Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

USHUL TAFSIR AL-QAWAIDHU

DOSEN PENGAMPU

M. TAUHID, M.A.

DISUSUN OLEH :

BELLA AMELIA PUTRIANI (2031030120)

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

2021/2022

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.

i
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah S.W.T, atas rahmat dan hidayah-nya sehingga
kami dapat menyelasaikan tugas makalah yang berjudul “Ushul Tafsir al-Qawaidhu“ .

Sholawat serta salam kepada junjungan Nabi besar Muhammad Swt atas petunjuk dan
risalahnya, yang telah membawa zaman kegelapan ke zaman terang benderang. Tidak lupa
kami ucapkan terima kasih yang tak terhingga pada Dosen pengampu mata kuliah Ushul Fiqh
al-Qawaidhu Bapak M.Tauhid, M.A. dan teman-teman yang telah berpartisipasi dan
memberikan dukungan dalam menyelesaikan masalah ini.Kami menyadari bahwa masih
banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah
kami ini. Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Bandar Lampung, 4 Januari 2022

Tim Penulis

DAFTAR ISI

Cover.............................................................................................................i

ii
Kata Pengantar............................................................................................ii

Daftar Isi.......................................................................................................iii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................1
C. Tujuan Masalah...............................................................................1

BAB II : PEMBAHASAN

A. Kaedah al-Manthuq dan al-Mafhum..................................................2


B. Kaedah al-‘Am dan al-Khash.............................................................13

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan........................................................................................20
B. Saran..................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................21

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ushul fiqih merupakan salah satu piranti (ilmu alat) yang sangat urgen dan
sangat dibutuhkan dalam menetapkan hukum-hukum syariah (Islam). Kajian ushul
fiqih sangat erat hubungannya dengan al-Qur’an dan Sunnah. Keduanya sebagai
sumber hukum inti syariah islamiyah dijadikan sebagai hujjah yang diproses oleh
kaidah-kaidah ushuliyah dalam menelurkan hukum-hukum syariah. Karena pada
dasarnya setiap pengambilan hukum (istinbath) dalam syariat Islam harus berpijak
atas al-Qur’an dan Sunnah Nabi (al-Zuhaili, 1986: 198). Telah menjadi sebuah
keniscayaan bahwa seorang ahli fiqih (faqih) dan ahli ushul fiqih (ushuly) harus
mengetahui prosedur dan cara penggalian hukum (thuruq al-istinbath) dari teks (nash)
al-Qur’an maupun Sunnah. Untuk kepentingan itu, maka ushul fiqih sebagai sebuah
piranti dalam mengambil langkah hukum telah menetapkan metodologi atau
rumusnya. Ini disebabkan sekian banyak peristiwa bermunculan setiap saat yang
berbeda dengan peristiwa atau rincian peristiwa yang lalu, padahal nash al-Qur’an dan
Sunnah tidak sebanyak peristiwa tersebut. Untuk itulah, lahir kebutuhan kepada
metodologi dan rumus yang bersifat umum yang dapat digunakan untuk memahami
teks sekaligus menetapkan hukum berdasarkan metodologi dan rumus itu.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kaedah al-Mantuq dan al-Mafhum?
2. Bagaimana Kaedah al-‘Am dan al-Khash ?

D. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui kaedah al-Mantuq dan al-Mafhum?
2. Untuk mengetahui kaedah al-‘Am dan al-Khash ?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. HAKEKAT AL-MANTHUQ DAN AL-MAFHUM

1. Pengertian al-Manthuq dan al-Mamfhum

Mantuq secara bahasa adalah “sesuatu yang diucapkan”, sedangkan

menurut istilah yaitu pengertian harfiah atau makna yang ditunjukkan oleh

lafadz yang diucapkan itu sendiri. Pada dasarnya mantuq itu dibedakan berupa

nash dan zahir. Kalangan ulama Syafi’iyah], dilâlah lafal nash dibagi kepada

dua macam, yaitu dilâlat al-mantûq dan dilâlat al-mafhûm.Yang dimaksud

dengan dilalat al-mantuq ialah :

‫داللـة الـمـنطوق ھى دال لـة اللـفـظ عـلى حـكـم شـئ ذكـر فى الـكآل م ونـطـق بـھ‬.

“Dilalat al-mantuq ialah penunjukkan lafal nash atas suatu ketetapan hukum

(pengertian) sesuai dengan apa yang diucapkan dan dituturkan langsung oleh

lafal.”

Dari definisi ini dapat dipahami bahwa dilâlat al-mantûq ialah suatu

ketetapan hukum yang dapat dipahami dari penuturan langsung lafal nash

secara tekstual.

Mafhum secara bahasa berarti faham atau dapat difahami. Secara

ishtilahi, mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafadh tidak

berdasarkan pada bunyi bacaan. Para ulama’ ushul fiqih berpendapat bahwa

sebagian besar dilalah didasarkan pada teks (nash). Menurut Abu Zahrah (tt:

147), dilalah nash juga diambil dari teks, karena ia juga difahami dari

pengertian bahasa pada suatu teks. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa

semua dilalah di atas adalah dilalah al-manthuq, dan berbeda dengan dilalah

2
mafhum.

2. Macam-Macam al-Manthuq

Dilãlat al-mantûq dibagi kepada dua macam, yaitu; mantûq sarih dan

mantuq gairu sharih.

a. Mantûq Sarih

Menurut Wahbah Zuhaili yang dimaksud dengan mantûq sharih

ialah penunjukkan lafal nash yang jelas secara langsung tercakup dalam

ungkapan lafal nash. Manthuq syarih dalam istilah ulama Syafi’iyah ini

adalah apa yang di istilahkan dengan dilalah ibarah dalam pengertian

ulama Hanafiyah.

Pada dasarnya mantuq ada yang berupa nas, zahir:

- Nash Adalah lafadz yang bentuknya telah dapat menunjukkan makna

yang secara tegas dan tidak mengandung kemungkinan makna lain.

Seperti firman Allah swt. dalam Surat al-Baqarah: 196

“Maka wajib berpuasa 3 hari dalam masa haji dan tujuh hari lagi

apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh hari yang

sempurna.”

Tujuan utama dari mantuq nash ialah kemandirian dalam

menunjukkan makna secara pasti.

- Zahir

Adalah suatu perkara yang menunjukkan sesuatu makna yang

segera dipahami ketika ia diucapkan, tetapi disertai kemungkinan

makna lain yang lemah. Seperti firman Allah swt dalam Q.S. al-

Baqarah: 173

‫اغ َّواَل عَا ٍد فَٓاَل اِ ْث َم‬ ‫هّٰللا‬


ٍ َ‫اِنَّ َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةَ َوال َّد َم َولَحْ َم ْال ِخ ْن ِزي ِْر َو َمٓا اُ ِه َّل بِ ٖه لِ َغي ِْر ِ ۚ فَ َم ِن اضْ طُ َّر َغي َْر ب‬
‫هّٰللا‬
ِ ‫َعلَ ْي ِه ۗ اِ َّن َ َغفُوْ ٌر ر‬
‫َّح ْي ٌم‬

3
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,

darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut

(nama) selain Allah[108]. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan

terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak

(pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya

Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

b. Mantûq Ghairu Sarih

Mantuq gairu sharih ialah penunjukkan lafal nash yang tidak jelas.

Dan terbagi menjadi 3 macam:

- Dalalat al-Ima’, yaitu suatu pengertian yang bukan ditunjukkan

langsung oleh suatu lafal, tetapi melalui pengertian logisnya karena

memyebutkan suatu hukum langsung setelah menyebut suatu sifat atau

peristiwa.

Misalnya, hadits yang riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari Sa’id

bin Zaid bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Dari Jabir bin Abdillah, dari Nabi Muhammad saw.

bersabda: Barangsiapa yangmenghidupkan (mulai mengelolah) tanah

yang sudah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” ( HR. At-

Tirmidzi)

Hadits tersebut di samping menunjukkan hukum melalui

mantuqnya seperti yang jelas tertulis, juga melalui dalalat al-ima’nya,

yaitu bahawa aktivitas menghidupkan tanah mati itulah yang menjadi

illatnya bagi pemilikan tanah untuknya.

- Dalalat al-Isyarah adalah suatu pengertian yang ditunjukkan oleh

suatu redaksi, namun bukan pengertian aslinya, tetapi merupakan suatu

4
kemestian atau konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi

itu.

Contohnya dalam surat Al-Luqman ayat 14:

ِ ‫ي ْال َم‬
‫ص ْي ُر‬ َ ِ‫ص ْينَا ااْل ِ ْن َسانَ بِ َوالِ َد ْي ۚ ِه َح َملَ ْتهُ اُ ُّمهٗ َو ْهنًا ع َٰلى َو ْه ٍن َّوف‬
َّ َ‫صالُهٗ فِ ْي عَا َم ْي ِن اَ ِن ا ْش ُكرْ لِ ْي َولِ َوالِ َد ْي ۗكَ اِل‬ َّ ‫َو َو‬

“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua

orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan

lemah yang bertambahtambah, dan menyapihnya dalam dua

tahun”[vi]

- Dalalat al-Iqtida’ adalah pengertian kata yang disisipkan secara

tersirat (dalam pemahaman) pada redaksi tertentu yang tidak bisa

dipaami secara lurus kecuali dengan adanya penyisipan itu.

Contohnya sebuah hadits Rasulullah menjelaskan:

“Dari Abu Dzar al-Ghiffari berkata, Rasulullah SAW

bersabda: Sesungguhnya Allah mengangkat dari umatku tersalah, lupa

dan keterpaksaan.” (HR. Ibnu Majah)

Hadits tersebut secara jelas menunjukkan bahwa tersalah, lupa

dan keterpaksaan diangkatkan dari umat Muhammad saw. pengertian

tersebut sudah jelas ridak lurus, karena bertentangan dengan kenyataan.

Untuk meluruskan maknanya perlu disisipkan secara tersirat kata al-

ism (dosa) atau al-hukm (hukum), sehingga demikian arti hadits

menjadi : diangkatkan dari umatku (dosa atau hukum) perbuatan

tersalah, karena lupa atau karena keterpaksaan.

3. Macam-Macam Mafhum

Para ulama membagi mafhum atas dua bagian, yaitu: (1) Mafhum

muwafaqah; (2) Mafhum mukhalafah.

5
Pembagian ini didasarkan pada suatu alasan bahwa, meskipun suatu

lafal tidak menunjukkan pada pengertian mafhum muwafaqah, tetapi pada

hakekatnya lafal tersebut mempunyai pengertian yang sama dengannya.

a. Mafhum Muwafaqah

Yang dimaksud dengan mafhum muwafaqah ialah pengertian yang

dipahami sesuatu menurut ucapan lafal yang disebutkan. Mafhum

muwafaqah ini terbagi dua, yaitu:

- Fahwa al-khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama

hukumnya daripada yang diucapkan, seperti memukul orang tua lebih

tidak boleh dibanding mengucapkan perkataan “ah”, sebagaimana pada

ayat yang telah dikemukakan terdahulu.

- Lahn al-khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya

dengan yang diucapkan, seperti firman Allah dalam QS al-Nisa’ (4): 10

yang berbunyi:

‫اِ َّن الَّ ِذ ْينَ يَْأ ُكلُوْ نَ اَ ْم َوا َل ْاليَ ٰتمٰ ى ظُ ْل ًما اِنَّ َما يَْأ ُكلُوْ نَ فِ ْي بُطُوْ نِ ِه ْم نَارًا ۗ َو َسيَصْ لَوْ نَ َس ِع ْيرًا‬

(sesungguhnya orang-orang yang memakan harta benda anak yatim

secara aniaya, sebenarnya memakan api ke dalam perut mereka).

b. Mafhum Mukhalafah

Yang dimaksud dengan mafhum mukhalafah adalah lafalnya

menunjukkan suatu pertentangan hukum yang diucapkan (didiamkan) dan

yang disebutkan.Atau dengan kata lain, kebalikan dari hukum yang

disebut, lantaran tidak adanya batasan, maka nash tersebut dapat juga

dipahami sebagai hukum yang mengharamkan, bila batasannya tidak ada.

Contohnya adalah firman Allah dalam QS al-Maidah (5): 3 yang berbunyi:

‫( حرمت علیكم المیتة والدم ولحم الخنزیر وما أھل لغیر هللا بھ‬diharamkan bagimu

6
memakan bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih atas

nama selain Allah).

Bunyi ayat tersebut menunjukkan diharamkannya binatang

sembelihan, yang ketika disembelih dibarengi dengan menyebut nama

selain Allah, seperti berhala dan sebagainya. Di samping itu, ayat tersebut

juga dipahami bahwa binatang yang disembelih dengan tanpa menyebut

nama selain Allah, maka haram dimakan. Dengan demikian, bunyi suatu

nash menetapkan suatu hukum yang disertai adanya batas. Jika batas

tersebut hilang, maka nash tersebut menimbulkan pemahaman kebalikan

hukum yang ditunjukkan oleh bunyi dari nash tersebut. Menurut Abu

Zahrah, untuk menggunakan mafhum mukhalafah, harus memenuhi dua

syarat: Batasan dalam nash itu tidak mempunyai tujuan lain, kecuali untuk

membatasi hukum;

- Tidak ada dalil khusus dalam obyek hukum yang dipahami dengan

mafhum mukhalafah.Baik Abu Zahrah maupun al-Khudhary Bik,

membagi mafhum mukhalafah dalam lima macam sebagai berikut:

- Mafhum al-laqab, yaitu menyebutkan suatu hukum yang ditentukan

dengan jenis atau macamnya, sehingga hukum positif dalam masalah

yang terdapat dalam nash dan negatif bagi masalah yang tidak

disebutkan. Misalnya sabda Nabi yang berbunyi: binatang yang

digembalakan di padang rumput, wajib dikeluarkan zakatnya).Hadis di

atas menunjukkan bahwa binatang ternak yang digembalakan di padang

rumput, wajib dikeluarkan zakatnya. Dengan menggunakan mafhum

mukhalafah, dapat dipahami bahwa binatang yang dipelihara (dibiayai),

tidak wajib dikeluarkan zakatnya.

7
- Mafhum al-shifat, yaitu menetapkan hukum dalam bunyi satu nash

yang dibatasi dengan sifat yang terdapat dalam lafal. Jika sifat tersebut

telah hilang, maka terjadilah kebalikan hukum tersebut. Misalnya

firman Allah dalam QS al-Nisa’ (4): 25 yang berbunyi:

ُ ‫ت َوهّٰللا‬ ِ ۗ ‫ت اَ ْي َمانُ ُك ْم ِّم ْن فَتَ ٰيتِ ُك ُم ْال ُمْؤ ِم ٰن‬ ْ ‫ت فَ ِم ْن َّما َملَ َك‬ ِ ‫ت ْال ُمْؤ ِم ٰن‬ َ ْ‫َو َم ْن لَّ ْم يَ ْستَ ِط ْع ِم ْن ُك ْم طَوْ اًل اَ ْن يَّ ْن ِك َح ْال ُمح‬
ِ ‫ص ٰن‬
ٍ ‫ص ٰن‬ ِ ْ‫ْض فَا ْن ِكحُوْ ه َُّن بِا ِ ْذ ِن اَ ْهلِ ِه َّن َو ٰاتُوْ ه َُّن اُجُوْ َره َُّن بِ ْال َم ْعرُو‬ ۢ
‫ت َغي َْر‬ َ ْ‫ف ُمح‬ ٍ ۚ ‫ض ُك ْم ِّم ْن بَع‬ ُ ‫اَ ْعلَ ُم بِا ِ ْي َمانِ ُك ْم ۗ بَ ْع‬
ْ
ِ ۗ ‫ت ِمنَ ال َع َذا‬
‫ب‬ ِ ‫صن‬ ٰ ْ
َ ْ‫ص َّن فَا ِ ْن اَتَ ْينَ بِفَا ِح َش ٍة فَ َعلَ ْي ِه َّن نِصْ فُ َما َعلَى ال ُمح‬ ُ
ِ ْ‫ت اَخدَا ٍن ۚ فَا ِ َذآ اح‬ ْ ِ ‫ت َّواَل ُمتَّ ِخ ٰذ‬ ٍ ‫ُم ٰسفِ ٰح‬
ُ ‫هّٰللا‬
‫ٰذلِكَ لِ َم ْن َخ ِش َي ال َعنَتَ ِمنك ْم ۗ َوا ْن تَصْ بِرُوْ ا خَ ْي ٌر لك ْم ۗ َو ُ َغفوْ ٌر َّر ِح ْي ٌم‬
ُ َّ َ ُ ْ ْ

(dan barangsiapa di antara kamu tidak cukup pembelanjaannya untuk

mengawini wanita baik-baik dan beriman, dia boleh mengawini wanita

beriman dari budak-budak yang kamu miliki).Dibolehkanya mengawini

wanita-wanita budak dalam ayat tersebut adalah dibatasi dengan

keimanan. Oleh karena itu, wanita-wanita budak yang tidak beriman,

tidak halal dinikahi.

- Mafhum al-syarth, yaitu menetapkan kebalikan suatu hukum yang

tergantung pada syarat atau bersamaan dengan syarat, jika syarat

tersebut tidak terwujud. Misalnya firman Allah dalam QS al-Thalaq

(65): 6: yang isteri-isteri [mereka jika dan

(‫ أوالت حمل فانفقوا علیھن حتى یضعن حملھن‬sudah ditalak] itu sedang hamil,

maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka

melahirkan).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa kewajiban memberikan

nafkah kepada isteri yang dicerai dan tengah menjalani masa iddah itu,

dibatasi jika isteri yang dicerai tersebut dalam keadaan hamil. Dengan

demikian, dapat dipahami bahwa isteri yang dicerai tidak sedang hamil,

maka tidak wajib bagi bekas suami memberikan nafkah kepadanya.

- Mafhum al-ghayah, yaitu menetapkan hukum yang berada di luar

8
tujuan nash, bila hukum tersebut dibatasi dengan tujuan. Misalnya

firman Allah dalam Q.S.Al-Baqarah (2):230 yang berbunyi :

‫فإن طلقھا فال تحل لھ من بعد حتى نكح زوجا غیره‬

(kemudian jika suami mentalaknya, maka perempuan itu tidak halal

lagi baginya sampai dia kawin dengan suami yang lain).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa larangan menikah dengan

wanita yang telah ditalak tiga memiliki batas tertentu, yaitu sampai

isteri tersebut telah menikah dengan laki-laki lain. Jika isteri tersebut

telah menikah, maka ia boleh dinikahi lagi oleh bekas suaminya.

- Mafhum al-‘Adad, yaitu penetapan kebalikan dari suatu hukum yang

dibatas dengan bilangan, ketika bilangan tersebut tidak dipenuhi.

Misalnya firman Allah dalam QS al-Nur (24): 2:

‫الزانیة والزاني فاجلدوا كل واحد منھما مائة جلدة‬

(wanita dan laiki-laki yang berzina, maka deralah masing-masing

sebanyak seratus kali pukulan).

Mafhum mukhalafah sendiri terbagi menjadi :

- Mafhum al-Washfi (pemahaman dengan sifat) adalah petunjuk yang

dibatasi oleh sifat, menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu

sifatnya.

Dalam mafhum sifat terdapat tiga bagian, yaitu mushtaq, hal

(keterangan keadaan) dan ‘adad (bilangan). Misalnya pada sabda

Rasulullah saw.: “para binatang yang digembalakan itu ada kewajiban

zakat”

Mafhum mukhalafahnya adalah binatang yang diberi makan,

bukan yang digembalakan.

9
Mafhum sifat ada 3 macam:

 Mustaq dalam ayat.

Contohnya dalam QS. Al-Hujarat ayat 6:

َ‫ص ْيبُوْ ا قَوْ ًم ۢا بِ َجهَالَ ٍة فَتُصْ بِحُوْ ا ع َٰلى َما فَ َع ْلتُ ْم ٰن ِد ِم ْين‬ ٌ ۢ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ ْن َج ۤا َء ُك ْم فَا ِس‬
ِ ُ‫ق بِنَبَا ٍ فَتَبَيَّنُ ْٓوا اَ ْن ت‬

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang-

orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti

agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum

tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal

atas perbuatanmu itu.”

Dapat dipahami dari ungkapan kata ‘fasiq’ ialah orang yang

tidak wajib ditelliti beritanya. Ini berarti bahwa berita yang

disampaikan oleh seseorang yang adil wajib diterima.

 Hal (keterangan keadaan)

Seperti fiman Allah, QS. Al-Maidah ayat 95: َ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh

binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa diantara

kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah

mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang

dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil diantara kamu

sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka’bah atau (dendanya)

membayar kaffarat dengan memberi makanan orang-orang miskin

atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu,

supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah

memaafkan apa yang telah lalu dan barangsiapa yang kembali

mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya, Allah Maha

10
Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.”

Ayat ini menunjukkan tiadanya hukum bagi orang yang

membunuhnya karena tak sengaja. Sebab penentuan “sengaja”

dengan kewajiban membayar denda dalam pembunuhan binatang

buruan tidak sengaja.

 ‘Adad (bilangan)

Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 197:

‫َال فِى ْال َح ِّج ۗ َو َما تَ ْف َعلُوْ ا ِم ْن خَ ي ٍْر يَّ ْعلَ ْمهُ هّٰللا ُ ۗ َوتَزَ َّو ُدوْ ا‬ َ َ‫ض فِ ْي ِه َّن ْال َح َّج فَاَل َرف‬
َ ْ‫ث َواَل فُسُو‬
َ ‫ق َواَل ِجد‬ َ ‫ت ۚ فَ َم ْن فَ َر‬ ٌ ٰ‫اَ ْل َحجُّ اَ ْشهُ ٌر َّم ْعلُوْ م‬
ِ ‫فَا ِ َّن َخ ْي َر ال َّزا ِد التَّ ْق ٰو ۖى َواتَّقُوْ ِن ٰيٓاُولِى ااْل َ ْلبَا‬
‫ب‬

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi,

barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan

mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasikh dan

berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji dan apa

yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah

mengetahuinya. Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal

adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang

berakal.”

Mafhumnya ialah melakukan ihram diluar bulan-bulan itu

tidak syah.

- Mafhum illat adalah menghubungksn hukum sesuatu karena illatnya.

Mengharamkan minuman keras karena memabukkan.

- Mafhum ghayah (pemahaman dengan batas akhir) adalah lafal yang

menunjukkan hukum sampai pada ghayah (batasan, hinggaan), hingga

lafal ghayah ini ada kalanya dengan “illa” dan dengan “hatta’. Seperti

dalam firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 6:

“bila kamu hendak nmengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan

11
tanganmu sampai kepada siku”. Mafhum mukhalafahnya adalah

membasuh tangan sampai kepada siku.

- Mahfum laqaab (pemahaman dengan julukan) adalah

menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fiil. Seperti firman

Allah SWT: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-

ibumu.”Mafhum mukhalafahnya adalah selain para ibu.

- Mafhum hasr adalah pembatasan. Seperti dalam firman Allah swt.:

“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah

kami meminta pertolongan.” Mafhum mukhalafahnya adalah bahwa

selain Allah tidak disembah dan tidak dimintai pertolongan. Oleh

karrena itu, ayat tersebut menunjukkan bahwa hanya Dia-lah yang

berhak disembah dan dimintai pertolongan.[xii]

- Mafhum syarat , adalah petunjuk lafadz yang memberi fadah adanya

hukum yang dihubungkan dengan syarat supaya dapat berlaku hukum

yang sebaliknya. Seperti dalam surat al-Thalaq ayat 6: “...Dan jika

mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka

berikanlah kepada mererka nafkahnya.” Mafhum mukhalafahnya

adalah istri-istri tertalak itu tidak sedang hamil, tidak wajib diberi

nafkah.

4. Fungsi Kaedah al-Manthuq dan al-Mafhum

Mantuq sudah jelas bisa dijadikan hujjah, karena lafalnya yang jelas.

Begitu juga dengan mafhum muwafaqah. Para ulama’ bersepakat, bahwa

semua mafhum bisa dijadikan sebagai hujjah kecuali mafhum laqaab. Hal ini

disebabkan karena penyebutan isim ‘alam atau isim jenis itu sekedar untuk

penyebutan adanya hukum padanya bukan untuk membatasi atau

12
mengkhususkan berlakunya hukum padanya saja. Oleh karena itu, dalam hal

ini tidak dapat diberlakukan hukum sebaliknya, kecuali jika ada dalil lain yang

menentukannya. Seperti firman Allah : “Muhammad adalah utusan Allah.”

Ayat tersebut jika diambil mafhum mukhalafahnya akan memberikan

pengertian bahwa selain Nabi Muhammad addalah utusan Allah. Ini jelas

bertentangan dengan nash yang ada.

Berhujjah dengan mafhum masih diperselisihkan. Menurut pendapat

yang paling shahih, mafhum-mafhum tersebut boleh dijadikan hujjah (dalil,

argumentasi) dengan beberapa syarat, antara lain:

a. Apa yang disebutkan bukan dalam kerangka “kebiasaan” yang umum.

Misalnya “yang ada dalam pemeliharaanmu” dalam QS. An-Nisa’ :23 yang

artinya “... dan anak-anak perempuan dan istri-istrimu yang ada dalam

pemeliharaanmu...”, ini tidak ada mafhumnya (maksudnya ayat ini tidak

dapat dipahami bahwa anak tiri yang tidak dalam pemeliharaan ayah

tirinya boleh dinikahi), sebab pada umumnya anak-anak perempouan istri

kitu berada dalam pemeliharaan suami.

b. Apa yang disebutkan itu tidak untuk menjelaskan suatu realita. Seperti

firman Allah QS. Al-Mu’minin: 117 ; yang artinya “ Dan barangsiapa

menyembah Tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu

dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungan di sisi

Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.”

Dalam kenyataannya Tuhan manapun selain dari Allah tidak ada

dalilnya. Jadi kata-kata “ padahal tidak ada satu dalilpun baginya tentang itu”

adalah suatu sifat yang pasti yang didatangkan untuk memperkuat realita

realita dan untuk menghinkan orang yang menyembah Tuhan di samping

13
Allah, bukan untuk pengertian bahwa menyembah Tuhan-tuhan itu boleh asal

dapat ditegakkan dalilnya.

B. KAEDAH AL-‘AM DAN AL-KHASH

1. Pengertian al-‘Am dan al-Khash

Al-‘âmm dapat diterjemahkan sebagai umum.11 Secara bahasa

al-‘âmm berarti ketercakupan sesuatu karena berbilang baik sesuatu itu lafaz

atau yang lainnya.Secara istilah, Abû Zahrah mendefinisikan al- ‘âmm sebagai

berikut:

‫ اللفظ الدال على كثرين ادلستغرق ىف داللتــو جلميعمــا يصــلو لـو وضــع واحد‬suatu lafaz

yang mencakup keseluruhan makna yang dikandungnya melalui satu ketetapan

bahasa.

Khâsh adalah lawan dari pengertian ‘âmm (umum). Dengan demikian,

jika telah memahami pengertian lafaz ‘âmm secara tidak langsung, juga dapat

memahami pengertian lafaz khâsh. Karenannya tidak semua penulis yang

menguraikan tentang lafaz khâsh dalam bukunya, memberikan pengertian lafaz

khâsh itu secara definitif.

Al-Amidi sebelum mengemukakan definisi, ia mengeritik penulis yang

mendefinisikan khâsh dengan: “Setiap lafaz yang bukan lafaz ‘âmm”.

Sedangkan definisi khâsh yang diajukan al-Amidi adalah: Suatu lafaz

yang tidak patut digunakan bersama oleh jumlah yang banyak. Definisi yang

sedikit berbeda yang dirumuskan al-Khudahari Beik: Lafaz yang obyeknya

adalah dilâlah yang bermakna satu dengan cara satu-persatu.

2. Macam-Macam al-‘Am

Ditinjau dari segi keberadaan nash, lafaz ‘âm itu dapat dibagi menjadi

14
tiga macam :

a. ‘Âm yurâdu bihi ‘âm, yaitu: ‘âm yang disertai qarînah yang

menghilangkan kemungkinan untuk dapat dikhususkannya. Contohnya QS.

Hud [11], 6 dan QS. Al-Anbiya [21], 30.

Masing-masing dari kedua ayat di atas menerangkan secara umum

sunnah Allah bahwa setiap binatang yang melata di muka bumi niscaya

diberi rezeki. Dan segala sesuatu yang hidup itu diciptakan dari unsur air.

Menurut logika bahwa semua makhluk yang telah diciptakan pasti diberi

makan. Dan menurut pengertian secara ilmiah bahwa segala sesuatu yang

hidup itu, tentu terdiri dari unsur hidup pula, antara lain adalah unsur air.

Petunjuk akal dan pengertian ilmiah inilah yang qarînah, yang

menghilangkan kemungkinan dikhususkannya dari petunjuk yang umum.

Karena itu menurut hemat penulis, dilâlah ‘âm dalam ayat di atas adalah

bersifat qath’iy dilâlah ‘ala umûm. Artinya, kedua contoh tersebut di atas

tidak ada kemungkinan untuknya bahwa yang dimaksud adalah khusus.

b. ‘Âm yurâdu bihi khusûs, yakni adanya lafaz ‘âm yang disertai qarînah

yang menghilangkan arti umumnya. Dan menjelaskan bahwa yang

dimaksud dengan am itu adalah sebagian dari satuannya. Misalnya lafaz al-

nâs dalam firman Allah QS. Ali-Imran [3], 97

Kalimat al-nâs adalah ‘âm yakni seluruh manusia. Akan tetapi yang

dimaksudkan dengan ayat tersebut adalah khusus yaitu orang-orang

mukallaf saja. Karena menurut akal tidak mungkin Tuhan mewajibkan haji

bagi orang-orang yang belum dewasa atau orang-orang yang tidak âqil.

Petunjuk akal inilah yang menjadi qarînah yang menghilangkan arti

keumumnan ayat tersebut.

15
c. ‘Âm makhsûs, artinya ‘âm yang khusus untuk ‘âm atau ‘âm muthlaq. ‘Âm

seperti ini tidak disertai dengan qarînah yang menghilangkan kemungkinan

dikhususkan dan tidak disertai pula dengan qarînah yang menghilangkan

keumumannya. Pada kebanyakan nash-nash yang didatangkan dengan sigat

umum tidak disertai qarînah sekalipun qarînah lafdziyah, ‘aqliyah atau

urfiyah yang menyatakan keumumannya atau kekhususnya. Contohnya QS.

Al-Baqarah [2]:228

Kalimat al-muthallaqhât adalah ‘âm makhsûs, ia tetap dalam

keumumannya selama belum ada dalil yang mengkhususkannya.

3. Perbedaan Antara ‘Am,Khas, Dan ‘Am Mukhoshosh

Âm ialah lafaz yang menunjukkan pada jumlah yang banyak dan satuan

yang termasuk di dalamnya, dan memiliki ciri-ciri tertentu.

Sedangkan khâs lafaz yang menunjukkan arti tunggal, baik menunjuk

jenis, macam, nama, atau isim jumlah yang pasti, dan menutup kemungkinan

yang lainnya.

Takhshîsh al-‘âm ialah penjelasan bahwa maksud al-mutakallim

(syari’) dari keumuman lafaznya adalah sebagiannya, tidak keseluruhannya,

agar pendengar tidak mengira selain yang dimaksud.Lafaz âm terbagi atas dua,

yaitu âm yang dapat dimasuki takhshîsh dan âm yang tidak bisa dimasuki

takhshîsh. Karena itu harus ada dalil yang menunjukkan bahwa ia benar-benar

ditakhshîsh.

4. Fungsi Al-‘Am dan Khash

Ketentuan-ketentuan umum yang diberikan oleh para ulama ushul,

namun di samping itu pula perlu diketahui bahwa dalam al-Quran ada beberapa

ayat yang lafaz-lafaznya terikat dengan kaidah-kaidah umum di atas, tetapi

16
yang dimaksud adalah khusus. Begitu pula sebaliknya, lafaznya khusus tetapi

maksudnya umum. kesemuanya ini dapat diketahui dengan melihat kesesuaian

konteks pembicaraannya.

Dan sisi kepastian hukum lafaz ‘âm, wajib diperpegangi atau

diamalkan, hingga ada dalil lain yang menetapkan pentakhsisannya. Karena

diketahui mengamalkan nash-nash yang bersumber dari al-Kitab dan sunnah

hukumnya wajib atas segala yang ditetapkannya. Demikian juka jika terdapat

dalil am karena sebab yang khusus, maka wajib diamalkan berdasarkan

keumumannya, karena kaidah ushul mengatakan :

‫العبرة بعموم اللفظ البخصوص السبب‬

Menurut Hanafiyah, apabila khâs bertentangan ‘âm, maka khâs bisa

mentakhsis âm jika keduanya datang bersamaan, sesuai dengan syarat takhsis

yang mereka tetapkan. Dalam hal keduanya tidak bersamaan, bila ‘âm datang

belakangan berarti menasakh yang khâs, dan bila yang khâs belakangan berarti

menasakh sebagian satuan âm.Hal demikian didasarkan atas prinsip mereka

bahwa untuk mentakhsis dalil âm dan khâs harus bersamaan waktunya,

keduanya mempunyai status yang qath’iy dan masing-masing jelas tidak

membutuhkan penjelasan dari arti lain.

Sedangkan jumhur fuqaha berpendapat bahwa tidak ada pertentangan

antara âm dan khâs, bila keduanya dihadirkan dalam waktu dan tempat yang

sama, maka akan nampak bahwa yang khâs berfungsi menjelaskan yang

âm.Hal itu disebabkan karena dalil âm secara lahiriah selalu mengandung

kemungkinan untuk dijelaskan dengan tepat bisa diamalkan sesuai dengan arti

keumumannnya sampai diketahui ada dalil khâs yang menjelaskannya.

17
Di bawah ini dijelaskan contoh bagaimana kedua metode tersebut

diterapkan. Ada dua hadis yang menerangkan tentang zakat tanaman yaitu:

pertama, ‫ ما سقته ليس السماء ففيه العشر‬dan kedua ‫دون خمسة أوسق صدقة‬

Imam Syafi’i dan jumhur fuqaha memandang bahwa hadits yang kedua

sebagai penjelas terhadap hadits pertama, karena hadits pertama baru

menerangkan dasar kewajiban zakat tanaman dan ukurannya, sedang yang

kedua menerangkan nisabnya. Tetapi Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa

hadis kedua telah dinasakh oleh hadits pertama, yang datang kemudian.Dengan

demikian menurut mereka nisab tanaman itu tidak ada.

Dalam contoh tersebut terlihat bagaimana masing-masing menerapkan

pandangannya yang pokok tentang âm dan khâs, jumhur memandang khâs

menjelaskan yang âm dan mazhab hanafiyah memandang adanya pertentangan

antara keduanya.

5. Contoh Penafsiran al-‘am dan al-Khash

a. Contoh penafsiran al-‘Am :

Lafaz al-nâs dalam firman Allah QS. Ali-Imran [3], 97:

‫ت َم ِن ا ْستَطَا َع اِلَ ْي ِه َسبِ ْياًل ۗ َو َم ْن َكفَ َر فَا ِ َّن هّٰللا َ َغنِ ٌّي‬ ‫هّٰلِل‬
ِ َّ‫ت َّمقَا ُم اِب ْٰر ِه ْي َم ەۚ َو َم ْن َد َخلَهٗ َكانَ ٰا ِمنًا ۗ َو ِ َعلَى الن‬
ِ ‫اس ِحجُّ ْالبَ ْي‬ ٌ ‫ت بَيِّ ٰن‬ٌ ۢ ‫فِ ْي ِه ٰا ٰي‬
َ‫ع َِن ْال ٰعلَ ِم ْين‬

Kalimat al-nâs adalah ‘âm yakni seluruh manusia. Akan tetapi yang

dimaksudkan dengan ayat tersebut adalah khusus yaitu orang-orang

mukallaf saja. Karena menurut akal tidak mungkin Tuhan mewajibkan haji

bagi orang-orang yang belum dewasa atau orang-orang yang tidak âqil.

Petunjuk akal inilah yang menjadi qarînah yang menghilangkan arti

keumumnan ayat tersebut.

18
b. Contoh penafsiran al-khash

Dalam QS. Al-Baqarah [2], 43:

َ‫َواَقِ ْي ُموا الص َّٰلوةَ َو ٰاتُوا ال َّز ٰكوةَ َوارْ َكعُوْ ا َم َع ال ٰ ّر ِك ِع ْين‬

Ayat tersebut secara tegas menunjukkan adanya perintah wajib

melaksanakan shalat dan perintah mengeluarkan zakat dan perintah

tersebut bersifat khusus.

Demikian juga sebaliknya, jika lafaz itu berbentuk larangan, maka

memberi pengertian mewajibkan yang dilarang, selama tidak ada dalil yang

memalingkan dari keharaman itu.Contohnya QS. Al-Isra [17], 33:

ٗ‫ف فِّى ْالقَ ْت ۗ ِل اِنَّه‬ ٰ


ِ ‫ظلُوْ ًما فَقَ ْد َج َع ْلنَا لِ َولِي ِّٖه س ُْلطنًا فَاَل يُس‬
ْ ‫ْر‬ ِّ ۗ ‫س الَّتِ ْي َح َّر َم هّٰللا ُ اِاَّل بِ ْال َح‬
ْ ‫ق َو َم ْن قُتِ َل َم‬ َ ‫َواَل تَ ْقتُلُوا النَّ ْف‬
‫َكانَ َم ْنصُوْ رًا‬

Ini menunjukkan haramnya membunuh secara qath’iy karena sigat

nâhiy juga termasuk khas.

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Mantuq secara bahasa adalah “sesuatu yang diucapkan”, sedangkan menurut


istilah yaitu pengertian harfiah yang ditunjukkan oleh lafadz yang diucapkan itu
sendiri. Manthuq sendiri terbagi menjadi nash, zahir dan mu’awwal. Sedangkan
Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dari suatu teks, sedangkan
menurut istilah adalah “ pengertian tersirat dari suatu lafal (mahfum muwafaqah) atau
pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah).
Mafhum dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum
mukhalafah. Dalam mafhum muwafaqah terdapat (fahwal khitab dan lahnal khitab).
Sedangkan dalam Mafhum mukhalafat terdapat (mafhum al-washfhi, illat, ghayah,
laqaab, hasr dan syarat). Mantuq dan mafhum muwafaqah dapat dijadikan sebagai
hujjah, namun untuk mafhum mukhalafah terdapat pengecualian. Yaitu mafhum laqab
yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.

Âm ialah lafaz yang menunjukkan pada jumlah yang banyak dan satuan yang
termasuk di dalamnya, dan memiliki ciri-ciri tertentu. Sedangkan khâs lafaz yang
menunjukkan arti tunggal, baik menunjuk jenis, macam, nama, atau isim jumlah yang
pasti, dan menutup kemungkinan yang lainnya. Namun terlepas dari ketentuan-

20
ketentuan tersebut bisa saja ada lafas umum, tetapi yang dimaksud adalah khusus.
Demikian juga sebaliknya, bisa saja ada lafaz khusus tetapi yang dimaksud adalah
umum, tentu dengan melihat kesesuaian konteks pembicaraannya. Pengamalan
tuntutan lafaz âm wajib, kecuali ada dalil yang menunjuk selainnya. Dan apabila ada
lafaz âm karena sebab khusus, maka wajib mengamalkan keumumannya. Apabila âm
dan khâs datang bersamaan, maka yang âm di takhshîsh oleh yang khâs. Tetapi jika
âm datang kemudian, menurut hanafiyah, khâs dinasakh oleh yang âm.

B. Saran
Sebagai penulis kami merasa masih ada kekurangan dalam pembuatan makalah ini
oleh karena itu kami mohon kritik dan saran dari pembaca sangat diperlukan agar penulis
dapat memperbaiki tugas makalah selanjutnya.

21
DAFTAR PUSTAKA

Al-Hakim, Sofian. 2015. Konsep dan Implementasi al-‘amm dan al-khash dalam peristiwa

hukum kontemporer. Bandung: UIN Sunan Gunung Djati.

Al-Hudhari, Muhammad. 2000. Ushul Fiqh. Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyah.

Atabik, Ahmad. 2015. Peranan Manthuq dan Mafhum dalam menetapkan hukum dari Al-

Qur’an dan Sunnah. Kudus: STAIN Kudus.

Karim, Syafi’i. 1997. Fiqh Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Setia.

Kartini. 2017. Penerapan lafazh ditinjau dari segi dalalahnya (Mafhum dan Mantuq).

Kendari. IAIN Kendari.

Sahib, Muhammad Amin. 2016. Lafaz ditinjau dari segi cakupannya (‘Am-Khas-Muthlaq-

Muqayyad). Makassar: UIN Alauddin Makassar.

Shihab, M.Quraish. 2013. Kaidah Tafsir. Jakarta: Lentera Hati.

Zuhailiy, Wahbah. 1996. Al-Ushul al-Fiqh al-Islamiy. Damaskus: Dar al-Fikr.

22

Anda mungkin juga menyukai