacing darah : Pemberian ulat hongkong

Seluruh pakan alami yang diberikan, sebelumnya dikonversi menurut bahan kering (BK) terlebih dahulu. Hal ini bertujuan agar pakan yang diberikan, jumlah pakan dalam tiap bahan keringnya setara. Semua pakan yang diberikan dalam bentuk segar yang disetarakan dengan bahan keringnya. Denah penelitian dapat dilihat pada gambar 7. Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV Kelompok V A1 B2 C3 D4 B5 B1 A2 B3 C4 D5 D1 C2 A3 B4 C5 C1 D2 D3 A4 A5

Gambar 7. Denah penelitian Rancangan Acak Lengkap

32

4.3.2 Penghitungan Pakan Bahan pakan yang digunakan sebagai perlakuan dalam pemeliharaan lobster air tawar mempunyai kandungan nutrisi seperti terlihat pada tabel 11 dan tabel 12. Tabel 11. Komposisi nutrisi hasil analisis bahan pakan Hasil Analisis (%) No. Kode Sampel Bahan Kering 1. 2. 3. 4. Cacing Tanah Cacing Sutera Cacing Darah Ulat Hongkong 29,4841 14,4753 14,0985 32,3745 Protein Kasar 11,6472 5,9443 8,5972 15,681 Lemak Kasar 4,502 3,0259 2,2992 3,1032 Serat Kasar 0,3565 0,1943 0,1364 4,0516 11,5103 4,3413 1,9127 8,0055 1,4681 0,9695 1,1530 1,5332 BETN* Abu

Keterangan : Hasil test laboratorium analisis proksimat di Laboratorium Pakan Ternak Fakultas Kedokteran Hewan UNAIR (2009). * BETN = Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen

Tabel 12. Hasil analisis proksimat pakan uji berdasarkan bahan kering Perlakuan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Bahan Kering C. Tanah Kadar Protein (%) Kadar Lemak (%) Serat Kasar (%) BETN (%)* Abu (%) DE (kkal/kg pakan)** GE (kkal/kg pakan)*** C/P (kal/gr pakan)*** Jumlah pakan (g) 39,5033 15,2692 1,2091 39,0390 4,9793 3595,396 5162,778 9,10 100 C. Sutera 41,0651 20,9039 1,3423 29,9911 6,6976 3880,272 5390,472 9,45 100 C. Darah 60,9795 16,3081 0,9675 13,5667 8,1782 3794,407 5394,145 6,22 100 U. Hongkong 48,4363 9,5853 12,5148 24,7278 4,7358 3089,875 4550,099 6,38 100

Keterangan : Hasil test laboratorium analisis proksimat di Laboratorium Pakan Ternak Fakultas Kedokteran Hewan UNAIR (2009). * BETN = Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen ** DE = Energi Dapat Dicerna, dimana 1 g protein = 3,5 kkal DE, 1 g karbohidrat = 2,5 kkal DE dan 1 g lemak = 8,1 kkal DE (NRC, 1977) *** GE = Energi Total, dimana 1 g protein = 5,5 kkal GE, 1 g lemak = 9,1 kkal GE, 1 g karbohidrat = 4,1 kkal GE (Jauncey dan Ross, 1982)

33

4.3.3 Prosedur Kerja a. Persiapan Akuarium Akuarium yang digunakan dalam penelitian ini berukuran 50 x 30 x 30 cm sebanyak 5 unit. Sebelum digunakan, akuarium dibersihkan dan disterilisasi terlebih dahulu agar terhindar dari hama yang dapat membawa penyakit. Adapun persiapan yang dilakukan yaitu : Akuarium uji coba dikeringkan dahulu dengan cara dijemur. Setelah kurang lebih 1 hari penjemuran kemudian akuarium disikat dengan menggunakan sabun (detergen) dan dibilas. Terakhir, akuarium disapu dengan menggunakan kasa filter yang diberi klorin dan biarkan selama 1 jam kemudian dibilas sampai bau klorin hilang. Akuarium disusun teratur dan dilakukan pemberian label perlakuan pada tiap akuarium. Akuarium diisi air dengan volume 30 liter. Pemasangan aerator disusun sedemikian rupa sesuai kebutuhan.

b. Persiapan Hewan Uji Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) berumur kurang lebih 2 bulan dengan ukuran 5 - 6 cm dan bobot rata-rata 1,3 1,6 gram. Masing-masing petak akuarium diisi 3 ekor lobster air tawar dengan padat tebar 1 ekor / 2,5 liter air. Lobster yang digunakan dalam penelitian ini adalah lobster yang sehat dan tidak terserang penyakit. Setiap akuarium diisi 12 ekor lobster yang diadaptasikan dengan pakan alami terlebih dahulu selama satu minggu.

34

c. Persiapan Pakan Uji Pakan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah cacing tanah, cacing sutera, cacing darah, dan ulat hongkong. Pada masing-masing pakan uji, memiliki ukuran yang berbeda-beda. Untuk menyesuaikan bukaan mulut maka dibutuhkan penyetaraan ukuran pakan uji. Sebelum pakan uji diberikan, pakan uji yang memiliki ukuran besar dipotong-potong dengan menggunakan pisau terlebih dahulu. Fungsi dari penyetaraan ini agar hewan uji dapat makan dengan mudah. Kemudian setelah dilakukan penyetaraan ukuran pakan uji maka dilakukan penimbangan pakan uji sesuai dengan jumlah kebutuhan lobster air tawar. Sebelum pakan tersebut diberikan, dilakukan penimbangan berat lobster untuk menentukan jumlah pakan yang diberikan. Berikut rumus penyetaraan kebutuhan masing-masing pakan dari bentuk kering ke bentuk segar : Cacing Tanah = BK 100% Cacing Tanah x kebutuhan pakan/hari BK Cacing Tanah Segar Cacing Darah = BK 100% Cacing Darah x kebutuhan pakan/hari BK Cacing Darah Segar Cacing Sutera = BK 100% Cacing Sutera x kebutuhan pakan/hari BK Cacing Sutera Segar Ulat Hongkong = BK 100% Ulat Hongkong x kebutuhan pakan/hari BK Ulat Hongkong Segar d. Pemeliharaan Lobster Air Tawar Pemeliharaan lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) dengan

menggunakan akuarium berukuran 50 x 30 x 30 cm sebanyak 5 buah yang dibagi dengan sekat menjadi 4 ruang. Akuarium yang sudah disterilisasi, diisi dengan air bersih. Penyiponan kotoran sisa pakan dan metabolisme dalam akuarium dilakukan

35

setiap hari sebanyak 25% dari volume air. Setelah bersih, selanjutnya dilakukan pemberian air baru sebanyak 25% sebagai pengganti air yang lama. Pengukuran kualitas air dilakukan setiap hari, diantaranya pH, suhu, kelarutan oksigen (DO), dan amoniak (NH3). Setelah akuarium sudah siap, benih yang sudah diseleksi dimasukkan ke dalam akuarium. Pakan diberikan dua kali sehari sebanyak 3% dari total berat tubuh (Pavasovic et al., 2005). Pemberian pakan dilakukan setiap pagi jam 08.00 WIB dan sore hari jam 15.00 WIB (Yakob dkk., 1992). Penimbangan lobster dilakukan pada awal penelitian dan selanjutnya setiap 7 hari sekali. Dan penyesuaian jumlah pakan dilakukan setiap 7 hari sekali. Kemudian dilakukan pencatatan jumlah pakan yang dikonsumsi dan jumlah lobster pada awal dan akhir penelitian.

4.3.4 Parameter yang Diukur A. Parameter Utama Parameter utama yang diamati dalam penelitian ini adalah parameter kuantitatif yaitu berupa parameter pengamatan tingkat kelulushidupan (SR), pertumbuhan (GR), dan Rasio Konversi Pakan (FCR). Pertumbuhan meliputi pertumbuhan berat badan lobster air tawar. Pengukuran berat tubuh (W) dilakukan tiap 1 minggu dari awal sampai akhir penelitian. Penghitungan Rasio Konversi Pakan meliputi jumlah pakan yang dikonsumsi selama pemeliharaan dan pertambahan berat tubuh yang dihasilkan selama pemeliharaan dan penghitungan dilakukan pada akhir penelitian.

36

Tingkat Kelulushidupan Pemeliharaan benih lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) dilakukan selama 42 hari. Pada akhir pemeliharaan, dilakukan penghitungan tingkat kelulushidupan masing-masing perlakuan. Penghitungan menggunakan rumus (NRC, 1977) sebagai berikut : Tingkat kelulushidupan = benih yang hidup di akhir x 100% benih di awal pemeliharaan

Laju Pertumbuhan Laju pertumbuhan adalah pertambahan berat pada suatu waktu tertentu. Laju pertumbuhan dapat digunakan untuk mengetahui pertambahan berat harian lobster. Menurut Hariati (1989) laju pertumbuhan dapat dihitung dengan menggunakan rumus : GR (Growth Rate) = Wt Wo t Keterangan : G Wt Wo t = laju pertumbuhan (gram/hari) = berat rata-rata pada waktu ke-t (gram) = berat rata-rata awal (gram) = waktu (hari)

Penghitungan Rasio Konversi Pakan Rasio Konversi Pakan adalah perbandingan pakan yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot lobster yang dipelihara. Penghitungan Rasio Konversi Pakan didapat dengan menghitung jumlah pakan yang dikonsumsi dibagi dengan pertambahan berat yang diperoleh benih lobster air tawar. Penghitungan Rasio Konversi Pakan menurut Pavasovic et al. (2005) dengan menggunakan rumus : Rasio Konversi Pakan = Jumlah pakan yang dikonsumsi selama pemeliharaan (g) Pertambahan bobot yang diperoleh (g) 37

B. Parameter Penunjang Parameter penunjang yang diamati dalam penelitian ini adalah nilai parameter kualitas air. Parameter kualitas air yang diukur meliputi suhu, NH3, pH, dan kandungan oksigen terlarut dalam air. Pengukuran kualitas air berupa suhu dilakukan setiap hari dan pH, kadar amoniak (NH3) serta kandungan oksigen terlarut (DO) dilakukan setiap 1 minggu sekali.

4.3.5 Analisis Data Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan ANAVA untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Untuk mengetahui perbedaan nyata perlakuan digunakan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) dengan derajat kepercayaan 5% (0,05).

38

Pemberian Pakan Alami

A: Cacing Tanah

B: Cacing Sutera

C: Cacing Darah

D: Ulat Hongkong

5 kali ulangan

5 kali ulangan

5 kali ulangan

5 kali ulangan

Lobster Air Tawar

Parameter Utama : Pengamatan Pertumbuhan Lobster

Parameter Penunjang : Pengamatan Kualitas Air

SR, SGR, dan FCR

pH, suhu, NH3 dan DO

Analisis Data

Kesimpulan Gambar 8. Diagram Alir Penelitian

39

Anda mungkin juga menyukai