Bismillaahirrahmaanirrohiim, Puji syukur Kehadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk,
rahmat, dan hidayah-Nya penyusun dapat menyelesaikan tugas ini tanpa ada halangan apapun
Makalah ini di susun dalam rangka memenuhi tugas terstruktur pada mata kuliah Ilmu kalam
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran
yang membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat khususnya
penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
C. Tujuan ............................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Simpulan ........................................................................................ 8
B. DAFTAR PUSTAKA............................................................................8
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Ilmu Kalam merupakan salah satu ilmu yang mesti kita pelajari dari sekian banyak
ilmu-ilmu di dunia ini. Berbagai definisi telah banyak dikemukakan tokohtokoh Islam mengenai ilmu
ini. Begitu pula sebab-sebab penamaan serta berbagai nama lain dari ilmu kalam. Namun dari sekian
keterangan dapat disimpulkan bahwa ilmu kalam merupakan ilmu yang mempelajari masalah
ketuhanan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan-Nya yang dapat memeperkuat akan
Karena berbagai faktor, terlahirlah berbagai aliran ilmu kalam dalam Islam dengan pemikiran
Sering kali dijumpai bahwa umat Islam, baik sebagai individu dan lebihlebih sebagai
kelompok, mengalami kesulitan keagamaan -untuk tidak mengatakan tidak siap-ketika harus
berhadapan dengan arus dan gelombang budaya baru ini. Bangunan keilmuan kalam klasik
rupanya tidak cukup kokoh menyediakan seperangkat teori dan metodologi yang banyak
bersentuhan, berhubungan dengan penganut agama-agama yang lain dalam alam praksis sosial,
budaya, ekonomi, dan politik. Adapun dalam makalah ini penulis akan membahas salah satu
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1873. Beliau berasal dari keluarga kasta Brahmana
Khasmir. Ayahnya bernama Nur Muhammad yang terkenal saleh. Guru pertama beliau adalah
ayahnya sendiri kemudian beliau dimasukkan ke sebuah maktab untuk mempelajari Al-Qur’a.1
Setelah itu, beliau dimasukkan Scottish Mission School. Di bawah bimbingan Mir Hasan, beliau
diberi pelajaran agama, bahasa Arab, dan bahasa Persia. Setelah menyelesaikan sekolahnya di
Sialkot, belaiu pergi ke Lahore, sebuah kota besar di India untuk melanjutkan belajarnya di
Government College, Di situ ia bertemu dengan Thomas Arnold, seorang orientalis yang menjadi
Ketika belajar di kota India, Beliau menawarkan beberapa konsep pemikiran seperti, perlunya
pengembangan ijtihad dan dinamisme Islam. Pemikiran ini muncul sebagai bentuk ketidak
sepakatnya terhadap perkembangan dunia Islam hampir enam abad terakhir. Posisi umat Islam
mengalami kemunduran. Pada perkembangan Islam pada abad enam terakhir, umat islam
bearada dalam lingkungan kejumudan yang disebabkan kehancuran Baghdad sebagai simbol
Dua tahun kemudian beliau pindak ke Munich, Jerman. Di Universitas ini, beliau memperoleh
gelar Ph. D dalam tasawuf dengan disertasinya yang berjudul The Development of Metaphysics
2 Ibid
Pada tahun 1930, beliau memasuki bidang politik dan menjadi ketua konferensi tahunan Liga
Muslim di Allahabad, kemudian pada tahun 1931 dan tahun 1992, beliau ikut dalam Konferensi Meja
Bundar di London yang membahas konstitusi baru bagi India. Pada bulan Oktober tahun 1933, beliau
di undang ke Afganistan untuk membicarakan pembentukan Universitas Kabul. Pada tahun 1935,
beliau jatuh sakit dan bertambah parah setelah istrinya meninggal dunia pada tahun itu pula, dan
beliau meninggal pada tanggal 20 April 1935.6
Islam dalam pandangan beliau menolak konsep lama yang menyatakan bahwa alam bersifat statis.
Islam, katanya, mempertahankan konsep dinamis dan mengakui adanya gerak perubahan dalam
kehidupan sosial manusia.7
Oleh karena itu, manusia dengan kemampuan khudi-nya harus menciptakan perubahan. Besarnya
penghargaan beliau terhadap gerak dan perubahan ini membawa pemahaman yang dinamis
tentang Al-Qur’an dan hokum Islam. Tujuan diturunnya Al-Qur’an, menurut beliau adalah
membangkitkan kesadaran manusia sehingga mampu menerjemahkan dan menjabarkan nas-nas Al-
Qur’an yang masih global dalam realita kehidupan dengan kemampuan nalar manusia dan dinamika
manusia yang selalu berubah. Inilah yang dalam rumusan fiqh disebut ijtihad yang oleh beliau
disebutnya sebagai prinsip gerak dalam struktur Islam.8
5. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran Dan Gerakan.( Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1990). Hal. 190
6. Abdul Rozak, Ilmu Kalam.., hal. 220-221
7. Ibid
8. Muhammad iqbal, the Recontraction Of Religion Thought In Islam, (New Delhi: barVan, 1981), hal.
92
Oleh karena itu, untuk mengembalikan semangat dinamika Islam dan membuang kekakuan serta
kejumudan hokum Islam, ijtihad harus dialihkan menjadi ijtihad kolektif. Menurut beliau, peralihan
kekuasaan ijtihat individu yang mewakili mazhab tertentu kepada lembaga legislative Islam adalah
satusatunya bentuk yang paling tepat untuk menggerakkan spirit dalam sistem hokum Islam yang
selama ini hilang dari umat Islam dan menyerukan kepada kaum muslimin agar menerima dan
mengembangkan lebih lanjut hasil-hasil realisme tersebut.
Sebagaimana pandangan mayoritas ulama, beliau membagi kualifikasi ijtihad ke dalam tiga
tingkatan, yaitu:
1. Otoritas penuh dalam menentukan perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas pada
pendiri madzhab-madzhab saja
2. Otoritas relatif yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhab
3. Otoritas khusus yang berhubungan dengan penetapan hokum dalam kasus-kasus tertentu dengan
tidak terikat pada ketentuan-ketentuan pendiri madzhab.(9)
Menurut Iqbal, peralihan kekuasaan ijtihad individu yang memiliki madzhab tetentu kepada
lembaga legislative islam adalah satunya bentuk yang paling tepat untuk menggerakkan spirit dalam
sistim hukum islam yang selama ini hilang dari umat Islam dan maenyerukan kepada kaum muslimin
agar mmenerima dan mengembangkan lebih lanjut hasil-hasil realisme tersebut.(10)
1. Hakikat Teologi
Secara umum ia melihat teologi sebagai ilmu yang berdimensi keimanan, mendasarkan pada esensi
tauhid. Di dalamnya terdapat jiwa yang bergerak berupa kesetiaan, kesetiakawanan dan
kebebasmerdekaan. Pandanganya tentang ontology teologi membuatnya berhasil membuat
anomaly (penyimpangan) yang melekat pada
2. Pembuktian Tuhan
Dalam membuktikan eksistensi tuhan, Iqbal menolak argumen kosmologis maupun ontologis. Ia
juga menolak teleoligis yang berusaha membuktikan eksistensi tuhan yang mengatur penciptaannya
dari sebelah luar. Walaupun demikian ia menerima landasan teologis yang imanen. Untuk
menompang hal ini, Iqbal menolak pandangan tentang matter serta menerima pandangan
whitehead tentangnya sebagai struktur kejadian dalam aliran dinamis yang tak berhenti. Karakter
nyata konsep tersebut ditemukan oleh Iqbal dalam jangka waktu murni-nya Bergson, yang tidak
terjangkau oleh serial waktu. Dalam jangka waktu murni, ada perubahan, tetapi tidak ada
suksesi(pergantian). Kesatuannya terdapat seperti kesatuan kuman yang ada di dalamnya terdapat
pengalaman-pengalaman nenek moyang para individu, bukan sebagai suatu kumpulan, tetapi suatu
kesatuan yang ada di dalamnya mendorong setiap pengalaman untuk menyerap keseluruhannya.
Faham dinamisme Iqbal berpengaruh besar terhadap jati diri manusia. Penelusuran terhadap
pendapatnya tentang persoalan ini dapat dilihat konsepnya tentang ego, ide sentral dalam
pemikiran filosofnya. Kata “itun” diartikan sebagai kepribadian. Manusia hidup untuk mengetahui
kepribadiannya seta menguatkan dan mengembangkan bakat-bakatnya, bukan sebaliknya, yakni
melemahkan pribadinya, seperti yang dilakukan para sufi yang menundukan jiwa sehingga fana
dengan alla. Pada hakikatnya menafikan diri bukanlah ajaran islam karena ajaran hidup adalah
bergerak, dan gerak adalah perubahan.
Filsafat khudinya tampaknya merupakan reaksi terhadap kondisi umat Islam yang ketika itu telah
dibawa oleh kaum Sufi semakin jauh dari tujuan dan maksud islam yang sebenarnya. Dengan ajaran
khudinya ia mengemukakan pandangan yang dinamis tentang kehidupan dunia.
4. Dosa
Iqbal secara tegas mengatakan dalam seluruh kuliahnya bahwa Al-Quran menampilkan ajaran
tentang kebebasan ego manusia yang bersifat kreatif. Dalam hubungan ini, ia mengembangkan
cerita tentang kejatuhan Adam (karena memakan buah terlarang) sebagai kisah yang berisi
pelajaran tentang kebangkitan manusia dari kon disi primitive yang dikuasai hawa nafsu naluriah
kepada pemilikan kepribadian bebas yang diperolehnya secara sadar, sehingga mampu
mengatasi kebimbangan dan kecenderungan untuk membangkang dan timbulnya ego terbatas
yang memiliki kemampuan untuk memilih.
Surga dan neraka, kata Iqbal adalah keadaan, bukan tempat gambaran-gambaran tentang
keduanya di dalam Al-Quran adalah penampilan-penampilan kenyataan batin secara visual, dan
sifatnya. Neraka, menurut rumusan Al-Quran adalah api Allah yang menyalanyala dan yang
membumbung ke atas hati, pernyataan yang menyakitkan mengenai kegagalan manusia. Surga
adalah kegembiraan karena mendapatkan kemenangan dalam mengatasi berbagai dorongan
yang menuju kepada perpecahan. Tidak ada kutukan abadi dalam islam. Neraka, sebagaimana
dijelaskan dalam Al-Quran, bukanlah kawah tempat penyiksaan abadi yang disediakan tuhan.
C. Biografi Muhammad Arkoun
Muhammad Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, kabilia, Aljazair. Kabilia
merupakan daerah pegunungan berpenduduk Berber, terletak di sebelah timur Aljir. Berber
adalah penduduk yang tersebar di Afrika bagian utara. Bahasa yang dipakai adalah bahasa
non-Arab (‘ajamiyah). Setelah Aljazair ditaklukan bangsa Arab pada tahun 682, pada masa
kekhalifahan Yazid bin Muawiyah, dinasti Umayah, banyak penduduknya yang memeluk
Islam.
Gerakan islamisasi di daerah bekas jajahan Perancis ini juga diwarnai oleh nuansa sufisme.
Mahdi Bin Tumart dari dinasti Almohad pada abad 12 menggabungkan ortodoksi Asy’arisme
dengan sufisme. Ibn Arabi, tokoh sufisme yang terkenal itu, sempat berguru kepada seorang
sufi terkemuka di daerah ini, Abu Madyan. Di antara aliran tarekat yang berkembang adalah
Syaziliyah, Aljazuliyah, Darqowiyah, Tijaniyyah dan lain-lain.
Melalui berbagai kegiatan dan ritualisme sufisme populer, berbagai unsur kepercayaan
animistik Afrika Utara merasuk ke dalam Islam di Afrika. Misalnya, konsep “manusia-suci
atau pemimpin keagamaan (alfa) merupakan serapan budaya pemujaan orang-suci sebelum
Islam datang. Menurut Suadi Putro, dalam lingkungan hidup yang sarat dengan sufisme dan
nuansa spiritual inilah Arkoun dibesarkan.[1]
Setelah tamat sekolah dasar, Arkoun melanjutkan ke sekolah menengah di kota pelabuhan
Oran, kota utama Aljazair bagian barat. Sejak 1950 sampai 1954 ia belajar bahasa dan
sastra Arab di universitas Aljir, sambil mengajar di sebuah sekolah menengah atas di al-
Harrach, di daerah pinggiran ibu kota Aljazair. Tahun 1954 sampai 1962 ia menjadi
mahasiswa di Paris. Tahun 1961 Arkoun diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbonne
Paris.Ia menggondol gelar doktor Sastra pada 1969. Sejak 1970 sampai 1972 Arkoun
mengajar di Universitas Lyon. Kemudian ia kembali sebagai guru besar dalam bidang
sejarah pemikiran Islam.(2)
Muhammad Arkoun memiliki “proyek kritik atas akal Islam” dimana metode historis modern
menempati peran sentralnya. Proyek ini terkandung dalam bukunya yang paling
fundamental, Pour de la raison islamique, (Menuju Kritik Akal Islam). Buku ini, yang semula
akan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul “naqdu al-‘aqli al-Islmiy”, kemudian
diterjemahkan dengan judul “tarikhiyyatu al-Fikri al-Arabiy al-Islamiy” (Historitas Pemikiran
Arab Islam). Menurut Luthfi Assyaukany, karya tersebut bisa mewakili pemikiran Arkoun
secara keseluruhan, meskipun ia masih mempunyai banyak karya lain. [7]
Menurut pengakuannya, istilah “kritik akal” dalam bukunya itu tidaklah mengacu pada pengertian
filsafat, melainkan pada kritik sejarah. Ketika mendengar kata kritik akal, orang memang tidak
gampang melupakan karya filosof besar Immanuel Kant, Critique of pure Reason dan Critique of
Practical Reason, dan karya Sartre, Critique of Dialectical Reason. Tetapi, kata Arkoun,
belakangan Francois Furet menggunakan istilah tersebut untuk tujuan penelitian sejarah.
Berbeda dengan Kant dan Sartre, Furet adalah seorang sejarawan. Ia berusaha memikirkan
(ulang secara kritis tentunya) seluruh tumpukan literatur sejarah mengenai revolusi perancis.
Mohammed Arkoun Arkoun menyatakan, Islam akan meraih kejayaannya jika umat Islam
membuka diri terhadap pluralisme pemikiran, seperti pada masa awal Islam hingga abad
pertengahan. Pluralisme bisa dicapai bila pemahaman agama dilandasi paham kemanusiaan,
sehingga umat Islam bisa bergaul dengan siapa pun.
Menurut Arkoun dalam pembukaan seminar "Konsep Islam dan Modern tentang Pemerintahan
dan Demokrasi" di Jakarta, Senin (10/4), bahwa k olonialisme secara fisik memang telah
berakhir. Namun, paling tidak, pemikiran ummat muslim masih terjajah, tidak ikut modern yang
ditandai oleh kebebasan berpikir.
Muhammad Arkoun sebagai salah satu tokoh di antara banyaknya pemikir dan tokoh muslim
yang memberikan tawaran dalam metodologi penafsiran Al-Qur’an. Teori-teori yang muncul
dalam hal penafsiran Al-Qur’an pun juga sangat kaya. Muhammed Arkoun menawarkan kajian
yang cukup menggingit dan berani dalam pembacaannya terhadap al-Qur’an. Secara radikal
Arkoun mempersoalkan kembali esensi wahyu sebagai kalam Allah yang transenden dan wacana
wahyu sebagai perwujudan kalam tersebut dalam dataran imanen. Ia menekankan pembacaan
al-Qur’an sebagai kajain yang memungkinkan suatu pembacaan yang ideal bertepatan dengan
maksud-maksud pemaknaan yang asli dari al-Qur’an pada tahap wacana bukan pada tahap
teks. Dengan mengadopsi ilmu-ilmu barat kontemporer dalam menafsirkan Al-Qur’an, baik itu
ilmu linguistik, sejarah, antropologi dan yang lainnya, dia mengharapkan akan menghasilkan
penafsiran baru yang belum pernah dilakukan oleh ilmuan muslim sebelumnya.
1. Muhammad Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1873. Beliau berasal dari keluarga kasta Brahmana
Khasmir. Ayahnya bernama Nur Muhammad yang terkenal saleh. Guru pertama beliau adalah
ayahnya sendiri kemudian beliau dimasukkan ke sebuah maktab untuk mempelajari AlQur’an
a. Hakekat Telogi
b. Pembuktian Tuhan
d. Dosa
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Jamil, 2003. Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Gibb, H.A.R. 1995 Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, terj. Machnun Husein, Jakarta: Rajawali press.
Iqbal, Muhammad,1981. the Recontraction Of Religion Thought In Islam, New Delhi: barVan
Razak, Abdur dan Anwar, Rosihan, 2006. Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia.