Anda di halaman 1dari 15

Abu Yazid Al-Bisthami

Ade Suryaman

ABU YAZID AL-BISTAMI


AL-FANA, WAL-BAQA WAL-ITTIHAD
Oleh: Ade Suryaman
A. PENDAHULUAN
Tasawwuf atau mistisisme Islam pada hakikatnya merupakan usaha manusia untuk
mendekatkan diri kepada Alloh dengan sedekat mungkin. Sehingga ia bisa melihat
Tuhan dengan sanubarinya (marifat), bahkan rohnya bisa bersatu dengan roh Tuhan.
Sehingga para ahli tasawwuf mengatakan:
Tasawuf itu ialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan Tuhannya karena
kehadiran hati mereka bersama Allah1
Orang-orang yang menempuh usaha untuk mendekatkan diri kepada Alloh
sehingga menjadi dekat dengan sedekat-dekatnya, bahkan sampai ke derajat hulul,
wihdatul wujud (penyatuan diri dengan Alloh) terkenal dengan sebutan sufi.
Untuk berada pada posisi yang dekat dengan Alloh bukanlah usaha yang mudah,
walaupun sebenarnya Alloh itu sangat dekat kepada manusia dan bahkan lebih dekat
daripada urat lehernya. Hal ini telah dinyatakan dalam Al-quran di beberapa ayat. Salah
satunya dalam surat al-baqoroh yang merupakan jawaban diberikan kepada Nabi
Muhamad saw ketika didatangi oleh orang Baduwi yang bertanya ya Muhamad,
apakah Tuhan kita dekat sehingga kita cukup berbisik pada-Nya, atau jauh sehingga kita
harus memanggilnya ? maka turunlah ayat sebagai jawaban.


)(
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku,
Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka
hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah
1 . Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang Jakarta, 1995, hal. 59.
1

Abu Yazid Al-Bisthami


Ade Suryaman

mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam


kebenaran2
Juga pada ayat lainnya:

)(
Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dan
mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat
kepadanya daripada urat lehernya3
Konsep tasawuf ini menurut beberapa ahli merupakan pengaruh agama kristen,
karena dalam kristen juga ada paham menjauhi dunia dan mengasingkan diri dalam biara
(ruhbaniyah), atau merupakan pengaruh dari filsafat mistik pytagoras yang berpendapat
bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing, badan
jasmani merupakan penjara bagi roh, atau pengaruh dari filsafat emansi Plotinus, dimana
wujud ini memancar dari zat Tuhan, atau pengaruh dari faham nirwana dalam agama
Budha, atau pengaruh ajaran Hindu yang mendorong untuk meninggalkan dunia dan
mendekati tuhan untuk mencapai penyatuan atman dengan brahman.
Menurut Harun Nasution apakah teori ini benar atau tidak, itu payah dapat
dibuktikan. Tetapi bagaimanapun, dengan atau tanpa pengaruh dari luar, sufisme bisa
timbul dalam Islam.4
Karena sulitnya mengetahui hakikat sufisme ini Annemarie schimmel dalam bab
pertama dari bukunya mengatakan:
Banyak buku tentang sufisme yang dicetak pada masa-masa sekarang, semuanya
mengkaji dari berbagai sudut, karena fenomena sufisme ini terlalu jauh dan
kemunculannya tidak diketahui pasti sehingga tidak seorangpun yang meneliti dan
menjelaskannya secara lengkap. Seperti orang buta dalam cerita Rumawi, ketika mereka
meraba gajah, setiap mereka menggambarkan gajah sesuai dengan bagian tubuh gajah
yang mereka raba. Menurut yang satu gajah itu seperti terompet, menurut yang lainnya
2 QS. Al-baqoroh, 2: 186
3 QS. Qaaf, 50: 16
4 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang Jakarta, 1995, hal. 59.
2

Abu Yazid Al-Bisthami


Ade Suryaman

seperti katel, atau seperti pipa atau seperti tiang. Bahkan tidak ada seorangpun yang bisa
menggambarkan gajah secara keseluruhan.5
Dr. Abdul Qodir Mahmud menganggap bahwa konsep-konsep yang berkembang
pada pemahaman Sufi merupakan pemahaman serapan dari pemahaman yang
berkembang pada ajaran agama lain. Hal ini bisa kita baca pada tulisannya.

beliau

menganggap bahwa tasawuf Islam berasal dari tasawuf masihy, yang didakwahkan oleh
para missionaris dan diadopsi oleh sebagian umat Islam. Di mana negara-negara eropa
melakukan pembinaan-pembinaan dengan mendirikan lembaga-lembaga khusus untuk
mendidik para missionaris di antaranya sekolah Prancis. Disamping tujuannya
mengembangkan ajaran agama masehi mereka juga menjadikan missi ini untuk
mencaplok/menjajah negara-negara Islam.
Para tokoh orientalis merupakan juru dakwah terselubung dari organisasi
Ashabunnur (ordre des illumines) dan organisasi Bunga Mawar Salib (Ro-e-Croix) yang
merupakan cabang dari organisasi pendiri kebebasan. Mereka itu merupakan cabangcabang dari freemansonry dahulu dan sekarang, yang telah menghancurkan nilai-nilai
kepribadian bangsa Arab dan Umat Islam sejak perang Salib sampai sekarang dengan
menggunakan teori kerjasama dalam penyebarannya, dan memperkuat penopangpenopangnya dari kalangan fanatik syiah sejak masa Sabaiyah (seorang Yahudi)
sehingga masa babiyah dan Bahaiyah sekarang.
Teori filsafat yang menyimpang, yang ada pada sebagian Sufi dalam ajaran Islam
tidaklah muncul kecuali pada masa kehancuran pemikiran Islam yang masih original dan
hilangnya kekuasaan politik Islam serta hancurnya sistem khilafah Islam. Teori ini tidak
melahirkan buah yang busuk kecuali pada masa kekuasaan Salibis dan pengikutnya dari
kaum Qoromithoh, dan Tartar dengan teori hallaj dan Sahrurdi di bagian timur arab, dan
dengan aliran Ibn Arobi dan Ibn Sabin di bagian barat Arabia (Andalus) setelah
kejatuhan kekuasaan umat Islam di sana.

5 Annimarie schimmel, Mystical Dimensions Of Islam, university of north carolina Press Chapel Hill,
1975, hal. 3
6 Abdul Qodir Mahmud, Al-filsafat al-shufiyah fi al-Islam, Dar al-Fikri, tt, h.

Abu Yazid Al-Bisthami


Ade Suryaman

Munculnya teori filosofis tentang sufi dalam Islam merupakan pengembangan dari
zuhud, yang mengakibatkan terjadinya pembauran makna antara zuhud dengan
tasawwuf filosofis dan yang bukan filosofis. perkembangan teori sekitar sufi yang sunah
salafiyah yang disebut juga tasawuf positif (ijabi) dan yang bukan sunah yang disebut
tasawuf negatif (salabi) yang menyimpang.
Zuhud merupakan amalan praktis seorang hamba yang taat, yang tampak dari
aspek eksternal dengan mengurangi makan, minum dan berpakaian untuk beribadah
kepada Alloh. Takut, wara, takwa dan dzikrulloh dari aspek internal.
Sedangkan tasawuf adalah proses penyucian jiwa, bermujahadah, riyadhoh, dan
berusaha pindah dari satu hal ke hal yang lain, sehingga pelaku sampai pada maqom
yang menurut paham sufi yaitu maqom syuhud (melihat Alloh) atau wajd (menemukan)
atau fana (peleburan). Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara muslim, masihi, yahudi,
Budha atau para penyembah berhala lainnya.7
Menanggapi hal ini penulis tidak sepenuhnya sepakat dengan pernyataan yang
mengatakan tasawuf merupakan serapan dari agama lain, karena dalam kaitan tujuan
tasawuf yang dikembangkan para ulama sufi, yaitu menundukkan hawa nafsu untuk
patuh dan senantiasa terikat dengan Alloh sangat diperintahkan dalam al-quran.
Menurut Abul wafa al-ghonimi Al-taftajani

aliran tasawuf ada dua, pertama,

aliran-aliran sufi yang pendapat-pendapatnya moderat. Tasawufnya selalu merujuk


kepada al-quran dan assunah. Atau dengan kata lain, aliran tersebut bertandakan
timbangan syari'ah. Sebagian sufinya adalah ulama terkenal dan tasawufnya didominasi
ciri-ciri moral. Kedua, aliran para sufi yang terpesona keadaan-keadaan fana. Mereka
sering mengucapkan kata-kata ganjil, yang terkenal dengan sathohat. Mereka
menumbuhkan konsep-konsepn hubungan manusia dengan Alloh, seperti penyatuan atau
hulul. Dan setidaknya tasawuf mereka bertandakan beberapa kecenderungan metafisis.
Upaya menyucikan diri dan berada dekat dengan Tuhan hanya dapat dicapai
melalui perjalanan yang cukup panjang. Dalam perjalanan tersebut, seorang calon sufi
melalui beberapa stasion (stages atau stasions) yang dalam istilah tasawuf disebut
7 Abdul Qodir Mahmud, hal. w
8 Abul wafa al-ghonimi al-taftajani, Sufi dari zaman ke zaman, penerbit Pustaka Bandung, 1974, hal. 95
4

Abu Yazid Al-Bisthami


Ade Suryaman

maqomat. Jumlah dan urutan maqomat ini berbeda-beda sebab biasanya didasarkan
kepada pengalaman masing-masing sufi, namun yang biasa disebut adalah: al-taubah, alzuhd, al-shobr, al-tawakkul, al-rida, al-mahabbah, al-marifah, al-fana, al-baqo, dan
yang tertinggi adalah al-ittihad.9
Dari urutan maqomat di atas terlihat bahwa al-ittihad merupakan maqom tertinggi
bagi sufi dan puncak dari tujuan yang ingin dicapai. Dalam ittihad seorang sufi tidak
hanya sekedar dekat dengan Tuhan, tetapi lebih dari itu, ia telah bersatu dengan Tuhan,
sehingga tidak ada lagi jarak di antara keduanya. Dalam keadaan seperti ini sufi
merasakan kepuasan dan kebahagiaan yang luar biasa, yang tidak bisa dilukiskan dengan
kata-kata.
Sebelum sampai kepada al-ittihad seorang sufi harus menghancurkan kesadaran
dirinya (al-fana) terlebih dahulu. Kesadaran itu selanjutnya masuk ke dalam diri Tuhan
(al-baqo) sehingga tercapai al-ittihad.10
Diantara konsep tasawuf dan tokohnya, terkenal istilah fana, baqo dan ittihad
yang menurut beberapa literatur dirintis oleh seorang tokoh sufi yang bernama AlBisthami Abu Yazid Thaifur.
B. RIWAYAT HIDUP AL-BISTHAMI
Al-Bisthami nama lengkapnya Abu Yazid Thaifur Bin Isa al-Bisthomi.11 Kakeknya
seorang majusi (zoroaster) yang kemudian masuk Islam, namanya srusyan dari warga
Bisthom, tempat besar di Provinsi qoumis, daerah yang menuju ke Naisabur arah timur
Persia. Dibebaskan pada masa Kholifah Umar Bin Khothob tahun 18 hijriyah, Abu Yazid
kedua dari tiga bersaudara yaitu: Adam, Thoifur dan Ali, kesemuanya para zahid dan
rajin beribadah, akan tetapi Abu Yazid merupakan sufi yang paling agung diantara
mereka seperti yang dikatakan Qusyairi. Tidak ada literatur yang menjelaskan tentang
kelahirannya. Abu Yazid meninggal pada tahun 261 Hijriah.12
9 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, cet. Ke 7, 1990, hal. 63
10 Harun Nasution, Perkembangan Ilmu Tasawuf di Dunia Islam, dalam orientasi Pengembanagan Ilmu
Agama Islam (Ilmu Tasawuf), Direktorat Jenderal Binbaga Islam Depag RI, Jakarta, 1986, hal. 20.
11 Abdul Qodir Mahmud, Al-falsafat Al-Shufiyah fil-Islam, Daru al-Fikri, tt, hal. 309
12 Qusyairi Al-Naisaburi, Al-Risalah al-Qusyairah fi ilmi al-tasawuf, Dar al-khoir, tt, hal. 48. masalah

Abu Yazid Al-Bisthami


Ade Suryaman

Al-Bisthomi merupakan sufi pertama yang menggunakan istilah fana yang berarti
sufi, 13 hal ini dikuatkan oleh Prof. Nicolson , berbeda dengan pendapat Prof. Masiniyun
yang menyatakan bahwa orang pertama yang menggunakan kata fana adalah Dzunnun
Al-Misri yang meninggal pada tahun 245 H. Al-Bisthomi mengadopsi teori ini dari akar
keyakinan Al-Wahidiyah (monisme) yang terdapat di India. Kemudian merubah teori
dan keyakinannya tentang fana atas ide muroqobah yang memiliki kesamaan arti
dengan falsafah sufi budha India yang terkenal dengan istilah Dhyana dan Samadzi.14
Dhyana artinya merenung dan muroqobah sedang samadzi artinya (al-istighroq)
peleburan. Hubungan antara muroqobah atau taammul dengan istighroq atau fana
artinya kenaikan dari level muroqobah kepada tingkat istighroq, dimana seorang sufi almurid sampai pada tahap dimana muroqib (Tuhan) dan muroqob (hamba) menjadi satu.15
Menurut Abul wafa al-ghonimi at-taftajani, setelah ia menelaah beberapa literatur
yang membahas tentang sufi mengatakan bahwa ungkapan-ungkapan al-bisthami sejalan
dengan al-quran dan as-sunah, dan ia berpendapat bahwa tasawuf yang dikemukakannya
sejalan dengan kedua sumber tersebut.16

C. PENGERTIAN FANA, BAQA DAN ITTIHAD


Sebelum membahas lebih lanjut, saya ingin menjelaskan terlebih dahulu pengertian
atau definisi fana', baqo dan ittihad.
Secara bahasa fana' ( ) merupakan mashdar dari kata kerja faniya ( ) , yafna
( ) yang berarti baada wa halaka ( ) rusak, binasa, musnah, alfani ( )
artinya ( ) orang yang mati.17 Istilah fana' sebenarnya berkaitan dengan istilah
tahun wafat Al-Bisthami dapat dilihat antara lain Abu Abd. Rohman Al-Sulami, Kitab thobaqot alshufiyah, EJ Brill, Leiden, 1960, hal. 60. Farid al-din Attar, Muslim Saints and mistics, terjemahan bahasa
inggris AJ Arberry, Rotledge & Kegan Paul , London, Boston & Henley, 1979, hal. 100, Abdul Qodir
mahmud, Al-falsafah Al-shufiyah fil-Islam, tt, hal. 309.
13 Abdul Qodir mahmud.
14 Abdul Qodir mahmud
15 Abdul Qodir mahmud, 310
16 Abul wafa al-ghonimi al-taftajani, Opcit, hal. 115
17 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-munawwir Arab-Indonesia, Jogjakarta, 1984, hal. 1155.

Abu Yazid Al-Bisthami


Ade Suryaman

baqa'. Baqa' ( ) adalah masdar dari kata baqiya yabqa ( ) yang berarti (

) tetap, tinggal, kekal.18 Sedangkan ittihad ( ) , masdar kata ittahada (


) yang berarti persatuan.19 Berikut ini beberapa istilah yang berkaitan dengan fana'
dan baqa' serta ittihad.
Fana' berarti lenyap, hilang, sirna atau lebur. maksudnya, menurut kamus sufi,
ialah hilangnya kesadaran seseorang terhadap keberadaan dirinya dan alam
sekelilingnya. Hal ini dapat terjadi karena latihan yang berat dan perjuangan yang cukup
panjang dalam pendakian rohani.20
Fana' dalam beberapa pengertian lain:
- keadaan moral yang luhur
- sirnanya sifat-sifat tercela
- terbebas dari hal-hal duniawi
Fana juga berarti:21
a. matinya nafsu, kemauan diri, kesadaran diri
b. tidak memikirkan diri sendiri
c. doa dalam keterpesonaan
d. kedekatan kepada Cahaya Maha Cahaya
Adapun menurut Al-thusi " fana adalah berarti sirnanya pandangan seseorang
terhadap tindakan-tindakannya, karena Alloh menghendaki itu terhadapnya".22 Adapun
Al-qusyairi mengatakan " barangsiapa menyaksikan terjadinya kemampuan di luar
berbagai kondisi hukum maka dikatakan bahwa dia fana dari apapun yang terjadi pada
makhluk"23

18 Ahmad Warson Munawwir, opcit, hal. 109


19 Ahmad Warson Munawwir, opcit, hal. 1647
20Asmaran As., M.A., Pengantar Studi Tasawuf, Rajawali Pers, 1996,hal.386
21 Syaikh Syihabuddin Umar Suhrawardi, 'Awarif al-Ma'arif, Pustaka
Hidayah, 1998,hal.197
22 Abul wafa al-ghonimi al-taftajani, Opcit, hal. 106
23 Abdul Karim Al-qusyairi, Opcit, hal. 37

Abu Yazid Al-Bisthami


Ade Suryaman

Fana Al-Fana berarti hilangnya kesadaran akan hilangnya kesadaran itu. Orang
yang dalam keadaan fana' tidak tahu bahwa ia dalam keadaan fana'. 24 Fana' an nafsi
berarti hilangnya kesadaran seseorang akan wujud dirinya. Fana fi Mahbub berarti lebur
ke dalam yang dicintai (Tuhan).
Baqa' berarti kekal, abadi, lestari. Dalam tasawuf kata ini menujukkan keadaan
kehidupan rohani yang kekal, yakni kembali kepada Wujudnya Yang Kekal setelah
melwati fana'.25
Beberapa pemahaman sufi tentang fana' dan baqa':
o Jika kejahilan dari seseorang hilang (fana'), yang akan tinggal (baqa') ialah
pengetahuannya
o Jika seseorang dapat menghilangkan maksiatnya, yang akan tinggal ialah takwanya
o Siapa yang menghancurkan sifat-sifat buruk tinggal baginya sifat-sifat baik
o Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya, ia akan mempunyai sifat-sifat Tuhan26
Berikut ini nash tentang al-fana':

)( ) (
Semua yang ada di bumi itu akan binasa (faan). Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang
mempunyai kebesaran dan kemuliaan27
Arah ungkapan ini tampak jelas, tapi oleh para sufi diartikan sebagai "gantungan"
doktrin khas mereka tentang kefanaan sifat-sifat manusia melalui kemanunggalan
dengan Tuhan, yang dengan itu sang sufi meraih keabadian (baqa') kehidupan spiritual
dalam Tuhan.28
Selain fana ada juga istilah kasyaf. Kasyaf

dapat diartikan terbuka, yakni

terbukanya tabir pemisah antara hamba dengan Tuhan. Kasyf juga berarti Allah

24 Asmaran As., M.A., Opcit, 1996, hal. 386.


25 Asmaran As., M.A., Opcit, 1996, hal. 366
26 Asmaran As., M.A., Opcit, 1996, hal. 152
27 QS. Al-Rohman, 55: 26-27
28 Asmaran As., M.A., Opcit, 1996, hal. 205
8

Abu Yazid Al-Bisthami


Ade Suryaman

membukakan bagi seseorang untuk dapat melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh orang
lain.29 Berikut ini beberapa kisah-kisah tentang mukasyafah:30
o Nabi Muhammad saw melihat masjid al-Aqsha di Jerusalem ketika kembali dari mi'raj,
bahkan beliau dapat menghitung jumlah tiang masjid tersebut.
o Ketika 'Umar bin Khattab tengah berkhutbah di atas mimbar di Madinah, tiba-tiba
beliau medapat mukasyafah dan melihat pasukan musuh sedang bergerak menyerang
pasukan Sariya di Nihazhar. Tiba-tiba 'Umar berteriak keras, "Wahai Sariya! (pergilah)
ke bukit!". Sariya mendengar, segera pergi ke bukit, dan beroleh kemenangan.
Mukasyafah adalah buah dari zuhud. Zuhud membawa kita melintas alam
syahadah dan memasuki alam gaib. Dengan menggunakan istilah para sufi, zuhud
mengantarkan kita pada alam mukasyafah.31
Sesungguhnya fana' dan kasyaf, bukanlah tujuan para sufi. Keduanya merupakan
akibat dari kondisi psikologis para sufi yang amat mencintai Allah. Menurut para sufi,
fana adalah karunia Allah sebagai pemberian kepada hambaNya; ia tidak bisa diperoleh
lewat usaha dan latihan.32
Kebanyakan kitab-kitab tua seperti Kitab Syarah Hikam Ibni Athoillah AsKandariah, Kitab Manhal-Shofi, Kitab Addurul-Nafs dan lain-lain menggunakan istilahistilah seperti 'binasa' dan 'hapus' untuk menjelaskan maksud fana. Ulama-ulama lainnya
yang banyak menggabungkan beberapa disiplin ilmu lain seperti falsafah menggunakan
istilah-istilah seperti 'lebur', 'larut', 'tenggelam' dan 'lenyap' dalam usaha mereka untuk
memperkatakan sesuatu tentang 'hal' atau 'maqam' fana ini. Di dalam Kitab Arrisalah alQusyairiah disebutkan arti fana itu ialah; Lenyapnya sifat-sifat basyariah (pancaindera)
Maka barang siapa yang telah diliputi Hakikat Ketuhanan sehingga tiada lagi
melihat daripada Alam baru, Alam rupa dan Alam wujud ini, maka dikatakanlah ia telah
fana dari Alam Cipta. Fana berarti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiat lahir dan maksiat
batin) dan kekalnya sifat-sifat terpuji (mahmudah). Bahwa fana itu ialah lenyapnya
29 Asmaran As., M.A., Opcit, 1996, hal. 374
30 Syaikh Syihabuddin Umar Suhrawardi, Opcit, 1998,hal. 98-99
31 Jalaluddin Rakhmat, Renungan-Renungan Sufistik, Penerbit Mizan, 1996, hal. 113
32 Asmaran As., M.A., Opcit, 1996, hal. 157
9

Abu Yazid Al-Bisthami


Ade Suryaman

segala-galanya, lenyap af'alnya/perbuatannya (fana fil af'al), lenyap sifatnya (fana fissifat), lenyap dirinya (fan fiz-zat). Oleh kerana inilah ada di kalangan ahli-hali tasauf
berkata:
"Tasauf itu ialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan Tuhannya kerena kehadiran
hati mereka bersama Allah".33
Demikianlah 'fana; diartikan oleh para kaum sufi secara baik, bahkan fana itulah
merupakan pintu bagi mereka yang ingin menemukan Allah (Liqa Allah) bagi yang
benar-benar mempunyai keinginan dan keimanan yang kuat untuk bertemu dengan Allah
(Salik).34
Untuk mencapai liqa Allah dalam ayat yang tersebut di atas, ada dua kewajiban
yang mesti dilaksanakan yaitu:
Pertama, mengerjakan amalan sholeh dengan menghilangkan semua- sifat-sifat yang
tercela dan menetapkan dengan sifat-sifat yang terpuji yaitu Takhali dan Tahali.
Kedua, meniadakan/menafikan segala sesuatu termasuk dirinya sehingga yang benarbenar wujud/isbat hanya Allah semata-mata dalam beribadat. Itulah arti memfanakan
diri.
Adapun ittihad Dalam

menjelaskan

pengertian

fana',

al-Qusyairi menulis,

"Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya
kesadaran tentang dirinya dan makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap ada, demikian
pula makhluk lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan pada dirinya. Kesadaran
sufi tentang dirinya dan makhluk lain lenyap dan pergi ke dalam diri Tuhan dan
terjadilah ittihad."
Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar ungkapan-ungkapan
ganjil yang dalam istilah sufi disebut syatahat (ucapan teopatis). Syatahat yang
diucapkan Abu Yazid, antara lain, sebagai berikut, "Manusia tobat dari dosanya,
tetapi aku tidak. Aku hanya mengucapkan, tiada Tuhan selain Allah."

33 http://www.mail-archive.com/tasawuf@indoglobal.com/msg00041.html
34 http://suluk98.tripod.com/fana.html

10

Abu Yazid Al-Bisthami


Ade Suryaman

Abu

Yazid

tobat

dengan

lafadz

syahadat demikian, karena lafadz itu

menggambarkan Tuhan masih jauh dari sufi dan berada di belakang tabir. Abu Yazid
ingin berada di hadirat Tuhan, berhadapan langsung dengan Tuhan dan mengatakan
kepadaNya: Tiada Tuhan selain Engkau Dia juga mengucapkan, "Aku tidak heran
melihat cintaku pada-Mu, karena aku hanyalah hamba yang hina. Tetapi aku heran
melihat cinta-Mu padaku, karena Engkau adalah Raja Maha Kuasa."
Kata-kata ini menggambarkan bahwa cinta mendalam Abu Yazid telah dibalas
Tuhan. Lalu, dia berkata lagi, "Aku tidak meminta dari Tuhan kecuali Tuhan."
Seperti halnya Rabi'ah yang tidak meminta surga dari Tuhan dan pula tidak meminta
dijauhkan dari neraka dan yang dikehendakinya hanyalah berada dekat dan bersatu
dengan Tuhan. Dalam mimpi ia bertanya, "Apa jalannya untuk sampai kepadaMu?"
Tuhan menjawab, "Tinggalkan dirimu dan datanglah."

Akhirnya Abu Yazid

dengan meninggalkan dirinya mengalami fana, baqa' dan ittihad. Masalah ittihad, Abu
Yazid menggambarkan dengan kata-kata berikut ini, "Pada suatu ketika aku
dinaikkan kehadirat Tuhan dan Ia berkata, Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihat
engkau. Aku menjawab, kekasih-Ku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu
kehendak-Mu, aku tak

berdaya menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu,

sehingga jika makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata, telah kami lihat
Engkau. Tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah Engkau, karena ketika itu aku tak
ada di sana."35
Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa ia dekat sekali
dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya
ditolak Abu Yazid. Ia tetap meminta bersatu dengan Tuhan. Ini kelihatan dari katakatanya, "Hiasilah aku dengan keesaan-Mu." Permintaan Abu

Yazid

dikabulkan

Tuhan dan terjadilah persatuan, sebagaimana terungkap dari kata-kata berikut ini,
"Abu Yazid, semuanya kecuali engkau adalah makhluk-Ku." Akupun berkata, aku
adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau." 36
35 http://suluk98.tripod.com/fana.html
36 Abul wafa al-ghonimi al-taftajani, Opcit, hal. 116
11

Abu Yazid Al-Bisthami


Ade Suryaman

Dalam literatur tasawuf disebut bahwa dalam ittihad, yang satu memanggil yang
lain dengan kata-kata: Ya ana (Hai aku). Hal ini juga dialami Abu Yazid, seperti
kelihatan dalam ungkapan selanjutnya, "Dialog pun terputus, kata menjadi satu,
bahkan seluruhnya menjadi satu. Maka Ia pun berkata kepadaku, "Hai Engkau, aku
menjawab melalui diri-Nya "Hai Aku." Ia berkata kepadaku, "Engkaulah Yang
Satu." Aku menjawab, "Akulah Yang Satu." Ia berkata lagi, "Engkau adalah
Engkau." Aku menjawab: "Aku adalah Aku."
Yang penting diperhatikan dalam ungkapan diatas adalah kata-kata Abu Yazid
"Aku menjawab melalui diriNya" (Fa qultu bihi). Kata-kata bihi -melalui diri-Nyamenggambarkan bersatunya Abu Yazid dengan Tuhan, rohnya telah melebur dalam
diri Tuhan. Ia tidak ada lagi, yang ada hanyalah Tuhan. Maka yang mengatakan "Hai
Aku Yang Satu" bukan Abu Yazid, tetapi Tuhan melalui Abu Yazid. Dalam arti serupa
inilah harus diartikan kata-kata yang diucapkan lidah sufi ketika berada dalam
ittihad yaitu ata-kata yang pada lahirnya mengandung pengakuan sufi seolah-olah ia
adalah Tuhan. Abu Yazid, seusai sembahyang subuh, mengeluarkan kata-kata, "Maha
Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku, Aku adalah Allah. Tiada Allah selain
Aku, maka sembahlah Aku."37
Dalam istilah sufi, kata-kata tersebut memang diucapkan lidah Abu Yazid, tetapi
itu tidak berarti bahwa ia mengakui dirinya Tuhan. Mengakui dirinya Tuhan adalah
dosa terbesar, dan sebagaimana dilihat pada permulaan makalah ini, agar dapat dekat
kepada Tuhan, sufi haruslah bersih bukan dari dosa saja, tetapi juga dari syubhat.
Maka dosa terbesar tersebut diatas akan membuat Abu Yazid jauh dari Tuhan dan tak
dapat bersatu dengan Dia. Maka dalam pengertian sufi, kata-kata diatas betul keluar
dari mulut Abu Yazid. Dengan kata lain, Tuhanlah yang mengaku diri-Nya Allah
melalui lidah Abu Yazid. Karena itu dia pun mengatakan, "Pergilah, tidak ada di rumah
ini selain Allah Yang Maha Kuasa. Di dalam jubah ini tidak ada selain Allah."
Yang mengucapkan kata-kata itu memang lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak
mengandung pengakuan Abu Yazid bahwa ia adalah Tuhan. Itu adalah kata-kata
37 Abul wafa al-ghonimi al-taftajani, Opcit, hal. 116
12

Abu Yazid Al-Bisthami


Ade Suryaman

Tuhan yang diucapkan melalui lidah Abu Yazid. Sufi lain yang mengalami persatuan
dengan Tuhan adalah Abu Yusuf Al-Hallaj (858-922 M), yang berlainan nasibnya
dengan Abu Yazid. Nasibnya malang karena dijatuhi hukuman bunuh, mayatnya
dibakar dan debunya dibuang ke sungai Tigris. Hal ini karena dia mengatakan,
"(Akulah Yang Maha Benar).38
Pengalaman persatuannya dengan Tuhan tidak disebut ittihad,tetapi hulul. Kalau
Abu Yazid mengalami naik ke langit untuk bersatu

dengan

Tuhan,

al-Hallaj

mengalami persatuannya dengan Tuhan turun ke bumi. Dalam literatur tasawuf hulul
diartikan, Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk bersemayam didalamnya
dengan

sifat-sifat

ketuhanannya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam

tubuh itu dihancurkan.39


Al-thusi menjelaskan bahwa dalam kondisi trance seorang sufi sepenuhnya tidak
bisa mengendalikan dirinya. Karena itu bisa difahami bahwa dalam kondisi begini dia
mengucapkan ungkapan-ungkapan sperti itu. Al-tusyi mengibaratkan hal itu laksana
sungai yang airnya meluap ketepiannya karena penuhnya volume air di sungai tersebut.
Seorang sufi mengucapkan sathahat karena intuisinya penuh dengan persaksian terhadap
tuhan.40
Suatu ketika diceritakan kepada Al-Junaid, bahwa Abu Yazid mengatakan: maha
suci Aku! Maha suci Aku ! Aku inilah Tuhanku yang maha luhur. Maka kata al-Junaid P
Dia begitu terpesona oleh penyaksian terhadap Alloh, sehingga dia mengucapkan apa
yang membuatnya terpesona. Penglihatan terhadap Yang Maha Benar membuatnya
terbuai, di mana tidak ada yang ia saksikan kecuali Yang maha benar, sehingga ia
meratapinya.41
Persoalan ittihad yang dirasakan oleh Abu yazid hanyalah sekedar kesadaran psikis
Abu Yazid. Dia tidak bermaksud untuk benar-benar bersatu karena hal itu bertentangan
dengan akidah islam. Mungkin karena alasan itulah sebagian sufi, seperti al-Junaid, bisa
38 http://suluk98.tripod.com/fana.html
39 http://suluk98.tripod.com/fana.html
40 Abul wafa al-ghonimi al-taftajani, Opcit, hal. 117
41 Abul wafa al-ghonimi al-taftajani, Opcit, hal. 118
13

Abu Yazid Al-Bisthami


Ade Suryaman

memahami ucapan-ucapan ganjil Abu Yazid. Syaikh Abdul Qodir al-Jailani berkata:
terhadap apa yang diucapkan seorang sufi, tidak bisa dijatuhkan hukuman kecuali
terhadap apa yang diucapkan ketika dia sadar"42
Al-Junaid berpendapat bahwa Abu Yazid dengan keagungan kedudukannya dan
ketinggian isyaratnya tidak lepas dari permulaan artinya Abu Yazid belum mencapai
tingkat kesempurnaan dalam tasawufnya, karena sufi yang sempurna tidak akan terbuai
(trance) sehingga mengucapkan syathahat.43
Pendapat demikian dikuatkan oleh Ibn Taimiah, ia mengatakan "sebaiknya
syathahat seperti itu dihapus saja bukan untuk dituturkan dan bukan untuk
dilaksanakan".
D. Penutup
Demikian sejarah singkat Abu Yazid Al-Bisthami dengan konsep tasawwuf dan
konsep Fana dan baqanya, tiada lain semoga kita mampu mengikuti konsep
kedekatannya dengan Tuhan, tanpa melebih-lebihkan dan menyimpang dari konsep
zuhud yang sebenarnya yang pernah diajarkan dan dicontohkan oleh Rosululloh saw.
Walaupun banyak pertentangan tentang konsep fana dan baqo di antara para
ulama namun hal ini tidak perlu menjadi batu sandungan bagi kita untuk senantiasa
bekerja dan berusaha menjadi muslim yang muttaqin. Wallohu alam bishshowab.

DAFTAR PUSTAKA

Abul wafa al-ghonimi al-taftajani, Sufi dari zaman ke zaman, penerbit Pustaka Bandung,
1974
Abd Rahman Badawi, syathahat shufiyah, Kairo, 1949
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-munawwir Arab-Indonesia, Jogjakarta, 1984,
42 abd Rahman Badawi, syathahat shufiyah, Kairo, 1949, hal. 10
43 Abul wafa al-ghonimi al-taftajani, Opcit, hal. 119
14

Abu Yazid Al-Bisthami


Ade Suryaman

Al-quran al-karim
Prof. Dr. Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang Jakarta,
1995.
Annimarie schimmel, Mystical Dimensions Of Islam, university of north carolina Press
Chapel Hill.
Dr. Abdul Qodir Mahmud, Al-filsafat al-shufiyah fi al-Islam, Dar al-Fikri, tt,
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, cet. Ke
7, 1990,
Harun Nasution, Perkembangan Ilmu Tasawuf di Dunia Islam, dalam orientasi
Pengembanagan Ilmu Agama Islam (Ilmu Tasawuf),
Direktorat Jenderal Binbaga Islam Depag RI, Jakarta, 1986.
Qusyairi Al-Naisaburi, Al-Risalah al-Qusyairah fi ilmi al-tasawuf, Dar al-khoir, tt.
Drs. Asmaran As., M.A., Pengantar Studi Tasawuf, Rajawali Pers, 1996.
Syaikh Syihabuddin Umar Suhrawardi, 'Awarif al-Ma'arif, Pustaka Hidayah, 1998.
Jalaluddin Rakhmat, Renungan-Renungan Sufistik, Penerbit Mizan, 1996.
http://www.mail-archive.com/tasawuf@indoglobal.com/msg00041.html
http://suluk98.tripod.com/fana.html
http://media.isnet.org/sufi/Opini/Saksi.html
http://www.google.com

15

Anda mungkin juga menyukai