Anda di halaman 1dari 18

Profil & Biografi I Gusti Ngurah Rai, Pahlawan Puputan Margarana I Gusti

Ngurah Rai adalah seorang pahlawan nasional asal provinsi Bali. Pahlawan
yang juga sebagai Kolonel TNI Anumerta yang kelahiran di desa Carangsari,
Petang, Kabupaten Badung, Bali, Hindia Belanda ini mempunyai pasukan
khusus yang dinamai Tokring (Kotok Garing).

Biografi Singkat

Nama: I Gusti Ngurah Rai


Tempat, Tanggal Lahir: Bali, Hindia Belanda, 20 November 1946
Pangkat: Kolonel Letnan
Peperangan: Pertempuran Margarana

Biodata I Gusti Ngurah Rai, Profil I Gusti Ngurah Rai, Foto I Gusti Ngurah
Rai, Karir I Gusti Ngurah Rai, Biografi Singkat I Gusti Ngurah Rai, Kehidupan
Pribadi I Gusti Ngurah Rai, Fakta Seputar I Gusti Ngurah Rai, Kisah
Kepahlawanan I Gusti Ngurah Rai

I Gusti Ngurah Rai yang memimpin pasukan Kotok Garing melakukan


peperangan terakhir mereka melawan Belanda dalam peperangan Puputan
Margaranata. Puputan bermaknakan habis-habisan dalam istilah bahasa Bali.
Sedangkan istilah Margarana bermaknakan Pertempuran di Marga. Marga
ialah suatu tempat setingkat kecamatan yang berada di pinggiran Kabupaten
Tabanan, provinsi Bali.
Puputan Margarana

I Gusti Ngurah Rai memberi perintah terhadap pasukannya agar dapat


memaksa polisi NICA untuk memberikan senjata mereka yang berada di
Kota Tabanan, ketika staf MBP berada di kampung Marga. Perintah tersebut

dilaksanakan dengan baik oleh para pasukan Ngurah Rai dan membuahkan
hasil yang baik pula.

Persenjataan milik NICA pun berhasil direbut oleh pasukan Ngurah Rai.
Salah seorang komandan polisi NICA pun bergabung dengan para pasukan
Ngurah Rai. Kemudian Ngurah Rai dan para pasukannya bergegas kembali
ke kampung Marga setelah menyelesaikan misi merebut senjata NICA.

Sekembalinya I Gusti Ngurah Rai beserta para pasukannya ke kampung


Marga, ternyata sejak dini hari pada tanggal 20 November 1946 Belanda
telah mengepung kampung Marga. Pertemuan antara I Gusti Ngurah Rai
beserta para pasukan dengan NICA memicu kontak senjata yang amat
sengit.

Ngurah Rai dan para pasukannya unggul dalam pertempuran tersebut. Sadar
akan potensi kekalahan, Belanda mendatangkan bala bantuannya yang
bermarkas di Bali dan sejumlah pasukan udara yang bertugas menjatuhi
bom yang datang dari Makassar.

Ngurah Rai beserta para pasukannya bertekad untuk tetap bertempur hingga
titik darah penghabisan. Ditempat inilah Ngurah Rai dan para pasukannya
menyatakan Puputan atau yang dikenal dengan perang habis-habisan di
kampung Margarana.

Sebanyak 96 pasukan termasuk I Gusti Ngurah Rai gugur dalam


pertempuran. Kerugian nampaknya lebih dirasakan oleh pihak Belanda.
Jumlah pasukan belanda yang tewas sebanyak 400 orang. Peristiwa perang
puputan yang terjadi pada tanggal 20 November 1946 tersebut hingga kini
dikenal dengan sebutan perang puputan margarana. Saat ini tempat yang
dijadikan medan pertempuran perang puputan telah berdiri sebuah Tugu
Pahlawan Taman Pujaan Bangsa.

I Gusti Ngurah Rai bersama dengan sebanyak 1372 anggota pejuang Markas
Besar Oemoem (MBO) Dewan Perjunganan Republik Indonesia Sunda Kecil
(DPRI SK) dimakamkan di Kompleks Monumen de Kleine Sunda Eilanden,
Candi Marga, Tabanan.

Perjuangan dan kiprah I Gusti Ngurah Rai tertuang dalam sejumlah buku
semisal Bergerilya Bersama Ngurah Rai (Denpasar: BP, 1994), dan I Gusti
Bagus Meraku Tirtayasa. Buku I Gusti Bagus Meraku Tirtayasa berhasil
menyabet penghargaan Anugerah Jurnalistik Harkitnas ditahun 1993. Ada
pula buku yang berjudul Orang-Orang di Sekitar Pak Rai: Cerita Para
Sahabat Pahlawan Nasional Brigjen TNI anumerta I Gusti Ngurah Rai dan
juga Puputan Margana Tanggal 20 November 1946 oleh Wayan Djegug A
Girl.

Berkat kiprah dan jasa I Gusti Ngurah Rai dalam memperjuangkan


kemerdekaan Indonesia, pemerintah Republik Indonesia menyematkan
anugerah Bintang Mahaputra dan sebuah pangkat yakni Brigjen TNI
(anumerta).
Pemerintah
juga
mengabadikan
namanya
sebagai
penghormatan bagi I Gusti Ngurah Nyai sebagai nama sebuah Bandar udara
(Bandara) yang ada di Provinsi Bali yakni Banda Udara I Ngurah Rai.

Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/I_Gusti_Ngurah_Rai
https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Bali#Puputan_Margarana

Profil I Gusti Ngurah Rai

Biografi I Gusti Ngurah Rai Tokoh Pahlawan Nasional


Nama : I Gusti Ngurah Rai
Lahir : Petang, Kabupaten Badung, Bali, Hindia Belanda | 30 Januari 1917
Meninggal : Marga, Tabanan, Bali | 20 November 1946 (umur 29)
Makam : Taman Makam Pahlawan Margarana Bali
Agama : Hindu
Zodiac : Aquarius
Warga Negara : Indonesia

Biografi I Gusti Ngurah Rai

I Gusti Ngurah Rai, adalah pahlawan nasional dari daerah Bali. Terkenal
dengan gagasan perangnya yakni Puputan Margarana yang berarti perang
secara habis-habisan di daerah Margarana (Kecamatan di pelosok Kabupaten
Tabanan, Bali). Memiliki darah pejuang dengan tanah kelahiran Badung, Bali
pada 30 Januari 1917. Ia merupakan anak camat yang bernama I Gusti
Ngurah Palung. Hal ini pula yang menjadikan ia berkesempatan untuk
bersekolah formal di Holands Inlandse School (HIS). Untuk mengenal lebih
mendalam, mari kita ulas bersama biografi I Gusti Ngurah Rai.
Biografi I Gusti Ngurah Rai diawali dengan perjalanan pendidikannya di masa
kecil. I Gusti Ngurah Rai memilih untuk mengawali pendidikan formalnya di
Holands Inlandse School di Bali. Setelah tamat dari HIS ia melanjutkan ke
MULO (setingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) di Malang. Selanjutnya
ia memperdalam ilmu kemiliterannya di Prayodha Bali, Gianyar dilanjutkan
pendidikan di Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO) di Magelang
dan pendidikan Arteri Malang. Berkat pendidikan militer yang banyak serta
kecerdasan yang ia miliki, ia sempat menjadi intel sekutu di daerah Bali dan
Lombok.

Biografi I Gusti Ngurah Rai berlanjut pada masa perjuangan melawan


penjajah colonial. Setelah pemerintahan Indonesia merdeka, I Gusti Ngurah
Rai membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Sunda Kecil dan di Bali dan
memiliki pasukan bernama Ciung Wanara. Pasukan ini dibentuk untuk
membela tanah air guna melawan penjajah di daerah Bali. Sebagai seorang
Komandan TKR di Sunda Kecil dan, ia merasa perlu untuk melakukan
konsolidasi ke Yogyakarta yang menjadi markas TKR pusat. Sampai di
Yogyakarta I GUsti Ngurah Rai dilantik menjadi komandan Resimen Sunda
Kecil berpangkat Letnan Kolonel. Sekembalinya dari Yogyakarta dengan
persenjataan, I Gusti Ngurai Rai mendapati Bali telah dikuasai oleh Belanda
dengan mempengaruhi raja-raja Bali.
Biografi I Gusti Ngurah Rai berlanjut dengan meletusnya perang di Bali.
Setelah kepulangannya dari Yogyakarta Ia mendapati pasukan Belanda
dengan 2000 pasukan dan persenjataan lengkap dan pesawat terbang siap
untuk menyerang I Gusti Ngurah Rai dengan pasukan kecilnya. Bersama
dengan pasukan Ciung Wanaranya, I Ngurah Rai berhasil memukul mundur
pasukan Belanda pada saat itu pada tanggal 18 November 1946. Namun hal
ini justru membuat pihak Belanda menyiapkan bala tentara yang lebih
banyak dari Pulau Jawa, Madura dan Lombok untuk membalas
kekalahannya. Pertahanan I Gusti Ngurah Rai berhasil dipukul mundur dan
hingga akhirnya tersisa pertahanan Ciung Wanara terakhir di desa
Margarana. Kekuatan terakhir ini pun dipukul mundur lantaran seluruhnya
pasukannya jatuh ke dasar jurang. Hal ini pulalah yang diabadikan dengan
istilah puputan Margarana (perang habis-habisan di daerah Margarana) pada
tanggal 20 November 1946.
Berkat usaha yang gigih memperjuangkan Bali untuk masuk menjadi
kekuasaan Indonesia (sesuai kesepakatan Linggarjati hanya Sumatra, Jawa,
dan Madura yang masuk kekuasaan Indonesia) Ngurah Rai mendapat gelar
Bintang Mahaputra dan
dan kenaikan pangkat
menjadi Brigjen TNI
(Anumerta). Ia meninggal pada usia 29 tahun dan memperoleh gelar
pahlawan nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 63/TK/1975 tanggal 9
Agustus 1975. Namanya pun diabadikan menjadi nama Bandara di kota Bali.

Pendidikan I Gusti Ngurah Rai


HIS, Denpasar

MULO, Malang
Prayodha Bali, Gianyar, Bali
Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO), Magelang
Pendidikan Artileri, Malang

Karir I Gusti Ngurah Rai


Brigjen TNI (anumerta)
Letnan Kolonel
Letnan II

Penghargaan I Gusti Ngurah Rai


Bintang Mahaputra
Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI no 63/TK/1975 tanggal 9
Agustus 1975
Demikian Biografi I Gusti Ngurah Rai yang sempat biografipahlawan.com
sajikan kepada pembaca, semoga bermanfaat dan dapat menjadi tauladan
atas kegigihannya.

Sumber: http://profil.merdeka.com/indonesia/i/i-gusti-ngurah-rai/

DENPASAR - Bali sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia


(NKRI) juga tak luput dari agresi kolonial Belanda. Sejarah mencatat kendati
akhirnya gugur di medan perang namun sosok Pahlawan I Gusti Ngurah Rai
menjadi simbol perjuangan rakyat Bali hingga titik darah penghabisan.
Ngurah Rai membuktikan kecintaan dan rasa patriotisme terhadap Tanah Air
dalam mempertahankan kemerdekaan.

Gugurnya Ngurah Rai yang mendapat gelar Pahlawan nasional dengan


pangkat terakhir Brigjen Anumerta, meninggalkan kisah yang tak pernah
habis. Namanya menginspirasi perjuangan tidak hanya bagi keluarga dan
keturunannya namun juga generai penerus di Pulau Seribu Pura.

Sebagai bentuk penghormatan atas jasanya pula, nama Ngurah Rai


dijadikan nama jalan hingga bandara internasional. Ngurah Rai gugur pada
20 November 1946 dalam peperangan Puputan Margarana yang oleh
sebagian sejarawan disebut pula Perang Bali.

Ngurah Rai yang lahir 17 Januari 1917 tersebut mulai terlihat kecerdasan
dan jiwa kepemimpinannya kala beranjak menjadi pemuda.

Bahkan, dia satu-satunya putra Bali yang berhasil masuk ke Akademi Militer
Belanda sampai kemudian meraih pangkat Kapten.

Sebagaimana diceritakan oleh I Gusti Ayu Inda Trimafu Yuda (38), salah
seorang cucu Ngurah Rai bahwa sang kakek setelah menikah dengan Desak
Putu Kari (90) dan dikaruniai tiga anak, harus sudah berperang angkat
senjata.

Tiga anak Ngurah Rai, yakni I Gusti Ngurah Yudana, I Gusti Ngurah Tantra
dan I Gusti Ngurah Alit Yudha. Kendati merindukan keluarga dan anakanaknya yang masih kecil, namun panggilan perjuangan membela Tanah Air
lebih kuat sehingga dia rela meninggalkan keluarganya.

Bersama pasukannya, semasa zaman pergerakan, Ngurah Rai memimpin


perjuangan gerilya dari satu tempat pindah ke tempat lainnya. "Beliau
sebagai Komandan Resimen Sunda Kecil yang menjadi cikal bakal Kodam IX
Udayana sekarang," tutur Ayu Inda baru-baru ini.

Suatu kali, dia dibujuk oleh komandan tentara Hindia Belanda agar
menyerah dan bersedia melepaskan Bali dari NKRI. Sang komandan itu,
merupakan sahabat Ngurah Rai yang pernah berperan mengusir Jepang dari
Indonesia.

Kendati bersahabat namun dalam hal prinsip Ngurah Rai bergeming tidak
mau menyerah apalagi terkait masa depan NKRI.

"Ngurah Rai tidak mau berkompromi dengan Belanda dengan mengatakan,


Bali bukan tempat berkompromi," sambung Ayu Inda.

Apa yang disampaikan itu bersumber dari referensi buku-buku sejarah


termasuk cerita orang tua dan kearabat seperjuangan Ngurah Rai semasa
hidup.

Menggalang kekuatan pemuda berperang mengusir penjajah bukanlah


perkerjaan mudah di tengah tekanan dan intimidasi yang cukup kejam dari
Belanda. Bahkan, dalam suatu kisah, pemuda yang ketahuan memakai pin
atau lencana merah putih, maka diperintahkan lencana itu agar ditelan.

Semasa bergerilya, sosok Ngurah Rai yang didampingi pejuang lainnya


seperti Wisnu di Singaraja, dirindukan masyarakat. Tak jarang, mereka ingin
bersama-sama berjuang kemanapun Ngurah Rai pergi. Namun, sebagai
pimpinan militer, hal itu tidak mungkin dilakukan karena akan
membahayakan strategi perjuangan.

Menurut I Gusti Ngurah Agung Danil Yunanda Yuda (42) cucu Ngurah
lainnya, ada yang menyebut perang Puputan Margarana di Kabupaten
Tabanan yang dipimpin Ngurah Rai sebagai Perang Bali.

Demikian pula, dengan istilah perang puputan yang artinya perang sampai
titik darah penghabisan dikobarkan oleh Ngurah Rai. Hanya saja, hal itu
masih terjadi kontroversi lantaran sebagai seorang yang dididik militer,
Ngurah Rai tentu lebih memiliki strategi dan taktik peperangan tertentu.

Konon, saat perang tersebut, seluruh pasukan Ngurah Rai akhirnya gugur
dan teriakan perang puputan pertama kali digelorakan para pejuang.
Terlepas dari kontroversi itu, sambung Agung Danil, jiwa patriotisme sang
kakek tidak diragukan lagi mengurbankan jiwa raganya untuk membela
NKRI.

"Beliau meninggal dalam usia masih muda 27 tahun, dalam perang Puputan
Margarana," imbuhnya,

Saat gugur bersama ratusan bahkan ribuan pejuang lainnya di Bali itu,
akhirnya Ngurah Rai mendapat kenaikan pangkat menjadi Kolonel Anumerta.
Semasa zamannya, Ngurah Rai satu-satunya putra Bali yang mendapat gelar
kehormatan kenaikan pangkat sampai tiga kali.

"30 tahun kemudian Ngurah Rai mendapat gelar kepahlawanan dengan naik
pangkat menjadi Brigjend Anumerta,"imbuhnya,

Kini, setelah puluhan tahun sang kakek pergi ke alam baka keluarga besar
Ngurah Rai senantiasa mengenang perjuangannya yang demikian gigih
mempertahankan NKRI. Bersama anak-anak pahlawan dan veteran lainnya
setiap tanggal 20 November selalu pergi ke pusara Taman Makam Pahlawan
untuk mengenang jasa-jasa pahlawan dan mendoakan mereka.

"Perjuangan beliau menjadi spirit kami generasi penerus untuk berjuang di


segala bidang dan konteks kekinian, kami bangga dengan kepahlawanan
beliau," tutupnya.

BaleBengong

15 Mu st read arti cles

DW Focus
Search

Beranda

Galeri

Gaya Hidup

Lingkungan

Opini

Sosial Budaya

Sosok

Teknologi
KABAR TERBARU:

Budi Susila, Sang Guru Daur Ulang - July 30, 2016

Menunggu adalah Musuh Peserta BPJS Kesehatan - July 25, 2016

Indonesia sebagai Bagian dari Austronesia - July 20, 2016

Belajar bersama KASTI: Teknik SEO untuk Blog - July 19, 2016

Fenomena Warung Muslim di Bali - July 16, 2016


Search

Menapak Jejak Perlawanan


Ngurah Rai

Travel

August 9, 2008 oleh: Luh De Suriyani


Oleh Luh De Suriyani

Ladang-ladang jagung di Marga, Tabanan, Bali yang lebat dan tinggi menjadi benteng terakhir
pertahanan pasukan Tjiung Wanara pinpinan Letnan Kolonel I Gusti Ngoerah Rai. Marga di Kabupaten
Tabanan adalah babak terakhir hidup penuh perjuangan Ngoerah Rai, pemuda kelahiran Carangsari,
Badung, 30 Januari 1917 ini.
Usianya baru 29 tahun ketika itu. Setelah Proklamasi Kemerdekaaan dikumandangkan, Ngoerah Rai
menjadi Komandan Resimen Sunda Ketjil. Ia dan pasukannya, Tjiung Wanara, kemudian melakukan

longmarch merayakan proklamasi ke Gunung Agung, ujung timur Pulau Bali. Pasukan ini kemudian
dicegat serdadu Belanda di Desa Marga.
Ketika itu, pagi hari pada 20 November 1946. Bunyi letupan senjata tiba-tiba serentak mengepung ladang
jagung di daerah perbukitan, sekitar 40 kilometer dari Denpasar itu.
Pasukan pemuda Tjiung Wanara yang siap dengan pertahanannya menunggu komando Gusti Ngoerah
Rai untuk membalas serangan. Begitu tembakan tanda menyerang diletuskan, puluhan pemuda
menyeruak dari ladang jagung dan membalas sergapan tentara Indische Civil Administration (NICA)
bentukan Belanda. Dengan senjata rampasan, Tjiung Wanara berhasil memukul musuh.
Namun, pertempuran belum usai. Kali ini, bukan hanya letupan sejata yang terdengar, NICA
menggempur pasukan muda Gusti Ngoerah Rai ini dengan bom dari pesawat udara. Hamparan sawah
dan ladang jagung yang subur itu kini menjadi ladang pembantaian penuh asap dan darah.
Perang sampai habis atau puputan inilah yang mengakhiri hidup Ngurah Rai. Ini yang kemudian dicatat
sebagai peristiwa Puputan Margarana. Malam itu pada 20 November 1946 di Marga adalah sejarah
penting perjuangan rakyat di Indonesia melawan kolonial Belanda.

Ladang jagung itu kini berubah menjadi Monumen Nasional Taman Pujaan Bangsa Margarana. Sebuah
tugu segi lima setinggi 17 meter dibangun di tengah areal monumen. Foto I Gusti Ngurah Rai terpasang di
sisi depan tugu yang disebut Candi Pahlawan Margarana. Berdiri depan tugu ini seperti melompat ke
masa lalu, mengingat para pemuda Bali yang kini namanya terpahat di nisan-nisan monumen.

Sesaji berupa canang (persembahan terbuat dari anyaman janur dan bunga) dan ceceran bungan terlihat
di sekitar tugu. Sejumlah remaja juga tengah menyiapkan sesaji penghormatan pada Ngurah Rai dan 1371
orang pahlawan lainnya yang juga dimakamkan di kawasan ini.

Jiwa Gusti Ngurah Rai akan terus abadi, walau sudah puputan. Beliau masih muda, ujar Jero Mangku
Margarana, seorang pria tua yang delapan tahun memimpin persembahyangan di area tugu di Candi
Pahlawan Margarana.
Proklamsi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945 tercakup dalam sejumlah simbol di tugu ini. Tinggi tunggu
dibuat 17 meter, lalu jumlah meru atau tumpukkan tugu 8 (bulan kedelapan), jumlah anak tangga empat
buah, dan tugu bersegi lima. Suasana sejuk, rindang, dan perbukitan di utara menambah asri kawasan
monumen ini.
Setiap tahun, saat pergantian tahun ajar, ribuan siswa secara rutin menguntungi tempat ini. Selain situs
sejarah, kawasan ini memang sangat enak menjadi tempat rekreasi pendidikan. Bahkan untuk keluarga
juga.
Kawasan ini terbagi menjadi beberapa bagian. Depan pintu masuk adalah Patung Panca Bakti. Yakni lima
buah patung gerilya terdiri atas pemuda, buruh, alim ulama, tani, dan wanita tengah bergerilya,
menggambarkan persatuan dalam perjuangan kemerdekaan. Bagian tengah berdiri Candi Pahlawan
Margarana berisi foto Ngurah Rai dan surat penolakan berundingnya pada Belanda.
Bagian belakang adalah Taman Bahagia, terdiri dari 1372 buah nisan dari pejuang yang gugur. Nisan
berarsitektur simbol agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen, mencerminkan keyakinan yang dianut
pahlawan-pahlawan itu. Di sisi timur ada Gedung Sejarah berisi museum kecil yang merangkum jejak

perjuangan I Gusti Ngurah Rai, persenjataan sederhana pasukan Tjiung Wanara, dan lainnya yang cukup
menarik.

Selain itu ada Taman Suci, Taman Seni Budaya, dan Taman Karya Alam yang diperuntukkan untuk
kegiatan rekreasi dan edukasi.
Kolam-kolam penuh ikan, balebengong, pohon-pohon rindang, dan perbukitan di utara kawasan ini
menjadikan kawasan ini nyaman. Makam pahlawan yang terawat dan halaman rumpu yang bersih akan
mendukung berbagai kegiatan edukasi sejarah bagi siswa dan masyarakat yang berkunjung. Suasana ini
sangat mendukung kegiatan diskusi atau refleksi sejarah ketika kita berusaha merekonstruksi peristiwa
puputan 20 November itu. Yang kurang hanya informasi dan suasana interaktif bagi pengunjung.
Sementara di Denpasar, sebuah monumen megah juga didirikan untuk memudahkan kita mengenal
perjuangan rakyat Bali merebut kemerdekaan dari penjajah. Sebuah museum dalam monumen, bernama
Monumen Perjuangan Rakyat Bali Bajra Sandhi. Berlokasi di Jl. Puputan Niti Mandala Renon.
Museum ini tak hanya merekam jaman perjuangan kemerdekaan tapi jaman pra sejarah dan kehidupan
orang Bali. Jejak perjuangan Ngurah Rai diperlihatkan dalam diorama yang memperlihatkan babakbabak penting sejarang Bali. I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya digambarkan sedang menyusun taktik
dan ketika perang Puputan Margarana.
Suatu perjalanan napak tilas yang menarik. Membuka ingatan pada jiwa-jiwa kepahlawanan masa lalu,
untuk direkonstruksi sesuai konteks masa kini. [b]
Sharing

Twitter0

Facebook2

Google +0

Linkedin0

Email this article

Print this article

Authors

Luh De Suriyani

Luh De Suriyani
Lahir dan besar di Denpasar. Ibu dua anak lelaki, tinggal di pinggiran Denpasar Utara. Anak dagang soto
karangasem ini alumni Pers Mahasiswa Akademika dan Fakultas Ekonomi Universitas Udayana. Pernah
jadi pemimpin redaksi media advokasi HIV/AIDS dan narkoba Kulkul. Sambil mengasuh Bani dan Satori,
juga menulis lepas untuk sejumlah media seperti Bali Buzz dan portal Mongabay.

Komentar via Facebook


BERGABUNG MENJADI KONTRIBUTOR

Facebook

BaleBengong

Travel

Menapak Jejak Perlawanan Ngurah Rai

Site index

META

Register

Log in

Entries RSS

Comments RSS

WordPress.org

IDENTITAS

Tentang Kami

Kontak

Panduan Logo

INFORMASI

Iklan

Peringatan

Kontributor

Bagi Beritamu!

Tanya Jawab

JARINGAN

Bali Blogger Community

Bali Outbound Community

Kisara Bali

Startup Bali

Taman 65

Toko Bunga Bali

Web Hosting Indonesia

NEWSLETTER

First Name:

Email address:
Sign up

1471482472

mc4w p-form-1

4782a4481e

Creative Commons by Bale Bengong. Proudly powered by WordPress


BaleBengong

Anda mungkin juga menyukai