Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH

AKHLAK DALAM THAHARAH


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Akhlak
Dosen Pengampu: Drs. H.Bukhori, S.S., M.Ag.

Disusun oleh:
Dea Nurhalilah (1188020041)
Depi Paujiah (1188020043)
Dila Octavia (1188020049)
Feby Nurmalasari (1188020066)
MANAJEMEN-2B

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
TAHUN AJARAN 2018/2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunianya kepada kami sehingga kami bisa
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tidak lupa shalawat serta salam
kami panjatkan kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW, juga kepada
keluarganya, sahabatnya, serta generasi selanjutnya. Penyusunan makalah ini
adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Akhlak. Kami berharap dengan
adanya makalah ini bisa menambah wawasan ilmu dan pengetahuan para pembaca
terutama tentang mata kuliah Ilmu Akhlak. Mengingat betapa pentingnya bagi kita
sebagai seorang muslim untuk mengetahui akhlak yang baik dan benar itu seperti
apa sesuai yang diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Makalah yang sedang anda baca ini berisi tentang akhlak dalam thaharah
seperti pengertian thaharah, macam-macam thaharah, hikmah thaharah, dan lain-
lain. Dan juga makalah ini bisa dijadikan referensi bagi semua kalangan untuk
belajar ilmu akhlak khusunya akhlak dalam thaharah. Menyadari banyaknya
kekurangan dalam penyusunan makalah ini, kami mengharapkan kritik dan saran
dari para pembaca untuk melengkapi segala kekurangan yang ada dalam makalah
ini. Dan kami sangat berharap agar para pembaca ikhlas memaafkan kami atas
banyaknya kesalahan dalam pembuatan makalah ini.

Bandung, Maret 2019

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I: PENDAHULUAN......................................................................................1

A. LATAR BELAKANG MASALAH ................................................................1

B. RUMUSAN MASALAH .................................................................................2

C. TUJUAN PENULISAN ...................................................................................2

BAB II: PEMBAHASAN.......................................................................................3

A. MAKNA THAHARAH ...................................................................................3

B. MEDIA UNTUK BERSUCI ...........................................................................3

C. JENIS THAHARAH........................................................................................9

D. NAJIS ............................................................................................................25

E. HIKMAH THAHARAH ................................................................................39

BAB III: PENUTUP.............................................................................................40

A. KESIMPULAN .............................................................................................40

A. SARAN ..........................................................................................................40

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................41

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Agama Islam merupakan agama yang menganjurkan umatnya
untuk senantiasa hidup bersih. Dalam keadaan apapun, ketika ada najis
ataupun kotoran, selalu dianjurkan dan bahkan diwajibkan untuk
dibersihkan. Kebersihan merupakan hal yang sangat penting dalam
sebuah kehidupan, dimana dengan kebersihan hidup akan terasa nyaman
dan aman. Kebersihan sendiri juga merupakan wujud nyata dari ibadah
thaharah. Maka dari itu sangat penting bagi kita untuk mengetahui lebih
dalam lagi mengenai thaharah.
Sebagaimana kita ketahui bahwa unsur utama yang haus dipenuhi
untuk memenuhi syarat-syarat ibadah seperti shalat dan lain sebagainya
hendaklah diawali dengan bersuci. Bersuci adala syarat utama untuk
mendirikan shalat atau thawaf di Baitullah Al-Haram. Bersuci bukan
hanya menjadi pintu gerbang utama dalam melakukan ibadah kepada
Allah SWT, bewudhu, mandi junub, atau tayammum adalah cara bersuci
yang Allah SWT terangkan dalam Al-Quran dengan jelas.
Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam thaharah, kita
sebagai muslim wajib mengetahui cara-cara bersuci karena bersuci adalah
dasar ibadah bagi ummat Islam. Dan cara membersihkannya pun juga
diatur tersendiri dalam agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW .
Tidak bisa dengan sembarang cara untuk membersihkan hal-hal kotoran
atau najis yang bersinggung dengan umat Islam.
Oleh karena itu penulis membuat makalah ini untuk memahami
aturan-aturan yang dikandung oleh agama Islam ini hanya berdampak
pada fisik saja ataukah juga berefek pada aspek kepribadian seseorang. Hal
itu akan kita bahas dalam pembahasan di bawah ini.

1
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan thaharah?
2. Bagaimana kaifiyat (cara) thaharah dari najis dan hadas ?
3. Bagaimana penjelasan mengenai wudlu’, tayammum, dan mandi
besar ?
4. Bagaimana hikmah mempelajari thaharah?
5. Apa saja yang menjadi dasar pembagian thaharah?
6. Bagaimana cara mengetahui sesuatu yang najis?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan thaharah
2. Menjelaskan tentang thaharah dari najis dan hadas.
3. Menjelaskan tentang wudlu’, tayammum, dan mandi besar.
4. Mengetahui hikmah thaharah.
5. Mengetahui dasar-dasar yang menjadi pembagian thaharah
6. Mengetahui indikator segala sesuatu dapat dikatan najis

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. MAKNA THAHARAH
Thaharah adalah upaya membersihkan badan dari najis 1 . Secara
Bahasa thaharah artinya adalah membersihkan kotoran, baik kotoran yang
berwujud maupun yang tak berwujud. Kemudian secara istilah, thaharah
artinya menghilangkan hadast, najis dan kotoran (dari tubuh yang
menyebabkan tidak sahnya ibadah lainnya) menggunakan air atau tanah
yang bersih2.
Thaharah atau bersuci dan segala seluk-beluknya adalah termasuk
bagian dari ilmu dan amalan yang penting, terutama karena sebagian di
antara syarat-syarat shalat adalah harus suci dari hadas, dan suci pula
badan, pakaian, serta tempat pelaksanaan shalat dari najis. Sebab orang-
orang yang bersuci sangat dicintai Allah.
Firmah Allah surat Al-Baqarah ayat: 222 yang artinya
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai
orang-orang yang menyucikan diri.”

B. MEDIA UNTUK BERSUCI


1. Air (Al-Ma)
Air adalah bagian dari alat bersuci. Dalam bersuci, harus
menggunakan air yang suci-menyucikan, baik dalam bersuci dari najis
maupun bersuci dari hadas. Bersuci dengan menggunakan sisa air
minum binatang buas, adalah diperbolehkan. Sebab liur binatang buas
tidak najis. Yang najis adalah liur anjing, yang berarti tidak boleh
bersuci dengan menggunakan sisa air minum anjing. Bahkan air liur
anjing hukumnya adalah najis mughalazah (najis yang berat).

1
Nurasmawi.Aqidah Akhlak, Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau, 2011, hlm. 12
2
Abdul Hamid dan Beni Ahmad Saebani.Fiqh Ibadah. Bandung: Pustaka Setia, 2009, hlm. 153

3
a. Air suci dan menyucikan (air mutlak), yaitu setiap air yang turun
dari langit ataupun keluar dari bumi yang mana keluarnya tersebut
tetap seperti asal kejadiannya serta salah satu sifatnya air tidak
3
berubah sebab ada sesuatu yang mencampurinya . Diantara
macam-macam air tersebut yaitu:
 Air hujan.
 Air laut.
 Air sungai.
 Air sumur.
 Air mata air (sumber).
 Air es (salju).
 Air embun.
b. Air suci tetapi tidak menyucikan, yaitu air yang suci namun air
tersebut tidak dapat digunakan untuk bersuci4. Diantara contoh
yang termasuk dalam kategorinya yaitu air kopi, air teh, dan
sebagainya, ataupun air hujan yang mana dalam air hujan itu
dicampuri dengan air teh lalu salah satu sifat airnya berubah
maka air itu sendiri juga bisa dikatakan suci tetapi tidak
menyucikan yaitu air yang hukumnya suci dalam artian boleh
diminum namun tidak dapat digunakan untuk bersuci atau
menghilangkan hadast.
c. Air yang bernajis
Air semacam ini sama sekali tidak bisa dipergunakan untuk
bersuci menghilangkan hadas. Bukan hanya itu air yang
semacam ini juga tidak boleh diminum dan semacamnya. Jika
air itu sampai kepada duakulah atau lebih maka jika ada najis
yang terjatuh ke dalamnya maka hukumnya boleh.
 Jika najis yang terjatuh ke dalamnya sampai merubah
salah satu sifatnya maka air itu dihukumi sebagai air yang

3
Ilmu Akhlak, hlm. 109
4
Ibid.

4
mutanajjis atau air yang sudah tidak bisa lagi dipakai
untuk bersuci.
 Jika najis itu jatuh ke dalamnya namun tidak sampai
merubah salah satu sifatnya air maka air itu dihukumi suci.
Namun jika air itu tidak sampai 2 kulah maka air itu
dihukumi sebagai air yang mutanajjis secara mutlak.
Sabda Rasululloh SAW yang artinya: “Air itu tidak
dinajisi sesuatu, kecuali apabila berubah rasa, warna, atau
baunya.” (H.R Ibnu Majah dan Baihaqi)
d. Air musyammas atau makruh, yaitu air yang kena sinar matahari
5
sampai panas . Air yang semacam ini dihukumi suci
dikarenakan tidak terkena najis. Namun air ini dihukumi makruh
untuk digunakan. Sabda Rasulullah SAW: “Dari Aisyah
sesungguhnya ia telah memanaskan air pada cahaya matahari,
maka Rasulullah SAW berkata kepadanya ‘janganlah engkau
berbuat demikian, ya Aisyah. Sesungguhnya air yang dijemur
itu dapat menimbulkan penyakit sopak.” (H.R Baihaqi)
2. As-Su’r (Sisa/Bekas Air Minum Hewan)
Artiya sesuatu yang tersisa dari segala sesuatu.
a. Air Bekas Minum Manusia
Statusnya tetap suci, baik bekas minum orang islam kafir junub
maupun yang sedang menstruasi.
b. Air Bekas Minum Hewan yang Dimakan Dagingnya
Status air ini tetap suci karena air liurnya dari daging yang suci
sehingga ia pun suci.
c. Air Bekas Minum Peranakan Keledai dan Kuda (Al-Baghl),
Hewan Buas,dan Burung Burung Predator. Statusnya tetap suci
d. Air Bekas Minum Kucing
e. Air Bekas minum anjing dan Babi. Hukumnya najis dan wajib
dijauhi.

5
Ibid, 110.

5
3. Sunnah Sunnah Fitrah
Fitrah menurut bahasa berarti tradisi lama
a. Khitan
Khitan bagi anak laki-laki adalah memotong kulit yang
menutui kepala penis hingga terbuka. Sementara bagi anak
perempuan khitan dilakukan dengan cara memotong bagian dari
kulit yang ada di atas vagina, yaitu ata pembuka liang vagina.
Khitan hukumnya wajib bagi kaum laki laki maupun perempuan.
b. Mencukur bulu kemaluan (Al-Istihdad)
Mencukur bulu kemaluan hukumnya sunnah menurut
kesepakatan para ulama. Membersihkan bulu kemaluan boleh
dengan cara mencukur, memotong, mencbuti dan dengan
menggunakan sistem nurah. Jangan sampai bulu kemaluan
dibiarkan tanpa dicukur selama lebih dari empat puluh hari.
c. Mencabuti bulu ketiak
Para ulama sepakat mencsbuti bulu ketiak adalah sunnah dan
lebih utama lagi jika kuat mencabutinya.
d. Memotong kuku
Memotong kuku termasuk sunnah menurut kesepakatan para
ulama, dan pelaksanaannya tidak terikat oleh waktu.
e. Memanjangkan jenggot
Wajib hukumnyabagi laki laki membiarkan jenggot tanpa
dicukur, sehingga lebat, panjang dan banyak dan haram hukumnya
mencukur jenggotnya. Meurujuk pada hadis yang datang dari Abu
Hurairah.
f. Memotong kumis
Hukumnya sunnah menurut kebanyakan ulama. Dalam hal
ini, dianjurkan untuk memulai memotong dari sisi kanan
berdasarkan hadis tayamum.

6
g. Istinja (cebok)
Istinja’ (bebersih dari buang air kecil maupun besar)
termasuk fitrah karena mengandung unsur membersihkan tempat.
Istinja berarti mencuci tempat keluar kotoran dari salah satu jalan
qabul( depan) dan dubur (belakang) atau mengusap dengan batu
dan semisalnya.
 Status hukum istinja’
Menurut tiga imam, istinja’ wajib bagi orang yang hendak
mendirikan shalat.
 Media dan cara beristinja’
Istinja’ dapat dilakukan dengan menggunakan air, batu,
dan semisalnya. Caranya: Tempat najis dibersihkan dengan air
hingga diketahaui bahwa ia sudah bersih.
 Benda yang tidak boleh digunakan untuk beristinja’
Menggunakan medai tulang, kotoran hewan yang sudah
mengeras (membattu) dan benda yang dimuliakan.
 Etika buang istinja’
a) Berdoa dengan suara lantang ketika hendak masuk wc
(kakus)
b) Masuk dengan kaki kiri
c) Tidak boleh membuka aurat sebelum menutup diri dari
penglihatan manusia
d) Tidak boleh menjawab salam dan adzan. Jika bersin bacalah
dalam hati.
e) Tidak boleh melihat aurat dan jangan pula melihat kotoran
yang keluar.
f) Tidak boleh terlalu lama duduk (jongkok)
g) Tidak boleh terlalu banyak menoleh
h) Tidak boleh bermain main dengan anggota tubuhnya sendiri.
i) Tidak diperknenankan mengangkat mata kelgit.

7
j) Menyiram air dengan tangan kanan diatas kemaluannnya,
lalu mencuci nya dengan tangan kiri, dimulai pertama kali di
kemaluan depan.
k) Membasuh kedua tangan tiga kali
l) Berdiri dan mengelap kemaluannya dengan khirqah (hendak)
bersih jika memungkinkan.
m) Menutup auratnya sebelum beridir tegak.
n) Keluar wc (kakus) dengan mendahulukan kaki yang kanan,
seraya membaca doa.
h. Membasuh Ruas Ruas Jari
Maksudnya, membasuh jari jari tangan dan ruas ruas
persediannya secara terpisah dari aktivitas wudhu.
i. Istinsyaq (mengisap air ke dalam hidung)
Perilaku ini akan dijelaskan secara panjang lebar dalam
sunnah sunnah wudhu.
j. Bersiwak
Bersiwak termasuk dalma kategori fitrah, karena ia dapat
membersihkan mulut.

C. JENIS-JENIS THAHARAH
1. Wudu’
Wudhu secara bahasa etimologi diambil dari lafal al wadha’ah
yang artinya bagus dan bersih. Sedangkan menurut terminologi syara’
wudhu berarti aktivitas bersuci dengan media air yang berhubungan
dengan empat anggota tubuh; muka kedua tangan kepala dan kedua
kaki. Wudu’ merupakan bagian daripada thaharah. Dalam wudu’ ini
memiliki beberapa rukun diantara rukun-rukun berwudu’ yaitu:
a. Niat wudu’
Yaitu berniat menunaikan ke farduan wudu’,
menghilangkan hadasbagi orang yang selalu hadas, niat

8
thaharahdari hadas atau thaharah untuk menunaikan semacam
ibadah shalat.
b. Membasuh kulit muka
Batasan bujur muka yaitu antara tempat-tempat tumbuh
rambut kepala yang wajar sampai bawah pertemuan dua rahang.
Sedangkan batas lintang muka sendiri yaitu antara dua telinga.
c. Membasuh dua tangan
Yaitu dari telapak tangan sampai siku.
d. Mengusap sebagian kepala
e. Membasuh kedua kaki
Ada salah satu hadits tentang harusnya air mengenai mata
kaki yakni artinya: “dituturkan oleh Bukhari, Muslim dan At-
Tirmidzi, dari abu Hurairah, katanya, Rasulullah berkata
’Bencana neraka bagi mata kaki-mata kaki yang tak terbasuh air
dalam wudu’”
Adapun sebab lahirnya hadits ini adalah: Dituturkan dari
Ahmad bin Jabir, katanya: “Suatu saat Rasulullah SAW melihat
sekelompok orang sedang berwudu’ dan mata kaki-mata kaki
mereka tak terbasuh dengan air, maka beliau pun berkata:
“Bencana neraka bagi mata kaki-mata kaki yang tak terbasuh
air”.
f. Tertib
a. Perkara yang dimakruhkan dalam wudhu
1. Berlebih lebihan (boros) dalam menggunakan air atau dalam
bahasa lain menggunakan air melebihi kebutuhan syara’.
2. Terlalu irit dalam penggunaan air hingga bis ameninggalkan
perkara yang disunahkan
3. Berkumur dengan mengisap air kedalam hidung secara
berlebihan bagi orang yang berpuasa sehingga dikhawatirkan
dapat merusak puasanya.

9
b. Hal hal yang membatalkan wudhu
1. keluarnya sesuatu dari dua jalan; qubul (depan) dan dubur
(belakang dalma kondisi sehat dan tidak sakit, baik benda yang
keluar meruapakn hal yang lumrah seperti air buang air kecil
atau yang tidak lumrah seperi kerikil.
2. tidur pulas yang menghilangkan kesadaran disertai
ketidakmapanan posisi pantat diatas lantai.
3. Hilang akal baik karena gila epilepsi mabuk atau dikarenakan
mengonsumsi obat obatan; sedikit atau banyak, ringan atau
berat dan atau baik dikarenakan pisis pantat tetap dibumi atau
tidak.
4. Memegang kemaluan tanpa penghalang.
c. Hal hal yang tidak membatalkan wudhu
1. Bersentuhan dengan perempuan
2. Muntah
3. Keluar darah dari tubuh manusia
4. Makan daging untaimbang
5. Tertawa terbahak bahak dalam salat
6. Memandikan mayit
7. Murtad (keluar dari islam)
8. Bimbang mengenai hadats
d. Macam macam Wudhu
1. Wudhu fardhu
Wudhu berstatus fardhu (atau wajib) bagi orang orang
berhadats yang hendak melakukan shalat, menyentuh mushaf,
dan lain lain yang tidak sah kecuali harus dengan bersuci.
2. Wudhu mandub (sunnah)
Dianjurkan dan disunnahkan melakukan wudhu dalam
kondisi kondisi sebagai berikut.
 Setiap kali hendak melakukan shalat
 Ketika hendak berdzikir kepada Allah

10
 Setelah mengonsumsi makanan yang proses pembuatannya
melalui pemanggangn dan pembakaran.
 Ketika hendak tidur
 Ketika hendak makan dan minum bagai orang junub
 Sebelum mandi
 Ketika sedang terbakar emosi (marah)
 Syarat Syarat Mengusap Sepatu
Syarat diperbolehkannya mengusap sepatu adalah sebagai
berikut.
1. Sepatu dipakai dalam keadaan suci sebelum terjadinya hadtas
dan setelahnya.
2. Sepatu yang dipakai menutupi kedua tungkai kaki beserta mata
kaki dari berbagai sisi.
3. Melekat pada kaki tanpa diikat.
4. Dapat melindungi masuknya air ke kaki
5. Sepatu tidak mengalami robek besar yang dapat yang
menyulitkan untuk mengusapnya.
6. Kondisi sepatu masih bagus dan kuat sehinga memungkinkan
bisa digunakan untuk berjalan ke sana kemari.
Bagian sepatu yang disyariatkan untuk diusap adalah bagian
atas sepatu, bukan bagian alas, dan ini merupakan fardhu berdasrkan
hadis Al Mughirah bin Syu’bah. Yang disunnahkan dalam mengusap
dengan cara meletakkan jari jari tangan kanan di bagian depan sepatu
sebelah kanan, sementara jari jari tangan kiri di bagian depan sepatu
sebelah kiri, kemudia menarik keduanya ke pangkal tumit di atas
kedua mata kkai sambil memsihkan jari jarinya.
Jangka waktu kebolehan mengusap sepatu bagi orang mukim
dan orang bepergian dalam jarak yang belum diperbolehkan meng
qashar shalat adalah satu hari satu malam. Adapaun bagi orang yang
bepergian dalam jarak yang diperbolehkan meng qashar shalat adalah
tiga hari tiga malam.

11
Ada beberapa perkara yang dapat membatalkan keabshana
mengusap sepatu, yaitu sebagai berikut.
a. Semua hal yang dapat mmebatalkann wudhu menurut kesepakatan
para ulam juga membatlkan keabshana mengusap sepatu, karena
mengusap khuff (sepatu) memang termasuk wudhu.
b. Habisnya jangka waktu mengusap, baik bagi orang mukim
maupun musafir.
c. Sepatu dilepas, terlepas, atau bagian tumit kaki banyak yang
kelihatan keluar ke sisi sepatu menurut pendapat yang paling
shahih.
Para Ulama sepakat membolehkan mengusap sepatu yang
robek, selama robeknya tidak menjadi penghalang. Mengusap kaos
kaki (jaurabain) sebagai qiyas dari sepatu diperbolehkan, sebab praktik
tersebut banyak diriwayatkan dari sejumlah besar sahabat. Syarat
mengusap kaos kaki sama dengan syarat mengusap sepatu (khuff),
yaitu ketika memasukkan harus dalam keadaan suci.
2. Tayamum
Menurut arti bahasa, tayammum berarti menyengaja. Sedangkan
menurut terminologi syara’, berarti menyengajakan diri menyentuh
debu yang suci untuk mengusap wajah dan kedua tangan dengan sekali
atau dua kali sentuhan, dengan niat agar memperoleh kebolehan
melakukan sesuatu yang sebelumnya terhalang oleh adanya hadats, bagi
orang yang tidak menemukan air atau takut adanya bahaya apabila
menggunakannya. Tayamum yaitu mengusap wajah dan kedua tangan
dengan debu yang suci atas bagian yang ditentukkan sebagai pengganti
dari wudu’6. Sama seperti wudu’ tayamum juga memiliki rukun-rukun
tersendiri.
Diantara rukun-rukun tayamum yaitu:
a. Berniat memperoleh kewenangan shalat fardu, secara
bersamaan memindahkan debu ke muka, mengusap wajah.

6
Ilmu akhlak, 111.

12
b. Mengusap wajah dengan debu
c. Mengusap kedua tangan
d. Tertib
Jika seseorang tercegah menggunakan air, maka wajib baginya
bertayamum, membasuh anggota yang sehat dan mengusapkan air
pada pembalut yang berbahaya jika dilepas.
Tayammum di terapkan berdasarkan Al-Quran, sunnah, dan
ijma’. Dalil dari Al-Quran adalah firman Allah SWT :
“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang
dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan,
kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah kamu
dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu
sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”. (QS.
An-Nisa (4):43).
Penyebab diperbolehkannya tayammum adalah ketiadaan air, baik
secara hakiki maupun secara hukmi (metafor). Ketiadaan air secara
hakiki adalah suatu kondisi yang benar-benar tidak ada air atau ada air
namun tidak cukup digunakan untuk bersuci. Akan tetapi, sebelum
tayammum diwajibkan mencari air terlebih dahulu diantara barang
bawaannya, meminta pada teman serombongannya, atau tempat yang
terdekat. Jika memang tidak ada atau keberadaanya terlalu jauh maka
tidak wajib meminta atau mencari. Adapun ketiadaan air secara hukmi
(metafor) ada lima sebab yaitu sebagai berikut :
1. Takut Terkena Bahaya (Mudarat) Jika Menggunakannya
2. Takut Kedinginan
3. Takut Musuh
4. Kebutuhan Mendesak Pada Air
5. Takut Kehabisan Waktu

Tayammum adalah pengganti wudhu dan mandi ketika tidak ada


air. Oleh karena itu dengan tayammum, seseorang juga diperbolehkan

13
melakukan hal-hal yang diperbolehkan dengan wudhu dan mandi,
misalnya shalat memegang dan membawa mushaf, masuk masjid, dan
lain sebagainya. Sahnya tayammum tidak disyaratkan harus sudah
masuk waktu shalat. Dengan sekali tayammum, orang yang
bertayammum, boleh melaksanakan shalat fardu dan shalat sunnah
sesukanya, sebab/status/hukumnya sama seperti hukum wudhu.
Sebagai pengganti wudhu, segala hal yang membatalkan wudhu
juga membatalkan tayammum, ditambah keberadan air secara faktual
bagi orang yang tidak menemukan air, dan kemampuan menggunakan
air bagi orang yang sebelumnya tidak mampu.
Kedua hal ini dapat membatalkan tayammum jika terjadi sebelum
shalat. Adapun jika seseorang shalat dengan menggunakan tayammum,
kemudian ia menemukan air atau mampu menggunakannya, dan hal itu
terjadi setelah selesai shalat, maka ia tidak wajib mengulang shalatnya
meskipun waktu shalat masih ada. Sedangkan jika menemukan air dan
mampu menggunakannya setelah masuk pelaksanaan shalat namun
belum sampai menyelesaikannya maka tayammumnya menjadi batal
dan ia wajib bersuci dengan menggunakan air.
Boleh bertayamum dengan menggunakan debu yang suci, dan
segala sesuatu yang bejenis tanah, sejenis kerikil, batu, dan kapur
batu. Sebagaimana firman Allah SAW :

“Maka bertayammumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)”.


(QS. An-Nisa (4):43).

Semua ahli bahasa sepakat bahwa yang dimaksud debu dalam ayat
di atas adalah permukaan tanah secara umum, baik yang berdebu
maupun jenis lainnya.
Orang yang bertayammum harus menomorsatukan niat dengan
tujuan diperbolehkan melaksanakan shalat atau diperbolehkan
melaksanakan sesuatu yang terhalang untuk dilakukan karena adanya
hadats dan membutuhkan bersuci,misalnya shalat dan thawaf. Adapun

14
tempat niat teletak dalam hati, dan mengucapkannya di bibir merupakan
perkara bid’ah.
Kemudian ucapkan bismillah seraya menepukkan kedua
tangannyadi atas permukaan tanah, tepatnya pada debu yang suci, sekali
letakan dengan membuka lebar-lebar jari-jarinya, kemudian
mengibaskan keduanya dan mengusapkannya pada wajah dan kedua
telapak tangannya. Menepukkan kedua tangan ke tanah cukup
dilakukan sekali, dan mengusap kedua tangan dalam tayammum sudah
cukup dengan mengusap kedua telapak tangan saja. Termasuk sunnah
dalam hal ini mengibas-ngibaskan kedua tangannya dan meniup
debunya, tanpa perlu melumuri wajahnya dengan debu.
Sementara itu, jika orang junub atau wanita yang haid
bertayammum karena satu alasan yang memperbolehkan tayammum,
kemudian shalat maka ia tidak wajib mengulang shalatnya, akan tetapi
ia wajib menjadi manakala mampu menggunakan air, berdasarkan hadis
narasi Imran bin Hushain ra, ia bercerita : Rasulullah SAW shalat
bersama orang-orang.
 Hal-hal yang berhubungan dengan tayammum
Untuk keperluan bersuci, disyariatkan mengusap perban dan
sejenisnya yang digunakan untuk membalut anggota tubuh yang
luka karena hal itu telah diterangkan dalam beberapa hadis.
Meskipun lemah (dha’if), hadis-hadis tersebut memiliki banyak
jalur periwayatan yang saling menggunakan dan mendukung satu
sama lain dan membuatnya pantas digunakan sebagai dasar hukum
legalitas mengusap perban.
Hukum mengusap perban adalah wajib, baik di dalam mandi
maupun wudhu sebagai ganti dari membasuh anggota tubuh yang
luka. Barang siapa mengalami luka-luka atau patah tulang,
kemudian ia hendak berwudhu atau mandi (wajib) maka ia wajib
membasuh bagian-bagian tubuh yang sakit, meskipun hal itu
mengharuskannya mendidihkan air terlebih dahulu. Namun, jika

15
dikhawatirkan pembasuhan anggota tubuh si sakit akan
menyebabkan bahaya, seperti munculnya penyakit, atau sakitnya
menjadi bertambah parah, atau kesembuhan tertunda maka
kewajiban membasuh diganti dengan mengusap bagian yang sakit
dengan air.
Kemudian jika dengan diusap masih dikhawatirkan akan
menimbulkan bahaya maka ia wajib membalut bagian yang terluka
atau mengikatkan perban/gip pada tulang yang patah, dengan
syarat tidak melebihi batas bagian tubuh yang luka kecuali karena
darurat, kemudian mengusapnya sekali secara merata.
Orang yang mengikat perban atau gips penyangga tidak
disyarat kan harus bersuci (dan mensucikannya) terlebih dahulu. Ia
juga tidak dibatasi waktu, akan tetapi perban tersebut boleh diusap
ketika berwudhu dan mandi selama memang masih ada udzur.
Mengusap perban menjadi batal setelah perban di lepas dari
tempatnya atau jatuh dari tempatnya karena telah sembuh, atau
tempat luka sudah sembuh meskipun perban tidak dilepas.
 Shalat Orang yang Tidak Menemukan Air Maupun Debu
Jika seseorang tidak menemukan air maupun debu untuk
bersuci, misalnya karena ia tertahan di suatu tempat najis yang
tidak memungkinkannya mendapatkan air maupun debu yang suci,
atau ia tidak mampu menggunakan keduanya karena alasan sakit
misalnya, maka menurut pendapat yang rajih (kuat) ia boleh shalat
tanpa bersuci dan tidak pernah mengulangi shalatnya. Pendapat ini
dianut oleh Ahmad dalam versi pendapatnya yang paling masyhur,
dan menjadi pendapat mayoritas ahli hadis, juga Al- Muzani,
Sahnun dan Ibnu Al Mundzir, merujuk pada hadis yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah ra.
3. Mandi
Mandi merupakan bagian daripada thaharah. Sebagaimana
wudu’ dan tayamum mandi juga terdapat rukun-rukunnya.

16
a) Perkara-perkara yang mewajibkan mandi
1) Keluarnya Sperma
Yakni keluarnya sperma dari penis (bagi laki-laki) atau
vagina (bagi perempuan), baik disertai dengan kenikmatan
yang nyata maupun yang tidak nyata, misalnya orangmimpi
basah yang mendapati kemaluannya basah namun tidak
merasakan syahwat. Berikut ini dikemukakan beberapa kasus
fiqh yang berkenaan dengan masalah keluarrnya sperma.
a. Jika sperma keluar tanpa dorongan syawat, melainkan
karena sakit atau kedinginan, maka tidak ada kewajiban
mandi.
b. Jika seseorang bermimpi basah dan tidak ia dapati sperma
maupun bekas-bekasnya, maka tidak ada kewajiban mandi
baginya. Akan tetapi, jika sperma keluar setelah bangun
tidur, maka ia wajib mandi besar.
c. Jika seseorang bangun tidur, lalu ia jumpai basah-basah
namun ia tidak ingat apakah ia mimpi basah atau tidak,
maka jawabannya perlu dirinci :
- Jika ia yakin bahwa ituadalah sperma, maka ia wajib,
karena yang tampak adalah bahwa keluarnya sperma
karena adanya ihtilam (mimpi basah) yang mendahului.
- Adapun jika ia ragu dan tidak mengetahui apakah yang
keluar itu sperma atau bukan, maka yang lebih afdhal
(utama) adalah mandi demi kehati-hatian.
d. Jika seseorang melihat bekas sperma di celananya, namun ia
tidak mengetahui kapan kejadiannya, sementara ia telah
melaksanakan shalat, maka ia wajib mengulangi shalat
sejak waktu tidur terakhir. Kecuali jika ia melihat tanda-
tanda yang menunjukkan bahwa sperma itu ada sebelum
waktu tidur terakhir, maka ia hanya wajib mengulang shalat

17
dari sebelum tidur yang diduga kuat sperma keluar pada
waktu tersebut.
2) Persetubuhan (Coitus)
Persetubuhan (coitus) yang dimaksud adalah penetrasi
alat vital ke dalam alat vital lawan seks, meskipun tidak
sampai terjadi ejakulasi (keluar sperma), dan bukan sekedar
bercumbu.
Jadi, disini harus terjadi penetrasi (memasukkan penis ke
liang vagina) secara riil. Sedangkan jika hanya menyetuh dan
menggesek tanpa penetrasi, maka tidak ada kewajiban mandi
bagi kedua-duanya menurut kesepakatan para ulama.
3) Berhentinya Pendarahan Haid dan Nifas
4) Persalinan Tanpa Pendarahan
Kalangan ulama mazhab Hanafi, mazhab Maliki, dan
ulama mazhab Syafi’i menyatakan kewajiban mandi atas
perempuan yang melahirkan, meskipun ia tidak melihat adanya
bercak darah. Hal ini demi sikap kehati-hatian, karena tidak
mungkin perempuan melahirkan tanpa disertai bercak darah.
Sedangkan Imam Abu Yusuf, Muhammad Asy-Syaibani
(keduanya dari mazhab Hanafi), dan ulama-ulama mazhab
Hanbali berpendapat bahwa jika tidak dijumpai bercak darah
maka tidak wajib mandi, sebab dalam hal ini tidak ada nash
maupun yang semakna dengan nash yang menyatakan
kewajiban demikian.
5) Meninggal Dunia
Para ulama bersepakat bahwa hukumnya fardhu kifayah
bagi orang-orang yang hidup untuk memandikan mayat
muslim yang tidak dilarang untuk dimandikan, misalnya orang
yang mati syahid di jalan Allah.

18
6) Masuk Islam
Jika orang kafir masuk Islam maka ia wajib mandi,
berdasarkan hadis narasi Abu Hurairah ra, bahwa Tsumamah
Al-Hanafi tertawan, lalu Nabi SAW pergi menghampirinya
dan bertanya, “Apa yang kau punya, hai Tsumamah ?” Ia
menjawab, “Jika Anda bunuh aku, maka kau bunuh orang yang
memiliki darah, dan jika kau beri aku aku (anugerah
ampunan), maka kau memberi anugerah orang yang pandai
berterima kasih. Jika Anda inginkan harta kekayaan, kami beri
Anda darinya apa yang Anda mau”. Kala itu, para sahabat
Rasulullah SAW menginginkan tebusan. Mereka berkata, “Apa
yang kita peroleh jika membunuh ini ?” Rasulullah SAW
menghampirinya, dan ternyata ia menyatakan diri masuk
Islam. Rasulullah SAW pun membebaskannya dan
mengirimkannya ke sumur Abu Thalhah dan menyuruhnya
mandi. Ia serta-merta mandi dan shalat dua rakaat. Nabi SAW
pun bersabda, “Islam saudara kalian benar-benar bagus”. HR.
Bukhari
 Hal-hal yang Diharamkan Bagi Orang Junub
Orang yang sedang dalam keadaan junub tidak diperbolehkan
dan diharamkan melakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Shalat,
2. Thawaf,
3. Menyentuh dan membawa mushaf (Al-Quran)
4. Membaca Al-Quran
5. Berdiam diri di masjid
b) Mandi-mandi sunnah
Mandi sunnah adalah mandi yang jika dilakukan orang
mukallaf maka ia mendapatkan pujian atas tindakannya, dan jika
meninggalkan maka ia tidak terkena celaan maupun hukuman.

19
Adapun yang temasuk kategori menjadi sunnah adalah sebagai
berikut :
1. Mandi Hari Jumat
Mengingat hari jumat adalah hari berkumpul dalam
rangka melaksanakan ibadah dan shalat, maka syariah
memerintahkan dan menegaskan orang muslim agar mandi
terlebih dahulu, agar dalam perkumpulan dan pertemuan itu ia
berada dalam kondisi tebaiknya, yaitu dalam keadaan suci dan
bersih.
Jika sebagian ulama mengatakan bahwa mandi jumat
wajib, berdasarkan zhahir hadis, maka jumhur ulama
menyatakannya sunnah, dan ini sudah merupakan pendapat
yang ma’ruf dari keempat imam mazhab.
Adapun waktu mandi pada hari jumat dimulai sejak
terbitnya matahari hingga dilaksanakannya hari jumat,
meskipun yang dianjurkan (mustahab) adalah menjelang
berangkat shalat jumat. Jika ia berhadats setelah mandi, maka
ia cukup berwudhu. Waktu mandi berakhir selesainya shalat
jumat, sehingga barang siapa yangmandi seusai shalat jumat
maka ia tidak dapat disebut mandi sunnah dan pelakunya tidak
dianggap telah melaksanakan perintah.
2. Mandi Dua Hari Raya (Idul Fiti dan Idul Adha)
Para ulama sepakat bahwa mandi dua hari raya adalah
sunnah, namun tidak ada satu pun hadis shahih yang melansir
hal tersebut. Abu Yusuf dan kalangan ulama mazhab Hanbali
berpendapat bahwa yang disunnahkan adalah mandi untuk
melaksanakan shalat Id, dan waktunya dimulai sejak tebit fajar,
sehingga mandi hari raya tidak boleh dilakukan sebelum
maupun sesudahnya. Sedangkan kalangan ulama mazhab
Maliki dan mazhab Syafi’i berpendapat bahwa yang
disunnahkan mandi untu hari itu, sebab tujuannya adalah untuk

20
menunjukkan keberhiasan, sehingga ia boleh dilakukan
sebelum fajar maupun sesudahnya, akan tetapi yang afdhal
adalah setelahnya.
3. Mandi Setelah Memandikan Mayat
Menurut kebanyakan ahli ilmu, mandi setelah
memandikan mayat hukumnya sunnah, merujuk pada hadis
narasi Abu Hurairah bahwasannya Nabi SAW bersabda :
“Barang siapa yang memandikan mayat, maka
hendaklah ia mandi, dan barang siapa yang mengusungnya,
hendaklah ia wudhu”. HR. Ahmad, Ath-Thayalisi, dan Al-
Baihaqi.
Jumhur ulama mengartikan perintah dalam hadis di atas
sebagai sunnah (nadb) bedasarkan hadis narasi Ibnu Abbas
bahwasannya Nabi SAW bersabda :
“Tidak diwajibkan atas kalian dalam hal memandikan
orang mati kalian untuk mandi jika kalian memandikannya.
Sebab mayit kalian meninggal dalam keadaan suci, maka
cukuplah kalian cuci tangan kalian”. HR. Al-Hakim, dan Al-
Baihaqi.
Ibnu Umar menuturkan : “Kami bisa memandikan
mayat. Sebagian diantara kami ada yang mandi dan sebagian
lagi tidak mandi”. HR. Ad-Daruquthni

4. Mandi Ihram
Dianjurkan bagi orang ihram, baik untuk haji maupun
umrah untuk mandi terlebih dahulu, meskipun dalam keadaan
haid maupun nifas, karena tujuannya untuk bebersih
(nazhafah, bukan bersuci/thaharah).
5. Mandi Ketika Masuk Mekah
Disunnahkan bagi orang yang hendak masuk Mekah
untuk mandi terlebih dahulu. Hal ini merujuk pada hadis yang

21
diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwasannya “ia tidak datang ke
Mekah kecuali jika bermalam di Dzi Thuwa hingga pagi dan
mandi, kemudian baru masuk Mekah siang hari. Ia
menyebutkan bahwa Nabi SAW juga melakukannya”. HR. Al-
Bukhari dan Muslim.
Ibnu Al-Mundzir mengatakan : Mandi ketika masuk
Mekah menurut seluruh ulama disunnahkan, namun orang
yang meninggal menurut mereka juga tidak dikenai kewajiban
bayar fidyah. Sebagian besar mereka juga mengatakan bahwa
wudhu saja sebelum masuk Mekah sudah cukup.
6. Mandi Ketika Hendak Wukuf di Arafah
Disunnahkan bagi orang yang ingin wukuf di Arafah
untuk mandi terlebih dahulu, meujuk pada hadis yang
diriwayatkan Malik dan Nafi’ bahwasannya Abdullah bin
Umar ra, mandi antara lain ketika hendak ihram, ketika hendak
masuk Mekah, dan ketika hendak wukuf di Arafah.
c) Tata cara mandi
Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa hakikat mandi adalah
membasuh seluruh anggota badan. Mandi dapat dikatakan cukup
apabila menncakup hal-halyang diwajibkan saja, dan mandi
dikatakan sempurna apabila mencakup hal-hal yang diwajibkan,
disunnahkan,dan mencakup hal yang dianjurkan (mandubat).
Adapun mekanismenya adalah sebagai berikut :
- Berniat dalam hati untuk menghilangkan hadats besar atau untuk
memperoleh kebolehan menjalankan shalat atau semisalnya.
- Kemudian mengucapkan “Bismillahi wal hamdulillahi”.
- Setalah itu membasuh kedua telapak tangan tiga kali sebelum
memasukkan ke dalam bak mandi.
- Kemudian membasuh segala sesuatu kotoran dan najis yang ada
di kemaluan dan tubuhnya.
- Kemudian berwudhu sebagaimana wudhu melaksanakan tidur.

22
- Kemudian menciduk satu cidukkan air lalu memasukkan jari-jari
ke pangkal-pangkal rambut kepala dan jenggot.
- Kemudian siramkan air ke atas kepala tiga kali.
- Setelah itu siramkan air ke seluruh tubuh, dimulai dari bagian
yang kanan kemudian yang kiri sambil membersihkan lekukan-
lekukan tubuh, seperti bagian ketiak, bagian dalam telinga, tali
pusar, bagian belakang bokong, jari-jari kaki, lipatan-lipatan
perut, dan lain sebagainya.
- Alirkan air ke seluruh bagian tersebut, dan gosok-gosok tangan
ke seluruh tubuh.
- Jika mandi di sungai atau sejenisnya, maka langsung dengan
menyelam agar air bisa sampai ke semua kulit dan rambutnya,
baik yang tampak maupun yang tidak dan sampai ke pangkal
tumbuhnya rambut. Namun, sebelumnya disunnahkan
mengucapkan niat sejak pertama kali masuk ke dalam aktivitas
mandi dan terus menetapkan niat sampai selesai mandi. Untuk
memastikan apakah air sudah merata ke seluruh tubuh, cukup
dengan perkiraan saja, kemudian setelah itu pindah dari tempat
mandinya, dan membasuk kedua telapak kakinya jika
sebelumnya tidak dibasuh.
d) Tata cara mandi bagi wanita
Pada dasarnya mandi wanita sama dengan mandi laki-laki.
Bedanya wanita tidak diwajibkan melepaskan jalinan rambutnya
(kepang) jika ingin menyampaikan air ke pangkal tumbuh rambut.
Bagi seorang wanita yang hendak mandi dalam rangka
bersuci dari haid maupun nifas, disunnahkan untuk mengambil
kapas atau sejenisnya, lalu mengolesinya dengan sedikit minyak
misik atau sejenisnya yang berbau wangi, kemudian membersihkan
bekas-bekas darah yang menempel agar tempat tersebut bersih,
wangi, tidak bau.

23
D. NAJIS
Najis adalah kotoran yang harus dibersihkan oleh orang muslim
dan mengharuskannya untuk mencuci segala sesuatu yang dikenainya.
Najis terbagi menjadi dua macam; najis yang berlaku umum pada laki-laki
dan perempuan, dan najis yang berlaku khusus bagi perempuan.
1. Najis yang Berlaku Umum bagi Laki-Laki Maupun Perempuan
Najis jenis ini terbagi lagi menjadi dua kategori, yaitu ada yang
disepakati status kenajisannya oleh seluruh ulama dan ada yang masih
dipeselisihkan status kenajisannya.
a. Najis yang Telah Disepakati Status Kenajisannya
 Darah yang Mengalir
Darah yang mengalir, yakni darah yang mengucur deras,
misalnya darah yang mengalir dari hewan yang disembelih, kecuali
jika hanya dalam kadar sangat sedikit (misalnya terciprat), maka
darah cipratan tersebut tergolong najis yang di-ma’fu (ditolerir).
 Daging Babi
Para ulama menyepakati kenajisan daging babi, berdasarkan
firman Allah SWT.:
… atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor.
(QS. Al-An’am (6): 145)
 Tinja dan Air Kencing Manusia
Kalangan ahli fiqh sepakat bahwa tinja dan air kencing
manusia termasuk benda najis, selain air kencing dan tinja para
nabi dan air kencing bayi yang masih menyusu dan belum
mengonsumsi makanan, karena banyaknya dalil-dalil shahih yang
memastikan hal tersebut. Namun, menurut prinsip dasar agama,
keduanya najis.
Simpul kata, mencipratkan air ke bagian yang terkena air
kencing bayi sudah mencukupi selama si bayi hanya mengonsumsi
ASI saja, namun jika sudah mengonsumsi makanan sebagai
kebutuhan nutrisi, maka tanpa perselisihan lagi ia wajib dicuci.

24
 Kotoran dan Air Kencing Hewan yang Tidak Boleh Dimakan
Dagingnya
 Wadi
Wadi adalah air keruh yang keluar setelah kencing. Benda ini
tanpa perselisihan lagi hukumnya najis. Wadi yang keluar setelah
kencing harus dicuci bersih, baik yang keluar dari laki-laki maupun
perempuan, kemudian cukup berwudhu dan tidak perlu mandi
wajib.
 Madzi
Madzi adalah air berwarna putih, lembut, dan lengket yang
keluar dari kemaluan ketika bercumbu atau ketika menghayal dan
berhasrat melakukan hubungan seksual, dan terkadang keluarnya
tidak dirasa. Madzi dapat keluar dari laki-laki maupun perempuan,
namun lebih banyak keluar dari perempuan.
Menurut kesepakatan ulama, hukumnya najis. Jika terkena
badan maka harus dibasuh, sedangkan jika terkena baju, madzi
cukup diperciki air saja, karena najis seperti ini sangat sulit untuk
dihindari, mengingat madzi sering mengenai pakaian pemuda yang
masih membujang.
 Daging Hewan yang Haram Dimakan
Mayoritas sahabat, tabi’in, dan generasi setelah mereka
berpendapat bahwa daging hewan yang haram dimakan adalah
najis, meskipun disembelih menurut syariat. Ketentuan ini berlaku
atas daging keledai jinak, dan ini dapat diqiyaskan dengan hewan
lain yang tidak boleh dimakan dagingnya, karena sama-sama tidak
boleh dimakan dagingnya.
 Bangkai
Hewan yang mati tanpa disembelih secara syar’i hukumnya
najis. Tidak termasuk dalam kategori ini bangkai ikan dan belalang.
Keduanya tidak dianggap najis dan tetap suci.

25
 Bagian yang Terpisah dari Hewan yang Masih hidup
Para ulama sepakat bahwa apa yang terpisah dari anggota
tubuh manusia yang hidup tetap suci, sementara sesuatu yang
terpisah dari tubuh hewan yang masih hidup adalah najis.
b. Najis yang Masih Diperselisihkan Statusnya
 Tahi dan Air Kencing Hewan yang Halal Dagingnya
Dalam suatu hadis, Rasulullah SAW menyebut air kencing
secara umum, dan tidak mengkhususkannya hanya pada air kencing
manusia. Sehingga air kencing dan kotoran hewan yang halal
dagingnya pun termasuk dalam cakupan hadis ini. Mereka
mengqiyaskan kenjasian air kencing dan kotoran hewan yang halal
dagingnya dengan air kencing dan tinja manusia dengan
mekanisme qiyas aulawi. Sebab manusia bagaimanapun suci, baik
pada waktu hidup maupun sesudah menjadi mayat, namun tinja dan
air kencingnya tetap dihukumi najis. Oleh karena itu, jauh lebih
tepat jika kotoran dan air kencing selain manusia dihukumi najis
pula.
 Air Liur Anjing
Mayoritas ahli fiqih berpendapat bahwa air liur anjing adalah
najis. Dalam versi pendapat yang masyhur, Imam Malik
mengatakan bahwa anjing adalah suci, begitu pula air liurnya. Bila
bejana salah seorang di antara kaum muslimin ada yang dijilat
anjing, atau air di dalamnya diminum anjing, maka harus dicuci
tujuh kali, yang diantara cucian itu salah satunya ada yang
dicampur dengan debu. Ini adalah cara membersihkan pakaian,
badan, tempat maupun perabot rumah tangga yang terkena najis
mughalazah. Bukan saja dijilat anjing, tetapi juga dijilat babi,
terkena liurnya, atau memegangnya.
Menurut Imam Asy-Syafi’I dan Ahmad. Menurut Ahmad,
sabun dan lainnya dibenarkan oleh pengarang kitab Al-Muhadzdzab
(Imam Adz-Dzahabi), karena mensucikan najis dengan sesuatu

26
yang keras atu beku tidak hanya dikhususkan dengan mengunakan
tanah saja, seperti istinja’ (cebok) dan menyamak kulit. Namun,
ada juga yang mengatakan dalam hal ini bahwa tidak ada sesuatu
yang dapat menggantikan tanah, karena nash yang ada menyatakan
demikian sehingga barang yang terkena jilatan anjing harus dicuci
salah satunya dengan tanah bukan dengan yang lain, sebagaimana
halnya tayammum.
 Sperma (Mani)
Imam Syafi'i, Dawud Az-Zahiri, dan yang lainnya
berpendapat bahwa sperma adalah suci. Pendapat yang tepat dalam
hal ini adalah pendapat yang mengatakan bahwa air mani suci. Jika
memang air mani najis tentu nabi SAW akan memerintahkan
mereka untuk menghilangkan dan membersihkannya dari pakaian
mereka. Sudah maklum pula bahwa tidak ada seorang pun yang
pernah menukil riwayat dari nabi SAW bahwa beliau
memerintahkan seorang sahabat untuk membasuh baju yang
terkena sperma. Dari sini dapat diketahui dengan yakin bahwa tidak
wajib bagi mereka membantu dan mencuci pakaian yang terkena
sperma.
Idzikrah adalah nama sebuah tetumbuhan yang wangi
baunya, yang apabila dikeringkan berwarna putih. Artinya, setelah
bekas air sperma dikerik (dihilangkan) dengan tangan atau yang
lain, maka kemudian disunatkan untuk diberi wewangian pada
bekas tempat menempelnya sperma tersebut. Dan perlu dimengerti
serta difahami sekali lagi bahwa sebenarnya sperma adalah suci
sebagaimana sucinya air ludah.
 Tulang bangkai
Menurut imam Malik asy-syafi'i dalam qaul (pendapat) yang
masyhur dan Ahmad, tulang-tulang bangkai hewan, tanduk, kuku,
dan gigi hewan yang telah menjadi bangkai hukumnya najis, baik
bangkai hewan yang halal maupun hewan yang haram. Sedangkan

27
menurut kalangan ulama mazhab Hanafi ats-tsauri hal tersebut suci,
merujuk penuturan Ibnu Abbas: “Sesungguhnya yang diharamkan
dari bangkai adalah apa yang dapat dimakan dari nya, yaitu
dagingnya. Sedangkan kulit. gigi, tulang, bulu, dan wolnya tetap
halal.”
Terkait tulang-tulang hewan yang telah mati seperti gajah dan
lainnya, Az Zuhri mengatakan: Aku mendapati sekelompok kaum
salaf menggunakannya sebagai sisir dan minyak rambut dan
mereka tidak mempermasalahkannya. Ibnu Abbas berkomentar:
Sesungguhnya yang diharamkan hanya apa yang biasa dimakan
darinya, yakni dagingnya, sementara kulit, gigi, tulang, rambut, dan
wol, hukumnya halal.
Adapun air susu bangkai adalah suci, menurut pendapat yang
diunggulkan diantara beberapa pendapat ulama, karena para
sahabat ketika mereka berhasil menaklukkan negara Irak, mereka
memakan keju orang orang majusi yang bekerja sebagai pemerah
susu, padahal sembelihan mereka dianggap seperti bangkai.
 Rambut dan bulu bangkai
Pendapat yang masyhur di kalangan Mazhab Syafi'i
menyatakan bahwa rambut dan bulu bangkai adalah najis, sebab hal
tersebut berhubungan secara langsung dengan hewan yang sudah
menjadi bangkai sehingga sama-sama najis sebagaimana anggota
tubuh yang lain.
Sementara kalangan ulama mazhab Hanafi dan Maliki
menyatakan kesucian segala sesuatu yang berasal dari hewan yang
diharamkan pada saat masih hidup, kecuali babi seperti rambutnya,
bulunya, dan telurnya ini menjadi pendapat yang masyhur dari
Imam Ahmad dalam masalah rambut dan bulu hewan yang halal
dagingnya, karena ada hadits narasi Ibnu Abbas yang menyatakan
bahwasanya Nabi SAW bersabda “Mengapa tidak kalian ambil
kulitnya…” Hadits ini menunjukkan bahwa diluar daging, bagian-

28
bagian lain dari binatang yang sudah menjadi bangkai hukumnya
suci mengingat untuk mensucikan sesuatu yang terpisah dari
rambut dan bulu tidak diperlukan proses penyembelihan lihat
hewan tersebut, sehingga ia pun tidak najis karena kematiannya.
Selain itu, bulu dan rambut tidak dihalalkan pada saat hewan
tersebut hidup, sehingga ia pun tidak halal juga pada saat matinya.
Adapun sesuatu yang rontok dari rambut dan bulu hewan
pada masa hidupnya, jika hewan tersebut adalah hewan yang
dagingnya halal dimakan maka ia tetap bersatu suci menurut
kesepakatan ulama. Akan tetapi, jika hewan tersebut adalah hewan
yang haram dimakan dagingnya, maka menurut kalangan ulama
Mazhab Syafi'i dan Hanbali ia adalah najis, sementara menurut
kalangan ulama mazhab Hanafi dan Maliki ia adalah suci.
Binatang yang semula halal dimakan dagingnya, bila menjadi
bangkai, maka dagingnya haram dimakan. Demikian halnya
binatang buas. Namun kulitnya dapat dimanfaatkan, yakni dengan
cara disamak (dibersihkan lendirnya dan bekas-bekas darah yang
menempel). Caranya, dengan direndam dalam air dan diberi kulit
pepohonan yang getahnya dapat menghilangkan bekas darah
maupun lender yang tertempel pada kulit. di zaman yang sudah
maju ini, barangkali dengan diberi bahan kimia.
 Muntahan
Muntahan hukumnya adalah najis secara mutlak karena
merupakan makanan yang berubah menjadi busuk dan berbau di
dalam perut, baik muntahan manusia maupun lainnya, baik
muntahan tersebut keluar dalam kondisi berbeda dengan apa yang
dimakan maupun masih utuh. Ini adalah pendapat tiga imam
mazhab. Sedangkan menurut imam Malik dan sebagian kalangan
ulama madzhab Syafi'I, muntahan yang tidak berubah (masih utuh)
tetap suci, misalnya makanan atau minuman yang keluar dari perut

29
dalam keadaan utuh, air empedu, dan ginjal hewan yang haram
dimakan
 Basah-basah yang keluar dari lambung
Ia najis menurut imam Syafi'i dan Ahmad karena keluar dari
tempat najis, namun dianggap suci oleh Abu Hanifah dan
Muhammad Asy-Syaibani. Sementara kalangan ulama mazhab
Maliki menyatakan bahwa lambung adalah suci, sehingga apa yang
keluar dari lambung juga suci selama tidak berubah menjadi
sesuatu yang rusak, seperti muntahan yang berubah.
Adapun basah-basah yang keluar dari kemaluan, berupa air
putih yang keluar yang berulang-ulang antara madzi dan keringat,
menurut kalangan ulama mazhab Hanafi dan Maliki hukumnya
najis, dan pendapat ini diunggulkan oleh sebagian kalangan ulama
madzhab Syafi'i karena ia muncul dari tempat keluar najis.
Sedangkan Imam Ahmad mengatakan: Basah-basah yang keluar
dari kemaluan adalah suci, dan ini merupakan pendapat yang paling
shahih menurut kalangan ulama Mazhab Syafi'i yang menghukumi
sucinya mani.
 Minuman keras (khamr)
Minuman keras dinyatakan najis oleh mayoritas ulama.
Sementara sebagian ulama berpendapat bahwa minuman keras
adalah suci. Mereka mengartikan kata rijsun dalam ayat pada QS.
Al-Maidah (5): 90 sebagai najis maknawi, karena kata rijsun
berkedudukan sebagai khabar (predikat) bagi kata khamr dan kata-
kata yang di-‘athaf-kan padanya (=berjudi, berhala, mengundi
nasib dengan tanah), sehingga ia tentu saja tidak dapat
diilustrasikan sebagai sesuatu yang najis secara hissi (indriawi).
Status kenajisan khamr secara maknawi lebih dipertegas lagi
dengan firman Allah SWT. pada baris dan ayat berikutnya (QS. Al-
Maidah (5): 91) , bahwa hal tersebut termasuk perbuatan setan

30
yang dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian serta
menghalangi dari mengingat Allah dan shalat.
Jika demikian halnya, maka pengharaman khamr yang
ditunjukkan oleh ayat di atas tidak berarti bahwa khamr adalah
najis, sebab untuk menyatakan karena jasanya dibutuhkan dalil, dan
jika dalil tersebut tidak ada, maka ia tetap pada hukum dasar yang
telah disepakati para ulama, yaitu suci, dan barangsiapa yang
menentang, maka hendaknya ia memaparkan dalil dan
argumentasinya.
2. Najis yang Berlaku Khusus bagi Perempuan
Najis yang berlaku khusus bagi perempuan antara lain, yaitu darah
haid, nafas, dan istihadrah. Kesemuanya tergolong najis menurut
kesepakatan ulama, baik sedikit maupun banyak.
a. Darah Haid (Menstruasi)
 Pengertian
Menurut pengertian bahasa, haid adalah mengalir. Seorang
wanita disebut haid jika darahnya mengalir. Adapun yan dimaksud
disini adalah darah yang keluar dari kemaluan perempuan ketika
dalam kondisi sehat, bukan karena penyakit maupun akibat
kehamilan.
 Warna Haid
Untuk disebut sebai darah haid, warna darah yang keluar dari
kemaluan harus berwarna: hitam atau merah kental (tua), merah,
kuning, keruh, dan abu-abu (antara merah dan kuning).
Warna hitam atau merah kental (tua) adalah warna darah haid
menurut kesepakatan ulama. Adapun merah adalah warna asli
darah. Warna kuning adalah apa yang dilihat wanita seperti nanah
yang berwarna kekuning-kuningan, sedangkan warna keruh adalah
warna darah yang warnanya kekeruh-keruhan (tengah-tengah
antara warna putih dan hitam). Sementara warna abu-abu adalah
warna seperti warna debu. Semua warna darah di atas adalah warna

31
darah yang biasa keluar pada hari-hari haid warna darah di atas
tidak keluar di selain hari-hari haid.
Semua ulama sepakat bahwa umur minimal seorang wanita
ketika mengeluarkan darah haid adalah Sembilan tahun Qamariyah.
Jika darah keluar sebelum usia tersebut maka ia tidak dikatakan
sebagai darah haid, tetapi darah penyakit dan terkadang terus keluar
sampai akhir usia. Tidak ada dalil yang menyatakan terhentinya
darah haid. Sehingga ketika seorang nenek mengeluarkan darah
dari kemaluannya maka darah tersebut dapat dikatakan sebagai
darah haid.
 Masa Haid
Batas minimal dan maksimal keluarnya darah haid tidak
dapat ditentukan dengan pasti, karena dali-dalil yang dijadikan
sebagai acuan penentuan batas minimal dan maksimal haid
sebagian berstatus mauquf sehingga tidak dapat dijadikan sebgai
hujjah, dan sebagian lagi berstatus marfu, namun tidak shahih.
Karena itu ia tidak bisa dijasdikan sebgai pegangan dalam
menentukan batas minimal dan maksimal keluarnya darah haid.
Akan tetapi, yang dijadikan acuan dalam hal ini adalah adat
kebiasaan yang berulang-ulang ini bagi wanita yang mempunyai
ritme haid yang teratur, sedangkan bagi yang haidnya tidak teratur
maka ia dapat mengacu pada bukti-bukti sertaan (qarinah) yang
didapat dari darah yang keluar.
 Masa Suci Antara Dua Haid
Para ulama sepakat bahwa tidak ada batasan suci maksimal
yang memisah antara dua haid, akan tetapi meeka berselisih
pendpaat mengenai batas minimalnya. Sebagian ulama menetapkan
batas minimal masa suci antara dua haid adalah 15 hari, sedangkan
yang lain berpendapat bahwa batas minimalnya dalah 13 hari.
Namun, tidak ada dalil dapat dijakdikan acuan dalam menetapkan
batas miniml tersebut.

32
b. Nifas
 Pengertian
Menurut arti bahasa nifas adalah persalinan. Sedangkan
menurut istilah nifas adalah darah yang keluar dari kemluan wanita
pada saat melahirkan atau setelahnya jika bayi lahir premature.
 Masa Nifas
Tidak ada abatasan minimal bagi wanita yang nifas menurut
pendapat tiga imam, begitu juga menurut kalangan ulama mazhab
Hanafi dalam konteks ibadah, sedangakan dalam konteks adat, Abu
Hanifah menyatakan bahwa batas minimalnya adalah 25 hari,
sementara Abu Yusuf menyatakan 11 hari, dan Muhammad Asy-
Syaibani mamatok satu jam (sesaat).
Atas dasar ini, nifas dapat terjadi hanya sebentar saja. Jika
seorang wanita melakukan kemudian darahnya terhenti seiring
dengan lahirnya si bayi, atau bahkan melahirkan tanpa
mengeluarkan darah, maka habislah waktu nifasnya dan sebagai
konsekuensinya ia wajib melkauakn semua yang dilakuakn oleh
orang yang suci, yaitu puasa, shalat, dan lain sebaginya.
Adapun batas maksimalnya adalah 40 hari. Pendapat ini
dinyatakan oleh kalangan ulama mazhab Hanafi, Ibnu Mubarak,
Sufyan Ats-Tsauri, Imam Ahmad, dan Asy-Syafi’I dalam versi
yang dilansir At-Tirmidzi. Sementara itu, disisi lain, kalangan
ulama mazhab Maliki dan mazhab Syafi’I berpendapat bahwa batas
maksimal nifas adalah 60 hari. Pendapat ini juga diriwayatkan dari
Asy-Syabi’I dan Atha, Al-Hasan Al-Bashri mengatakan batas
maksimal nifas adalah 50 hari. Pendapat yang diunggulkan dalam
hal ini adalah pendapat pertama yang mengatakan bahwa batas
maksimal nifas adalah 40 hari.
 Suci di Antara Haid dan Nifas
Kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa suci di
sela-sela haid dan nifas pada masa haid adalah haid. Begitu pula

33
suci di sela-sela bifas dan haid pada masa nifas menurut Abu
Hanifah dianggap sebagai nifas. Pendapat yang masyhur di
kalangan mazhab Syafi’I juga menyatakan bahwa suci yang terjadi
di sela-sela haid dan nifas dianggap sebgai haid, sementara suci di
sela-sea nifas dan haid dianggap sebagai nifas.
Sementara itu, kalangan ulama mazhab maliki dan Hanbali
menyatakannya sebagai kondisi suci, dan wanita yang
mengalaminta wajib mandi pada hari di mana darah tersebut
mampet (berhenti), juga berpuasa, shalat, dan boleh berhubungan
badan.
Darah yang terhenti menurut kalangan ulama mazhab Maliki
dianggap haid selama total waktunya tidak melebihi 15 hari, begitu
juga menurut kalangan ulmaa mazhab Hanbali jika total darah yang
keluar tidak kurang dari sehari semalam dan total wkatu suci dan
haid tidak lebih dari 15 hari.
Hal-Hal yang Diharamkan Pada saat Haid dan Nifas
Ada delapan hal yang diharamkan pada saat haid dan nifas
adalah sebagai berikut:
1. Shalat
2. Puasa
3. Thawaf
4. Masuk Masjid
5. Membaca Al-Quran
6. Memegang dan Membawa Sesuatu yang Memuat Al-Quran
7. Berhubungan Badan
c. Istihadhah
 Definisi
Secara etimologi, Istihadhah berarti mengalir, sedangkan
menurut terminologi syara’ ia adalah darah yang keluar dari wanita
karena adanya suatu penyakit, di luar masa haid dan nifas. Salah
ssatu dirinya adalah ia tidak berbau nyinyir.

34
 Kondisi Wanita yang Istihadhah
Pertama, Istihadhah terjadi dalam rentang masa haid telah
diketahui secara jelas sebelum terjadinya Istihadhah. Dalam
kondisi ini, ia disebut masa haid. Sedangkan jika terjadi di luar
masa haid yang telah diketahui, maka satatusnya seperti wanita
yang telah suci dan karenanya ia wajib melakukan shalat.
Kedua, darah terus keluar sementara si wanita tidak memilki
siklus haid yang rutin, entah karena ia lupa kebiasaan haidnya atau
karena ia tidak mampu membedakan antara darah Istihadhah dan
darah haid, maka dalam kondisi ini haidnya ditentukan enam atau
tujuh hari sebgaimana siklus hais kaum wanita pada umumnya.
Ketiga, ia tidak memiliki siklus haid yang rutin (haidnya
tidak teratur), akan tetpi ia mampu membedakan antara haid
dengan lainnya. Dalam kondisi ini, ia harus menggunakan
kemampuannya dalam membedakan darah yang keluar.
 Hukum-Hukum yang Berkaitan dengan Wanita Istihadhah
Ada beberapa hukum yang berlaku bagi wanita yang
Istihadhah, antara lain sebagai berikut:
1. Ia tidak wajib mandi untuk melaksanakan shalat maupun mandi
pada waktu-waktu tertentu, kecuali hanya sekali saja, yaitu
ketika suci dari haid. Ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf
maupun khalaf.
2. Ia wajib berwudhu setiap hendak melaksanakan shalat.
3. Membasuh kemaluannya sebelum wudhu dan membalutnya
dengan kain atau kapas pembalut untuk menghilangkan atau
menyedikitkan najis. Jika darah tidak dapat disumbat dengan
kapas, maka kemaluannya harus dibalut dengan sesuatu yang
dapat menghentikan darah. Namun, hal ini tidak wajib,
melainkan hanya lebih utama.

35
4. Ia menurut mayoritas ulama tidak perlu berwudhu sebelum
masuk waktu shalat, karena sucinya adalah darurat sehingga
tidak perlu didahulukan sebelum dibutuhkan.
5. Suaminya menurut mayoritas ulama boleh menyetubuhi di luar
hari-hari haid, meskipun darahnya masih tetap keluar.
6. Ia berstatus layaknya wanita-wanita yang suci sehingga ia wajib
melaksanakan shalat, puasa, boleh I’tikaf, membaca Al-Quran,
memegang dan membawa mushaf, dan melaksanakan segala
jenis ibadah, dan hal ini sudah menjadi kesepakatan seluruh
ulama.

E. HIKMAH THAHARAH
Dalam kehidupan sehari-sehari, thaharah memiliki hikmah
yaitu:
1. Membiasakan hidup bersih dan sehat.
2. Membiasakan hidup yang selektif.
3. Sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan Allah SWT melalui
shalat.
4. Sebagai sarana untuk menuju surga.
5. Menjadikan kita dicintai oleh Allah SWT.

36
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Thaharah adalah upaya membersihkan diri dari najis. Secara
istilah, thaharah berarti menghilangkan hadast, najis, dan kotoran (dari
tubuh yang menyebabkan tidak sahnya ibadah) menggunakan air atau
tanah yang bersih. Thaharah atau bersuci dan segala seluk-beluknya adalah
termasuk bagian dari ilmu dan amalan yang penting, terutama karena
sebagian di antara syarat-syarat shalat adalah harus suci dari hadast, dan
suci pula badan, pakaian, serta tempat pelaksanaan shalat dari najis. Sebab
orang-orang yang bersuci sangat dicintai Allah.

Ada beberapa cara untuk thaharah dari najis dan hadas, antara lain:
wudhu’, tayamum, dan mandi. Wudhu secara bahasa etimologi diambil
dari lafal al wadha’ah yang artinya bagus dan bersih. Sedangkan menurut
terminologi syara’ wudhu berarti aktivitas bersuci dengan media air yang
berhubungan dengan empat anggota tubuh; muka kedua tangan kepala dan
kedua kaki. Wudu’ merupakan bagian daripada thaharah. Menurut arti
bahasa, tayammum berarti menyengaja. Sedangkan menurut terminologi
syara’, berarti menyengajakan diri menyentuh debu yang suci untuk
mengusap wajah dan kedua tangan dengan sekali atau dua kali sentuhan,
dengan niat agar memperoleh kebolehan melakukan sesuatu yang
sebelumnya terhalang oleh adanya hadats, bagi orang yang tidak
menemukan air atau takut adanya bahaya apabila menggunakannya. Dan
mandi adalah membasuh badan dengan air untuk menghilangkan segala
kotoran yang ada di anggota badan, maupun membersihkan diri dari hadas
besar.

37
Ada beberapa hikmah dari tharah, anatara lain: Membiasakan hidup
bersih dan sehat, membiasakan hidup yang selektif, sebagai sarana
untuk berkomunikasi dengan Allah SWT melalui shalat, sebagai sarana
untuk menuju surga, menjadikan kita dicintai oleh Allah SWT.

B. SARAN
Islam mengajarkan kita untuk berthaharah dan menjaga kebersihan.
Karena pada dasarnya manusia itu fitrahnya adalah bersih dan membenci
hal-hal kotor. Oleh karena itu, thaharah sangat penting bagi kehidupan
manusia. Dengan thaharah, seseorang diajarkan untuk sadar dan mandiri
dalam menjaga dirinya dari hal-hal kotor, karena seorang muslim harus
suci ketika berhadapan dengan Allah SWT. dalam shalatnya, karena Allah
menyukai orang-orang yang taubat dan membersihkan dirinya.

DAFTAR PUSTAKA

Aibak, Kutbuddin. 2015. Fiqih Tradisi Menyibak Keragaman dalam


Keberagamaan. Yogyakarta: KALIMEDIA

38
As- Sayuthi, Al- Hafizh Jalaluddin. Proses Lahirnya Sebuah Hadist. Penerbit
Pustaka
Azzam, Abdul Aziz Muhammad & Hawwas, Abdul Wahhab Sayyed. 2015. Fiqh
Ibadah. Jakarta: AMZAH
Fattah, E.M. Sa’adi. 2007. Bimbingan Praktis Fiqih Ibadah. Bandung: EL-FATH
Mahali, Ahmad Mudjab. 2003. Hadis-Hadis Ahkam Riwayat Asy-Syafi’I Jilid I:
Membahas Masalah Thaharah dan Shalat. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Mardani. 2012. Hadis Ahkam. Jakarta: Rajagrafindo Persada
Shalih, Su’ad Ibrahim. 2011. Fiqh Ibadah Wanita. Jakarta: AMZAH

39

Anda mungkin juga menyukai