Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS AKHIR SEMESTER

PADA MATA KULIAH ILMU PERBANDINGAN

DIBUKANYA PINTU IJTIHAD KEMBALI

DOSEN PENGAMPU:
Prof. Dr. H. Makhrus Munajat, S.H., M.Hum.

Oleh:
Ibnu Mujahid, S.H.
NIM: 20913068

PROGRAM MAGISTER ILMU AGAMA ISLAM


KONSENTRASI HUKUM ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

‫الر ِح ْي ِم‬ َّ ‫بِ ْس ِم اللَّ ِه‬


َّ ‫الر ْح َم ِن‬
ِ ِ ‫ و َعلى آلِ ِه و‬،‫ف اَأْلنْبِي ِاء والْـمرسلِين‬
ِ ‫الساَل م َعلَى َأ ْشر‬ ِ ِّ ‫ْح ْم ُد لِلَّ ِه َر‬
.‫ين‬ ْ ‫ص ْحبِه‬
َ ‫َأج َـمـع‬ َ َ َ َ َ ْ َ ُْ َ َ َ ُ َّ ‫الصاَل ةُ َو‬
َّ ‫ َو‬،‫ين‬
َ ‫ب ال َْعالَم‬ َ ‫اَل‬
Rasa syukur yang tiada hentinya kita ucapkan kepada Allah Swt, yang Maha Kuasa dan
Maha Berkehendak. Kepada-Nya juga kita sampaikan pujian atas keleluasaan ilmu dan
pikiran hingga mampu memahami sebagian dari ilmu-Nya. Shalawat serta salam tidak
hentinya kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Saw, kepada keluarga-
keluarga beliau, kepada sahabat-sahabat beliau dan kepada pengikut-pengikut beliau yang
senantiasa istiqamah menjalankan sunnah- sunnah beliau hingga akhir zaman.

Kami selaku penulis mengucapkan terima kasih kepada ayahanda Prof. Dr. H. Makhrus
Munajat, S.H., M.Hum. selaku dosen pengampu mata kuliah Ilmu Perbandingan Madzhab
yang telah memberikan arahan serta bimbingan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini
dengan baik. Di dalam makalah ini penulis menjelaskan tentang Dibukanya Pintu Ijtihad
Kembali. Penulis sadar bahwa makalah ini masih sangat banyak kekurangan bahkan mungkin
kesalahan, untuk itu penulis mohon masukan serta saran khususnya dari Bapak Dosen Prof.
Dr. H. Makhrus Munajat, S.H., M.Hum. serta teman-teman semua.

Kami sudah menyelesaikan dengan semaksimal mungkin dalam pembuatan makalah


ini, namun tidak menutup kemungkinan terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini,
untuk itu diperlukan kritik dan saran yang bersifat membangun. Dengan demikian kami
mengucapkan terima kasih.

Penulis

Ibnu Mujahid, S.H.

DAFTAR ISI

ii
SAMPUL....................................................................................................................................i

KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii

DAFTAR ISI............................................................................................................................iii

BAB I.........................................................................................................................................1

PENDAHULUAN.....................................................................................................................1

A. Latar Belakang...............................................................................................................1

B. Rumusan Masalah..........................................................................................................2

BAB II.......................................................................................................................................3

PEMBAHASAN.......................................................................................................................3

A. Hakikat Ijtihad................................................................................................................3

B. Syarat-Syarat Mujtahid..................................................................................................5

C. Terbuka dan Tertutupnya Pintu Ijtihad..........................................................................8

BAB III....................................................................................................................................14

KESIMPULAN.......................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam sebagai agama yang mengatur segala sendi kehidupan umatnya diturunkan
dengan membawa aturan-aturan hukum yang dapat dipedomi guna kemaslahatan hidup.
Sumber hukum utama dalam Islam adalah Al Qur’an dan Sunah Nabi, meski dalam
penerapannya masih memerlukan proses penggalian yang mendalam sehingga diperoleh
suatu keputusan hukum yang baku. Setiap muslim meyakini bahwa semua tingkah laku di
dunia itu pasti ada aturan dasarnya dari Allah. Seandainya tidak ditemukan secara jelas dan
langsung pada titah Allah, tentu akan ditemukan pada apa yang tersirat di balik titah Allah.
Seandainya juga tidak dapat ditemukan dalam apa yang tersirat dalam di balik titah Allah itu,
pasti akan ditemukan tersuruk dalam kandungan maksud Allah dalam menetapkan titahnya
dengan menggunakan kecerdasan akal yang secara popular disebut ijtihad.1 Dengan ijtihad ini
maka lahirlah sumber hukum yang lain yakni ijma’ dan qiyas.
Seorang mujtahid dalam melakukan ijtihad akan mengerahkan segala kemampuannya
untuk memahami dan menggali suatu kaidah hukum sehingga ia mendapatkan pedoman
dalam menetapkan hukum yang berkaitan dengan suatu permasalahan. Tidak semua orang
dapat berijtihad, sebab seorang mujtahid mesti memenuhi kriteria-kriteria tertentu guna
memahami teks-teks ayat ataupun hadis yang menjadi rujukannya.
Ijtihad sangatlah penting guna menjaga tetap lestari dan berlakunya hukum Islam. Hal
ini dapat dimengerti sebab suatu hukum harus mampu menyesuaikan waktu dan tempat
dimana kehidupan berlangsung, juga harus mampu memberikan solusi tepat bagi
problematika kehiupan umat. Kaitannya dengan ijtihad sebagian ulama menyatakan bahwa
ijtihad dapat dilakukan di setiap saat dan tempat, meski sebagian yang lain berpendapat
bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Hal ini terlihat sangat kontradiktif dan dapat
membingungkan bagi umat sekaligus memberikan celah bagi mandegnya proses istinbath
hukum.
Guna memperoleh pemahaman yang benar dan akurat mengenai seluk-beluk ijtihad
dan tentang tertutup dan terbukanya pintu ijtihad ini, maka penyusun makalah mencoba
menggali dan mengkaji lebih lanjut mengenai hal tersebut dalam makalah ini.

1
hamdi yuslian, Pintu Ijtihad Tertutupkah?, jurnal islam Futura, vol. VI, No. 2, Tahun 2007

iv
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka dalam makalah ini penyusun akan membahas
tentang:
1. Apa hakikat Ijtihad?
2. Bagaimana Syarat-syarat Mujtahid?
3. Bagaimana tertutup dan terbukanya pintu ijtihad?

BAB II

v
PEMBAHASAN

A. Hakikat Ijtihad
Secara etimologi, ijtihad berasal dari kata al jahd atau al juhd, yang berarti al masyaqat
(kesulitan dan kesusahan) dan at-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dalam bentuk
masdhar kata ijtihad mempunyai arti “usaha itu lebih sungguh-sungguh.2 Ada juga yang
menyatakan bahwa ijtihad berasal dari kata jahada yang berarti mencurahkan segala
kesempurnaan atau menanggung beban kesulitan. Kata ijtihad mengikuti wazan ifti’al yang
berarti “bersangatan dalam pekerjaan”.3
Ijtihad juga dikatakan sebagai bentuk kalimat masdar dari kata al- Ijtihad dan al-tahajud,
berarti penumpahan segala kesempatan dan tenaga. 4 Al-ijtihad yang berasal dari kata jahada
juga dimaknai sebagai mencurahkan segala kemampuan atau memikul beban. Usaha
sungguh-sungguh yang dilakukan seorang mujtahid untuk mencapai suatu putusan syara’
(hukum Islam) tentang kasus yang penyelesaiannya belum tertera dalam Al Qur’an dan
Sunnah Rasulullah saw.5 Definisi ijtihad secara bahasa juga diartikan sebagai mengerahkan
segala kemampuan dan kekuatan (badzl al-wus’i wa al-thaqah) dan berlebihan dalam
bersumpah (al-mubalaghat fi al yamin).6 Sedangkan dalam buku, “Metodologi Studi Islam”
disebutkan, arti bahasa kata ijtihad itu didasarkan pada kata jahda (bentuk mashdar dari fi’il
madi jahada) seperti disinyalir dalam beberapa ayat Al Qur’an, diantaranya QS. al-Nahl: 38

‫واقسموا باهلل جهد امياهنم اليبعث اهلل من ميوت بلى وعداهلل حقا ولكن اكثرالناس اليعلمون‬
“Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yan sungguh-sungguh: Allah
tidak akan membangkitkan orang yang mati. (Tidak demikian) bahkan (pasi Allah akan
membangkitkannya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.” (QS. al-Nahl: 38).7

2
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Cet III, (Bandung,CV Pustaka Setia,2007), hal 97 – 98

3
Muhammad Abu Zahrah,Ushul al Fiqh,(Kairo,Dar al Araby,tt), hal 379

4
Jamaluddin Muhammad bin Muharram Ibnu Manzūr, Lisan al-Arab, Juz. III (Mesir: Dar Mishriyah
al-Ta’lif wa al-Tarjamah, t.th.), hal. 107-109.

5
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hal. 669

6
Atang Abd. Hakim & Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2012), hal. 96
7
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Surabaya: Al-Hidayat, 1998), hal 407-408

vi
Berdasarkan peninjauan dari sudut etimologi ini, selanjutnya al-Gazali merumuskan
pengertian ijtihad dalam arti bahasa sebagai‚ pencurahan segala daya usaha dan penumpahan
segala kekuatan untuk menghasilkan sesuatu yang berat atau sulit. 8 Dengan demikian, dapat
dirumuskan bahwa melakukan ijtihad bukanlah aktivitas yang mudah dan gampang, tetapi
mengandung kesulitan serta membutuhkan pengarahan tenaga dan daya pikir yang maksimal
untuk menemukan apa yang dicari.
Secara terminologi, ulama berpendapat dalam memberikan definisi tentang ijtihad.
Ulama Ushuliyin mendefinisikan ijtihad sebagai usaha mencurahkan segenap kemampuan
dan kesanggupan intelektual dalam mengistinbathkan hukum praktis yang diambil dari dalil-
dalil yang terperinci.9 Al-Gazali mengatakan bahwa ijtihad adalah pengerahan segala
kemampuan oleh seorang mujtahid untuk mengetahui secara pasti hukum-hukum syara’.
Sedangkan Abu Zahrah mendefinisikan ijtihad sebagai daya upaya semaksimal mungkin dari
pakar hukum Islam dalam mengistinbatkan hukum yang bersifat praktis (amaliyah) yang
terambil dari dalil-dalil yang terperinci.10
Definisi tersebut membatasi ruang lingkup ijtihad hanya pada persoalan yang bersifat
praktis/amaliyah dalam peringkat zanni. Tetapi Dr. Yusuf Qardawi seorang ulama dan pakar
hukum Islam kontemporer, tidak membatasi lapangan ijtihad tetapi ijtihad dapat berbentuk
perundang-undangan, fatwa dan penelitian ilmiah. Ijtihad dalam bentuk fatwa dilakukan
secara kolektif dengan melibatkan beberapa individu dari pakar-pakar yang memiliki disiplin
ilmu yang beragam, seperti dalam masalah-masalah kontemporer. Sedangkan ijtihad dalam
masalah-masalah penelitian muncul melalui tesis, disertasi dan buku-buku ilmiah.11
Menurut Abdul Karim al-Khatib, ijtihad adalah mengerahkan segala potensi dan
kemampuan yang dimiliki oleh seseorang yang memiliki kualifikasi secara keilmuan,
pemahaman dan keyakinan teologis, untuk menetapkan hukum-hukum praktis syari’at Islam
disertai dengan dalil-dalil yang diulas secara detail dan argumentatif. 12 Oleh karena itu,
menurut definisi di atas disimpulkan bahwa pengertian ijtihad yakni segala daya upaya yang
mengarah kepada pengkajian dan penalaran dalam berbagai disiplin ilmu, terutama dalam
8
Al-Gazali, Al-Mushtashfa , Juz. II (Mesir: Al-Mathba’ah al-Amiriyyah, 1324 H.), hal. 350

9
Muhammad Abu Zahrah,Ushul al Fiqh,(Kairo,Dar al Araby,tt), hal 379

10
Muhammad Abu Zahrah, Ushūl Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th.), hal. 356.

11
Yusuf al-Qardhawi, Ijtihad al-Muatsir Bayna al-Indibat wa al-Infirath, (Cet. I; Kairo: Dar Tawzi’ wa
al-Nasyr al-Islami, 1914 H/1994 M), hal. 34-36

12
Abdul Karim al-Khatib, Ijtihad Menggerakkan Potensi Dinamis Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2005), hal. 29

vii
ilmu hukum Islam dan ilmu-ilmu lainnya dalam menemukan dan menetapkan hukum yang
tersirat didalam dalil nash.
Dari beberapa penjelasan yang tersebut diatas, maka dapat penulis pahami bahwa
pengertian ijtihad adalah proses pengerahan segala kesanggupan seorang faqih yang juga dari
golongan ushuliyyun untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil
syara’ guna menghasilkan hukum syar’i yang amali dan berpedoman dari dalil yang
terperinci (tafshili).

B. Syarat-Syarat Mujtahid
Mujtahid sebagai seseorang yang melakukan pengambilan hukum dari Nash yang
qath’i baik itu Al Qur’an maupun Hadis Nabi terhadap suatu permasalahan baru yang muncul
kemudian, maka sudah seharusnya harus memenuhi beberapa kriteria tertentu sehingga
fatwanya bisa diamalkan oleh orang lain. Diantara syarat-syarat tersebut diantaranya Al-
Suyuthi menyebutkan beberapa syarat untuk menjadi mujtahid. Pertama, adalah menguasai
ilmu Al Qur’an, termasuk nasikh mansukh dan asbab al-nuzul. Kedua, menguasai ilmu Hadis
dan hal-hal yang terkait dengannya. Ketiga, menguasai ushul fiqh. Keempat, menguasai ilmu
bahasa Arab. Kelima, menguasai ijma’ dan ikhtilaf. Keenam, menguasai ilmu hitung (ilm
faraidh). Ketujuh, menguasai fiqh al-nafs. Ketujuh, menguasai ilmu akhlaq.13
Selanjutnya dalam kitab Nailul Awthar li al-Syaukany disebutkan selain menguasia Al
Qur’an dan Hadis ada juga beberapa syarat mufti yang harus dipenuhi yaitu mengetahui
nasikh dan mansukh, mengetahui ushul fiqh, mengetahui ilmu-ilmu bahasa arab seperti
nahwu, sharaf, balaghah, dan sejenisnya, juga mengetahui ijma’ agar ijtihad yang dihasilkan
tidak bertentangan dengan ijma’.
Sedangkan Abu Ishaq bin Musa al-Syatibi membagi syarat mujtahid menjadi tiga
bagian; pertama, memahami tujuan-tujuan syara’ (maqashid al-syari’ah), yaitu dharuriyat
yang mencakup pemeliharaan agama (hifzh al-din), pemeliharaan jiwa (hifzh al-nafs),
pemeliharaan akal (hifzh al-‘aql), pemeliharaan keturunan (hifzh al-nasl), dan pemeliharaan
harta (hifzh al-mal); kedua, mampu melakukan penetapan hukum; ketiga, memahami bahasa
arab dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya.14
1. Syarat-Syarat Utama Seorang Mujtahid

13
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid V, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hal.
1676

14
Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi al-Ushūl al-Syari’ah, jilid I (Bairut: Dar al-Kutub alIlmiyati, 1971),
hal.7-9

viii
Mujtahid adalah orang yang melakukan ijtihad. Selain harus Islam, baligh, berakal
dan adil, ada lagi beberapa syarat terkait penguasaan ilmu yang harus dimiliki oleh seorang
Mujtahid. Jadi tidak sembarang orang yang bisa melakukan proses ijtihad. Berikut syarat-
syarat utama yang harus dipenuhi;
a. Menguasai pengetahuan tentang Al Qur’an. Al Qur’an sebagai sumber utama dalam
mashadirus syari’ah tentu saja memegang peranan penting sebagai sumber hukum
Islam. Maka, seorang Mujtahid, ketika hendak menggali hukum dari ayat-ayat Al
Qur’an harus menguasai ilmu-ilmu terkait dengan Al Qur’an itu sendiri. Yakni ilmu
seputar makna teks Al Qur’an, illat dan tujuan yang terdapat di dalamnya, asbabun
nuzul, nasikh-mansukh dan mampu mengidentifikasi ayat-ayat hukum.
b. Menguasai pengetahuan tentang Sunnah Kenabian. Hadis dan sunnah kenabian
merupakan sumber kedua setelah Al Qur’an. Maka, ketika hendak menggali hukum
Islam dari teks-teks hadis, seorang Mujtahid harus menguasai seluruh ilmu terkait
dengan hadis. Mulai dari menguasai mustalahul hadis, kritik sanad dan matan hadis,
ilmu jarhu wat ta’dil, dan berbagai macam ilmu dalam diskursus pemahaman hadis.15
c. Menguasai Ilmu Bahasa Arab. Al Qur’an dan Hadis sampai kepada kita dengan media
Bahasa Arab. Seorang Mujtahid tidak akan mampu memahami teks tersebut ketika dia
tidak menguasai Bahasa Arab. Seperti ilmu Nahwu, Sharraf, Balaghah, Manthiq,
bayan, ma’ani, badi’, dan ilmu kebahasaan lainnya mutlak harus dikuasai.16
d. Menguasai Ushul al-Fiqh. Ushul Fiqh adalah tiang ijtihad. Di dalamnya ada
sekumpulan teori dan konsep, berikut kaidah-kaidah untuk menggali hukum Islam.
e. Menguasai Ilmu Fiqh. Mengetahui kaedah fiqh dan hukum-hukum fiqih yang sudah
ada juga salah satu ketentuan dasar bagi seorang mujtahid sehingga tidak akan
munculnya pertentangan hukum yang sudah ada dengan hukum baru.17
f. Mengetahui hal-hal terkait Ijma’. Setelah Al Qur’an dan Hadis, Ijma’ adalah sumber
syariat ketiga dalam Islam. Ijma’ berkaitan dengan kesepakatan yang telah dilakukan
oleh para ulama terkait suatu hukum tertentu. Ijma’ ulama termasuk dalil qath’i (yang
pasti), yang harus dirujuk oleh Mujtahid ketika hendak menentukan sebuah hukum.
2. Syarat pendukung dan Penyempurna Seorang Mujtahid

15
Syaikh Zakariyya al-Anshari, Ghayah al-Wushuli Syarhi al-Ushuli, (Surabaya: Al-Haramaini, 2006),
hal. 147-149

16
Al-Haramaini, al-Nufahat ‘Ala Syarhil Waraqati, (Surabaya: Al-Haramaini, 2006), hal. 157

17
Al-Haramaini, al-Nufahat ‘Ala Syarhil Waraqati, (Surabaya: Al-Haramaini, 2006), hal. 156-158

ix
Selain beberapa syarat yang telah disebutkan diatas terkait penguasaan ilmu yang
harus dimiliki oleh seorang Mujtahid, seperti ilmu Al Qur’an dan Hadis, bahasa Arab dan
ushul fikih, mengetahui ijma’ ulama yang telah ada sebelumnya. Untuk menyempurnakan
proses dalam melakukan ijtihad, seorang Mujtahid juga dianjurkan untuk menguasai
beberapa hal di bawah ini, yaitu:
a. Mengetahui al-Bara’ah Al-Ashliyyah (hukum asal). Yaitu seputar hal-hal yang belum
diatur dan dijelaskan hukumnya oleh syariat. Entah karena ia belum disebutkan secara
jelas, atau ia belum memenuhi syarat-syarat untuk dihukumi sesuatu. Jadi tidak boleh
asal menghukumi ini wajib, ini haram dan seterusnya!
b. Mengetahui Maqashid al-Syariah (tujuan/maksud syariah). Yaitu mengetahui dan
memahami secara ilmiah tentang maksud/tujuan munculnya suatu hukum terhadap
kejadian atau persoalan baru, yang mana akan berefek pada tidak timbulnya
kontradiktif dengan hukum yang sudah ada dalilnya. Orang pertama yang
menganggap maqashid al-syari’ah sebagai syarat mujtahid adalah al-Syathibi yang
diikuti oleh Ibnu 'Asyur.18
c. Mengetahui al-Qawa’id al-Kulliyah (kaidah-kaidah umum). Yakni kaidah yang
disarikan dari berbagai kejadian dan hukum, yang kemudian diringkas dalam satu
teori umum. Ini biasanya ada dalam qawa’id ushuliyyah dan qawa’id fiqhiyyah.
d. Mengetahui letak perbedaan pendapat. Selain itu, seorang Mujtahid harus paham
mengenai mawadli’ul ikhtilaf (letak-letak perbedaan) yang terjadi di kalangan para
ulama. Dengan mengetahui hal itu, diharapkan seorang Mujtahid mampu
menganalisis argumentasi di antara kedua belah pihak dan mampu menemukan solusi
atau jalan keluar bagi perbedaan yang ada.
e. Mengetahui kebiasaan (al-‘urfu al-maqbuli) yang tengah berlangsung. Selain harus
jeli dalam membaca teks-teks keagamaan, seorang Mujtahid haruslah peka terhadap
kondisi masyarakat atau mukallaf yang merupakan obyek hukum. Kepekaan dan
pemahaman terhadap tradisi dan kebiasaan masyarakat dapat membantu seorang
Mujtahid untuk bijak dalam merumuskan hukum dan menerapkannya.

C. Terbuka dan Tertutupnya Pintu Ijtihad


Karakteristik ajaran Islam yang sangat menonjol adalah bahwa ajaran Islam bersifat
universal dan dinamis. Universal ajaran Islam ini sangat sesuai dengan pemilik dan pembuat

18
Ahmad Imam Mawardi, Fiqih Minoritas, Fiqh al-Aqliyat dan Evolusi Maqashid al-Syariah: dari
Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: PT. LKiS Printing Cemerlang, 2010), hal. 210.

x
ajaran tersebut yang kekuasaannya tidak terbatas. Di samping itu, hukum Islam mempunyai
sifat yang dinamis.19
Syariat sebagai aturan yang diturunkan oleh Allah dijadikan sebagai patokan
bertindak dalam segala aspek kehidupan manusia sepanjang masa dan selalu ada
hubungannya, sehingga dibutuhkan kemampuan untuk menggali dan mengkaji kandungan
yang terdapat dalam Al Qur’an. Sementara itu, agar aturan yang dihasilkan dapat
dilaksanakan dan diamalkan dengan baik, maka perlu diadakan penyesuaian dengan kondisi
dan situasi dimana manusia itu berada, sehingga sesuai dengan tempat dan zaman. Hal ini
selaras dengan tujuan diturunkannya Al Qur’an sebagaimana firman Allah swt. QS al-
Jasiyah/45 ayat 18:

‫ين اَل َي ْعلَ ُمو َن‬ ِ َّ ‫ك َعلَ ٰى َش ِريع ٍة ِّمن ٱَأْلم ِر فَٱتَّبِعها واَل َتتَّبِع َْأهو‬
َ ‫ٓاء ٱلذ‬
َ َ ْ َ َْ ْ َ َ َ ٰ‫ثُ َّم َج َعلْنَـ‬
“Kemudian kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari agama itu,
maka ikutilah (syariat itu) dan janganlah engkau mengikuti keinginan orang-orang yang
tidak mengetahui.”20
Oleh karena itu, usaha tetap menjaga eksistensi syariat Islam dan terlepas dari
belenggu kekakuan dan ketertinggalan zaman, maka ijtihad satu-satunya yang harus
dilakukan secara maksimal. Dengan ijtihad, reaktualisasi nilai-nilai syariat Islam tetap aktual
dan dapat dipertahankan dalam kehidupan praktis Peranan ijtihad akan terasa lebih jelas
apabila dikaitkan dengan perkembangan dunia modern. Secara gamblang dapat dikatakan
bahwa apabila produk hukum/fikih beberapa abad yang lalu diterapkan saat ini, tentu ada
yang kurang relevan pada beberapa masalah yang muncul, dan inilah para ulama serta
cendekiawan muslim mulai bangkit untuk mengkaji/menganalisis permasalahan fikih dalam
berbagai bentuk di setiap Negara dalam kondisinya. Islam membenarkan umatnya yang
mempunyai kebolehan/kemampuan untuk berijtihad sesuai dengan kondisi sosial dan
tuntutan zamannya masing-masing, sebagai implementasi atau penetapan aturan. Ijtihad
sebagai sebuah pemikiran dalam pengembangan hukum, sangat dipengaruhi oleh kondisi
sosial dan tuntutan zaman yang berkembang dan senentiasa berubah.
Dengan perubahan inilah sehingga memerlukan ijtihad yang menyesuaikan ajaran
Islam dengan konteks zaman. Akan tetapi, dalam masalah ijtihad ada hal yang perlu

19
Muhammad Shuhufi, Ijtihad dan Feksibilitas Hukum Islam (Cet. I; Makassar: Alauddin University
Press, 2012), hal. 7

20
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Syaamil Cipta
Media, 2004), hal. 50

xi
diperhatikan, yaitu masalah kondisi ajaran Islam. Ada ajaran Islam yang bersifat absolut dan
universal, di samping itu ada ajaran Islam yang tidak bersifat absolut dan tidak universal,
melainkan bersifat kondisional, temporal, dan parsial. Ajaran Islam yang bersifat absolut
adalah keseluruhan ajaran dasar yang terdapat dalam Al Qur’an dan Sunnah mutawatir.
Tetapi ajaran yang dapat diperbaharui atau dirumuskan ulang adalah ajaran yang tidak
absolut, yakni yang bersifat kontemporer.21
Para ulama ushul telah sepakat bahwa ijtihad (dalam arti merujukkan suatu perkara ke
suatu hukum yang sudah ada) tetap terbuka. Ijtihad dalam arti ini tidak termasuk ijtihad
menurut ketentuan ushul fiqh. Dalam ijtihad menurut ushul fiqh terjadi perbedaan pendapat
mengenai tertutup atau terbukanya pintu ijtihad. Pada awal abad ke empat Hijriyah, sebagian
ulama, yang dipelopori ulama khalaf, memandang ijtihad sebagai kegiatan (pekerjaan)
mujtahid berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup, yaitu sejak wafatnya para mujtahid
kenamaan, yaitu masa imam-imam mazhab.22
Sebagian ulama yang lain, yang dipelopori oleh Imam Al-Syaukani, pada pertengahan
abad ketiga belas Hijriyah berpendapat bahwa pintu ijtihad tetap terbuka. Kelompok ini
memandang ijtihad sebagai sumber hukum. Lebih lanjut, munculnya seruan terhadap
ditutupnya pintu ijtihad pada masa itu, merupakan respon terhadap kelompok yang cenderung
melakukan perubahan pada ajaran agama dan syari’at Islam. Hal tersebut dilakukan oleh
kelompok-kelompok yang menjadikan agama sebagai lahan bisnis yang menguntungkan bagi
kehidupan dunia, yang telah dikuasai oleh api materialisme dan pemenuhan hawa nafsu dan
kesenangan. Konsekuensi dari itu semua adalah muncul dan menjamurnya kelompok yang
mengaku sebagai ulama, orang-orang yang mengaku sebagai pemilik otoritas dalam
menyampaikan fatwa agama. Semua dilakukan tanpa berdasarkan ilmu pengetahuan yang
memadai atau berlandaskan agama.
Argumentasi kelompok yang berpendapat bahwa pintu ijtihad tetap terbuka, antara
lain:23
a. Menutup pintu ijtihad berarti menjadikan hukum Islam yang dinamis menjadi kaku
dan beku, sehingga Islam akan ketinggalan zaman. Sebab, banyak kasus baru yang

21
Muhammad Shuhufi, Ijtihad dan Feksibilitas Hukum Islam, (Cet. I; Makassar: Alauddin University
Press, 2012), hal. 7.
22
Masa tersebut adalah masa imam mazhab yang empat, yaitu Imam Hanafi, Imam Malik, Imam
Syafi’i dan Imam Ahmad serta teman/murid imam-imam tersebut. (Lihat Abdul Karim al-Khatib, Ijtihad
Menggerakkan Potensi Dinamis Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), hal. 170)

23
Anggota IKAPI, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1996), hal.40

xii
hukumnya belum dijelaskan oleh Al Qur’an, Sunnah dan belum juga dibahas oleh
ulama-ulama terdahulu.
b. Menutup pintu ijtihad berarti menutup kesempatan bagi para ulama Islam untuk
menciptakan pemikiran-pemikiran yang baik dalam memanfaatkan dan menggali
sumber (dalil) hukum Islam.
c. Membuka pintu ijtihad berarti membuat setiap permasalahan baru yang dihadapi
oleh umat dapat diketahui hukumnya, sehingga hukum Islam akan selalu
berkembang serta sanggup menjawab tantangan zaman.
Argumentasi kelompok yang berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup, antara
lain:
a. Hukum-hukum Islam dalam bidang ibadah, muamalah, munakahat, jinayat, dan
sebagainya, sudah lengkap dibukukan secara rinci dan rapi. Karena itu, ijtihad
dalam hal-hal ini tidak diperlukan lagi.
b. Mayoritas Ahlu Sunnah hanya mengakui mazhab empat yang muktabarah hingga
sekarang, tanpa menolak mazhab lain yang pernah ada sebelumnya. Karena itu,
penganut Ahlu Sunnah hendaknya memiliki salah satu dari mazhab empat, dan
tidak boleh pindah mazhab.
c. Membuka pintu ijtihad, selain hal itu percuma dan membuang-buang waktu,
hasilnya akan berkisar pada hukum yang terdiri atas kumpulan dua mazhab atau
lebih, hal ini dikenal dengan istilah “talfiq”, yang kebolehannya masih
diperselisihkan oleh kalangan ulama Ushul. Dan bilapun mengambil hukum diluar
mazhab empat ini berarti sama dengan menentang ijma’.
d. Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa sejak awal abad keempat Hijriyah sampai
sekarang, tak seorang ulama pun berani menonjolkan dirinya atau ditonjolkan oleh
pengikut-pengikutnya sebagai seorang Mujtahid muthlaq mustaqil. Hal ini
menunjukkan bahwa syarat-syarat berijtihad itu memang sangat sulit, kalau tidak
dapat dikatakan tidak mungkin terjadi lagi untuk masa sekarang.

Berdasarkan kebutuhan ijtihad dalam kriteria di atas, ditambah dengan keputusan


Lembaga penelitian Islam Al-Azhar di Cairo yang bersidang pada Maret 1964 M, yang
berbunyi:
“Muktamar mengambil keputusan bahwa Al Qur’an dan Sunnah Rasul merupakan
sumber hukum Islam; dan bahwa berijtihad untuk mengambil hukum dari Al Qur’an dan
Sunnah adalah dibenarkan bagi orang yang memenuhi persyaratannya manakala ijtihad itu
dilakukan pada tempatnya; dan bahwa jalan untuk memelihara kemaslahatan dan untuk

xiii
menghadapi peristiwa peristiwa yang selalu timbul, hendaklah dipilih di antara hukum-
hukum fiqh pada tiap-tiap mazhab hukum yang memuaskan. Jika dengan jalan tersebut tidak
terdapat suatu hukum yang memuaskan, maka berlakulah ijtihad bersama (kolektif)
berdasarkan mazhab, dan jika tidak memuaskan, maka berlakulah ijtihad bersama secara
muthlak. Lembaga penelitian akan mengatur usaha-usaha untuk mencapai ijtihad bersama,
baik secara mazhab maupun secara muthlak, untuk dapat dipergunakan bila ia
diperlukan.”24

Maka dapat diambil kesimpulan bahwa pintu ijtihad yang telah tertutup yaitu untuk
ijtihad muthlaq mustaqil baik perseorangan maupun kolektif, dan juga ijtihad muthlaq
muntasib perseorangan. Dan yang dimaksud dengan pintu ijtihad masih terbuka ialah ijtihad
muthlaq muntasib secara kolektif dan ijtihad di bidang tarjih bagi yang memenuhi
persyaratan. Hal ini sesuai sabda Nabi saw: “Sesungguhnya Allah swt akan membangkitkan
untuk umat ini (umat Islam) pada setiap satu abad seorang mujtahid yang memperbaharui
hukum-hukum agama (fiqh) untuk umat tersebut.”
Menurut Masyafu' Zuhdi, munculnya fatwa "pintu ijtihad tertutup" itu terjadi pada
akhir abad empat Hijriyah. Fatwa ini sebenarnya mempunyai tujuan yang positif, yaitu untuk
mencegah orang-orang yang tidak memenuhi syarat berijtihad berani memberikan fatwa-
fatwa dengan sesuka hatinya kepada masyarakat. Dan untuk menghindari terjadinya fatwa-
fatwa yang bersimpang siur dan tidak terkendalikan, sehingga membingungkan umat.25
Sehubungan dengan terbuka dan tertutupnya pintu ijtihad ini, Ali Sayis mengatakan,
bahwa tidak ada lagi orang yang memiliki kemampuan tinggi dalam berijtihad setelah
Muhammad bin Jabir Ath-Thobari (Wafat 310 H) yang memberanikan diri dalam berijtihad,
beristimbat dan berfatwa memutuskan hukum-hukumnya langsung dari Al Qur’an dan As-
Sunnah tanpa terkait oleh satu pendapat pun dari imam-imam mujtahid.26
Salah satu dorongan dasar yang berada dibalik penempatan tehnis kualifikasi-
kualifikasi ijtihad tradisional adalah untuk menghindari pertumbuhan ijtihad yang tidak
terkendali. Meskipun ijtihad sebagai hak setiap Muslim yang telah memenuhi syarat mujtahid
yang tak dapat diganggu gugat, akan tetapi tampaknya para ulama tidak rela jika prinsip
gerak ini dipraktikkan secara “liar” tercerai berai dan tidak bertanggung jawab. Bagi mereka
ijtihad haruslah merupakan upaya sistematis, komprehensif dan berjangka panjang.

24
Anggota IKAPI, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 41-42

25
Masyfu’ Zuhdi, Ijtihad dan Problematikanya, (Bina Ilmu: Surabaya, 1981), hal. 27

26
Masyfu’ Zuhdi, Ijtihad dan Problematikanya, (Bina Ilmu: Surabaya, 1981), hal. 27

xiv
Dengan demikian tidak tepat kalau dikatakan bahwa pintu ijtihad tetap sepenuhnya
terbuka tanpa ada batasan. Sebab hal ini, selain tidak realistis, juga akan membuka peluang
bagi orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mengacaukan Islam dengan dalih
ijtihad. Hal ini sangat berbahaya. Demikian juga, tidak tepat kalau dikatakan bahwa pintu
ijtihad sudah sepenuhnya tertutup tanpa ada batasan. Sebab dalam kenyataannya banyak
masalah-masalah baru muncul di kemudian hari, yang belum pernah disinggung dalam Al
Qur’an dan Sunnah, bahkan belum pernah dibicarakan oleh para imam mujtahid terdahulu,
sedangkan masalah-masalah tersebut membutuhkan ketentuan hukum. Apabila pintu ijtihad
tertutup, maka akan banyak permasalahan baru yang tidak dapat kita ketahui hukumnya.
Dengan begitu, hukum Islam menjadi beku, kaku dan statis, tentunya Islam akan ketinggalan
zaman.
Oleh karena itu, dapat kita simpulkan bahwa ijtihad dalam arti menciptakan norma-
norma dan kaidah-kaidah istinbath yang dapat dipergunakan sebagai patokan atau sistem
penggalian hukum, adalah tertutup. Sebab norma dan kaidah-kaidah tersebut telah
dirumuskanoleh imam-imam mujtahid terdahulu sudah baku dan paten, yang validitas dan
kredibilitasnya telah diakui oleh seluruh ulama. Sedangkan ijtihad mengenai hukum suatu
permasalahan baru yang belum disinggung oleh Al Qur’an dan Sunnah serta pembahasan
ulama-ulama terdahulu, tetap terbuka bagi yang memenuhi persyaratan, baik perseorangan
maupun kolektif.
Berkaitan dengan pendapat masih terbukanya pintu ijtihad, para ulama berpendapat
bahwa ijtihad baik secara teoritis maupun secara praktis senantiasa terbuka dan tidak pernah
tertutup, tetapi tampaknya ijtihad juga tidak boleh menjadi daerah territorial kebebasan.
Ijtihad yang senantiasa ada bukanlah tempat persemaian dan pertumbuhan ijtihad yang liar,
sewenang-wenang, serampangan dan tidak bertanggung jawab. Ijtihad yang diinginkan
adalah upaya sistematis, komprehensif, dan berjangka panjang, untuk mencegah ijtihad yang
sewenang-wenang dan merealisasikan ijtihad yang bertanggung jawab.
Dalam hal terbuka dan tertutupnya pintu ijtihad, penulis dapat menyimpulkan bahwa
pintu ijtihad tidak pernah tertutup sebagaimana dalam ayat, Hadis serta beberapa pendapat
para ahli diatas, hanya saja kemampuan individual yang mampu mengistinbath hukum
lansung dari Al Qur’an dan Hadis tanpa melihat dan menimbang referensi yang lain (seperti
‘ilmu ‘arabiyyah, ijma’ yang sudah ada, kaedah-kaedah fiqh dan ushul fiqh dan lain-lain)
inilah yang bisa dikatakan sudah tidak ada. Hal ini karena penguasaan ilmu haruslah
mencakup semua bidang ilmu seperti yang telah penulis sebutkan diatas, tidak hanya paham
akan ilmu tersebut, tapi harus benar-benar menguasai. Kemudian ada juga faktor yang lain
xv
yang juga sangat berpengaruh pada diterima atau tidaknya (kebenaran isi yang sesuai dengan
ketentuannya) suatu fatwa. Sedangkan mujtahid yang selalu muncul dalam kurun waktu
setiap abadnya bahkan hingga sekarang, kebiasaannya hanya pada tingkatan mujtahid fatwa
(sebagian dari mereka disebut sebagai mujaddid).

BAB III
KESIMPULAN

Ijtihad adalah proses pengerahan segala kesanggupan seorang faqih yang juga dari
golongan ushuliyyun untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil

xvi
syara’ guna menghasilkan hukum syar’i yang amali dan berpedoman dari dalil yang
terperinci (tafshili).
Mujtahid adalah orang yang melakukan ijtihad. Selain harus Islam, baligh, berakal
dan adil, ada lagi beberapa syarat terkait penguasaan ilmu yang harus dimiliki oleh seorang
Mujtahid. Diantara syarat-syarat utama yang harus dipenuhi Mujtahid yaitu: pertama,
menguasai pengetahuan tentang Al Qur’an; kedua, menguasai pengetahuan tentang Sunnah
kenabian (hadis); ketiga, menguasai ilmu bahasa Arab; keempat, menguasai ilmu ushul fiqh;
kelima, menguasai ilmu fiqh; keenam, Mengetahui hal-hal terkait Ijma’.
Ijtihad dalam arti menciptakan norma-norma dan kaidah-kaidah istinbath yang dapat
dipergunakan sebagai dasar sistem penggalian hukum, adalah tertutup. Sebab norma dan
kaidah-kaidah tersebut telah dirumuskanoleh imam-imam mujtahid terdahulu sudah baku dan
paten, yang validitas dan kredibilitasnya telah diakui oleh seluruh ulama. Sedangkan ijtihad
mengenai hukum suatu permasalahan baru yang belum disinggung oleh Al Qur’an dan
Sunnah serta pembahasan ulama-ulama terdahulu, tetap terbuka dan tidak pernah tertutup
bagi yang memenuhi persyaratan, baik perseorangan maupun kolektif. Jadi tidak tepat kalau
dikatakan bahwa pintu ijtihad sudah sepenuhnya tertutup rapat, sebab masalah-masalah baru
yang belum pernah disinggung dalam Al Qur’an dan Sunnah terus bermunculan, bahkan
terdapat banyak sekali permasalahan yang belum pernah dibicarakan oleh para imam
mujtahid terdahulu. Demikian juga tidak tepat kalau dikatakan bahwa pintu ijtihad tetap
sepenuhnya terbuka tanpa ada batasan. Sebab hal ini, selain tidak realistis, juga akan
membuka peluang bagi orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mengacaukan Islam
dengan dalih ijtihad.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid V, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996

xvii
Abdul Karim al-Khatib, Ijtihad Menggerakkan Potensi Dinamis Hukum Islam, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2005

Ahmad Imam Mawardi, Fiqih Minoritas, Fiqh al-Aqliyat dan Evolusi Maqashid al-Syariah:
dari Konsep ke Pendekatan, Yogyakarta: PT. LKiS Printing Cemerlang, 2010

Al-Gazali, Al-Mushtashfa , Juz. II, Mesir: Al-Matba’ah al-Amiriyyah, 1324 H.

Al-Haramaini, al-Nufahat ‘Ala Syarhil Waraqati, Surabaya: Al-Haramaini, 2006

Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi al-Ushūl al-Syari’ah, jilid I, Bairut: Dar al-Kutub alIlmiyati,


1971

Anggota IKAPI, Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung: Mizan, 1996

Atang Abd. Hakim & Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2012

Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Syaamil


Cipta Media, 2004

Hamdi yuslian, Pintu Ijtihad Tertutupkah?, jurnal islam Futura, vol. VI, No. 2, Tahun 2007

Jamaluddin Muhammad bin Muharram Ibnu Manzūr, Lisan al-‘Arab, Juz. III, Mesir: Dar
Misriyah al-Ta’lif wa al-Tarjamah, t.th.

Masyfu’ Zuhdi, Ijtihad dan Problematikanya, Bina Ilmu: Surabaya, 1981

Muhammad Abu Zahrah, Ushūl Fiqh, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th.

Muhammad Shuhufi, Ijtihad dan Feksibilitas Hukum Islam, Cet.I; Makassar: Alauddin
University Press, 2012

Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Cet III, Bandung; CV Pustaka Setia, 2007

Syaikh Zakariyya al-Anshari, Ghayah al-Wushūli Syarhi al-Ushūli, Surabaya: Al-Haramaini,


2006

Yusuf al-Qardhawi, Ijtihad al-Muasir Bayna al-Indibat wa al-Infirath, (Cet. I; Kairo: Dar
Tawzi’ wa al-Nasyr al-Islami, 1914 H/1994 M

xviii

Anda mungkin juga menyukai