Anda di halaman 1dari 9

TAUHID DALAM TASAWUF

NASYA MAULIDA
UNIVERSITAS NEGERI ISLAM WALISONGO
Email: nasyaamaulidaa@gmail.com

Abstrak
Tauhid adalah pokok keyakinan dalam Islam, yang juga menjadi dasar dari semua
ajarannya. Akidah ini dimaksudkan untuk mengoreksi dan meluruskan kepercayaan manusia
yang waktu itu dirasa sudah menyimpang jauh dari jalan Allah. Sedemikian pentingnya ajaran
ini, sehingga para ulama banyak membicarakannya dalam berbagai kesempatan. Selain itu,
tauhid juga menjadi pokok bahasan utama dalam beberapa disiplin ilmu keislaman. Dalam ilmu
kalam misalnya, tauhid merupakan topik pembicaraan yang paling utama. Sehingga pengetahuan
ini juga di- sebut ilmu tauhid. Selain itu, tasawuf atau sufisme, sebagai salah satu cabang dari
Islamic studies, juga tidak ketinggalan dalam mempelajarinya.

Tauhid selalu menjadi isu yang menarik untuk ditangani dalam lingkup tasawuf sejak saat
itu gagasan inilah yang telah memicu kontroversi selama berabad-abad. Para sufi sudah sering
melakukannya dituduh mengkhianati Islam dengan menyajikan versi tauhid yang menyimpang.
Tulisan ini akan menetralisirnya tuduhan ini dan berpendapat bahwa konsep sufistik tauhid
adalah kategori Islam, Al-Qur'an dan bersifat kenabian.
Kata kunci:Tauhid,tasawuf,konsep sufistik
Abstract
Tauhid is the core belief in Islam, which is also the basis of all its teachings. This creed is
intended to correct and straighten out human beliefs which at that time were felt to have deviated
far from God's path. This teaching is so important that scholars talk about it on various
occasions. Apart from that, monotheism is also the main subject of discussion in several Islamic
disciplines. In kalam science, for example, monotheism is the most important topic of discussion.
So this science is also called the science of monotheism. Apart from that, Sufism or Sufism as a
branch of Islamic religious knowledge is also not left behind in studying it.

Tauhid has always been an intriguing issue to tackle within the premises of tasawuf
considering that it is this notion that has triggered controversies over centuries. The Sufis have
often been accused of betraying Islam by presenting a distorted version of tawhid. This paper
will neutralize this accusation and contend that the Sufistic concept of tawhid is categorically
Islamic, Qur’anic and prophetic.

Keywords: Tauhid, Tasawuf, Sufistic concept

1. PENDAHULUAN
Sebagaimana jelas dipahami bahwa sesungguhnya Allah mengutus para nabi untuk
mendakwahkan ajaran tauhid yang benar-benar asli. Pemahaman secara umum, tauhid
merupakan suatu sistem kepercayaan Islam yang mencakup di dalamnya keyakinan kepada Allah
dengan jalan memahami nama-nama dan sifat-sifat-Nya, keyakinan terhadap malaikat, ruh,
setan, iblis dan makhluq-makhluq gaib lainnya, kepercayaan terhadap Nabi-nabi, Kitab-kitab
Suci, Hari Kiamat/Hari Akhir, dan sebagainya.

Di zaman sekarang ini, fenomena merosotnya nilai akhlak di kalangan masyarakat tidak
bisa lagi diabaikan mulai dari kalangan pejabat maupun dari kalangan masyarakat biasa. Di
kalangan pejabat terjadi penyalahgunaan jabatan, korupsi, jual beli kursi kepemimpinan,
sedangkan di kalangan masyarakat biasa banyak terjadi penyalahgunaan narkoba, pencurian,
pelecehan seksual, pembunuhan dan lainnya Melihat keadaan tersebut salah seorang alim ulama
yang berasal dari Labuhan haji Aceh Selatan yang dikenal dengan nama Abuya Syekh H. Amran
Waly al-Khalidi yang juga merupakan anak dari salah satu ulama karismatik Aceh yaitu Abuya
Syekh H. Muhammad Waly al-Khalidi mendirikan suatu majelis yang diberi nama Majelis
Pengkajian Tauhid Tasawuf (MPTT) sebagai respons atas persoalan-persoalan yang terjadi di
atas.

MPTT merupakan suatu majelis yang membicarakan ilmu yang berkaitan dengan tema
pokok keagamaan yaitu iman, Islam dan ihsan juga membicarakan tentang akidah, fikih, tasawuf
(akhlak) yang menyebabkan seseorang dapat berada dekat dengan Allah dalam kehidupan sehari-
hari.

Tentang ilmu tauhid Syeikh Muhammad Abduh mengatakan, tauhid merupakan suatu
ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat yang
boleh disifatkan kepada-Nya, dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan pada-
Nya. Juga membahas tentang rasul-rasul Allah, meyakinkan kerasulan mereka, apa yang boleh
dihubungkan (dinisbatkan) kepada mereka dan apa yang terlarang menghubungkannya kepada
diri mereka.1

2. METODE PENELITIAN

Makalah ini akan berdikusi dengan pandangan banyak tokoh sufi terkemuka mendukung
anggapan dasarnya. Kekuatan artikel ini tidak terletak pada dasar pemikiran,tetapi dalam
datanya, alur argumennya dan dalam analisisnya.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

 Pengertian Tauhid
Secara etimologis, kata tauhid berasal dari bahasa Arab yang me rupakan bentuk kata benda
(masdar) dari kata kerja wahhada-yah- hidu, yang artinya membuat sesuatu menjadi satu, atau
menyatakan kesatuan (keesaan). Dalam teologi, kata ini berarti pernyataan bahwa tiada Tuhan
selain Allah. Inilah tauhid yang menjadi ajaran terpenting yang dibawa al-Qur'an, yaitu ajaran
yang menyangkut penga- kuan terhadap keesaan Tuhan secara murni dan konsekuen.

Sedangkan secara terminologis, ada beberapa pengertian dari tauhid yang diberikan oleh
ulama. Definisi itu antara lain seperti yang diberikan oleh al-Arbawi: "Tauhid adalah
mengesakan Pencipta (Tu- han) dengan ibadah, baik dalam dzat, sifat, ataupun perbuatan"..

1
Yusron Asmuni, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa pengakuan tauhid itu meliputi beberapa aspek yang
harus diformulasikan dalam satu keyakinan. Aspek-aspek tersebut ialah adanya pengakuan pada
kee- saan Tuhan, baik dalam dzat, sifat atau perbuatan-Nya, yang kemu- dian diikuti dengan
ibadah yang hanya ditujukan khusus kepada- Nya saja.

Pengakuan pada keesaan dzat Tuhan artinya mengakui bahwa dzat-Nya itu satu, unik, esa,
tidak berbilang. Tidak ada sesuatu yang menyamai atau menyerupai dzat-Nya. Sedangkan
pengesaan dalam sifat adalah pengakuan bahwa sifat-sifat Allah itu merupakan sifat- sifat khusus
bagi-Nya. Di alam raya ini tidak ada satu makhluk pun yang memiliki sifat yang sama atau
serupa dengan sifat-Nya. Kemu- dian yang terakhir, yaitu pengesaan dalam perbuatan
maksudnya adalah bahwa perbuatan Allah dalam menciptakan alam dan isinya merupakan
perbuatan yang hanya Dia sendiri yang dapat menger- jakannya. Tidak ada seorang pun yang
dapat mengerjakan suatu pekerjaan seperti Dia. Bila seseorang masih mengakui adanya sesu- atu
yang memiliki dzat seperti milik-Nya, atau sifat seperti sifat- Nya, atau perbuatan seperti apa
yang dikerjakan-Nya, maka peng- akuan tauhidnya menjadi tidak bermakna lagi, la berarti sudah
me nganggap ada sesuatu lain yang menyerupai Allah dalam salah satu atau semua dari ketiga
aspek tersebut. Hal seperti ini disebut syirik.

Secara singkat dari paparan tentang pandangan tauhid baik secara etimologis, maupun secara
terminologis dikatakan bahwa tauhid berisi pembahasan teoritik menyangkut sistem keyakinan,
sistem kepercayaan dan struktur aqidah kaum Muslim berdasarkan perbandingan dan
pengetahuan. Tujuan akhir ilmu ini adalah pembenaran terhadap aqidah Islam serta meneguhkan
keimanan dengan keyakinan. Karena itu, tauhid memiliki posisi penting dalam mekanisme
keberagamaan umat Islam, karena berisi pokok-pokok ajaran yang sifatnya mendasar.
 Tauhid Tasawuf (Sufisme)

Setelah membahas makna tauhid secara umum, kini pembicaraan beralih pada pengertiannya
dalam sufisme. Berikut ini dipaparkan teori yang dikemukakan para sufi mengenai tauhid
tersebut.

Al-Junayd al-Bagdadi memberikan pengertian tauhid sebagai "pengesaan yang qidam (ada
sejak dulu/tidak diciptakan) dari yang hadas (baru/diciptakan)." Dengan pengertian ini, al-Junayd
mene- gaskan bahwa yang dimaksud dengan tauhid itu adalah pengesaanNya dari segala sesuatu
yang baru atau yang diciptakan. Untuk da- pat memahami definisi dengan lebih jelas, ada
baiknya bila dikaji terlebih dahulu bagaimana atau apa yang dimaksud dengan pengesaan
tersebut.

Dalam Islam, hakikat tasawuf adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Tuhan memang dekat
sekali dengan manusia. Betapa dekatnya Tuhan dengan manusia, telah digambarkan dalam al-
Quran:

‫َأ ِإَل ِه ِم ِل اْل ِريِد‬ ‫ِبِه‬ ‫ِإْل‬


‫ولَقْد َخ َلْق َنا ا ْنَس اَن َوَنْعَلُم َم ا ُتَوْس ِوُس َنْف ُس ُهۖ َوْحَنُن ْقَرُب ْي ْن َحْب َو‬

“Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa-apa yang dibisikkan dirinya kepadaNya.
Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya”.

Ayat ini melukiskan Tuhan berada bukan nan jauh di luar diri manusia, tetapi Ia sangat
dekat dengan manusia sendiri. Karena itu, di dalam tradisi kaum sufi terdapat asumsi yang
berbunyi: Siapa yang telah mengenal dirinya, maka ia (akan mudah) mengenal Tuhannya.2

Di sini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia adalah
perbuatan Tuhan. Bahwa Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluq
lainnya, sebagaimana dijelaskan hadith qudsi berikut. Pada mulanya, aku adalah harta yang
tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal.

Para sufi menegaskan bahwa sesuatu yang paling penting untuk dilakukan adalah
menghilangkan rasa syirik. Sedang langkah-langkah yang mesti ditempuh untuk mencapainya

2
AL-QUR`AN, (Qaf) : 16
adalah dengan meng- hilangkan keinginan jasmani, menghapuskan hasrat terhadap benda
duniawi, dan selanjutnya menegaskan hanya kehendak Tuhan yang ada. Dengan cara ini
pengesaan Tuhan itu diwujudkan. Proses tersebut juga dikemukakan oleh al-Qusyairi,
sebagaimana yang dinyata kannya dalam al-Risalah al-Qusyairiyyah.

Jika hal ini dilakukan dengan penuh keseriuasan, mereka akan menuju kepada persatuan
kepada kehendak Tuhan. Dan nanti persatuan itu tercapai, maka terwujudlah tauhid yang ia
harapkan. Jadinya, tauhid bagi sufi adalah persatuan yang sempurna dari ruh manusia dengan
Tuhan. Persatuan inilah menjadi tujuan utama tasawuf yang diyakini dan ditekuninya. Lewat
ajaran inilah, kaum sufi berusaha menjembatani manusia dengan Tuhannya.

Dalam kata-kata al-Sarraj al-Tusi ‘‘Jika seseorang telah mempunyai keyakinan tauhid
yang sempurna, maka niscaya semua perasaan pada sesuatu selain Tuhan, seperti harapan masuk
surga dan takut pada api neraka, tidak akan pernah muncul. Laksana matahari terbit yang
menghilangkan seluruh bintang gemintang di langit.”3

Ada yang menyebutkan bahwa sufi yang pertama kali membahas tauhid adalah Siri
alSaqati, paman dari sisi ibu (khal) sekaligus guru dari al-Junaid. Ada juga yang menyebutkan
Abu Said al-Kharraz.4 Akan tetapi, dalam penjelasan yang lebih akurat disebutkan sebenarnya al-
Junaid-lah yang pertama kali membahas tentang tauhid secara lebih holistik dan komprehensif.
Al-Junaid sendiri bahkan disemati sebagai gurunya para sufi (shaykh al-ta’ifah).5

Dalam paham yang dikemukakan di atas, bila diamati dengan cermat, akan tampak
bahwa pengertian tauhid dalam pandangan para sufi tidak hanya merupakan sekedar pengakuan
pada keesaan Tuhan dan ibadah yang ditujukan hanya kepada-Nya saja. Tauhid itu lebih
dipertegas lagi dengan menghilangkan rasa syirik yang mungkin masih tersisa pada diri mereka,
yaitu dengan betul-betul mengesakan atau memisahkan-Nya dari segala yang diciptakan. Bahkan
selanjutnya, demikian Fazlur Rahman mengatakan, tauhid telah ditransformasikan dan
dikembangkan di bawah pengalaman sufi sebagai suatu paham persatuan antara manusia dengan
Tuhan.

3
Ibid., 31
4
Disebutkan oleh Sulami bahwa Dzun Nun al-Misri, Siri al-Saqati,Bisri bin al-Harith adalah sufi pertama yang
mengulas ilmu tentang fana’ dan baqa’. lihat: Sulami, Tabaqat al-Sufiyah, 228.
5
al-Qushayri, Risalat al-Qushayriyah, 28.
4. KESIMPULAN

Paparan di atas menjelaskan tentang tauhid, maknanya yang di maksud dalam sufisme, dan
masalah-masalah yang berhubungan dengannya. Pembahasan yang disajikan didasarkan pada
keterang- an-keterangan yang berhasil digali dari sumber-sumber yang me muat ajaran-ajaran
para sufi yang bersangkutan. Dalam pengalaman mereka, tauhid itu dikembangkan sebagaal
ajaran persatuan antara ruh manusia dengan Tuhan, Namun, dari fakta yang ada, tampak bahwa
semua itu berpijak pada ajaran-ajaran yang terkandungdi dalam al-Qur'an dan Sunnah

Jika memang demikian, makna tauhid seperti ini dapat dianggap sebagai ajaran yang tidak
menyimpang dari induknya. Kalaupun ada yang kurang sepaham dengan analisis tersebut,
masalahnya hanya terletak pada perbedaan pendapat atau penafsiran yang dilakukan.
Ketidaksamaan dalam memberikan interpretasi tidak terlarang dalam agama, sepanjang tidak
menyangkut ajaran pokok (usul al- din) dan tidak bertentangan dengannya.
DAFTAR PUSTAKA
Yusron Asmuni, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2

al-Tusi, Abu Nasr al-Sarraj , al-Luma’. Mesir: Dar al-Kutub al-Hadithah, 1960. Tim
Penyusun Kamus. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen P & K, 1989.
AL-QUR`AN, (Qaf) : 16

Ibid., 31

Disebutkan oleh Sulami bahwa Dzun Nun al-Misri, Siri al-Saqati,Bisri bin al-Harith
adalah sufi pertama yang mengulas ilmu tentang fana’ dan baqa’. lihat: Sulami, Tabaqat al-
Sufiyah, 228.

al-Qushayri, Risalat al-Qushayriyah, 28.

Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: The University of Chicago, 1979).


al-Junayd. Risalah fi al-Tawhid, Kumpulan Rasail al-Junaid, ditahqiq oleh Hasan Abd
alQadir, . Kairo: Bar’ay Wijday, 1988.

Anda mungkin juga menyukai