Anda di halaman 1dari 17

HADIS MAUDHU’

Dosen Pembimbing: Achmad Faesol, M.Si

Disusun oleh:

1. Shofiyul Umam D20191041

2. Naimatul Munawaroh D20191030

3. Dias Erfan Erlangga D20191005

4. Nurul Yaqin D20191038

5. Faikatul Nisa D20191004

FAKULTAS DAKWAH

KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER

TAHUN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang maha esa, yang
telah memberikan limpahan rohmatnya sehingga kami bisa menyelesaikan
makalah kami yang berjudul “HADIST MAUDHU’” di Institut Agama Islam
Negeri Jember. Karena menurut kami makalah ini memberikan manfaat yang
besar bagi kami maupun pembacanya untuk menambah wawasan keilmuan.

Melalui kata pengantar ini penulis lebih dulu meminta maaf dan memohon
maklumnya apabila isi makalah ini terdapat kesalahan dan juga pada tulisan yang
kami buat kurang tepat.

Dan ini kami persembahkan makalah ini dengan penuh rasa terimakasih dan
semoga ALLAH SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan
manfaat bagi kami dan pembacanya.

Jember, 06 September 2019

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................

DAFTAR ISI...........................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.............................................................................


1.2 Rumusan Masalah........................................................................
1.3 Tujuan Makalah...........................................................................

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian hadis maudhu’............................................................

2.2 Awal Mula Terjadianya Pemalsuan Hadist...................................

2.3 Faktor Penyebab Pemalsuan Hadist.............................................

2.4 Ciri-Ciri Hadis Maudhu’..............................................................

2.5 Upaya Melawan Hadis Maudhu’..................................................

BAB III PENUTUP

Kesimpulan..................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Al-Quran sebagai sumber hukum islam yang pokok banyak mengandung


ayat-ayat yang bersifat mujmal, Mutlak, dan ‘am. Oleh karena itu kehadiran hadist
berfungsi untuk “tabyin wa taudhih” terhadap ayat-ayat tersebut. Tanpa kehadiran
hadist umat islam tidak akan mampu menangkap dan merealisasikan hukum-
hukum yang terkandung di dalam al-Quran secara mendalam. Hal ini
menunjukkan hadis memiliki kedudukan yang sangat penting dalam literatur
sumber hukum islam.

Kesenjanagan waktu antara sepeninggalan Rasulullah SAW denagn waktu


pembukuan hadis (hampir 1 abad) merupakan kesemppatan yang baik bagi orang-
orang atau kelompok tertentu untuk memulai aksinya membuat dan mengatakan
sesuatu yang kemudian dinisbatkan kepada Rasulullah SAW, dengan alasan yang
dibuat-buat. Penisbatan sesuatu kepada Rasulullah SAW, seperti inilah yang
selanjutnya dikenal dengan hadis palsu atau Hadist Maudhu’.

1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang penulis bahas di atas, maka terdapat
rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apa pengertian hadis maudhu’?


2. Bagaimana awal mula terjadianya pemalsuan hadist ?
3. Apa saja faktor penyebab pemalsuan hadist.?
4. Apa upaya melawan hadis maudhu’?
1.3. Tujuan Makalah
Dari rumusan masalah diatas, makalah ini mempunyai tujuan sebagai
berikut:

1. Untuk mengetahui apa pengertian hadis maudhu’?


2. Menjelaskan bagaimana awal mula terjadianya pemalsuan hadist ?
3. Mengetahiu apa saja faktor penyebab pemalsuan hadist.?
4. Menjelaskan apa upaya melawan hadis maudhu’?
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian hadist Maudhu’

Al-Maudhu’ adalah isim maf’ul dari wa-dha-‘u, wadha-‘an, yang


mempunyai arti al-isqath (meletakkan atau menyimpan); al-iftira’ wa al-ikhtilaq
(mengada-ada atauu membuat-buat); dan al-tarku (ditinggal).

Sedangkan pengertian hadis maudhu’ secara istilah adalah


ْ ‫سلَّ َم‬
‫إختِالَق‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ّ ‫صلَّى‬
َ ‫للا‬ َ ‫للا‬ ُ ‫ِب ِإلَى َر‬
ّ ‫س ْو ِل‬ َ ‫ُهو َما نُس‬
ُ‫َو ِك ْذبًا ِم َّما لَ ْم يَقُ ْلهُ أ َ ْو يَ ْف َع ْلهُ أ َ ْو يُقَ َّره‬
“hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW secara dibuat-buat dan dusta,
padahal beliau tidak mengatakan, memperbuat dan mengerjakan.”

‫سلَّ َم‬ ّ ‫صلَّى‬


َ ‫للا َعلَ ْي ِه َو‬ َّ ‫س ْو ُل‬
َ ‫للا‬ ُ ‫ب اِلَى َر‬ ُ ‫ع ْال َم ْن‬
ُ ‫س ْو‬ ْ ‫ُه َو ْال ُم ْختَلَ ُع ْال َم‬
ُ ‫صنُ ْو‬
ً ‫طأ‬
َ ‫س َواء َكانَ ذَ ِل َك َع ْمدًا ا َ ْو َخ‬ َ ‫زو ًرا َوبُ ْهتَانًا‬ ْ
“hadits yang diciptakan dan dibuat oleh seorang (pendusta) yang ciptaan ini
dinisbahkan kepada Rasulullah secara paksa dan dusta, baik disengaja maupun
tidak”

Jadi hadis maudhu’ itu adalah bukan hadis yang bersumber dari Rasulullah
SAW atau dengan kata lain bukan hadis Rasul, akan tetapi suatu perkataan atau
perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan suatu alasan kemudian
dinisbatkan kepada Rasul.

Dalam pengertian lain dikatakan:


Hadits Maudhu’ adalah merupakan dua perkataan yang berasal daripada
bahasa Arab yaitu al-Hadits dan al-Maudhu’. Al-Hadits dari segi bahasa
mempunyai beberapa pengertian seperti al-hadits dengan arti baru (al-jadid) dan
al-hadits dengan arti cerita (al-khabar).
Kata hadits merupakan isim (kata benda) yang secara bahasa berarti kisah,
cerita, pembicaraan, percakapan atau komunikasi baik verbal maupun lewat
tulisan. Maudhu’ dari sudut bahasa berasal dari kata wadha’a – yadha’u –
wadh’an wa maudhu’an – yang mengandung beberapa pengertian antaranya: telah
menggugurkan, menghinakan, mengurangkan, melahirkan, merendahkan,
mencipta, menanggalkan, menurunkan.
2.2. Awal mula terjadinya pemalsuan hadist
Masuknya secara massal penganut agama lain kedalam islam, yang
merupakan akhibat dari keberhasilan dakwah islamiyah ke seluruh pelosok dunia,
secara tidak langsung menjadikan faktor munculnya hadis-hadis palsu. Kita tidak
bisa menafikkan bahwa masuknya mereka ke agama islam, di samping ada yang
benar-benar ikhlas tertarik pada ajaran islam, ada juga segolongan mereka yang
menganut agama islam hanya karena terpaksa tunduk pada kekuasaan islam pada
waktu itu. golongan itu disebut dengan golongan munafik.
Golongan munafik tersebut senantiasa menyimpan dendam dan dengki
terhadap islam dan penganutnya. Mereka senantiasa menunggu peluang yang
tepat untuk merusak dan menimbulkan keraguan dalam hati orang-orang islam.
Datanglah waktu yang ditunggu-tunggu oleh mereka, yaitu pada masa
pemerintahan Syaidina Utsman Bin Affan (w. 35 H). Golongan inilah yang
menebarkan benih-benih fitnah yang pertama. Salah seorang tokoh yang berperan
dalam upaya menghancurkan islam pada masa Utsman Bin Affan adalah Abdullah
bin Saba’, salah seorang penganut Yahudi yang menyatakan telah memeluk
agama islam.
Dengan bertopengkan pembelaan kepada Syyaidina ali dan ahli Bait, ia
menjelajahi ke segenap pelosok untuk menaburkan fitnah kepada oranng ramai. Ia
menyatakan bahwa Ali (w. 40 H) lebuih berhak menjadi kholifah dari pada
Utsman, bahakan lebih berhak daripada Abu Bakar (w. 13 H) dan Umar (w 23 H).
Hal itu karena, menurut Abdullah bin Saba’, sesuai dengan wasiat Nabi SAW.
Lalu, untuk mendukung propaganda tersebut, ia membuat suatu hadis
maudhu’(palsu) yang artinya,” setiap Nabi itu ada penerima Wasiatnya dan
penerima wasiatku adalah Ali”.
Namun, penyebaran hadis maudhu’ pada masa ini belum begitu meluas
karena masih banyak sahabat utama yang masih hidup dan mengetahui dengan
penuh yakinakan kepaqlsuan suatu Hadis. Sebagai contoh, Syaidinna Utsman,
ketika beliau mengetahui hadis maudhu’ yang dibuat oleh Ibnu Saba’, beliau
mengambil tindakan dengan mengusir Ibnu Saba’ dari Madinah. Begitu juga yang
dilakukann oleh Syaidinna Ali setelah beliau menjadi Kholifah.
Menyadari Hal ini, para sahabat awal memberi perhatian terhadap hadis
yang disebaran oleh seseorang. Mereka tidak akan mudah menerimanya sekiranya
mereka meragukan kesahihan hadis itu.
Setelah zaman sahabat berlalu, penelitian dan penilaian terhadap hadis-
hadis-hadis Nabi SAW mulai melemah. Ini menyebabkan banyaknya periwayat
dan penyebar hadis yang secara tidak langsung telah turut menyebabkan
terjadinya pendustaan terhadap Rasulullah dan sebagian sahabat. Ditambah lagi
dengan adanya konflik politik di antara umat islam yang semakin heba, telah
membuka peluang kepada golongan tertentu yang mencoba untuk bersekongkol
dengan penguasa untuk memalsukan hadis.
Walaupun begitu, tahap penyebaran hadis-hadis maudhu’ pada masa ini
masih kecil dibandingkan pada zaman-zaman berikutnya. Hal ini karena masih
banyaknya tabiin yang menjaga hadis-hadis dan menjelaskan diantara hadis yang
lemah dan yang sahih. Dan juga karena zaman ini masih dianggap hampir
sezaman dengan Nabi SAW. dan disebut oleh Nabi sebagai diantara sebaik-baik
zaman. Pengajaran-pengajaran serta wasiat dari Nabi yang masih segar di
kalangan meraka yang menyebabkan mereka dapat mengetahui/menganalisi
kepalsuan-kepalsuan suatu hadis.

2.3. Faktor Penyebab Pemalsuan Hadis


Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan hadis maudhu’ ini muncul,
antara lain sebagai berikut:
a) Pertentangan Politik Dalam Soal Pemilihan Kholifah

Pertentangan diantara umat islam timbul setelh terjadinya pembunuhan


terhadap khalifah Umar bin Affan oleh para pemberontak dan kekhalifahan
digantikan oleh Ali bin Abi Thalib.

Konflik-konflik politik telah menyeret permasalahan agama masuk


kedalamnya dan membawa pengaruh juga pada madzhab-madzhab keaamaan.
Karena persaingan untuk menonjolkan kelompok mereka masing-masing, maka
ketika mencari dalil dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah tidak ada, mereka membuat
pernyataan-pernyataan yang disandarkan pada Nabi SAW. Dari sinilah Hadits
palsu berkembang. Materi Hadits pertama tentang keunggulan seseorang dan
kelompoknya.

Orang-orang syiah membuat hadits maudhu` tentang keutamaan-keutamaan


`Ali dan Ahli Bait. Disamping itu mereka membuat hadits maudhu` dengan
maksud mencela cela dan menjelek jelekkan Abu Bakar r.a. dan Umar r.a.

Hadis yang dibuat oleh golongan syiah diantanya: “barangsiapa yang ingin
melihat Adam dengan ketinggian ilmunya, ingin melihat Nuh tentang
ketakwaannya, ingin melihat Ibrahim dengan kebaikan hatinnya, ingin melihat
Musa tentang kehebatannya, hendaklah ia melihat Ali”

Gerakan-gerakan Syiah tersebut diimbangi oleh golongan jamhur yang bodoh


dan tidak tahu akibat dari pemalsuan hadis terdebut dengan membuat hadis-hadis
palsu. Contoh hadis palsu adalah: “tak ada satu pohon pun dalam surga,
melainkan tertulis pada tiap-tiap daunnya: La ilaha illallah, Muhammadur
Rasulullah, Abu Bakar As-Shiddiq, Umar Al-Faruq, dan Utsman Dzunnuraini.”

Golongan yang fanatik kepada muawiyah membuat pula hadits palsu yang
menerangkan keutamaan muawiyah ,diantaranya:”orang yang terpercaya itu ada
tiga, yaitu aku, jibril, dan muawiyah”.
b) Adanya kesenjangan dari pihjak lain untk merusak ajaran islam

Golongan ini adalah terdiri dari golongan zindiq, yahudi, Majusi, dan nasrani
yang senantiasa menyimpan dendam tehadap agama islam. Mereka tidak mampu
melawan kekuatan islam secara terbuka maka mereka mengambil jalan yang
buruk ini. mereka menciptakan sejumlah hadis maudhu’ denagn tujuan merusak
ajaran islam.

Faktor ini merupakan awal munculnya hadits maudhu`. Hal ini berdasarkan
peristiwa Abdullah bin Saba` yang mencoba memecah belah umat islam dengan
bertopengkan kecintaan kepada Ahli Bait. Sejarah mencatat bahwa ia adalah
seorang yahudi yang berpura pura memeluk agama islam. Oleh karena itu, ia
berani menciptakan hadits maudhu` pada saat masih banyak sahabat utama masih
hidup.

Tokoh-tokoh terkenal yang membuat hadist maudhu’ dari kalangan orang


zindiq ini, adalah:

1) Abdul Karim bin Abi Al-Auja, telah membuat sekitar 4000 hadist
maudhu’tentang hukum halal-haram, ia membuat hadis untuk
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Akhirnya, ia
dihukum mati olen Muhammad bin Sulaiman, Walikota Bashrah.
2) Muhammad bin Sa’id Al-Mashlub, yang dihukum bunuh oleh Abu Ja’far
Al-Mashur.
3) Bayan bin Sam’an Al-Mahdy, yang akhirnya dihukum mati oleh Khalid
bin Abdillah.

Khalifah yang sangat keras membasmi gerakan orang-orang zingiq ini adalah
khalifah Al-Mahdy dari dinasti abbasiyah.

c) Mempertahankan madzhab dalam masalah fiqih dan kalam

Para pengikut madzhab fiqih dan pengikut ulama` kalam, yang bodoh dan
dangkal ilmu agamanya, membuat pula hadits-hadits palsu untuk menguatkan
paham pendirian imannya.

Mereka yang fanatik terhadap madzhab Abu Hanifah yang menganggap tidak
sah shalat mengangkat kedua tangan dikala sholat membuat hadits maudhu` sbb:
“Barang siapa mengangkat kedua tangannya didlam sholat,tidak sah sholatnya.”

Golongan muthakalimin mengafirkan orang yang berpendapat bahwa Al-


Quran adalah ciptaan baru (makhluk), denagn mengeluarkan hadis dengan
disandarkan kepada Nabi sebagai berikut: “siapa yang ada di langit , di bumi, di
antara kkeduanya, adalah makluk, kecuali Allah, dan Al-Quran. Kelak akan
datang kaum dari umatku yang menngatakan bahwa Al-Quran itu adalah
makhluk (baru). Oleh karena itu, barang siapa yang mengatakan demikian,
sungguh kafir terhadap Allah Yang Mahabesar, dan tertalaklah istrinya sejak
saat itu.”

d) Membangkitkan gairah beribadah untuk mendekatkan diri kepada


allah

Mereka membuat hadits-hadits palsu dengan tujuan menarik orang untuk lebih
mendekatkan diri kepada Allah, melalui amalan amalan yang meraka
ciptakan,melalui hadits tarhib wa targhib (anjuran anjuran untuk meninggalkan
yang tidak baik dan mengerjakan yang di pandangnya baik) dengan cara berlabih
lebihan.

Seperti hadis-hadis yang dibuat Nuh ibn Abi Maryam tentang keutamaan Al-
Quran. Ketika ditanya alasannya melakukan hal seperti itu, ia menjawab, “Saya
dapati manusia telah berpaling dari pembaca Al-Quran maka saya membuat hadis-
hadis ini untuk menarik minat umat kemballi kepada Al-Quran.

e) Menjilat para penguasa untuk mencari kedudukan atau hadiah

Ulama` ulama` su` membuat hadits palsu ini untuk membenarkan perbuiatan
perbuatan para penguasa sehingga dari perbuatannya tersebut, mereka mendapat
upah dengan diberi kedudukan atau harta.

Seperti kisah Ghiyats bin Ibrahim An nakha`I yang datang kepada amirul
mu`minin Al-Mahdi yang sedang bermain merpati.lalu ia menyebut hadits dengan
sanadnya secara berturut turut sampai kepada Nabi SAW.bahwasanya beliau
bersabda: “tidak ada perlombaan kecualai dalam anak panah,
ketangkasan,menunggang kuda atau burung yang bersayap".

Ia menambahkan kata “atau burung yang bersayap”, untuk menyenangkan Al-


Mahdi, lalu Al-Mahdi memberinya sepuluh ribu dirham. Setelah ia berpaling,
sang Amir berkata , “Aku bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk pendusta
atas nama Rasullah SAW.” lalu ia memerintahkan untuk menyembelih merpati
itu.

2.4. Ciri-Ciri Hadis Maudhu’


Para ulama telah membuat tanda-tanda matan hadits al-Maudhu’ yang
mudah ditengarai kepalsuannya khususnya bagi kita kaum awam yang tidak
terlalu banyak menguasai ulumul hadits. Yaitu:

a. Tanda/ciri yang terdapat pada sanad.

1) Rawi tersebut terkenal berdusta (seorang pendusta) dan tidak ada seorang
rawi yang terpercaya yang meriwayatkan hadits dari dia.
2) Pengakuan dari sipembuat sendiri, seperti pengakuan seorang guru
tasawwuf, ketika ditanya oleh ibnu ismail tentang keutamaan ayat Al-Qur’an,
maka dijawab: “tidak seorang pun yang meriwayatkan hadits ini kepadaku. Akan
tetapi, kami melihat manusia membenci Al-qur’an, kami ciptakan untuk mereka
hadits ini (tentang keutamaan ayat-ayat Al-Qur’an), agar mereka menaruh
perhatian untuk mencintai Al-Qur’an.” .

3) Kenyataan sejarah, mereka tidak mungkin bertemu, misalnya ada


pengakuan seorang rawi bahwa ia menerima hadits dari seorang guru, padahal ia
tidak pernah bertemu dengan guru tersebut, atau ia lahir sesudah guru tersebut
meninggal, misalnya ketika Ma’mun ibn Ahmad As-Sarawi mengaku bahwa ia
menerima Hadits dari Hisyam ibn Amr kepada Ibnu Hibban maka Ibnu Hibban
bertanya, “kapan engkau pergi keSyam?” Ma’mun menjawab, “ pada tahun 250
H.” Mendengar itu Ibnu Hibban berkata, Hisyam meninggal dunia pada tahun 245
H.”

4) Keadaan rawi dan faktor-faktor yang mendorongnya membuat hadits


maudhu’. Misalnya seperti yang dilakukan oleh Giyats bin Ibrahim, kala ia
berkunjung kerumah Al- Mahdi yang sedang bermain dengan burung merpati
yang berkata:

“Tidak sah perlombaan itu, selain mengadu anak panah, mengadu unta,
mengadu kuda, atau mengadu burung”

Ia menambahkan kata, “au janahin” (atau mengadu burung), untuk menyenagkan


Al-Mahdi, lalu Al-Mahdi memberinya sepuluh ribu dirham. Setelah ia berpaling,
sang Amir berkata: “ aku bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk pendusta,
atas Nama Rasulullah SAW, lalu ia memerintahkan tentang kemaudhu’an suatu
Hadits.”

b. Tanda/ciri yang terdapat pada matan.

Ciri yang terdapat pada matan itu dapat dtinjau dari segi makna dan dari
segi lafadznya. Pertama, dari segi makna, misalnya hadits itu bertentangan dengan
ayat Al-Quran atau dalil lain yang mutawatir. Seperti hadits:

ِّ َ‫ا ْل َجنَّ َُة يَدْخلُ ُل‬


ُ‫الزنَا َولَد‬
Matan hadits ini bertentangan dengan kandungan firman Allah
Subhanahuwata'alaa dalam surat Al-An'aam : 164,

ُۚ‫ُواز َرةٌُو ْز َرُأ ْخ َر ٰى‬


َ ‫َو َلُتَزر‬
Artinya: …dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. (Al-
An'aam : 164).
Kandungan ayat tersebut menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat
dibebankan kepada orang lain, sampai seorang anak zina sekalipun tidak dapat
dibebani dosa orang tuanya. Maknanya menyalahi sejarah, kebiasaan dan bahkan
bertentangan dengan akal sehat

Yang kedua dari segi lafaznya jelas-jelas mengandung unsur pendustaan


sperti. Contoh hadis maudhûʿ beriku ini :

‫داء كل من شفاء البذنجان‬


artinya : “ Terong merupakan obat segala penyakit “

Dari lafaznya sudah jelas menununjukkan hal yang mustahil semua


penyakit dapat diobati oleh terong. Dengan demikian hadis ini adalah palsu dan
bahwasanya Rasulullah saw tidak pernah menyampaikan hal yang demikian
dalam menyampaikan hadis kepada sahabatnya.

2.5. Upaya Melawan Hadist Maudhu’


Para ulama telah mengadakan upaya menangkal pemalsuan terhadap
hadits Nabi saw dan berusaha untuk memelihara serta membersihkannya dari
segala bentuk kerancuan hadits. Upaya yang diciptakan para ulama tersebut cukup
sistematis, yaitu:

1) Meng-isnad hadits (penelusuran mata rantai sumber berita)

Para sahabat di awal- awal Islam atau sejak masa Rasulullah saw masih
hidup sampai masa munculnya fitnah terbunuhnya Utsman bin Affan ra, mereka
saling mempercayai satu sama lain (tsiqah mutabadilah). Para tabi’in tidak ragu-
ragu menerima riwayat/berita dari sahabat tentang hadits Nabi saw. Namun
setelah terjadinya fitnah dan kaum muslimin mulai terpecah ke dalam beberapa
golongan dan mulai tersebar hadits-hadits palsu, maka para sahabat dan tabi’in
mulai ekstra berhati-hati dalam menerima hadits dari para perawinya.

Bentuk kehati-hatian dan ketelitian para sahabat dan tabi’in tersebut adalah
dengan meminta sanad kepada mereka yang menyampaikan hadits, sampai
akhirnya dapat menetapkan sanad suatu berita/riwayat/hadits. Kedudukan sanad
dalam hal ini bagaikan nasab bagi seseorang. Hal ini mirip dengan kaidah berita
pada zaman sekarang yang menetapkan unsur 5W 1H (what, who, why, when,
where & how), namun dalam hadits selain unsur obyektivitas tersebut, masih
membutuhkan subyektivitas yaitu unsur keadilan (ketaqwaan) bagi pembawa
berita, sehingga terjaga kredibilitas suatu berita.
Pada mulanya para sahabat dalam menerima hadits tidak selalu menanyakan
sanadnya. Akan tetapi setelah terjadinya fitnah, mereka meminta untuk
menyebutkan mata rantai sanadnya. Kemudian setelah mendapatkan mata rantai
sanadnya maka ditelitinya. Jika sanad tersebut terdiri dari ahlu sunnah maka
diambilnya dan sekiranya terdapat ahli bid’ah, maka ditolaknya.

2) Meningkatkan perlawatan mencari hadits

Mereka meningkatkan perlawatan mencari hadits dari satu kota ke kota lain
untuk menemui para sahabat yang meriwayatkan suatu hadits. Sejak itu para
penuntut hadits hanya mendengar dari para sahabat saja. Jika mendapatkan hadits
dari selain sahabat, maka dengan segera mengkonfirmasikannya kepada sahabat.
Bahkan Abu Aliyah tidak puas atau tidak ridha jika mendapatkan suatu hadits
yang ia dengar dari sahabat Nabi saw yang tinggal di Bashrah, sekiranya ia tidak
pergi ke Madinah untuk mendengarkan hadits tersebut dari para sahabat yang
berada di sana.

Para sahabat mengadakan perlawatan mencari hadits dari kawannya sahabat


yang berada di luar daerahnya. Sebagaimana dilakukan sahabat Ayyub menemui
sahabat ‘Uqbah bin Amir di Mesir dan sahabat Jabir menemui sahabat Abdullah
bin Anis untuk mencari suatu hadits.

Ada satu hikmah luar biasa yang bisa kita petik, yaitu bahwa fitnah ini
terjadi pada masa sahabat masih hidup, sehingga segala berita/hadits bisa
dikonfirmasi langsung dengan para sahabat yang nota bene adalah orang-orang
yang pernah berinteraksi dengan Rasulullah saw. Seandainya fitnah ini terjadi
pada masa yang jauh dari kehidupan para sahabat, maka betapa besar kesulitan
yang diderita umat Islam untuk melakukan verifikasi suatu berita/hadits. Sebab
dengan itu mata rantai sanad tak tersambung kepada Nabi saw, kalaupun terdapat
sanad, hanya akan terhenti pada masa yang tidak menggapai masa sahabat, atau
sanad yang tidak memiliki kredibilitas yang kuat. Implikasinya adalah akan
terdapat banyak jalan buntu dalam berbagai penelitian dan penelusuran sanad
hadits, serta kemungkinan terjadi kerancuan antara yang haq dan yang batil, antara
hadits-hadits shahih dengan yang palsu, dan seterusnya.

3) Mengambil tindakan kepada para pemalsu hadits.

Kehati-hatian para sahabat dalam menjaga dan memelihara sunnah


menjadikan mereka tak canggung untuk mengambil tindakan terhadap para
pemalsu hadits. Para penjaga sunnah melarang mereka yang tervonis sebagai rawi
pemalsu hadits untuk meriwayatkan hadits. Bahkan terjadi tindakan yang lebih
tegas lagi hingga mengeksekusi orang-orang yang gemar memalsukan hadits,
menyesatkan dan memecah belah umat serta tidak mau bertaubat. Amir Asy
Sya’bi pernah memarahi seraya menarik telinga Abu Shalih yang menjadi
mufassir. “Celaka kamu, kenapa kamu menafsirkan Al Qur’an padahal tidak benar
bacaanmu?” bentaknya.

Sungguh merupakan penyesatan menafsirkan Al Qur’an dengan riwayat-


riwayat palsu apalagi membuat riwayat sendiri untuk menafsirkan Al Qur’an.
Aktivitas menafsirkan Al Qur’an tak akan lepas dengan hadits-hadits Nabi saw.
Oleh karenanya tidak dibenarkan mengambil riwayat yang tidak jelas atau tidak
memiliki derajat shahih dalam ini, karena makna atau kandungan Al Qur’an bisa
berubah dengan tafsir yang keliru.

4) Menjelaskan perilaku para pembawa berita (rawi)

Generasi pada sahabat, tabi’in dan tabi’ut –tabi’in mempelajari biografi para
rawi, tingkah lakunya, kelahiran dan kematiannya, keadilannya, daya ingatnya,
kemampuan hafalan. Hal ini dilakukan untuk membedakan hadits-hadits yang
shahih dan yang palsu. Dalam penelitian tersebut jika terdapat rawi yang memiliki
sifat-sifat tercela maka mereka memberitahukan kepada umum. Dengan tujuan
agar publik mengetahui tentang kedudukan suatu hadits yang diriwayatkan dari si
Fulan. Mereka tanpa diliputi sikap basa-basi mengkritik atau memuji seorang rawi
dengan niat tulus karena takut kepada Allah semata, karena menjaga sunnah atau
hadits Nabi saw dari segala noda adalah termasuk menjaga agamaNya. Jadi jika
mereka memuji seorang rawi, hal itu bukan karena takut, ta’jub atau mungkin
kasihan terhadapnya. Demikian pula jika mereka mengkritik rawi bukan berarti
benci terhadap pribadinya. Karena untuk kepentingan menjaga agama inilah maka
dalam mengkritik atau memuji harus adil, sebatas yang diperlukan serta tidak
berlebihan, tidak keluar dari akar permasalahan.

Oleh karena itu lahirlah kriteria penetapan sifat-sifat rawi yang bisa dan
yang tidak dapat diterima periwayatannya. Para rawi yang tidak boleh diambil
haditsnya adalah:

1. Orang yang mendustakan Rasulullah saw


2. Orang yang terbiasa berdusta, sekalipun tidak berdusta terhadap
Rasulullah saw
3. Orang yang terbukti sebagai ahli bid’ah
4. Orang zindiq (mendustakan agama)
5. Orang fasiq (bergelimang dengan dosa dan maksiat)
6. Orang yang dikenal sebagai pelupa
7. Orang yang tidak mengerti akan apa yang diucapkannya.
8. Adapun para rawi yang ditangguhkan periwayatannya, adalah:
9. Orang yang masih diperselisihkan tentang jarh wa ta’dil, yaitu
cacat/kekurangan dan keadilannya
10. Orang yang lebih banyak salahnya daripada benarnya serta banyak
berlawanan dengan periwayatan yang lebih tsiqah (kredibel) darinya.
11. Orang yang lebih banyak lupanya daripada ingatnya
12. Orang yang lanjut usia, karena dikhawatirkan terdapat kekeliruan
13. Orang yang buruk hafalannya.
5) Membuat ketentuan umum tentang klasifikasi hadits & kriterianya

Bentuk lain dalam upaya penjagaan sunnah dari kepalsuan adalah dengan
membuat ketentuan dan syarat-syarat bagi hadits shahih, hasan dan dha’if.

6) Membuat ketentuan untuk mengetahui ciri-ciri hadits maudlu’


(palsu)

Mereka membuat ketentuan mengenai tanda-tanda hadits palsu, baik tanda


yang terdapat pada sanad maupun matannya.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hadis maudhu’adalah bukan
hadis yang bersumber dari Rasulullah SAW atau dengan kata lain bukan hadis
Rasul, akan tetapi suatu perkataan atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak
tertentu dengan suatu alasan kemudian dinisbatkan kepada Rasul. Awalmula
terjadinya hadis maudhu’ yaitu ketika masuknya secara massal penganut agama
lain kedalam islam, yang merupakan akhibat dari keberhasilan dakwah islamiyah
ke seluruh pelosok dunia, secara tidak langsung menjadikan faktor munculnya
hadis-hadis palsu.

Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan hadis maudhu’ ini muncul,


yaitu karena adanya pertentangan politik dalam soal pemilihan kholifah, adanya
kesenjangan dari pihjak lain untk merusak ajaran islam, mempertahankan
madzhab dalam masalah fiqih dan kalam, membangkitkan gairah beribadah untuk
mendekatkan diri kepada allah, dan juga menjilat para penguasa untuk mencari
kedudukan atau hadiah.

Hadis maudhu’ juga memiliki ciri-ciri yang terdapat pada sanad yaitu,
rawi tersebut terkenal berdusta (seorang pendusta) dan tidak ada seorang rawi
yang terpercaya yang meriwayatkan hadits dari dia, pengakuan dari sipembuat
sendiri, kenyataan sejarah, keadaan rawi dan faktor-faktor yang mendorongnya
membuat hadits maudhu’. Ciri yang terdapat pada matan itu dapat dtinjau dari
segi makna dan dari segi lafadznya.

Adapun upaya untuk melawan hadis maudhu’ yaitu dengan cara: meng-
isnad hadits (penelusuran mata rantai sumber berita), meningkatkan perlawatan
mencari hadits, mengambil tindakan kepada para pemalsu hadits, menjelaskan
perilaku para pembawa berita (rawi).
DAFTAR PUSTAKA

http://masyud94.blogspot.com/2013/12/normal-0-false-false-false-en-us-x-
none.html?m=1

https://www.google.com/amp/s/nurahmad007.wordpress.com/2012/10/12/upa
ya-pemberantasan-hadits-palsu/amp/

Solahudin, Suryadi. 2008. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia

Anda mungkin juga menyukai