HADITS MAUDLU’
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ulumul Hadits
yang diampu oleh Dr. H. Maslani, M.Ag dan Achmad Nashrullah, M.Ag
Disusun oleh:
Kelompok 8
Pelma Soraya (1192020184)
Ratna Nur Fatimah (1192020192)
Salafia Al Zahra Fauzia (1192020212)
Segala puji syukur kita haturkan kepada Allah SWT. sebab karena limpahan rahmat serta
anugrah dari-Nya kami mampu untuk menyelesaikan makalah kami dengan judul Hadits
Maudlu’ ini.
Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi agung kita,
yaitu Nabi Muhammad SAW. yang telah menyampaikan petunjuk Allah SWT. untuk kita semua,
yang merupakan sebuah petunjuk yang paling benar yakni syariat agama Islam yang sempurna
dan merupakan satu-satunya karunia paling besar bagi seluruh alam semesta.
Selanjutnya dengan rendah hati kami meminta kritik dan saran dari pembaca untuk
makalah ini supaya selanjutnya dapat kami revisi kembali. Karena kami sangat menyadari,
bahwa makalah yang telah kami buat ini masih memiliki banyak kekurangan.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits menduduki posisi yang sangat penting dalam literatur sumber hukum Islam.
Namun kesenjangan waktu antara sepeninggal Rasulullah saw. dengan waktu pembukuan
hadits yang hamper satu abad, merupakan kesempatan yang baik bagi orang-orang atau
kelompok tertentu untuk memulai aksinya membuat dan mengatakan sesuatu yang kemudian
dinisbatkan kepada Rasulullah saw. dengan alasan yang dibuat-buat. Penisbatan sesuatu
kepada Rasulullah saw. seperti inilah yang selanjutnya dikenal dengan hadits palsu
atau Hadis Maudlu‟.
Hadits Maudlu‟ ini sebenarnya tidak layak untuk disebut sebagai sebuah hadits, karena ia
sudah jelas bukan sebuah hadits yang bisa disandarkan pada Nabi saw. Hadis maudlu‟ ini
berbeda dengan hadits dha‟if. Hadits maudlu‟ sudah ada kejelasan akan kepalsuannya
sementara hadits dha‟if belum jelas, hanya samar-samar. Tapi ada juga yang memasukkan
pembahasan hadits maudlu‟ ini ke dalam bahasan hadits dha‟if. Dalam bahasan ini kita akan
membahas hadits maudlu‟, mungkin diantara kita masih banyak orang-orang yang tidak
mengerti apa sejatinya hadits maudlu‟ itu, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang
pembhasan hadits maudlu dalam makalah yang berjudul Hadits Maudlu‟.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Hadits Maudlu‟ ?
2. Mengapa muncul istilah Hadits Maudlu‟ ?
3. Bagaimana realita Hadist Maudlu‟ ?
4. Apa saja upaya yang dilakukan ulama-ulama untuk menanggulangi Hadist Maudlu‟ ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian hadist maudlu‟.
2. Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan hadits maudlu‟
3. Untuk mengetahui ciri-ciri hadist maudlu‟.
4. Untuk mengetahui upaya ulama menanggulangi hadist maudlu‟.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
statusnya. Dan karena itu pula tidak dibenarkan dan bahkan haram hukumnya untuk
meriwayatkannya dengan alasan apapun kecuali disertai dengan penjelasan tentang ke-
maudlu‟-annya. 6
Pengertian hadits maudlu‟ secara kebahasaan dan keistilahan mempunyai hubungan
kesinambungan cakupan makna dan sasaran antara pengertian dan keadaannya.
1. Al-hiththah berarti bahwa hadits maudlu‟ adalah hadits yang terbuang dan terlempar dari
kebahasaan yang tidak memiliki dasar sama sekali untuk diangkat sebagai landasan
hujjah.
2. Al-isqath berarti bahwa hadits maudlu` adalah hadits yang gugur, tidak boleh diangkat
sebagai dasar istidal.
3. Al-islaq berarti bahwa hadits maudlu‟ adalah hadits yang ditempelkan (diklaimkan)
kepada Nabi Muhammad agar dianggap berasal dari nabi, padahal bukan berasal dari
nabi.
4. Al-ikhtilaq berarti bahwa hadits maudlu‟ adalah hadits yang dibuat-buat sebagai ucapan,
perbuatan atau ketetapan yang berasal dari nabi padahal bukan berasal dari nabi.
Jadi hadits maudlu‟ itu adalah bukan hadits yang bersumber dari Rasul, akan tetapi
suatu perkataan atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan suatu alasan
kemudian dinisbatkan kepada Rasul. Untuk hadits palsu, ulama biasanya menyebutnya
dengan istilah hadits maudlu', hadis munkar, hadis bathil, dan yang semacamnya. Tidak
boleh meriwayatkan sesuatu hadits yang kenyataannya palsu bagi mereka yang sudah
mengetahui akan kepalsuan hadits itu., kecuali apabila sesudah ia meriwayatkan hadits itu
kemudian dia memberi penjelasan bahwa hadits itu adalah palsu, guna menyelamatkan
mereka yang mendengar atau menerima hadits itu dari padanya.
3
a. Sebagian para ahli berpendapat bahwa pemalsuan hadits telah terjadi sejak masa
Rasulullah saw. masih hidup. Pendapat ini diantaranya dikemukakan oleh Ahmad
Amin. Argument yang dikemukakan oleh Ahmad Amin adalah hadits Nabi saw. yang
menyatakan bahwa barangsiapa yang secara sengaja membuat berita bohong dengan
mengatasnamakan nabi, maka hendaklah orang itu bersiap-siap menempati tempat
duduknya di neraka.
ِ َُّب َعهَ ًَّ ُيتَ َع ًِّذًا فَ ْهٍَتَ َث َّٕاُ َي ْق َع َذُِ ِي ٍْ ان
َ ب َعهَى اَ َح ٍذ َٔ َي ٍْ َك َّز َ ٍَاِ ٌَّ َك ِزتًا َعهَ ًَّ ن
ٍ ْس َك َك ِز
7
اس
Hadist tersebut, menurut Ahmad Amin, memberikan gambaran bahwa kemungkinan
besar telah terjadi pemalsuan hadits pada zaman Nabi saw. 8 akan tetapi Ahmad Amin
tidak memberikan bukti-bukti, seperti contoh hadits palsu yang ada masa Nabi saw.
untuk mendukung dugaannya tentang telah terjadinya pemalsuan hadits ketika masa
itu. Andaikan pada masa Nabi saw. memang telah terjadi pemalsuan hadits, hal
tersebut tentu akan menjadi berita besar dikalangan para sahabat, dan ternyata sejarah
tidak mencatat adaya peristiwa tersebut. Tentang hal peringatan Nabi saw.
sebagaimana tertuang dalam hadits diatas, kemungkinan sekali dilatar-belakangi oleh
kekhawatiran beliau terhadap keberadaan hadits pada masa yang akan datang setelah
beliau wafat.9
b. Shalah al-Din al-Adhabi berpendapat bahwa pemalsuan hadits dalam masalah
keduniaan sudah terjadi pada masa Nabi saw. al-Adhabi menjadikan hadits yang
diriwayatkan oleh Al-Thahawi dan Al-Thabrani sebagai argument untuk mendukung
pendapatnya. Kedua riwayat tersebut menyatakan bahwa pada masa Nabi saw. ada
seseorang yang telah membuat berita bohong mengatasnamakan Nabi saw. orang
tersebut mengaku sudah diberi wewenang dari Nabi saw. untuk menyelesaikan suatu
masalah disuatu kelompok di sekitar masyarakat Madinah. Kemudian orang itu
melamar seorang gadis dari masyarakat tersebut tetapi lamarannya ditolak. Masyarakat
tersebut lalu mengirim utusan kepada Nabi saw. untuk menginformasikan berita yang
dimaksud. Ternyata Nabi saw. tidak pernah menyuruh orang tersebut
mengatasnamakan diri beliau. Setelah itu nabi memerintahkan kepada sahabat untuk
membunuh orang yang berbohong itu, dan Nabi saw. berpesan agar membakar
4
mayatnya. Hadits yang dipergunakan sebagai dalil oleh Al-Adhabi ini, berdasarkan
penelitian para ahli hadits, ternyata sanadnya lemah,dan oleh karenanya tidak bisa
dijadikan dalil.
c. Kebanyakan ulama hadits berpendapat, bahwa pemalsuan hadits baru terjadi untuk
pertama kalinya adalah setelah tahun 40 H, pada masa kekhalifahan Ali bin Abi
Thalib, yaitu setelah terjadinya perpecahan politik antara kelomok Ali di satu pihak
dan Muawiyah dengan pendukungnya dipihak lain, bahkan akibat dari perpecahan
mereka muncul kelomok ketiga yaitu golongan Khawarij, Syi‟ah, dan jumhur, yang
pada awalnya adalah pengikut Ali, namun ketika Ali menerima tahkim, mereka
berhenti mengikuti Ali, bahkan berbalik menentang kelompok Ali disamping juga
menentang Muawiyah.10 Masing-masing kelompok berusaha untuk mendukung
kelompok mereka dengan berbagai argumen yang mereka cari dalam Alquran dan
Hadits, dan ketika mereka tidak mendapatkannya, maka mereka mulai membuat
hadits-hsdits palsu.11 Golongan yang pertama membuat hadits palsu adalah Golongan
Syi‟ah, sedangkan kelompok yang terbanyak adalah kelompok Rafidhah.12 Menurut
Ibn Taimiyah sebagaimana dikutip oleh Muhammad „Ajjaj al-Khatib, Syi`ah Rafidhah
sudah ada pada masa Ali. Diantara hadits yang mereka buat untuk menjelekan
Muawiyah adalah adalah :
ِ اِ َرا َسأَ ٌْتُ ْى ُي َع
ُِ ُْٕأٌَح َعهَى ِي ُْثَ ِشيْ فَا ْقتَه
Apabila kalian melihat Muawiyah di atas mimbarku, maka bunuhlah ia.13
Contoh hadits palsu yang menyanjung Ali :
َعهِ ًُ خَ ٍْ ُش ْانثَ َش ِش فَ ًَ ٍْ أَتَى فَقَ ْذ َكفَ َش
Ali adalah sebaik-baik manusia, maka barangsiapa yang membangkang
(terhadapnya) adalah kafir.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa belum terdapat bukti yang kuat
tentang telah terjadinya pemalsuan hadits pada masa Nabi saw. demikian juga pada
masa-masa sahabat sebelum pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Hal demikian adalah
karena begitu kerasnya peringatan yang diberikan Nabi saw. terhadap mereka yang
5
mencoba-coba untuk melakukan dusta atas nama beliau, yang selanjutnya sangat
berpegaruh dan tercermin pada sikap hati-hati yang dicermikan para sahabat dalam
menerima suatu hadits. Dengan demikian, berdasarkan bukti-bukti yang ada, maka
pemalsuan hadits baru muncul dan berkembang ada masa Ali, yaitu setelah terjadinya
pertentangan politik yang membawa kepada perpecahan dan terbentuknya kelompok-
kelompok, seperti Khawarij, Syi‟ah, dan lainnya.
6
Golongan ini adalah terdiri dari golongan Zindiq, Yahudi, Majusi, dan Nasrani
yang senantiasa menyimpan dendam tehadap agama Islam. Hal ini berdasarkan
peristiwa Abdullah bin Saba` yang mencoba memecah belah umat Islam dengan
bertopengkan kecintaan kepada Ahli Bait. Sejarah mencatat bahwa ia adalah seorang
Yahudi yang berpura-pura memeluk agama Islam.
Tokoh lain yang yang berasal dari kelomok Zindiq adalah „Abd al-Karim ibn Abu
al-„Auja‟. Dia mengakui sendiri perbuatannya memalsukan hadits sebanyak 4.000
hadist yang berhungungan dengan penghalalan yang haram, dan pengharaman yang
halal. Pengakuan tersebut diikrarkannya di hadapan Muhammad ibn Sulaiman, wali
kota Basrah, ketika ia sudah ada di tiang gantung untuk dibunuh.15
Menurut Hammad ibn Zaid, bahwa hadits yang di palsukan oleh kaum Zindiq
berjumlah sekitar 12.000 hadits. Dalam riwayat lain disebutkan berjumlah 14.000
hadits.16 Khalifah yang sangat keras membasmi gerakan orang-orang Zindiq ini adalah
khalifah Al-Mahdy dari dinasti Abbasiyah.
c. Fanatisme Suku, Negara, dan lainnya
Mereka yang fanatik terhadap bahasa Persia, membuat hadits yang mendukung
keutamaan bahasa Persia, dan sebaliknya mereka yang fanatik terhadap bahasa Arab
akan membuat hadits yang menunjukan keutamaan bahasa Arab dan mengutuk
bahasa Persia. Contohnya, para pendukung bahasa Persia membuat hadits yang
menyatakan kemulian bahasa Persia, diantaranya adalah :
ش تِ ْانفَا ِس ِسٍَّ ِح
ِ ْإِ ٌَّ َك َال َو انَّ ِز ٌٍَْ َحْٕ َل ْان َعش
Sesungghunya pembicaraan orang-orang di sekitar „arasy adalah dengan bahasa
Persia.
Sementara dari pihak lawannya juga muncul hadits palsu yang sifatnya
menantang dan menjatuhkan kelompok tadi. Diantara hadits yang dipalasukan oleh
kelompok ini adalah :
َ أَ ْت َغ
ِ َض انهُ َغاخ اِنَى هللاِ انف
َاس ِسٍّح
Perkataan yang paling dibenci Allah adalah bahasa Persia.17
15 Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, h. 187; ‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qalb al-Tadwin, h. 207-208; Hasbi Ash-Shiddieqi,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 250
16 Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, h. 187; ‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qalb al-Tadwin, h. 208
17 ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, h. 422
7
Demikian juga kefanatikan terhadap seorang imam akan mendorong mereka
untuk memalsukan hadits yang menyanjung imam tersebut dan menjelekan imam
lainnya.
d. Mempengaruhi Masyarakat Awam dengan Kisah dan Nasihat
Para pembuat cerita dan ahli kisah melakukan pemalsuan hadits dalam rangka
menarik simpati orang banyak, atau agar pendengar kisahnya kagum terhadap kisah
yang disampaikan, ataupun juga dalam rangka untuk mendapatkan imbalan materi
(rizki). Umumnya hadits yang mereka ciptakan cenderung bersifat berlebihan atau
tidak masuk akal. Diantara contohnya adalah mengenai balasan yang akan diterima
seseorang yang mengucapkan kalimat la ilaha illa Allah, sebagaimana dinyatakan :
ِ اٌ َس ْثعُْٕ ٌَ اَ ْن
َُّف نُ َغ ٍح ٌَ ْستَ ْغفِشُْٔ ٌَ ن ِ ك َكهِ ًَ ِح طَاىِ ًشانَُّ َس ْثعُْٕ ٌَ اَ ْن
ٍ ف نِ َسا ٌٍ نِ ُكمِّ نِ َس َ ق هللاُ ِي ٍْ تِ ْه
َ َال َل اِنَّ اِ َّل هللاُ َخه
َ ََي ٍْ ق
Siapa yang mengucapkan la ilaha illa Allah, Allah akan menciptakan seekor
burung yang mempunyai tujuh puluh ribu lidah dan masing-masing lidah menguasai
tujuh puluh ribu bahasa yang akan memintakan ampun baginya. 18
e. Perbedaan Mazhab dan Teologi
Perbuatan ini umumnya muncul dari para pengikut suatu mazhab, baik dalam
bidang fiqh maupun ilmu kalam. Mereka menciptakan hadits-hadits palsu dalam
rangka mendukung atau menguatkan pendapat, hasil ijtihad, dan pendiran imam
mereka. Dalam bidang fiqh misalnya, seorang pengikut fanatik mazhab Abu Hanifah
yang bernama Muhammad ibn „Akasyah ketika mengetahui mazhab lain mengangkat
tangan sebelum dan sesudah ruku dalam shalat, ia kemudian menyampaikan hadits
palsu yang dibuat oleh Ma‟mun ibn Ahmad : “Telah bercerita kepada kami al-
Musyyib ibn Wadih … dari Anas bahwa nabi bersabda :
َُّص َالجَ ن ِ َْٕي ٍْ َسفَ َع ٌَ َذ ٌْ ِّ فِ ًْ انش ُك
َ ع فَ َال
Barang siapa mengangkat kedua tangannya di waktu ruku, maka tidak sah
shalatnya.19
Menurut az-Zahabi, hadits tersebut adalah palsu, dibuat oleh Ma‟mun ibn Ahmad
yang kemudian dicuri oleh Akasyah. Keduaya fanatik madzhab Abu Hanifah. mereka
18 Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, h. 375; FatchurRahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, h.173
19 ‘Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah, h. 215
8
membuat hadits diatas dalam rangka mendukung pendirian madzhab yang sehingga
kelihatan kuat karena ada haditsnya .
f. Menganjurkan Kebaikan Tanpa Pengetahuan Agama yang Cukup
Dikalangan orang orang zuhud atau para ahli ibadah ada yang beranggapan bahwa
membuat hadits-hadits yang bersifat mendorong agar giat beribadah, atau yang
bersifat mengancam agar tidak melakukan tindakan yang tidak benar dalam rangka
ber-taqarrub kepada Allah adalah diperbolehkan. Mereka ini, apabila diperingatkan
akan ancaman Rasul saw. bahwa tindakan berdusta atas nama beliau akan
menyebabkan pelakunya masuk neraka, maka mereka akan menjawab bahwa mereka
berdusta bukan untuk keburukan, melainkan untuk kebaikan.20
Atas dasar motivasi diatas, mereka banyak membuat Hadits Maudlu‟, terutama
yang berhubungan dengan keutamaan surat-surat yang terdapat di dalam Alquran.
Abu „Ishmah Nuh ibn Abi Maryam, salah seorang pemalsu hadits dari kelompok ini,
mengaku bahwa dia telah memalsukan hadits dengan alasan untuk menarik minat
umat kembali kepada Alquran. Salah satu contoh Hadits Maudlu‟ dengan motif ini
adalah :
ََّي ٍْ قَ َشاَ ٌس فِى نَ ٍْهَ ٍح اَصْ ثَ َح َي ْغفُْٕ ًسا نَّ َٔ قَ َشاَ انذ َخاٌ فِى نَ ٍْهَ ٍح اَصْ ثَ َح َي ْغفُْٕ ًسا ن
Siapa yang membaca surat Yasin pada malam hari, maka pada pagi harinya dia
telah diampuni dari segala dosanya, dan siapa yang membaca surat Ad-Dukhan pada
malam hari, pada subuhnya dia telah diampuni dari dosa-dosanya.21
g. Menjilat kepada Penguasa
Menurut Muhammad „Ajjaj al-Khatib, pada masa Bani Umayyah belum ada
orang yang membuat hadits palsu untuk mendekatkan diri kepada para penguasa.
Pembuatan hadits palsu dalam kategori ini baru terjadi pada masa Bani Abbasiyah.
Tujuannya adalah untuk mencari muka, mendapatkan simpati dari para khalifah atau
pejabat pemerintahan yang berkuasa dengan harapan bisa memperoleh fasilitas dari
mereka. Sebagai contoh adalah apa yang dilakukan Giyats ibn Ibrahim ketika
berhadapan dengan khalifah al-Mahdi, salah seorang khalifah Bani Abbasiyah. Ketika
khalifah mengumpulkan sepuluh ahli hadits, diantara mereka adalah Giyats ibn
20 Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, h.185; ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, h. 425; Al-Siba’i, Al-Sunnah, h. 86-87
21 A. Yazid dan Qasim Koho, Himpunan Hadis-Hadis Lemah dan Palsu (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), h. 153
9
Ibrahim, dan ketika diminta meriwayatkan hadits, ia pun menyampaikan hadits palsu
karena menambahkan kata : أ جُاحpada akhir matan hadits. Ini ia lakukan karena ia
tahu bahwa khalifah al-Mahdi senang melaga burung. Bunyi hadits yang dimaksud
adalah :
ق اِ َّل فِى ََصْ ٍم أَْ ُخف أَْ َحافِش أَْ َجَُاح
َ ََل َسث
Tidak ada perlombaan kecuali dalam memanah, balapan unta, pacuan kuda, atau
burung merpati.22
Kata أجُاحpada akhir matan hadits diatas adalah buatan (tambahan) Giyats
untuk menyenangkan al-Mahdi. Megetahui maksud Giyats, al-Mahdi memberinya
uang sepuluh ribu dirham yang diambil dari kas negara. Sebenarnya ia tahu bahwa
Giyats berdusta tentang nabi, namun dibiarkannya dan bahkkan menyuruh agar
merpatinya disembelih.23
Perbedaan motivasi dalam pemalsuan hadits itu, tentu saja menyebabkan berbedanya
kandungan hadits. Karenanya, tidaklah seluruh kandungan Hadits Maudlu‟ itu buruk dan
bertentangan dengan prinsip Islam. Melihat para pemalsunya yang berasal dari kalangan
yang bermacam-macam, terdapat kemungkinan kandungan Hadits Maudlu‟ itu ada yang
baik, walaupun statusnya tetap dha‟if dalam tingkatan yang paling buruk dan tidak dapat
diamalkan.
1. Hadits :
“Barangsiapa berpuasa di waktu pagi pada hari „Idul Fithri, dia bagaikan puasa
sepanjang waktu”
10
Ini adalah hadits palsu yang dibuat oleh Ibnu al-Bailami. Ibnu Hibban
rahimahullah berkata : “Dia meriwayatkan hadits dari ayahnya sebanyak kurang lebih
200 hadits, semuanya palsu dan tidak boleh berhujjah dengan dia dan juga tidak boleh
disebut namanya kecuali hanya untuk menjelaskan keheranan terhadapnya ”
“Rajab adalah bulan Allah, Sya‟ban bulanku dan Ramadhan bulan umatku”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Jahdzom, dia adalah seorang pemalsu hadits.
3. Hadits :
“Barangsiapa yang berpuasa pada hari „Asyura, Allah akan menulis baginya ibadah
selama enampuluh tahun”
Hadits ini palsu diriwayatkan oleh Hubaib bin Abi Hubaib, dia termasuk orang
yang memalsukan hadits.
Hadits ini palsu yang diriwayatkan oleh Ali bin Urwah ad-Dimasyqi. Ibnu Hibban
berkata tentangnya : “Dia pernah memalsukan hadits”
5. Hadits :
“Barangsiapa yang mengangkat kedua tangannya ketika ruku‟, maka tidak ada shalat
baginya”
11
Adapun kitab-kitab yang memuat hadits-hadits maudlu‟ diantaranya sebagai berikut :
2. Al-Maudhu‟at Al-Kubra, karya Abu al-Faraj „Abdur Rahman ibn al-Jauzi (508-
597 H)
Kitab-kitab diatas merupakan kitab yang dikarang para ulama terdahulu yang
memuat hadits-hadits maudlu‟ di dalamnya. Kitab-kitab tersebut merupakan warisan
penting bagi umat Islam untuk menjadi salah satu sumber rujukan mengenai hadits-
hadits maudlu‟.
24 A. Qadir Hassan, Ilmu Mustalah Hadis (Bandung: CV. Diponegoro, 1996, h. 122
12
1. Ciri-Ciri yang Terdapat pada Sanad
a. Pengakuan perawi atas kedustaannya. Contohnya adalah pengakuan Abu „Ishmah
Nuh ibn Abi Maryam bahwa dia telah memalsukan beberapa hadits yang berkaitan
dengan keutamaan-keutamaan surat Alquran. 25 Demikian juga pengakuan „Abd al-
Karim al-Auja‟, salah seorang tokoh kaum Zindiq yang terkenal dalam pemalsuan
hadits, bahwa dia telah memalsukan hadits sebanyak 4.000 hadits mengenai
masalah halal dan haram.
b. Kenyataan sejarah atau qarinah yang menunjukan bahwa perawi tidak bertemu
dengan orang yang diakuinya sebagai gurunya, seperti Ma‟mun ibn Ahmad al-
Harawi yang mengaku mendengar hadits dari Hisyam ibn Hammar. Al-Hafiz ibn
Hibban mempertanyakan kapan Ma‟mun datang ke Syam. Ma‟mun menjawab,
tahun 250 H. Ibn Hibban selanjutnya mengatakan bahwa Hisyam meningga l tahun
245 H. Ma‟mun kemudian menjawab bahwa itu Hisyam yang lain. Menurut
Mahmut at-Tahhan, pengakuan seperti ini sama kedudukannya dengan pengakuan
telah memalsukan hadits.
c. Keadaan (qarinah) pada perawi. Suatu hadits dapat diketahui kepalsuannya dengan
melihat keadaan si perawi, seperti yang terlihat pada diri Sa‟d ibn Dharif ketika
suatu hari anaknya pulang dari sekolah dalam keadaan menangis. Sa‟d menanyakan
mengapa dia menangis. Anaknya menjawab bahwa dia dipukul oleh gurunya.
Kemudian ia berkata : “Telah menceritakan kepada kami „Ikrimah dari Ibn „Abbas
dari Nabi saw. beliau bersabda : para pengajar anak-anak kamu adalah orang-
orang jahat di antara kamu, mereka kurang kasih sayang kepada anak yatim dan
berlaku kasar terhadap orang-orang miskin.” Ibn Ma‟in mengatakan bahwa Sa‟d
ibn Dharif tidak boleh diterima riwayatnya, dan Ibn Hibban menyatakan bahwa
Sa‟d adalah seorang pemalsu hadits.26
d. Perawi tersebut dikenal sebagai seorang pendusta, sementara hadits yang
diriwayatkannya itu tidak diriwayatkan oleh perawi lain yang dipercaya.27 Sehingga
riwayatnya dianggap palsu.
13
2. Ciri-Ciri yang Terdapat pada Matan
b. Terdapat kerancuan pada lafadz hadits yang diriwayatkan, yang apabila lafadz
tersebut dibaca oleh seorang ahli bahasa ia akan segera mengetahui bahwa hadits
tersebut adalah palsu dan bukan berasal dari Nabi saw.
c. Maknanya rusak dan tidak bisa diterima oleh akal sehat bahwa hadits tersebut
bersumber dari Nabi saw. Contohnya adalah hadits yang menyatakan bahwa terong
adalah obat dari segala penyakit.
d. Bertentangan dengan akal atau kenyataan, bertetangan dengan Alquran, hadits
muttawatir, atau ijma‟. Contohnya hadits yang menyatakan bahwa umur dunia
7.000 tahun. Hadits ini bertentangan dengan Alquran surat al-„A‟raf ayat 187 yang
menyatakan bahwa umur dunia hanya diketahui oleh Allah.
e. Hadits yang menerangkan pahala yang sangat besar terhadap perbuatan kecil dan
sederhana, atau sebaliknya siksaan yang sangat hebat terhadap tindakan salah yang
kecil. Biasanya hadits-hadits ini terdapat pada kisah atau cerita-cerita, seperti hadits
yang menyatakan bahwa siapa saja yang mengucakan la ilaha illa Allah , Allah
akan menciptakan seekor burung yang mempunyai 70.000 lidah, dan masing-
masing lidah menguasai 70.000 bahasa yang akan memohonkan ampunan bagi
yang membacanya.
f. Hadits yang mendakwa bahwa para sahabat sepakat untuk menyembunyikan suatu
pernyataan Rasulullah saw. Seperti riwayat tentang rasul memegang tangan Ali di
hadapan para sahabat, kemudian beliau bersabda :
صٍِّ ًْ َٔاَ ِخ ًْ َٔان َخهِ ٍْفَ ِح ِي ٍْ تَ ْع ِذي
ِ َٔ َْ َزا
Ini adalah penerima wasiatku, saudaraku dan khalifah sesudahku.
Menurut dakwaan kelompok yang memalsukan hadits tersebut, para sahabat
sepakat untuk menyembunyikan dan mengubah hadits tersebut.28
g. Hadits yang menyalahi fakta sejarah yang terjadi pada masa Nabi saw., seperti
hadits yang menjelaskan bahwa Nabi saw. menetapkan jizyah atas penduduk
Khaibar dengan disaksikan oleh Sa‟d ibn Mu‟az. Menurut keterangan sejarah, Sa‟d
sendiri telah meninggal sebelum peristiwa tersebut, yaitu pada peristiwa perang
14
Khandak. Sedangkan jizyah baru ditetapkan nabi terhadap orang-orang Nasrani di
Bahrain dan Yahudi di Yaman pada perang Tabuk.
h. Matan hadits tersebut sejalan atau mendukung mazhab perawinya, sementara
perawi tersebut terkenal sebagai seorang yang sangat fanatik terhadap mazhabnya.
Umpamanya seorang Rafidhah meriwayatkan hadits tentang keutamaan ahli bait.
i. Suatu riwayat mengenai peristiwa besar yang terjadi di hadapan umum yang
semestinya diriwayatkan oleh banyak orang, tetapi ternyata hanya diriwayatkan
oleh seorang perawi saja. Seperti riwayat tentang pengepungan yang dilakukan
musuh terhadap orang banyak yang sedang melakukan ibadah haji di Baitullah.29
Dengan pedoman kepada ciri-ciri diatas, maka suatu hadits dapat dinyatakan sebagai
hadits palsu manakala terpenuhi satu atau lebih dari ciri-ciri tersebut, baik ciri yang
terdapat pada sanad, maupun ciri yang terdapat pada matan, atau ciri yang terdapat pada
kedua-duanya.
29 Ibid, h. 321
15
Isnad (sanad) adalah bagian dari agama, sekiranya tidak ada isnad (sanad), niscaya
semua orang akan berkata tentang apa yang mereka sukai (mengenai hadits / agama).30
Sikap ketat dan kritis terhadap sanad hadits akhirnya menjadi sikap umum di kalangan
ulama hadits.
2. Meningkatkan Kesungguhan dalam Meneliti Hadits
Aktifitas mencari serta meneliti kebenaran suatu hadits telah dimulai sejak masa sahabat
dan tabi‟in. Pada masa itu telah timbul usaha melakukan perlawanan dari suatu daerah ke
daerah lainnya yang kadang-kadang hanya untuk kepentingan meneliti kebenaran hadits
dari seorang perawinya. Seorang tabi‟in misalnya, ketika ia mendengar atau menerima
sebuah hadits, maka ia akan mengunjungi para sahabat yang masih hidup ketika itu untuk
mengecek kebenaran hadits tersebut. Dan para sahabat ketika itu juga bersikap terbuka
kepada siapa saja yang datang bertanya tentang hadits Nabi saw., serta menjelaskan
secara rinci tentang kebenaran dan status hadits yang dipertanyakan kepada mereka atau
ketika mereka meriwayatkannya. Sikap yang demikian selanjutnya diikuti dan
dipraktekkan pula oleh tabi‟it tabi‟in, dan demikian seterusnya.31
3. Mengambil tindakan kepada para pemalsu hadits
Pada dasarnya hadits maudlu‟ bukanlah hadits yang bersumber dari Nabi saw., tetapi
merupakan pernyataan yang sengaja dibuat atau kebohongan yang dilakukan oleh seorang
perawi yang kemudian dinisbahkan kepada Nabi saw. Dengan tujuan dan motif-motif
tertentu. Untuk menutup atau membatasi ruang ruang gerak pemalsu hadits ini, para guru
menerangkan kepada murid-murid mereka tentang hadits-hadits palsu serta melarang
mereka menerima hadits yang telah diketahui. Bahkan dalam rangka menumpas para
pemalsu hadits, para ulama melarang mereka meriwayatkan hadits dan menyerahkannya
kepada penguasa. Sebagai contoh, Murrah al-Hamdany pernah mendengar sebuah hadits
dari al-Haris al-„Awar, pendukung golongan Syi‟ah yang membuat jongkok di muka
pintu dan kemudian membunuhnya.32
4. Menjelaskan Tingkah Laku Para Perawi Hadits
Para sahabat, tabi‟in dan tabi‟it tabi‟in mempelajari biografi para perawi, tingkah
lakunya, kelahiran dan kematiannya, keadilannya, daya ingatnya, serta kemampuan
30 Muslim ibn al-Hajjaj an-Naisaburi, Sahih Muslim, juz II (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), h. 11
31 Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 323
32 Fatchur Rahman, Ikhtisar Mustalah al-Hadis (Bandung: PT. al-Ma’arif, 1995), h. 155
16
menghafalnya. Hal ini mereka lakukan untuk membedakan hadits-hadits yang sahih dan
yang palsu. Jika terdapat sifat-sifat tercela, mereka beritahukan kepada orang umum.
Untuk kepentingan ini, kemudian mereka membuat ketentuan-ketentuan untuk
menetapkan sifat-sifat perawi yang dapat dan tidak dapat diambil, ditulis atau
diriwayatkan haditsnya. Diantara para perawi yang tidak boleh diambil haditsnya adalah:
(1) Orang yang mendustakan Rasulullah saw.; (2) Orang yang berdusta dalam
pembicaraan umum, sekalipun tidak berdusta terhadap Rasulullah saw.; (3) Ahli bid‟ah.;
(4) Orang zindiq, orang fasik, pelupa, dan orang yang tidak mengerti apa yang ia
ceritakan. Adapun perawi yang ditangguhkan periwayatannya ialah: (1) Orang yang
diperselisihkan tentang jarh (cacat) dan ta‟dil (keadilan)nya.; (2) Orang yang banyak
salahnya daripada benarnya, serta banyak berlawanan dengan periwayatan orang siqat.;
(3) Orang yang banyak lupa.; (4) Pelupa karena lanjut usia; dan (5) Orang yang kurang
baik hafalannya.33
5. Membuat Ketentuan-Ketentuan Umum tentang Klasifikasi Hadits.
Para ulama membuat ketentuan dan syarat-syarat bagi hadits sahih, hasan, dan dha‟if.
Dengan demikian akan bisa ditetapkan apakah suatu hadits kualitasnya shahih, hasan,
dha‟if, atau bahkan sampai pada tingkat yang paling rendah yaitu hadits maudlu‟
6. Membuat Kaidah-Kaidah untuk Menentukan Hadits Maudlu‟
Sebagaimana para ulama telah menetapkan ketentuan-ketentuan dalam menilai suatu
hadits apakah shahih, hasan,atau dha‟if, mereka juga membuat kaidah-kaidah untuk
menetapkan suatu hadits itu palsu atau tidak. Di antaranyan mereka menetapkan beberapa
kriteria hadits maudlu‟, baik dari segi sanad maupun matan.
Upaya para ulama dalam menentukan kriteria hadits maudlu‟, baik dari segi sanad
maupun matannya, dan upaya mereka dalam mengantisipasi perbuatan memalsukan hadits
adalah dalam rangka memelihara kemurnian hadits Nabi saw. serta menjaga umat dari
kekeliruan dalam mengamalkan suatu hadits.34
33 Ibid., h.156
34 Yuslem, Ulumul Hadis, h. 325
17
dengan sengaja adalah haram secara muthlaq, bagi mereka yang sudah mengetahui itu hadits
palsu. Adapun bagi mereka yang meriwayatkan dengan tujuan memberitahu kepada orang
bahwa hadits ini adalah palsu (menerangkan sesydah meriwayatkan atau membacakannya),
tidak ada dosa atasnya.
Mereka yang tidak tahu sama sekali kemudian mereka meriwayatkan atau mengamalkan
makna hadits tersebut karena tidak tahu, tidak ada dosa atasnya. Akan tetapi, sesudah
mendapatkan penjelasan bahwa riwayat atau hadits yang dia ceritakan atau amalkan itu
adalah hadits palsu, hendaknya segera ia tinggalkan. Kalau tetap dia amalkan, sedangkan
dari jalan atau sanad lain tidak ada sama sekali, hukumnya tidak boleh.
18
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1) Maudlu` menurut bahasa artinya yang disusun, dusta yang diada-adakan. Jadi hadits
maudlu‟ itu adalah hadits yang bukan bersumber dari Nabi saw., akan tetapi suatu perkataan
atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan suatu alasan kemudian
dinisbatkan kepada Nabi saw.
2) Istilah hadits maudlu‟ muncul karena adanya kepentingan individu atau kelompok tertentu.
Sejarah menunjukan bahwa pemalsuan hadits tidak hanya dilakukan oleh orang-orang
Islam, bahkan juga dilakukan oleh orang-orang non-Islam. Banyak motif yang mendorong
pembuatan Hadits Maudlu‟, diantaranya adalah : 1.) Pertentangan politik, 2.) Adanya
kesenjangan dari pihak lain untuk merusak ajaran Islam, 3.) Fanatisme suku, negara, dan
lainnya, 4.) Mempengaruhi masyarakat awam dengan kisah dan nasihat, 5.) Perbedaan
mazhab dan teologi, dan 6.) Menganjurkan kebaikan tanpa pengetahuan agama yang cukup.
Perbedaan motivasi dalam pemalsuan hadits itu, tentu saja menyebabkan berbedanya
kandungan hadits.
3) Cara untuk mengetahui bahwa itu adalah hadits maudlu‟ ialah dengan mengenali ciri-
cirinya. Adapun diantara ciri-cirinya, para ahli hadits telah merumuskannya baik dari segi
sanad maupun dari segi matan. Dari segi sanad diantaranya, 1.) Pengakuan perawi atas
kedustaannya, 2.) Kenyataan sejarah atau qarinah yang menunjukan bahwa perawi tidak
bertemu dengan orang yang diakuinya sebagai gurunya, 3.) Keadaan (qarinah) pada perawi,
dan 4.) Perawi tersebut dikenal sebagai seorang pendusta, sementara hadits yang
diriwayatkannya itu tidak diriwayatkan oleh perawi lain yang dipercaya. Dari segi matan
diantaranya, 1.) Terdapat kerancuan pada lafadz hadits yang diriwayatkan, 2.) Maknanya
rusak dan tidak bisa diterima oleh akal sehat bahwa hadits tersebut bersumber dari Nabi
saw., 3.) Bertentangan dengan akal atau kenyataan, bertetangan dengan Alquran, hadits
muttawatir, atau ijma,. 4.) Hadits yang menerangkan pahala yang sangat besar terhadap
perbuatan kecil dan sederhana, atau sebaliknya, 5.) Hadits yang mendakwa bahwa para
sahabat sepakat untuk menyembunyikan suatu pernyataan Rasulullah saw., 6.) Hadits yang
menyalahi fakta sejarah yang terjadi pada masa Nabi saw, 7.) Matan hadits tersebut sejalan
atau mendukung mazhab perawinya, dan 8.) Suatu riwayat mengenai peristiwa besar yang
19
terjadi di hadapan umum yang semestinya diriwayatkan oleh banyak orang, tetapi ternyata
hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja. Dengan pedoman kepada ciri-ciri diatas,
maka suatu hadits dapat dinyatakan sebagai hadits palsu manakala terpenuhi satu atau lebih
dari ciri-ciri tersebut, baik ciri yang terdapat pada sanad, maupun ciri yang terdapat pada
matan, atau ciri yang terdapat pada kedua-duanya.
4.) Untuk memelihara dan menyelamatkan hadits Nabi saw. dari tercampurnya dengan sesuatu
yang bukan hadits, serta untuk menanggulangi perkembangan hadits-hadits maudlu‟, maka
ulama hadits melakukan beberapa tindakan, yaitu ; 1.) Memelihara sanad hadits, 2.)
Meningkatkan kesungguhan dalam meneliti hadits, 3.) Mengambil tindakan kepada para
pemalsu hadits, 4.) Menjelaskan tingkah laku para perawi hadits, 5.) Membuat ketentuan-
ketentuan umum tentang klasifikasi hadits, 6.) Membuat kaidah-kaidah untuk menentukan
hadits maudlu‟. Upaya para ulama dalam menentukan kriteria hadits maudlu‟, baik dari
segi sanad maupun matannya, dan upaya mereka dalam mengantisipasi perbuatan
memalsukan hadits adalah dalam rangka memelihara kemurnian hadits Nabi saw. serta
menjaga umat dari kekeliruan dalam mengamalkan suatu hadits.
20
DAFTAR PUSTAKA
21