Anda di halaman 1dari 13

TERMINOLOGI HADIS NABI

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Hadis

Oleh:

1. Sulthan Rake Anjaz (07020323071)

2. Muhammad Muhib Maulana (07050323129)

3. Nurlaily Alvath Lathiefah (07050323130)

Dosen Pengampu:
(nama bolt atau tebal)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

SURABAYA
2023

KATA PENGANTAR

Puji syukur Allah Swt. telah memberikan rahmat dan taufik-Nya,


sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Dan tak lupa
penulis sampaikan sholawat serta salam kepada junjungan Rasulullah
Muhammad SAW., semoga syafaatnya mengalir dan tertanam sampai dihari
akhir kelak. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas Ibu Andris Nurita, M.Ag selaku dosen pengampu mata kuliah “Studi
Hadits” dengan judul makalah “Konsep Dasar Studi Hadits”. Semoga makalah
ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan terkait materi ini, baik
pembelajaran bagi penulis maupun pembaca.
Tidak lupa ucapan terima kasih kepada Ibu Andris Nurita, M.Ag. selaku
dosen pengampu yang telah memberikan tugas ini. Kepada semua pihak yang
telah membagikan pengetahuannya, sehingga makalah ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
penulis menerima segala bentuk kritik dan saran dari pembaca demi
menyempurnakan makalah ini.
Demikian yang dapat penulis sampaikan dari pengantar makalah ini,
kurang lebihnya semoga dapat memberi manfaat dan barokah bagi pembaca dan
penulis. Amin.

Surabaya, 28 Agustus2023

Tim Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
……………………………………………………………..
KATA PENGANTAR ii
…………………………………………………………….
DAFTAR ISI iii
……………………………………………………………………..
BAB 1 1
PENDAHULUAN………………………………………………………..
A. Latar Belakang 1
………………………………………………………………
B. Rumusan Masalah 2
………………………………………………………….
C. Tujuan Penulisan 2
……………………………………………………………
BAB 2 PEMBAHASAN 3
…………………………………………………………
A. Pengertian ..adits ……………………….. 3
…………………………….
B. Fungsi Hadits terhadap Al-Qur an…………………………………... 4
C. Pengertian Khabar dan Asar..………………………………………. 5
D. Perbandingan antara Hadits Nabawi, Qudsi dan Al-Qur'an ……….. 6
E. Struktur Hadits nabi ……………….. 7
………………………………….
BAB 3 PENUTUP 8
A. Kesimpulan .………………………………………………………….. 8
B. Saran …………………………………………………………………. 9
DAFTAR PUSTAKA 10
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Quran sebagai kalam Allah (Firma Allah) mencakup seluruh aspek


kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan Penciptanya, sesama manusia dan
alam semesta, yang merupakan persoalan mendasar setiap kehidupan manusia. Al-
Qur'an sebagai kitab suci umat Islam kaya akan pesan-pesan yang mengandung
nilai-nilai pendidikan.
Sedangkan hadits yang merinci seluruh sikap, perkataan dan perbuatan
Nabi SAW dalam menerapkan ajaran Islam dan mengembangkan kehidupan umat
manusia, maka hal ini sungguh memberikan rahmat bagi seluruh alam, termasuk
manusia dalam mewujudkan dirinya dan kehidupannya secara utuh. Dan
bertanggung jawab atas keselamatan hidup mereka. Kedudukan Sunnah dalam
kehidupan dan pemikiran Islam sangatlah penting, karena selain menguatkan dan
memperjelas berbagai persoalan tentang Al-Quran, juga memberikan landasan
yang lebih konkrit mengenai penerapan berbagai aktivitas yang mesti
dikembangkan dalam kerangka hidup dan kehidupan manusia.
Sebelum membahas tentang pengertian, jenis dan perkembangan ilmu
hadits, terlebih dahulu akan dijelaskan secara singkat kapan ilmu hadits muncul.
Ilmu hadits sudah ada sejak zaman nabi Muhammad SAW dan perhatian para
sahabat terhadap hadits atau sunnah sangat besar. Begitu pula yang menjadi
perhatian generasi penerus seperti Tabi'in, Tabi' Tabi'in dan generasi setelah
Tabi'in. Mereka melestarikan hadits dengan cara menghafal, mengingat,
berdiskusi, menulis, menyusun dan mensistematisasikannya dalam kitab-kitab
hadits yang tidak terhitung jumlahnya. Namun, selain gerakan membangun hadits,
ada juga sebagian kelompok atau individu minoritas yang berbohong dalam
membuat hadits hingga menjadikan hadits disebut sebagai hadits mawdhû' (hadits
palsu). Maksudnya menyandarkan sesuatu yang tidak berasal dari Nabi SAW,
kemudian dikatakan bahwa itu berasal dari Nabi SAW.
Status hadits pada masa pengembangan sebelum sistematisasi dan
penyempurnaan mengalami kerancuan di tengah jalan, meskipun tergolong
minoritas. Oleh karena itu, para ulama melakukan penelitian terhadap hadits yang
beredar dan menetapkan aturan atau ketentuan yang ketat bagi siapa pun yang
meriwayatkan hadits, yang kemudian dikenal sebagai ilmu hadits. Walaupun
artikel ini tidak dapat memuat pertanyaan-pertanyaan terkait sejarah lahir dan
berkembangnya ilmu hadits secara umum, namun artikel ini setidaknya cukup
untuk mengenalkan kita pada sejarah perkembangan ilmu hadits. Berdasarkan
permasalahan di atas, maka pada artikel ini kami mencoba menjelaskan pengertian
ilmu hadits dan sejarah perkembangan ilmu hadits.

B. Rumusan Masalah

1. Apa arti hadits secara etimologi dan terminology?


2. Apa fungsi hadits terhadap Al-Qur’an?
3. Apa perbedaan hadits, khabar dan atsar?
4. Apa perbedaan hadits qudsi, hadits nabawi dan Al-Qur’an?

C. Tujuan

1. Mengetahui arti hadits secara etimologi dan terminology


2. Mengetahui fungsi hadits terhadap Al-Qur’an
3. Mengetahui perbedaan hadits, khabar dan atsar
4. Mengetahui perbedaan hadits qudsi, hadits nabawi dan Al-Qur’an

 
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits

Pengertian hadits secara etimologi (lughawiyah) al-hadits bermakna al-


jadid (sesuatu yang baru), dilawankan kepada makna al-qadim (sesuatu yang
lama). Kata al-hadits ini sering juga dimaknakan dengan al-khabar  (berita).
Secara bahasa hadits juga bermakna komunikasi, cerita, perbincangan seputar
religius, historis atau kontemporer.[1]
Sedangkan pengertian hadits secara terminology (istilah) dapat
didefinisikan sebagai berikut;

ِ ْ‫ َس َوا ًء َكانَ قَوْ اًل أوْ فِ ْعاًل اَوْ تَ ْق ِر ْيرًا َأو‬,‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
ً‫صفَة‬ ْ
ُ ‫ال َح ِدي‬.
َ ‫ْث هُ َو َما َجا َء َع ِن النَّبِ ِّي‬

“Hadits adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi SAW, baik yang
berupa perkataan, perbuatan, persetujuan ataupun sifat.”

Atau dalam redaksi lain dapat didefinisikan;

‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَوْ اًل اَوْ فِ ْعاًل اَوْ تَ ْق ِر ْيرًا اَوْ نَحْ َوهَا‬ ِ ُ‫ْث هُ َو َما ا‬
َ ‫ض ْيفَ لِلنَّبِ ِّي‬ ْ
ُ ‫ال َح ِدي‬.

“Hadits adalah apa-apa yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik yang


berupa perkataan, perbuatan, pernyataan/ketetapan (taqrir) dan sebagainya.”[2]

Hadits secara khusus merupakan penuturan yang disandarkan pada


perbuatan dan perkataan Nabi Muhammad SAW, sebagaimana yang dituturkan
kembali oleh para sahabatnya.
Hadits menjadi sandaran ajaran islam atau ia menjadi penjelasan dari
ajaran-ajaran yang disebutkan di dalam Al-Qur’an baik mengenai kehidupan
social, keagamaan dan perbuatan sehari-hari sampai dengan tata cara
mengenakan sandal sekalipun. Hadits merupakan dasar atau sumber kedua
hukum islam setelah Al-Qur’an.[3]
B. Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an

Dalam menjelaskan fungsi hadits terhadap Al-Qur’an, tentu secara


structural hadits menduduki peringkat kedua setelah Al-Qur’an dalam jajaran
sumber hukum islam, dan secara fungsional merupakan bayan terhadap Al-
Qur’an.
Menurut Imam Syafi’i fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an ada dua.
Pertama, untuk menkonfirmasikan semua yang diwahyukan Allah SWT.
Kedua, untuk memberi kejelasan makna yang dikehendaki oleh Al-Qur’an dan
menerangkan bentuk perintah yang diturunkan apakah bersifat umum atau
khusus dan bagaimana cara melaksanakannya. Sementara itu, bentuk sunnah
itu sendiri menurut imam Syafi’i ada tiga. Pertama, sunnah yang menegaskan
seperti apa-apa yang dinashkan oleh Al-Qur’an. Kedua, sunnah yang
menjelaskan makna yang dikehendaki oleh Al-Qur’an. Ketiga, sunnah yang
berdiri sendiri yang tidak punya kaitan dengan nash Al-Qur’an.[4]
Dalam literatur ushul fiqh dan literatur hadits, secara umum terdapat
tiga fungsi hadits terhadap Al-Qur’an;

1. Bayan al-taqrir

Bayan al-taqrir disebut juga dengan bayan al-taqlid. Yang dimaksud


bayan ini adalah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan
didalam Al-Qur’an. Fungsi hadits dalam hal ini hanya memperkokoh isi
kandungan Al-Qur’an.

2. Bayan al-tafsir

Yang dimaksud dengan bayan al-tafsir adalah penjelasan hadits


terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut,
seperti pada ayat-ayat yang mujmal, muthlaq dan ‘am. Maka fungsi hadits
dalam hal ini memberikan perincian dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-
Qur’an yang masih mujmal dan memberikan taqyid ayat-ayat yang
masih muthlaq dan memberikan takhsis ayat-ayat yang masih umum.

3. Bayan al-nasakh
Kata al-nasakh secara bahasa bermacam-macam arti, bisa berarti al-
ibdal (membatalkan), atau al-izalah (menghilangkan), atau at-
tahwil (memindahkan), atau at-taghyir (mengubah).
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat. Adapun otoritas sunnah
sebagai tasyri’  adalah sebagai penetap hukum yang bersifat independen
dalam kasus yang Al-Qur’an tidak menetapkan hukumnya. Bayan al-
tasyri’  mengandung pengertian yaitu penjelasan hadits yang berupa
mewujudkan, mengadakan atau menetapkan suatu hukum atau aturan-aturan
syara’ yang tidak didapati nashnya dalam Al-Qur’an.
Bayan ini oleh sebagian ulama disebut juga dengan “bayan za’id ‘alaa
al-kitab al-karim.” (tambahan terhadap nash Al-Qur’an). Disebut tambahan
disini karena sebenarnya didalam Al-Qur’an sendiri ketentuan-ketentuan
pokoknya sudah ada, sehingga datangnya hadits tersebut merupakan
tambahan terhadap ketentuan pokok itu.[5]

 C. Perbedaan Hadits, Khabar dan Atsar

1. Hadits secara istilah;

ِ ْ‫ َس َوا ًء َكانَ قَوْ اًل أوْ فِ ْعاًل اَوْ تَ ْق ِر ْيرًا َأو‬,‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
ً‫صفَة‬ ْ
ُ ‫ال َح ِدي‬.
َ ‫ْث هُ َو َما َجا َء ع َِن النَّبِ ِّي‬

“Hadits adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi SAW, baik yang
berupa perkataan, perbuatan, persetujuan ataupun sifat.”

Contoh hadits berdasarkan perkataan Nabi SAW;

ِّ ‫ َم ْن ُولِ َد لَهُ َموْ لُوْ ٌد فََأ َّذنَ فِ ْي اُ ُذنِ ِه ْاليُ ْمنَ َواَقَا َم فِى ْاليُ ْس َرى لَ ْم تَضُرُّ هُ اُ ُّم ال‬.
‫ص ْبيَا ِن‬

“barangsiapa yang lahir anaknya, maka azanlah pada telinga kanannya dan
iqamahlah pada telinga kirinya, maka anak itu tidak dimudharatkan oleh jin
(tidak kena penyakit kanak-kanak).” [6] (diriwayatkan dalam kitab ibnu
sunni dari hasan bin ali)

Contoh hadits berdasarkan perbuatan Nabi SAW;

ْ ‫ص’لَّى هللاُ َعلَيْ’ ِه َو َس’لَّ َم يَ ْخطُبُ يَ’’وْ َم ْال ُج ُم َع’ ِة قَاِئ ًم’’ا ُخ‬
ُ‫طبَتَي ِْن يَجْ لِس‬ َ  ِ‫ع َِن ابِ ِن ُع َم َر َكانَ َرسُوْ ُل هللا‬
‫بَ ْينَهُ َما‬.
Dari Ibnu Umar: “Rasulullah SAW berkhotbah dua khotbah pada hari
jum’at dengan berdiri, dan beliau duduk diantara dua khotbah
itu.”[7] (Riwayat Bukhori)

2. Khabar menurut pendapat ahli hadits ialah;

‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َوع َْن َغي ِْر ِه ِم ْن اَصْ َحابِ ِه اَ ِو التَّابِ ِع ْينَ اَوْ تَابِ ِع التَّابِ ِع ْينَ اَوْ َم ْن ُدوْ نَهُ ْم‬ ْ
َ ُ‫ال َخبَ ُر هُ َو َما َجا َء َع ْنه‬.

“Khabar adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi SAW ataupun yang
lainnya, yaitu sahabat beliau, tabi’in, tabi’ tabi’in atau generasi
setelahnya.”[8]

Fuqaha’ khurasan (para ahli fiqh yang berasal dari khurasan, iran)
berpendapat bahwa khabar adalah segala ucapan, perbuatan dan ketetapan
yang pertalian periwayatnya sampai kepada Nabi (marfu’). Contoh Khabar
dari Abu Bakar Asy-Syibli berkata;

‫لَوْ َدفَ ْنتُ ْم َحاَل َوةَ ْال َوصْ لَ ِة لَ َع َر ْفتُ ْم َم َرا َرةَ ْالقَ ِط ْي َع ِة‬

“Jika engkau merasakan nikmatnya dekat (bersama Allah SWT), engkau


akan merasakan pahitnya jauh dari Allah SWT.”[9]

Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa khabar maknanya lebih umum.


Semua hadits adalah khabar, namun belum tentu semua khabar adalah
hadits.

Atsar secara istilah menurut ahli hadits ialah;

َ ‫اَألثَ ُر هُ َو َما َجا َء ع َْن َغي ِْر النَّبِ ِّي‬.


َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِمن الص‬
‫َّحابَ ِة اَ ِو التَّابِ ِع ْينَ اَوْ تَابِ ِع التَّابِ ِع ْينَ اَوْ َم ْن ُدوْ نَهُ ْم‬

“Atsar adalah segala yang datang selain dari Nabi SAW, yaitu dari sahabat,
tabi’in atau geberasi setelah mereka.”

      Fuqaha’ khurasan (para ahli fiqh yang berasal dari khurasan, iran)
berpendapat bahwa atsar ialah ucapan, perbuatan dan ketetapan yang
pertalian periwayatnya (sanad) hanya sampai kepada sahabat Nabi SAW
(Mauquf). Contoh atsar sahabat dari sahabat Ali bin Abi Thalib ra.:

‫ت النَّا ُر فِ ْي طَلَبِ ِه‬ ِ ‫ب ْال َم ْع‬


ِ َ‫صيَ ِة َكان‬ َ ‫ت ْال َجنَّةُ فِ ْي‬
ِ َ‫طلَبِ ِه َو َم ْن َكانَ فِ ْي طَل‬ ِ َ‫ب ْال ِع ْل ِم َكان‬
ِ َ‫َم ْن َكانَ فِ ْي طَل‬
“siapa saja yang mencari ilmu maka surga akan berada dalam
pencariannya, siapa saja yang mencari kemaksiatan maka neraka akan
berada dalam pencariannya.”[10]
 

Hadits dan Aspek dan


Sandaran Sifatnya
Sinonimnya Spesifikasinya
Hadits Nabi Perkataan (qaul), Lebih khusus
perbuatan (fi’il), dan sekalipun
persetujuan (taqriri) dilakukan
sekali
Khabar Nabi dan Perkataan (qaul), Lebih umum
selainnya perbuatan (fi’il)
Atsar Sahabat dan Perkataan (qaul), Umum
Tabi’in perbuatan (fi’il)
 
 D. Perbedaan Hadits Qudsi, Hadits Nabawi dan Al-Qur’an
1. Hadits Qudsi
Hadits qudsi disebut juga hadits  Ilahi dan hadits Rabbani. Dinamakan
qudsi (suci), ilahi (Tuahan), dan Rabbani (ketuhanan) karena ia bersumber
dari Allah yang Maha Suci dan dinamakan hadits karena Nabi yang
memberitakannya yang didasarkan dari wahyu Allah SWT. Definisi hadits
qudsi ialah;

َ ‫ُكلُّ قَوْ ٍل َأ‬


‫ضافَهُ ال َّرسُوْ ُل هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إلَى هللاِ َع َّز َو َج َّل‬

Segala perkataan yang disandarkan Rasul kepada Allah SWT.


 
2. Hadits Nabawi
Pada hadits nabawi, Nabi SAW menjadi sandaran sumber pemberitaan.
Hadits nabawi lafal dan maknanya dari Nabi menurut sebagian pendapat.
 
3. Al-Qur’an
Sebagian ulama mengatakan kata Al-Qur’an tidak ada akar katanya, ia
merupakan nama bagi kalam Allah (‘alam murtajal). Dr. shubhi Shalih
dalam bukunya Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an sebagai berikut;
‫ف ْال َم ْنقُوْ ُل َع ْنهُ بِا لتَّ َواتُ ِر‬
ِ ‫اح‬
ِ ‫ص‬َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ْال َم ْكتُوْ بُ فِى ْال َم‬ َّ ِ‫ْالكَاَل ُم ْال ُم ْع ِج ُز ْال ُمنَ َّز ُل َعلَى النَّب‬
َ ‫ي‬
ْ
‫ال ُمتَ َعبَّ ُ’د بِتِاَل َوتِ ِه‬.

Kalam Allah yang mengandung mu’jizat, diturunkan kepada Nabi SAW


tertulis pada mushaf, diriwayatkan secara mutawatir, dan yang dinilai
ibadah dengan membacanya.
Al-Qur’an adalah firman Allah, bukan sabda Nabi, bukan perkataan
manusia dan bukan pula perkataan malaikat.
Hadits Nabawi Lafal dan makna disandarkan kepada Nabi
Hadits Qudsi Lafal dari Nabi sedangkan maknanya disandarkan
kepada Allah SWT
Al-Qur’an Dari Allah SWT
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Hadits secara istilah (terminologi) adalah segala sesuatu yang datang
dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan ataupun sifat.
Sedangkan fungsi hadits sendiri diantaranya adalah menetapkan dan
memperkuat (bayan al-taqrir), penjelasan (bayan al-tafsir), serta tambahan
terhadap nash Al-Qur’an (bayan za’id ‘alaa al-kitab al-karim).
Dengan begitu betapa pentingnya study hadits ini bagi kita, dalam
menelaah serta memperdalam ilmu agama. Dimana Al-Qur’an dan Hadits
sendiri menjadi sumber ajaran islam, sehingga sudah sepatutnya kita
mempelajarinya. Sebagaimana sabda Rasulullah “barangsiapa yang
dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkannya dalam
urusan agama.”
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
DAFTAR PUSTAKA

Abd. Wahid, Pengantar Ulumul Hadits, Banda Aceh, penerbit PeNA. 2012. Hal.


5

Abd. Wahid, Pengantar Ulumul Hadits, Banda Aceh, penerbit PeNA. 2012. Hal.


33

Abd. Wahid, Pengantar Ulumul Hadits, Banda Aceh, penerbit


PeNA. 2012. Hal. 29

Juhana Nasrudin & Dewi Royani, Kaidah-kaidah Ilmu Hadits


Praktis,  Yogyakarta, CV.Budi Utama, 2017, Hal. 33

Juhana Nasrudin & Dewi Royani, Kaidah-kaidah Ilmu Hadits


Praktis,  Yogyakarta, CV.Budi Utama, 2017, Hal. 37

Muhaini, 2013. Pengantar Studi Islam.banda aceh:Penerbit PeNA.

Muhaini, Pengantar Studi Islam, banda aceh, Penerbit PeNA, 2013. Hal. 103

Nasrudin, Juhana dan Dewi Royani, 2017. Kaidah-kaidah Ilmu Hadits


Praktis.  Yogyakarta:CV.Budi Utama.

Sulaiman Rasyid, 2017. Fiqh Islam. Bandung:Sinar Baru Algensindo.

Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Bandung, Sinar Baru Algensindo. 2017. Hal. 56

Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Bandung, Sinar Baru Algensindo. 2017. Hal. 125

Syekh Nawawi Al-bantani, 2016. Nashaihul ‘Ibad. Diterjemahkan oleh:Fuad


Saifudin Nur. Jakarta:Wali Pustaka.

Syekh Nawawi Al-bantani, Nashaihul ‘Ibad, Terj. Fuad Saifudin Nur, (Jakarta:
Wali Pustaka, 2016), hlm. 34

Syekh Nawawi Al-bantani, Nashaihul ‘Ibad, Terj. Fuad Saifudin Nur, (Jakarta:
Wali Pustaka, 2016), hlm. 56

Wahid, 2012. Pengantar Ulumul Hadits, Banda Aceh:Penerbit PeNA.

Anda mungkin juga menyukai