Disusun oleh:
FAKULTAS DAKWAH
TAHUN 2019/2020
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang maha esa, yang
telah memberikan limpahan rohmatnya sehingga kami bisa menyelesaikan
makalah kami yang berjudul “HADIST MAUDHU’” di Institut Agama Islam
Negeri Jember. Karena menurut kami makalah ini memberikan manfaat yang
besar bagi kami maupun pembacanya untuk menambah wawasan keilmuan.
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dulu meminta maaf dan memohon
maklumnya apabila isi makalah ini terdapat kesalahan dan juga pada tulisan yang
kami buat kurang tepat.
Dan ini kami persembahkan makalah ini dengan penuh rasa terimakasih dan
semoga ALLAH SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan
manfaat bagi kami dan pembacanya.
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................
DAFTAR ISI...........................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
Kesimpulan..................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Dari latar belakang masalah yang penulis bahas di atas, maka terdapat
rumusan masalah sebagai berikut :
PEMBAHASAN
Jadi hadis maudhu’ itu adalah bukan hadis yang bersumber dari Rasulullah
SAW atau dengan kata lain bukan hadis Rasul, akan tetapi suatu perkataan atau
perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan suatu alasan kemudian
dinisbatkan kepada Rasul.
Hadis yang dibuat oleh golongan syiah diantanya: “barangsiapa yang ingin
melihat Adam dengan ketinggian ilmunya, ingin melihat Nuh tentang
ketakwaannya, ingin melihat Ibrahim dengan kebaikan hatinnya, ingin melihat
Musa tentang kehebatannya, hendaklah ia melihat Ali”
Golongan yang fanatik kepada muawiyah membuat pula hadits palsu yang
menerangkan keutamaan muawiyah ,diantaranya:”orang yang terpercaya itu ada
tiga, yaitu aku, jibril, dan muawiyah”.
b) Adanya kesenjangan dari pihjak lain untk merusak ajaran islam
Golongan ini adalah terdiri dari golongan zindiq, yahudi, Majusi, dan nasrani
yang senantiasa menyimpan dendam tehadap agama islam. Mereka tidak mampu
melawan kekuatan islam secara terbuka maka mereka mengambil jalan yang
buruk ini. mereka menciptakan sejumlah hadis maudhu’ denagn tujuan merusak
ajaran islam.
Faktor ini merupakan awal munculnya hadits maudhu`. Hal ini berdasarkan
peristiwa Abdullah bin Saba` yang mencoba memecah belah umat islam dengan
bertopengkan kecintaan kepada Ahli Bait. Sejarah mencatat bahwa ia adalah
seorang yahudi yang berpura pura memeluk agama islam. Oleh karena itu, ia
berani menciptakan hadits maudhu` pada saat masih banyak sahabat utama masih
hidup.
1) Abdul Karim bin Abi Al-Auja, telah membuat sekitar 4000 hadist
maudhu’tentang hukum halal-haram, ia membuat hadis untuk
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Akhirnya, ia
dihukum mati olen Muhammad bin Sulaiman, Walikota Bashrah.
2) Muhammad bin Sa’id Al-Mashlub, yang dihukum bunuh oleh Abu Ja’far
Al-Mashur.
3) Bayan bin Sam’an Al-Mahdy, yang akhirnya dihukum mati oleh Khalid
bin Abdillah.
Khalifah yang sangat keras membasmi gerakan orang-orang zingiq ini adalah
khalifah Al-Mahdy dari dinasti abbasiyah.
Para pengikut madzhab fiqih dan pengikut ulama` kalam, yang bodoh dan
dangkal ilmu agamanya, membuat pula hadits-hadits palsu untuk menguatkan
paham pendirian imannya.
Mereka yang fanatik terhadap madzhab Abu Hanifah yang menganggap tidak
sah shalat mengangkat kedua tangan dikala sholat membuat hadits maudhu` sbb:
“Barang siapa mengangkat kedua tangannya didlam sholat,tidak sah sholatnya.”
Mereka membuat hadits-hadits palsu dengan tujuan menarik orang untuk lebih
mendekatkan diri kepada Allah, melalui amalan amalan yang meraka
ciptakan,melalui hadits tarhib wa targhib (anjuran anjuran untuk meninggalkan
yang tidak baik dan mengerjakan yang di pandangnya baik) dengan cara berlabih
lebihan.
Seperti hadis-hadis yang dibuat Nuh ibn Abi Maryam tentang keutamaan Al-
Quran. Ketika ditanya alasannya melakukan hal seperti itu, ia menjawab, “Saya
dapati manusia telah berpaling dari pembaca Al-Quran maka saya membuat hadis-
hadis ini untuk menarik minat umat kemballi kepada Al-Quran.
Ulama` ulama` su` membuat hadits palsu ini untuk membenarkan perbuiatan
perbuatan para penguasa sehingga dari perbuatannya tersebut, mereka mendapat
upah dengan diberi kedudukan atau harta.
Seperti kisah Ghiyats bin Ibrahim An nakha`I yang datang kepada amirul
mu`minin Al-Mahdi yang sedang bermain merpati.lalu ia menyebut hadits dengan
sanadnya secara berturut turut sampai kepada Nabi SAW.bahwasanya beliau
bersabda: “tidak ada perlombaan kecualai dalam anak panah,
ketangkasan,menunggang kuda atau burung yang bersayap".
1) Rawi tersebut terkenal berdusta (seorang pendusta) dan tidak ada seorang
rawi yang terpercaya yang meriwayatkan hadits dari dia.
2) Pengakuan dari sipembuat sendiri, seperti pengakuan seorang guru
tasawwuf, ketika ditanya oleh ibnu ismail tentang keutamaan ayat Al-Qur’an,
maka dijawab: “tidak seorang pun yang meriwayatkan hadits ini kepadaku. Akan
tetapi, kami melihat manusia membenci Al-qur’an, kami ciptakan untuk mereka
hadits ini (tentang keutamaan ayat-ayat Al-Qur’an), agar mereka menaruh
perhatian untuk mencintai Al-Qur’an.” .
“Tidak sah perlombaan itu, selain mengadu anak panah, mengadu unta,
mengadu kuda, atau mengadu burung”
Ciri yang terdapat pada matan itu dapat dtinjau dari segi makna dan dari
segi lafadznya. Pertama, dari segi makna, misalnya hadits itu bertentangan dengan
ayat Al-Quran atau dalil lain yang mutawatir. Seperti hadits:
Para sahabat di awal- awal Islam atau sejak masa Rasulullah saw masih
hidup sampai masa munculnya fitnah terbunuhnya Utsman bin Affan ra, mereka
saling mempercayai satu sama lain (tsiqah mutabadilah). Para tabi’in tidak ragu-
ragu menerima riwayat/berita dari sahabat tentang hadits Nabi saw. Namun
setelah terjadinya fitnah dan kaum muslimin mulai terpecah ke dalam beberapa
golongan dan mulai tersebar hadits-hadits palsu, maka para sahabat dan tabi’in
mulai ekstra berhati-hati dalam menerima hadits dari para perawinya.
Bentuk kehati-hatian dan ketelitian para sahabat dan tabi’in tersebut adalah
dengan meminta sanad kepada mereka yang menyampaikan hadits, sampai
akhirnya dapat menetapkan sanad suatu berita/riwayat/hadits. Kedudukan sanad
dalam hal ini bagaikan nasab bagi seseorang. Hal ini mirip dengan kaidah berita
pada zaman sekarang yang menetapkan unsur 5W 1H (what, who, why, when,
where & how), namun dalam hadits selain unsur obyektivitas tersebut, masih
membutuhkan subyektivitas yaitu unsur keadilan (ketaqwaan) bagi pembawa
berita, sehingga terjaga kredibilitas suatu berita.
Pada mulanya para sahabat dalam menerima hadits tidak selalu menanyakan
sanadnya. Akan tetapi setelah terjadinya fitnah, mereka meminta untuk
menyebutkan mata rantai sanadnya. Kemudian setelah mendapatkan mata rantai
sanadnya maka ditelitinya. Jika sanad tersebut terdiri dari ahlu sunnah maka
diambilnya dan sekiranya terdapat ahli bid’ah, maka ditolaknya.
Mereka meningkatkan perlawatan mencari hadits dari satu kota ke kota lain
untuk menemui para sahabat yang meriwayatkan suatu hadits. Sejak itu para
penuntut hadits hanya mendengar dari para sahabat saja. Jika mendapatkan hadits
dari selain sahabat, maka dengan segera mengkonfirmasikannya kepada sahabat.
Bahkan Abu Aliyah tidak puas atau tidak ridha jika mendapatkan suatu hadits
yang ia dengar dari sahabat Nabi saw yang tinggal di Bashrah, sekiranya ia tidak
pergi ke Madinah untuk mendengarkan hadits tersebut dari para sahabat yang
berada di sana.
Ada satu hikmah luar biasa yang bisa kita petik, yaitu bahwa fitnah ini
terjadi pada masa sahabat masih hidup, sehingga segala berita/hadits bisa
dikonfirmasi langsung dengan para sahabat yang nota bene adalah orang-orang
yang pernah berinteraksi dengan Rasulullah saw. Seandainya fitnah ini terjadi
pada masa yang jauh dari kehidupan para sahabat, maka betapa besar kesulitan
yang diderita umat Islam untuk melakukan verifikasi suatu berita/hadits. Sebab
dengan itu mata rantai sanad tak tersambung kepada Nabi saw, kalaupun terdapat
sanad, hanya akan terhenti pada masa yang tidak menggapai masa sahabat, atau
sanad yang tidak memiliki kredibilitas yang kuat. Implikasinya adalah akan
terdapat banyak jalan buntu dalam berbagai penelitian dan penelusuran sanad
hadits, serta kemungkinan terjadi kerancuan antara yang haq dan yang batil, antara
hadits-hadits shahih dengan yang palsu, dan seterusnya.
Generasi pada sahabat, tabi’in dan tabi’ut –tabi’in mempelajari biografi para
rawi, tingkah lakunya, kelahiran dan kematiannya, keadilannya, daya ingatnya,
kemampuan hafalan. Hal ini dilakukan untuk membedakan hadits-hadits yang
shahih dan yang palsu. Dalam penelitian tersebut jika terdapat rawi yang memiliki
sifat-sifat tercela maka mereka memberitahukan kepada umum. Dengan tujuan
agar publik mengetahui tentang kedudukan suatu hadits yang diriwayatkan dari si
Fulan. Mereka tanpa diliputi sikap basa-basi mengkritik atau memuji seorang rawi
dengan niat tulus karena takut kepada Allah semata, karena menjaga sunnah atau
hadits Nabi saw dari segala noda adalah termasuk menjaga agamaNya. Jadi jika
mereka memuji seorang rawi, hal itu bukan karena takut, ta’jub atau mungkin
kasihan terhadapnya. Demikian pula jika mereka mengkritik rawi bukan berarti
benci terhadap pribadinya. Karena untuk kepentingan menjaga agama inilah maka
dalam mengkritik atau memuji harus adil, sebatas yang diperlukan serta tidak
berlebihan, tidak keluar dari akar permasalahan.
Oleh karena itu lahirlah kriteria penetapan sifat-sifat rawi yang bisa dan
yang tidak dapat diterima periwayatannya. Para rawi yang tidak boleh diambil
haditsnya adalah:
Bentuk lain dalam upaya penjagaan sunnah dari kepalsuan adalah dengan
membuat ketentuan dan syarat-syarat bagi hadits shahih, hasan dan dha’if.
Hadis maudhu’ juga memiliki ciri-ciri yang terdapat pada sanad yaitu,
rawi tersebut terkenal berdusta (seorang pendusta) dan tidak ada seorang rawi
yang terpercaya yang meriwayatkan hadits dari dia, pengakuan dari sipembuat
sendiri, kenyataan sejarah, keadaan rawi dan faktor-faktor yang mendorongnya
membuat hadits maudhu’. Ciri yang terdapat pada matan itu dapat dtinjau dari
segi makna dan dari segi lafadznya.
Adapun upaya untuk melawan hadis maudhu’ yaitu dengan cara: meng-
isnad hadits (penelusuran mata rantai sumber berita), meningkatkan perlawatan
mencari hadits, mengambil tindakan kepada para pemalsu hadits, menjelaskan
perilaku para pembawa berita (rawi).
DAFTAR PUSTAKA
http://masyud94.blogspot.com/2013/12/normal-0-false-false-false-en-us-x-
none.html?m=1
https://www.google.com/amp/s/nurahmad007.wordpress.com/2012/10/12/upa
ya-pemberantasan-hadits-palsu/amp/