Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan


persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum
dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain
Al-Qur’an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan
sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Sanad dan matan merupakan dua unsur
pokok yang harus ada pada setiap hadist, antara keduanya memiliki kaitan yang
sangat erat dan tidak dapat dipisakan. Suatu berita tentang rasulullah SAW
(matan) tanpa ditemukan rangkaian atau susunan sanadnya, yang demikian tidak
dapat disebutkan hadits, sebaliknya suatu susunan sanad, meskipun bersambung
sampai rasul, jika tidak ada berita yang dibawanya, juga tidak bisa disebut hadist.
Pembicaran dua istilah diatas, sebagai dua unsur pokok hadist, matan dan sanad
diperlukan setelah rasul wafat. Hal ini karna berkaitan dengan perlunya penelitian
terhadap otentisitas isi berita itu sendiri apakah benar sumbernya dari rasul atau
bukan.Upaya ini akan menentukan bagaimana kualitas hadits tersebut, yang akan
dijadikan dasar dalam penetapan syari’at islam.

I.2. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian sanad hadits?


2. Apa pengertian matan hadits?
3. Apa peranan sanad dalam pendokumentasian hadist?
4. Bagaimana periwayatan hadits dengan lafadz dan makana?
5. Apa saja istilah dan laqob yang berkaitan dengan periwayatan hadits?

I.3. Tujuan

1. Untuk memahami pengertian sanad hadits


2. Untuk memahami pengertian matan hadits
3. Untuk memahami peranan sanad dalam pendokumentasian hadits
4. Untuk memahami periwayatan hadits dengan lafadz dan makna
5. Untuk memahami istilah dan laqob yang berkaitan dengan periwayatan
hadits
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN SANAD

Kata sanad atau as-sanad menurut bahasa, dari sanada, yasnudu yang

berati (sandaran/tempat bersandar, tempat berpegang, yang dipercaya


atau yang sah). Dikatakan demikian karena, karena hadist itu bersandar kepadanya
dan dipegangi atas kebenaranya.

Secara temionologis,difinisi sanad iyalah :

” Jalan yang menyampaikan kepada matan hadis”

Contoh :

"Dikhabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari Nafi, yang
menerimanya dari Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda,
"Janganlah sebagian dari antara kamu membeli barang yang sedang dibeli
oleh sebagian yang lainnya." (Al-Hadis)

Dalam hadis tersebut yang dinamakan sanad adalah:


(Dikhabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari nafi yang
menerimanya dari Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW
bersabda:...) 1

2.2 PENGERTIAN MATAN HADIS

Adapun matan dari segi bahasa artinya membelah, mengeluarkan, mengikat.


Sedangkan menurut istilah ahli hadis, matan yaitu:

(perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW yang
disebut sesudah habis disebutkan sanadnya) .

Dalam perkembangan karya penulisan ada matan dan syarah. Matan di sini
dimaksudkan karya atau karangan asal seseorang yang pada umumnya
menggunakan bahasa universal, padat dan singkat, sedang syarah-nya
dimaksudkan penjelasan yang lebih terurai dan terperinci. Dimaksudkan dalam
konteks hadis, hadis sebagai matan kemudian diberikan syarah atau penjelasan
yang luas oleh para ulama, misalnya Shahih Al-Bukhari di syarah-kan oleh Al-
Asqalani dengan nama Fath Al-Bari dan lain-lain.
Dari pengertian diatas, menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan matan adalah

1
Mansur Zabri, Materi Unsur Pokok Sebuah Hadist ,(Yogyakarta:UINsukijo),1
materi atau lafaz hadis itu sendiri. Beberapa definisi matan yang diberikan pada
ulama, tetapi intinya sama yaitu materi atau isi berita hadis itu sendiri yang datang
dari Nabi. Matan hadis ini sangat penting karena yang menjadi topik kajian dan
kandungan syari’at islam untuk dijadikan petunjuk dalam beragama.

" Dari Muhammad yang diterima dari Abu Salamah yang diterimanya dari
Abu Hurairah. bahwa Rasulullah SAW bersabda; "Seandainya tidak
memberatkan terhadap umatku, niscaya aku suruh mereka untuk bersiwak
(menggosok gigi) setiap akan melakukan salat. " (Al-Hadis)

Yang disebut matan dalam hadis tersebut yaitu:

"Seandainya tidak memberatkan terhadap umatku, niscaya aku suruh mereka


untuk bersiwak (menggosok gigi) setiap akan melakukan salat. " (Al-Hadis)
2.3 Sanad Dan Hubungannya Dengan Dokumentasi Hadis

1. Dokumentasi Sanad Hadis


Dokumentasi sanad hadits merupakan hal sangat urgen dalam menjaga
keotentikannya hadis. Karena merupakan sumber ajaran setelah al-Qur’an yang
sudah menjadi pola amāliyah masyarakat. Dengan demikian, tidak diragukan lagi
kebenarannya. Hal tersebut dilakukan untuk menyaring unsur-unsur luar yang
masuk ke dalam hadis, baik yang disengaja ataupun tidak. Maka, dengan
dokumentasi terhadap sanad tersebut, hadis-hadis Rasulullah SAW dapat terhindar
dari segala yang mengotorinya.
Nasir mengutip pendapatnya Sufyan al-Tsauri, “Sanad adalah senjata
orang mukmin, seandainya ia tidak bersenjata lalu dengan apa dia akan
berperang?” Senada dengan Abdullah bin Mubarak yang dikutip Jamal:
‫اإلسناد من الدين ولو ال اإلسناد لقال من شاء ما شاء‬
“Sanad adalah bagian dari agama, kalau bukan karena sanad niscaya
banyak orang akan berkata seenaknya”.2
Dokumentasi sanad hadis berjalan seirama dengan penulisan hadis, hal
tersebut sebagai salah satu data sejarah yang cukup unik dan lama, data tersebut
merupakan kitab-kitab hadis. Kitab tersebut terpelihara dan diwariskan secara
estafet dari satu generasi ke generasi sesudahnya.
Salah satu kelebihannya kitab-kitab hadis tersebut dibukukannya data
orang-orang yang menerima dan meriwayatkan hadis-hadis tersebut, yang disebut
sanad.
Sanad hadis satu persatu terdokumentasikan secara urut dan valid. Hal itu
dapat dilihat pada kitab, al-Jāmi’ al-Shahīh (al-Bukhari dan Muslim). Juga seperti
ulama-ulama berikut: Abu Daud, al-Turmudzi, al-Nas’I, ibn Majah, Malik bin
Anas, Ahamd bin Hambal, al-Darimi, al-Daruquthni, dan al-Hakim. Mereka
semua menulis hadis lengkap dengan sanadnya. Hal ini bukti bahwa sanad hadis
terdokumentasi dengan baik.
2. Peranan Sanad dalam Dokumentasi Hadis

2Abū ‘Abdillah bin Isma‘īl al-Buẖāry, Shaẖīh al-Bukhārī, (t.tp.: Dār al-Fikr, 2005), daftar isi kitab Shaẖīh
al-Bukārī. Jilid 1,2,3 dan 4.
Peranan sanad dalam kaitannya dengan dokumentasi hadis, yaitu:
menyangkut pengumpulan dan pemeliharaan hadis, baik dalam bentuk tulisan atau
dengan mengandalkan daya ingat yang kuat.
Proses dokumentasi hadis melalui periwayatan, menurut Fachrur Rahman
yang dikutip Badri Khaeruman, memerlukan proses penerimaan (Naql dan
Tahammul) hadis oleh seorang rawi dari gurunya dan setelah dipahami,
dihaflalkan, dihayati, diamalkan (dhabth), ditulis, di-tadwin (tahrir), dan
disampaikan kepada orang lain sebagai muridnya (ada’) dengan menyebut sumber
pemberitaan riwayatnya.
Kegiatan pendokumentasian hadis, terutama pengumpulan dan
penyampaian hadis-hadis Nabi SAW, baik melalui hafalan maupun melalui tilisan
yang di lakukan oleh para Sahabat, Tābi‘īn, Tābi‘ al- Tābi‘īn, dan mereka yang
datang sesudahnya, yang rangkaian mereka itu disebut Sanad, sampai generasi
yang dibukukan hadis-hadis tersebut, seperti Malik ibn Anas, Ahmad ibn Hambal,
Bukhari, Muslim, dan lainnya, telah menyebabkan kepemeliharaannya hadis-hadis
sampai di tangan kita seperti sekarang ini.
Dalam perkembangan berikutnya, proses pendokumentasian hadis
semakin banyak dilakukan dengan tulisan. Hal ini terlihat dari delapan metode
mempelajari hadis yang di kenal di kalangan Ulama hadis.
Metode-motode tersebut adalah: Sama’ min lafdh al-Syaikh
(mendengarkan sendiri dari perkataan gurunya), al-Qirā’ah ‘alā al-Syaikh (murid
membaca sendiri di hadapan gurunya), Ijāzah ( pemberin izin dari seseorang
kepada orang lain untuk meriwayatkan hadis darinya atau dari kitab-kitabnya),
Munāwalah ( seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau
salinan yang sudah dikoreksi), Mukātabah (seorang guru menulis atau menyuruh
orang lain untuk menulis beberapa hadis kepada orang di tempat lain atau yang
ada di hadapannya), Wijādah (memperoleh tulisan hadis orang lain yang tidak
diriwayatkan dengan sama’, qirā’ah maupun yang lainnya, dari pemilik
hadis atau pemilik tulisan tersebut), washīyah (pesan seseorang ketika akan
meninggal atau bepergian dengan sebuah kitab tulisan supaya diriwayatkan), dan
I’lām (pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadis yang
diriwayatkan adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari seorang guru dengan
tidak mengatakan (menyuruh) agar si murid meriwayatkan.
Berdasarkan cara-cara tersebut, tiap-tiap sanad hadis secara
berkesinambungan. Mulai dari Sahabat, Tābi‘īn, Tābi‘ al- Tābi‘īn, dan seterusnya
sampai terdokumennya hadis-hadis Nabi SAW. di dalam kitab-kitab hadis seperti
yang kita jumpai sekarang, telah memelihara dan menjaga keberadaan dan
kemurnian hadis Nabi SAW, yang merupakan sember kedua dari ajaran Islam.
Kegiatan pendokumentasian hadis yang dianjurkan oleh masing-masing
sanad tersebut di atas, baik melalui hafalan maupun tulisan, telah pula
didokumentasikan oleh para Ulama dan para peneliti serta kritikus hadis. Kitab-
kitab hadis yang muktabar dan standart, seperti Shahih Bukhori, Shahih Muslim,
dan lainnya, di dalam menuliskan hadis, juga menuliskan secara urut nama-nama
sanad hadis satu persatu, mulai dari sanad pertama sampai sanad terakhir.

2.4 Periwayatan Dengan Lafaz (Riwayat Bil Lafzi)

Meriwayatkan hadis dengan lafaz adalah meriwayatkan hadis sesuai


dengan lafaz yang mereka terima dari Nabi Muahmmad. Dengan istilah lain yaitu
meriwayatkan hadis dengan lafaz yang masih asli dari Nabi Muhammad SAW.
Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalur ini. Mereka
berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari Nabi Muhammad
SAW bukan menurut redaksi mereka. Malahan semua sahabat menginginkan agar
periwayatan itu dengan lafzi bukan maknawi3
Tercatat dalam sejarah, bahwa para sahabat nabi adalah orang yang sangat
berhati-hati dan ketat dalam periwayatan hadis. Mereka tidak mau meriwayatkan
sebuah hadis hingga yakin betul teks serat huruf demi huruf yang akan
disampaikan itu sama dengan yang mereka terima dari Nabi Muhammad SAW.
Sebagian sahabat ada yang jika ditanya tentang sebuah hadis merasa lebih
senang jika sahabat lain yang menjawabnya. Hal demikian agar ia terhindar dari

3
Abdul Aziz Ahmad Jasim, Op Cit, h.24
kesalahan periwayatan. Menurut mereka, apabila hadis yang diriwayatkan itu
tidak sesuai dengan redaksi yang diterima, mereka telah melakukan perbuatan
dosa, seolah-olah telah melakukan pendustaan terhadap nabi Muhammad SAW.
Kekhawatiran tersebut karena didorong oleh rasa keimanan mereka yang kuat
kepada Nabi Muhammad SAW4
Dalam hal ini Umar bin Khatab pernah berkata:
‫من سمع حديثا فحدث به كما سمع فقد سلم‬
Artinya: “Siapa yang mendengar sebuah hadis kemudian ia meriwayatkannya
seperti yang ia dengar, maka ia telah selamat”

Periwayatan dengan lafaz ini dapat kita lihat pada hadis-hadis yang
memiliki redaksi sebagai berikut:
‫( سمعت‬Saya mendengar)
Contoh:
‫ب َعلَى أ َ َح ٍد‬ َّ َ‫ إِ َّن َكذِبا ً َعل‬:‫ سمعت رسول هللا صلّى هللا عليه وسلّم يقول‬:‫عن المغيرة قال‬
َ ‫ي لَي‬
ٍ ‫ْس َك َك ِذ‬
)‫ار (رواه مسلم وغيره‬ ِ َّ‫ي ُمت َ َع ِ ّمداً فَ ْليَتَبَ َّوأْ َم ْق َعدَهُ ِمنَ الن‬
َّ َ‫ب َعل‬
َ َ‫فَ َم ْن َكذ‬
Artinya: Dari Mughirah ra, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas nama orang lain.
Maka siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya ia menempati
tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim dan lain-lainnya)

‫ ( حدّثنى‬ia menceritakan kepadaku)


Contoh:
ُ ‫ي هللاُ َع ْنهُ اَ َّن َر‬
ِ‫س ْو ُل هللا‬ ِ ‫الرحْ َم ِن َع ْن ا َبِى ه َُري َْرة َ َر‬
َ ‫ض‬ َّ ‫ب َع ْن ُح َم ْي ِدب ِْن َع ْب ِد‬ ٍ ‫َحدَّتَنِى َما ِلكٌ َع ِن اب ِْن ِش َها‬
ُ‫غ ِف َر لَه‬
ُ ‫سابًا‬
َ ِ‫ضانَ اِ ْي َمانًا َواحْ ت‬ َ َ‫ َم ْن ق‬:َ‫سلَّ َم قَال‬
َ ‫ام َر َم‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ
‫َما تَقَد ََّم ِم ْن ذَ ْنبِ ِه‬
Artinya: Malik dari Ibnu Syihab telah bercerita kepadaku, dari Humaidi bin Abdur
Rahman dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang
melakukan qiyam Ramadhan dengan iman dan ihtisab, diampuni doasa-dosanya
yang telah lalu.”

4
A.Rahman Ritonga, Op Cit, h.181
‫( أخبرنى‬Ia memberitakan kepadaku)
‫( رأيت‬Saya melihat)
Contoh:
ّ ‫ رأيت عمربن الخ‬:‫عن عبّاس بن ربيع قال‬
‫طاب رضي هللا عنه يقبّل الحجر “يعنى األسود” ويقول‬
‫س َّل َم يُقَ ِّبلُكَ َما‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ال أ َ ِنّى َرأَيْتُ َر‬
َ ِ‫س ْو َل هللا‬ َ ‫ِإ ِنّى الَ َء ْعلَ ُم أ َ َّنكَ َح َج ٌر الَتَض ُُّر َوالَ ت َ ْنفَ ُع َولَ ْو‬
)‫قَب َّْلتُكَ (رواه البخارى ومسلم‬

Artinya: Dari Abbas bin Rabi’ ra., ia berkata: Aku melihat Umar bin Khaththab
ra., mencium Hajar Aswad lalu ia berkata: “Sesungguhnya benar-benar aku tahu
bahwa engkau itu sebuah batu yang tidak memberi mudharat dan tidak (pula)
memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah SAW. menciummu,
aku (pun) tak akan menciummu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis yang menggunakan lafaz-lafaz di atas memberikan indikasi, bahwa


para sahabat langsung bertemu dengan Nabi SAW dalam meriwayatkan hadis.
Oleh sebab itu para ulama menetapkan periwayatan hadis dengan lafaz dapat
dijadikan hujjah, dan tidak ada khilaf.

2.5 Periwayatan dengan ma’na (riwayat bil ma’na)

Meriwayatkan hadis dengan makna adalah meriwayatkan hadis


berdasarkan kesesuaian maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh
orang yang meriwayatkan. Dengan kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah
hanya dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafaz
atau susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat tidak sama
daya ingatannya, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu
kemungkinan masanya sudah lama, sehingga yang masih ingat hanya maksudnya
sementara apa yang diucapkan Nabi sudah tidak diingatnya lagi.
Periwayatan hadis dengan makna tidak diperbolehkan kecuali jika perawi
lupa akan lafaz tapi ingat akan makna, maka ia boleh meriwayatkan hadis dengan
makna5
Sedangkan periwayatan hadis dengan makna menurut Luis Ma’luf adalah
proses penyampaian hadis-hadis Rasulullah SAW dengan mengemukakan makna
atau maksud yang dikandung oleh lafaz karena kata makna mengandung arti
maksud dari sesuatu.
Menukil atau meriwayatkan hadis secara makna ini hanya diperbolehkan
ketika hadis-hadis belum terkodifikasi. Adapun hadis-hadis yang sudah terhimpun
dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan
merubahnya dengan lafaz/matan yang lain meskipun maknanya tetap.
Dengan kata lain bahwa perbedaan sehubungan dengan periwayatan hadis
dengan makna itu hanya terjadi pada masa periwayatan dan sebelum masa
pembukuan hadis. Setelah hadis dibukukan dalam berbagai kitab, maka perbedaan
pendapat itu telah hilang dan periwayatan hadis harus mengikuti lafaz yang
tertulis dalam kitab-kitab itu, karena tidak perlu lagi menerima hadis dengan
makna.
Pada umumnya para sahabat Nabi membolehkan periwayatan hadis secara
makna, seperti: Ali bin Abi Talib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin
Mas’ud(wafat 32 H/652 M), Anas bin Malik (wafat 93 H/711 M), Abu Darda’
(wafat 32 H/652 M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M) dan Aisyah istri
Rasulullah (wafat 58 H/678 M). Para sahabat Nabi yang melarang periwayatan
hadis secara makna, seperti: Umar bin Al-khattab, Abdullah bin Umar bin al-
Khattab dan Zaid bin Arqam.
Terjadinya periwayatan secara lafaz disebabkan beberapa faktor berikut:
a. Adanya hadis-hadis yang memang tidak mungkin diriwayatkan secara lafaz,
karena tidak adanya redaksi langsung dari nabi Muhammad SAW, seperti hadis
fi’liyah, hadis taqririyah, hadis mauquf dan hadis maqthu’. Periwayatan hadis-
hadis tersebut adalah secara makna dengan menggunakan redaksi perawi sendiri.

5
Abdul Aziz Ahmad Jasim, Op Cit, h.24
b. Adanya larangan nabi untuk menuliskan selain Alquran. Larangan ini membuat
sahabat harus menghilangkan tulisan-tulisan hadis. Di samping larangan, ada
pemberitahuan dari nabi tentang kebolehan menulis hadis
c. Sifat dasar manusia yang pelupa dan senang kepada kemudahan,
menyampaikan sesuatu yang dipahami lebih mudah dari pada mengingat susunan
kata-katanya6

Adapun contoh hadis ma’nawi adalah sebagai berikut:


‫س ْو َل هللاِ ا َ ْنكِحْ نِ ْي َها َولَ ْم‬ َ َ‫ ي‬:َ‫س َهالَهُ فَتَقَدَّ َم َر ُج ٌل فَقاَل‬
ُ ‫ار‬ َ ‫سلَّ َم َوا َ َرادَ ا َ ْن ت َ ِه‬
َ ‫ب نَ ْف‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ‫ي‬ ّ ِ‫َت اِ ْم َرأَة ٌ اِلَى النَّب‬
ْ ‫َجائ‬
‫آن‬ِ ‫س َّل َم ا َ ْن َكحْ ت ُ َك َها ِب َما َم َعكَ ِمنَ ا ْلقُ ْر‬
َ ‫ص َّلى هللاُ َع َل ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬ ُّ ‫آن فَقا َ َل لَهُ النَّ ِب‬ ِ ‫ض ْالقُ ْر‬ ِ ‫يَ ُك ْن َم َعهُ ِمنَ ْال َم ْه ِر َغي َْر بَ ْع‬
ِ ُ‫ زَ َّوجْ ت ُ َك َها َعلَى َم َعكَ ِمنَ ْالق‬,‫آن وفىرواية‬
‫ َملَ ْكت ُ َك َها ِب َما‬,‫رآن وفىرواية‬ ِ ‫ قَدْ زَ َّوجْ ت ُ َك َها ِب َما َم َعكَ ِمنَ ْالقُ ْر‬,‫وفىرواية‬
)‫رآن (الحديث‬ ِ ُ‫َمعَكَ ِمنَ ْالق‬

Artinya: Ada seorang wanita datang menghadap Nabi SAW, yang bermaksud
menyerahkan dirinya (untuk dikawin) kepada beliau. Tiba-tiba ada seorang laki-
laki berkata: Ya Rasulullah, nikahkanlah wanita tersebut kepadaku, sedangkan
laki-laki tersebut tidak memiliki sesuatu untuk dijadikan sebagai maharnya selain
dia hafal sebagian ayat-ayat Alquran. Maka Nabi SAW berkata kepada laki-laki
tersebut: Aku nikahkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar (mas kawin)
berupa mengajarkan ayat Alquran.

Dalam satu riwayat disebutkan:


“Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar berupa
(mengajarkan) ayat-ayat Alquran.”

Dalam riwayat lain disebutkan:


“Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut atas dasar mahar berupa
(mengajarkan) ayat-ayat Alquran.”

Dan dalam riwayat lain disebutkan:

6
A.Rahman Ritonga, Op Cit, h.181
“Aku jadikan wanita tersebut milik engkau dengan mahar berupa (mengajarkan)
ayat-ayat Alquran.” (Al-Hadis)

2.6. Istilah dan Laqab yang Berkaitan dengan Periwayatan Hadits

a. Menurut IbnuHajar Al-‘Asqalani (dalam Bulughul Maram) dan


Muhammad Ibn Ismail Al-Shan’ani (dalam Subul al Salam, yaitu Syarah
dari Bulughul Maram).

1. Akhrajahu al-Sab’ah
Istilah ini umumnya mengiringi matan dari suatu Hadits. Hal
tersebut berarti bahwa Hadits yang disebutkan terdahulu diriwayatkan oleh
tujuh Ulama’ atau Perawi Hadits, yaitu Imam Ahmad, Bukhari, Muslim,
Abu Daud, Al-Tirmidzi, Al-Nasa’i, dan Ibn Majjah.

2. Akhrajahu al-sittah
Maksud Istilah ini adalah bahwa matan Hadits yang disebutkan
dengannya adalah diriwayatkan oleh enam orang perawi Hadits, yaitu:
Bukhari, Muslim, Abu Daud, Al-Tirmidzi, Al-Nasa’i, dan Ibn Majjah.

3. Akhrajahu al-khamsah atau disebut juga Akhrajahu al-Arba’ah wa Ahmad


Maksudnya adalah matan Hadits yang disebutkan bersamanya
diriwayatkan oleh lima orang Imam Hadits, yaitu: Ahmad, Bukhari,
Muslim, Abu Daud, Al-Tirmidzi, Al-Nasa’i, dan Ibn Majjah.

4. Akhrajahu al-Arba’ah atau Akhrajahu Ahab al-Sunan


Bahwa matan Hadits yang disebutkan dengannya diriwayatkan
oleh empat orang Imam Hadits, yaitu penyusunan kitab-kitab sunan, yang
terdiri atas: Abu Daud, Al-Tirmidzi, Al-Nasa’i, Ibn Majjah.
5. Akhrajahu al-Tsalatsah
Maksudnya, adalah bahwa matan Hadits yang disebutkan
besertanya diriwayatkan oleh tiga orang imam Hadits, yaitu: Abu Daud,
Al-Tirmidzi, Al-Nasa’i.

6. Muttafaq ‘Alaihi
Maksudnya, bahwa matan Hadits tersebut diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim dengan ketentuan bahwa sanad terakhirnya, yaitu di
tingkat Sahabat, bertemu.
Perbedaannya dengan Al-Bukhari wa Muslim adalah, bahwa yang
disebut terakhir, matan Haditsnya diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim,
tetapi sanad-nya berbeda pada tingkatan sahabat, yaitu di tingkat sahabat
kedua sanad tersebut tidak bertemu. Istilah yang terakhir ini sama dengan
Rawahu Al-Syaykhan, Akhrajahu Al-Syaykhan, atau Rawahu Bukhari Wa
Muslim.

7. Akhrajahu al-Jama’ah
Maksudnya, bahwa matan Hadits tersebut diriwayatkan oleh
jemaah ahli Hadits.

Menurut Ibn Taimiyah

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Syawkani didalam Nail al-Awthar, terdapat


beberapa perbedaan. Yaitu, yang dimaksud dengan Rawahu Al-Jama’ah, adalah
sama dengan Akhrajahu al-Sab’ah, yaitu Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu
Daud, Al-Tirmidzi, Al-Nasa’i, dan Ibn Majjah; dan istilah Muttfaq ‘Alaih,
menurutnya adalah Ahmad, Bukhari dan Muslim.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Kata sanad atau as-sanad menurut bahasa, dari sanada, yasnudu yang
berati mutamad (sandaran/tempat bersandar, tempat berpegang, yang dipercaya
atau yang sah). Dikatakan demikian karena, karena hadist itu bersandar kepadanya
dan dipegangi atas kebenaranya. Jadi pengertian sanad adalah jalan yang
menyampaikan kepada matan hadits. Kegiatan pendokumentasian hadis, terutama
pengumpulan dan penyimpanan hadis-hadis Nabi SAW, baik melalui hafalan
maupun melalui tulisan yang dilakukan oleh para sahabat, tabi’in, tabi’I al-tabi’in
dan mereka yang datang sesudahnya, yang rangkaian mereka itu disebut dengan
sanad, sampai pada generasi yang membukukan hadis-hadis tersebut. Status dan
kualitas suatu hadis apakah dapat diterima atau ditolak tergantung kepada sanad
dan matan hadis tersebut. Apabila syaratnya tidak terpenuhi maka hadis tersebut
ditolak dan tidak dapat dijadikan hujjah. Sering dijumpai dalam kitab-kitab hadis
perbedaan redaksi dari matan suatu hadis mengenai satu masalah yang sama. Hal
ini tidak lain adalah karena terjadinya periwayatan hadist yang dilakukan secara
maknanya saja (riwayat bil-ma’na), bukan berdasarkan oleh Rasulullah.Jadi,
periwayatan Hadis yang dilakukan secara makna, adalah penyebab terjadinya
perbedaan kandungan atau redaksi matan dari suatu hadis.

3.2 SARAN

Dari uraian diatas maka penulis menyadari bahwa banyak terdapat


kesalahan dan kekurangan, untuk itu pemakalah mohon kritikan dan saran yang
sifatnya konstruktif demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Jasim, Abdul Aziz Ahmad, Hukmu Riwayat Hadis Nabawi bil Ma’na, Kuwait:
Jami’ah Kuwait

Mansur Zabri, Materi Unsur Pokok Sebuah Hadist , Yogyakarta, UINsukijo

Ritonga, A.Rahman, Studi Ilmu-Ilmu Hadis, 2011. Yokyakarta: Interpena

Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, 2006, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai