Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Akhlak Tasawuf”
Yang Diampu Oleh:
Silfy Fauziah
Siti Zulaiha
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia , serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik
meskipun banyak kekurangan didalamnya. Kami berterima kasih kepada Bapak Didik
Heriadi selaku Dosen mata kuliah Akhlak Tasawuf yang telah memberikan tugas ini kepada
kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini
terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya
kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan kami memohon kritis dan saran yang membangun demi
perbaikan dimasa depan.
A. LATAR BELAKANG
Ajaran agama merupakan aspek penting bagi setiap manusia. Makna hidup
beragama bagi pemeluknya adalah mencapai derajat mulia di hadapan Tuhan
mereka. Banyak jalan yang ditempuh untuk mematangkan jiwa manusia menuju
derajat sempurna. Dalam Islam derajat manusia berbeda tingkatan antara satu
dengan yang lain, dalam hal dekat tidaknya dengan Sang Pencipta. Pendakian
menemukan Tuhan dalam konsep Islam disebut dengan maqam. Dalam
mendapatkan maqam-maqam tersebut banyak anak tangga yang harus dinaiki. Di
sisi lain, dalam dunia sufi dikenal istilah ahwal. Berbeda dengan maqam, ahwal
merupakan anugerah Tuhan kepada seseorang tanpa harus diusahakan. Sedangkan
maqam adalah posisi yang didapat berdasarkan usaha manusia. Semakin tinggi
tingkat pengorbanan seseorang mendaki maqam-maqam yang ada, maka semakin
tinggi pula tingkat kemulyaannya di hadapan Tuhan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Jelaskan pengertian Maqomat dan Ahwal!
2. Jelaskan persamaan dan perbedaan Maqomat dan Ahwal!
3. Apa pengertian dari Zuhud, Wira’i, Tawakal, Sabar dan Ridha?
BAB II
PEMBAHASAN
A. MAQOMAT DAN AHWAL
1. Maqomat
Pembicaraan tasawuf tidak terlepas juga dengan pembicaraan tentang
derajat-derajat kedekatan seseorang sufi kepada Tuhannya. Tingkatan atau
derajat dimaksud dalam kalangan sufi diistilahkan dengan maqam. Semakin
tinggi Jenjang kesufian maka semakin dekat pula sufi tersebut kepada Allah
Swt. Namun demikian, para sufi juga memiliki perbedaan pendapat tentang
maqam tersebut, terutama mengenai yang mana maqam yang lebih tinggi
dan yang mana maqam yang lebih rendah. Hal ini terjadi karena tidak
didapati dalil yang jelas tentang hal ini, baik dari nash Alquran maupun
Sunnah.
Istilah maqam di kalangan para sufi kadang kala disebut dengan ungkapan
jamaknya yaitu maqamat. Menurut al-Qusyairi yang dimaksud dengan
maqam adalah hasil usaha manusia dengan kerja keras dan keluhuran budi
pekerti yang dimiliki hamba Tuhan yang dapat membawanya kepada usaha
dan tuntunan dari segala kewajiban. Sedangkan al-Thusi memberikan
pengertian yang berbeda sebagai berikut:
مقام العبد يدى هلال فيما يقام فيو من العبادات واجمالىدات والرايضات والنقطاع إىل هلال
“Kedudukan hamba di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja
keras dalam ibadah, kesungguhan melawan hawa nafsu, latihan-latihan
kerohanian serta menyerahkan seluruh jiwa dan raga semata-mata untuk
berbakti kepada-Nya”.
Dari kedua pendapat di atas, dapat dipahami bahwa maqam adalah
kedudukan seseorang yang menunjukkan kedekatannya kepada Allah Swt.
Posisi tersebut tidak diperoleh begitu saja, tetapi harus melalui proses yang
sungguh-sungguh. Dengan kata lain, dapat juga dipahami bahwa proses yang
dilalui oleh para sufi untuk mencapai derajat tertinggi harus melalui
maqammaqam yang banyak, dari maqam paling rendah sampai tertinggi.
Maqamat dan Ahwal adalah dua istilah penting dalam dunia tasawuf.
Keduanya merupakan sarana dan pengalaman spiritual seseorang dalam
berkomunikasi dengan Tuhan, Dzat tempat berasal dan kembali segala
sesuatu yang ada di jagad raya ini.
Maqomat menurut bahasa adalah tahapan, sedangkan menurut istilah
adalah upaya sadar untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. melalui
tahapan-tahapan untuk mencapai makrifatullah, di mana upaya tersebut telah
menjadi sifat yang menetap pada diri seseorang.
Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa maqam adalah sebuah posisi
tertentu yang memiliki karakteristik yang saling berbeda antara satu tingkatan
dan tingkatan lainnya. Karakter maqam taubat merupakan sikap penyesalan
terhadap segala dosa. Maqam ini menunjukkan betapa pentingnya taubat,
karena dengan taubat tersebut, seseorang akan dapat melangkah kepada
maqam-maqam lainnya dala level yang lebih tinggi. Sedangkan ridha adalah
level tertinggi, yang dapat dimaknai tercapainya kondisi ideal bagi seorang
Muslim. Hal ini baru dapat tercapai apabila telah melewati maqam-maqam
lainnya seperti zuhud, shabar, dan tawakkal.
2. Ahwal
Al-Ahwal menurut bahasa adalah keadaan, sedangkan menurut istilah
yaitu keadaan jiwa dalam proses pendekatan diri kepada Allah Swt, di mana
keadaan tersebut masih temporer belum menetap dalam jiwa. Kondisi ini
menuntut tindakan untuk menyikapinya.
Ada ulama yang berpendapat bahwa ilmu-ilmu sufi itu adalah ilmu-ilmu
mengenal keadaan-keadaan ruhani, dan bahwa keadaan-keadaan ini
merupakan warisan dari tindakan-tindakan, dan hanya dialami oleh orang-
orang yang tindakan-tindakannya benar. Langkah pertama menuju perbuatan
yang benar adalah mengetahui ilmu yang menyangkut dengan masalah itu
yaitu peraturanperaturan yang sah yang terdiri atas prinsip-prinsip hukum
(fiqih) yang mengatur cara-cara shalat, berpuasa dan tugas-tugas keagamaan
lainnya, juga mengetahui ilmu-ilmu sosial yang mengatur perkawinan,
perceraian, transaksi transaksi dagang, dan masalah-masalah lain yang
mempengaruhi kehidupan manusia, yang oleh Tuhan telah ditetapkan dan
ditentukan sebagai hal-hal yang diwajibkan. Semua itu merupakan ilmu-ilmu
yang bisa didapatkan dengan jalan mempelajarinya; dan sudah menjadi
kewajiban manusia untuk berusaha mencari ilmu ini dan aturan-aturannya,
sepanjang dia mampu mencari hingga batas kemampuan akalnya sebagai
manusia, setelah dia mendapat dasar yang menyeluruh dalam ilmu agama dan
cara-cara memahami Alquran dan sunnah.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa ahwal adalah suatu kondisi
jiwa yang diperoleh melalui kesucian jiwa. Hal merupakan sebuah pemberian
dari Allah Swt. Bukan sesuatu yang dihasilkan oleh usaha manusia, berbeda
dengan yang disebut dengan maqamat.
Berbeda dengan al-Thusi, al-Qusyairy memberikan makna ahwal adalah
anugerah Allah atau keadaan yang datang tanpa wujud kerja. Seperti halnya
maqamat, dalam ahwal juga terjadi perbedaan di kalangan para ulama sufi
tentang jumlah dan urutannya. Hal ini mengingat Nabi sendiri sejauh ini,
tidak memberikan suatu sinyalemen tentang macam-macam dan tingkatan-
tingkatan ahwal tersebut dalam hadis-hadis Beliau. Dengan kata lain, ahwal
secara umum dapat ditemukan dalam ungkapan ayat Al-quran maupun hadis
Nabi, namun tidak dijelaskan secara rinci mana peringkat tertinggi dan
terendah dari ahwal tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa peringkat ahwal
adalah hasil ijtihad dan pemikiran para ulama sufi.
c. Tawakal
Berasal dari bahasa Arab, wakila, yakilu, wakilan yang berarti
“mempercayakan, memberi, mwmbuang urusan, bersandar, dan bergantung”,
istilah tawakal disebut di dalam Alquran dalam berbagai bentuk sebanyak 70
kali. Dalam bahasa Indonesia, tawakal adalah “pasrah diri kepada kehendak
Allah; percaya dengan sepenuh hati kepada Allah (dalam penderitaan dan
sebagainya), atau sesudah berikhtiar baru berserah kepada Allah”.
Secara harfiah tawakal berarti menyerahkan diri. Menurut Al-Qusyairi lebih
lanjut mengatakan bahwa tawakal tempatnya dalam hati, dan timbulnya gerak
dalam perbutan tidak mengubah tawakal yang terdapat dalam hati itu. Hal ini
terjadi setelah hamba meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada
ketentuan Allah. Mereka menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang
demikian itu sebenarnya adalah takdir Allah.
Pengertian tawakal yang demikian itu sejalan pula dengan yang
dikemukakan Harun Nasution. Ia mengatakan tawakal adalah menyerahkan diri
kepada qadha dan keputusan Allah. Selamanya dalam keadaan tenteram, jika
mendapat pemberian berterima kasih, jika tidak mendapat apa-apa bersikap
sabar dan menyerah kepada qadha dan qadar Tuhan. Tidak memikirkan hari
esok, cukup dengan apa yang ada untuk hari ini. Tidak mau makan, jika ada
orang lain lain yang lebih berhajat pada makanan tersebut dari dirinya. Percaya
kepada janji Allah. menyerah kepada Allah dengan Allah dan karena Allah.
Al-Ghazali mengemukakan gambaran orang bertawakal itu adalah sebagai
berikut:
(1) Berusaha untuk memperoleh sesuatu yang dapat memberikan manfaat
kepadanya.
(2) Berusaha memelihara sesuatu yang dimilikinya dari hal-hal yang tidak
bermanfaat.
(3) Berusaha menolak dan menghindari dari hal-hal yang menimbulkan
mudarat.
(4) Berusaha menghilangkan yang mudarat.
Bertawakal termasuk perbuatan yang diperintahkan oleh Allah. dalam
firman-Nya, Allah menyatakan :
Artinya: “... dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman
bertawakal. (Q. S. At-Taubah [9]: 51).
d. Sabar
Kata sabar berasal dari bahasa Arab, shabara, yashbiru, shabran,
maknanya adalah mengikat, bersabar, menahan dari laranangan hukum, dan
menahan diri dari kesedihan. Kata ini disebutkan di Alquran sebanyak 103
kali. Dalam bahasa Indonesia, sabar bermakna “tahan menghadapi cobaan
(tidak lekas marah, tidak lekas putus asah, tidak lekas patah hati),dan
tabah,tenang,tidak tergesah-gesah,dan tidak terburu nafsu”.
Sabar, menurut Al-Ghazali, jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan
nafsu dan amarah, dinamakan sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs),
sedangkan menahan terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar badani
(ash-shabr al-badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai
aspek. Misalnya, untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.
Al-Ghazali menjadikan sabar sebagai satu keistemewaan dan spesifikasi
makhluk manusia. Sikap mental itu tidak dimiliki oleh binatang, juga para
malaikat. Al-Ghazali membedakan sabar kepada tiga tingkatan, yaitu:
1) sabar untuk senantiasa teguh (istiqamah) dalam melaksanakan perintah
Allah swt.,
2) sabar dalam menhindarkan dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan
yang dilarang oleh-Nya,
3) sabar dalam menghadapi atau menanggung cobaan dari-Nya.
Dikalangan para sufi sabar diartikan sabar dalam menjalankan perintah
perintah Allah Swt dalam menjauhi segalah laranganNya dan dalam
menerima segalah percobaan-percobaan yanng ditimpahkan-Nya pada diri
kita.
e. Ridha
Kata rida berasal dari kata radhiya, yardha, ridhwanan yang artinya “senang,
puas, memilih persetujuan, menyenangkan, menerima”. Dalam kamus bahasa
Indonesia, rida adalah “rela, suka, senang hati, perkenan, dan rahmat”.
Harun Nasution mengatakan ridha berarti tidak berusaha, tidak menentang
kada dan kadar Tuhan. Menerima kada dan kadar dengan hati senang.
Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya
hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka
sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surga dari Allah
dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Tidak berusaha sebelum turunnya
kada dan kadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya kada dan kadar,
malahan perasaan cinta bergelora di waktu turunnya bala (cobaan yang berat).
Setelah mencapai maqam tawakal, dimana nasib hidup salik bulat-bulat
diserahkan pada pemeliharaan Allah, meninggalkan serta membelakangi segala
keinginan terhadap apapun selain Tuhan, maka harus segera diikuti menata
hatinya untuk mencapai maqam ridla.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tasawuf adalah sebuah ilmu yang membicarakan tentang bagaimana upaya
seorang manusia sebagai hamba Allah, berusaha mendekatkan diri kepada-Nya.
Pendekatan diri manusia dalam konteks ini memberi makna bahwa seseorang
dikatakan dekat dengan Tuhannya apabila telah melaksanakan kewajiban pokok
ditambah ibadah-ibadah lainnya yang tidak wajib dilaksanakan. Dalam tasawuf
juga terdapat teori-teori yang digagas oleh para tokoh sufi sebagai sebuah metode
yang dapat dipraktekkan oleh siapa saja yang ingin dirinya dekat kepada Tuhan
mereka. Dalam konteks ini dikatakan dengan maqam-maqam (maqamat), yang
dihasilkan dari latihan spiritual seseorang hamba. Sedangkan ahwal adalah kondisi
seseorang yang menunjukkan kedekatannya kepada Tuhan mereka tanpa dilalui
latihan-latihan spiritual. Dengan kata lain ahwal adalah kondisi atau status seorang
hamba terhadap Tuhannya yang merupakan anugerah dari Tuhan, tanpa melalui
usaha berupa latihan maupun pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Ahmad. Dzuhrul Islam. jld IV, Kairo: Maktabah al-Nahdh al-Misriyah, 1964.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.