Anda di halaman 1dari 29

TASAWWUF SUNNI

MAKALAH AKHLAQ TASAWWUF

Disusun Oleh :

Vina Idamatussilmi (14350037)

Sholikah (14350038)

Al-Ahwal As-syakhsiyyah-B

Dosen Pengampu :

Drs. Malik Ibrahim, M.Ag

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2014/2015
ABSTRAK

Rendahnya tingkat kesadaran spiritualitas yang dimiliki manusia saat ini


menjadi problematika tersendiri bagi kalangan Islam. Kekhawatiran akan
kemudahan orang-orang mendapatkan informasipun menjadi bahasan tersendiri.
Yang dikhawatirkan adalah kurang selektifnya orang-orang dalam menerima
ajaran yang baru masuk.

Sikap manusia yang tidak pernah merasa puas, adalah sebuah


keprihatinan. Apalagi ketika mereka telah mencapai titik kesuksesan. Di situ
mereka akan mengalami kegoncangan hati, jika benar-benar jauh dari Sang
Kholiq. Setanpun akan dengan mudah mempengaruhinya melakukan sesuatu yang
buruk dengan apa yang menjadi miliknya, bahkan terhadap yang bukan miliknya.

Dengan adanya sikap bertasawuf, atau setidaknya mencuplik ajaran-ajaran


tasawuf yang dibawa para sufi, nafsu keduniawian tidak akan menjadi bayang-
bayang semu manusia. Seperti ajaran zuhud yang berarti meninggalkan hal-hal
duniawi. Paling minimal adalah tidak terlena dengan keduniawian.

Dan bertasawufpun seharusnya mempunyai pegangan yang jelas. Banyak


tasawuf yang melenceng karena minimalnya kontribusi hati dengan apa yang
menjadi rujukannya. Tasawwuf Suni termasuk tasawuf yang kuat adanya kerena
tasawuf ini berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan konsep yang
ada dalam tasawuf ini manusia akan lebih mengerti akan keberhargaan dunia
tidaklah seberapa dengan akhirat.

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah yang menjadi tugas mata kuliah Akhlaq Taawwuf
ini. Sholawat serta salam kami haturkan kepada Rasulullah SAW, para wali, dan
pengikutnya hingga akhir zaman.

Kami ucapkan terimakasih kepada Drs. Malik Ibrahim, M.ag selaku


pengampu mata kuliah Akhlaq Tasawwuf, yang telah membimbing kami dalam
pembuatan makalah ini. Tak lupa kami ucapkan kepada staff dan karyawan
Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga yang telah menyediakan referensi-referensi,
sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Tak lupa juga kami ucapkan terimakasih
kepada teman-teman yang telah berpartisipasi membantu kami dalam penyusunan
makalan ini.

Semoga makalah ini bermanfaat, dalam proses belajar mengajar, dan di


luar hal akademik. Terimakasih

ii
DAFTAR ISI

ABSTRAK i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I. PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 1

Tujuan 1

BAB II. PEMBAHASAN

Pengertian Tasawwuf Sunni 2

Latar Belakang Munculnya Tasawwuf Sunni 4

Bentuk-Bentuk Tasawwuf Sunni 6

Pengaruh Tasawwuf Sunni 22

BAB III. PENUTUP

Kesimpulan 23

Saran 23

DAFTAR PUSTAKA 24

HALAMAN POWER POINT 25


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam diri manusia selalu ada yang namanya spiritualitas, karena spiritualitas
berkenaan dengan hati manusia. Manusia yang ditakdirkan memiliki hati dan
perasaan akan konsep spiritualitas yang membedakan hanyalah tingkat kekuatan
dan keyakinan akan perasaan itu muncul dari mana.

Membahas tentang spiritualitas dalam islam dikenal dengan tasawwuf. Disini


akan membicarakan tentang seberapa besar tingkat spiritualisme manusia yang
akan mendekatkan dirinya pada Tuhan. Sedangkan saat ini, telah banyak orang
yang mementingkan dunianya dan jauh dari Tuhannya. Apalagi ketika mereka
mencapai titik kesuksesan yang fana. Dan mereka tidak akan merasakan
kenikmatan rasa syukur dan kedekatan kepada Alloh yang sesungguhnya.

Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang konsep pendekatan diri
kepada Allah dengan berpegang teguh pada al-Qur’an dan sunnah yang biasa
disebut tasawwuf sunni.

B. RUMUSAN MASALAH

a. Apa pengertian tasawuf sunni ?


b. Apa latar belakang munculnya tasawuf suni dari faktor eksternal dan
internalnya?
c. Apa bentuk-bentuk dari tasawuf sunni?
d. Apa pengaruh yang ditimbulkan adanya tasawuf sunni?

C. TUJUAN

a. Untuk mengetahui pengertian tasawuf sunni.


b. Untuk mmengetahui latar belakang munculnya tasawuf suni dari faktor
eksternal dan internalnya.
c. Untuk mengetahui bentuk-bentuk dari tasawuf sunni.
d. Untuk mengetahui pengaruh yang ditimbulkan adanya tasawuf sunni.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A.PENGERTIAN TASAWUF SUNNI


Tasawuf menurut al-kattani adalah moral, barang siapa yang diantaramu
semakin bermoral, tentu jiwanya pun semakin bening. 1

Sedangakan menurut Dr.Ahmad Amien, tasawuf adalah ketekunan dalam


beribadah, konsentrasinya langsung berhubungan dengan Allah, menjauhkan diri
dari kemewahan duniawi, berlaku zuhud terhadap hal-hal yang diburu dan
diperebutkan oleh orang banyak, seperti kenikmatan, kekuasaan, dan kedudukan
dan menghindarkan diri dari pergaulan bebas sesama makhluq, menyepi atau
berkhalwah, demi untuk beribadah.2

Dari pendapat tersebut bisa diartikan bahwa tasawuf adalah semangat islam
sebab semua hukum islam berdasarkan landasan moral, ketekunan beribadah,
ketahan mental, dari berbagai macam godaan duniawi, konsisten dalam latihan
spiritual atau mujahadah dan komitmen yang tidak terbatas untuk dapat sampai
kepada Allah, Tuhan yang Maha Benar (Al-Wujud Al-Haqq).

Sedangkan kata sunni atau ahlussunnah wal jammah, adalah mereka yang
senantiasa tegak diatas islam berdasarkan alqur’an dan hadits, dengan pemahaman
para sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin.3

Jadi dapat disimpulkan bahwa tasawuf sunni adalah tasawuf yang berorientasi
pada perbaikan akhlak, mencari hakikat kebenaran dan mewujudkan manusia
yang dapat makrifat kepada Allah, dengan metode-metode tertentu yang telah
dirumuskan. Tasawuf sunni biasa juga disebut dengan istilah tasawuf akhlaqi.
Tasawuf model ini berusaha untuk mewujudkan akhlak mulia dalam diri si sufi,

1.
taftazani, abu alwafa’ al-ghanimi al-, sufi dari zaman ke zaman, Bandung: Pustaka, 1985
hal.10
2.
hasan, muhammad tholhah, ahlussunnah wal jamaah, Jakarta : Lantabora Press, 2003, hal.158
3.
id.wikipedia.org/wiki/sunni

2
sekaligus menghindarkan diri dari akhlak mazmumah (tercela), 4 dengan
memadukan aspek hakekat dan syari’at dan berusaha sungguh-sugguh berpegang
teguh terhadap ajaran al-Qur’an, Sunnah dan Shirah para sahabat.

Dalam diri manusia ada potensi untuk menjadi baik dan ada potensi untuk
menjadi buruk. Tasawuf akhlaki tentu saja berusaha mengembangkan potensi baik
supaya manusia menjadi baik, sekaligus mengendalikan potensi yang buruk
supaya tidak berkembang menjadi perilaku (akhlak) yang buruk. Potensi untuk
menjadi baik adalah al-Aql dan al-Qalb. Sementara potensi untuk menjadi buruk
adalah an-nafs (nafsu) yang dibantu oleh syaitan. Hal ini digambarkan dalam Al-
Qur’an surat As-Syam ayat 7-8 yang artinya sebagai berikut : “dan jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikkan dan ketakwaannya.”

4.
alba, cecep, tasawuf dan tarekat, hal.31

3
B. LATAR BELAKANG MUNCULNYA TASAWUF SUNNI
Latar belakang kemunculan tasawuf Sunni dipengaruhi oleh faktor
eksternal maupun internal. Faktor eksternal yang menyebabkan tasawuf ini
adalah sekitar masalah aqidah-aqidah yang menjadi masalah besar, sedangkan
faktor internalnya adalah kritik-kritik tasawuf yang ada saat itu oleh tokoh-tokoh
suffi yang dipandang menyimpang.

Sebenarnya tasawuf Sunni pada abad ke-3 dan ke-4 hijriyah telah ada,
namun disini belum terlihat jelas bentuk tasawufnya, yang jelas para tokoh yang
ada pada saat itu menggunakan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedomannya. Dan
pada abad ke-5 lah, muncul masalah besar tentang aqidah dan disini banyak
muncul kaum suffi yang kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah. Faktor eksternal
yang menjadi penyebabnya adalah munculnya pecekcokan masalah aqidah yang 
melanda para ulama’ fiqh dan tasawwuf, lebih-lebih pada abad  ke-5 hijriah aliran
syi’ah al-islamiyah yang berusaha untuk mengembalikan kepemimpinan kepada
keturunan ali bin abi thalib. Dimana syi’ah lebih banyak mempengaruhi para sufi
dengan doktrin bahwa imam yang ghaib akan pindah ketangan sufi yang layak
menyandang gelar waliyullah, dipihak lain para sufi banyak yang dipengaruhi
oleh filsafat Neo-Platonisme yang memunculkan corak pemikiran taawwuf falsafi
yang tentunya sangat bertentangan dengan kehidupan para sahabat dan tabi’in,5
dengan ketegangan inilah muncullah tokoh-tokok sufi, yang menggunakan al-
qur’an, sunnah, dan shiroh sahabat sebagai rujukan ajarannya yang bercorakkan
tasawuf Sunni.

Para sufi, yang menjadi pelopor munculnya tasawuf sunni, sekaligus


mengembangkan dengan ajaran-ajarannya antara lain : Hassan Al-Bashri (21 H-
110 H) dalam kitab ihya ulumuddin, Al-Ghazali berkata “Hassan Al-Bashri
merupakan orang yang kata-katanya paling mirip dengan sabda para nabi, dan
paling dekat petunjuknya dari sahabat”6, Al-Muhasibi (165H-243H) dengan
pemikiran tasawufnya tertuang dalam kitab “Ar-Riayah li Huquqillah” tentang
Hak-Hak Allah Dan Pengaruh Egoisme Terhadapnya, Al-Qusyiari (376 H-465 H)

5.
puncakgunung12.blogspot.2013/06/tasawufsunni.com
6.
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, jilid.1, hal.77

4
dengan salah satu pemikiran tasawufnya yaitu Al-Ma’rifat (pengetahuan
tentangTuhan secara dekat), Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali (450 H-505H)
dengan konsep tasawuf yang dapat dicapai melalui dua pendekatan yakni
“pendekatan ilmu pengetahuan dan pendekatan amal perbuatan” , Syekh Al-Islam
Sultan Al-Auliya Abdul Qadir Al-Jilani (470 H-561 H) yang melihat ajaran islam
dari dua aspek (lahir dan batin), Rabiah Al-Adhawiyah (-), yang terkenal dengan
konsep mahabbahnya.

5
C.BENTUK-BENTUK TASAWUF SUNNI

Bentuk tasawuf sunni, tidak terlepas dari tokoh yang membawa dan juga
mengembangkannya. Dari hal tersebut terdapat perbedaan-perbedaan unsur
pemikiran antara tokoh satu dengan tokoh lain yang lebih ditonjolkan, namun
semua itu mempunyai persamaan syariat dan hakikat, selian itu dari segi sumber
ajarannya, yaitu alqur’an dan hadits, dengan pemahaman para sahabat, tabiin, dan
tabiut tabiin.

1) TOKOH-TOKOH TASAWWUF SUNNI DAN BENTUK


AJARANNYA

1. HASAN AL-BASRI DAN BENTUK TASAWUFNYA


A. Biografi

Nama lengkap beliau adalah Abu Sa’id al-Hasan binYasar. Tokoh ini lahir
diMadinah tahun 21 H. (642 M), meninggal di Basrah pada tahun 110 H. (728 M).
Ayahnya seorang budak yang menjadi sekretaris nabi , yaitu Za’id bin Tsabit.

Ia dinisbatkan ke kota Basrah, karena ia lama belajar di Basrah dan


mengembangkan kepakarannya hingga kepuncaknyadikota yang sama. Dari segi
keilmuan, ia sangat unggul dan sangat dalam ilmunya, sehingga ia digelari Syekh
al-Bashrah. Ia seorang faqih ,muhadis, muffasir, sekaligus seorang suffi. Nasihat-
nasihatnya tersebar dalam berbagai kitab,demikian hadist-hadist yang
diriwayatkannya banyak menghiasi kitab-kitab.

“Bergurulah kepada Hasan Basri”, demikian kata Qotadah,”karena saya


sudah menyaksikan sendiri , tidaklah ada seorang tabi’in yang menyerupai sahabat
nabi kecuali beliau (Hasan Basri)”. Khalid bin Safwan menjelaskan kepada
maslamah bin Abdul Malik tentang Hasan Basri. “Hasan adalah orang yang saat
sendirinya sama dengan berada dimuka umum. Jika merasa tidak

6
semangat dalam kebaikan segera bangkit dan jika sedikit saja melakukan
kesalahan segera ia menahan diri. Jika menyuruh orang lain beramal ia paling
dulu melakukannya, dan jika ia melarang sesuatu, ia paling dulu
meninggalkannya. Ia tidak membutuhkan orang lain, sementara orang lain
membutuhkan dirinya”.

B. Bentuk Ajaran Tasawuf Hasan Basri


1. Perasaan takutmu sehingga bertemu dengan hati tenteram lebih baik
daripada perasaan tenterammu yang kemudian menimbulkan rasa takut.
2. Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dengan dunia
dengan rasa benci dan zuhud, maka bahagialah dia dan ia mendapat faidah
dalam persahabatan itu. Tetapi barang siapa yang tinggal dalam dunia, lalu
hatinya rindu dan perasaannya tersangkut kepada dunia maka akhirnya ia
akan sengsara. Dia akn terbawa pada suatu masa yang tidak dapat
dideritanya.
3. Tafakur membawa kita pada keaikan dan berusaha mengerjakannya.
Menyesal atas perbuatan jahat dan meninggalkannya. Barang yang fana
walau bagaimana banyaknya tidaklah dapat menyamai barang yang baqa’
walaupun sedikit. Awasilah dirimu dari negeri yang cepat datang dan cept
pergi juga karena tipuan.
4. Dunia ini laksana seorang nenek tua yang telah bungkuk dan telah banyak
kematian laki-laki.
5. Orang yang beriman berduka cita pagi-pagi dan berduka cita diwaktu sore,
karena ia hidp dalam dua ketakutan, takut mengenang dosa yang telah
lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal dan tahu bahaya
apakah yang sedang mengancam.
6. Patutlah orang insaf bahwa mati sedang mengancamnya, dan kiamat
menagih janjinya, dan ia mesti berdiri dihadapan Allah akan dihisab
(dihitung amalnya).
7. Banyak duka cita didunia memperteguh amal sholeh.7

7.
Hamka, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, hal, 78

7
2. AL-MUHASIBI (W.243 H/857 M)

A. Biografi

Nama lengkapnya adalah Adul Abdillah al-Haris al-Muhasibi, dilahirkan


di Basrah dan menghabiska sebagian hidupnya di Bagdad. Pemikiran tasawuf
tercover dalam kitab utamanya ”Ar-Ri’ayah li huquqillah” ( Hak-hak Allah dan
pengaruh egoisme terhadapnya). Misi utama kitab itu adalah mengembangkan
psikologi moral dengan sangat ketat, dan ternyata karyanya ini berpengaruh kuat
pada tradisi tasawuf. Buku al-Muhasibi disusun dalam bentuk dialog antara guru
dan muridnya sendiri. Murid bertanya kepada guru secara singkat kemudian guru
menjawab dengan jawaban yang luas,rinci dan detail.

B. Bentuk Ajaran Tasawuf Al-Muhasibi

Bentuk utama egoisme yang dianalisis al-Muhasibi adalah (1) riya yang
biasa disebut narsisisme; (2) kibr didefinisikan oleh al-Muhasibi sebagai tindakan
hamba yang menempatkan dirinya pada kedudukan Tuhan, dalam istilah
kontemporer biasa disebut megalomania, yakni seorang melihat dirinya sebagai
pusat realitas (3) ujub, maknanya seorang memperdaya dirinya sendiri dengan
melebih-lebihkan penilaiannya atas segala tindakannya,serta melupakan
kesalahan-kesalahan dirinya. (4)ghirrah, dengannya seseorang berkhayal bahwa
penolakannya untuk merubah perangi buruknya dibenarkan oleh harapannya akan
sifat rahmat rahim Allah.

Setiap bentuk egoisme ini berhubungan satu sama lain dan masing-masing
melahirkan sub bentuk egoisme baru, sepertipersaingan, permusuhan, ketamakan
serta tafakhur(membangga-banggakan diri) . masing-masing sub bentuk tersebut
memiliki suatu modalitas dalam hubungannya dengan bentuk-bentuk prinsipal.
Oleh sebabitu, terdapat persaingan yang berladaskan pada kecongkakan dan
bentuk persaingan yang berbeda berlandaskan pada kibr dan ‘ujb. Masing-masing

8
bentuk dan sub bentuk egoisme memiliki penawar dalam kehiduan manusia.
Ikhlas, misalnya adalah penawar bagi riya. Setiap penawar bersumber pada
renungan pada keesaan tuhan, Al-Qur’an , sunnah nabi dan akal sehat manusia
selama ia berpijak pada wahyu Ilahi. 8

3. AL-QUSYAIRI
A. Biografi

Al-Qusyairi nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim ibn Hawazim, lahir


tahun 376 H. Di Istiwa, kawasan Nishapur. Dia berdarah Arab, dan tumbuh
dewasa di Nishapur, salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Disinilah
dia bertemu dengan gurunya, Abu Ali Al-Daqaq, seorang sufi terkenal.

B. Bentuk Ajaran Tasawwuf Al-Qusyairi


Beliau adalah tokoh sufi yang mampu mengkompromikan syariat dan
hakikat. Dan rujukannya pada doktrin Ahlussunnah Waljamaah, yang dalam hal
ini ialah dengan mengikuti tokoh-tokoh sufi Sunni pada abad ketiga-keempat
Hijriyah yang sebagaiman diriwayatkannya dalam Ar-Risalah. Adapun beberapa
ajarannya yaitu :
 Membina prinsip tasawuf atas landasan tauhid yang benar, agar jauh
dari adanya penyimpangan.
 Menolak tasawwuf Syathoiyyah, yaitu tasawwuf yang mengungkapkan
adanya penyatuan dengan Tuhan.
 Tidak setuju dengan pakaian sufi yang compang-camping, karna
baginya tasawuf bukanlah masalah pakaian namun masalah batin.

8
. Terbakar Cinta Tuhan Kajian Ekslusif Spiritualisme Islam awal, karya Michael A.Sells, judul
asli, Early Islamic Mysicam:sufi, Al-Qur’an , Mi’raj , oeticand Theological Writings, hal 227

9
4. AL-GHAZALI DAN BENTUK TASAWUFNYA
A. Biografi Dan Sejarah Ketasawufannya

Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad Ibn


Muhammad ibn Ahmad, karena kedudukan tingginya dalam Islam, di digelari
Hujjatul Islam. Ayahnya, menurut sebagian penulis biografi, bekerja sebagai
pemintal wol. Dari latar itulah sufi kita ini terkenal dengan Al-Ghazali (yang
pemintal wol), sekalipun dia terkenal pula dengan Al-Ghazali, sebagaimana
halnya diriwayatkan Al-Sam’ani dalam karyanya, Al-Anshab, yang dinisbatkan
pada satu kawasan yang disebut Ghazalah.

Selama periode kehidupannya Al-Ghazali menimba dan mempelajari


banyak cabang ilmu pengetahuan, dan juga filsafat. Dia mempelajari ilmu-ilmu
tersebut, barangkali, untuk menghilangkan keraguan sejak dia mengajar. Tetapi
ternyata ilmu –ilmu itu tidak memberinya ketenangan jiwa. Kegelisahan jiwanya
malah semakin menggelira sampai membuatnya tertimpa krisis psikis yang kronis.

Mengenai krisis yang terjadi pada Al-Ghazali, beliau berkata: “Lalu


keadaan diriku pun kurenungi, dan ternyata aku telah tenggelam dalam ikatan-
ikatan (yang bercorak duniawi) yang meliputi diriku dari segala sudut. Amalan-
amalanku pun ku renungi, khususnya amalanku yang terbaik yaitu mengajar,dan
ternyata aku menerima ilmu-ilmu yang sepele dan tidak berguna. Akupun lalu
memikirkan niatku dalam mengajar, dan ternyata niatku tidak ikhlas demi Allah.
Bahkan hanya didorong terhadap jabatan dan keinginan untk menjadi terkenal.
Aku pun menjadi yakin bahwa aku hampir mengalami kehancuran, dan aku benar-
benar tidak akan lepas dari neraka, andai saja aku tidak meinggalkan hal-hal
sepele tersebut.” 9, inilah salah satu ucapan beliau pada saat itu.
Maka ketika beliau menyadari ketidakmampuannya, dan hilang seluruh
kesanggupannya untuk memutuskan, maka beliaupun memutuskan menuju Allah,
sebagaimana kembalinya orang yang yang tersudut dan tanpa daya.
Begitulah timbulnya kecenderungan ke arah tasawuf pada diri Al-Ghazali.

9.
taftazani, abu alwafa’ al-ghanimi al-, sufi dari zaman ke zaman, hal.150

10
Periode awal kehidupan spiritualnya tersebut merupakan persiapan psikis bagi
beliau untuk menempuh jalan tasawuf. Periode spiritualya itu sendiri ditandai
dengan berbagai kondisi intuitif, seperti keraguan, kegelisahan, rasa bosan, rasa
sedih yang mendalam, rasa takut kepada sesuatu yang tidak diketahui, upaya
memahami realitas alam dan menyingkapkan yang dibaliknya, dan perasaan-
perasaan samar lainnya, yang kesemua itu akhirnya menuju Allah.
Dalam tasawuf, pilihan Al-Ghazali jatuh pada tasawuf Sunni yang
berdasarkan doktrin Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Dari paham tasawufnya itu dia
menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang mempengaruhi para filosof
Islam, sekte Islamiyyah dan aliran Syiah, Ikhwanus Shafa, dan lain-lainnya. Juga
beliau menjauhkan tasawufnya dari teori-teori ketuhanan menurut Aristoteles,
antara lain dari teori emanasi dan penyatuan. Sehingga dapat dikatakan bahwa
tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam.
Dan akhirnya, sekalipun Al-Ghazali dalam tasawufnya mengarah pada
aliran murni, namun pengetahuannya yang luas dalam bidang filsafat membuatnya
mampu menguraikan, menganalisa, bahkan memperbandingkan masalah-masalah
tasawuf yang dikajinya. Disamping itu beliau mempunyai kecakapan dalam
mengkritik aliran-aliran yang bertentangan dengan tasawuf Sunni, serta
memancangkan persoalan-persoalan yang beliau kemukakan. Atas upayanya
tersebut, seperti dikatakan Macdonald, “ Beliau membuat tasawuf mempunyai
posisi terhormat dalam kalangan kaum muslimin yang Sunni”

B. Bentuk Tasawuf Al-Ghazali

Al-Ghazali setelah mengkaji aliran-aliran para teolog, filosof, dan


batiniyah tersebut, akhirnya memilih jalan tasawuf. Menurut beliau, para sufilah
pencari kebenaran yang paling haqiqi. Lebih jauh lagi, menurutnya jaln para sufi
adalah paduan ilmu dengan amal, smentara sebagai buahnya adalah moralitas.
Juga tampak olehnya, bahwa mempelajari ilmu para sufi lewat karya-karya
mereka ternyata lebih mudah tinimbang mengamalkannya. Bahkan ternyata pula

11
bahwa keistimewaan khusus milik para sufi tidak mungkin tercapai hanya dengan
belajar, tapi harus dengan ketersingkapan batin, keadaan rohaniah, serta
penggantian tabiat-tabiat. Dengan demikian, menurutnya, tasawuf adalah
semacam pengalaman maupun penderitaan yang riil.

Karena itu, sebagaimana yang dinyatakan Al-Ghazali,para sufi adalah


“orang-orang yang lebih mengutamakan keadaan rohaniah tinimbang ucapannya”.

Ringkasnya, Al-Ghazali patut disebut telah berhasil mendeskripsikan jalan


menuju Allah sejak permulaan dalam bentuk latihan jiwa, lalu menempuh fase-
fase pencapaian rohaniah dalam tingkatan serta keadaan menurut jalan tersebut,
yang akhirnya sampai pada kefanaan, tauhid, ma’rifat, dan kebahagiaan. Dalam
perinciannya sebagai berikut :

b.1. Jalan (At-Thoriq)


Al-Ghazali berpendapat bahwa yang dimaksud jalan para sufi adalah “
penyucian diri, pembersihannya, serta pencerahannya, lalu persiapan dan
penantian (ma’rifat)”
Jadi tujuan jalan para sufi adalah penempuhan fase-fase moral dengan latihan
jiwa, serta penggantian moral yang tercela dengan moral yang terpuji. Sehingga
dengan ini, penempuh jalan sufi tersebut akan mencapai pengenalan Allah.
Dengan kata lain, poros penempuh jalan sufi adalah moralitas.

Penempuh jalan sufi, harus konsisten menjalani hidup menyendiri, diam,


menahan lapar, dan tidak tidur malam hari. Hal ini semua dimaksudkan untuk
membina kalbunya, supaya dia dapat menyaksikan Tuhannya.
b.2. Ma’rifat
Ma’rifah adalah penyaksian hati yang mendapatkan pencerahan nur Illahi
sehingga mampu mendekat dan mendapat kasyaf/ keterbukaan kepada Allah.10
Menurut Al-Ghazali, “ sarana ma’rifat seorang sufi adalah kalbu”, bukan perasaan

10.
hasan, muhammad tholhah, ahlussunnah wal jamaah, hal.182

12
dan bukan pula akal budi.
Untuk mencapai tingkat ma’rifah, para sufi berusaha melakukan beberapa
tahap perjalanan rohani (suluk), antara lain yang dipandang sangat mendasar :
a.) At-Taubah
At-Taubah atau yang sering kita sebut dengan tobat terbagi menjadi 3 jenjang
dalam penempuhannya, yang pertama At-Taubah, merupakan taubatnya orang
yang takut akan siksaan dan hukuman Tuhan. Yang kedua Al-Inabah, yaitu
taubatnya orang yang mengiginkan pahala. Dan yang ketiga adalah Al-Aubah,
yaitu taubatnya orag yang mematuhi perintah Tuhannya, bukan karena takut
disiksa ataupun menginginkan pahala.
b.) Az-Zuhd
Zuhud adalah meninggalkan kesenangan duniawi dan mengharapkan kesenangan
ukhrowi. Sifat dan sikap zuhud telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW kepada
sahabat-sahabatnya. Mereka menganggap harta dan kenikmatan duniawi ini
sebagai hal yang tidak penting, terlalu kecil dibanding kenikmatan akhirat, terlalu
rendah nilainya dibanding kekayaan akhirat.
Menurut Al-Ghazali Zuhud memunyai 3 tingkatan, pertama zuhud terhadap dunia
(barang-barang duniawi), dia merasakan hal yang berat, karena sesungguhnya dia
masih menginginkan namun berusaha untuk melawan. Orang ini disebut “Al-
Mutazahid” (belajar zuhud), yang kedua orang yang siap meninggalkan barang
duniawi dengan sukarela, orang ini disebut dengan “Az-Zahid”. Dan yang ketiga
adalah orang yang tidak merasakan adanya keberatan apapun meninggalkan
masalah dunia, karena memang dia sudah tidak lagi tertarik dengan hal dunia.
Orang ini disebut “Az-Zahid Al-Kamil” (orang yang sempurna kezuhudannya).
c.) Al-Wara’
Kata ini asalnya mempunyai arti “menahan diri” atan “pengendalian diri”. Wara’
ada tiga tingkatan, pertama wara’nya orang awam (wara’al awam), yang
menahan diri dari melakukan segala hal yang tidak layak dilakukun meskipun itu
bukan barang maksiat, termasuk menjauhkan diri dari semua barang syubhat
(Yang tidak jelas hukumnya). Kedua, wara’nya orang khas (wara’al khusus),

13
yakni menjauhkan diri dari segala apa saja yang dapat mengganggu hati-hatinya,
atau mengganggu hak orang lain. Ketiga, wara’nya orang yang sangat khusus
(wara’ khushusi al-khusus) yang menjauhi segala hal selain Allah dengan
menjelaskan bahwa Al-Wara’ itu menjauhkan diri dari segala hal berbau syubhat
dan Az-Zuhd adalah meninggalkan hal-hal yang melebihi kebutuhan pokok.
d.) At-Tawadlu
At-Tawadlu makksudnya dalah berlaku sopan terhadap semua manusia apalagi
terhadap Allah, sebab tawadlu merupakan penjaban dari akhlaq luhur (khusnu al-
khuluq/makarimal akhlaq) yag menjadi indikasi kualitas agama seseorang maka
sifat dan sikap serta perilaku yang dinilai menjadi sumber segala dosa yakni: Al-
Kibr, Al-Hisr, Al-Hasad, Ro’su kulli khati’ah, Al-Kidzb, Al-Hibah, Fitnah, An-
Namimah
e.) Al-Muroqobah
Adalah kesadaran yang intens bahwa Allah selalu memantau dan mengawasi
segala niat, sikap dan perilaku manusia dalam segala situasi di semua tempat dan
waktu.
f.) Adz-Dzikr
Adalah mengingat Allah baik dengan lisan maupun dengan hati.
g.) Al-Istiqomah
Prinsip istiqomah menuntut perpaduan ketat antara menjalankan ketaatan, dan
menjauhi kemaksiatan yang hakikatnya hanya dapan dilakukan secara sempurna
oleh para nabi dan auliya.
Syech Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan bahwa istiqamah itu dimulai dari At-
Taqwim (mendisiplinkan diri), kemudian Al-Iqomah (meluruskan hati), dan
setelah itu baru Al-Istiqomah (mendekatkan hati nurani terus menerus kepada
Allah.11
Dan itulah yang sering disebut dengan maqamat-maqamat yang harus ditempuh
para sufi menurut Al-Ghazali.

11.
hasan, muhammad tholhah, ahlussunnah wal jamaah, hal.198

14
b.3 Fana dalam Tauhid atau Ilmu Mukasyafah
Adalah ketika seseorang tidak melihat yang selain Allah serta tidak tahu
yang selainnya. Yang dia tau hanyalah Allah dan kreasi-kreasiNya. Dengan itu
tidak ada yang dikenalnya kecuali Allah, tidak ada yang dicintainya kecuali
Allah.Dia juga tidak akan memandang dari dirinya sndiri, tapi dari segi
predikatnya sebagai hamba Allah.
b.4 Pengungkapan Ilmu Mukasyafah Secara Simbolis
Ilmu mukasyafah adalah ilmu yang tersembunyi, dan hanya diketahui bagi
mereka orang yang benar-benar mengenal Allah. Karena itu mereka hanya akan
menggunakan simbol-simbol khusus serta tidak akan memperbincangkannya
diluar kalangan sendiri.
b.5 Kebahagiaan
Inilah tujuan terakhir jalan para sufi, sebagai buah pengenalan terhadap
Allah.

5. SYEKH ABDUL QADIR AL-JILANI


A. Biografi

Nama lengkap beliau adalah as-Syaikh al-iman az-Zahid al-Arif al-


Qudwah, Syekh al-Islam, Sultan al-Auliya, Imam al-Asfiya , Muhyid-din wa as-
Sunah wa Mumit al-Bid’ah , Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abu Salih
Abdullah bin Janki Ddus in Yahya bin Muhammad bin Daud bin Musa bin
Abdillah bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib, al-Jaili, Asy-Syafi’i , al-Hanbali,
Syekh Baghdad.

Ibunya adalah Um al-Khair (induk kebaikian) , amat al-Jabbar (khadam


Tuhan yang Maha Perkasa), Fatimah binti Abdul Abdillah as-Suma’i, seorang ibu
yang banyak memiliki karamat dan ahwal.

15
Sultan al-Auliya dilahirkan pada pertengahan bulan ramadhan pada tahun
471 H di kampung Jilan. Di Jilan beliau hidup hingga berusia delapan belas tahun.
Pada tahun 488 H ia pindah ke Bagdad dan menetap disana hingga akhir
hayatnya.

Pada masa studi Sultan al-Auliya tahu bahwa mencari ilmu itu hukumnya
wajib kepada setiap muslim dan muslimat. Oleh karena itu, dalam usia yang
masih muda ia belajar berbagai disiplin ilmu daripada ulama yang mumpuni
dizamannya. Ia mulai belajar al-Qur’an dibawah bimbingan Abual-Wafa ‘Ali bin
‘Uqail al-Hanbani dan ulama yang lainnya. Ia belajar hadist melalui banyak
tangan para ahli hadist yang masyhur di zamannya, seperti Abu Ghalib
Muhammad bin Hasan al-Balaqalani dan yang lainnya. Ia mempelajari fiqih
melalui tangan ulama-ulama fiqih yang masyhur dizamannya seperti Abu Zaid al-
Muhrimi yang darinya ia mengambil hirqah yang mulia. Bahasa dan sastra
dipelajari juga dari Abu Zakaria Yahya bin Ali at-Tabrizi, Shahib Hammad Ad-
Dabbas dan dari yang tersebut terakhir ia juga mengambil tarekat.

Latar belakang studinya yang amat sistematis mengantarkan ia keposisi


yang amat tinggi, ia mumpuni dalam ilmu aqidah syariah, tariqah, lugah dan
sastra. Ia menjadi tokoh utama dalam mazhab Hanbali dan tempat orang bertanya
dalam mazhab ini. Allah memasukkan kedalam hatinya hikmah yang nampak
dalam lisannya setiap kali ia memberi tausiyah majelis-majelis pengajian.

Pada bulan syawal tahun 521 H, Sultan al-Auliya memberikan ceramah di


madrasah Abu Said Al- Mukhrimi bab al-Ujaj Bagdad, dan setiap kali pengajian
banyak ulama yang hadir sekitar tujuh puluh ribu orang.baik ahli kalam, fikih,
hadist, para sufi dan para cerdik cendikiawan lainnya.

B. Bentuk Ajaran Tasawuf Syekh Abdul Qodir Al-Jilani

Seperti halnya sufi yang lain Syekh Abdul Qadir al-Jilani melihat ajaran
islam dari dua aspek. Yaitu lahir dan batin, demikian juga setiap ayat dalam al-

16
Qur’an bagi nya ada yang mengandung makna lahir dan batin. Sebagai contoh,
taharah yang berarti bersuci terbagi pada dua bagian, Pertama, penyucian diri
secara lahiriah. Hal ini diperintahkan oleh agama dan caranya dengan mencuci
anggota badab atau tubuh dengan air suci, dalam bentuk wudhu maupun mandi.
Nabi SAW bersabda:

“Barang siapa yang memperbaharui wudhu maka Allah memperbaharui


imannya”

Kedua, penyucian diri secara batiniah diawali dengan adanya kesadaran akan
adanya kotorandalam wujud diri seseorang sehingga menjadi sadar terhadap dosa-
dosanya dan secara sungguh-sungguh menyesalidosa-dosa tersebut. Cara
penyucian batiniah ini harus mengambil jalan spiritual dan diajarkan serta
dibimbing oleh guru spiritual, yaitu dengan taubat, talqin az-Dzikir, tasfiah, dan
suluk.

Dalam aspek ibadah Syek bukan hanya memetingkan ibadah fardhu, yang
nawafil pun menjadi perhatian utama dalam kehidupan kesehariannya. Amal-amal
sunnah yang menjadi amalan TQN sebagaimana diamalkan di PP suryalana, itulah
ajaran tuan Syekh Adul Qadir al-Jilani.9 Sedangkan riyadoh yang tidak pernah
ditinggalkannya adalah dzikrullah. Pedoman aurad yang dipandang representasi
ajaran tuan Syekh Adul Qadir al-Jilani telah ditulis oleh Syekh Ahmad Khatib
Sambas dalam bukunya Fathul Arifin, yang kemudian dibukukan secara
komprehensif olh Abah Anon dalam kitab Uquq al-Juman.12

12.
alba, cecep, tasawuf dan tarekat, hal.31

17
6. ROBIAH AL-ADHAWIYYAH
A. Biografi
Sosok sufi perempuan ini sangat dikenal dalam dunia tasawuf. Ia hidup di
abad kedua Hijriah, dan meninggal pada tahun 185 H. Meski ia hidup di Bashrah
sebagai seorang hamba sahaya dari keluarga Atiq, hal itu tidak menghalanginya
tumbuh menjadi seorang sufi yang disegani di zamannya, bahkan hingga di zaman
modern sekarang ini.
Corak tasawuf Rabi’ah yang begitu menonjolkan cinta kepada Tuhan tanpa
pamrih apapun merupakan suatu corak tasawuf yang baru di zamannya. Pada saat
itu, tasawuf lebih didominasi corak kehidupan zuhud (asketisme) yang
sebelumnya dikembangkan oleh Hasan al-Bashri yang mendasarkan ajarannya
pada rasa takut(khauf) kepada Allah. Corak tasawuf yang dikembangkan oleh
Rabi’ah tersebut kelak membuatnya begitu dikenal dan menduduki posisi penting
dalam dunia tasawuf.
Saking besar dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada Allah, maka seolah cintanya
telah memenuhi seluruh kalbunya. Tak ada lagi tersisa ruang di hatinya untuk
mencintai selain Allah, bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun. Pun, tak ada
ruang lagi di kalbunya untuk membenci apapun, bahkan kepada setan sekalipun.
Seluruh hatinya telah penuh dengan cinta kepada Tuhan semata. Hal ini juga
Rabi’ah tunjukkan dengan memutuskan untuk tidak menikah sepanjang hidupnya,
karena ia menganggap seluruh diri dan hidupnya hanya untuk Allah semata.13

B. Bentuk Ajaran Tasawuf Robiah Al-Adhawiyyah

1.        Makna Cinta di Kalangan Sufi


Dalam tasawuf, konsep cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan sebagai
bentuk cinta kepada Tuhan.14 Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan
melahirkan bentuk kasih sayang kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam
semesta. Hal ini bisa dilacak pada dalil-dalil syara’, baik dalam Alquran maupun
hadis yang menunjukkan tentang persoalan cinta. Sebagian dalil tersebut telah

13
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, hal. 74
14
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, hal. 70

18
disebutkan pada bagian sebelumnya dalam makalah ini.
Secara terminologis, sebagaimana dikatakan al-Ghazali, cinta adalah suatu
kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Apabila
kecenderungan itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan rindu. Sedangkan
sebaliknya, benci adalah kecenderungan untuk menghindari sesuatu yang
menyakiti. Apabila kecenderungan untuk menghindari itu mendalam dan
menguat, maka ia dinamakan dendam.
Menurut Abu Yazid al-Busthami mengatakan bahwa cinta adalah
menganggap sedikit milikmu yang sedikit dan menganggap banyak milik Dzat
yang kau cintai. Sementara Sahl bin Abdullah al-Tustari menyatakan bahwa cinta
adalah melakukan tindak-tanduk ketaatan dan menghindari tindak-tanduk
kedurhakaan. 15
Bagi al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Artinya,
kecenderungan hati seseorang kepada Allah dan segala milik-Nya tanpa rasa
beban.

2.        Cinta Sejati adalah Cinta kepada Allah


Bagi al-Ghazali, orang yang mencintai selain Allah, tapi cintanya tidak
disandarkan kepada Allah, maka hal itu karena kebodohan dan kepicikan orang
tersebut dalam mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah SAW, misalnya, adalah
sesuatu yang terpuji karena cinta tersebut merupakan manifestasi cinta kepada
Allah. Hal itu karena Rasulullah adalah orang yang dicintai Allah. Dengan
demikian, mencintai orang yang dicintai oleh Allah, berarti juga mencintai Allah
itu sendiri. Begitu pula semua bentuk cinta yang ada. Semuanya berpulang kepada
cinta terhadap Allah.
Jika sudah dipahami dan disadari dengan baik lima sebab timbulnya cinta
yang telah diuraikan al-Ghazali sebelumnya, maka juga bisa disadari bahwa hanya
Allah yang mampu mengumpulkan sekaligus kelima faktor penyebab cinta
tersebut. Kelima faktor penyebab tersebut terjadi pada diri manusia hanyalah
bersifat metaforis (majazi), dan bukanlah hakiki. Hanya Allah Yang Maha
Sempurna. Ia tidak bergantung kepada apapun dan siapa pun. Kesempurnaan

15.
Al-Hujwairi, Kasyful Mahjub, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM, hal. 278-279

19
itulah yang akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta terhadap
Allah.

3.        Mahabbah: antara Maqam  dan Hal


Sebagaimana diketahui, dalam terminologi tasawuf ada istilah
maqam (tingkatan) dan hal (keadaan, kondisi kejiwaan). Menurut as-Sarraj ath-
Thusi dalam kitabnya al-Luma’, maqam  merujuk kepada tingkatan seorang
hamba
di depan Tuhan pada suatu tingkat yang ia ditempatkan di dalamnya, berupa
ibadah, mujahadah, riyadhah, dan keterputusan (inqitha’) kepada Allah.
Sedangkan hal adalah apa yang terdapat di dalam jiwa atau sesuatu keadaan yang
ditempati oleh hati. Sementara menurut al-Junaid, hal adalah suatu “tempat” yang
berada di dalam jiwa dan tidak statis.
Menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah (mahabbah) merupakan
tingkatan (maqam) puncak dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak ada lagi
tingkatan setelah mahabbah selain hanya sekedar efek sampingnya saja, seperti
rindu (syauq), mesra (uns), rela (ridla), dan sifat-sifat lain yang serupa. Di
samping itu, tidak ada satu tingkatan pun sebelum mahabbah selain hanya
sekedar pendahuluan atau pengantar menuju ke arah mahabbah,  seperti taubat,
sabar, zuhud, dan lain-lain. Cinta sebagai maqam ini juga diamini oleh Ibn Arabi.
Menurutnya, cinta merupakan maqam ilahi. Berbeda dengan al-Ghazali, menurut
al-Qusyairi, mahabbah merupakan termasuk hal.  Bagi al-Qusyairi, cinta kepada
Tuhan (mahabbah) merupakan suatu keadaan yang mulia saat Tuhan bersaksi
untuk sang hamba atas keadaannya tersebut. Tuhan memberitahukan tentang
cinta-Nya kepada sang hamba. Dengan demikian, Tuhan disifati sebagai yang
mencintai sang hamba. Selanjutnya, sang hamba pun disifati sebagai yang
mencintai Tuhan.

4.        Tingkatan Cinta


Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada
Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta. Pertama, cinta orang-orang awam. Cina
20
seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-
ciri cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan (zikir)  yang terus-menerus. Karena
jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan
menyebutnya.
Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini
timbul karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan,
kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah
“terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah
lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan
duniawi).
Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini timbul dari
penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa
sebab (illat) apapun. Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta ini adalah terputusnya
cinta dari hati dan tubuh sehingga cinta tidak lagi bersemayam di dalamnya,
namun yang bersemayam hanyalah segala sesuatu dengan danuntuk Allah.
Sedangkan menurut Abu Ya’qub as-Susi, cirinya alah berpaling dari cinta menuju
kepada Yang Dicintai. Sementara al-Junaid menambahkan bahwa ciri cinta
macam ini adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai kepada yang mencintai
sebagai pengganti sifat-sifatnya.

21
D. PENGARUH MUNCULNYA TASAWUF SUNNI
Adanya tasawuf sunni membuat manusia sadar akan pentingnya
mendekatkan diri pada Allah. Dengan berpegang teguh pada al-Qur’an dan
sunnah, akan meminimalisir bahkan menjauhkan dari adanya penyelewengan
dalam bertasawwuf.

Tasawwuf sunni juga mengajakan akan kesederhanaan, bukan berarti


seorang sufi harus berpakaian compang-camping karena tasawwuf bukan hanya
mengemukakan dalam hal berpakaian tetapi juga dalam kesehatan batin. Dari sisi
kehidupan pun manusia bisa belajar menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat
duniawi, atau dikenal dengan nama istilah zuhud. Atau dapat mengikuti proses
pendekatan diri pada Allah sesuai maqamat-maqamat yang dituliskan oleh Al-
Ghazali.

Dengan hal ini akan berpengaruh besar terhadap manusia yang akan
membawanya menuju ketentraman hati, pikiran, dan kebahagiaan dunia maupun
akhirat.

22
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tasawwuf Sunni adalah salah satu tasawwuf yang dapat digunakan


untuk mendekatkan diri kepada Allah, hingga konsep ma’rifat, yang
meniadakan hijab antara Allah dengan seorang sufi.
Dengan berbagai tokoh dan ajarannya yang berbeda, namun
tasawwuf sunni berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah yang menjadikan
ajaran itu menjadi satu kesatuan. Tergantung seorang penempuh jalan
tasawwuf akan menggunakan ajaran dari siapa.
Pengambilan jalan tasawwuf, akan membuat manusia semakin
tinggi tingkat spiritualitasnya, dan tidak tertarik dengan dunia yang fana.

B. Saran

Dalam bertasawwuf sebaiknya melihat dulu ajaran yang ada dalam


tasawwuf tersebut, guna mencocokkan akan kemampuan diri kita dan
kenyamanan dalam menjalaninya. Karena banyak tasawwuf, yang
menggunakan ungkapan-ungkapan ganjil, seperti halnya tasawwuf falsafi.

23
DAFTAR PUSTAKA

Alba, Cecep, Tasawuf dan Tarekat, Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2012


Al-Hujwairi, Kasyful Mahjub, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM,
Bandung: Mizan,1993
Hamka, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta : Panjimas, 1984
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1973
Hasan, Muhammad Tholhah, Ahlussunnah Wal Jamaah, Jakarta : Lantabora
Press, 2003
Isaid bin Musfir, Qahthani, Al-,Buku Putih Syaikh ‘Abd Qadir Jilani terj, cv.Darul
Falah, Jakarta
Michael A.Sells, Terbakar Cinta Tuhan Kajian Ekslusif Spiritualisme Islam
Awal , judul asli, Early Islamic Mysicam:sufi, Al-Qur’an , Mi’raj , oeticand
Theological Writings, Bandung: Mizan, 2004
Romli, Muhammad Guntur, Syahadat Cinta Rabi’ah Adhawiyah, Rehal Pustaka,
2012
Syihab, Alwi, Akar Tasawuf Di Indonesia, Bandung: Pustaka II Man, 2009
Taftazani, Abu Alwafa’ Al-Ghanimi Al-, Sufi Dari Zaman Ke Zaman, Bandung:
Pustaka, 1985

24
HALAMAN POWER POINT
PRESENTASI TASAWWUF SUNNI
Drs. Malik Ibrahim, M.Ag

Vina Idamatussilmi (14350037)


Sholikhah (14350038)

25

Anda mungkin juga menyukai