A. PENDAHULUAN
Dalam diri manusia selalu ada yang namanya spiritualitas, karena spiritualitas berkenaan
dengan hati manusia. Manusia yang ditakdirkan memiliki hati dan perasaan akan konsep
spiritualitas yang membedakan hanyalah tingkat kekuatandan keyakinan akan perasaan itu
muncul dari mana.
Membahas tentang spiritualitas dalam islam dikenal dengan tasawwuf. Disiniakan
membicarakan tentang seberapa besar tingkat spiritualisme manusia yangakan mendekatkan
dirinya pada Tuhan. Sedangkan saat ini, telah banyak orangyang mementingkan dunianya dan
jauh dari Tuhannya. Apalagi ketika merekamencapai titik kesuksesan yang fana. Dan mereka
tidak akan merasakankenikmatan rasa syukur dan kedekatan kepada Alloh yang sesungguhnya.
Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang konsep pendekatan dirikepada Allah
dengan berpegang teguh pada al-Qur‟an dan sunnah yang biasadisebut tasawwuf sunni.
Dari pendapat tersebut bisa diartikan bahwa tasawuf adalah semangat islam sebab semua
hukum islam berdasarkan landasan moral, ketekunan beribadah, ketahan mental, dari berbagai
macam godaan duniawi, konsisten dalam latihan spiritual atau mujahadah dan komitmen yang
tidak terbatas untuk dapat sampai kepada Allah, Tuhan yang Maha Benar (Al-Wujud Al-Haqq).
Sedangkan kata sunni atau ahlussunnah wal jammah, adalah mereka yang senantiasa tegak
diatas islam berdasarkan alqur’an dan hadits, dengan pemahaman para sahabat, tabiin, dan tabiut
tabiin.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tasawuf sunni adalah tasawuf yang berorientasi pada
perbaikan akhlak, mencari hakikat kebenaran dan mewujudkan manusia yang dapat makrifat
kepada Allah, dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan. Tasawuf sunni biasa juga
disebut dengan istilah tasawuf akhlaqi. Tasawuf model ini berusaha untuk mewujudkan akhlak
mulia dalam diri si sufi,
4
sekaligus menghindarkan diri dari akhlak mazmumah (tercela), dengan memadukan aspek
hakekat dan syari’at dan berusaha sungguh-sugguh berpegang teguh terhadap ajaran al-Qur’an,
Sunnah dan Shirah para sahabat.
Dalam diri manusia ada potensi untuk menjadi baik dan ada potensi untuk menjadi buruk.
Tasawuf akhlaki tentu saja berusaha mengembangkan potensi baik supaya manusia menjadi baik,
sekaligus mengendalikan potensi yang buruk supaya tidak berkembang menjadi perilaku
(akhlak) yang buruk. Potensi untuk menjadi baik adalah al-Aql dan al-Qalb. Sementara potensi
untuk menjadi buruk adalah an-nafs (nafsu) yang dibantu oleh syaitan. Hal ini digambarkan
dalam Al-Qur’an surat As-Syam ayat 7-8 yang artinya sebagai berikut : “dan jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikkan
dan ketakwaannya.”
Sebenarnya tasawuf Sunni pada abad ke-3 dan ke-4 hijriyah telah ada, namun disini
belum terlihat jelas bentuk tasawufnya, yang jelas para tokoh yang ada pada saat itu
menggunakan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedomannya. Dan pada abad ke-5 lah, muncul
masalah besar tentang aqidah dan disini banyak muncul kaum suffi yang kembali pada Al-
Qur’an dan Sunnah. Faktor eksternal yang menjadi penyebabnya adalah munculnya pecekcokan
masalah aqidah yang melanda para ulama’ fiqh dan tasawwuf, lebih-lebih pada abad ke-5
hijriah aliran syi’ah al-islamiyah yang berusaha untuk mengembalikan kepemimpinan kepada
keturunan ali bin abi thalib. Dimana syi’ah lebih banyak mempengaruhi para sufi dengan doktrin
bahwa imam yang ghaib akan pindah ketangan sufi yang layak menyandang gelar waliyullah,
dipihak lain para sufi banyak yang dipengaruhi oleh filsafat Neo-Platonisme yang memunculkan
corak pemikiran taawwuf falsafi yang tentunya sangat bertentangan dengan kehidupan para
sahabat dan tabi’in,5 dengan ketegangan inilah muncullah tokoh-tokok sufi, yang menggunakan
al-qur’an, sunnah, dan shiroh sahabat sebagai rujukan ajarannya yang bercorakkan tasawuf
Sunni.
Para sufi, yang menjadi pelopor munculnya tasawuf sunni, sekaligus mengembangkan
dengan ajaran-ajarannya antara lain : Hassan Al-Bashri (21 H-110 H) dalam kitab ihya
ulumuddin, Al-Ghazali berkata “Hassan Al-Bashri merupakan orang yang kata-katanya paling
mirip dengan sabda para nabi, dan paling dekat petunjuknya dari sahabat” 6, Al-Muhasibi (165H-
243H) dengan pemikiran tasawufnya tertuang dalam kitab “Ar-Riayah li Huquqillah” tentang
Hak-Hak Allah Dan Pengaruh Egoisme Terhadapnya, Al-Qusyiari (376 H-465 H)
dengan salah satu pemikiran tasawufnya yaitu Al-Ma’rifat (pengetahuan tentangTuhan secara
dekat), Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali (450 H-505H) dengan konsep tasawuf yang dapat
dicapai melalui dua pendekatan yakni “pendekatan ilmu pengetahuan dan pendekatan amal
perbuatan” , Syekh Al-Islam Sultan Al-Auliya Abdul Qadir Al-Jilani (470 H-561 H) yang
melihat ajaran islam dari dua aspek (lahir dan batin), Rabiah Al-Adhawiyah (-), yang terkenal
dengan konsep mahabbahnya.
Bentuk tasawuf sunni, tidak terlepas dari tokoh yang membawa dan juga mengembangkannya.
Dari hal tersebut terdapat perbedaan-perbedaan unsur pemikiran antara tokoh satu dengan tokoh
lain yang lebih ditonjolkan, namun semua itu mempunyai persamaan syariat dan hakikat, selian
itu dari segi sumber ajarannya, yaitu alqur’an dan hadits, dengan pemahaman para sahabat,
tabiin, dan tabiut tabiin.
1) TOKOH-TOKOH TASAWUF SUNNI DAN BENTUK AJARANNYA
Nama lengkap beliau adalah Abu Sa’id al-Hasan binYasar. Tokoh ini lahir diMadinah
tahun 21 H. (642 M), meninggal di Basrah pada tahun 110 H. (728 M). Ayahnya seorang budak
yang menjadi sekretaris nabi , yaitu Za’id bin Tsabit.
semangat dalam kebaikan segera bangkit dan jika sedikit saja melakukan kesalahan segera ia
menahan diri. Jika menyuruh orang lain beramal ia paling dulu melakukannya, dan jika ia
melarang sesuatu, ia paling dulu meninggalkannya. Ia tidak membutuhkan orang lain, sementara
orang lain membutuhkan dirinya”.
Nama lengkapnya adalah Adul Abdillah al-Haris al-Muhasibi, dilahirkan di Basrah dan
menghabiska sebagian hidupnya di Bagdad. Pemikiran tasawuf tercover dalam kitab utamanya
”Ar-Ri’ayah li huquqillah” ( Hak-hak Allah dan pengaruh egoisme terhadapnya). Misi utama
kitab itu adalah mengembangkan psikologi moral dengan sangat ketat, dan ternyata karyanya ini
berpengaruh kuat pada tradisi tasawuf. Buku al-Muhasibi disusun dalam bentuk dialog antara
guru dan muridnya sendiri. Murid bertanya kepada guru secara singkat kemudian guru menjawab
dengan jawaban yang luas,rinci dan detail.
Bentuk utama egoisme yang dianalisis al-Muhasibi adalah (1) riya yang biasa disebut
narsisisme; (2) kibr didefinisikan oleh al-Muhasibi sebagai tindakan hamba yang menempatkan
dirinya pada kedudukan Tuhan, dalam istilah kontemporer biasa disebut megalomania, yakni
seorang melihat dirinya sebagai pusat realitas (3) ujub, maknanya seorang memperdaya dirinya
sendiri dengan melebih-lebihkan penilaiannya atas segala tindakannya,serta melupakan
kesalahan-kesalahan dirinya. (4)ghirrah, dengannya seseorang berkhayal bahwa penolakannya
untuk merubah perangi buruknya dibenarkan oleh harapannya akan sifat rahmat rahim Allah.
Setiap bentuk egoisme ini berhubungan satu sama lain dan masing-masing melahirkan
sub bentuk egoisme baru, sepertipersaingan, permusuhan, ketamakan serta tafakhur(membangga-
banggakan diri) . masing-masing sub bentuk tersebut memiliki suatu modalitas dalam
hubungannya dengan bentuk-bentuk prinsipal. Oleh sebabitu, terdapat persaingan yang
berladaskan pada kecongkakan dan bentuk persaingan yang berbeda berlandaskan pada kibr dan
‘ujb. Masing-masing
bentuk dan sub bentuk egoisme memiliki penawar dalam kehiduan manusia. Ikhlas, misalnya
adalah penawar bagi riya. Setiap penawar bersumber pada renungan pada keesaan tuhan, Al-
Qur’an , sunnah nabi dan akal sehat manusia selama ia berpijak pada wahyu Ilahi.
3. AL-QUSYAIRI
A. Biografi
Al-Qusyairi nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim ibn Hawazim, lahir tahun 376 H. Di
Istiwa, kawasan Nishapur. Dia berdarah Arab, dan tumbuh dewasa di Nishapur, salah satu pusat
ilmu pengetahuan pada masanya. Disinilah dia bertemu dengan gurunya, Abu Ali Al-Daqaq,
seorang sufi terkenal.
Tasawwuf sunni juga mengajakan akan kesederhanaan, bukan berarti seorang sufi harus
berpakaian compang-camping karena tasawwuf bukan hanya mengemukakan dalam hal
berpakaian tetapi juga dalam kesehatan batin. Dari sisi kehidupan pun manusia bisa belajar
menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi, atau dikenal dengan nama istilah zuhud.
Atau dapat mengikuti proses pendekatan diri pada Allah sesuai maqamat-maqamat yang
dituliskan oleh Al-Ghazali.
Dengan hal ini akan berpengaruh besar terhadap manusia yang akan membawanya
menuju ketentraman hati, pikiran, dan kebahagiaan dunia maupun akhirat.
F. PENUTUP
A. Kesimpulan
Tasawwuf Sunni adalah salah satu tasawwuf yang dapat digunakan untuk
mendekatkan diri kepada Allah, hingga konsep ma’rifat, yang meniadakan hijab antara
Allah dengan seorang sufi.
Dengan berbagai tokoh dan ajarannya yang berbeda, namun tasawwuf sunni
berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah yang menjadikan ajaran itu menjadi satu
kesatuan. Tergantung seorang penempuh jalan tasawwuf akan menggunakan ajaran dari
siapa.
Pengambilan jalan tasawwuf, akan membuat manusia semakin tinggi tingkat
spiritualitasnya, dan tidak tertarik dengan dunia yang fana.
B. Saran
Dalam bertasawwuf sebaiknya melihat dulu ajaran yang ada dalam tasawwuf
tersebut, guna mencocokkan akan kemampuan diri kita dan kenyamanan dalam
menjalaninya. Karena banyak tasawwuf, yang menggunakan ungkapan-ungkapan ganjil,
seperti halnya tasawwuf falsafi.