Anda di halaman 1dari 11

CORAK PEMIKIRAN KALAM MASA KINI

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ilmu Kalam

Dosen Pengampu : Tatang Sulaeman, S.Pd.I., M.Pd.I.

Disusun Oleh :

Nur Indriani Apandi (2103003965)

Indra Permana (2103003957)

Dany Multiyawan (2103004002)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM (IAID)

CIAMIS JAWA BARAT

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Alloh SWT. Yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehinggga kita masih
bisa menuntut ilmu dengan segala keterbatasan di era pandemi ini. Sholawat serta salam semoga
selalu tercurah limpahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW. kepada keluarganya, para
sahabatnya, semoga sampai kepada kita syafa’atnya di yaumil akhir nanti, Aamiin.

Kami ucapkan terimakasih kepada Dosen Pengampu mata kuliah Ilmu Kalam ini, karena telah
memberikan kami kesempatan untuk menyampaikan hasil dari makalah kami dengan judu ” Corak
pemikiran Islam Masa Kini.” Adapun tujuan utama penulisan makalah ini ditujukan sebagai tanda
pengerjaan tugas yang telah disampaikan dan semoga bisa bermanfaat bagi kita semua.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini masih
terdapat kesalahan, dan kekurangannya, sehingga masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kritik
dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan demi perbaikan makalah ini di kemudian
hari. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan pengetahuan,
khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca. Aamiin.

Ciamis, Oktober 2021

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1
1.1 Latar Belakang........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................... 1
1.3 Tujuan Masalah...................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................... 3
2.1 Riwayat H.M.Rasyidi............................................................. 3
2.2 Pemikiran Kalam H.M.Rasyidi.............................................. 3
a.Tentang Perbedaan Ilmu Kalam dan Teknologi.................. 3
b.Tema-tema Ilmu Kalam...................................................... 3
c.Hakikat Iman....................................................................... 4
2.3 Riwayat Harun Nasution......................................................... 4
2.4 Pemikiran Kalam Harun Nasution......................................... 4
a.Peranan Akal....................................................................... 4
b.Prmbaharuan Teknologi...................................................... 5
c.Hubungan Akal dan Wahyu ..................................... 5
BAB III PENUTUP..................................................................................... 6
A. Kesimpulan............................................................................. 6
B. Saran........................................................................................ 6
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ilmu kalam atau teologi sudah kita kenal sejak zaman Khulafaur Rasyidin, menurut Harun
Nasution kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa
pembunuhan Ustman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali
bin Abi Thalib.

   Ilmu kalam atau teologi dari masa ke masa mengalami perkembangan yang cukup pesat,
banyak tokoh-tokoh pemikir ilmu kalam bermunculan. Dan memiliki argumentasi yang berbeda-
beda, sehingga persoalan-persoalan yang mengenai ilmu kalam atau teologi itu sendiri semakin
serius untuk dibahas. Karena dari permasalahan tersebut akan memicu timbulnya pemikiran-
pemikiran yang baru dan tanggapan dari berbagai tokoh-tokoh ilmu kalam itu sendiri.

Dengan adanya permasalahan-permasalahan tentang ilmu kalam ini akan menambah


wawasan keilmuan bagi para tokoh pemikir itu sendiri maupun bagi orang-orang yang terlibat
dalam keilmuan tersebut. Banyaknya tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang yang berbeda,
maka banyak pula pemikiran-pemikiran dari mereka yang berbeda tentang permasalahan ilmu
kalam ini. Sebagai contoh, di dalam makalah ini insya Allah akan di bahas teologi atau ilmu kalam
yang mengacu pada dua tokoh yaitu: H. M. Rasyidi dan Harun Nasution. Akan tetapi dalam
makalah ini akan di bahas hanya terkait dengan teologi atau ilmu kalam kontemporer saja dan
hanya terfokus pada teologi dua tokoh yaitu: H. M. Rasyidi dan Harun Nasution.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1.Bagaimana Riwayat H.M.Rasyidi

2.Apa Saja Pemikiran Kalam H.M.Rasyidi

3.Bagaimana Riwayat Harun Nasution

4.Apa Saja Pemikiran Kalam Harun Nasution

1
1.3 TUJUAN MASALAH

1.Untuk Mengetahui Bagaimana Riwayat H.M.Rasyidi

2.Untuk Mengetahui Apa Saja Pemikiran H.M.Rasyidi

3.Untuk Mengetahui Bagaimana Riwayat Harun Nasution

4.Untuk Mengetahui Apa Saja Pemikiran Harun Nasution

2
3

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Riwayat Hidup H.M.Rasyidi


H. Mohamad Rasjidi (Kotagede, Yogyakarta, 20 Mei 1915 – 30 Januari 2001) adalah mantan
Menteri Agama Indonesia pada Kabinet Sjahrir I dan Kabinet Sjahrir II.Fakultas Filsafat, Universitas
Kairo, Mesir (1938) Universitas Sorbonne, Paris (Doktor, 1956) Guru pada Islamitische Middelbaare
School (Pesantren Luhur), Surakarta (1939-1941) Guru Besar Fakultas Hukum UI Direktur kantor
Rabitah Alam Islami, Jakarta.
  Dalam konteks pertumbuhan akademik Islam di Indonesia, orang akan sulit mngesampingkan
kehadiran H.M. Rasyidi, lulusan lembaga pendidikan tinggi Islam di Mesir yang mmelanjutkan ke
Paris, dan kemudian memperoleh pengalaman mengajar di Kanada. Lepas dari retorika-retorika anti-
Baratnya, orang tak akan luput mendapati bahwa hamper keseluruhan kontruksi akademiknya
dibangun atas dasar unsure-unsur yang ia dapatkan dari Barat. Maka tidak heran, kalau ia koreksi
karya Dr. Harun Nasution tentang Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Bulan Bintang, 1977,
Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional, Media Dakwah, 1979. Kebebasan
Beragama, Media Dakwah, 1979. Janji-janji Islam, terjemahan dari Roger Garandy, Bulan Bintang,
1982.[1]

2.2 Pemikiran Kalam H.M Rasyidi


Pemikiran kalam beliau banyak yang berbeda dari beberapa tokoh seangkatannya. Hal ini dilihat
dari keritikan beliau terhadap Harun Nasution, dan Nurcholis Majid. Secara garis besar pemikiran
kalamnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.Tentang perbedaan ilmu kalam dan teologi.
Rasyidi menolak pandangan Harun Nasution yang menyamakan pengertian ilmu kalam dan
teologi. Untuk itu Rasyidi berkata, “…Ada kesan bahwa ilmu kalam adalah teologi Islam dan teologi
adalah ilmu kalam Kristen.”[2] Selanjutnya Rasyidi menelurusi sejarah kemunculan teologi.
Menurutnya, orang Barat memakai istilah teologi untuk menunjukkan tauhid atau kalam karena
mereka tak memiliki istilah lain. Teologi terdiri dari dua perkataa, yaitu teo (theos) artinya Tuhan,
dan logos, artinya ilmu. Jadi teologi berarti ilmu ketuhanan.adapun sebab timbulnya teologi dalam
Kristen adalah ketuhananNabi Isa, sebagai salah satu dari tri-tunggal atau trinitas. Namun kata
teologi kemudian mengandung beberapa aspek agama Kristen, yang di luar kepercayaan (yang
benar), sehingga teologi dalam Kristen tidak sama dengan tauhid atau ilmu kalam.[3]
      b.Tema-tema ilmu kalam
Salah satu tema ilmu kalam Harun Nasution yang dikritik oleh Rasyidi adalah deskripsi aliran-
aliran kalam yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi umat Islam sekarang, khususnya di
Indonesia. Untuk itu, Rasyidi berpendapat bahwa menonjolnya perbedaan pendapat antara
Asy’ariyah dan Mu’tazilah, sebagaimana dilakukan Harun Nasution, akan melemahkan iman para
mahasiswa. Memang tidak ada agama yang mengagungkan akal seperti Islam, tetapi dengan
menggambarkan bahwa akal dapat mengetahui baik dan buruk, sedangkan wahyu hanya membuat
nilai yang dihasilkan pikiran manusia bersifat absolute-universal, berarti meremehkan ayat-ayat al-
Qur’an.
4

Rasyid kemudian menegaskan pada saat ini, di Barat sudah dirasakan bahwa akal tidak mampu
mengetahui baik dan buruk. Buktinya adalah kemunculan eksistensialisme sebagai reaksi terhadap
aliran rasionalisme.[4]
Rasyidi mengakui bahwa soal-soal yang pernah diperbincangkan pada dua belas abad yang lalu,
masih ada yang relevan untuk masa sekarang, tetapi ada pula yang sudah tidak relevan. Pada waktu
sekarang, demikian Rasyidi menguraikan, yang masih dirasakanlah oleh umat Islam pada umumnya
adalah keberadaan Syi’ah.[5]

     c.Hakikat iman
Bagian ini merupakan kritikan Rasyidi terhadap deskripsi iman yang diberikan Nurcholis Madjid,
yakni “percaya dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan. Dan sikap apresiatif kepada Tuhan
merupakan inti pengalaman keagamaan seseorang. Sikap ini disebut takwa. Takwa diperkuat dengan
kontak yang kontinu dengan Tuhan. Apresiasi ketuhanan menumbuhkan kesadaran ketuhanan yang
menyeluruh, sehingga menumbuhkan keadaan bersatunya hamba dengan Tuhan.”[6]Menanggapi
pernyataan di atas Rasyidi mengatakan bahwa iman bukan sekedar menuju bersatunya manusia
dengan Tuhan, tetapi dapat dilihat dalam dimensi konsekuensial atau hubungan dengan manusia
dengan manusia, yakni hidup dalam masyarakat. Bersatunya seseorang dengan Tuhan tidak
merupakan aspek yang mudah dicapai, mungkin hanya seseorang saja dari sejuta orang. Jadi, yang
terpenting dari aspek penyatuan itu adalah kepercayaan, ibadah dan kemasyarakatan.[7]

2.3 Riwayat Singkat Harun Nasution


Harun Nasution lahir pada hari Selasa 23 September 1919 di Sumatera. Ayahnya, Jabar Ahmad
adalah seorang ulama yang mengetahui kitab-kitab Jawi.
Pendidikan formalnya dimulai dari sekolah Belanda HIS. Setelah tujuh tahun di HIS. Selama tujuh
tahun, Harun belajar bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum di HIS itu, dia berada dalam
lingkungan disiplin yang ketat. Di lingkungan keluarga, harun memulai pendidikan Agama dari
lingkungan keluarganya dengan belajar mengaji, shalat dan ibadah lainnya.[8] beliau meneruskan ke
MIK (Modern Islamietishe Kweekschool) di Bukittinggi pada tahun 1934. pendidikannya lalu
diteruskan ke Universitas Al-Azhar, Mesir. Sambil kuliah di Al-Azhar beliau kuliah juga di Universitas
amerika di Mesir. Pendidikannya lalu dilanjutkan ke Mc. Gill, Kanada pada tahun 1962.[9]
Setiba di tanah air pada tahun 1969 beliau langsung terjun dalam bidang akademisi, yakni
menjadi dosen di IAIN Jakarta, IKIP Jakarta, dan kemudian juga pada Universitas Nasional. Harun
Nasution adalah figur sentral dalam semacam jaringan intelektual yang terbentuk dikawasan IAIN
Ciputat semenjak paruh kedua dasawarsa 70-an. Sentralitas Harun Nasution di dalam jaringan itu
tentu saja banyak ditopang kapasitas intelektualnya, dan kemudian kedudukan formalnya sebagai
rektor sekalibus salah seorang pengajar di IAIN.[10]
2.4 Pemikiran Harun Nasution
a.Peranan Akal
  Bukanlah secara kebetulan bila Harun Nasution memilih problematika akal dalam system
teologi Muhammad Abduh sebagai bahan kajian disertasinya di Universitas Mogill, Mentreal,
Kanada. Besar kecilnya peranan akal dalam system teologi suatau aliran sangat menentukan dinamis
atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun
Nasution menulis demikian: “Akal melambangkan kekuatan manusia”.
Karena akal manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain
disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggi pula kesanggupannya untuk
mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah lemah pulalah
kesanggupannya untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.[11]
Dalam sejarah Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, akan tetapi dalam perkembangan ajaran-
ajaran keagamaan Islam sendiri. Pemikiran akal dalam Islam diperintahkan Al-Qur’an sendiri.
Bukanlah tidak ada dasarnya apabila ada penulis-penulis, baik di kalangan Islam sendiri maupun di
kalangan non-Islam, yang berpendapat bahwa Islam adalah agama rasional.[12]
  b.Pembaharuan Teologi
Pembaharuan teologi yang menjadi predikat Harun Nasution. Pada dasarnya dibangun atas
asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia (juga di mana saja) adalah
disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka. Pandangan ini serupa dengan pandangan kaum
modernis lain pendahulunya (Muhammad Abduh, Rasyid Ridha Al-Afghani, Sayid Amer Ali, dan lain-
lain) yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi Islam yang sejati. Retorika ini
mengandung pengertian bahwa umat Islam dengan teologi fatalistic, irasional, predeterminisme
serta penyerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan.
Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat Islam. Menurut Harun Nasution, umat Islam
hendaklah mengubah teologi yang berwatak free-will rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori
modernisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khazanah Islam klasik sendiri yakni teologi
Mu’tazilah.[13]
 c.Hubungan akal dan wahyu
Salah satu focus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan akal dan wahyu. Ia menjelaskan
bahwa hubungan akal dan wahyu memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak
bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Orang yang beriman tidak
perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan
semua permasalahan keagamaan.[14]
Dalam pemikiran Islam, baik di bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih, akal
tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap
dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal
hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan
pemberi interpretasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal
dan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan lain dari teks wahyu itu juga. Jadi,
yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat
akal ulama lain.[15]

5
BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa H.M. Rasyidi berpandangan bahwa ilmu kalam
sama sekali berbeda dengan teologi. Beliau tidak sependapat dengan Harun yang sangat
mengagungkan akal yang dapat mengetahui baik dan buruk dilihat dari perkembangan
zaman.Tentang iman, Rasyidi mengatakan bahwa iman bukan sekedar bersatunya manusia dengan
Tuhan, tetapi dapat dilihat dalam dimensi konsekuensial atau hubungan manusia dengan
manusia,yakni hidup dalam masyarakat. Jadi, yang lebih penting dari aspek penyatuan itu adalah
kepercayaan, ibadah, dan kemasyarakatan.
Sementara, Harun Nasution adalah seorang tokoh pemikir ilmu kalam/teologi di mana beliau
memilki beberapa pemikiran-pemikiran terkait dengan masalah ini, di antaranya yaitu: beliau pernah
menulis bahwa Akal Melambangkan Kekuatan Manusia, hal ini mengartikan bahwa dengan akal lah
manusia dapat melakukan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan keperluan hidupnya. Dengan
akal manusia dapat mengalahkan makhluk lain, dan bertambah tingginya akal manusia maka
bertambah tinggi pula kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah
kekuatan akal manusia, bertambah lemah pulalah kesanggupannya untuk menghadapi kekuatan-
kekuatan lain tersebut.
Beliau juga berpendapat bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia (juga di
mana saja) adalah disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka, maka dari itu beliau memiliki
pemikiran tentang pembaharuan teologi. Beliaupun berpendapat bahwa ada hubungan antara akal
dan wahyu. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an, orang yang beriman tidak
perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan
semua permasalahan keagamaan.

B.SARAN

6
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihan dan Abdul Razak, Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003

Faqih, Mansoer, Mencari Teologi Tertindas (Kidmat Dan Kritik) Untuk Guruku Prof. Harun Nasution,
dalam Suminto

Halim. Abdul, Teologi Islam Rasional. Jakarta: Ciputat Pers, 2001

Madjid, Nurcholis, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 1997

----------------------, Teologi Islam Rasional ”Apresiasi Terhadap Wacana Praktis Harun Nasution”
Ciputat: Cetakan, 2005

Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan Jakarta: UI Press, 1983

-----------------, Akal dan Wahyu dalam Islam Jakarta: UI Press, 1980

Rozak, Abdul dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, bandung: Pustaka Setia, 2006

Rasjidi, H.M. Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution, Tentang “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”,
Jakarta: Bulan Bintang, 1977

Rasjidi, H.M. Koreksi Terhadap Dr. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi, Jakarta: Bulang Bintang,
1977

[1] Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 61

[2] H.M. Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution, Tentang “Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal. 32

[3] H.M. Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution,…, hal. 33-34

[4] Ibid, hal. 52

[5] Ibid, hlm. 104

[6] H.M. Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi, (Jakarta: Bulang
Bintang, 1977), hlm. 61.

[7] Ibid, hlm. 63

[8] Abdul Halim. Teologi Islam Rasional. (Jakarta: Ciputat Pers, 2001) hlm. 3
[9] Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003) hal. 240

[10] Ibid., hlm. 241

[11] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press,
1983) hlm. 56.

[12] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1980) hlm. 101

[13] Mansoer Faqih, Mencari Teologi Tertindas (Kidmat Dan Kritik) Untuk Guruku Prof. Harun
Nasution, dalam Suminto, hlm.167

[14] Anwar, Rosihan dan Abdul Razak, Ilmu Kalam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003) hal. 243

[15] Nurcholis Madjid. Teologi Islam Rasional ”Apresiasi Terhadap Wacana Praktis Harun Nasution”
(Ciputat: Cetakan, 2005), hal. 234

Anda mungkin juga menyukai