DISUSUN OLEH:
Sri Adji Putrawardana (23.02.01.0002)
DOSEN PENGAMPU :
Mukhsin Hasibuan, Lc., ME.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Bapak
Mukhsin Hasibuan, Lc., ME. beliau selaku Dosen dalam mata kuliah Ilmu Kalam. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Pemikiran Kalam Tokoh di
Indonesia secara mendalam.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Mukhsin Hasibuan, Lc., ME.
selaku Dosen dari mata kuliah Ilmu Kalam yang telah memberikan tugas ini, sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi pengetahuannya sehingga
kami dapat menyelesaikan laporan kegiatan makalah ini.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangannya, Oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga dengan
terselesaikannya makalah tentang Pemikiran Kalam Tokoh di Indonesia ini dapat bermanfaat.
Penyusun,
i
DAFTAR ISI
1. Kesimpulan ..........................................................................................................................8
2. Saran ....................................................................................................................................9
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu Kalam adalah salah satu ilmu yang dipelajari dalam Islam, yang muncul pada
masa-masa awal dipelajarinya Islam. Menurut bahasa Ilmu Kalam berarti ucapan atau
perkataan dan dalam Islam kalam bisa berarti firman Allah Subhanahuwata’ala. Perkataan
“Kalam” sebenarnya merupakan suatu istilah yang sudah tidak asing lagi, khususnya bagi
kaum muslimin. Secara harfiyah, perkataan kalam dapat ditemukan baik dalam Al-Qur’an
maupum berbagai sumber lain.
Menurut Ali Asy-Syahbi bahwa istilah Kalam mula-mula muncul pada masa
pemerintahan Khalifah Al-Makmun (813-833 M) dari Daulah Abbasiyah dan diciptakan
oleh kaum Mu’tazilah. Alasan mereka menggunakan istilah kalam ini, boleh jadi karena
masalah yang menonjol mereka perdebatkan yaitu tentang bicara sebagai salah satu sifat
Tuhan. Maka dari perkara-perkara itu dapat disimpulkan bahwa sejarah Ilmu Kalam
dikarenakan Masalah perselisihan yang paling diperdebatkan antar golongan Islam adalah
masalah-masalah Teologis, terutama menyangkut Firman Allah. Pada intinya, Ilmu Kalam
maupun Teologi membahas tentang Kepercayaan, tentang Tuhan dengan segala Segi-Nya,
seperti, tentang wujud keesaan, dan sifat- sifat Allah Pertalian dengan alam semesta, yang
berarti termasuk di dalamnya persoalan terjadinya alam, keadilan dan kebijaksanaan tuhan,
pengutusan Rasul-rasul yang meliputi soal-soal penerimaan wahyu dan berita. Sebagai
salah satu ilmu keislaman, Ilmu Kalam sangat lah penting untuk di ketahui oleh seorang
Muslim yang mana pembahasan dalam Ilmu Kalam ini adalah pembahasan tentang aqidah
dalam Islam yang merupakan inti dasar agama, karena persolaan aqidah Islam ini memiliki
konsekwensi yang berpengarah pada keyakinan yang berkaitan dengan bagaimana
seseorang harus meng interpretasikan tuhan itu sebagai sembahannya hingga terhindar dari
jurang kesesatan dan dosa yang tak terampunkan (syirik).
Dalam pembahasan Ilmu Kalam, kita dihadapkan pada barbagai macam gerakan
pemikiran- pemikiran besar yang kesemuanya itu dapat dijadikan sebagai gambaran bahwa
agama Islam telah hadir sebagai pelopor munculnya pemikiran-pemikiran yang hingga
sekarang semuanya itu
dapat kita jumpai hampir di seluruh dunia. Hal ini juga dapat dijadikan alasan
bahwa Islam sebagi mana di jumpai dalam sejarah, bukanlah sesempit yang dipahami pada
umumnya, karena Islam dengan bersumber pada al Qur’an dan As Sunnah dapat
berhubungan dengan pertumbuhan masyarakat luas. Ilmu Kalam atau Teologi dari masa ke
masa mengalami perkembangan yang cukup pesat, banyak tokoh-tokoh pemikir Ilmu
Kalam bermunculan. Dan memiliki argumentasi yang berbeda- beda, sehingga persoalan-
persoalan yang mengenai Ilmu Kalam atau Teologi itu sendiri semakin serius untuk
dibahas. Karena dari permasalahan tersebut akan memicu timbulnya pemikiran- pemikiran
yang baru dan tanggapan dari berbagai tokoh-tokoh Ilmu Kalam itu sendiri. Banyaknya
tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang yang berbeda, maka banyak pula pemikiran-
pemikiran dari mereka yang berbeda tentang permasalahan Ilmu Kalam ini. Sebagai
contoh, di dalam makalah ini InsyaaAllah akan di bahas Teologi atau Ilmu Kalam yang
mengacu pada dua tokoh yaitu: H.M.Rasjidi dan Harun Nasution. Oleh karena itu, penulis
mencoba mengangkat makalah dengan judul “Pemikiran Kalam Tokoh di Indonesia”. Hal
ini sebagai bahan diskusi, sehingga akan mendapatkan wawasan keilmuan terkait dengan
permasalahan Ilmu Kalam.
1
2. Maksud Dan Tujuan
3. Rumusan Masalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
LATAR BELAKANG KALAM INDONESIA
(H.M. RASJIDI DAN HARUN NASUTION)
METODOLOGI DAN POKOK PEMIKIRANNYA
1. H.M. Rasjidi
H. Mohamad Rasjidi lahir pada 20 Mei 1915 di Kotagede Jakarta, dan wafat
30 Januari 2001. Nama kecilnya adalah Saridi namun setelah menjadi murid Ahmad
Syurkati, pimpinan Al-Irsyad diberi nama baru sebagai “Muhammad Rasjidi”.
Nama baru itu secara resmi digunakan oleh Saridi pasca menunaikan ibadah haji,
beberapa tahun kemudian. Ia lahir di tanah jawa yang kental dengan nuansa
keislamanya. Walau pun demikian, praktek praktek kebatinan masih kental dalam
nuansa jawa dalam keluargan dan lingkunganya pada masakecil. Bahkan, pada
masa selanjutnya beliau mengakui bahwa dirinya berasala dari latar belakang
“keluarga abangan”, yaitu penganut agama Islam, namun tidak melakukan ibadah
Islam dalam keseharianya sebagaimana mestinya. Keluarga bernaung di rumah
joglo, tempat Ia dibesarkan yang pada hari-hari tertentu tidak melewatkan adanya
pemasangan sesajen.
Tidak jauh dari rumah Rasjidi, terdapat masji dan makam Penembahan
Senopati dan Kiageng Pemanahan serta beberapa sumber air yang jarang sepi dari
praktek-praktek mistik kejawen. Banyak di temukan rakyat jelata yang
mempersembahkan sesajen pada penunggu tempat-tempat tersebut seraya
mengharapkan berkah tertentu, seperti kekayaan, keberuntungan, cepat mendapat
jodoh, dan sebagainya. Meskipun hidup dalam lingkungan demikian, pada akhirnya
Rasjidi menyadari dirinya membutuhkan asupan rohani yang bersifat keagamaan.
Kesadaranya tentang Islam kemudian terbentuk menjadi pandangan hidupnya. H.
Mohamad Rasjidi (Kotagede, Yogyakarta, 20 Mei 1915-30 Januari 2001) adalah
mantan Menteri Agama Indonesia pada Kabinet Sjahrir I dan Kabinet Sjahrir II.
Fakultas Filsafat, Universitas Kairo, Mesir (1938) Universitas Sorbonne, Paris
(Doktor, 1956) Guru pada Islamitische Middelbaare School (Pesantren Luhur),
Surakarta (1939-1941) Guru Besar Fakultas Hukum UI Direktur kantor Rabitah
Alam Islami, Jakarta. H.M. Rasjidi, lulusan lembaga pendidikan tinggi Islam di
Mesir yang mmelanjutkan ke Paris, dan kemudian memperoleh pengalaman
mengajar di Kanada.
ࣖ
◌ ُ ﯾَْﻌﻠَُﻢ َوا َْﻧﺘ ُْﻢ َﻻ ﺗ َْﻌﻠَُﻤْﻮَن$
َو ﱣ
“Wallahu ya’lamu wa antum lata’ lamun”
4
Rasjidi menegaskan pada saat ini, di Barat sudah dirasakan
bahwa akal tidak mampu mengetahui baik dan buruk. Buktinya adalah
kemunculan Eksistensialisme sebagai reaksi terhadap aliran
Rasionalisme. Rasjidi mengakui bahwa soal-soal yang pernah
diperbincangkan pada dua abad yang lalu, masih ada yang relevan
untuk masa sekarang, tetapi ada pula yang sudah tidak relevan. Pada
waktu sekarang, masih dirasakan oleh umat Islam pada umumnya
adalah keberadaan Syi’ah.
3) Hakikat Iman
2. Harun Nasution
5
mencemplungkan diri dalam bidang akademis dengan menjadi dosen pada IAIN
Jakarta, IKIP Jakarta, dan Universitas Nasional. Harun Nasution adalah figur
sentral dalam jaringan intelektual yang terbentuk di kawasan IAIN Ciputat
semenjak paruh kedua dasawarsa 70-an. Sentralitas harun Nasution di dalam
jaringan itu tentu banyak ditopang oleh kapasitas intelektualnya, dan kedudukan
formalnya sebagai rector sekaligus pengajar di IAIN. Dalam kapasitas terakhir ini,
ia memegang beberapa mata kuliah terutama menyangkut sejarah perkembangan
pemikiran yang terbukti menjadi salah satu sarana awal menuju pembentukan
jaringan antara Harun Nasution dan Mahasiswanya.
1) Peranan Akal
2) Pembaharuan Teologi
6
penyerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan
keterbelakangan.
7
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
H. Mohamad Rasjidi lahir pada 20 Mei 1915 di Kotagede Jakarta, dan wafat 30
Januari 2001. Nama kecilnya adalah Saridi namun setelah menjadi murid Ahmad
Syurkati, pimpinan Al-Irsyad diberi nama baru sebagai “Muhammad Rasjidi”. Namun
nama baru tersebut secara resmi baru dipakai oleh Saridi pasca menunaikan ibadah haji,
beberapa tahun kemudian nama kecil Saridi demikian menjadi nama besar H. M Rasjidi.
Salah satu tema-tema Ilmu Kalam Harun Nasution yang dikritik Rasjidi adalah
deskripsi aliran- aliran kalam yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi umat Islam
sekarang, khususnya di Indonesia. Untuk itu, Rasjidi berpendapat bahwa menonjolkan
perbedaan pendapat antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah, sebagaimana dilakukan Harun
Nasution, akan melemahkan iman para mahasiswa. Memang tidak ada agama yang
mengagungkan akal seperti Islam, tetapi dengan menggambarkan bahwa akal dapat
mengetahui baik dan buruk, sedangkan wahyu hanya membuat nilai yang dihasilkan
pikiran manusia bersifat absolut-universal, berarti meremehkan ayat-ayat Al-Quran
seperti, Wallahu ya’lamu wa antum lata’ lamun (Dan Allah-lah yang Maha Mengetahui,
sedangkan kamu tidak mengetahui) (QS. Al-Baqarah: 216). Rasjidi menegaskan pada
saat ini, di Barat sudah dirasakan bahwa akal tidak mampu mengetahui baik dan buruk.
Buktinya adalah kemunculan eksistensialisme sebagai reaksi terhadap aliran
rasionalisme.
Harun Nasution lahir pada hari Selasa 23 September 1919 di Sumatera. Pendidikan
formalnya dimulai disekolah Belanda HIS. Selama tujuh tahun di HIS, Harun belajar
bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum di HIS itu, dia berada dalam lingkungan
disiplin yang ketat. Di lingkungan keluarga, Harun memulai pendidikan agama dari
lingkungan keluarganya dengan belajar mengaji, shalat dan ibadah lainnya. Ia
meneruskan ke MIK (Modern Islamietische Kweekschool) di Bukit Tinggi pada tahun
1934. Pendidikannya lalu diteruskan ke Universitas Al-Azhar, Mesir.
Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal
dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya
memberi interperstasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan
kesanggupan pemberi interprestasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam
bukan akal dengan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan penafsiran
lain dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah
pendapat akal ulama tertentu dengan akal ulama lain.
8
2. Saran
9
DAFTAR PUSAKA
Anwar, Rosihon dan Abdul Rozak. 2001. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 238.
Halim Abdul, Teologi Islam Rasional, (Jakarta: Ciputat Pers, 2001), hlm. 3.
iii