Anda di halaman 1dari 13

Konsep ekonomi Islam dalam tasawuf Junaidi

Al-Bahgdadi
Avi Dinda Putri Sheila
Abstrak

Tasawuf adalah salah satu khasanah intelektual Muslim yang kehadirannya hingga saat ini
semakin dirasakan. Secara historis dan teologis tasawuf tampil mengawali dan memandu
perjalanan hidup umat agar selamat dunia akhirat. Tidak berlebihan jika misi utama
kerasulan Muhammad SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, dan sejarah
mencatat bahwa faktor pendukung keberhasilan dakwah beliu antara lain karena dukungan
akhlaknya yang prima, hingga hal ini dinyatakan oleh Allah di dalam Al-Qur’an. Namun
fenomena sekarang justru terdapat kontradiksi dari apa yang telah di contohkan oleh
Rasulullah terhadap umat manusia. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman terhadap
tasawuf, sedangkan tasawuf adalah salah satu yang dapat mendekatkan seorang hamba pada
Tuhannya. Sehingga melahirkan akhlak yang Mulia. Perilaku ekonomi dalam masyarakat
Islam didasarkan pada pokok pemahaman tasawuf. Junaidi Al-Baghdadai menyajikan itu
dalam pokok pikirannya tentang utilitas. Makalah ini akan membahas secara ringkas
bagaiamana pandangan beliau tentang hal tersebut.
Kata Kunci: Tasawuf, Tauhid, Sufi, Utilitas Ekonomi
PENDAHULUAN
Tasawuf adalah salah satu khasanah intelektual Muslim yang kehadirannya hingga
saat ini semakin dirasakan. Secara historis dan teologis tasawuf tampil mengawali dan
memandu perjalanan hidup umat agar selamat dunia akhirat. Tidak berlebihan jika misi
utama kerasulan Muhammad SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, dan
sejarah mencatat bahwa faktor pendukung keberhasilan dakwah beliu antara lain karena
dukungan akhlaknya yang prima, hingga hal ini dinyatakan oleh Allah di dalam Al-Qur’an.
Namun fenomena sekarang justru terdapat kontradiksi dari apa yang telah di contohkan oleh
Rasulullah terhadap umat manusia. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman terhadap
tasawuf, sedangkan tasawuf adalah salah satu yang dapat mendekatkan seorang hamba pada
Tuhannya. Sehingga melahirkan akhlak yang Mulia.

Salah satu pembahsan tasawuf tentang dunia adalah “fana” yang dalam bahasa
diartikan sebagai sementara. Namun fana mempunyai interpretasi yang multimakna. Orang
yang merenungkan apa yang telah disebutkan oleh para sufi tentang fana akan menemukan
arti lebih dari satu. Sehingga fana kadang menunjukkan sebuah arti etika saat mereka
mendefinisikannya sebagai sifat sebuah jiwa (nafs) atau hilangnya sifat-sifat tercela.Mereka
juga beranggapan bahwa fana adalah sirnanya kehendak manusia, dan keberadaannya dalam
kehendak Tuhan. Kondisi ini dapat mengacu dalam ayat al-Qur’an yang menyatakan “Maka
tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupanya), dan mereka
melukai (jari tangannya)”.(QS. Yusuf: 31).

Fana berarti hilang atau hancur.Setelah diri hancur, diikuti oleh al-baqa, yang berarti
tetap, terus hidup.al-fana dalam pengertian umum dapat dilihat dari penjelasan Al-Junaid:
“hilangnya daya kesadaran kalbu dari hal-hal yang bersifat indrawi karena adanya sesuatu
yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat
itu dan berlangsung terus silih berganti hingga tiada lagi yang disadari dan dirasakan oleh
indra”. Konsep fana inilah yang mendasari serta mendominasi pemikiran tasawuf pada abad
ke 3 dan ke 4 H, termasuk pemikiran tasawuf Al-Junaid.

Maka dari itu penulis akan membahas salah satu teori dari tokoh sufi yang bernama
Junaid al-Bagdadi, yaitu fana. Dimana dalam konsep ini Junaid menjelaskan bahwa apabilah
seseorang memiliki sifat fana tentu akhlak seseorang akan mulia.

PEMBAHASAN
Biografi Junaidi Al-Baghdadi
Nama lengkap al-Junaid adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Khazzaz
al-Nihawandi, lahir di Wihawand, Irak. Menetap sampai meninggal di Baghdad pada tahun
297 H (910 M). Al-Junaid adalah salah seorang sufi terkemuka di samping seorang ahli fiqih.
Dalam fiqih beliau bermadzhab kepada Imam Abu Tsaur. Al-Junaid sudah memberikan
fatwa-fatwa hukum dalam madzhab tersebut dalam umurnya yang baru 20 tahun. Beliau lama
bergaul dan belajar kepada pamannya sendiri, yaitu Imam Surri al-Saqti, lalu kepada al-Haris
al-Muhasibi, Muhammad bin al-Qasb al-Baghdadiy, dan sufi terkemuka lainnya. Al-Junaid
terkenal dengan konsep tauhidnya yang di dasarkan kefanaan. Menurutnya, pemahaman
hakikat Allah tidak akan dapat di capai dengan akal pikiran, tetapi melalui kefanaan.
Kefanaan ini merupakan pemberian dari Tuhan.

Kefanaan menurutnya adalah peniadaan diri dan segala sesuatu, kecuali Allah yang
kemudian hidup dalam dia (Allah) yang ia sebut dengan baqa’. Suatu ketika Al-Junaid
ditanya tentang tauhid bagi orang Khawas (kelompok tertentu). Ia menjawab, “Hendaklah
seseorang menjadi pribadi yang berada di tangan Allah dan segala kehendak-Nya berlaku
bagi dirinya. Hal ini tidak bisa tercapai, kecuali dengan menjadikan dirinya fana’ terhadap
dirinya dan makhluk sekitarnya. Dengan sirnanya perasaan dan kesadarannya, seluruhnya
berlaku kehendak Allah SWT. Al-Junaid mengatakan:
“Tauhid yang secara khusus dianut para sufi adalah pemisahan antara
yang Qadim dengan yang hudus. Dengan pemikiran seperti ini, al-
Junaid di pandang sebagai orang yang mendasarkan tasawuf pada al-
Qur’an dan al-Sunnah.”
Fana diartikan oleh para kaum sufi dapat berarti lenyapnya sifat-sifat kemanusiaan,
akhlak yang tercela, dan kejahilan dari diri seorang sufi kemudian kekalnya (baqa) sifat-sifat
ketuhanan, Akhlak yang mulia, dan pengetahuan dalam dirinya. Fana juga dapat berarti al-
fana’ al-nafs, yakni leburnya perasaan dan kesadaran tentang adanya tubuh kasar seorang sufi
dan wujud jasmani sudah di rasakan tidak ada lagi. Pada kondisi ini yang tinggal hanyalah
wujud rohani dan di dalam dirinya.

Al-fana dalam pengertiannya yang umum dapat dilihat dari penjelasan al-Junaid
berikut ini. Hilangnya daya kesadaran qalbu dari hal-hal yang bersifat inderawi karena
adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu
yang terlihat itu dan berlangsung terus secara silih berganti sehingga tiada lagi yang disadari
dan dirasakan oleh indera.

Dalam proses al-fana ada empat situasi getaran psikis yang alami seseorang, yaitu al-
sakar, al-sathohat, al-zawal al-hijab, dan ghalab al-syuhud. Sakar adalah situasi kejiwaan
yang terpusat penuh kepada satu titik sehingga ia melihat dengan perasaannya, seperti apa
yang dialami oleh nabi Musa as di Turnisa. Secara bahasa, sathohat berarti gerakan,
sedangkan dalam istilah tasawuf dipahami sebagai suatu ucapan yang terlontar diluar
kesadaran, kata-kata yang diucapan dalam keadaan sakar, al-zawal al-hijab, nampaknya
diartikan dengan bebas dari dimensi sehingga ia keluar dari alam materi dan telah ber”ada” di
alam ilahiya sehingga getar jiwanya dapat menangkap gelombang cahaya dan suara Tuhan.

Nampaknya pengertian ini sama dengan atau mirip dengan al-mukasyafah. Sedangkan
ghalab al-syuhud diartikan sebagai tingkat kesempurnaan musyahadah,pada tingkat yang
mana ia lupa pada dirinya dan alam sekitarnya. Yang diingat dan dirasa hanya Allah
seutuhnya. Dalam literatur barat ditemukan pengertian al-fana sebagai ”the passing away of
the sufi from his phenomenal existence, involves baqa, the continuance of his real existence”.

Pokok Pemikiran Junaidi Al-Baghdadi


Adapun dasar-dasar pemikiran al-Junaid tentang tasawuf yang dapat penulis analisis
adalah a) Seorang sufi harus meninggalkan kelakuan dan sifat-sifat yang buruk dan
menjalankan budi pekerti yang baik, sesuai dengan ajaran-ajaran tasawuf yang selalu
mengajarkan sifat-sifat baik dan meninggalkan budi pekerti yang jelek. b) Ajaran tasawuf
adalah ajaran-ajaran yang dapat memurnikan hati manusia dan mengajarkan sifat-sifat baik
dan meninggalkan sifat-sifat alamiah yang bisa merusak kesucian jiwa, menahan manusia
dari godaan jasmani, mangambil sifat-sifat ruhani, mengingatkan diri pada ilmu hakikat,
mengingat Allah swt dan rasul-Nya, Muhammad saw. c) Memalingkan perhatian dari urusan
duniawi kepada urusan ukhrawi. Bagi orang beriman, meninggalkan pergaulan dengan
sesama (manusia) masih mudah dan berpaling kepada Allah sulit. Ternyata berpaling dari
nafsu lebih sulit lagi. Untuk itu, melawan nafsu adalah sangat penting untuk mendekatkan
diri kepada Allah. Dalam hal ini, al-Hujwiri mengutip bahwa al-Junaid pernah ditanya,
“apakah persatuan dengan Tuhan?” dia menjawab, “meniadakan hawa nafsu,” karena di
antara semua tindakan ibadah yang diridhai Tuhan, tiada yang lebih besar nilainya dari pada
menundukkan hawa nafsu. Menghancurkan gunung lebih mudah bagi seorang manusia dari
pada menundukkan hawa nafsunya.” d) Manusia harus berpegang teguh kepada tauhid,
termasuk dalam bertasawuf. Arti tauhid, menurut al-Junaid, adalah mengesakan Allah swt.
Dengan sesempurna-Nya. Bahwa sesungguhnya Allah itu Esa, tidak beranak dan tidak pula
diperanakkan, tidak berjumlah dan tidak pula tersusun, dan tak satupun yang menyerupai-
Nya, Dia Maha Mendengar, Dia Maha Melihat dan Maha Tunggal, dan seterusnya. e) Orang
sufi harus bisa melakukan tiga syarat amalan, yaitu melazimkan dzikr secara kontinu yang
disertai himmah dan dengan kesadaran yang penuh, mempertahankan tingkat kegairahan atau
semangat yang tinggi, dan senantiasa melaksanakan syari’at yang ketat dan tepat dalam
kehidupan sehari-hari.

Sebab itu, dalam soal berpegang teguh pada syari’at, maka al-Junaid seperti dikutip
Sa’id Hawwa, pernah menuduh orang yang menjadikan wusul (mencapai) Allah sebagai
tindakan untuk melepaskan diri dari hukum-hukum syari’ah. Dalam persoalan ini dengan
tegas ia menyatakan, “Betul mereka sampai, tetapi ke neraka Saqar.” Imam Malik bin Anas,
pendiri madzhab fiqih pernah berkata, “Barang siapa mendalami fiqih tanpa bertasawuf ia
fasik, barang siapa yang mendalami tasawuf tanpa mendalami fiqih ia zindiq, dan barang
siapa yang melakukan keduanya ia ber-tahaqquq (meraih kebenaran).”

Jadi, tasawuf merupakan hal yang mesti, dapat dijadikan sebagai penyempurna fiqih.
Begitu juga fiqih, dapat menjadi koridor tasawuf dan kaidah pengendali amal dalam
mengarah kepada-Nya. Jika salah satu dari dua disiplin ilmu tersebut hilang, itu berarti
separuh telah tiada.
Secara lebih spesifik Pokok pemikiran Junaidi Al-Baghdadi diklasifikasikan menjadi
4 yaitu tasawuf, tauhid, ma’rifat, dan syatahah sufi.

1. Tasawuf
Menurut Junaid al-Baghdadi, tasawuf adalah menjaga waktu (dapat
menggunakan waktu secara benar), juga seseorang tidak berbuat di luar
kemampuannya, tidak menyetujui sesuatu kecuali dari Allah, tidak menyertakan
perbuatan-perbuatan lain selain waktunya. Lalu seseorang bertanya kepada Junaid,
“Apakah tasawuf itu ?” Junaid lalu berkata: ”Tasawuf ialah bersatunya hati seseorang
dengan yang Maha Benar (Allah), dan hal ini tidak bisa dicapai kecuali dengan
menghilangkan keinginan-keinginan hawa nafsu demi untuk menguatkan jiwa dan
berada bersama dengan yang Maha Benar (Allah).”Adapun kaedah tasawuf menurut
Junaid al-Baghdadi adalah ; “Memurnikan atau membersihkan hati atau jiwa dari
pengaruh keduniaan, menjauhkan diri dari sifat-sifat yang tercela, mengendalikan
sifat-sifat kemanusiaan (biologis), menghindar dari godaan hawa nafsu, menghias diri
dengan hal-hal yang bersifat ruhaniyah dengan melalui ilmu-ilmu hakekat, lebih
cenderung pada sesuatu yang bersifat kekal atau abadi, selalu memberikan nasehat
kepada manusia tentang kebenaran dan mengikuti Rasulullah dalam syari’at.”
2. Tauhid
Pandangan Junaid al-Baghdadi secara umum mengenai tauhid adalah orang-
orang yang Meng-Esa-kan Allah (muwahhid) ialah mereka yang merealisasikan ke-
Esa-anNya dalam arti yang sempurna, menyakini bahwa Ia adalah Maha Esa. Ia tidak
beranak dan tidak diperanakkan. Menafikan segala bentuk yang mensyarikatkan-Nya,
Ia tidak diserupakan, tidak bisa diuraikan, tidak bisa digambarkan dan tidak bisa
ditamsilkan. Tuhan itu Maha Esa tanpa padanan dengan sesuatupun, dan Ia Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.
Sedangkan tauhid dalam perspektif sufistik, Junaid al-Baghdadi menyatakan
bahwa: “Tauhid adalah hal yang berhubungan dengan penyucian Allah dari sifat-sifat
yang baharu. Bahkan ia juga menafikan dari hal-hal yang dapat meleburnya sesuatu
yang lain kepada Allah. Maka tauhid menurut Junaid al-Baghdadi adalah kita
mengetahui dan meng-ikrarkan bahwa Allah itu sejak zaman azali sendiri, tidak ada
dua beserta-Nya, dan tidak ada sesuatu perbuatan yang sama dengan perbuatan-Nya,
dan tidak ada yang menyerupai-Nya. Tauhid adalah jalan untuk mengenal Allah
(ma’rifatullah). Hal ini didasari oleh keyakinan dan pembenaran iman, bukan dengan
keraguan. Pandangan ini menunjukkan penolakan Junaid terhadap konsep al-ittihad
atau al-hulul dan juga wahdat al-wujud. Ibarat yang demikian menunjukkan bahwa ia
adalah seorang sufi muslim dan mukmin yang dikenal dengan paham wahdat asy-
syuhud. Ajaran wahdat asy-syuhud Junaid al-Baghdadi sebagaimana dikemukakan
Muhammad Jalal Syarif adalah ”persatuan dalam kesaksian, yaitu adanya pembatas
bagi setiap sufi ketika berakhir atau tercapainya cita-citanya menuju jalan Allah.
Suatu keadaan di mana perasaan seorang hamba menyaksikan kehadiran Allah dalam
segala sesuatu, sedangkan wujud Allah adalah milik Allah.
Tauhid yang hakiki menurut Junaid al-Baghdadi adalah buah dari fana’
terhadap semua selain Allah. Ia menyatakan bahwa tauhid secara khusus dalam
terminologi sufistik adalah adalah pemisahan yang qadim dari yang hudus, keluar dari
alam dirinya dan memutuskan cintanya kepada hal-hal yang duniawi, dan
meninggalkan apa yang diketahui dan tidak diketahui dengan menjadikan Tuhan
sebagai tempat bagi semuanya. Jadi hakekat tauhid itu adalah betul-betul
mengesakan-Nya, Dia adalah Dia. Ini adalah kesadaran tertinggi bagi seorang
muwahhid dalam mengesakan-Nya.
Pengertian tauhid menurut Junaid Al-Baghdadi mengandung unsur utama
“pemisahan yang baqa’ dan yang fana’. Atau dengan kata lain pemisahan yang qidam
dan hudus. Ketika menjelaskan sebuah hadis : “Manakala Aku mencintainya, maka
Aku menjadi pendengarannya, hingga melalui Aku ia mendengar,” Junaid al-
Baghdadi berkata: ”Kalau demikian, maka Allah-lah yang memampukannya. Dialah
menjadikannya mampu mencapai hal ini. Dialah yang menuntunnya dan
mengkaruniakan padanya hakekat dan kebenaran. Dengan demikian, ia adalah
perbuatan Allah lewat dirinya.
Pengertian tauhid secara khawas atau sufistik menurut Junaid al-Baghdadi
dapat dicapai manakala sang sufi membuat dirinya fana’ terhadap dirinya dan
makhluk sekitarnya, dengan sirnanya perasaan dan gerakannya, akibat apa yang dia
kehendaki dikendalikan yang Maha Benar. Dalam hal ini Junaid al-Baghdadi
menyatakan bahwa tasawuf berarti bahwa “Allah akan menyebabkan engkau mati dari
dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya. ”Peniadaan diri ini oleh Junaid disebut fana’.
Dengan kefanaan dalam tauhid, seorang sufi bisa merealisasikan keinginan untuk
keluar dari ruang sempit menuju kefanaan abad luas. Fana’ dalam tauhid adalah jalan
ilmu dan ma’rifah, keadaan dan kesempurnaan, yang kepadanya tidak datang
kebathilan baik dari depannya maupun dari belakangnya, dan tidak ada penyimpangan
baik pada permulaannya maupun pengujungnya. Konsep kefanaan dalam tauhid ini
pertama kali dikemukakan oleh Junaid al-Baghdadi, dan didukung oleh para sufi
Sunni sesudahnya.
3. Ma’rifat
Para kaum sufi berbeda pendapat tentang ma’rifat itu sendiri. Masing-masing
mereka mengemukakan pendapatnya. Mengenai pengertian ma’rifat ini, Junaid al-
Baghdadi berkata: “Ma’rifat adalah adanya kebodohan pada dirimu dikala
berkembangnya ilmu kamu.” Lalu ada seseorang meminta kepadanya, “Ceritakanlah
kepada kami dengan lebih banyak lagi. ”Suatu ketika Dia sebagai subyek (Yang
Mengetahui), dan di ketika yang lain Dia sebagai obyek (yang diketahui),” kata
Junaid. Artinya, sesungguhnya kamu tidak mengetahui-Nya karena dirimu, tetapi
sesungguhnya kamu mengetahui-Nya karena Dia. Abu Bakr Muhammad Al-Kalabazi
menyatakan bahwa Junaid al-Baghdadi pernah berkata; Ma’rifat itu ada dua macam,
yaitu ma’rifat ta’arruf dan ma’rifat ta’rif. Ma’rifat ta’arruf adalah bahwa Allah
memberitahukan kepada orang banyak akan diri-Nya dan memberi tahu orang banyak
akan hal-hal yang menyerupai-Nya seperti perkataan Nabi Ibrahim as., “Saya tidak
menyukai barang sesuatu yang terbenam.”
Adapun arti ma’rifat ta’rif adalah Allah memberi tahu orang banyak akan
bekas-bekas kekuasaan-Nya dalam cakrawala dan dalam diri manusia. Kemudian
secara halus terjadilah kejadian benda-benda yang menunjukkan kepada orang bahwa
mereka itu ada yang menciptakan, yaitu Allah.Semua orang tidak mendapat ma’rifat
terhadap hakikat Allah kecuali karena-Nya sendiri. Dalam pandangan Junaid al-
Baghdadi, seorang sufi tidak akan mencapai ma’rifat kecuali melalui maqamat dan al-
ahwal. Sebagaimana ia menyatakan, tidak akan sampai seseorang hamba kepada
hakikat ma’rifat dan kemurnian tauhid, sehingga ia melalui ahwal dan maqamat.
4. Syatahat sufi
Junaid al-Baghdadi sebagai imam kaum sufi, ketika ditanya tentang syathahat
sufi, ia menjelaskan: “Syathahat itu adalah keadaan seorang sufi dalam kondisi yang
tidak sadarkan diri. Dan cenderung lebih banyak diam, tetap pada posisinya daripada
berbicara dan bergerak.” Dalam hal ini, seorang sufi sedang mengalami suatu
tingkatan yang membatasi dirinya dengan penciptanya. Dan kepribadiannya lebur ke
dalam zat Ilahi, kemudian naik ke alam cahaya, di mana di hadapannya hal-hal yang
ghaib terungkap.
Dari konsep di atas, jelas sekali perbedaan antara Junaid al-Baghdadi dengan
para sufi pantheis (penganut paham wahdat al-wujud). Ia secara tegas menetapkan
pemisahan antara Allah dengan makhluk. Sementara para sufi penganut pantheis
menyatakan tidak adanya perpisahan antara keduanya, dan wujud adalah satu dan
tidak berbilang sama sekali. Sebagai tokoh sufi, Junaid al-Baghdadi memahami
syathahat yang dialami sufi sebagaimana pengalaman Abu Yazid al-Bustami. Junaid
al-Baghdadi menandaskan bahwa dalam keadaan trance, sorang sufi tidak
mengucapkan tentang dirinya sendiri, tentang apa yang disaksikannya pada saat
mengalami keadaan trance, yaitu Allah Swt.
Suatu ketika diriwayatkan kepada Junaid al-Baghdadi, bahwa Abu Yazid al-
Bustami mengatakan, “Maha Suci Aku ! Maha Suci Aku !Aku inilah Tuhanku yang
Maha Luhur.”Maka Junaid al-Baghdadi berkata, “Dia begitu terpesona oleh
penyaksian terhadap Allah sehingga dia mengucapkan apa yang membuatnya
terpesona. Penglihatan terhadap yang Maha Benar membuatnya terbuai, di mana tidak
ada yang dia saksikan kecuali yang Maha Benar, sehingga ia meratapi-Nya. Abu
Yazid al-Bustami, sekalipun agung kondisinya dan tinggi isyaratnya, tidaklah keluar
dari kondisi permulaannya, dan darinya belum pernah aku mendengar sepatah kata
yang menunjukkan kesempurnaan pada kesempurnaan dan akhir. Pendapat Junaid al-
Baghdadi ini mempunyai makna bahwa Abu Yazid al-Bustami dan juga al-Hallaj,
adalah kelompok sufi yang tidak bisa mengendalikan diri, serta orang yang tunduk
pada intuisi. Dengan sendirinya hal itu membuat mereka tetap dalam keadaan
permulaan, dan tidak bisa menjadi panutan bagi sufi lainnya.

Konsep Utility dalam Konsumsi Menurut Junaidi Al-Baghdadi


Kajian ekonomi dengan tasawuf ini berperan besar untuk menentukan arah dan tujuan
dinamika dalam kehidupan masyarakat pada zaman sekarang, oleh karena itu , perilaku
tasawuf harus tetap ada dalam kehidupan ber ekonomi, tasuwuf tidak bisa lepas dari
kehidupan manusia, karena tasawuf merupakan cara bagaimana amal yang kita perbuat bisa
diterima oleh Allah SWT. Begitu pula dengan ekonomi. Ekonomi pun tidak bisa lepas dari
kehidupan manusia untuk bertahan hidup, maka dari itu kita harus memepelajari keduanya
agar tecipta kegiatan ekonomi yang sesuai dengan ajaran agama islam.

Pada dasarnya islam mengajarkan kepada kita keseimbanagan antara kehidupan dunia
dan akhirat. Oleh karena itu pada realitasnya merupakan makhluk dunia yang harus
menghadapi segala sesuatu di dunia dengan penuh tanggung jawab dan senantiasa mengabdi
kepada Allah SWT. Islam hanya mengecam kepada mereka yang hanya sibuk mencari
kehidupan di dunia dan melupakan akhiratnya, hal ini harus ditanamkan dalam diri seseorang,
agar tidak menjadi alasan bagi manusia untuk bermalas-malasan dan harus seimbang dunia
dan akhirat.

Adapun Tauhid yang merupakan aksioma etika ekonomi islam dalam perspektif diatas
merupakan sebuah konsepteoritis yang implementatif, ada empat kondisi ideal bentuk
perekonomian atau bisnis, yaitu a) Memastikan bahwa transaksi ekonomi dan bisnis berada
dalam koridor nilai-nilai peribadatan yang dikehendaki tuhan, seperti menghindari praktik
riba dan melarang pelaku ekonomi untuk menjalankan bisnisnya secara bathil, mengandung
unsur spekulasi dan judi. Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalka
sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang beriman; b) Memastikan setiap
transaksi bisnis berlangsung dalam suasana adil, semua pihak memiliki kedudukan yang
setara sebagai mitra antara satu dengan lainnya. Kedudukan dan tanggung jawab para pelaku
bisnis dibangun melalui prinsip “akad dan saling setuju”, memasyarakatkan system
mudharabah atau kontrak masyarakat, kedua system ini mendekati nilai-nilai keadilan; c)
Memastikan setiap akad bisnis berlangsung dengan penuh tanggung jawab bukan hanya
antara principal-agent, antara perusahaan dengan shareholders, melainkan dalam spectrum
yang lebih luas, masyarakat dan lingkungan; d) Memastikan bahwa segala bentuk transaksi
ekonomi dan bisnis tidak menyengsarakan para pelakunya secara khusus dan juga masyarakat
secara umum. Dengan memasukkan aspek etika (nilai tauhid) membuka peluang bagi pelaku
ekonomi dan bisnis untuk secara kreatif menciptakan beragam bentuk dan model yang
mampu membawa kemaslahatan.

PENUTUP
Abu al-Qasim Junaid al-Baghdadi adalah salah seorang tokoh penting dalam sejarah
tasawuf. Ia termasuk tokoh sufi yang memadukan syari’at dengan hakekat, dan kelompok sufi
yang tidak suka mengeluarkan syathahat, atau ungkapan-ungkapan ganjil. Dia lebih
mendahulukan kesadaran daripada ketidaksadaran, keterpisahan ketimbang keterpaduan.
Sementara di lain pihak, ada kelompok sufi yang menganut doktrin ketidaksadaran,
keterpaduan (wahdat al-wujud) dalam pengalaman cinta mereka kepada Allah, sehingga
mereka suka mengungkapkan ucapan-ucapan ganjil, yang dikenal dengan syathahat. Dalam
kalangan sufi sebagaimana dikemukakan Junaid, bahwa para sufi yang dalam kondisi trance,
tidak bisa dijadikan panutan. Yang lebih sempurna adalah seorang sufi yang telah mapan, dan
bukannya seorang sufi yang masih dalam keadaan trance. Sebab trance adalah awal,
sementara kemapanan adalah akhir.

Al-Junaid terkenal dengan konsep tauhidnya yang di dasarkan kefanaan. Menurutnya,


pemahaman hakikat Allah tidak akan dapat di capai dengan akal pikiran, tetapi melalui
kefanaan. Kefanaan ini merupakan pemberian dari Tuhan. Namun fana mempunyai
interpretasi yang multimakna. Orang yang merenungkan apa yang telah disebutkan oleh para
sufi tentang fana akan menemukan arti lebih dari satu. Sehingga fana kadang menunjukkan
sebuah arti etika saat mereka mendefinisikannya sebagai sifat sebuah jiwa (nafs) atau
hilangnya sifat-sifat tercela.Mereka juga beranggapan bahwa fana adalah sirnanya kehendak
manusia, dan keberadaannya dalam kehendak Tuhan. Kondisi ini dapat mengacu dalam ayat
al-Qur’an yang menyatakan “Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum
kepada (keelokan rupanya), dan mereka melukai (jari tangannya)”.(QS. Yusuf: 31). Fana
berarti hilang atau hancur. Setelah diri hancur, diikuti oleh al-baqa, yang berarti tetap, terus
hidup.al-fana dalam pengertian umum dapat dilihat dari penjelasan Al-Junaid: “hilangnya
daya kesadaran kalbu dari hal-hal yang bersifat indrawi karena adanya sesuatu yang
dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan
berlangsung terus silih berganti hingga tiada lagi yang disadari dan dirasakan oleh indra”.
Konsep fana inilah yang mendasari serta mendominasi pemikiran tasawuf pada abad ke 3 dan
ke 4 H, termasuk pemikiran tasawuf Al-Junaid.

REFERENSI
Abduh, M., K. Abadi, A. Islamy, and A. Susilo. "Analyses the Construction of the Indonesian
Ulema Council Fatwa on the Halalness of the Sinovac Covid-19 Vaccine using the
Jasser Auda’s Perspective of Islamic Law Development Models." Al-'Adalah 18, no. 2
(2021). https://doi.org/10.24042/al-'adalah.v18i2.10041.
Afif, M., and S. Oktiadi. "Efektifitas Distribusi Dana zakat Produktif Dan Kekuatan Serta
Kelemahannya Pada BAZNAS Magelang." Islamic Economics Journal 4, no. 2
(2018), 133. doi:10.21111/iej.v4i2.2962.
Amalia, E. Sejarah pemikiran ekonomi Islam: Dari masa klasik hingga kontemporer.
Gramata Publishing, 2010.
Arief, S., and A. Susilo. "Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan model Bagi Hasil
Pada Sektor Pertanian Di Wilayah Karesidenan Madiun." Falah: Jurnal Ekonomi
Syariah 4, no. 2 (2019), 202-213. doi:10.22219/jes.v4i2.10091.
Arief, S., E. Suandi Hamid, S. Syamsuri, A. Susilo, and M. In'ami. "Factor affecting
Sharecropping system in East Java: An Islamic Prespective analysis." Equilibrium:
Jurnal Ekonomi Syariah 9, no. 2 (2021), 397-424.
doi:10.21043/equilibrium.v9i2.12237.
Asnaini. Zakat produktif dalam perspektif hukum Islam, 1st ed. Pustaka Pelajar, 2008.
Astuti, H. K. "Pemberdayaan ekonomi kreatif melalui Daur ulang sampah plastik (Studi
kasus bank sampah kelurahan paju ponorogo)." OSF, 2022. doi:10.31219/osf.io/6j7rv.
Astuti, H. K. "Pemberdayaan Masyarakat Desa Melalui model Industri Genteng Rumahan
(Studi Kasus Desa Wringin Anom, Kec. Sambit, Kab. Ponorogo)." OSF, 2022.
doi:10.31219/osf.io/na3tp.
Astuti, H. K. "Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui Pertenakan sapi Perah (Studi Kasus
Desa Pudak Kulon, Kec. Pudak, Kab Ponorogo)." OSF, 2022.
doi:10.31219/osf.io/wk4aq.
Astuti, H. K. "Pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan wakaf produktif." OSF, 2022.
doi:10.31219/osf.io/ztbpf.
Astuti, H. K. "Pemberdayaan Wakaf Produktif Sebagai Instrumen untuk Kesejahteraan
Umat." OSF, 2022. doi:10.31219/osf.io/fcmve.
Astuti, H. K. "Pemberdayaan Wakaf Tunai Produktif dalam Mengentaskan
Kemiskinan." OSF, 2022. doi:10.31219/osf.io/ymjrp.
Astuti, Hepy K. "Implementasi Zakat Sebagai Instrumen APBN Untuk Kesejahteraan Umat."
2022. doi:10.31219/osf.io/23e6d.
Astuti, Hepy K. "Manajemen Pengelolaan dan Penggunaan Zakat untuk Kesejahteraan
Umat." 2022. doi:10.31219/osf.io/78ryu.
Beik, I. S., M. H. Zaenal, M. Quraisy, A. Ascarya, C. M. Hakim, A. R. Masrifah, H. Izhar, S.
Karim, and A. Muhammad. echnical Note on Risk Management for Zakat Institution.
In: Technical Note on Risk Management for Zakat Institution. BAZNAS, 2020.
Chamid, Nur. Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, 1st ed. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010.
Hafidhuddin, D. Zakat dalam perekonomian modern. Gema Insani, 2002.
Hakim, R., and A. Susilo. "Makna Dan Klasifikasi Amanah Qur’ani Serta Relevansinya
dengan Pengembangan Budaya Organisasi." AL QUDS : Jurnal Studi Alquran dan
Hadis 4, no. 1 (2020), 119-144. doi:10.29240/alquds.v4i1.1400.
Hasan, S., and M. S. Is. Hukum zakat Dan Wakaf Di Indonesia. Prenadamedia, 2021.
Huda, M., I. Haryadi, A. Susilo, A. Fajaruddin, and F. Indra. "Conceptualizing waqf Insan on
i-HDI (Islamic human development index) through management Maqashid
Syariah." Proceedings of the Proceedings of the 1st International Conference on
Business, Law And Pedagogy, ICBLP 2019, 13-15 February 2019, Sidoarjo,
Indonesia, 2019. doi:10.4108/eai.13-2-2019.2286206.
Huda, N., A. Muti, and R. Sikumbang. Keuangan publik Islam: Pendekatan al-kharaj (Imam
Abu Yusuf). Ghalia Indonesia, 2011.
Imtihanah, A. N., and S. Zulaikha. Distribusi zakat produktif berbasis model cibest. Gre
Publishing, 2019.
Karim, A. Sejarah pemikiran ekonomi Islam, 7th ed. Raja Grafindo Persada, 2016.
Latif, A., I. Haryadi, and A. Susilo. "Pengaruh Pemahaman Wakaf Terhadap Niat Berwakaf
Tunai Jama’ah masjid Di Kecamatan Kota Ponorogo." Islamic Economics Journal 7,
no. 1 (2021), 31. doi:10.21111/iej.v7i1.5410.
Latif, A., I. Haryadi, and A. Susilo. "The Map of the Understanding Level of Cash Waqf for
Jama'ah of Masjid in District of Ponorogo City." Journal of Finance and Islamic
Banking 4, no. 2 (2021). https://doi.org/10.22515/jfib.v4i2.3022.
Majid, M. N. Pemikiran ekonomi Islam Abu Yusuf: Relevansinya dengan ekonomi kekinian.
Pusat Studi Ekonomi Islam STIS Yogyakarta, 2003.
Masrifah, A., H. Setyaningrum, A. Susilo, and I. Haryadi. "Perancangan Sistem Pengelolaan
Limbah durian Layak Kompos Di Agrowisata Kampung durian
Ponorogo." Engagement: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat 5, no. 1 (2021),
268-282. doi:10.29062/engagement.v5i1.285.
Mas'ud, M. R. Zakat & kemiskinan: Instrumen pemberdayaan ekonomi umat. UII Press,
2005.
Nugraha, A. L., A. Susilo, A. L. Rizqon, A. Fajaruddin, and N. Sholihah. "Profil Literasi
Keuangan Islam Karyawan Dan Nasabah Baitul Maal wa Tamwil Daarut Tauhid
Bandung." 8th ASEAN Universities International Conference on Islamic Finance (8th
AICIF 2020) on “Islamic Finance’s Contribution to Sustainable of Human
Development in Asean Perspective”, 2022. doi:10.31219/osf.io/xche4.
Nugraha, A. L., A. Susilo, A. L. Rizqon, A. Fajaruddin, and N. Sholihah. "Profil Literasi
Keuangan Islam Karyawan Dan Nasabah Baitul Maal wa Tamwil Daarut Tauhid
Bandung." 8th ASEAN Universities International Conference on Islamic Finance (8th
AICIF 2020) on “Islamic Finance’s Contribution to Sustainable of Human
Development in Asean, 2022. doi:10.31219/osf.io/xche4.
Nugraha, A. L., A. Susilo, and C. Rochman. "Peran Perguruan Tinggi Pesantren dalam
Implementasi Literasi Ekonomi." Journal of Islamic Economics and Finance
Studies 2, no. 2 (2021), 162-173. doi:10.31219/osf.io/9t54q.
Nugraha, A. L., A. R. Soenjoto, and A. Susilo. "The Influence of Islamic Economic Literacy
on the Purchasing Power of Unida’s Students in Unit Usaha Unida (U3)." In 7th
ASEAN Universities International Conference on Islamic Finance, 172 - 177. UNIDA
Gontor, 2019.
Nugraha, A. L., A. R. Sunjoto, and A. Susilo. "Signifikansi Penerapan Literasi Ekonomi
Islam Di Perguruan Tinggi: Kajian Teoritis." Islamic Economics Journal 5, no. 1
(2019), 143-162. doi:10.21111/iej.v5i1.3680.
Nurhadi, S. W. Hasibuan, Ascarya, A. R. Masrifah, E. Latifah, M. B. Djahri, D. Dewindaru,
B. M. Shalihah, M. Taufik, and A. Triyawan. Metode Penelitian Ekonomi Islam.
Media Sains Indonesia, 2021.
Qaraḍāwī, Y. Hukum zakat: Studi komparatif mengenai status Dan filsafat zakat berdasarkan
Quran Dan hadis. Translated by D. Hafidhuddin, S. Harun, and Hasanuddin, 2nd ed.
Litera Antar Nusa, 1991.
Rahmawati, R. "Investasi Dana zakat Sebagai Sistem Produktif Pengembangan Ekonomi
Mustahik zakat." Ijtihad : Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam 11, no. 1 (2017).
doi:10.21111/ijtihad.v11i1.1255.
Rizal, A., I. W. Indriawan, A. Susilo, and A. Rofiqo. "Comparative analysis of ports to the
economy of Indonesia: A Cointegration approach." Journal of Islamic Economics
Lariba 7, no. 2 (2021), 145-154. doi:10.20885/jielariba.vol7.iss2.art6.
Rizal, A., N. E. Fauziyah, A. Ma'ruf, and A. Susilo. "Integrating Zakah and Waqf for
Developing Islamic Economic Boarding School (IEBS) Project in Indonesia." Journal
of Islamic Economics and Philanthropy 3, no. 2 (2020).
Rizqia, L. M. Pengelolaan zakat berbasis masjid perkotaan: Pemahaman Fikih Dan Hukum
positif. EDU PUBLISHER, 2020.
Safitri, F. I., and A. R. Masrifah. "Mainstreaming Zakat Instrument to Money Demand
Function." In International Conference of Zakat, 61-74. BAZNAS, 2020.
https://doi.org/10.37706/iconz.2020.242.
Setyaningrum, H., A. Rukminastiti Masrifah, A. Susilo, and I. Haryadi. "Durian rind micro
Composter model: A case of Kampung durian, Ngrogung, Ponorogo, Indonesia." E3S
Web of Conferences 226 (2021), 00021. doi:10.1051/e3sconf/202122600021.
Soenjoto, A. R., A. Susilo, and M. Afif. "Pengaruh model rekrutment karyawan badan wakaf
pada kinerja pengelolaan aset umat (Studi kasus Badan Wakaf Indonesia)." Al
Tijarah 4, no. 2 (2018), 25-35. doi:10.21111/tijarah.v4i2.2826.
Susilo, A. "Keuangan Publik Ibn Taimiyah dan Permasalahan Pajak Pada Era
Kontemporer." Iqtishodia: Jurnal Ekonomi Syariah 2, no. 1 (2017), 1-18.
Susilo, A. "Model Pemberdayaan Masyarakat Perspektif Islam." FALAH: Jurnal Ekonomi
Syariah 1, no. 2 (2016), 193-209. doi:10.22219/jes.v1i2.3681.
Susilo, A., A. Fedro, A. I. Kusumanisita, A. R. Masrifah, F. S. Ari Anggara, K. Umam, M.
Lesmana, M. Ghozali, M. Z. Nasrudin Fajri, and M. Afif. Dampak Regulasi Zakat
terhadap Penguatan BAZNAS sebagai Lembaga Pemerintah Nonstruktural, 1st ed.
Puskas BAZNAS, 2021. https://doi.org/10.31219/osf.io/2d9ge.
Susilo, A., A. R. Sunjoto, and M. Afif. "Model Rekrutmen anggota Badan Wakaf Sebagai
Pengelola Harta Umat (Studi Kasus Badan Wakaf Indonesia Jakarta)." OSF, 2022,
397-424. doi:10.31219/osf.io/acw9d.
Susilo, A., N. I. Abdullah, and N. A. Che Embi. "The Concept of Gontor's Literacy on Waqf
as A Model to Achieve Waqf Inclusion and Increase Cash Waqf Participation."
In THE 9 ECONOMIC SYSTEM CONFERENCE (I-iECONS 2021), 401-405.
Universiti Sains Islam Malaysia (USIM), 2021.
Zuḥaylī, W. Zakat: Kajian berbagai mazhab. Translated by A. Effendi and B. Fannany. PT.
Remaja Rosdakarya, 1997.

Anda mungkin juga menyukai