Abu Yazid memiliki nama lengkap Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa
bin Surusyan Al-Busthami. Dia dilahirkan sekitar tahun 200
H / 814 M di Bustam, salah satu di daerah Qumais, bagian
Timur Laut Persia. Ia salah seorang tokoh sufi yang terkenal
dalam abad ketiga hijriah. Surusyan, kakeknya Abu Yazid,
adalah seorang penganut Zoroaster yang kemudian
menganut Islam di Bustam. Keluarganya cukup berada,
namun Abu Yazid memilih hidup secara sederhana. Dalam
menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid
mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya sedikit
tidur, makan. dan minum.
Sebagaimana anak dan remaja muslim lainnya, ia pada masa
mudanya mendalami al-Qur'an dan hadits. Ia juga menekuni
fiqih Hanafi, kemudian dia memperoleh pelajaran tentang ilmu
tauhid dan ilmu hakikat begitu juga tentang fana dari Abu Ali
Sindi, sehingga tidak diragikan bahwa di masa mudanya ia
sudah memiliki pengetahuan agama yang luar biasa.
Abu Yazid al-Busthami adalah seorang zahid yang terkenal.
Menurutnya zahid itu adalah seseorang yang mampu atau bisa
mendo’akan dirinya untuk selalu berdekatan dengan Allah.
Menurutnya hal ini dapat ditempuh melalui tiga fase atau
tahapan, yaitu: pertama zuhud terhadap dunia, kedua zuhud
terhadap akhirat, dan ketiga zahid terhadap selain Allah. Dalam
tahapan terakhir ini dia berada dalam kondisi mental yang
membuat dirinya tidak mengingat apa-apa selain Allah, yang
ada hanyalah Allah belaka.
Abu Yazid juga seorang sufi yang membawa faham yang berbeda dengan ajaran tasawuf yang dibawa oleh para
tokoh-tokoh sufi sebelumnya. Ajaran yang dibawanya banyak di tentang oleh para ulama fiqih dan tauhid, yang
menyebabkan dia keluar masuk penjara.
Menurut Abu Yazid, manusia adalah pancaran Nur Ilahi, oleh karena itu manusia hilang kesadarannya
(sebagai manusia). Maka pada dasarnya ia telah menemukan asal mula yang sebenarnya, yaitu nur ilahi atau
dengan kata lain ia menyatu dengan Tuhan. Bila seseorang yang telah mencapai ittihad, apa yang dilakukan adalah
melalui Tuhan. Ucapan yang dikatakan dari mulut Abu Yazid itu, bukanlah kata-katanya sendiri tetapi kata-kata itu
diucapkannya melalui diri Tuhan dalam ittihad yang dicapainya dengan Tuhan. Dengan demikian sebenarnya Abu
Yazid tidak mengakui dirinya sebagai Tuhan, tetapi bagi orang yang bersikap toleran, ittihad dipandang sebagai
penyelewengan, namun bagi orang yang berpegang teguh pada agama, hal ini dipandang sebagai kekufuran.
Ia meninggal pada tahun 261 H / 875 M, dan makamnya masih ada hingga saat ini. Makamnya yang terletak di
tengah-tengah kota, menarik banyak pengunjung dari berbagai tempat. Ia dikuburkan berdampingan dengan
kuburan Hujwiri, Nasir Khusraw dan Yaqut. Pada tahun 1313 M didirikan diatasnya sebuah kubah yang indah oleh
seorang sultan Mongol, Muhammad Khudabanda atas nasehat gurunya Syekh Syafruddin, salah seorang keturunan
dari Bustham
C. Hulul
1. Pengertian Hulul
Kata Al-Hulul, berdasarkan pengertian bahasa berasal dari
kata halla-yahlu-hululan yang berarti menempati, menjelma
atau inkarnasi (incarnation). . Al-Hulul dapat berarti menempati
suatu tempat. Jadi hulul secara bahasa berarti Tuhan
mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu
manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat
kemanusiaannya melalui fana. Adapun menurut istilah ilmu
tasawuf, Al-Hulul menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam
al-Luma’ sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham yang
mengatakan bahwa Tuhan telah memilih tubuh-tubuh manusia
tertentu untuk mengambil tempat didalamnya setelah sifat-
sifat kemanusian yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Dalam tasawuf filosofis, hulûl adalah pengalaman spiritual seorang sufi,
ketika demikan dekat dengan Allah, bersahabat, mengenal dan dikennal Allah,
mencintai dan dicintai Allah dengan mendalam; kemudian Allah memilih sufi
tersebut, menempati dirinya dan menjelma pada pada diri sufi tersebut. Jadi,
menurut pandang Al-Hallaj, ketika hulûl benar-benar terjadi pada diri seorang sufi,
maka pada hakikatnya telah terjadi empat proses yang berikut:
a) Tuhan turun mendekati sufi tersebut;
b) Tuhan telah memilih sufi tersebut untuk dijadikan tempat hulûl;
c) Tuhan menjelma pada diri sufi; dan
d) Tuhan menyatu dengan sufi tersebut.
Konsep hulûl secara filosofis dibangun di atas landasan teori lahut dan nasut. Lahut
berasal dariperkataan ilah yang berarti tuhan, sedangkan lâhût berarti sifat keilahian
atau ketuhanan. Nâsût berasaldari perkatan nas yang berarti manusia; sedangkan
nasut berarti sifat kemanusiaan. Dalam pandangan Al-Hallaj, yang memperkenalkan
konsep hulûl dalam tasawuf filosofis, Tuhan memiliki lâhût dan nâsût.
Al-Hulul mempunyai dua bentuk, yaitu :
a. Al-Hulul Al-Jawari yakni keadaan dua esensi yang satu
mengambil tempat pada yang lain (tanpa persatuan), seperti
air mengambil tempat dalam bejana.
b. Al-Hulul As-Sarayani yakni persatuan dua esensi (yang
satu mengalir didalam yang lain) sehingga yang terlihat hanya
satu esensi, seperti zat air yang mengalir didalam bunga.