DOSEN PENGAMPU
M. TAUHID, M.A.
DISUSUN OLEH :
FAKULTAS USHULUDDIN
2021/2022
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
i
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah S.W.T, atas rahmat dan hidayah-nya sehingga
kami dapat menyelasaikan tugas makalah yang berjudul “Ushul Tafsir al-Qawaidhu“ .
Sholawat serta salam kepada junjungan Nabi besar Muhammad Swt atas petunjuk dan
risalahnya, yang telah membawa zaman kegelapan ke zaman terang benderang. Tidak lupa
kami ucapkan terima kasih yang tak terhingga pada Dosen pengampu mata kuliah Ushul Fiqh
al-Qawaidhu Bapak M.Tauhid, M.A. dan teman-teman yang telah berpartisipasi dan
memberikan dukungan dalam menyelesaikan masalah ini.Kami menyadari bahwa masih
banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah
kami ini. Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Tim Penulis
DAFTAR ISI
Cover.............................................................................................................i
ii
Kata Pengantar............................................................................................ii
Daftar Isi.......................................................................................................iii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................1
C. Tujuan Masalah...............................................................................1
BAB II : PEMBAHASAN
A. Kesimpulan........................................................................................20
B. Saran..................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................21
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ushul fiqih merupakan salah satu piranti (ilmu alat) yang sangat urgen dan
sangat dibutuhkan dalam menetapkan hukum-hukum syariah (Islam). Kajian ushul
fiqih sangat erat hubungannya dengan al-Qur’an dan Sunnah. Keduanya sebagai
sumber hukum inti syariah islamiyah dijadikan sebagai hujjah yang diproses oleh
kaidah-kaidah ushuliyah dalam menelurkan hukum-hukum syariah. Karena pada
dasarnya setiap pengambilan hukum (istinbath) dalam syariat Islam harus berpijak
atas al-Qur’an dan Sunnah Nabi (al-Zuhaili, 1986: 198). Telah menjadi sebuah
keniscayaan bahwa seorang ahli fiqih (faqih) dan ahli ushul fiqih (ushuly) harus
mengetahui prosedur dan cara penggalian hukum (thuruq al-istinbath) dari teks (nash)
al-Qur’an maupun Sunnah. Untuk kepentingan itu, maka ushul fiqih sebagai sebuah
piranti dalam mengambil langkah hukum telah menetapkan metodologi atau
rumusnya. Ini disebabkan sekian banyak peristiwa bermunculan setiap saat yang
berbeda dengan peristiwa atau rincian peristiwa yang lalu, padahal nash al-Qur’an dan
Sunnah tidak sebanyak peristiwa tersebut. Untuk itulah, lahir kebutuhan kepada
metodologi dan rumus yang bersifat umum yang dapat digunakan untuk memahami
teks sekaligus menetapkan hukum berdasarkan metodologi dan rumus itu.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kaedah al-Mantuq dan al-Mafhum?
2. Bagaimana Kaedah al-‘Am dan al-Khash ?
D. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui kaedah al-Mantuq dan al-Mafhum?
2. Untuk mengetahui kaedah al-‘Am dan al-Khash ?
1
BAB II
PEMBAHASAN
menurut istilah yaitu pengertian harfiah atau makna yang ditunjukkan oleh
lafadz yang diucapkan itu sendiri. Pada dasarnya mantuq itu dibedakan berupa
nash dan zahir. Kalangan ulama Syafi’iyah], dilâlah lafal nash dibagi kepada
داللـة الـمـنطوق ھى دال لـة اللـفـظ عـلى حـكـم شـئ ذكـر فى الـكآل م ونـطـق بـھ.
“Dilalat al-mantuq ialah penunjukkan lafal nash atas suatu ketetapan hukum
(pengertian) sesuai dengan apa yang diucapkan dan dituturkan langsung oleh
lafal.”
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa dilâlat al-mantûq ialah suatu
ketetapan hukum yang dapat dipahami dari penuturan langsung lafal nash
secara tekstual.
berdasarkan pada bunyi bacaan. Para ulama’ ushul fiqih berpendapat bahwa
sebagian besar dilalah didasarkan pada teks (nash). Menurut Abu Zahrah (tt:
147), dilalah nash juga diambil dari teks, karena ia juga difahami dari
pengertian bahasa pada suatu teks. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa
semua dilalah di atas adalah dilalah al-manthuq, dan berbeda dengan dilalah
2
mafhum.
2. Macam-Macam al-Manthuq
Dilãlat al-mantûq dibagi kepada dua macam, yaitu; mantûq sarih dan
a. Mantûq Sarih
ialah penunjukkan lafal nash yang jelas secara langsung tercakup dalam
ungkapan lafal nash. Manthuq syarih dalam istilah ulama Syafi’iyah ini
ulama Hanafiyah.
“Maka wajib berpuasa 3 hari dalam masa haji dan tujuh hari lagi
sempurna.”
- Zahir
makna lain yang lemah. Seperti firman Allah swt dalam Q.S. al-
Baqarah: 173
3
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,
Mantuq gairu sharih ialah penunjukkan lafal nash yang tidak jelas.
peristiwa.
yang sudah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” ( HR. At-
Tirmidzi)
4
kemestian atau konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi
itu.
ِ ي ْال َم
ص ْي ُر َ ِص ْينَا ااْل ِ ْن َسانَ بِ َوالِ َد ْي ۚ ِه َح َملَ ْتهُ اُ ُّمهٗ َو ْهنًا ع َٰلى َو ْه ٍن َّوف
َّ َصالُهٗ فِ ْي عَا َم ْي ِن اَ ِن ا ْش ُكرْ لِ ْي َولِ َوالِ َد ْي ۗكَ اِل َّ َو َو
tahun”[vi]
3. Macam-Macam Mafhum
Para ulama membagi mafhum atas dua bagian, yaitu: (1) Mafhum
5
Pembagian ini didasarkan pada suatu alasan bahwa, meskipun suatu
a. Mafhum Muwafaqah
yang berbunyi:
اِ َّن الَّ ِذ ْينَ يَْأ ُكلُوْ نَ اَ ْم َوا َل ْاليَ ٰتمٰ ى ظُ ْل ًما اِنَّ َما يَْأ ُكلُوْ نَ فِ ْي بُطُوْ نِ ِه ْم نَارًا ۗ َو َسيَصْ لَوْ نَ َس ِع ْيرًا
b. Mafhum Mukhalafah
disebut, lantaran tidak adanya batasan, maka nash tersebut dapat juga
( حرمت علیكم المیتة والدم ولحم الخنزیر وما أھل لغیر هللا بھdiharamkan bagimu
6
memakan bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih atas
selain Allah, seperti berhala dan sebagainya. Di samping itu, ayat tersebut
nama selain Allah, maka haram dimakan. Dengan demikian, bunyi suatu
nash menetapkan suatu hukum yang disertai adanya batas. Jika batas
hukum yang ditunjukkan oleh bunyi dari nash tersebut. Menurut Abu
syarat: Batasan dalam nash itu tidak mempunyai tujuan lain, kecuali untuk
membatasi hukum;
- Tidak ada dalil khusus dalam obyek hukum yang dipahami dengan
yang terdapat dalam nash dan negatif bagi masalah yang tidak
7
- Mafhum al-shifat, yaitu menetapkan hukum dalam bunyi satu nash
yang dibatasi dengan sifat yang terdapat dalam lafal. Jika sifat tersebut
ُ ت َوهّٰللا ِ ۗ ت اَ ْي َمانُ ُك ْم ِّم ْن فَتَ ٰيتِ ُك ُم ْال ُمْؤ ِم ٰن ْ ت فَ ِم ْن َّما َملَ َك ِ ت ْال ُمْؤ ِم ٰن َ َْو َم ْن لَّ ْم يَ ْستَ ِط ْع ِم ْن ُك ْم طَوْ اًل اَ ْن يَّ ْن ِك َح ْال ُمح
ِ ص ٰن
ٍ ص ٰن ِ ْْض فَا ْن ِكحُوْ ه َُّن بِا ِ ْذ ِن اَ ْهلِ ِه َّن َو ٰاتُوْ ه َُّن اُجُوْ َره َُّن بِ ْال َم ْعرُو ۢ
ت َغي َْر َ ْف ُمح ٍ ۚ ض ُك ْم ِّم ْن بَع ُ اَ ْعلَ ُم بِا ِ ْي َمانِ ُك ْم ۗ بَ ْع
ْ
ِ ۗ ت ِمنَ ال َع َذا
ب ِ صن ٰ ْ
َ ْص َّن فَا ِ ْن اَتَ ْينَ بِفَا ِح َش ٍة فَ َعلَ ْي ِه َّن نِصْ فُ َما َعلَى ال ُمح ُ
ِ ْت اَخدَا ٍن ۚ فَا ِ َذآ اح ْ ِ ت َّواَل ُمتَّ ِخ ٰذ ٍ ُم ٰسفِ ٰح
ُ هّٰللا
ٰذلِكَ لِ َم ْن َخ ِش َي ال َعنَتَ ِمنك ْم ۗ َوا ْن تَصْ بِرُوْ ا خَ ْي ٌر لك ْم ۗ َو ُ َغفوْ ٌر َّر ِح ْي ٌم
ُ َّ َ ُ ْ ْ
( أوالت حمل فانفقوا علیھن حتى یضعن حملھنsudah ditalak] itu sedang hamil,
melahirkan).
nafkah kepada isteri yang dicerai dan tengah menjalani masa iddah itu,
dibatasi jika isteri yang dicerai tersebut dalam keadaan hamil. Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa isteri yang dicerai tidak sedang hamil,
8
tujuan nash, bila hukum tersebut dibatasi dengan tujuan. Misalnya
wanita yang telah ditalak tiga memiliki batas tertentu, yaitu sampai
isteri tersebut telah menikah dengan laki-laki lain. Jika isteri tersebut
sifatnya.
zakat”
9
Mafhum sifat ada 3 macam:
َص ْيبُوْ ا قَوْ ًم ۢا بِ َجهَالَ ٍة فَتُصْ بِحُوْ ا ع َٰلى َما فَ َع ْلتُ ْم ٰن ِد ِم ْين ٌ ۢ ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ ْن َج ۤا َء ُك ْم فَا ِس
ِ ُق بِنَبَا ٍ فَتَبَيَّنُ ْٓوا اَ ْن ت
10
Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.”
‘Adad (bilangan)
َال فِى ْال َح ِّج ۗ َو َما تَ ْف َعلُوْ ا ِم ْن خَ ي ٍْر يَّ ْعلَ ْمهُ هّٰللا ُ ۗ َوتَزَ َّو ُدوْ ا َ َض فِ ْي ِه َّن ْال َح َّج فَاَل َرف
َ ْث َواَل فُسُو
َ ق َواَل ِجد َ ت ۚ فَ َم ْن فَ َر ٌ ٰاَ ْل َحجُّ اَ ْشهُ ٌر َّم ْعلُوْ م
ِ فَا ِ َّن َخ ْي َر ال َّزا ِد التَّ ْق ٰو ۖى َواتَّقُوْ ِن ٰيٓاُولِى ااْل َ ْلبَا
ب
berakal.”
tidak syah.
lafal ghayah ini ada kalanya dengan “illa” dan dengan “hatta’. Seperti
11
tanganmu sampai kepada siku”. Mafhum mukhalafahnya adalah
menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fiil. Seperti firman
adalah istri-istri tertalak itu tidak sedang hamil, tidak wajib diberi
nafkah.
Mantuq sudah jelas bisa dijadikan hujjah, karena lafalnya yang jelas.
semua mafhum bisa dijadikan sebagai hujjah kecuali mafhum laqaab. Hal ini
disebabkan karena penyebutan isim ‘alam atau isim jenis itu sekedar untuk
12
mengkhususkan berlakunya hukum padanya saja. Oleh karena itu, dalam hal
ini tidak dapat diberlakukan hukum sebaliknya, kecuali jika ada dalil lain yang
pengertian bahwa selain Nabi Muhammad addalah utusan Allah. Ini jelas
Misalnya “yang ada dalam pemeliharaanmu” dalam QS. An-Nisa’ :23 yang
artinya “... dan anak-anak perempuan dan istri-istrimu yang ada dalam
dapat dipahami bahwa anak tiri yang tidak dalam pemeliharaan ayah
b. Apa yang disebutkan itu tidak untuk menjelaskan suatu realita. Seperti
menyembah Tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu
dalilnya. Jadi kata-kata “ padahal tidak ada satu dalilpun baginya tentang itu”
adalah suatu sifat yang pasti yang didatangkan untuk memperkuat realita
13
Allah, bukan untuk pengertian bahwa menyembah Tuhan-tuhan itu boleh asal
al-‘âmm berarti ketercakupan sesuatu karena berbilang baik sesuatu itu lafaz
atau yang lainnya.Secara istilah, Abû Zahrah mendefinisikan al- ‘âmm sebagai
berikut:
اللفظ الدال على كثرين ادلستغرق ىف داللتــو جلميعمــا يصــلو لـو وضــع واحدsuatu lafaz
bahasa.
jika telah memahami pengertian lafaz ‘âmm secara tidak langsung, juga dapat
yang tidak patut digunakan bersama oleh jumlah yang banyak. Definisi yang
2. Macam-Macam al-‘Am
Ditinjau dari segi keberadaan nash, lafaz ‘âm itu dapat dibagi menjadi
14
tiga macam :
a. ‘Âm yurâdu bihi ‘âm, yaitu: ‘âm yang disertai qarînah yang
sunnah Allah bahwa setiap binatang yang melata di muka bumi niscaya
diberi rezeki. Dan segala sesuatu yang hidup itu diciptakan dari unsur air.
Menurut logika bahwa semua makhluk yang telah diciptakan pasti diberi
makan. Dan menurut pengertian secara ilmiah bahwa segala sesuatu yang
hidup itu, tentu terdiri dari unsur hidup pula, antara lain adalah unsur air.
Karena itu menurut hemat penulis, dilâlah ‘âm dalam ayat di atas adalah
bersifat qath’iy dilâlah ‘ala umûm. Artinya, kedua contoh tersebut di atas
b. ‘Âm yurâdu bihi khusûs, yakni adanya lafaz ‘âm yang disertai qarînah
dimaksud dengan am itu adalah sebagian dari satuannya. Misalnya lafaz al-
Kalimat al-nâs adalah ‘âm yakni seluruh manusia. Akan tetapi yang
mukallaf saja. Karena menurut akal tidak mungkin Tuhan mewajibkan haji
bagi orang-orang yang belum dewasa atau orang-orang yang tidak âqil.
15
c. ‘Âm makhsûs, artinya ‘âm yang khusus untuk ‘âm atau ‘âm muthlaq. ‘Âm
Al-Baqarah [2]:228
Âm ialah lafaz yang menunjukkan pada jumlah yang banyak dan satuan
jenis, macam, nama, atau isim jumlah yang pasti, dan menutup kemungkinan
yang lainnya.
agar pendengar tidak mengira selain yang dimaksud.Lafaz âm terbagi atas dua,
yaitu âm yang dapat dimasuki takhshîsh dan âm yang tidak bisa dimasuki
takhshîsh. Karena itu harus ada dalil yang menunjukkan bahwa ia benar-benar
ditakhshîsh.
namun di samping itu pula perlu diketahui bahwa dalam al-Quran ada beberapa
16
yang dimaksud adalah khusus. Begitu pula sebaliknya, lafaznya khusus tetapi
konteks pembicaraannya.
hukumnya wajib atas segala yang ditetapkannya. Demikian juka jika terdapat
yang mereka tetapkan. Dalam hal keduanya tidak bersamaan, bila ‘âm datang
belakangan berarti menasakh yang khâs, dan bila yang khâs belakangan berarti
antara âm dan khâs, bila keduanya dihadirkan dalam waktu dan tempat yang
sama, maka akan nampak bahwa yang khâs berfungsi menjelaskan yang
kemungkinan untuk dijelaskan dengan tepat bisa diamalkan sesuai dengan arti
17
Di bawah ini dijelaskan contoh bagaimana kedua metode tersebut
diterapkan. Ada dua hadis yang menerangkan tentang zakat tanaman yaitu:
pertama, ما سقته ليس السماء ففيه العشرdan kedua دون خمسة أوسق صدقة
Imam Syafi’i dan jumhur fuqaha memandang bahwa hadits yang kedua
hadis kedua telah dinasakh oleh hadits pertama, yang datang kemudian.Dengan
antara keduanya.
ت َم ِن ا ْستَطَا َع اِلَ ْي ِه َسبِ ْياًل ۗ َو َم ْن َكفَ َر فَا ِ َّن هّٰللا َ َغنِ ٌّي هّٰلِل
ِ َّت َّمقَا ُم اِب ْٰر ِه ْي َم ەۚ َو َم ْن َد َخلَهٗ َكانَ ٰا ِمنًا ۗ َو ِ َعلَى الن
ِ اس ِحجُّ ْالبَ ْي ٌ ت بَيِّ ٰنٌ ۢ فِ ْي ِه ٰا ٰي
َع َِن ْال ٰعلَ ِم ْين
Kalimat al-nâs adalah ‘âm yakni seluruh manusia. Akan tetapi yang
mukallaf saja. Karena menurut akal tidak mungkin Tuhan mewajibkan haji
bagi orang-orang yang belum dewasa atau orang-orang yang tidak âqil.
18
b. Contoh penafsiran al-khash
ََواَقِ ْي ُموا الص َّٰلوةَ َو ٰاتُوا ال َّز ٰكوةَ َوارْ َكعُوْ ا َم َع ال ٰ ّر ِك ِع ْين
memberi pengertian mewajibkan yang dilarang, selama tidak ada dalil yang
19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Âm ialah lafaz yang menunjukkan pada jumlah yang banyak dan satuan yang
termasuk di dalamnya, dan memiliki ciri-ciri tertentu. Sedangkan khâs lafaz yang
menunjukkan arti tunggal, baik menunjuk jenis, macam, nama, atau isim jumlah yang
pasti, dan menutup kemungkinan yang lainnya. Namun terlepas dari ketentuan-
20
ketentuan tersebut bisa saja ada lafas umum, tetapi yang dimaksud adalah khusus.
Demikian juga sebaliknya, bisa saja ada lafaz khusus tetapi yang dimaksud adalah
umum, tentu dengan melihat kesesuaian konteks pembicaraannya. Pengamalan
tuntutan lafaz âm wajib, kecuali ada dalil yang menunjuk selainnya. Dan apabila ada
lafaz âm karena sebab khusus, maka wajib mengamalkan keumumannya. Apabila âm
dan khâs datang bersamaan, maka yang âm di takhshîsh oleh yang khâs. Tetapi jika
âm datang kemudian, menurut hanafiyah, khâs dinasakh oleh yang âm.
B. Saran
Sebagai penulis kami merasa masih ada kekurangan dalam pembuatan makalah ini
oleh karena itu kami mohon kritik dan saran dari pembaca sangat diperlukan agar penulis
dapat memperbaiki tugas makalah selanjutnya.
21
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hakim, Sofian. 2015. Konsep dan Implementasi al-‘amm dan al-khash dalam peristiwa
Atabik, Ahmad. 2015. Peranan Manthuq dan Mafhum dalam menetapkan hukum dari Al-
Kartini. 2017. Penerapan lafazh ditinjau dari segi dalalahnya (Mafhum dan Mantuq).
Sahib, Muhammad Amin. 2016. Lafaz ditinjau dari segi cakupannya (‘Am-Khas-Muthlaq-
22