NIM : 1533500115
A. Latar Belakang
Apabila abad pertama dan kedua Hijriyyah disebut fase asketisisme
(kezuhudan), maka abad ketiga dan keempat disebut sebagai fase tasawuf.
Praktisi kerohanian yang pada masa sebelumnya digelari dengan berbagai
sebutan seperti zahid, abid, nasik, qari` dan sebagainya, pada permulaan abad
ketiga hijriyah mendapat sebutan shufi. Hal itu dikarenakan tujuan utama
kegiatan ruhani mereka tidak semata-mata kebahagiaan akhirat yang ditandai
dengan pencapaian pahala dan penghindaran siksa, akan tetapi untuk menikmati
hubungan langsung dengan Tuhan yang didasari dengan cinta. Cinta Tuhan
membawa konsekuensi pada kondisi tenggelam dan mabuk kedalam yang
dicintai ( fana fi al-mahbub ). Kondisi ini tentu akan mendorong ke persatuan
dengan yang dicintai ( al-ittihad ). Di sini telah terjadi perbedaan tujuan ibadah
orang-orang syariat dan ahli hakikat.
Pada fase ini muncul istilah fana`, ittihad dan hulul. Fana adalah suatu
kondisi dimana seorang shufi kehilangan kesadaran terhadap hal-hal fisik ( al-
hissiyat). Ittihad adalah kondisi dimana seorang shufi merasa bersatu dengan
Allah sehingga masing-masing bisa memanggil dengan kata aku ( ana ). Hulul
adalah masuknya Allah kedalam tubuh manusia yang dipilih.
Di antara tokoh pada fase ini adalah Abu yazid al-Busthami (w.263 H.)
dengan konsep ittihadnya, Abu al-Mughits al-Husain Abu Manshur al-Hallaj ( 244
– 309 H. ) yang lebih dikenal dengan al-Hallaj dengan ajaran hululnya. al-Hallaj
dilahirkan di Persia dan dewasa di Iraq Tengah. Dia meghadapi empat tuduhan
yang ahirnya membawanya dieksekusi di tiang salib. Empat tuduhan yang
dituduhkan kepadanya adalah :
1. Hubungannya dengan kelompok al-Qaramithah
2. Ucapannya ” اﻟﺤﻖ أﻧــﺎ
ّ ( saya adalah tuhan yang maha benar)
3. Keyakinan para pengikutnya tentang ketuhanannya
4. Pendapatnya bahwa menunaikan ibadah haji tidak wajib
Tokoh lainnya adalah Dzunnun al-Mishri ( w. 245 H.) yang dikenal dengan
pencetus ma’rifat. Dia pernah belajar ilmu Kimia dari Jabir bin Hayyan. Dia juga
dianggap orang yang berbicara pertama kali tentang maqamat dan ahwal di
Mesir., al-Hakim al-Tirmidzi (w. 320 H. ) dengan konsep kewalian, Abu Bakar al-
Sibli ( w.334 H.).
4. Haris al-Muhasibi
Nama lengkapnya ialah Abu Abdillah al-Haris bin Asad al-Basri al-
Muhasibi. Dia lahir di Basrah pada tahun 165 H / 781 M. Selagi masih kecil dia
pindah ke Bagdad. Ia meninggal disana pada 243 H / 857 M. Ajaran-ajaran dan
tulisan-tulisan memberikan pengaruh yang kuat dan luas kepada ahli-ahli sufi
sesudahnya, khususnya Abu Hamid al Gazali.
Dia adalah seorang ulama termasyur dalam ilmu usul dan ilmu akhlak,
disamping dia juga sorang guru yang kenamaan di kota Bagdad. Dan dia adalah
salah seorang sufi yang mengkompromikan ilmu syariat dengan ilmu hakikat.
Al-Muhasibi di dalam tasawufnya cenderung melakukan analisis dengan
perangkat logika. Sebagai contoh dalam analisisnya tentang pengertian rasa
sedih, dia berkata : “Rasa sedih itu berbagai macam : rasa sedih lain hilangnya
sesuatu yang adanya sangat disenangi, rasa sedih karena khawatir tentang yang
akan terjadi esok lusa, rasa sedih karena merindukan yang diharap bisa tercapai
ternyata tidak tercapai, dan rasa sedih karena ingat betapa diri menyimpang dari
ajaran-ajaran Allah”.
Menyinggung tingkatan-tingkatan (maqamat) jalan menuju Allah dan
keadaan-keadaan (ahwal) yang berkaitan dengannya, secara analisis al-Muhasibi
mengemukakan di dalam salah satu uraiannya : “Landasan ibadah itu
kerendahan hati, sementara kerendahan hati itu takwa. Landasan takwa itu
introspeksi, sementara landasan introspeksi itu rasa takut maupun rasa harap.
Rasa takut maupun rasa harap muncul dari pemahaman terhadap janji dan
ancaman Allah. Pemahaman terhadap janji dan ancaman Allah itu muncul karena
ingat balasan Allah, dan ingat balasan Allah itu sendiri muncul dari penalaran
serta perenungan”.
Dengan begitu, jelas, kata al-Taftazani, al-Muhasibi menerangkan fungsi
kemampuan akal budi dalam memahami hikmah-hikmah perintah dan larangan
Allah. Namun hendaklah akal budi tersebut dibarengi moralitas, sebagaimana
ditegaskannya : “Segala sesuatu mempunyai substansi. Adapun substansi
manusia adalah akal budi, dan substansi akal budi adalah kesabaran”.
Kemudian, ucapan-ucapan al-Muhasibi yang lain, yang menerangkan
ajaran tasawufnya, antara lain adalah : “Umat manusia yang baik ialah mereka
yang tidak terpengaruh akhiratnya oleh dunianya, dan tidak pula meninggalkan
dunianya sama sekali karena akhiratnya. Sebaik-baik kelakukan ialah tahan
menderita kesukaran dan kesakitan, sedikit marah, luas belas kasihan dan indah
tutur kata serta lemah lembut. Orang yang zalim itu akan kiamat meskipun dipuji
orang-orang yang dizalimi itu selamat meskipun dicela orang. Orang yang selalu
merasa puas termasuk orang kaya, meskipun ia lapar; sedangkan orang yang
selalu merasa kecewa itu termasuk orang fakir, meskipun ia mempunyai harta
yang berlimpah-limpah”. Dan dia juga berkata : “Barangsiapa yang telah bersih
hatinya karena senantiasa muraqabah dan ikhlas, maka akan berhiaslah lahirnya
dengan mujahadah dan mengikuti contoh yang ditinggalkan Rasululloh”.