Anda di halaman 1dari 31

ALIRAN PEMIKIRAN DALAM AJARAN ISLAM

(Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Penganta Studi Islam)


Dosen pengampu: Rahmad Wahyugi, M.Pd.

Oleh:

Maipiroh Jatuljannah (21.01.0009)


Norlizawati (21.01.0014)

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYYAH (PGMI)


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT)
HIDAYATULLAH BATAM
TAHUN AJARAN 2023\2024
KATA PENGANTAR

Bismillahhirrahmanirrahhim

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillahirabbil’alamiin. Segala puji bagi Tuhan seluruh alam yang


telah menciptakan langit dan aumi serta isinya. Shalawat dan salam tak lupa kita
hanturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman
jahiliyah hingga zaman terang benderang. Selanjutnya berkat rahmatnya pula,
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Aliran Pemikiran
Dalam Ajran Islam”

Dengan selesainya makalah ini, penulis berharap makalah ini dapat


membantu para pembaca dalam menemukan referensi serta pengetahuan baru
yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Akhir kata, penulis mohon maaf atas kekurangan atau terdapat typo yang
dapat membingungkan pembaca dalam memahami isi makalah ini. Sekian.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatu.

Batam, 29 November 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
....................................................................................................................................
i

DAFTAR ISI
....................................................................................................................................
ii

BAB I PENDAHULUAN
....................................................................................................................................
1

A. Latar Belakang ............................................................................................


1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................
1

C. Tujuan...........................................................................................................
1

BAB II PEMBAHASAN
....................................................................................................................................
2

A. Pengertian Pemikiran, Alirann dan Islam.....................................................


2

B. Aliran Pemikiran Kalam...............................................................................


2

C. Aliran Pemikiran Ilmu Fiqih.........................................................................


15

D. Aliran Pemikiran Tasawuf............................................................................


19

ii
BAB III PENUTUP
....................................................................................................................................
25

A. Kesimpulan...................................................................................................
25

B. Saran.............................................................................................................
25

DAFTAR PUSTAKA
....................................................................................................................................
26

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Membahas Aliran-aliran dalam pemikiran islam dan sejarah nya,


maka tak lain membahas agama islam itu sendri. Dalam sebuah perguruan
tinggi, aliran-aliran atau ajaran ajaran itu biasa disebut dengan studi islam.
Di kalangan para ahli masih terdapat perdebatan di sekitar permasalahan
apakah studi islam (agama) dapat dimasukkan kedalam bidang ilmu
pengetahuan, mengingat sifat karakteristik antara ilmu pengetahuan dan
agama berbeda.
Namun sesuai dengan perkembangan zaman, perdebatan-
perdebatan di kalangan para ahli tentang apakah sebenarnya studi
islam menghasilkan titik temu. Namun hal yang terpenting yang harus
digaris bawahi sumber mereka satu yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.
Sedang realitas yang ada memang benar adanya bahwa Allah SWT
menurunkan ayat yang sifatnya zhanni lebih banyak daripada ayat yang
sifatnya Qhat’i. Agar daya nalar yang dimiliki oleh manusia berkembang.
B. Rumusan Masalah
a) Apa yang dimaksud dengan aliran pemikiran dalam islam?
b) Apa saja yang dimaksud dengan aliran pemikiran kalam?
c) Apa yang dimaksud dengan aliran ilmu fiqih?
d) Apa yang dimaksud dengan aliran pemikiran ilmu tasawuf?
C. Tujuan
a) Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan aliran pemikiran
dalam islam.
b) Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan aliran pemikiran
Kalam.
c) Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan aliran pemikiran
ilmu Fiqih
d) Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan aliran pemikiran
Tasawuf

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. ALIRAN PEMIKIRAN DALAM ISLAM


1. Pengertian Aliran, Pemikiran, Islam
Aliran merupakan sesuatu yang mengalir seperti air, hawa dan listrik
serta saluran. Aliran berhubungan dengan pandangan, sikap dan haluan.
Aliran ini dimaksudkan kedalam beberapa bentuk yaitu aliran politik,
aliran filsafat dan aliran kepercayaan. Pemikiran secara umum merupakan
proses menggunakan akal untuk mempertimbangkan sesuatu dan
mencakup berbagai hal yang berhubungan dengan proses mental yang
berbeda, seperti mempertimbangkan ide atau proposional atau menilai itu
benar. Islam adalah agama yang diturunkan Allah Swt., kepada Nabi
Muhammad Saw., sebagai nabi dan rasul terakhir untuk menjadi pedoman
hidup seluruh manusia.
Dari ketiga komponen diatas dapat disimpulkan bahwa aliran
pemikiran islam merupakan cara pandang terhadap ajaran agama yang
berhubungan dengan proses mental dengan mempertimbangkan ide atau
proposional dari ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad yang
diturunkan Allah Swt sebagai syafa’at.
B. Pengertian Ilmu Kalam
Menurut ahli tata bahasa Arab, kalam adalah kata atau lafaz dengan
bentuk majemuk (ketentuan atau perjanjian). Secara teknis, kalam adalah
alasan atau argumen rasional untuk memperkuat perkataan. Secara tata
bahasa, kalam merupakan kata umum tentang perkataan, sedikit atau
banyak, yang dapat digunakan untuk setiap bentuk pembicaraan (likulli
ma yatakallamu bihi); atau ekspresi suara yang berturut-turut hingga
pesan-pesan suara itu jelas maksudnya.
Kalam sebagai kata kerja banyak digunakan dalam al-Quran yang
artinya berbicara kepada seseorang yang dikenai pada perbuatan. Abu
Hasan al-Asy’ari dalam al-Ibanah mengartikan kata taklim dengan
alMusyafahah bi al-Kalam (berbicara dengan pembicaraan tertentu). Kata

2
kalam lainnya yang mempunyai pengertian yang netral yaitu berbicara,
bercakap-cakap, dan diskusi.
Adapun penjelasan dari Musthafa Abd Ar-Raziq menyebut ilmu
kalam dengan beberapa nama, antara lain: ilmu ushuluddin, ilmu tauhid,
fiqh al-Akbar, dan teologi Islam. Disebut ilmu ushuluddin karena ilmu ini
membahas tentang pokok-pokok agama. Sementara itu, ilmu tauhid adalah
suatu ilmu yang di dalamnya dikaji tentang asma' (nama-nama) dan sifat
yang wajib, mustahil dan ja'iz bagi Allah, juga sifat yang wajib, mustahil
dan ja'iz bagi Rasul-Nya. Ilmu tauhid juga membahas tentang keesaan
Allah SWT., dan hal-hal yang berkaitan dengan-Nya. Sementara fiqhul
akbar adalah ilmu yang membahas tentang keyakinan. Kondisi seperti ini
menunujukkan kepada kita bahwa ilmu kalam sama dengan ilmu tauhid,
hanya saja argumentasi ilmu kalam lebih dikonsentrasikan pada
penguasaan logika. Oleh sebab itu, sebagian teolog membedakan antara
ilmu kalam dan ilmu tauhid1.
Ahmad Hanafi menyatakan bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang
membicarakan tentang wujudnya Tuhan (Allah), sifat- sifat yang mesti ada
pada-Nya, sifat-sifat yang tidak ada padaNya dan sifat-sifat yang mungkin
ada pada-Nya dan membicarakan tentang Rasul-rasul Tuhan, untuk
menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada
padanya, sifat-sifat yang tidak mungkin ada padanya dan sifatsifat yang
mungkin terdapat padanya2. Ada pula yang mengatakan bahwa ilmu kalam
ialah ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-
kepercayaan keagamaan (agama Islam) dengan bukti-bukti yang yakin.
Menurut Harun Nasution, teologi dalam Islam disebut `ilm al-Tauhid. Kata
tauhid mengandung arti satu atau Esa dan keEsaan dalam pandangan
Islam, sebagai agama monotheisme merupakan sifat yang terpenting di
antara segala sifat-sifat Tuhan.
Teologi Islam disebut pula `ilm al-Kalam. Kalam adalah kata-kata,
sehingga dengan pengertian kalam ini muncul dua pemahaman. Pertama,
kalam ialah sabda Tuhan. Karena soal kalam sebagai sabda Tuhan atau al-
1
Abdul Rozak & Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 3.
2
Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal. 3.

3
Quran di kalangan umat Islam pada abad ke sembilan dan ke sepuluh
Masehi pernah menimbulkan pertentangan-pertentangan keras sehingga
timbul penganiayaan dan pembunuhan-pembunuhan terhadap sesama
muslim pada masa itu. Kedua, yang dimaksud kalam adalah kata-kata
manusia, karena kaum teolog Islam bersilat lidah dengan kata-kata dalam
mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing. Teolog dalam
Islam dinamai dengan mutakallimun yaitu ahli debat yang pandai memakai
katakata3.
Ilmu tauhid dengan ilmu kalam sebenarnya dimaksudkan untuk
membedakan antara mutakallimun dengan filosof muslim. Mutakallimun
dan filosof muslim mempertahankan atau memperkuat keyakinan mereka
dengan menggunakan metode filsafat tetapi mereka berbeda dalam
landasan awal berpijak. Mutakalimun lebih dahulu bertolak dari al-Quran
dan Hadis (wahyu) yang diyakininya (diimani), kemudian disertakan
pembuktian dalil-dalil rasional. Sementara filosof berpijak kepada logika.
Artinya, mereka melakukan sebuah pembuktian secara rasional, kemudian
meyakininya. Meskipun demikian, tujuan yang ingin dicapai adalah satu
yaitu ke-Esaan Allah dan ke-Mahakuasaan Allah SWT.
Menurut Nurcholish Madjid, ilmu kalam sering diterjemahkan
sebagai teologia, sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan
pengertian teologia dalam agama Kristen. Misalnya dalam pengertian
teologi Kristen, ilmu fiqih dalam Islam termasuk teologi. Karena itu
sebagian di kalangan ahli ada yang menghendaki pengertian yang lebih
praktis untuk menerjemahkan ilmu kalam sebagai teologis dialektis atau
teologi rasional, dan mereka melihatnya sebagai suatu disiplin ilmu yang
sangat khas dalam Islam.
Beberapa alasan penamaaan ilmu kalam adalah:
1. Persoalan terpenting di antara pembicaraan-pembicaraan masa-
masa pertama Islam adalah firman Allah SWT, alQuran, apakah

3
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:
UI H-Press, 1978), hal. 9.

4
azali atau baru. Oleh karena itu, keseluruhan isi ilmu kalam
merupakan bagian yang penting sekali.
2. Dasar ilmu kalam yaitu dalil-dalil rasional yang pengaruhnya
nampak nyata pada pembicaraanpembicaraan para ulama Islam,
sehingga kelihatan mereka sebagai ahli bicara. Dalil al-Quran
dan Sunnah baru dipakai sesudah mereka menetapkan
kebenaran suatu persoalan dari segi akal pikiran.
3. Pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai
logika dan filsafat. Pembuktian-pembuktian dengan logika
disebut ilmu kalam. Orang yang ahli dalam ilmu kalam disebut
mutakallim (jamaknya mutakallimin). Istilah teologi Islam,
ilmu kalam, dan ilmu tauhid pada intinya memiliki kesamaan
pengertian, yaitu di sekitar masalah-masalah sebagai berikut:
a. Kepercayaan tentang Tuhan dengan segala seginya, yang
berarti termasuk di dalamnya soal-soal wujud-Nya,
keesaan-Nya, sifat-sifat-Nya, dan sebagainya.
b. Pertalian-Nya dengan alam semesta, yang berarti termasuk
di dalamnya persoalan terjadinya alam, keadilan dan
kebijaksanaan Tuhan, serta kada dan kadar. Pengutusan
rasul-rasul juga termasuk di dalam persoalan pertalian
manusia dengan Tuhan, yang meliputi juga soal penerimaan
wahyu dan berita-berita alam gaib atau akhirat.
C. Dasar Qurani
Sebagai sumber ilmu kalam, al-Quran banyak menyinggung hal
yang berkaitan dengan masalah ketuhanan, di antaranya adalah:
1. Q.S. al-Ikhlas (122): 3-4.

(4) (3)
Artinya: “Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakan.
Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.”
Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak beranak dan
tidak diperanakan, serta tidak ada sesuatu pun di dunia ini
yang tampak sekutu (sejajar) dengan-Nya.

5
2. Q.S. al-Furqan (25): 59.

Artinya: “Yang menciptakan langit dan bumi dan apa


yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia
bersemayam di atas Arasy, (Dialah) Yang Maha Pemurah,
maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih
mengetahui(Muhammad) tentang Dia.”

Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan Yang Maha Penyayang


bertahta di atas "Arsy". Ia Pencipta langit, bumi, dan semua
yang
ada di antara keduanya.
3. Q.S. al-Fath (48): 10

Artinya: “Bahwasannya orang-orang yang berjanji kepada


kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah.
Tangan Allah di atas tangan mereka. maka barang siapa yang
melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan
menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya
kepada Allah, maka Allah akan memberikan pahala
yang besar.”.
Bersemayam di atas 'Arsy ialah satu sifat Allah yang wajib
kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dan kesucian-Nya.
Pada bulan Zulkaidah tahun keenam Hijriyyah Nabi
Muhammad Saw beserta pengikut-pengikutnya hendak
mengunjungi Ayat ini menunjukkan Tuhan mempunyai
"tangan" yang selalu berada di atas tangan orang-orang yang
melakukan sesuatu selama mereka berpegang teguh dengan
janji Allah SWT.
4. Q.S. Thaha (20): 39.

6
Artinya: “Yaitu, letakanlah ia (Musa) di dalam peti,
kemudian lemparkan ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu
membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Firaun) musuh-Ku
dan musuhnya. Dan Aku telah melimpahkan kasih sayang yang
datang dari-Ku, dan supaya kamu diasuh di bawah
pengawasan-Ku.”
Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai "mata"
yang selalu digunakan untuk mengawasi seluruh gerak,
termasuk gerakan hati makhluk-Nya.
5. Q.S. ar-Rahman (55): 27.

Artinya: “Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang


mempunyai
kebesaran dan kemuliaan.”
Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai "wajah"
yang tidak akan rusak selama-lamanya
D. Sumber Kajian Ilmu Kalam
Akal manusia dalam mengenal Allah hanya mampu sampai pada
batas mengetahui bahwa Allah Zat Tuhan Yang Maha Kuasa itu ada.
Untuk mendalami lebih lanjut, manusia memerlukan wahyu. Sebab itulah,
Tuhan mengutus para Nabi dan Rasul untuk menjelaskan apa dan
bagaiman Allah itu melalui sifat-sifat-Nya dan hal-hal yang berhubungan
dengan bukti kebenaran, keesaan, dan kekuasaan-Nya. Para teolog atau
mutakallimun mempunyai ciri khusus dalam membahas teologi, yaitu
menggunakan akal. Dalam membahas persolan-persolan Tuhan dan hal-hal
yang berhubungan dengan-Nya bersumber kepada wahyu (al-Quran dan
asSunnah). Dengan tujuan agar akal manusia dapat menangkap ajaran-
ajaran dan petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam wahyu tersebut. Karena
kalau akal tidak mendapat bimbingan dari kedua sumber tersebut, sangat

7
mungkin akal akan
memasauki perjalanan sesat dan menyesatkan, terutama dalam memahami
keesaan dan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Menurut akal, keberadaan
sesuatu dapat diamati, diteliti, dan dicapai oleh akal. Akal merupakan
pemberian tertinggi dari Allah setelah iman (hidayah). Oleh karena itu,
keyakinan dan akal bertemu dan menguatkan pemahaman seseorang
tentang sesuatu
E. Sejarah Timbulnya Ilmu Kalam

Secara historis, di kalangan umat Islam telah terjadi


perbedaan pedapat yang mengakibatkan lahirnya aliran-aliran kalam
seperti: Khawarij, Syi'ah, dan Murji'ah. Lahirnya aliran kalam ini sebagai
wujud implikasi adanya perbedaan politis tentang siapa yang berhak
menjadi khalifah untuk mengganti Nabi Muhammad SAW setelah wafat
(11 H).

Ilmu kalam sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri disebutkan


untuk pertama kali pada masa khalifah Abbasiyah, al-Ma’mun (w. 208 H),
setelah ulama-ulama Mu’tazilah mempelajari kitab-kitab filsafat yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dipadukan dengan metode ilmu
kalam. Sebelum masa al-Ma’mun, ilmu yang membicarakan masalah
kepercayaan disebut al-Fiqh sebagai imbangan Fiqh fi al-‘Ilmi, yaitu
tentang hukum Islam. Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) menamakan
bukunya al-Fiqh al-Akbar tentang kepercayaan agama. Dalam
perkembangan selanjutnya, istilah fiqh dikhususkan untuk ilmu yang
membicarakan persoalanpersoalan hukum Islam. Ilmu Kalam belum
dikenal pada masa Nabi Muhammad
SAW maupun pada masa sahabat-sahabatnya. Setelah ilmuilmu ke-
Islaman satu persatu muncul dan banyak orang membicarakan tentang
kepercayaan alam gaib (metafisika), dalam ilmu ini terdapat berbagai
golongan dan aliran. Dalam waktu kurang lebih tiga abad kaum muslimin
melakukan
berbagai perdebatan dengan sesama muslim maupun dengan pemeluk
agama lain, akhirnya kaum muslimin mencapai ilmu yang membicarakan

8
dasar-dasar aqidah dan rincianrinciannya; baik oleh faktor yang datang
dari dalam Islam dan kaum Muslimin sendiri maupun faktor yang datang
dari
luar mereka, karena adanya kebudayaan-kebudayaan lain dan agama-
agama yang bukan Islam.

Sejarah berdirinya ilmu kalam apabila dilihat dari factor penyebab


dari dalam Islam dan kaum Muslimin sendiri, antara lain:

1. Al-Quran sendiri di samping ajakannya kepada tauhid dan


mempercayai kenabian dan hal-hal lain yang berhubungan
dengan itu, menyinggung pula golongan-golongan dan agama-
agama yang ada pada masa Nabi Muhammad SAW., yang
mempunyai kepercayaan-kepercayaan yang tidak benar, seperti
golongan yang mengingkari agama dan adanya Tuhan,
menyembah bintang-bintang, bulan, matahari. Golongan yang
tidak percaya akan keutusan Nabi-nabi dan tidak mempercayai
kehidupan kembali di akhirat setelah nanti. Adanya golongan-
golongan tersebut di samping adanya perintah Tuhan sudah
barang tentu membuka jalan bagi kaum muslimin untuk
mengemukakan alasan-alasan kebenaran ajaran-ajaran
agamanya di samping menunjukkan kesalahan-kesalahan
golongangolongan yang menentang kepercayaan-kepercayaan
itu, dan dari kumpulan alasan-alasan itulah berdiri ilmu kalam.
2. Ketika kaum Muslimin selesai membuka negeri-negeri baru
untuk masuk Islam, mereka mulai tentram dan tenang
fikirannya, di samping melimpah-ruahnya rizki. Di sinilah
mulai mengemukakan persoalan agama dan berusaha
mempertemukan nas-nas agama yang kelihatannya saling
bertentangan.
3. Persoalan politik, contohnya ialah soal Khilafat (pimpinan
pemerintahan). Ketika Rasulullah meninggal dunia, beliau
tidak mengangkat seorang pengganti, tidak pula menentukan
cara pemilihan penggantinya. Karena itu, antara sahabat

9
Muhajirin dan Anshar terdapat perselisihan, masing-masing
menghendaki supaya pengganti Rasul dari pihaknya. Inilah
sebenarnya yang merupakan cikal bakal awal lahirnya
pemikiran politis-teologis di kalangan umat Islam.

Selain itu, ada faktor-faktor lain yang datangnya dari luar Islam
dan kaum Muslimin, yaitu:

1. Banyak di antara pemeluk-pemeluk Islam yang sebelumnya


beragama Yahudi, Nasrani dan lain-lain yang memasukkan
ajarannya ke dalam ajaran Islam.
2. Golongan Islam yang dulu, terutama golongan Mu'tazilah,
memusatkan perhatiannya untuk penyiaran Islam dan
membantah alasan-alasan mereka yang memusuhi Islam. Salah
satu senjata yang digunakan dalam perang pendapat yaitu
filsafat. Dengan masuknya filsafat, semakin banyak
pembicaraan ilmu kalam.
3. Sebagai kelanjutan dari sebab tersebut, para mutakallimim
hendak mengimbangi lawan-lawannya yang menggunakan
filsafat sehingga mereka terpaksa mempelajari logika dari
filsafat, terutama segi Ketuhanan.

Persoalan teologi Islam sebenarnya bermula dan lebih didominasi


oleh pergolakan politik, lebih tepatnya masalah khilafah, dengan warna
sentimen kelompok dan kesukuan yang cukup kental. Peralihan kekuasaan
dari Nabi Muhammad SAW kepada Abu Bakar yang melewati perdebatan
serius di Tsaqifah Bani Sa'idah salah satu bukti warna politik, khususnya
masalah khilafah menjadi isu sentral. Persolan politik-teologi yang
menyelubungi pembunuh Utsman bin Affan di Madinah pada tahun 656 M
semakin memperuncing friksi umat Islam yang oleh Montgomery Watt
disebut sebagai politik agama. Peristiwa ini merupakan titik awal yang
tepat untuk mengkaji pergulatan dialektika ajaran dan praktek-praktek
keagamaan. Peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman bermula dari lahirnya

10
gerakan kelompok-kelompok yang tidak puas terhadap kebijakan politik
yang diambilnya.

Ali sebagai Khalifah terpilih pengganti Utsman mendapat


tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin menjadi Khalifah, terutama
Thalhah dan Zubeir dari Mekah yang mendapat dukungan dari Aisyah.
Mereka dikalahkan Ali pada perang Jamal (Harb al-Jamal/Battle of
Camel) di Irak tahun 657 M. Thalhah dan Zubeir mati terbunuh, Ummul
Mukminin Aisyah dikembalikan ke Madinah dikawal pasukan yang
dipimpin saudaranya sendiri, yaitu Muhammad Ibn Abi Bakar. Selanjutnya
Ali mendapat tantangan dari Muawiyah Ibn Abi Sufyan, gubernur
Damaskus, yang tidak mau mengakui Ali sebagai Khalifah. Beliau
menuntut agar Ali menghukum para pembunuh Utsman. Pertempuran
antara pasukan Ali dan Muawiyah tidak bisa dihindarkan lagi sehingga
terjadilah Perang Siffin pada bulan Shaffar 37 H/658 M.

Perang Shiffin diselesaikan dengan tahkim/arbitrase (perdamaian)


ketika pasukan Muawiyah terdesak mundur. Pihak Ali yang mau
memenangkan perang mengalami kerugian yakni diturunkan dari jabatan
khalifah digantikan oleh Muawiyah. Walaupun demikian, Ali tetap
mempertahankan jabatan khalifah hingga wafatnya tahun 661 M. Sebagian
tentara Ali yang tidak menyetujui penyelesaian perang dengan jalan
tahkim, meninggalkan barisannya sehingga terkenal dengan nama al-
Khawarij (orang yang ke luar dan memisahkan diri atau (seceders).
Mereka menginginkan bahwa putusan hanya datang dari Allah dengan
kembali kepada hukumhukum yang ada dalam al-Quran. Mereka
bersemboyan: La hukma illa lillah (tidak ada hukum selain dari hukum
Allah) atau la hakama illa Allah (tidak ada pengantara selain dari Allah).

Khawarij memandang Ali, Muawiyah, Amr Ibn al-‘Ash, Abu Musa


al-Asy’ari dan orang-orang yang menerima arbitrase adalah kafir. Mereka
merujuk kepada surat al-Maidah ayat 44 bahwa siapa yang tidak
menentukan hukum dengan apa yang telah diturunkan Allah adalah kafir.
Oleh karena itu, keempat pemuka Islam itu telah dipandang kafir/telah

11
keluar dari Islam (murtad/apostate) sehingga mesti dibunuh. Kaum
Khawarij memutuskan untuk membunuh keempat pemuka Islam tersebut
dan hanya Ali yang berhasil dibunuh. Selanjutnya Khawarij pecah menjadi
beberapa sekte sehingga konsep kafir dalam Khawarij mengalami
perubahan, yang dianggap kafir bukan hanya orang yang tidak
menentukan hukum dengan alQuran, tetapi orang yang berbuat dosa besar
(murtakib alKaba’ir/capital sinners) dipandang kafir pula. Mengenai
orang yang berbuat dosa besar tersebut mempunyai pengaruh dalam
pertumbuhan teologi dalam Islam, apakah masih mukmin atau sudah
menjadi kafir. Hal ini menimbulkan tujuh aliran teologi dalam Islam,
yaitu:

1. Aliran Khawarij, menegaskan bahwa orang yang berdosa besar


adalah kafir, dalam arti telah keluar dari Islam atau tegasnya
murtad dan wajib dibunuh.
2. Aliran Murji'ah, menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa
besar masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa
yang dilakukanya, hal itu terserah kepada Allah untuk
mengampuni atau menghukumnya.
3. Aliran Jabariyah Jabariyah adalah sebuah ideologi dan sekte
bidah di dalam akidah yang muncul pada abad ke-2 hijriah di
Khurasan. Jabariyah memiliki keyakinan bahwa setiap manusia
terpaksa oleh takdir tanpa memiliki pilihan dan usaha dalam
perbuatannya. Tokoh utamanya adalah Ja'ad bin Dirham dan
Jahm bin Shafwan.
4. Aliran Qadariyah secara leksikal berasal dari bahasa Arab yaitu
qadara artinya kemampuan dan kekuatan, sedangkan secara
gramatikal Qadariah diartikan sebagai aliran yang percaya
bahwa segala tindakan atau perbuatan manusia tidak
diintervensi oleh Tuhan.
5. Aliran Mu'tazilah, tidak menerima kedua pendapat di atas. Bagi
mereka, orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi bukan
pula mukmin. Mereka mengambil posisi antara mukmin dan

12
kafir, yang dalam bahasa Arabnya terkenal dengan istilah al-
Manzilah bain al-Manzilatain (posisi di antara dua posisi).
6. Aliran Syi'ah adalah paham keagamaan yang menyandarkan
pada pendapat Sayidina Ali (khalifah ke empat) dan
keturunannya yang muncul sejak awal pemerintahan
Khulafaurrasyidin. Syiah berkembang menjadi puluhan aliran-
aliran karena perbedaan paham dan perbedaan dalam
mengangkat Imam.
7. Aliran Ahlu Sunnah Wa Al-Jama'ah adalah kelompok ahli
tafsir, ahli hadis, dan ahli fikih. Merekalah yang mengikuti dan
berpegang teguh dengan sunnah Nabi dan sunnah
khulafaurrasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang
selamat.

Dalam Islam, timbul pula dua aliran teologi yang terkenal dengan
nama al-Qadariyah dan al-Jabariyah. Menurut Qadariyah, manusia
mempunyai kemerdekaan dalamkehendak dan perbuatannya (free will and
free act). Adapun Jabariyah, berpendapat sebaliknya bahwa manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Dalam
segala tingkah lakunya, manusia. Menurut faham Jabariyah-- bertindak
dengan paksaan dari Tuhan. Segala gerak-gerik manusia ditentukan oleh
Tuhan, sehingga disebut faham predestination or fatalism.01 Selanjutnya,
muncul aliran yang menentang Mu’tazilah yakni Asy’ariyah dan
Maturidiyah
yang keduanya disebut aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Aliran
Maturidiah banyak dianut umat Islam bermazhab Hanafi sedangkan aliran
Asy’ariah umumnya dianut oleh umat Islam Sunni lainnya.

F. Epistimologi/ Metode Ilmu Kalam


Ilmu kalam sebagai sebuah disiplin ilmu pasti memiliki sistematika
dan metode tersendiri. Metode yang digunakan ilmu kalam adalah metode
Jidal (debat). A. Razak menyebutnya dengan metode Keagamaan.
Alasannya, karena para mutakallimun (teolog) untuk mempertahankan
keyakinan dan argumentasinya selalu dengan perkataan atau pembicaraan

13
dan perdebatan, sehingga orang yang ahli di bidang kalam disebut
mutakallimun. Sebagai sebuah diskusi keagamaan, wacana kalam yang
menjadi objek kajiannya adalah keyakinan kebenaran tentang ajaran
Agama Islam, bukan mencari suatu kebenaran yang dibicarakan oleh
filsafat.
Dengan batasan di atas, ada perdebatan yang sangat mencolok antara ilmu
kalam dan filsafat. Ilmu kalam ingin mempertahankan kebenaran
keyakinan keagamaan secara logis dan argumentasi. Dengan kata lain,
kalam didahului oleh keyakinan kemudian dilakukan sebuah pembuktian.
Sementara filsafat ingin mencari kebenaran dengan argument dan
pembuktian secara rasional untuk dijadikan sebagai suatu pegangan dan
keyakinan4.
G. Aksiologi Ilmu Kalam
Setiap disiplin ilmu harus mempunyai niali guna atau manfaat bagi
orang yang mempelajarinya, di antara nilai guna ilmu kalam paling tidak
mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Untuk mempertahankan kebenaran keyakinan ajaran agama
Islam.
2. Menolak segala pemikiran yang sengaja merusak atau menolak
keyakinan Islam yang popular dengan terminology bid'ah.
H. Hubungan Ilmu Kalam dengan Filsafat dan Tasawuf
Ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf mempunyai kemiripan objek
kajian. Objek kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu yang
berkaitan dengan-Nya. Obek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan di
samping masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada. Sementara
itu, objek kajian tasawuf adalah Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan
terhadap-Nya. Dilihat dari aspek objeknya, ketiga ilmu itu membahas
masalah yang berkaitan dengan ketuhanan. Baik ilmu kalam, filsafat
maupun tasawuf berurusan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran. Ilmu
kalam, dengan metodenya sendiri berusaha mencari kebenaran tentang
Tuhan dan yang berkaitan dengan-Nya. Filsafat dengan wataknya sendiri

4
Razak, Metode Studi Islam, (Bandung: Media Utama Pusakatama, 2001), h. 86.

14
pula, berusaha menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun
manusia (yang belum atau tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan
karena berada di luar atau di atas jangkauannya), atau tentang Tuhan.
Sementara itu, tasawuf juga dengan metodenya yang tipikal berusaha
menghampiri kebenaran yang berkaitan dengan perjalanan spiritual
menuju Tuhan.
Perbedaan di antara ketiga ilmu tersebut terletak pada aspek
metodologinya. Ilmu kalam, sebagai ilmu yang menggunakan logika --di
samping argumentasi-argumentasi naqliah-- berfungsi untuk
mempertahankan keyakinan ajaran agama, yang sangat tampak nilai-nilai
apologinya. Pada dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika
dikenal juga dengan istilah dialog keagamaan. Sebagai sebuah dialog
keagamaan, ilmu kalam berisi keyakinan-keyakinan kebenaran agama
yang dipertahankan melalui argumen-argumen rasional. Sebagian ilmuwan
bahkan mengatakan bahwa ilmu ini berisi keyakinan-keyakinan
kebenaran, praktek dan pelaksanaan ajaran agama serta pengalaman
keagamaan yang
dijelaskan dengan pendekatan rasional. Sementara itu, filsafat adalah
sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran rasioanal.
Metode yang digunakannya pun adalah metode rasional. Filsafat
menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan (mengembarakan atau
mengelanakan) akal budi secara radikal (mengakar) dan integral
(menyeluruh) serta universal (mengalam); tidak merasa terikat oleh ikatan
apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri yang bernama logika.
Peranan
filsafat sebagaimana dikatakan Socrates adalah berpegang pada ilmu
pengetahuan melalui usaha menjelaskan konsepkensep (the gaining of
conceptual clarity). Adapun ilmu tasawuf adalah ilmu yang lebih
menekankan rasa dari pada rasio. Oleh sebab itu, filsafat dan tasawuf
sangat distingtif. Sebagaimana sebuah ilmu yang prosesnya diperoleh dari
rasa, ilmu tasawuf bersifat sangat subjektif, yakni sangat berkaitan dengan
pengalaman seseorang. Itulah sebabnya, bahasa tasawuf sering tampak

15
aneh bila dilihat dari aspek rasio. Hal ini karena pengalaman rasa sangat
sulit dibahasakan.
Di dalam pertumbuhannya, ilmu kalam berkembang menjadi
teologi rasional dan teologi tradisional. Filsafat berkembang menjadi sains
dan filsafat sendiri. Sains berkembang menjadi sains kealaman, social, dan
humaniora. Sedangkan filsafat berkembang lagi menjadi filsafat klasik,
pertengahan, dan filsafat modern. Tasawuf selanjutnya berkembang
menjadi tasawuf praktis dan tasawuf teoritis. Dari segi pembinaanya juga
ada perbedaan antara ilmu kalam dan filsafat Islam. Ilmu kalam timbul
berangsur-angsur dan mula-mula hanya merupakan beberapa persolan
yang
terpisah-pisah. Seorang mengeluarkan pendapatnya kemudian disusul
dengan yang lain pula. Dengan berlalunya masa maka timbulah mazahab-
mazhab ilmu kalam. Berbeda dengan filsafat Islam, yang tidak lagi timbul
berangsur-angsur, tetapi sudah mulai fase pertumbuhan di Yunani sendiri
maupun di negeri-negeri lainnya. Ketika masuk kepada kaum muslimin,
filsafat itu sudah lengkap atau hampir lengkap, dan mereka tinggal
memberi penjelasan dan mempertemukannya dengan kepercayaan-
kepercayaan keislaman. Penamaan ilmu tauhid dengan ilmu kalam
sebenarnya dimaksudkan untuk membedakan antara mutakallimun dengan
filosof muslim. Mutakallimun dan filosof muslim mempertahankan atau
memperkuat keyakinan mereka dengan menggunakan metode filsafat,
tetapi mereka berbeda dalam landasan awal berpijak. Mutakallimun lebih
dahulu bertolak dari al-Quran dan hadits yang diyakininya (diimani),
kemudian disertakan pembuktian dalil-dalil rasional. Sementara filosof
berpijak pada logika. Artinya, mereka melakukan sebuah pembuktian
secara rasional, kemudian meyakininya. Meskipun demikian, tujuan yang
ingin mereka capai adalah satu, yaitu keesaan Allah dan kemahakuasaan
Allah SWT.
G. Aliran Ilmu fiqih
Ilmu fiqh adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang
secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek

16
kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun
kehidupan manusia dengan Tuhannya. Beberapa ulama fikih seperti Imam
Abu Hanifah mendefinisikan fikih sebagai pengetahuan seorang muslim
tentang kewajiban dan haknya sebagai hamba Allah.
a) Malikiyah
Malik ibn Anas, lahir di Medinah pada 713, dan meninggal
pada tahun 795 M dan berasal dari Yamam. Malik, tidak pernah
meninggalkan kota itu kecuali untuk melaksanakan ibadah haji ke
Mekah. Karya besar yang ditinggal Malik, bernama “al-Muwatta”
suatu buku yang sekaligus merupakan buku hadis dan buku fikih.
Khalifah Harun al-Rasyid, berusaha membuat buku ini sebagai
buku hukum yang berlaku untuk umum di zamannya, tetapi tidak
disetujui oleh Malik. Dalam perkembangan pemikiran hukumnya,
Malik banyak berpegang pada sunnah Nabi dan sunnah Sahabat.
Dalam hal adanya perbedaan antara sunnah, ia berpegang
pada tradisi yang berlaku di masyarakat Medinah, karena ia
berpendapat bahwa tradisi yang terbentuk di Medinah berasal dari
sahabat, dan tradisi sahabat lebih kuat dipakai sebagai sumber

hukum. Dalam proses menetapkan hukum, apabila Malik, tidak


dapat memperoleh dasar hukum dalam al-Qur’an dan sunnah,
Malik, memakai “qiyas” dan “al-masalih al-mursalah”, yaitu
masalah umum. Mazhab Malik, banyak dianut di Hejaz, Marokko,
Tunis, Tripoli, Mesir Selatan, Sudan, Bahrain, dan Kuwait, yaitu di
dunia Islam sebelah Barat dan kurang di dunia Islam sebelah
Timur. Adapun kitab-kitab karya imam maliki yaitu:
1) Kitab Muwaththa, kitab yang termasyhur merupakan kitab
yang mengandung hadist-hadist dan hukum.
2) Kitab Mudawanah Al-Qubra, yang berisi fatwa-fatwa dan
jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.
b) Hanafiyah
Pendiri madzhab Hanafi ialah: Nu'man bin Tsabit bin
Zautha. Dilahirkan pada masa sahabat, yaitu pada tahun 80 H-

17
699 M. Beliau wafat pada tahun 150 H bertepatan dengan
lahirnya Imam Syafi'i R.A. Beliau lebih dikenal dengan sebutan:
Abu Hanifah An Nu'man. Abu Hanifah adalah seorang mujtahid
yang ahli ibadah. Dalam bidang fiqh beliau belajar kepada
Hammad bin Abu Sulaiman pada awal abad kedua hijriah dan
banyak belajar pada ulama-ulama Tabi'in, seperti Atha bin Abi
Rabah dan Nafi' Maula Ibnu Umar. Mazhab Hanafi adalah
sebagai nisbah dari nama imamnya, Abu Hanifah.
Jadi mazhab Hanafi adalah nama dari kumpulan-
kumpulan pendapat-pendapat yang berasal dari Imam Abu
Hanifah dan murid-muridnya serta pendapat-pendapat yang
berasal dari para pengganti mereka sebagai perincian dan
perluasan pemikiran yang telah digariskan oleh mereka yang
kesemuanya adalah hasil dari pada cara dan metode ijtihad
ulama-ulama Irak (Ahlu Ra'yi). Maka disebut juga mazhab Ahlur
Ra'yi masa Tsabi'it Tabi'in. Adapun kitab imam Hanafi yaitu:
1) Kitab "Al-Faraid" (Harta Pusaka)
c) Syafi’iyah
Mazhab ini dibangun oleh Al-Imam Muhammad bin Idris
Asy Syafi'i seorang keturunan Hasyim bin Abdul Muthalib bin
Abdi Manaf. Beliau lahir di Gaza (Palestina) tahun 150 H
bersamaan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah yang
menjadi Mazhab yang pertama. Guru Imam Syafi'i yang pertama
ialah Muslim bin Khalid, seorang Mufti di Mekah. Imam Syafi'i
sanggup hafal Al-Qur-an pada usia tujuh tahun. Setelah beliau
hafal Al-Qur-an barulah mempelajari bahasa dan syi'ir; kemudian
beliau mempelajari hadits dan fiqh.
Madzhab Syafi'i terdiri dari dua macam; berdasarkan atas
masa dan tempat beliau mukim. Yang pertama ialah Qaul Qadim;
yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu hidup di Irak. Dan yang
kedua ialah Qul Jadid; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu
beliau hidup di Mesir pindah dari Irak. Keistimewaan Imam

18
Syafi'i dibanding dengan Imam Mujtahidin yaitu bahwa beliau
merupakan peletak batu pertama ilmu Ushul Fiqh dengan
kitabnya Ar Risaalah. Dan kitabnya dalam bidang fiqh yang
menjadi induk dari mazhabnya ialah: Al-Um. Adapun Kitab-kitab
Imam Syafi’i baik yang ditulisnya sendiri ataupun didiktekan
kepada muridnya maupun yang dinisbahkan kepadanya antara
lain sebagai berikut:
a) Kitab al-Risalah, tentang ushul fiqh.
b) Kitab al-Umm, sebuah kitab fiqh yang didalamnya
dihubungkan pula sejumlah kitabnya.
c) Kitab al-Musnad, berisi hadist-hadist yang terdapat dalam
kitab al Umm yang dilengkapi dengan sanad-sanadnya.
d) Al-Imla’
e) Al-Amaliy.
f) Harmalah (dinisbahkan pada muridnya yang bernama
Harmalah ibn Yahya).
g) Mukhtashar al-Muzaniy (dinisbahkan kepada Imam
Syafi’i).
h) Mukhtashar al-Buwaithiy (dinisbahkan kepada Imam
Syafi’i).
i) Kitab Ikhtilaf al-Hadist (penjelasan Imam Syafi’i tentang
hadist-hadist Nabi SAW).
d) Hanbaliyah
Ahmad ibn Hambal, lahir di Bagdad tahun 780 M berasal
dari keturunan Arab dan ia meninggal di Bagdad pada tahun 855 M.
Dalam pemikiran hukumnya, Ahmad ibn Hambal menggunakan lima
sumber, yaitu al-Qur’an, sunnah Nabi, pendapat sahabat yang
diketahui tidak mendapat tantangan dari sahabat lain, pendapat
seseorang atau beberapa sahabat, dengan syarat sesuai dengan al-
Qur’an serta sunnah Nabi, hadis mursal, dan qiyas, tetapi hanya
dalam keadaan terpaksa. Penganut mazhab Ahmad ibn Hambal,
terdapat di Irak, Mesir, Suria, Palestina, dan Arabia. Di Saudi Arabia

19
mazhab Ahmad ibn Hambal merupakan mazhab resmi dari negara.
Dilihat dari sisi pengikutnya, dintara keempat mazhab yang ada
sekarang, mazhab Ahmad ibn Hambal termasuk paling kecil
penganutnya.
I. Ilmu Tasauf
Dalam perjalanannya tasawuf terus mengalami perkembangan dan
mengalami beberapa fase, dimulai dari fase pembentukan, pengembangan,
konsolidasi, falsafi, hingga fase pemurnian. Dari masing-masing fase
tersebut, para sufi memiliki konsepsi, pemahaman, dan cara yang berbeda-
beda antara satu fase dengan fase yang lain. Perbedaan tersebut terlihat dari
adanya dua aliran dalam tasawuf, yaitu tasawuf semi-falsafi yang kemudian
berubah menjadi tasawuf falsafi dan tasawuf sunni.
Tasawuf semi-falsafi adalah tasawuf yang ajarannya disusun secara
mendalam dengan menggunakan bahasa-bahasa simbolik-filosofis. Tasawuf
sunni merupakan tasawuf yang ajarannya didasarkan pada al-Qur’an dan
Sunnah Nabi Muhammad Saw., selain itu calon sufi juga diharuskan untuk
meningkatkan kualitas diri, memahami syari’at dengan sebaik-baiknya.
Tasawuf sunni mendasarkan pengalaman kesufiannya dengan pemahaman
yang sederhana dan mudah dipahami bagi orang awam.
Pada permulaan Islam (masa Nabi dan Khulafa ar-Rasyidin) istilah
tasawuf belumlah dikenal. Namun praktek-praktek seperti puasa, zuhud,
dan yang senada dengan itu telah ada. Hal tersebut dapat dibuktikan dari
perilaku Abdullah ibn Umar yang sering melakukan puasa sepanjang hari
dan shalat serta membaca al-Qur’an di malam harinya. Selain itu, sahabat
lain yang juga terkenal adalah Abu al-Darda’, Abu Dzar al-Ghiffari, Bahlul
ibn Zubaid, dan Kahmas al-Hilali. 5
Masa pengembangan tasawuf terjadi pada abad ke III dan ke IV H.
Dalam abad ini mulai muncul dua aliran yang saling bertentangan dari
kalangan sufi, yaitu tasawuf semi-filosofis dan tasawuf sunni. Dua aliran

5
Amin Syukur. Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar.2002). hal 30

20
besar tasawuf inilah yang pada gilirannya berkembang di seluruh dunia
Islam.6
1) Tasawuf Semi-Filosofis
Para penganut aliran tasawuf semi-filosofis cenderung
mengungkapkan ungkapan-ungkapan ganjil (syathahiyat) serta bertolak
dari keadaan fana’ menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan
ataupun hulul. Tasawuf model ini identik dengan tasawuf tipe keadaan
mabuk (sukr, intoxication), yang dikuasai oleh perasaan kehadiran Tuhan,
di mana para sufi melihat Tuhan dalam segala sesuatu dan kehilangan
kemampuan untuk membedakan antara makhluk-makhluk. Keadaan ini
disertai oleh keintiman (uns), rasa kedekatan Tuhan yang mencintai.
Menurut Kautsar, bahwasanya para sufi yang mabuk merasakan keintiman
dengan Tuhan dan sangat yakin pada kasih sayang-Nya, mereka juga
menyatakan dengan terang-terangan persatuannya dengan Tuhan.
Tokohnya yaitu Abu Yazid al-Busthami, Abu Mansur al-Hallaj, Ibn Atha’,
al-Syibli, Bundar Ibn Husain, Abu Hamzah al-Baghdadi, Summun al-
Muhibb, dan beberapa sufi Irak. Dari mereka inilah kemudian dapat
ditemukan bibit-bibit ajarannya pada diri Ibn Arabi dalam sistem ajaran
wahdat al-wujud. Semua sufi tersebut mengakui bahwa semua itu tidak
akan tercapai tanpa melakukan latihan yang teratur (riyadhah). Ajaran
yang muncul diabad ini adalah fana’, baqa’, ittihad, dan hulul.
a. Fana’ dan Baqa’
Menurut Abu Yazid al-Bustami manusia pada hakikatnya
seesensi dengan tuhan, sehingga dapat bersatu dengan-nya apabila ia
dapat melebur eksistensi keberadaannya sebagai suatu pribadi hingga ia
tidak menyadari pribadinya (fana an-nafs), yaitu hilangnya kesadaran
akan jasad tubuh kasarnya, kesadarannya menyatu dengan dzat Allah. 7
Adapunbaqa’ berasal dari kata baqiya yang berarti tetap, sedang dalam
istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Paham
baqa’ ini tidak dapat dipisahkan dengan paham fana’, keduanya
6
Abu Al-Hasan Ali Ibn Utsman Al-Hujwiri. Kasyf Al-Mahjub: The Oldest Parsian
Treatise On Sufisme. (New Delhi: Taj Company. 1999). Hal 186
7
Zakiah Daradjat. Pengantar Ilmu Tasawuf. (Sumatra Utara: Institut Agama Islam Negeri.
1982) hal 158

21
merupakan pasangan. Jadi ketika seorang sufi sedang mengalami fana’,
maka ketika itu juga ia sedang mengalami baga’. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa yang dimaksud dengan fana’ adalah lenyapnya sifat-sifat
basyariah, akhlak yang tercela, perbuatan maksiat, serta sifat-sifat buruk
yang ada dalam diri manusia. Sedangkan baga’ merupakan kekalnya sifat
ketuhanan, akhlak terpuji, dan keberhasilan diri dari dosa dan maksiat.
b. Ittihad
Ittihad adalah tahapan lanjutan yang dialami seorang sufi setelah
melalui tahapan fana’ dan baga’. Dalam ittihad bisa terjadi pertukaran
antara yang mencintai dan yang dicintai, yaitu antara sufi dengan Tuhan.
Dalam ittihad, identitas diri itu telah hilang, identitasnya telah menjadi
satu. Sufi yang bersangkutan, karena kefana’annya ia tidak lagi
mempunyai kesadaran dan akan berbicara atas nama Tuhan. 8
Sejarah tasawuf menunjukkan bahwa Abu Yazid lah yang
dianggap sebagai pembawa arah timbulnya aliran “kesatuan wujud”.
Dengan fana’-nya Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat
Tuhan. Bukti bahwa ia telah berada di dekat Tuhan dapat dilihat dari
syathahat yang diucapkannya. Menurut at-Taftazani, ungkapan Abu Yazid
tentang fana’ dan ittihad memang terlalu berlebih-lebihan. Seperti yang
pernah dialami Abu Yazid ketika sehabis shalat subuh ia berucap:

Artinya: “Tidak ada Tuhan selain Aku maka sembahlah Aku”.9


Selain itu masih banyak ucapan-ucapannya yang bertendensi ke
arah timbulnya paham ittihad. Dan hampir semua ucapan Abu Yazid
tersebut terdengar secara sepintas memberikan kesan bahwa ia sudah
syirik kepada Allah. Oleh karena itulah, banyak sufi yang ditangkap dan
dipenjarakan bahkan dibunuh karena ucapannya yang membingungkan
golongan masyarkat awam.
8
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisime dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal
79
9
M. Sholihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf,(Bandung: Pustaka Setia, 2011), hal 164

22
c. Hulul
Paham hulul sebagai salah satu aliran dalam tasawuf yang
merupakan tipe lain dari paham ittihad yang diajarkan oleh Abu Yazid al-
Bustami. Hulul pertama kali dicetuskan oleh Abu al-Mugis al-Husein bin
Mansur bin Muhammad al-Baidawi, dan lebih dikenal dengan nama al-
Hallaj. Lahir di Persia tahun 858 M, dan meninggal tahun 922 M akibat
dihukum mati di Baghdad karena paham hulul yang diajarkannya. Hulul
adalah Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia, di mana manusia
tersebut telah mampu melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui
fana’. Menurut al-Hallaj, manusia itu mempunyai sifat dasar yang ganda,
yaitu sifat ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Demikian juga
dengan Allah yang memiliki sifat dasar ketuhanan (lahut) dan juga terdapat
sifat kemanusiaan (nasut). Apabila sifat-sifat kemanusiaan itu telah
dilenyapkan melalui fana’ dan sifat-sifat ketuhanan dikembangkan, maka
akan tercapailah persatuan dengan Tuhan dalam bentuk hulul.10
2) Tasawuf Sunni
Tasawuf sunni adalah tasawuf yang banyak dikembangkan oleh
kaum salaf, dimana ajaran-ajarannya lebih mengarah pada perilaku
yang sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw.,
jalan untuk meningkatkan kualitas diri kepada Allah, untuk
melancarkan misi kaum salaf tersebut maka seorang calon sufi
haruslah terlebih dahulu memahami syari’at dengan sebaik mungkin.
Selain itu, tasawuf sunni mendasarkan pengalaman kesufiannya
dengan pemahaman yang sederhana, sehingga dapat dipahami oleh
manusia pada umumnya. Tasawuf sunni berbeda dengan tasawuf semi
falsafi, jika para sufi tasawuf semi-falsafi mengalami syathahiyat,
kemabukan spiritual ataupun ekstase, maka para sufi tasawuf sunni
berada dalam keadaan sadar atau tidak mabuk. Keadaan sadar atau
tidak mabuk (shahw, sobriety) dipenuhi dengan rasa takut dan hormat
(haybah), rasa bahwa Tuhan betapa agung, perkasa, penuh murka, dan

10
Nicholson, The Mystic of Islam, (London: Routledge and Kegan Paul Ltd, 1966), hal 150

23
jauh, yang tidak peduli dengan persoalan-persoalan kecil umat
manusia.11
Tasawuf sunni banyak pengikutnya terutama di negara-
negara yang bermazhab Syafi’i, hal ini dikarenakan penampilan
paham dan ajaran-ajarannya yang tidak terlalu rumit. Adapun ciri-ciri
dari tasawuf sunni yaitu:
1) Melandaskan diri pada al-Qur’an dan Sunnah,
2) Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat,
sebagaimana terdapat dalam
3) ungkapan syathahiyat,
4) Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara
Tuhan dan manusia
5) Kesinambungan antara haqiqat dan syari’ah,
6) Lebih berkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlak,
serta pengobatan jiwa dengan cara riyadlah (latihan mental)
dan langkah takhalli, tahalli, dan tajalli.

Tasawuf merupakan bagian dari syari’at Islam yang ajarannya lebih fokus
pada penyucian jiwa guna mencapai kedekatan, kecintaan, dan kesatuan dengan
Allah sebagai penciptanya. Secara historis tasawuf dapat dibagi menjadi beberapa
masa, yaitu masa pembentukan, masa pengembangan, masa konsolidasi, masa
falsafi, dan masa pemurnian. Dari beberapa masa tersebut bisa diketahui adanya
dua aliran dalam tasawuf, yakni tasawuf semi-falsafi yang kemudian menjadi
tasawuf falsafi dan tasawuf sunni.

Kedua aliran inilah yang kemudian mewarnai dunia tasawuf. Tasawuf


sunni dikategorikan sebagai tasawuf sadar, di mana pemahaman kesufiannya
dijelaskan secara sederhana, sehingga dapat dimengerti dan dipahami oleh semua
kalangan. Ajaran-ajaran dalam tasawuf sunni lebih mengarah pada perilaku yang
sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw, sehingga untuk
menjadi calon sufi haruslah memahami syari’at dengan sangat baik. Sedangkan
tasawuf falsafi lebih mendasarkan ajarannya pada rasio dan perasaan (dzauq),

11
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial Kearifan Kritis Kaum Sufi, (Jakarta: Serambi,
2002), hal 17

24
namun bukan berarti meninggalkan syari’at, kedua aliran tasawuf ini (sunni dan
falsafi) sama-sama mengutamakan syari’at, hanya saja pemahaman kesufian aliran
falsafi agak rumit untuk dipahami oleh manusia pada umumnya, karena ungkapan
yang digunakan adalah ungkapan-ungkapan yang samar-samar (syathahiyyat) dan
mengandung unsur simbolik, sufi nya pun mengalami ekstasi (kemabukan
spiritual).

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Sejarah merekam bahwa Islam sebagai agama Universal justru mendapat


tantangan dari dirinya sendiri (Universalitas). Setiap pemeluk islam jika melihat
ke dalam keluasan aspek dan pembahasannya maka meniscayakan beragamnya
pendapat dan pandangan , tak ayalnya samudera tak bertepi, islam berusaha untuk
selalu “diarungi” sejauh dan sedalam mungkin. Maka dari itu, kita melihat
banyaknya kaum muslimin baik perorangan atau kelompok yang senantiasa
berusaha sekuat mungkin untuk menemukan hakikat ajarannya yang Universal.
Tak heran jika terjadi gesekan pandangan dan perbedaan pendapat yang
mengemuka. Namun, bagi kami justru hal ini merupakan anugerah yang
memperkaya khazanah keilmuan islam. Perbedaan yang terjadi pada ranah

25
teologi, politik, tasawuf, hukum hingga bangunan filsafat dan yang lainnya
memberi warna dan corak tersendiri bagi dinamika peradaban Islam.
B. Saran
Semoga Allah memberikan keberkahan terhadap makalah yang telah kami
susun ini. Tentunya kami juga berharap partisipasi dari para pemabaca untuk
memberikan keritikan dan saran demi perbaikan karya kami selanjutnya. Mohon
maaf, jika makalah yang singkat ini didapati berbagai kesalahan baik dari segi
penulisan, referensi dan lainnya, kami mengharap kritik dan saran yang
membangun dari pembaca khususnya dari pihak pengajar.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Hasan Ali Ibn Utsman Al-Hujwiri, Abu. 1999. Kasyf Al-Mahjub: The Oldest
Parsian Treatise On Sufisme. New Delhi: Taj Company.
Azhari Noer, Kautsar. 2002. Tasawuf Perenial Kearifan Kritis Kaum Sufi. Jakarta:
Serambi.
Daradjat, Zakiah. 1982. Pengantar Ilmu Tasawuf. Sumatra Utara: Institut Agama
Islam Negeri.
Hanafi, Ahmad. 1974. Teologi Islam (Ilmu Kalam). Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 1973. Filsafat dan Mistisime dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
Nasution, Harun. 1978. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan. Jakarta: UI H-Press.

26
Nicholson. 1966. The Mystic of Islam. London: Routledge and Kegan Paul Ltd.
Razak. 2001. Metode Studi Islam. Bandung: Media Utama Pusakatama.
Rozak, Abdul & Rosihon Anwar. 2007. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
Sholihin & Rosihon Anwar. 2011. Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia.
Syukur, Amin. 2002. Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial
Abad 21. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

27

Anda mungkin juga menyukai