Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

AKAL DAN WAHYU

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu Tauhid yang diampu
oleh Dr. Hj. Qiqi Yuliati Zakiyah, M.Ag. dan Eep Sofwana Nurdin, S.Pd.I, M.Ud

Disusun oleh:
Kelompok 7
Pelma Soraya (1192020184)
Putri Nur Azmi (1192020187)
Radea Setya Lestari (1192020190)
Risa Nurhayati Rukmana (1192020204)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARIYAH DAN KEGURUAN
KELAS : PAI E / 1
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
SEMESTER GANJIL 2019/2020
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kita haturkan kepada Allah SWT. sebab karena limpahan rahmat
serta anugrah dari-Nya kami mampu untuk menyelesaikan makalah kami dengan judul Akal
dan Wahyu ini.

Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi agung kita,
yaitu Nabi Muhammad SAW. yang telah menyampaikan petunjuk Allah SWT. untuk kita
semua, yang merupakan sebuah petunjuk yang paling benar yakni syariat agama Islam yang
sempurna dan merupakan satu-satunya karunia paling besar bagi seluruh alam semesta.

Selanjutnya dengan rendah hati kami meminta kritik dan saran dari pembaca untuk
makalah ini supaya selanjutnya dapat kami revisi kembali. Karena kami sangat menyadari,
bahwa makalah yang telah kami buat ini masih memiliki banyak kekurangan.

Kami ucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya kepada setiap pihak yang telah


mendukung serta membantu kami selama proses penyelesaian makalah ini hingga
rampungnya makalah ini.Demikian lah yang dapat kami haturkan, kami berharap supaya
makalah yang telah kami buat ini mampu memberikan manfaat kepada setiap pembaca.

Bandung, 14 November 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB 1

PENDAHULUAN.....................................................................................................................1

A. Latar Belakang................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................1

C. Tujuan Penulisan.............................................................................................................1

BAB II

PEMBAHASAN.......................................................................................................................2

A. Pengertian Akal dan Wahyu............................................................................................2

1. Pengertian Akal.................................................................................................................. 2

2. Pengertian Wahyu.............................................................................................................. 3

B. Hubungan Akal dan Wahyu............................................................................................6

C. Kedudukan Akal dan Wahyu dalam Islam......................................................................7

BAB III

PENUTUP...............................................................................................................................11

Kesimpulan...........................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................12

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kedudukan akal dan wahyu dalam Islam menempati posisi yang sangat terhormat,
melebihi agama-agama lain. Karena akal dan wahyu adalah suatu yang sangat urgen
untuk manusia, dialah yang memberikan perbedaan manusia untuk mencapai derajat
ketaqwaan kepada Sang Kholiq, akal pun harus dibina dengan ilmu-ilmu sehingga
menghasilkan budi pekerti yang sangat mulia yang menjadi dasar sumber kehidupan dan
juga tujuan dari baginda Rasulullah SAW. Tidak hanya itu  dengan akal juga manusia
bisa menjadi ciptaan pilihan yang Allah amanatkan untuk menjadi pemimpin di muka
bumi ini, begitu juga dengan wahyu yang dimana wahyu adalah pemberian Allah yang
sangat luar biasa untuk membimbing manusia pada jalan yang lurus.
Namun dalam menggunakan akal terbatas akan hal-hal bersifat tauhid, karena
ketauhidan sang pencipta tak akan terukur dalam menemukan titik akhir, begitu pula
dengan wahyu Sang Esa, karena wahyu diberikan kepada orang-orang terpilih dan
semata-mata untuk menunjukkan kebesaran Allah. Maka dalam menangani anatara
wahyu dan akal harus selalu mengingat bahwa semua itu karena Allah semata. Dan tidak
akan terjadi jika Allah tak mengijinkannya. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah
kemusyrikan terhadap allah karena kesombongannya.

Rumusan Masalah
1. Apa pengertian akal dan wahyu ?
2. Bagaiamana hubungan antara akal dan wahyu ?
3. Bagaimana kedudukan akal dan wahyu dalam Islam ?

Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi akal
2. Untuk mengetahui definisi wahyu
3. Untuk mengetahui hubungan antara akal dan wahyu
4. Untuk mengetahui kedudukan akal dan wahyu dalam Islam

1
BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Akal dan Wahyu

1. Pengertian Akal
Defenisi Akal Secara Etimologi (Bahasa), kata akal berasal dari kata dalam
bahasa Arab, al-‘aql. Kata al-‘aql adalah mashdar dari kata ‘aqola – ya’qilu – ‘aqlan
yang maknanya adalah “ fahima wa tadabbaro “ yang artinya “paham (tahu,
mengerti) dan memikirkan (menimbang) “.
Maka al-‘aql, sebagai mashdarnya, maknanya adalah “ kemampuan
memahami dan memikirkan sesuatu “. Sesuatu itu bisa ungkapan, penjelasan,
fenomena, dan lain-lain, semua yang ditangkap oleh panca indra. Letak akal
dikatakan di dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj (22) ayat 46.
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai
hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan
itu mereka dapat mendengar? Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta,
tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.”
Dari ayat ini maka kita tahu bahwa al-’aql itu ada di dalam al-qolb, karena,
seperti yang dikatakan dalam ayat tersebut, memahami dan memikirkan (ya’qilu) itu
dengan al-qolb dan kerja memahami dan memikirkan itu dilakukan oleh al-‘aql
maka tentu al-‘aql ada di dalam al-qolb, dan al-qolb ada di dalam dada. Yang
dimaksud dengan al-qolb tentu adalah jantung, bukan hati dalam arti yang
sebenarnya karena ia tidak berada di dalam dada, dan hati dalam arti yang
sebenarnya padanan katanya dalam bahasa Arab adalah al-kabd
Defenisi Akal Secara Terminologi (Istilah), akal adalah lawan dari jahl
(kebodohan atau kejahilan). Keduanya berlawanan dalam segala tahapnya :
ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya. Meski kejahilan mempunyai semacam
eksistensi subyektif dan refleksif, tapi ia tidak memberi efek-efek obyektif dan
aktual. Seperti halnya eksistensi warna dalam cahaya. Pada hakikatnya, warna tidak
memiliki eksistensi obyektif di alam cahaya.
Secara istilah, akal digunakan untuk menunjukkan salah satu definisi berikut
ini:
a. Kemampuan untuk mengetahui sesuatu.

2
b. Kemampuan memilah-milah antara kebaikan dan keburukan yang niscaya juga
dapat digunakan untuk mengetahui hal-ihwal yang mengakibatkannya dan sarana-
sarana yang dapat mencegah terjadinya masing-masing dari keduanya.
c. Kemampuan dan keadaan (halah) dalam jiwa manusia yang mengajak kepada
kebaikan dan keuntungan dan menjauhi kejelekan dan kerugian.
d. Kemampuan yang bisa mengatur perkara-perkara kehidupan manusia. Jika ia
sejalan dengan hukum dan dipergunakan untuk hal-hal yang dianggap baik oleh
syariat, maka itu adalah akal budi. Namun, manakala ia menjadi sesuatu yang
menentang syariat, maka ia disebut nakra` atau syaithanah.
e. Akal juga dapat dipakai untuk menyebut tingkat kesiapan dan potensialitas jiwa
dalam menerima konsep-konsep universal. An-nafs an-nathiqah (jiwa rasional
yang dipergunakan untuk menalar) yang membedakan manusia dari binatang
lainnya.
f. Dalam bahasa filsafat, akal merujuk kepada substansi azali yang tidak bersentuhan
dengan alam material, baik secara esensial (dzaty) maupun aktual (fi’ly).
Dalam akal, ada yang dinamakan dengan Iqbal dan Idbar. Ada banyak
kemungkinan makna iqbal (kemenghadapan) dan idbar (keberpalingan). Boleh jadi,
makna menghadap dan berpalingnya akal itu bersifat hakiki dan bukan majasi.
Karena banyaknya manusia yang dengan akalnya menjadi taat kepada Allah (iqbal)
dan ada pula yang tidak. Sebab Nabi Muhammad Saw. mustahil tidak taat kepada
Allah. Mungkin juga makna dari menghadap dan perginya akal itu bersifat takwiny
(kreatif atau berkaitan dengan penciptaannya). Sehingga jika akal dalam keadaan
menghadap, maka ia dapat melakukan penyempurnaan, pendekatan-diri kepada
Allah. Sebaliknya, kalau ia dalam keadaan berpaling, maka ia mengalami keme-
rosotan dan kehancuran maknawi.

2. Pengertian Wahyu
Pengertian Wahyu pada dasarnya terbagi menjadi dua, yaitu etimologi
(Bahasa) dan terminologi ( Istilah )
a. Pengertian wahyu secara etimologi
1. Wahyu berarti : “ isyarat yang cepat dengan tangan dan sesuatu isyarat yang
dilakukan bukan dengan tangan. Juga bermakana surat, tulisan, sebagaimana

3
bermakna pula, segala yang kita sebut kepada orang lain untuk di ketahui,”
seperti dalam surat Maryam ayat 11:
‫فَأَوْ َحى اِلَ ْي ِه ْم اَ ْن َسبِّحُوا بُ ْك َرةً َو َع ِشيَّا‬
“ Maka Ia mewahyukan ( memberi Isyarat ) kepada mereka, hendaklah kamu
bertasbih di waktu pagi dan petang.”
2. Wahyu berarti :” Memberi tahu dengan tersembunyi.” Seperti dalam surat Al
An’am ayat 112:
‫ْض ُز ْخرُفَ القَوْ ِل ُغرُورا‬
ٍ ‫ضهُ ْم إِلَى بَع‬ ِ ‫ك َج َع ْلنَا لِ ُك ِّل نَبِ ٍّي َع ُدوَّا َشيَا ِطينَ ا ِإل ْن‬
ُ ‫س َو ال ِجنِّ يُوْ ِحى بَ ْع‬ َ ِ‫َو َكذل‬
“ Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh-musuhnya
yaitu syaitan-syaitan manusia dan jin. Sebagian mereka membisikan kepada
sebagian yang lain dengan ucapan-ucapan yang indah dan memperdayakan.”

3. Wahyu berarti : “ Perintah “. Seperti Firman dalam surat Al Maidah 111:


‫الح َو ِريِّينَ اَ ْن ا ِمنُوا بِى َوبِرًسولِى‬
َ ‫َوإ َذا اَوْ َحيْتَ إِلَى‬
“Dan ingatlah tatkala Aku wahyukan ( Perintahkan ) kepada pengikut Isa,
yaitu berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada Rosul-Ku.
4. Wahyu berarti : “ Ilham “. Seperti dalam surat Al Qashash ayat 7
ِ َ‫َواَوْ َح ْينَا إِلَى أُ ِّم ُمو َسى اَ َّن ا‬
‫رض ِع ْي ِه‬
“ Dan telah Kami wahyukan ( ilhamkan ) kepada ibu Musa; susukanlah dia.”
b. Pengertian Wahyu Secara Terminologi ( Istilah )
1. Wahyu dalam arti ‫اال ْن َزالُ\ا ِال ْي َحا ُء‬
ِ : memberi wahyu, dalam arti ‫ ا ِال ْي َحا ُء‬menurut
istilah ialah, pemberitahuan Allah kepada Nabi-Nya tentang hukum-hukum-
Nya, berita-berita dan cerita-cerita dengan cara yang samar tetapi meyakinkan
kepada Nabi/Rosul yang bersangkutan, bahwa apa yang di terimanya adalah
betul-betul dari Allah Sendiri.”
Sedangkan Prof. T.M Hasby Ash-Shieddieqy mengatakan bahwa wahyu dalam
arti ‫اال ْي َحا ُء‬
ِ ialah: “ Nama bagi sesuatu yang di campakkan dengan cara cepat
dari Allah ke dalam dada Nabi-nabiNya.”
Keterangan tentang cara terjadinya hubungan antara Allah dengan para
Nabi/RosulNya di beritahukan oleh Allah sendiri dalam surat As-Syura 51:
‫ُوحى بِا ِ ْذنِ ِه َما يَ َشا ُء‬ ٍ ‫َو َما َكانَ لِبَ َش ٍر اَ ْن يُ َكلِّ َمهُ هللاُ اِاَّل َوحْ يًا اَوْ ِم ْن َو َرا ِء ِح َجا‬
َ ‫ب اَوْ يُرْ ِس ُل َر ُسواَل فَي‬
“ Tidak ada manusia yang di ajak bicara oleh Allah secara langsung, kecuali
dengan perantara wahyu (ilham) atau di balik tabir atau dengan mengutus

4
seorang utusan (malaikat), kemudian ia di beri wahyu dengan izin Allah apa-
apa yang di kehendaki.”
ُ
2. Wahyu dalam arti ‫ امل ْو َحى ِب ِه‬artinya : yang di wahyukan terbagi menjadi dua

macam, yaitu : 1) Al-Qur’an 2) Al Hadist Nabi Muhammad SAW, Dalil


bahwa hadist termasuk wahyu ialah :
‫اَّل‬
‫اله َوى ِا ْن ُه َو ِا َو ْح ٌي‬
َ ‫َو َم ا َي ْن ِط ُق َعن‬
ِ
‫وحى‬ َ ‫ُي‬

“Tidaklah Ia ( Muhammad ) berbicara menurut hawa nafsunya,


pembicaraannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang di wahyukan.”
ُْ ُ ‫َا َالإ ّنى ُا ْوت ْي ُت‬
‫الق ْر َان َو ِمثل ُه َم َع ُه‬ ِ ِِ

“ Ingatlah sesungguhnya aku diberi Qur’an beserta yang seumpama


dengannya”.

.‫الس ّن ِة َك َما َي ْن ِز ُل َع َل ْي ِه ِب ُالق ْر ِان َو ُي َع ِّل َم ُه ِا َّي َاها َك َما ُي َع ِّل َم ُه ُالق ْر ِان‬
ُّ ‫م ب‬.‫هللا ص‬
ِ ِ ‫ول‬
ُ َ َ َ ُ ْ َ ُ َ َّ ْ َ َ ُ ْ ْ َ
ِ ‫كان ِجب ِريل علي ِه السالم ين ِزل على رس‬

“ Jibril as. Turun pada Rosulullah dengan membawa sunnah (hadist)


sebagaimana ia turun padanya dengan membawa Al-Qur’an, dan ia
mengajarkan sunnah pada Nabi sebagaimana ia mengajarkan Al-Qur’an
padanya.”
3. Menurut berbagai ulama
a. Syech Muhammad Abduh mendefinisikan bahwa wahyu adalah
pengetehuan yang di peroleh seseorang dari dalam dirinya sendiri disertai
dengan keyakinan, bahwa hal itu dari sisi Allah, baik dengan perantaraan
atau tidak dengan perantaraan.
b. Dr. Abdullah Syahhatah, wahyu menurut syara’ ialah pemberitahuan
Allah SWT kepada orang yang dipilih dari beberapa hambaNya
mengenai berbagai petunjuk dan ilmu pengetahuan yang hendak
diberitahuakannya teteapi dengan cara yang tidak biasa bagi manusia.

Pengertian wahyu yang terakhir inilah yang paralel dengan arti wahyu dalam
ayat-ayat sebagai berikut yang artinya adalah:

a. Surat Al-An’am ayat 19, Artinya : Dan telah di wahyukan kepadaku Al Qur’an
ini supaya aku memberi peringatan kepadamu dengannya dan kepada orang-
orang yang Al-Qur’an sampai kepadanya.

5
b. Surat Al-Kahfi ayat 110, Artinya : Katakanlah, sesungguhnya aku ini hanya
seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, bahwa sesungguhnya
Tuhan kalian itu hanya Tuhan Yang esa”.
c. Surat An najm ayat 4, Artinya : Perkataan itu tiada lain hanyalah wahyu yang di
wahyukan”.

Sedangkan definisi pertama itu mirip dengan pengertian wahyu menurut kaum
orientalis, yang menuduh bahwa wahyu itu hanyalah berupa angan-angan dari dalam
diri Nabi sendiri. Tuduhan tersebut tidak tepat. Sebab, wahyu itu yang benar adalah
berupa pemberitahuan dari Allah SWT kepada Nabi, sehingga berupa bisikan dari
luar Nabi bukan angan-angan dari dalam diri Nabi.

Hubungan Akal dan Wahyu


Akal adalah potensi berharga yang diberikan Allah SWT hanya kepada manusia,
anugerah tersebut diberikan Allah SWT untuk membekali manusia yang mengemban
misi penting menjadi khalifah fil ardi, dengan kata lain manusia sebagai duta kecil Allah
SWT.
Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah manusia mempunyai
kesanggupan untuk memenaklukan kekuatan mahkluk lain di sekitarnya. Bertambah
tinggi akal manusia, bertambah tinggilah kesanggupanya untuk mengalahkan mahluk
lain. Bertambah rendah akal manusia, bertambah rendah pulalah kesanggupanya
menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.
Salah satu fokus pemikiran Harun Nasution adalah Hubungan Antara Akal dan
Wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan antara akal dan wahyu sering menimbulkan
pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi
dalam Al-Qur’an. Dalam pemikiran islam, baik dibidang filsafat, ilmu kalam apalagi
ilmu fiqh, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk pada wahyu.Akal
dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang wahyu. Yang
bertentangan adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.
Dengan adanya akal manusia mampu melaksanakan tugas tersebut dengan baik, dan
dapat menemukan kebenaran yang hakiki sebagaimana pendapat Mu’tazilah yang
mengatakan segala pengetahuan dapat diperoleh dengan akal, dan kewajiban-kewajiban
dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam sehingga manusia sebetulnya ada

6
wahyu atau tidak tetap wajib bersyukur kepada Allah SWT, dan manusia wajib
mengetahui baik dan buruk; indah dan jelek; bahkan manusia wajib mengetahui Tuhan
dengan akalnya walaupun wahyu belum turun.
Menurut Mu’tazilah, seluruh pengetahuan dapat diperoleh melalui akal, termasuk
mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban beribadah kepada Tuhan. Abu Huzail,
menegaskan bahwa meskipun wahyu tidak turun, maka manusia tetap wajib beribadah
kepada Tuhan, sesuai dengan pengetahuannya tentang Tuhan. Begitu juga dengan
kebaikan dan keburukan juga dapat diketahui melalui akal.Jika dengan akal manusia
dapat mengetahui baik dan buruk, maka dengan akal juga manusia harus tahu bahwa
melakukan kebaikan itu adalah wajib, dan menjauhi keburukan juga wajib.
Menurut Asy’ariyah, pertama semua kewajiban manusia hanya dapat diketahui
melalui wahyu. Jika wahyu tidak turun, maka tidak ada kewajiban (taklif) bagi manusia.
Karena akal tidak mampu membuat kewajiban tersebut, terutama kewajiban beribadah
pada Tuhan, dan kewajiban melakukan yang baik serta kewajiban menjauhi yang buruk.
Adapun berkaitan dengan mengetahui Tuhan, Asy’ariyah sepakat dengan Mu’tazilah
yaitu dapat diketahui melalui akal. Sedangkan mengetahui baik dan buruk, akal tidak
mampu, karena sifat baik dan buruk sangat terkait dengan syari’at. Sesuatu disebut baik,
jika dapat pujian syari’at, dan dianggap buruk jika dikecam oleh syari’at. Karena pujian
dan kecaman bersumber dari wahyu, maka sesuatu dapat dikatakan baik atau buruk juga
melalui wahyu.
Akal dan wahyu digunakan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bagi umat manusia.
Antara akal dan wahyu terdapat ruang dimana keduanya dapat bertemu dan bahkan
saling berinteraksi dan terdapat ruang dimana keduanya harus berpisah. Pada saat wahyu
merekomendasikan berkembangnya sains dan lestarinya budaya dengan memberikan
ruang kebebasan untuk akal agar berpikir dengan dinamis, kreatif dan terbuka, disanalah
terdapat ruang bertemu antara akal dan wahyu. Sehingga hubungan antara akal dan
wahyu tidak bertentangan akan tetapi sangat berkaitan antara yang satu dengan yang
lainnya, bahkan kedua-duanya saling menyempurnakan.

Kedudukan Akal dan Wahyu dalam Islam


Kedudukan antara wahyu dalam Islam sama-sama penting. Karena Islam tak akan
terlihat sempurna jika tak ada wahyu maupun akal. Dan kedua hal ini sangat berpengaruh
dalam segala hal dalam Islam. Dapat dilihat dalam hukum Islam, antar wahyu dan akal

7
ibarat penyeimbang. Andai ketika hukum Islam berbicara yang identik dengan wahyu,
maka akal akan segerah menerima dan mengambil kesimpulan bahwa hal tersebut sesuai
akan suatu tindakan yang terkena hukum tersebut.karena sesungguhnya akal dan wahyu
itu memiliki kesamaan yang diberikan Allah namun kalau wahyu hanya orang-orang
tertentu yang mendapatkanya tanpa seorangpun yang mengetahui, dan akal adalah hadiah
terindah bagi setiap manusia yang diberikan Allah.

Dalam Islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski demikian bukan berarti-
akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturan untuk
menempatkan akal sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu
cocok dengan syariat Islam dalam permasalahan apapun. Dan wahyu baik berupa Al-
qur’an dan Hadits bersumber dari Allah SWT, pribadi Nabi Muhammad SAW yang
menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam turunnya
wahyu. Wahyu mmerupakan perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia,
tanpa mengenal ruang dan waktu, baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum
atau khusus. Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal,
bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal. Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang
lengkap, tidak terpisah-pisah.Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan
manusia. baik perintah maupun larangan. Sesungguhnya wahyu yang berupa al-qur’an
dan as-sunnah turun secara berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang.

Namun tidak selalu mendukung antara wahyu dan akal, karena seiring perkembangan
zaman akal yang semestinya mempercayai wahyu adalah sebuah anugrah dari Allah
terhadap orang yang terpilih, terkadang mempertanyakan keaslian wahyu tersebut.
Apakah wahyu itu benar dari Allah ataukah hanya pemikiran seseorang yang
beranggapan smua itu wahyu. Seperti pendapat Abu Jabbar bahwa akal tak dapat
mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari pada upah yang
ditentukan untuk suatu perbuatan baik lain, demikian pula akal tak mengetahui bahwa
hukuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan
buruk yang lain. Semua itu hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu. Al-Jubbai
berkata wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh
manusia di akhirat.

Karena Masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam sering dibicarakan dalam
konteks, yang manakah diantara kedua akal dan wahyu itu yang menjadi sumber

8
pengetahuan manusia tentang tuhan, tentang kewajiban manusia berterima kasih kepada
tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk, serta tentang kewajiban menjalankan yang
baik dan menghindari yang buruk. Maka para aliran Islam memiliki pendapat sendiri-
sendiri antara lain:

Aliran Mu’tazilah sebagai penganut pemikiran kalam tradisional, berpendapat bahwa


akal mempunyai kemampuan mengetahui empat konsep tersebut.

Sementara itu aliran Maturidiyah Samarkand yang juga termasuk pemikiran kalam
tradisional, mengatakan juga kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan yang buruk
akan mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal tersebut.

Sebaliknya aliran Asy’ariyah, sebagai penganut pemikiran kalam tradisional juga


berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui tuhan sedangkan tiga hal lainnya,
yakni kewajiban berterima kasih kepada tuhan, baik dan buruk serta kewajiban
melaksanakan yang baik dan menghindari yang jahat diketahui manusia berdasarkan
wahyu.

Sementara itu aliran Maturidiah Bukhara yang juga digolongkan kedalam pemikiran
kalam tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut yakni mengetahui
tuhan dan mengetahui yang baik dan buruk dapat diketahui dengan akal, sedangkan dua
hal lainnya yakni kewajiaban berterima kasih kepada tuhan serta kewajiban
melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang buruk hanya dapat diketahui dengan
wahyu.

Adapun ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh paham Maturidiyah Samarkand dan
Mu’tazilah, dan terlebih lagi untuk menguatkan pendapat mereka adalah surat As-Sajdah,
surat Al-Ghosiyah ayat 17 dan surat Al-A’rof ayat 185. Di samping itu, buku ushul fiqih
berbicara tentang siapa yang menjadi hakim atau pembuat hukum sebelum bi’sah atau
nabi diutus, menjelaskan bahwa Mu’tazilah berpendapat pembuat hukum adalah akal
manusia sendiri. dan untuk memperkuat pendapat mereka dipergunakan dalil al-Qur’an
surat Hud ayat 24. Sementara itu aliran kalam tradisional mngambil beberapa ayat Al-
qur’an sebagai dalil dalam rangka memperkuat pendapat yang mereka bawa . Ayat-ayat
tersebut adalah ayat 15 surat Al-Isro, ayat 134 surat Taha, ayat 164 surat An-Nisa dan
ayat 18 surat Al-Mulk.

9
Dalam menangani hal tersebut banyak beberapa tokoh dengan pendapatnya
memaparkan hal-hal yang berhubungan antara wahyu dan akal. Seperti Harun Nasution
menggugat masalah dalam berfikir yang dinilainya sebagai kemunduran umat Islam
dalam sejarah. Menurut beliau yang diperlukan adalah suatu upaya untuk merasionalisasi
pemahaman umat Islam yang dinilai dogmatis tersebut, yang menyebabkan kemunduran
umat Islam karena kurang mengoptimalkan potensi akal yang dimiliki. Bagi Harun
Nasution agama dan wahyu pada hakikatnya hanya dasar saja dan tugas akal yang akan
menjelaskan dan memahami agama tersebut.

10
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Defenisi Akal Secara Etimologi (Bahasa), kata akal berasal dari kata dalam bahasa
Arab, al-‘aql. Kata al-‘aql adalah mashdar dari kata ‘aqola – ya’qilu – ‘aqlan yang
maknanya adalah “ fahima wa tadabbaro “ yang artinya “paham (tahu, mengerti) dan
memikirkan (menimbang) “. Sedangkan menurut istilah akal adalah kemampuan
memilah-milah antara kebaikan dan keburukan yang niscaya juga dapat digunakan untuk
mengetahui hal-ihwal yang mengakibatkannya dan sarana-sarana yang dapat mencegah
terjadinya masing-masing dari keduanya.
2. Wahyu menurut ialah pemberitahuan Allah SWT kepada orang yang dipilih dari
beberapa hambaNya mengenai berbagai petunjuk dan ilmu pengetahuan yang hendak
diberitahuakannya teteapi dengan cara yang tidak biasa bagi manusia.
3. Hubungan akal dan wahyu digunakan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bagi umat
manusia. Antara akal dan wahyu terdapat ruang dimana keduanya dapat bertemu dan
bahkan saling berinteraksi dan terdapat ruang dimana keduanya harus berpisah. Pada saat
wahyu merekomendasikan berkembangnya sains dan lestarinya budaya dengan
memberikan ruang kebebasan untuk akal agar berpikir dengan dinamis, kreatif dan
terbuka, disanalah terdapat ruang bertemu antara akal dan wahyu. Sehingga hubungan
antara akal dan wahyu tidak bertentangan akan tetapi sangat berkaitan antara yang satu
dengan yang lainnya, bahkan kedua-duanya saling menyempurnakan.
4. Kedudukan antara wahyu dalam Islam sama-sama penting. Karena Islam tak akan
terlihat sempurna jika tak ada wahyu maupun akal. Dan kedua hal ini sangat berpengaruh
dalam segala hal dalam Islam. Dapat dilihat dalam hukum Islam, antar wahyu dan akal
ibarat penyeimbang. Andai ketika hukum Islam berbicara yang identik dengan wahyu,
maka akal akan segerah menerima dan mengambil kesimpulan bahwa hal tersebut sesuai
akan suatu tindakan yang terkena hukum tersebut.karena sesungguhnya akal dan wahyu
itu memiliki kesamaan yang diberikan Allah namun kalau wahyu hanya orang-orang
tertentu yang mendapatkanya tanpa seorangpun yang mengetahui, dan akal adalah hadiah
terindah bagi setiap manusia yang diberikan Allah.

11
DAFTAR PUSTAKA

Atang, Metodologo Study Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Nasution, Harun Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), Jakarta: UI


Press, 1986

https://www.academia.edu/38385003/DEFINISI_WAHYU

http://asyrofi19tuban.blogspot.com/2017/02/makalah-ilmu-kalam-hubungan-akal-dengan-
wahyu/

http://saputra-arof.blogspot.com/

12

Anda mungkin juga menyukai