Anda di halaman 1dari 5

FILSAFAT ISLAM – B // TUGAS ASINKRONUS

Najib Ismail

21/477606/FI/4955

HUSAIN AL-HALLAJ
Namanya lengkapnya adalah Abu al-Mughith al-Husain bin Mansur al-Hallaj
al-Baydawi al-Wasiti. Dia lahir di Shushtar, provinsi Khuzistan, Persia pada tahun 858.
Di masa kecilnya, al-Hallaj tinggal di kota Wasit, salah satu kota penting di Irak yang
menjadi pusat industri tekstil, perdagangan, dan budaya Arab. Ayahnya adalah seorang
Muslim dan menghidupi keluarganya dengan memintal wol / membuat kain. Oleh
karena itu, ayahnya disebut al-Hallaj (pembuat kapas) dan kemudian nama ini terus
disandangnya.
Sejak muda, Al-Hallaj sudah tertarik dengan jalan atau cara hidup asketis
(menjauhkan diri dari kemelekatan dengan dunia). Di masa remajanya, ketika
mistisisme Islam berada pada periode pengembangannya, dia mulai menarik diri dari
hal-hal duniawi dan mencari guru yang mampu menuntunnya di jalan sufi. Guru-
gurunya, Sahl al-Tustari, 'Amr bin 'Utsman al-Makki, Abu al-Qasim al-Junayd al-
Baghdadi, dan Abu al-Hasan al-Nuri, sangat dihormati di antara para ahli tasawuf.
Husain al-Hallaj kemudian menikahi anak perempuan salah satu gurunya, seorang sufi
bernama Abu Ya'qub al-Aqta'. Namun, pada akhirnya al-Hallaj dan pemikirannya
ditolak oleh beberapa gurunya.
Pada periode hidupnya setelah berguru ke banyak ahli tasawuf, Husain al-
Hallaj melakukan perjalanan panjang untuk berdakwah, mengajar dan menulis karya. Ia
juga beberapa kali melakukan perjalanan ke tanah suci Mekkah, yang mana perjalanan-
perjalanan ini akan berpengaruh pada kehidupannya ke depan. Pada perjalanan
pertamanya, ia menjalani hidup dengan keras dalam rangka menempa dirinya (untuk
melepas kemelekatan dengan dunia), sekembalinya ia dari perjalanan pertamanya, al-
Hallaj dia menyiarkan dan menulis pemikirannya ke beberapa wilayah seperti Farsi,
Khuzistan, dan Khurasan mengenai jalan menuju hubungan yang intim dengan Tuhan.
Pada perjalanan keduanya, ia ke Mekkah bersama beberapa murid yang tertarik dengan
dengan ajarannya sekembalinya ia dari perjalanan pertama ke tanah suci, setelahnya, al-
Hallaj kembali ke keluarganya di Baghdad, lalu pergi menunaikan misi pribadinya,
yaitu pergi ke wilayah yang sampai saat itu belum dimasuki Islam, ialah India dan
Turkistan. Setelahnya, al-Hallaj dan pengikutnya kembali ke Mekkah (untuk ketiga
kali), lalu pulang ke Baghdad.
Kemudian, di kalangan sipil dan pemerintahan, ada dugaan keterlibatan al-
Hallaj dalam upaya reformasi politik dan moral sekembalinya ke Baghdad, dan hal itu
tidak memperbaiki citranya di mata para pemimpin politik. Hal tersebut dikarenakan
ketegangan politik, sosial, ekonomi, dan agama pada masa itu di Baghdad. Selain
cemooh dari kalangan sipil dan pemerintahan, kecenderungan Husain al-Hallaj untuk
bepergian dan kesediaannya untuk berbagi pengalaman mistik dengan semua orang
yang mau mendengarkan dianggap sebagai pelanggaran disiplin oleh para ahli sufi . Di
kalangan sufi, al-Hallaj juga diidentifikasi sebagai sufi 'mabuk' yang bertentangan
dengan sufi yang 'sadar'.
Tidak lama sebelum penangkapannya, al-Hallaj dikatakan telah mengucapkan
pernyataan "Ana al-Haqq" (Akulah Kebenaran - yaitu Tuhan), yang menjadi
pembenaran bagi penuduhnya, yang menuduh bahwa al-Hallaj menyatakan bahwa
dirinya telah mengklaim diri sebagai Tuhan. Setelah penangkapannya di Sus dan waktu
kurungan yang panjang (sekitar 911–922 M) di Baghdad, al-Hallaj akhirnya disalib dan
disiksa secara brutal hingga meninggal (meskipun banyak versi yang menceritakan
bagaimana cara ia dihukum mati) pada 26 Maret 922 M atau 309 Hijriah. Dia dikenang
karena telah mengalami siksaan mengerikan dengan tenang dan berani serta
mengucapkan kata-kata pengampunan bagi para penuduhnya.

AJARAN
Al-Hallaj ingin bersaksi tentang hubungannya dengan Tuhan kepada orang
lain, bahkan dengan harga nyawanya sendiri, ia bahkan meminta sesama Muslim untuk
membunuhnya dan menerima kesyahidannya, dengan mengatakan bahwa "apa yang
penting saat (mengalami) ekstase adalah bagi melebur bersama Yang Esa menjadi
kesatuan" (Massignon 1982: 79, 87).
Dalam catatan Farid al-Din 'Attar (1994) kematiannya digambarkan sebagai
tindakan heroik,seperti dalam penggalan “Ketika mereka membawanya ke pengadilan,
seorang sufi bertanya kepadanya: "Apa itu cinta?". Dia menjawab: "Anda akan
melihatnya hari ini, besok, dan lusa." Ketika kakinya dipotong, dia tersenyum, dan
berkata “Potong itu jika anda bisa. Dulu saya berjalan di bumi dengan kaki ini, sekarang
tinggal satu langkah ke surga.”. Dan ketika tangannya dipotong dia mengecat wajahnya
dengan darahnya sendiri, ketika ditanya mengapa, dia berkata: "Saya telah kehilangan
banyak darah, dan saya tahu wajah saya telah menguning, saya tidak ingin terlihat
berwajah pucat (seperti ketakutan)…”. Mereka membunuhnya hari itu, membakarnya
keesokan harinya dan melemparkan abunya ke angin sehari setelah itu. (Ramli, 2013:
107-108)
Selain dari cerita di atas, kita juga dapat mengetahui gagasan dan ajaran al-
Hallaj yang lain, ialah mengenai Wahdat al-Wujud (Kesatuan Wujud) dari tulisan dan
ucapannya:

Ana al-Haqq (Akulah Kebenaran). (Inilah perkataan yang tampaknya membuat


al-Hallaj dihukum mati – al-Haqq juga berarti Tuhan)
Anda tahu dan tidak dikenal; Anda melihat dan tidak terlihat. (Akhbar al-Hallaj:
44)

RuhMu bercampur dengan Ruhku sedikit demi sedikit, bergantian, melalui


penyatuan kembali dan pengabaian.
Dan sekarang aku adalah Dirimu, Keberadaanmu adalah milikku, dan itu juga
kehendakku. (Diwan al-Hallaj)

Saya merasa aneh bahwa keseluruhan ketuhanan dapat ditanggung oleh bagian
kecil (manusia) saya. Tetapi (hanya) karena beban bagian kecil saya (ini), bumi
tidak dapat menopang saya. (Akhbar al-Hallaj: 11)

Aku telah melihat Tuhanku dengan mata hatiku, dan aku berkata: "Siapakah
Engkau?" Dia berkata: "Dirimu." (Diwan al-Hallaj: 10)

Saya tidak berhenti berenang di lautan cinta, naik bersama ombak, lalu turun;
sekarang ombak menopang saya, dan kemudian saya tenggelam di bawahnya;
cinta membawa saya pergi dimana tidak ada lagi pantai manapun. (Diwan al-
Hallaj: 34)

Di atas adalah penggalan tulisan al-Hallaj akan gagasannya mengenai Wahdat


al-Wujud atau Kesatuan Wujud,hal tersebut adalah filosofi al-Hallaj yang menekankan
bahwa tidak ada keberadaan yang benar kecuali Kebenaran Tertinggi (Tuhan) atau
dalam ungkapan lain, bahwa satu-satunya kebenaran di alam semesta adalah Tuhan, dan
bahwa segala sesuatu hanya ada di dalam Tuhan. Semua ciptaannya muncul dari `adim
(non-eksistensi) menjadi wujud (eksistensi) di luar pikirannya saja. Oleh karena itu
keberadaan Tuhan adalah hanya kebenaran (Haqq), dan konsep alam semesta yang
diciptakan secara terpisah adalah sebuah kekeliruan (Batil).
Bagi sebagian besar umat Islam, khususnya yang legalis, tauhid atau keesaan
Tuhan berarti bahwa Tuhan tidak dapat dipahami oleh manusia. Al-Hallaj percaya
bahwa hanya Tuhan yang bisa mengungkapkan tauhid. Ucapnya, “Cinta berarti berdiri
di samping Kekasih, meninggalkan diri sendiri sepenuhnya dan mengubah (meleburkan)
diri sendiri sesuai dengan Dia”.

PENERAPAN
Bahwa kemudian al-Hallaj banyak disalahpahami oleh kaum Muslim, itu tidak
mengubah pandangan saya bahwa apa yang dikatakan dan disampaikan oleh al-Hallaj
adalah satu cara yang tidak keliru dalam memahami dan mencari makna kebenaran dan
kehidupan. Tiap orang, saya pikir, mempunyai jalan dan cara masing-masing dalam
rangka mencari (makna) kebenaran bagi dirinya.
Ajaran al-Hallaj mengenai Cinta dan ketakterbatasan “lautan Cinta” yang
harus diselami dalam menjalani kehidupan saya pikir sangat bisa saya terapkan dalam
perjalanan kehidupan saya. Pemaknaan saya akan Tuhan (sejauh ini) tidaklah jauh
berbeda dengan gagasan al-Hallaj. Bagi saya, Tuhan itu ada dalam diri dan hati kita
masing-masing. Mungkin, dengan cara dan praktik tasawuf yang dilakukan para sufi,
itulah salah satu cara yang menuntun diri menuju ekstase, menuju alam suwung, yang
mana dalam pemaknaan saya: ketenangan dan ketentraman batin. Bagi saya, saat
merasakan ketenangan dan ketentraman batin, melalui jalan mana pun, itu lah surga.
REFERENSI / SITASI

Ramli, Yusri Mohamad. 2013. Martyrdom of al-Hallaj and Unity of the Existence:
the Condemners and the Commenders. International Journal of Islamic Thought, Vol.3:
(June) 2013, 106-112.

Anda mungkin juga menyukai