Anda di halaman 1dari 9

Tuesday, April 7, 2009 Ana Al-Haqq, Al-Hallaj buat saudaraku Zaidun Z : siapa yang menyimpang..dimana letak menyimpangnya?...

menurutku, perkataan beliau (Syekh Al-Hallaj Rohimahulloh Amiiin..)benar adanya qo. beliau itu karna sudah diliputi hubbul ilahi sehingga yang terasa, terlihat, terfikir,tergerak hanya sang haq karna hakikat wujud itu tiada sedang yang ada hanya sang haq yang mana dengan rohmatnya terciptalah semua mahluq atas kehendaknya cuma bedanya beliau mungkin tidak bisa menampung semua rahasia yang tercurah padanya sehingga perkataannya dirasa aneh di anggap menyimpang. beliaulah master piece suatu ajaran sufi sebenarnya karna beliau salah satu yang mengerti hakikat wujud. jikalau anda di anugrahi suka taqorub dengan istiqomah pasti suatu saat merasakan perasaan serta penglihatan yang lain dan ana yaqin karomah yang timbul dari dirinya adalah curahan langsung sang haq. coba anda amalkan semua ibadah sunat dan adab adaban yang tercantum dalam kitab A-ghoniyyah karangan saidina syeh abdul qodir jailani selama 6 bulan saja pasti akan mengerti pemikiran dan perkataan seorang seperti al-halaj. http://sufiroad.blogspot.com/2009/04/ana-al-haqq-al-hallaj.html pukul 10.54 30.4.12 Diakui, bahwa puisi Rumi memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan para sufi penyair lainnya. Melalui puisipuisinya Rumi menyampaikan bahwa pemahaman atas dunia hanya mungkin didapat lewat cinta, bukan semata-mata lewat kerja fisik. Dalam puisinya Rumi juga menyampaikan bahwa Tuhan, sebagai satu-satunya tujuan, tidak ada yang menyamai. Ciri khas lain yang membedakan puisi Rumi dengan karya sufi penyair lain adalah seringnya ia memulai puisinya dengan menggunakan kisah-kisah. Tapi hal ini bukan dimaksud ia ingin menulis puisi naratif. Kisah-kisah ini digunakan sebagai alat pernyataan pikiran dan ide. Banyak dijumpai berbagai kisah dalam satu puisi Rumi yang tampaknya berlainan namun nyatanya memiliki kesejajaran makna simbolik. Beberapa tokoh sejarah yang ia tampilkan bukan dalam maksud kesejarahan, namun ia menampilkannya sebagai imaji-imaji simbolik. Tokoh-tokoh semisal Yusuf, Musa, Yakub, Isa dan lain-lain ia tampilkan sebagai lambang dari keindahan jiwa yang mencapai ma'rifat. Dan memang tokoh-tokoh tersebut terkenal sebagai pribadi yang diliputi oleh cinta Ilahi. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah : jangan tanya apa agamaku. aku bukan yahudi. bukan zoroaster. bukan pula islam. karena aku tahu, begitu suatu nama kusebut, kau akan memberikan arti yang lain daripada makna yang hidup di hatiku. Dalam sebuah puisinya Rumi mengumpamakan perjalanan dari diri ke dalam diri sebagai perjalanan sebutir pasir yang menyimpang dari jalan yang lazim dan memasuki tubuh tiram, dan setelah lama terkurung akan muncul sebagai mutiara. Dalam beberapa catatan sejarah disebutkan, Al-Hallaj adalah seorang sufi yang sangat tekun beribadah. Dalam ibadahnya yang khusyu ia sering mengungkapkan rasa Syathahat, yaitu ungkapan-ungkapan yang kedengarannya ganjil. Hal itu terjadi ketika ia tenggelam dalam Fana, suatu tingkatan kerohanian ketika kesadaran tentang segala sesuatu sirna kecuali hanya kesadaran tentang Allah SWT. Dari sinilah muncul ungkapan An al-Haq yang oleh Al-Hallaj ditafsirkan bahwa Aku berada di dalam Dzat Allah. Banyak ahli tasawuf menafsirkan, ungkapan itu sebenarnya tidak dimaksudkan bahwa dirinya adalah Tuhan. Hal itu tampak dalam sebuah pernyataan, Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, bukanlah Yang Maha Benar Itu Aku. Aku hanyalah satu dari yang benar. Maka bedakanlah antara aku dan Dia. Ia menulis sejumlah kitab dan bait-bait puisi. Dalam legenda Muslim, ia adalah prototipe pencinta yang mabuk kepayang kepada Allah. Husain ibnu Manshur, yang dijuluki Al-Hallaj (penyortir wol), awalnya pergi menuju Tustar, di sana menjadi pelayan Sahl ibnu Abdullah selama dua tahun, kemudian setelah itu ia bertolak ke Baghdad. Ia memulai pengembaraannya pada usia 18 tahun. Setelah itu ia pergi Bashrah dan bergabung dengan Amr ibnu Ustman, sampai delapan belas bulan bersamanya. Ia menikah dengan putri Yaqub Al-Aqta. Karena pernikahannya dengan Putri Yaqub itulah membuat Amr ibnu Ustman menjadi tidak senang terhadap Al-Hallaj. Karena itulah Al-Hallaj pergi meninggalkan Bashrah menuju Baghdad. Di sana ia menemui Junaid. Junaid memberikan syarat kepada Al-Hallaj, bahwa ia harus diam dan mengasingkan diri. Setelah beberapa lama ia bersama Junaid, ia melanjutkan perjalanannya menuju Hijaz. Ia tinggal di Makkah selama satu tahun. Setelah itu ia kembali lagi ke Baghdad. Bersama sekelompok sufi ia sering menghadiri majelis Junaid dan sering mengajukan pertanyaan kepada Junaid, namun Junaid tidak menjawabnya. Ketika Junaid menolak menjawab pertanyaan-pertanyaannya, Al-Hallaj merasa kesal dan tanpa pamit ia pergi menuju Tustar. Di sana ia tinggal selama satu tahun dan diterima dengan hangat oleh masyarakat, namun karena ia sering merendahkan doktrin yang berlaku di tengah masyarakat saat itu, para ulama ulama pun akhirnya merasa jengkel lalu menentangnya. Al-Hallaj pun sebenarnya sudah jemu dengan tempat itu. Ia lalu mencoba menanggalkan jubah sufinya, dan mengenakan jubah orang kebanyakan, dan menghabiskan hari-harinya bersama orang-orang kebanyakan (duniawi).

Namun upaya ini tidak membawa perubahan apa-apa bagi dirinya. Setelah itu ia menghilang selama lima tahun. Sebagian ia habiskan waktunya di Khurasan, dan Transoxiana, sebagian lagi di Sistan. Al-Hallaj kemudian kembali ke Ahwaz. Di sana khotbah-khotbahnya mendapat dukungan dari kaum elite dan masyarakat kebanyakan. Ia sering berkhotbah tentang rahasia-rahasia manusia, sehingga ia dijuluki sebagai Al-Hallaj Sang Rahasia. Setelah masa itulah ia mengenakan jubah Darwis yang compang camping lagi dan pergi menuju ke tanah Haram, bersama sekelompok orang dengan pakaian yang serupa. Saat ia tiba di Makkah, Yaqub Al-Nahrajuri menuduhnya sebagai tukang sihir. Karena tuduhan itulah ia kembali lagi ke Bashrah, lalu ke Ahwaz. Sekarang aku akan pergi ke negeri-negeri kaum Polities, untuk menyeru manusia kepada Allah, tuturnya. Ia pun pergi ke India, Transoxiana, lalu ke Cina., menyeru manusia kepada Allah dan banyak menulis kitab untuk mereka. Saat ia kembali dari pengembaraannya ke daerah-daerah itu, masyarakat di daerah-daerah tersebut menulis surat untuknya. Orang-orang India memanggilnya Abul Mughis, masyarakat Cina menjulukinya Abul Muin, mereka yang di Khurasan mengenalnya sebagai Abul Muhr, orang-orang Parsi memanggilnya Abu Abdullah, masyarakat Khusiztan menjulukinya Al-Hallaj, sang Rahasia, di Bahgdad ia dijuluki sebagai Mustalim, sedangkan di Bashrah ia dikenal sebagai Mukhabbar. Sekembalinya dari Makkah yang kedua kalinya, keadaannya telah banyak berubah. Ia adalah seorang manusia baru, menyeru manusia kepada kebenaran dengan menggunakan istilah-istilah yang sama sekali tidak dipahami oleh seorangpun. Karena itulah, diriwayatkan bahwa ia telah di usir dari lima puluh kota. Dalam keadaan yang membingungkan seperti itulah, masyarakat terbelah menjadi dua kelompok berkaitan dengan Al-Hallaj, ada yang pro pada pendapatnya, dan ada banyak yang menentangnya. Walaupun mereka banyak yang menyaksikan keajaiban-keajaiban yang dilakukan oleh Al-Hallaj. Katakanlah, Dialah Kebenaran, teriak mereka kepadanya. Ya, Dialah segalanya, jawab Al-Hallaj. Kalian mengatakan bahwa Dia hilang (tak dapat diindrai). Sebaliknya Husainlah (maksudnya dirinya) yang hilang (fana). Lautan tak akan surut ataupun lenyap. Masyarakat melapor kepada Syekh Junaid, kata-kata Al-Hallaj mengandung makna esoteris. Biarkan ia dieksekusi, jawab junaid. Sekarang ini bukanlah saat yang tepat bagi makna-makna esoteris. Ia dipenjara oleh Khalifah selama satu tahun. Namun selama dalam tahanan itu, masyarakat sering menjenguk dan menemuinya untuk mengkonsultasikan masalah-masalah mereka. Akhirnya mereka dilarang untuk mengunjungi AlHallaj. Setelah itu selama lima bulan tak ada seorangpun yang menemuinya, kecuali Ibnu Atha dan Ibnu Khafif. Pada suatu kesempatan, Ibnu Atha mengirimkan pesan kepada Al-Hallaj. Wahai Syekh, mintalah maaf atas segala ucapanmu agar engkau bisa bebas. Al-Hallaj menjawab, Suruh ia yang mengatakan hal ini untuk meminta maaf. Ibnu Atha menangis saat mendengar jawaban ini. Kita bahkan tidak memiliki secuil pun derajat dibanding dengan AlHallaj. Katanya. Diriwayatkan, pada malam pertama ia dipenjara, para sipir datang ke selnya, namun tidak menemukannya di sana. Mereka mencarinya ke seluruh sudut sel, namun ia tetap tidak ditemukan. Pada malam kedua, mereka juga tidak menemukan baik Al-Jallaj maupun selnya. Pada malam ketiga, mereka menemukannya berada di dalam selnya. Para sipir itu bertanya, Dimana engkau pada malam pertama, dan dimana engkau bersama sel ini di malam kedua? Kini engkau di sel ini kembali, tanda-tanda apa ini? Ia menjawab, Di malam pertama, aku berada di dalam-Nya, karena itulah aku tidak berada di sini. Pada malam kedua, Dia berada di sini, maka aku dan sel ini pun tiada. Di malam ketiga, aku dikirim kembali, agar hukum dapat ditegakkan, ayo lakukan tugas kalian! Saat Al-Hallaj masuk penjara itu, ada tiga ratus orang tahanan lain di sana. Malam itu ia menyapa mereka, Wahai para tahanan, maukah kalian aku bebaskan? Mengapa tidak engkau bebaskan saja dirimu sendiri? Tanya mereka. Aku adalah tahanan Allah, aku adalah pengawal keselamatan, jawabnya. Jika engkau mau, aku dapat melepaskan semua belenggu dengan satu isyarat. Al-Hallaj membuat satu isyarat dengan jari telunjuknya, dan semua belenggu mereka pun terbuka, hancul lebur. Sekarang bagaimana kita bisa pergi? Tanya para tahanan itu. Karena pintu sel terkunci. Al-Hallaj membuat satu isyarat lagi, dan tembok penjara pun jebol. Sekarang pergilah kalian, pekiknya. Engkau tidak ikut? Tanya mereka. Tidak, jawabnya. Aku punya sebuah rahasia dengan-Nya yang hanya bisa diungkapkan di tiang gantungan. Keesokan harinya para sipir bertanya padanya, Kemana perginya para tahanan lainnya? Aku telah membebaskan mereka, jawab Al-Hallaj dengan santainya. Mengapa engkau tidak ikut pergi? tanya mereka. Allah punya alasan untuk mencemoohku, maka aku tidak pergi, jawabnya. Kejadian di penjara ini dilaporkan kepada Khalifah. Akan ada kerusuhan, pekik Khalifah. Bunuh dia, atau cambuk dia dengan tongkat sampai dia menarik kembali ucapannya.

Mereka mencambuknya dengan tongkat sebanyak tiga ratus kali. Setiap kali cambuk mendera tubuhnya, sebuah suara ghaib berkata, Jangan takut, wahai Ibnu Manshur! Kemudian mereka membawanya keluar untuk disalib. Dengan tiga belas belenggu yang berat di tubuhnya, Al-Hallaj melangkah dengan tegap sepanjang jalan, sambil melambaikan tangannya seperti seorang pengembara. Mengapa engkau berjalan dengan begitu pongah? Mereka bertanya. Karena aku tengah berjalan menuju pejagalan, jawabnya. sambil melantunkan bait-bait syait: kekasihku tak bersalah dieri-Nya aku anggur terbaik seperti Dia laksana tuan rumah yang ramah, melayani tamunya. Dan kala perjamuan telah berakhir, Dia menghunus pedang dan kafan pun di gelar-Nya, Itulah takdir, Bagi ia yang meneguk anggur lama, Di musim panas bersama singat tua. Ajaran Al-Hallaj (2011) l-Hallaj adalah seorang tokoh sufi yan terkenal dengan ajaran hululnya. Hulul secara bahasa adalah ketika manusia dapat menghilangkan sifat kemanusiaannya malalui proses fana. Fanasebagaimana yang dikatakan Mustafa Zahri yaitu lenyapnya sifat-sifat Indrawi atau kebasyirahan, yakni sifat-sifat yang dimiliki manusia seperti ego, syahwat Dll. Sehingga ia diliputi kesadaran ketuhanan secara total. Akan tetapi menurut Abu Nasr At-Tusi sebagaimana yang telah dikutib Harun Nasution ialah sebuah paham yang menyatakan bahwa tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk ditempati setelah manusia melenyapkan sifat kemanusiaannya. hal itu dapat dilihat dari syair Al-Hallaj. Sesungguhnya Allah telah memilih tubuh manusia tertentu da menempatkan dengan sifat-sifat ketuhanan dan menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan Hal ini berangkat dari pemahaman Al-Hallaj, Bahwa dalam diri manusia terletak dua sifat-sifat yaitu sifat Nasut dan Lahut. Nasut adalah sifat-sifat kemanusiaan dan lahut adalah sifat ketuhanan yang ada pada diri manusia. Setelah manusia dapat menghilangkan sifat lahutnya dengan cara fana maka disitulah akan terjadi Hulul. Pernyataan tersebut diperkuat oleh al-Hallaj dengan penakwilan firman Allah Dan (Ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah[36] kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.( Q.S. Al-Baqarah [2]: 34) .Allah menyuruh malaikat untuk sujud kepada adam, dengan hal ini Al-Hallaj mempunyai penakwilan bahwa dalam diri manusia terdapat unsur ketuhanan maka tidak heranlah ketika Al-Hallaj menyebarkan ajarannya menyuruh kepada pengikutnya untuk menyembah manusia karena di dalam diri manusia terdapat sifat-sifat ketuhanan. Ia berpendapat sebelum tuhan menjadikan manusia telebih dahulu ia melihat kepada Dzat-Nya, lalu ia cinta kepada Dzat-Nya sendiri, sebuah cinta yang tidak dapat disifati , cinta itulah yang menyebabkan adanya kemajudutan ini. Kemudian tuhan mengeluarkan bentuk kopiannya, sebuah kopian yang tidak terdapat dalam Sifa-sifat tuhan, dan kopian itulah berupa adam. Pada diri adamlah allah muncul Jiwamu disatukan dengan jiwaku sebagaimana anggur disatukan dengan air yang suci . Dan jika ada sesuatu yang menyentuh engkau, ia menyentuh aku pula, dan ketika itu dalam tiap hal engkau adalah aku. Aku adalah ia kucinta dan ia yang kucinta adalah aku, kami adalah dua jiwa yang bertempat pada satu tubuh. Jika engkau lihat aku, engkau lihat ia dan jika engkau lihat ia, engkau lihat kami Dari syair diatas dapat kita pahami ajaran Al-Hallaj dapat bersatu dengan tuhan manakala ada Hulul, agar persatuan itu dapat tercapai maka manusia harus menghilangkan sifat kemanusiaannya ( nasut) dengan jalan fana, setelah sifat kemanusiaannya hilang dari diri manusia, maka dikala itu yang ada hanyalah sifat ketuhanan, disitulah terjadi Hulul ( penempatan sifat-sifat ketuhanan terhadap manusia) sehingga roh manusia dapat menyatu dengan roh tuhan. Dan menurut al-Halaj pula ketika hulul, maka disitu harus terjadi proses kefanaan total, semua gerakannya telah lenyap dari kehendak dirinya, kehendak manusia menjadi kehendak tuhan, demikian pula tindakannya atas perintah tuhan. Tapi

bagaimanapun paham ini banyak mengundang kontroversi terutama pada kalangan ulama fiqh yang tidak segan-segan mengecam kafir secara membabi buta, karena fiqh meghukumi syariat secara lahiriah, sementara ajaran Al-Hallaj kalau dipandang secara lahir sangat bertentangan dengan fiqh. Maka dari itu dikala memahami tasawuf terutama tasawuf yang bercorak falsafi jangan memandang secara lahir saja melainkan kita harus masuk dalam wilayah pemikiran filosofis spiritual, umpama kita memahami tasawuf al-Hallaj secara lahir saya jamin sepenuhnya ajaran Al-Hallaj tidak akan tersentuh dengan nilai-nilai kebenaran Bahkan akan memicu menyekutukan tuhan yang esa . Karena didalam islam sendiri sangat melarang menyekutukan tuhan. Dan di dalam ajaran tasawuf falsafi tuhan dianggap bersatu padu dengan jasad manusia, sungguh ajaran yang meyesatkan jika dipandang secara lahir. Maka dari itu meskipun Nampaknya Al-Hallaj menyatakan perpaduan manusia dengan tuhan tapi disisi lain Al-Hallaj telah mengungkapkan syairnya yang intinya menolak perpaduan tuhan dengan manusia, seperti syairnya yang dinyatakan Barang siapa yang mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan ataupun kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, kafirlah ia. Sebab allah mandiri dalam Dzat-Nya ataupun sifat-Nya dariDzat dan sifat makhluk. Ia sekali-kali tidak menyerupai makhluk-Nya dan merekapun tidak sekali-kali menyerupai-nya dengan demikian al-hallaj tidak mengakui bahwa dirinya bersatu dengan tuhan, hal ini bisa kita lihat dalam syairnya. Aku adalah rahasia yang mahabenar dan bukanlah yang mahabenar itu aku. Aku hanya satu dari yang mahabenar maka bedakanlah antara kami dengan demikian dapat disimpulkan bahwa apa yang terjadi pada diri Al-Hallaj tentang Hulul dapat terjadi dalam kesadaran psikis, yaitu bilamana berada di alam ini yang maujud hanyalah Allah sehingga ia merasa kesadarannya berpindah kepada kedunia ketuhanan dengan melalui proses fana. http://rokhim.alkhoirot.net/2011/06/ajaran-al-hallaj.html 11.28 Rumi dan Karya-karyanya 12 des 2009 oleh: orangsufi Rumi ialah seorang penyair sufi yang prolifik. Menurut A. J. Arberry beliau menulis kurang lebih 34.662 bait puisi dalam bentuk ghazal (diwan), ruba`i dan mathnawi. Di samping itu beliau juga menulis beberapa risalah tasawuf berdasarkan khutbah-khutbah yang disampaikan kepada murid-muridnya dan penduduk Qunya. Karya-karya Rumi yang terkenal ialah: 1. Diwan-i Shamsi Tabriz (Sajak-sajak Pujian Kepada Shamsi Tabriz). 2. Mathnawi-i Ma`nawi 3. Ruba`iyat 4.. Fihi Ma Fihi (Di Dalamnya Ada Seperti Yang Ada Di Dalamnya) 5.. Makatib 6. Majalis-i Sab`ah 1. Diwan Syamsi Tabriz. Antologi ini terdiri daripada 36.000 bait puisi, sebahagian besarnya berbentuk ghazal. Dalam setiap maqta` (bait akhir) Rumi selalu mencantum nama Shamsi Tabriz sebagai pengganti nama dirinya. Nampak bahawa dalam Diwan-nya itu Rumi, sebagai penyair, mengidentifikasi dirinya dengan guru spiritualnya. Sebahagian besar sajak dalam antologi ini ditulis pada ketika penyairnya mengalami ekstase kerohanian. Sajak-sajak dalam Diwan sangat muzikal dan kaya akan ritme, sedangkan image-imagenya sangat hidup. Pengaruh ekstase dan tarian mistikal Tarikat Maulawiyah besar terhadap sajak-sajak dalam buku ini. Kerana penyairnya menumpukan perhatian pada makna, maka ghazal-ghazal dalam Diwan banyak yang menyimpang daripada prosodi dan metrum ghazal konvensional. 2. Mathnawi-i Ma`nawi. Kitab ini disebut juga Husami-namah (Kitab Husam). Apabila Diwan-i Shamsi Tabriz diilhami oleh Shamsi Tabriz, Mathnawi ditulis untuk memenuhi permintaan Husamuddin, salah seorang murid Rumi. Husamuddin meminta gurunya agar bersedia memaparkan rahsia-rahsia ilmu tasawuf dalam sebuah sebuah karya sastera seperti Hadigah al-Haqiqah karya Sana`i dan Mantiq al-Tayr karya Fariduddin `Attar. Buku ini dikerjakan selama 12 tahun, dibahagikan kepada 6 jilid, terdiri daripada 35.700 bait sajak. Terjemahan dalam bahasa Inggeris tebalnya 2000 muka surat. Abdurrahman Jami, penulis sufi abad ke-15 menyatakan bahawa Mathnawi-i Ma`nawi merupakan Tafsir al-Qur`an dalam bahasa Persia (Hast Qur`an dar zaban-i Pahlavi). Yang dimaksud tafsir di sini ialah ta`wil atau tafsir spiritual terhadap ayat-ayat al-Qur`an yang ditulis dalam bentuk prosa-puisi yang indah atau mathnawi. Buku ini dipandang oleh para penilai sebagai karya sastra sufi terbesar sepanjang zaman. Nilai didaktik dan sasteranya amat mengagumkan. Setiap jilid memuat pendahuluan dalam bahasa Arab, dan selanjutnya Rumi menggunakan bahasa Parsi. Rumi menghuraikan luasnya lautan semangat kerohanian dan perjalanan manusia menuju dunia dan daripada dunia menuju kebenaran hakiki. 3. Ruba`iyat. Walaupun tidak masyhur sebagaimana kedua-dua karya Rumi di atas, namun sajak-sajak dalam buku ini tidak kurang indah dan agung. Ruba-iyat terdiri daripada 3.318 bait puisi. Melalui bukunya ini, sebagaimana melalui sajak-sajaknya dalam Diwan, Rumi menunjukkan diri sebagai penyair lirik yang agung.

4. Fihi Ma Fihi. Himpunan percakapan Rumi dengan rakan-rakan dan murid-muridnya. Buku ini kaya dengan hikmah dan membicarakan persoalan-persoalan yang dipertanyakan oleh murid-murid atau sahabat-sahabat dekat Rumi tentang berbagai perkara kemasyarakatan dan keagamaan. 5. Makatib. Himpunan surat-surat Rumi kepada sahabat-sahabat dekatnya, terutamanya Shalaluddin Zarkub dan seorang menantu perempuannya. Dalam buku ini Rumi mengungkap kehidupan spiritualnya sebagai seorang penempuh jalan kerohanian. Di dalamnya juga terkandung nasihat-nasihat Rumi kepada murid-muridnya berkenaan perkara-perkara praktikal dalam jalan tasawuf. 6. Majalis-i Sab`ah.. Himpunan khutbah Rumi di masjid dan majlis-majlis keagamaan. Sajak-sajak dalam Diwan Sudah pun dijelaskan bahawa sajak-sajak Rumi dalam Diwan-i Shamsi Tabriz memiliki ritema dan kualiti muzik yang kaya kerana kebanyakan sajak-sajak itu dicipta dalam suasana ekstase mistikal. Sudah pun dijelaskan pula bahawa sebagaimana penyair sufi yang lain gagasan yang diungkap Rumi dalam sajak-sajaknya ialah cinta transendental (`ishq), iaitu sejenis cinta mistikal yang dapat menembus bentuk formal dan membawa pecinta kepada hakikat kehidupan yang bersifat spiritual. Cinta jenis ini, menurut Rumi, dapat menerbitkan kegairahan spiritual terhadap sesuatu yang dicintai dan dengan itu mendorong seseorang berikhtiar mengenal lebih dalam dan secara langsung yang dicintai. Dalam sajak-sajaknya Rumi menggunakan banyak kisah-kisah yang bersifat kesejarahan atau legenda. Kisah-kisah tersebut digunakan sebagai perumpamaan (tamsil) untuk melukiskan pengalaman mistikalnya yang berkenaan cinta transendental. Image-image visual dan simbolik sajak-sajak Rumi juga kata, diambil daripada alam, peristiwa sejarah, kehidupan sehari-hari dan bentuk peribadatan. Image anggur dan cawan, alam tetumbuhan dan khaywan, kosmologi dan anthropologi. sangat digemari Rumi. Image simbolik yang juga sangat sering digunakan ialah yang berkenaan cahaya, misalnya matahari, bulan, lampu, pelita dan api. Cinta sering dilukiskan api yang nyalanya dapat menerangi kegelapan, tetapi juga api yang dapat membakar keinginan atau nafsu rendah. Ciri lain puisi Rumi yang khas ialah pada setiap baris terakhir penyair menggunakan kata-kata Diam! atau menyebut nama Shamsi Tabriz, yang dikaitkan dengan Matahari Kebenaran, sebab kata Shams sendiri bermakna matahari dan kepribadian Shamsi Tabriz memancarkan cahaya kebenaran. Diam merujuk kepada rahsia terdalam penciptaan ialtu cinta ilahi (`ishq-i ilahi), atau sikap jiwa yang selalu memusatkan pandangan (tafakkur, meditasi) kepada Sang Pencipta. Rumi berpendapat bahawa untuk memahamkan kehidupan dan asal-usul kewujudan dirinya manusia mesti menggunakan jalan Cinta, bukan hanya jalan Pengetahuan. Cinta, menurut Rumi ialah asas penciptaan alam semesta dan kehidupan di dalamnya. Di sini cinta dapat bermakna kehendak yang kuat untuk mencapai sesuatu atau menjelmakan sesuatu. Cinta juga dapat diberi makna pengetahuan intuitif yang bersifat langsung, yang didasarkan pada gerak hati terdalam. Dalam kehidupan beragama cinta dapat diberi erti sebagai keimanan yang mendalam dan kukuh kepada Yang Maha Kuasa. Kalau saja cinta yang menggerakkan perputaran alam semesta dan kehidupan makhluq-makhluq di dalamnya, maka cinta pulalah yang menggerakkan kehidupan manusia menuju kebehagiaan dan kebenaran. Cinta juga sering diberi erti sebagai kecenderungan hati seseorang yang kuat terhadap sesuatu. Cinta pada akhirnya membawa seseorang mengenal sesuatu secara mendalam, iaitu hakikat kehidupan yang terselindung di sebalik bentukbentuk zahir yang aneka ragam dan memukau. Kerana cinta dapat membawa manusia kepada Kebenaran Tertinggi maka Rumi berpendapat bahawa cinta merupakan sayap yang dapat membawa terbang seseorang kepada Sang Pencipta (Khaliq): Inilah Cinta: Terbang tinggi ke langit Setiap saat mencampakkan ratusan hijab Pertama kali menyangkal hidup (zuhud), Pada akhirnya (jiwa) berjalan tanpa kaki (tubuh) Cinta memandang dunia telah raib Dan tak mempedulikan yang nampak di mata Ia memandang jauh ke sebalik dunia bentuk-bentuk Menembus hakikat segala sesuatu Dalam sajak di atas nampak bahawa Rumi memandang cinta sebagai suatu dorongan luhur dan tak tereralakkan, suatu dorongan yang membawa seseorang mencapai hakikat kehidupan yang baqa. Hidup di dalam Yang Baqa merupakan kebahagiaan tertinggi, bebas daripada bentuk-bentuk yang memukau mata. Semua agama, menurut Rumi, mengajarkan pentingnya cinta, iaitu cinta kepada alam kerohanian yang merupakan asalusul kehidupan manusia. Cinta kerohanian semacam itu dapat menembus perbezaan ras, bangsa dan agama. Dalam sebuah sajaknya Rumi mengatakan bahawa hakikat manusia sebenar ialah kediriannya yang bersifat spiritual atau rohani. Diri spiritual manusia tidak berasal daripada tanah atau api, tetapi daripada Sang Maha Pencipta. Apa yang mesti kulakukan o Muslim? Kerana aku tak mengenal diriku. Aku bukan Kristian, Yahudi, Majusi dan bukan pula Muslim. Aku tak berasal dari Timur atau Barat, tidak dari darat atau lautan. Aku tidak dari alam, atau angkasa biru yang berputar-putar. Aku tidak dari tanah, air, udara atau api. Tidak dari bintang zuhra atau debu, tidak dari kewujudan dan wujud. Aku tidak berasal dari India, China, Bulgar atau Saqsin. Tidak dari kerajaan Iraq atau Khurasan.

Aku tidak berasal dari dunia ini, tidak dari alam akhirat, Tidak pula dari syurga atau neraka; Tidak daripada Adam dan Hawa, atau Taman Eden dan Malaikat Ridwan Tempatku tidak bertempat, jejakku tidak berjejak. Aku bukan milik tubuh dan jiwa, aku milik jiwa Kekasih. Kubuang dualitas, kupandang dua alam satu semata; Satu sahaja yang kucari, Satu yang kukenal, kulihat dan kuseru Dialah Yang awal dan yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin. Dalam sajak di atas Rumi pertama-tama menyatakan bahawa cinta sejati dapat membawa manusia menembus bentukbentuk zahir dan mencapai hakikat tertinggi kemanusiaan. Kerat terakhir sajak di atas merupakan petikan ayat al-Qur`an yang menjelaskan bahawa Tuhan itu Abadi, serta Maha Nyata dan sekaligus Maha Gaib. Tuhan itu Maha Nyata apabila manusia dapat membaca tanda-tanda kebesaran-Nya dalam penciptaan alam semesta dan diri manusia. Tanda-tanda kebesaran Tuhan dalam diri manusia ialah penciptaan roh, yang merupakan pusat kehidupan manusia. Menurut al-Qur`an roh manusia itu dihembuskan Allah ke dalam tubuh, dan dengan rohnya itu manusia menjadi khalifah Tuhan di atas bumi. Tanda kebesaran Tuhan yang lain dalam diri manusia ialah adanya akal dan fikiran yang merupakan fakulti kejiwaan utama, dan akal fikiran tidak dimiliki oleh makhluq lain kecuali manusia. Kerana memiliki akal dan cinta manusia dapat menyerap berbagai pengetahuan tentang alam nyata mahupun alam kerohanian. Dalam sajak di atas Rumi melihat hakikat manusia dari dalam, daripada alam batin. Sememangnya secara hakikinya manusia itu makhluq spiritual dan asal penciptaan manusia bukan daripada tanah atau syurga, melainkan daripada Yang Maha Gaib. Melalui sajak di atas Rumi memperlihat dirinya sebagai penyair universal. Di dalam kerat pertama sajak di atas Rumi mengatakan bahawa mengenal hakikat diri sangat penting untuk setiap Muslim, sebab dengan mengenal hakikat dirinya manusia akan mengenal Tuhannya sebagaimana dinyatakan dalam sebuah Hadis. Dengan mengenal Tuhan secara mendalam, manusia dapat mendekatkan diri dengan Tuhannya. Salah satu wujud cinta dalam kehidupan manusia ialah ketaatan seseorang melaksanakan syariat atau perintah agamanya, terutamanya sembahyang atau salat. Dalam tradisi Islam salat dianggap sebagai mikrajnya orang Islam atau kenaikan jiwa manusia menuju Yang Satu. Seraya membayangkan kegairahan guru spiritualnya, Shamsi Tabriz, yang sembahyangnya khusuk, Rumi menulis: Sekarang kulihat kekasih jiwaku, mutiara segala ciptaan, terbang ke langit bagaikan roh Mustafa; Matahari malu melihat wajahnya, di angkasa cuaca kelam kabut bagaikan hati; Cahayanya membuat air dan lumpur lebih terang daripada api . Kataku, Mana tangganya untuk tempat naik, tunjukkan! Aku ingin juga terbang ke langit! Ia menjawab, Tangga tempatmu naik ialah kepalamu, sujudkan kepalamu di bawah telapak kakimu! Apabila kau jejakkan kakimu di atas kepalamu, maka kakimu akan mengendarari bintang-bintang! Apabila kau ingin mengarung angkasa luas, angkatlah kakimu ke langit, mari naik! Di hadapanmu terbentang seratus jalan menuju langit, setiap subuh kau terbang tinggi ke langit seperti seuntai doa. Dalam sajak di atas Rumi menyatakan bahawa bentuk sembahyang orang Islam yang terdiri daripada tegak, rukuk dan sujud, merupakan simbol daripada kenaikan menuju Yang Haqiqi. Menyembah Tuhan dengan bersujud bermakna meletakkan kaki di langit, dan dalam sembahyang seseorang terbang ke langit mengendarai doa yang diucapkan. Sajak di atas dapat dirujuk pada sajak Inilah Cinta: Terbang tinggi ke langit Image-image berkenaan bentuk peribadatan Islam juga dapat dilihat dalam sajak Rumi yang lain: Dalam salat malam, tatkala matahari terbenam, jalan panca indera tertutup dan jalan menuju yang Gaib terbuka luas; Kemudian malaikat penjaga tidur tiba menghalau roh pergi ke langit, bagaikan penggembala menghalau burung-burung. Menurut Rumi segala bentuk ibadah, khususnya sembahyang, zikir, tafakkur dan membaca al-Qur`an (tilawah atau tartila) merupakan bentuk penyucian diri, iaitu penyucian diri dari nafsu rendah, dan penyucian kalbu.atau hari, iaitu daripada inggatan kepada selain Dia. Dalam sajak berikut Rumi menggambarkan cinta kepada dunia membuat beban jiwa manusia menjadi berat. Beban itu mesti dibersihkan sebab apabila telah bertumpuk akan menjelma sampah sarap yang mengotori jiwa Dengan menyucikan diri dan hati kesihatan jiwa akan pulih semula dan penglihatan hati akan jernih dan terang. Dari langit setiap saat wahyu turun ke dalam kalbumu, Bagaikan sampah berapa lamakah usia hidupmu di atas bumi? Naiklah! Sesiapa yang beban jiwanya berat, pada akhirnya akan menjadi sampah. Apabila sampah memenuhi tong, bersihkan! Janganlah lumpur itu dibuat kewruh setiap kali, agar air kolammu jernih dan sampah mudah dibuang dan dukamu sembuh. Demikian roh, bagaikan obor, asapnya lebih tebal dibanding cahayanya. Apabila gumpalan asap lenyap, cahaya dalam rumah tak akan dipermainkan lagi. Kau sentiasa bercermin ke dalam air keruh, kerana itu bukan bulan ataupun matahari kau lihat Apabila kegelapan menutup langit, matahari dan bulan tak nampak. Angin utara bertiup, udara segar. Untuk membawa udara segar angin sepoi bertiup pada waktu subuh. Angin roh bertiup membuat segar dada yang sesak disebabkan derita. Nafas ringan terhela dan jiwa rasa hampa. Di bumi roh ialah pengembara asing, negeri tanpa ruang itulah yang ia rindukan, Mengapa nafsu amarah sentiasa gelisah? . .Roh suci, berapa lamakah kau akan mengembara di bumi? Kau elang raja, terbanglah kembali kepada siul Baginda!

Menurut Rumi dalam kenyataan manusia selalu melihat ke dalam air yang keruh (dunia) sehingga cahaya bulan dam matahari (petunjuk Tuhan) tidak nampak. Kegelapan dalam hati manusia sendirilah yang membuat manusia tifak dapat melihat matahari dan bulan yang sebetulnya bersinar di dalam dirinya. Rumi juga menyatakan bahawa sembahyang menyembutkan jiwa manusia dari duka yang dideritanya. Cinta ialah seperti sembahyang, dapat menyembuhkan manusia daripada duka yang dideritanya. Lebih jauh Rumi menyatakan bahawa Cinta memiliki kekuatan luar biasa dalam merubah kepribadian, perasaan dan fikiran manusia. Hal ini dinyatakan dalam sajak berikut: Kerana cinta duri menjadi mawar Kerana cinta cuka menjelma anggur segar Kerana cinta pentungan menjadi mahkota penawar Kerana cinta kemalangan menjadi keberuntungan Kerana cinta rumah penjara nampak bagaikan kedai mawar Kerana cinta timbunan debu kelihatan sebagai taman Kerana cinta api berkobar menjadi cahaya menyenangkan Kerana cinta Saytan berubah menjadi bidadari Kerana cinta batu keras menjadi lembut bagaikan mentega Kerana cinta duka menjadi riang gembira Kerana cinta hantu berubah menjadi malaikat Kerana cinta singa tidak menakutkan bagaikan tikus Kerana cinta sakit menjadi sihat Kerana cinta amarah berubah menjadi keramah-tamahan Cinta juga dapat membawa pergi seseorang ke luar daripada dirinya dan mencapai persatuan rahsia dengan Raja Dunia. Sembahyang yang khusyuk, doa yang diserukan kuat-kuat dalam hati, permohonan taubat yang sungguh-sungguh, dapat membuat seseorang merasa sangat dekat dengan Tuhan dan berpeluang memperoleh petunjuk dan permohonannya dikabulkan. Rumi menulis dalam sajaknya: Seperti mawar aku tertawa seluruh tubuh, tak hanya mulut, sebab aku berada di luar diriku, bersendiri bersama Raja Dunia. Kau yang datang pada waktu subuh membawa pelita dan membawa terbang hatiku, bawalah rohku terbang juga, jangan hanya hatiku! Jangan bikin rohku nanar cemburu, jangan kau pisah ia daripada hatiku; jangan hanya hatiku dipanggil menghadap hadirat-Mu! Kirimlah pesanan kerajaan, sebar luaskanlah maklumat, o Sultan! Berapa lamakah hatiku akan tinggal di hadirat-Mu, sedangkan rohku tetap sebatang kara? Apabila malam ini kau tak datang, sebagaimana kemarin, dan bibirku lunglai kerananya, maka aku akan meronta bersama rohku sekuat tenaga, tidak bersendiri aku ini meratap. Dalam mencapai kebenaran tertinggi atau kebenaran agama, menurut Rumi, jalan Cinta lebih utama dibandingkan jalan Akal atau Pengetahuan. Rumi menulis: .. Pencinta punya pelindung dalam pembuluh darahnya, Pencinta sibuk membicarakan Cinta yang tak dapat dibandingkan. Kata Akal, Rukun iman yang lima perkara sudah mencukupi, tiada lagi jalan Cinta menjawab, Ada sebuah jalan, berulang kali aku melaluinya! Akal melihat pasar, kemudian mulai berjualan Cinta melihat ada banyak pasar di sebalik pasar akal. Banyak al-Hallaj mereka temui di sana, mereka meyakini jiwa cinta Dan menolak mimbar seraya memilih tiang gantungan Pencinta yang faqir memiliki penglihatan hati penuh pesona Orang yang hanga mengandailkan pada akal, hatinya gelap, semua disangkalnya Akal berkata, Janganlah kakimu dijejakkan di situ, Di halaman istana hanya duri yang tumbuh! Cinta berkata, Duri-duri ini semuanya milik akal yang bersarang dalam dirimu! Waspadalah dan diam, buanglah duri kehidupan dari telapak kaki! Supaya kau mendapat pelindung di dalam dirimu. Shamsi Tabriz! Kaulah matahari dalam awan kata-kata; Apabila matahari terbit, maka setiap kata pun sirna! Telah dijelaskan bahawa karya seorang penulis sufi biasanya merupakan tafsir terhadap ayat al-Qur`an, termasuk bentuk peribadatan atau ajaran agama. Dalam sajak berikut Rumi menafsirkan puasa pada bulan Ramadhan bukan saja sebagai bentuk penyucian diri atau pengendalian diri, tetapi juga sebagai ikhtiar untuk memberi peluang kepada jiwa mendapatkan hidangan dari langit yang lebih lazat daripada hidangan (makanan) yang berasal dari bumi. Bulan puasa telah tiba. larangan raja mulai berlaku: jauhkan tanganmu daripada makanan, hidangan rohani telah disediakan. Roh telah bebas dari pengasingan dirinya dan menundukkan tangan tabiat jelek; hati yang sesat telah dikalahkan dan perajurit iman telah sampai. Bala tentera penidur telah menyerah dan segera ditawan, dari bara penyulut api jiwa tiba seraya meratap;

Lembu itu begitu molek, Musa bin Imran muncul; melaluinya si mati hidup semula apabila badannya telah melaksanakan upacara qurban; Puasa ialah upacara qurban kita, yang menghidupi jiwa; mari kita qurbankan badan kita, kerana jiwa tiba sebagai tamu; Iman yang teguh ialah awan lembut, kearifan ialah hujan yang tercurah darinya, kerana pada bulan iman inilah al-Qur`an diwahyukan. Apabila nafsu badani dikawal, roh akan mikraj ke langit; apabila pintu penjara dirubuhkan maka jiwa akan mencapai pelukan Kekasih. Hati telah menukar tabir gelapnya dan menggerakkan sayapnya ke angkasa; Hati, yang menyerupai malaikat, sekali lagi tiba di tengah mereka. Tangkaplah tali pengikat tubuhnya, di atas perigi berteriaklah, Yusuf dari Kana`an telah tiba! Pada waktu `Isa Almasih terjatuh dari keledainya maka doanya diterima Allah; Cucilah tanganmu, kerana Hidangan langit telah tiba; Cucilah tangan dan mulutmu, jangan makan atau bercakap=cakap; carilah kata dan suapan nasi yang diturunkan untuk dia Si Diam! Semua ibadah yang dilakukan dengan tulus dan ikhlas oleh seorang pemeluk agama yang teguh merupakan manifestasi daripada cinta. Demikian pula halnya dengan ibadah puasa. Sebagai ibadah, puasa pada bulan Ramadhan merupakan bentuk pengurbanan jiwa. Sememangnya cinta menuntut pengurbanan. Pengurbanan yang dimaksud ialah pengurbanan jiwa dan hati, yang hanya diperuntukkan kepada-Nya. Rumi, Muzik dan Puisi Rumi, sebagaimana para sufi pada umumnya dalam abad ke-13, bukan hanya pencinta puisi, tetapi juga pencinta seni secara keseluruhannya termasuk muzik dan tari. Bagi mereka seni yang bercorak keagamaan dan kerohanian dapat dijadikan tangga naik atau media transendensi menuju pengalaman religius atau transendental. Rumi sendiri juga seorang pencipta komposisi muzik dan lagu, serta seorang koreografer ulung pada zamannya. Beliau mahir meniup suling. Alat muzik kegemarannya ialah suling, pandura, rebab, biola, rebana, tabla dan pandura. Bukunya Mathnawi diawali dengan pemaparan Kisah Lagu Seruling, yang melambangkan dan mengekspresikan kerinduan para sufi untuk kembali ke kampung halamannya dalam alam ketuhanan, atau mengekspresikan kerinduan mereka kepada Tuhan, Sang Kekasih. Menurut Rumi kerinduan segala sesuatu kepada asal-usulnya atau permulaan kejadian dirinya bersifat kudrati. Dalam Mathnawi III:4436-7, beliau menulis: Hasrat tubuh akan padang hijau dan air memancur Terbit kerana ia (Adam) berasal dari tempat itu (Taman Eden) Kerinduan jiwa kepada Kehidupan dan Yang Maha Hidup Terbit kerana ia berasal dari Jiwa Abadi Dalam sajak Kisah Lagu Seruling Rumi mengumpamakan kerinduan seorang sufi untuk bersatu dengan Tuhannya sebagai kerinduan suling yang ingin bersatu semula dengan asalnya iaitu batang pokok bambu yang rimbun. Rasa pilu yang terdengar melalu lagu seruling terbit kerana kesedaran bahawa ia terpisah jauh dari batang pokok bambu yang merupakan tempatnya yang asal dan sebenar. Hasratnya untuk kembali dan bersatu semula dengan asalnya itu menyebabkan ia tergerak menyampaikan keluh-kesahnya dalam nyanyian yang merdu. Suling atau seruling melambangkan jiwa yang rindu kepada asal-usul kerohaniannya dalam alam metafizik, dan kerinduannya itu dibakar oleh api cinta. Kerana dibakar oleh api cinta maka nyanyian indah dan lagu merdu dapat dihasilkan. Dalam sajak itu Rumi hendak menjelaskan bahawa semua bentuk seni yang indah berasal dari hati seorang seniman yang cinta akan keindahan hakiki dan daripada perasaan rindunya yang membara untuk mencapai keindahan tersebut. Melalui lagu atau nyanyian yang disampaikannya itu seseorang berikhtiar mengekpresikan dan merealisasikan dirinya. Dalam bahagian awal Kisah Lagu Seruling Rumi menyatakan, bermaksud: Dengan alunan pilu seruling bambu Sayu sendu lagunya menusuk kalbu Sejak ia bercerai dari batang pokok rimbun Sesaklah hatinya dipenuhi cinta dan kepiluan Walau dekat tempatnya laguku ini Tak seorang tahu serta mau mendengar O kurindu kawan yang mengerti perumpamaan ini Dan mencampur rohnya dengan rohku Api cintalah yang membakar diriku Anggur cintalah yang memberiku cita mengawan Inginkah kau tahu bagaimana pencinta luka? Dengar, dengar alunan lagu seruling bambu Melalui ungkapan Inginkah kau tahu bagaimana pencinta luka? Dengar, dengar alunan lagu seruling bambu! Rumi menyatakan bahawa mereka yang ingin mengetahui derita jiwa para sufi, yang membuat ia merindukan Tuhannya, agar mendengar kisah lagu seruling dan memahamkan maknanya. Seruling menyampaikan lagu yang sendu dan pilu, namun indah dan merdu, kerana kepiluannya yang mendalam disebabkan terpisah daripada asal-usul kerohaniannya. Kepiluan disebabkan berpisah dengan seseorang atau kampung halaman membuat kerinduan seseorang terbakar, dan rindu merupakan permulaaan daripada cinta. Ungkapan api cinta yang dinyatakan Rumi dalam sajaknya itu ialah api rindu. Sama seperti halnya cinta, rasa rindu dapat membawa jiwa atau fikiran seseorang terbang jauh melampaui awan

gemawan untuk menemui orang yang dirindui atau dicintai. Dalam sajak di atas Rumi sekaligus juga hendak menyatakan bahawa muzik atau nyanyian dapat dijadikan media menyampaikan rasa rindu dan media untuk terbang jauh ke alam transendental atau kerohanian. Dalam sajaknya yang lain Rumi menyatakan bahawa nyanyian yang merdu dan muzik keagamaan yang indah dapat menerbitkan perasaan rindu dan cinta bangkit dalam hati pendengarnya. Hal ini dapat terjadi disebabkan lagu keagamaan yang indah dan penuh harmoni dapat membawa ingat jiwa manusia kepada suara-suara yang pernah di dengarnya dalam alam keabadian. Menurut al-Qur`an Adam dan Hawa, yang merupakan nenek moyang umat manusia, pada mulanya bermukim di Taman Firdaus atau Taman Eden yang diliputi oleh keindahan. Di sana mereka akrab sekali dengan lagulagu dan suara yang indah. Maka suara muzik atau lagu keagamaan yang indah dapat membakar kerinduan jiwa manusia kepada syurga, yang merupakan tempatnya yang asal. Rumi menulis, yang maksudnya: Nada suling dan puput yang menawan telinga Dikatakan dari putaran angkasa biru asalnya Sedangkan iman yang mengatas rantai angan dan cita Tahu siapa pembuat suara sumbang dan merdu Kami ialah bahagian daripada Adam, bersamanya kami dengar Lagu indah para malaikat dan serafim Kenangan kami, walau tolol dan menyedihkan Sentiasa tertambat pada alunan muzik syurga O, Muzik ialah darah dan daging para pencinta Muzik menggetarkan jiwa sehingga terbang ke angkasa Bara berpijar, api abadi dalam hati semakin berkobar Kami dengar sentiasa dan hidup dalam ria dan damai Dalam sajaknya yang lain Rumi menyatakan betapa besarnya pengaruh muzik keagamaan kepada jiwa pendengarnya: . Gemuruh bunyi terompat dan gedebam suara genderang Serupa dengan suara gemuruh nafiri alam semesta Para filosof berkata keselarasan ini dari perputaran angkasa asalnya Melodi yang dilagukan orang dengan pandura dan kerongkongan Sesungguhnya ialah suara perputaran angkasa Para pemeluk agama yang teguh percaya Pengaruh syurga membuat yang tak menyenangkan menjadi indah Sejak itulah muzik merupakan hidangan para pencinta Tuhan Kerana di dalam muzik ada cita rasa ketenteraman jiwa Apabila jiwa mendengar lagu dan suara seruling Ia mengumpulkan tenaga dan menjelmakannya ke dalam tindakan Api cinta semakin berkobar-kobar kerana nada lagu yang indah Seperti semangat orang melemparkan benda berat ke dalam air Selain dapat membawa pendengarnya ke alam transendental, musik keagamaan dapat memberi ketenangan kepada jiwa dan juga memberi kekuatan, dan dengan demikian keimanan terhadap Sang Kebenaran Tertinggi semakin teguh dan mendalam. Cinta yang mendalam kepada Tuhan dikaitkan dengan tumbuhnya kekuatan batin, dan muzik dapat memberi perangsang ke arah itu. http://orangsufi.wordpress.com/ 11.37

Anda mungkin juga menyukai