Anda di halaman 1dari 8

Robert Wolter Monginsidi

(1925-1949)
Pahlawan Revolusi Nasional

I.

Biografi
Robert Wolter Monginsidi atau biasa mendapat sebutan dan panggilan
kesayangan Bote. Ia terlahir di pesisir desa Malalayang, Manado Sulawesi Utara
pada tanggal 14 Februari tahun 1925. Tepat di hari yang oleh sebagian besar
masyarakat di belahan bumi ini menyebutnya sebagai hari kasih sayang
atau Valentines day. Wolter Monginsidi lahir dari hasil buah cinta Petrus
Monginsidi dan Lina Suawa. Dia memulai pendidikannya pada 1931 di sekolah
dasar (bahasa Belanda: Hollands Inlandsche School atau (HIS), yang diikuti
sekolah menengah (bahasa Belanda: Meer Uitgebreid Lager Onderwijsatau
MULO) di Frater Don Bosco di Manado. Monginsidi lalu dididik sebagai guru
bahasa jepang pada sebuah sekolah di Tomohon. Setelah studinya, dia mengajar
Bahasa Jepang di Liwutung, di Minahasa , dan di Luwuk, Sulawesi Tengah,
sebelum ke Makassar, Sulawesi Selatan.
Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan saat Monginsidi berada di
Makassar. Namun, Belanda berusaha untuk mendapatkan kembali kendali atas
Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II. Mereka kembali melalui NICA
(Netherlands Indies Civil Administration/Administrasi Sipil Hindia Belanda).
Monginsidi menjadi terlibat dalam perjuangan melawan NICA di Makassar. Pada
tanggal 17 Juli 1946, Monginsidi dengan Ranggong Daeng Romo dan lainnya
membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), yang
selanjutnya melecehkan dan menyarang posisi Belanda. Dia ditangkap oleh
Belanda pada 28 Februari 1947, tetapi berhasil kabur pada 27 Oktober 1947.
Belanda menangkapnya kembali dan kali ini Belanda menjatuhkan hukuman mati

kepadanya. Monginsidi dieksekusi oleh tim penembak pada 5 September 1949.


Jasadnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Makassar pada 10 November
1950.
II.

Penghargaan
Robert Wolter Monginsidi dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh
Pemerintah Indonesia pada 6 November, 1973. Dia juga mendapatkan
penghargaan tertinggi Negara Indonesia, Bintang Mahaputra (Adipradana), pada
10 November 1973. Ayahnya, Petrus, yang berusia 80 tahun pada saat itu,
menerima penghargaan tersebut Bandara Wolter Monginsidi di Kendari, Sulawesi
Tenggara dinamakan sebagai penghargaan kepada Monginsidi, seperti kapal
Angkatan Darat Indonesia, KRI Wolter Monginsidi

III.

Kisah Perjuangan
Penjajahan di Bumi Pertiwi yang tiada berkesudahan dan semakin
menjadi-jadi ternyata mengetuk-ngetuk ruang batin Wolter. Ia betul-betul
terpanggil untuk berjuang bagi Ibu Pertiwi. Dengan semangat yang terbangkitkan
dan jiwa yang terpanggil Wolter berusaha untuk dapat sekolah lagi. Baginya
belajar adalah seumur hidup. Menurutnya ilmu itu penting. Genggaman tangantangan penjajah, semakin membangkitkan semangat juang Wolter Monginsidi,
untuk terus mengejar cita-citanya, belajar dan terus belajar, sampai ia memapaki
kakinya di Makassar dan masuk SNIP Nasional kelas III di tahun 1945.

Lantas apakah Wolter merasa puas berhasil menjajakkan kaki untuk


bersekolah di Makassar? Apa daya, panggilan jiwa untuk berjuang demi bangsa
terasa begitu kuat. Ia rupa-rupanya menjadi tak tahan lagi menyaksikan dan
melihat dengan mata kepala sendiri kekejaman kaum penjajah. Jiwa patriotisme

Wolter begitu menggebu-gebu, seakan mengajaknya untuk menyingsingkan


lengan dan turun tangan langsung menghadapi para penjajah.
Pada waktu itu, sekitar bulan July 1946 diawali dengan adanya sebuah
konferensi terbentuklah sebuah organisasi kelaskaran yang disebut LAPRIS
(Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi) dan Wolter terpilih sebagai
sekjennya. Karena Wolter dapat menunjukkan dirinya sebagai seorang pemimpin
yang berani dan cerdas ternyata membuat ia disegani dan sangat dipercaya.
Bahkan untuk melakukan aksi-aksi berbahaya melawan Belanda Wolter sering
dipercaya untuk bertindak sebagai pemimpin. Sudah banyak perlawanan terhadap
para penjajah yang dipimpin oleh Wolter muda ini.

Namun perjuangannya yang sangat gigih akhirnya kandas pada tanggal 28


Februari 1947 ketika ia ditangkap oleh bala tentara Belanda di Sekolah SMP
Nasional Makassar. Wolter Monginsidi kemudian dipenjara. Kakinya dirantai, dan
dikurung dibalik terali besi.

Sebagai seorang muda yang pantang menyerah dan memiliki semangat


juang tinggi, ia tak lantas putus asa dan menyerah begitu saja. Pantang baginya
untuk menyerah tanpa bereaksi atau berbuat apa-apa. Ia tetap gigih berjuang
walau dari balik terali besi. Hasilnya? Nyata terlihat. Pada suatu malam tepat di
tanggal 17 Oktober tahun 1948, bersama dengan Abdullah Hadade, HM Yoseph
dan Lewang Daeng Matari, Wolter berhasil melarikan diri dari penjara melalui
cerobong asap dapur. Uniknya lagi sebelum pelarian dilaksanakan, kawan-kawan
Wolter dari luar telah menyelundupkan dua buah granat tangan yang dimasukan di
dalam roti.

Sayang sekali, Wolter hanya bisa menghirup udara kebebasannya selama


10 hari. Bahkan impian besarnya untuk terus melawan para penjajah secara
langsung mesti kandas untuk kedua kalinya. Pasukan Belanda berhasil menyekap
Wolter pada tanggal 28 Oktober 1948. Pasukan Belanda dengan cerdiknya
memberikan tawaran uang (Abdullah Hadade ; Rp 300,- HM Yoseph ; Rp 200,dan Lewang Daeng Matari Rp 100,-) bagi siapa saja yang sanggup menyerahkan
Wolter, atau memberitahukan dimana Wolter bersembunyi. Bukan main busuknya
para penghianat tersebut. Hanya dengan uang mereka rela dan tega menghianati
perjuangan yang sudah sementara dibangun dengan darah, keringat, dan air mata.
Hampir di mana saja pasti akan ada mata-mata Belanda. Makanya jangan heran
kalau sampai Wolter pun mengatakanTidak ada lagi bantal untuk kubaringkan
kepalaku di sini.

Ketika Wolter digiring untuk dimasukkan ke dalam tahanan di


Kiskampement Makassar, ia berjalan dengan langkah tegap tapi dengan kepala
yang tertunduk. Sekali-kali ia menoleh kebelakang dengan tatapan sedih, merasa
bahwa perjuangannya belum tuntas. Ia pun harus merelakan perjuangan
panjangnya diteruskan oleh kawan-kawan seperjuangannya yang lain. Lalu
dengan kasarnya tentara Belanda mendorong tubuhnya masuk ke dalam penjara,
kemudian tangan dan kakinya dirantai dan dikaitkan di dinding tembok. Wolter
lantas divonis hukuman mati pada tanggal 26 Maret 1949 oleh hakim Meester B
Damen.

Pada masa penantian hukuman mati yang akan dijatuhkan atasnya, Wolter
mengambil

waktu

untuk

merenungi

kembali

catatan

perjalanan

kepejuangannya. Ia mungkin akan segera mati, tapi ia sungguh tak ingin


keinginan hatinya ikut mati bersamanya. Ia tak sudi motivasi perjuangan
ikut mati bersamanya.Robert Wolter Monginsidi menulis banyak rangkaian kata
penuh makna untuk saudara-saudaranya, dan juga untuk kawan-kawan muda

seperjuangannya sebagai ungkapan keinginan bulatnya dan kesetiaannya


terhadap ibu pertiwi. Tentu juga terkandung segala harapan-harapan besarnya
untuk terus meneruskan perjuangan suci buat bangsanya tercinta. Indonesia.

Ada beberapa goresan penanya dalam menyemangati dan memotivasi


saudara, kawan, rekan-rekan anak bangsa yang akan segera ia tinggal pergi.
Antara lain seperti terbaca di sini:
Jangan takut melihat masa yang akan datang. Saya telah turut membersihkan
jalan bagi kalian meskipun belum semua tenagaku kukeluarkan
Jangan berhenti mengumpulkan pengetahuan agar kepercayaan pada diri
sendiri tetap ada dan juga dengan kepercayaan teguh pada Tuhan, janganlah
tinggalkan Kasih Tuhan mengatasi segala-galanya
Bahwa

sedari

kecil

harus

tahu

berterima

kasih

tahu

berdiri

sendiri.belajarlah melipat kepahitan ! Belajar mulai dari 6 tahundan


jadilah contoh mulai kecil sedia berkorban untuk orang lain
Apa yang saya bisa tinggalkan hanyalah rohku saja yaitu roh setia hingga
terakhir pada tanah air dan tidak mundur sekalipun menemui rintangan apapun
menuju cita-cita kebangsaan yang ketat
Memang betul, bahwa ditembak bagi saya berarti kemenangan batin dan
hukuman apapun tidak membelenggu jiwa
Perjuanganku terlalu kurang, tapi sekarang Tuhan memanggilku, rohku saja
yang akan tetap menyertai pemuda-pemudisemua air mata, dan darah yang
telah dicurahkan akan menjadi salah satu fondasi yang kokoh untuk tanah air
kita yang dicintai Indonesia

Saya telah relakan diriku sebagai korban dengan penuh keikhlasan memenuhi
kewajiban buat masyarakat kini dan yang akan datang, saya penuh percaya
bahwa berkorban untuk tanah air mendekati pengenalan kepada Tuhan yang
Maha Esa
Hari Senin tanggal 05 September 1949 sudah ditetapkan sebagai sebagai
hari penghukuman mati bagi saudara Wolter Monginsidi. Waktu yang ditetapkan
adalah pukul 05.00 subuh. Regu penembak sudah berdiri siap dengan senapan di
tangan. Salah satu putera bangsa terbaik bernama Robert Wolter Monginsidi
dengan gagah berani berdiri tegak di hadapan regu penembak. Ia sudah sangat rela
membiarkan dirinya mati ditembak. Tapi satu hal yang pasti, ia tidak akan pernah
rela perjuangan dan cita-citanya kandas di ujung moncong senapan itu.
Wolter diberikan kesempatan terakhir untuk menulis surat pada secarik kertas. Ia
lantas menuliskan pernyataan keyakinannya kepada Tuhan dan perjuangannya
untuk kemerdekaan Bangsa Indonesia yang sungguh tidak pernah pudar.

Ia menuliskan bahwa ia sudah setia hingga akhir di dalam keyakinan. Ia


juga meminta supaya disampaikan salam ke orang tua dan saudara-saudaranya
yang berada di Malalayang Manado. Ia menuliskan pesan kepada teman-teman
seperjuangannya bahwa ia menjalani hukuman tembak ini dengan tenang, tidak
ada rasa takut dan gentar demi Bangsa Indonesia tercinta.
Catatan

Akhir

Karena Wolter sudah benar-benar siap, dengan santainya ia menjabat


tangan regu tembak yang akan segera menghabisi nyawanya sembari
berkata Laksanakan tugas saudara. Saudara-saudara hanya melaksanakan

tugas dan perintah atasan, saya maafkan saudara-saudara dan semoga


Tuhan mengampuni dosa saudara-saudara.

Akhirnya, ia menatap pasti setiap moncong senjata yang diarahkan tepat


ke tubuhnya. Ia bahkan menolak ketika matanya akan ditutup, lalu berucap
lantang Dengan hati dan mata terbuka, aku ingin melihat peluru penjajah
menembus dadaku. Lalu Wolter berteriak Merdeka.merdeka.merdeka!
dan 8 butir peluru menghantam tubuhnya,yaitu 4 peluru di dada kiri, 1 di dada
kanan, 1 di ketiak kiri menembus ketiak kanan, 1 dipelipis kiri dan 1 di pusar, dan
seketika ia terkulai. Berpulang-lah ia di usia yang masih begitu muda, 24
tahun. SETIA HINGGA TERAKHIR DALAM KEYAKINAN itulah sebuah
tulisan Wolter yang ditemukan pada Alkitab yang dibawanya ketika eksekusi
dilakukan. Itulah akhir kisah perjuangan Robert Wolter Monginsidi. Selamat jalan
Wolter!
IV.

Pesan Moral
Memang masa perjuangan Wolter dapat terbilang singkat ,tetapi masa
perjuangannya ditumpahkan dalam pergulatan batin, wawasan dan cakrawala
pikirannya yang luas semangat nasionalisme dan jiwa patriotisme serta
kecerdasannya tidaklah sependek waktu perjuangan yang dipersembahkannya
untuk ibu pertiwi.
Seperti yang beliau katakan Jika jatuh sembilan kali, bangunlah sepuluh
kali, jika tidak bisa bangun berusahalah untuk duduk dan berserah kepada
Tuhan. Memang benar bahwa raganya boleh mati, tapi perjuangannya jalan
terus.
Beliau mampu menginspirasi masyarakat Indonesia yang kini sudah
mampu menikmati manisnya kemerdekaan. Ia mengajarkan sisi semangatnya
untuk mencari ilmu,rela berkorban memperjuangkan hak-hak yang berhak untuk
ia dan rakyat Indonesia miliki,sifat patriotisme yang tinggi, keberanian,

ketabahannya,serta kesetiaannya kepada tuhan walau cobaan yang ia terima


sangatlah berat.

Anda mungkin juga menyukai