Anda di halaman 1dari 20

KAIDAH USHULIYAH

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah ushul fiqh
Dosen pengampu: Ade Irma Imamah, M.H.

Disusun Oleh:
1.Muhammad Panji Surya Gemilang (231105051237)
2.Muhammad Angga Saputra (231105051243)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS IBN KHALDUN
BOGOR

2023
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb

Puju sykur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul kaidah ushuliyah (manthuq dan
mafhum, dzahir dan muawwal, nasakh, muradif, musytarak) ini tepat pada waktunya. Adapun
tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah ini ushul
fiqh.
Shalawat dan salam di tujukan kepada Nabi Muhammad saw. Rasul terpilih dan manusia
teladan untuk setiap tindakan yang kita lakukan. Juga di tujukan kepada keluarganya, sahabat-
sahabatnya, para tabi’in dan atba’tabi’in, serta orang-orang sholeh yang mengikuti mereka hingga
hari kiamat.
Dalam penyusunan makalah ini, saya harap adanya kritik serta saran dan masukan yang baik,
karena memang kesempurnaan hanya milik Allah SWT, agar dapat menjadi bahan bacaan yang
baik untuk para pembaca lainnya.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Bogor, 27 september 2023

Tim Penyusun
Daftar Isi

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1


1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................................... 1
1.3 Tujuan ......................................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Manthuq dan mafhum ................................................................................................ 2

2.2 Dzahir dan muawwal .................................................................................................. 3

2.3 Nasakh.......................................................................................................................... 3

2.4 Muradif dan musytarak ............................................................................................... 5

BAB III KESIMPULAN .................................................................................................. 1

DAFTAR PUSAKA
BAB 1

PENDAHULUAN

1,1 Latar belakang

Berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung didalam Al-Qur’an,sebenarnya dari


semua ayat yang didalam Al-Qur’an tersebut tidak semuanya memberikan arti dan
pemahaman yang jelas terhadap kita. Jika kita mau telusuri, ternyata banyak sekali ayat-ayat
masih butuh penjelasan yang lebih mendalam mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat
tersebut.

Sebagai sumber hukum islam,tidak dibenarkan jika memahami AlQur’an hanya dengan
mengandalkan pemahaman teks belaka. Dibutuhkan juga pemahaman yang lebih dari sekedar
teks. Dalam ilmu tafsir kita akan menemukan sebuah pembahasan tentang Manthuq dan
mafhun, Dzahir dan Mu’awwal, Nasakh, Muradi, Musytarak.

mengingat teks Al-Qur’an tidak sertamerta memberi makna yang jelas tentang apa yang
dikandungnya, para mufassir membuat pembahasan ini untuk mempermudah kita memahami
kandungan teks. Jika kita meneliti ayat-ayat Al-Qur’an, kan kita temukan beberapa ayat yang
memberikan pemahaman secara langsung dan jelas, juga ada ayat yang maknanya tersirat
dalam ayat tersebut. Oleh karena itu, agar kita semua memahami dan mengetahui hukum atau
makna yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an, penulisakan memaparkan pengertian,
pembagian dari Manthuq dan mafhun, Dzahir dan Mu’awwal, Nasakh, Muradi, Musytarak

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Mantuq dan Mafhum?

2. Apa saja kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Dzahir dan Muawwal?

3. Apa saja kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Nasakh?

4. Apa saja kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Muradif dan Musytarak?


C. Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui kaidah-kaidah apa saja yang berkaitan dengan Manthuq dan Mafhum.

2. Untuk mengetahui kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Dzahir dan Mu,awwal.

3. Untuk mengetahui kaidah-kaidah yang berkaitan dangan Nasakh

.4. Untuk mengetahui kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Muradif dan Musytarak
BAB II

PEMBAHASAN

A. Manthuq dan Mafhum


Mantuq secara Bahasa adalah “sesuatu yang diucapkan”, sedangkan menurut istilah
yaitu pengertian harfiah atau makna yang ditunjukkan oleh lafadz yang diucapkan itu
sendiri. Pada dasarnya mantuq itu dibedakan berupa nash dan zahir. Kalangan ulama
Syafi’iyah, dilâlah lafal nash dibagi kepada dua macam, yaitu dilâlat al-mantûq dan dilâlat
al-mafhûm. Yang dimaksud dengan dilalat al-mantuq ialah:
"Dilalat al-mantuq ialah penunjukkan latal nash atas suatu ketetapan hukum
(pengertian) sesuai dengan apa yang diucapkan dan dituturkan langsung oleh lafal. Dari
definisi ini dapat dipahami bahwa dilalat al-mantuq ialah satu ketetapan hukum yang dapat
dipahami dan penuturan langsung lafal nash secara tekstual,
Sebagai contoh dapat dilihat pada ( QS An-Nisa' [41] 23 ) ‘... Dharamkan bagi kamu
(menikahi) anak-anak tiri yang berada dalam asuhan kamu dari isteri-isteri yang telah kamu
gauli…’ 1
Berdasarkan ayat ini dapat dipahami bahwa mantuq-nya ialah menunjukkan secara
jelas bahwa haram menikahi anak-anak tiri yang berada dalam asuhan suami dan isteri-
isteri yang sudah digauli.2

1. Mantuq Sarih

Menurut Wahbah Zuhaili yang dimaksud dengan mantiq sharih ialah penunjukkan
laful Bash yang jelas secara langsung tercakup dalam ungkapan lafal nash. Manthug syarih
dalum istilah ulama Syafi'iyah ini adalah apa yang di istilahkan dengan dilalah ibarah
dalam pengertian ulama Hanafiyah. Pada dasarnya mantuq ada yang berupa nas, Zahir.

1
Al-qur’an surat an-nisa ayat 23
2
Abu zahrah, Muhammad, ushul fiqh, (beirut dar al-fikr al-arab, tt)
a.Nash

Adalah lafadz yang bentuknya telah dapat menunjukkan makna yang secara tegas
dan tidak mengandung kemungkinan makna lain. Seperti firman Allah swt. dalam Surat
al-Baqarah: 196 "Maka wajib berpuasa hari dalam masa haji dan tujuh hari lagi apabila
kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh hari yang sempura" Tujuan utama dari
mantiq nash ialah kemandirian dalam menunjukkan makna
secara pasti.

b.zahir

Menurut syaihk wahbah Az-Zuhaili yaitu lafadz atau kalam yang maksud
maknanya bagi orang yang mendengar tanpa harus menunggu qarinah kharijiyah
(ekternal) dan juga tanpa harus merenung, serta makna tersebut bisa di takwil dan tidak
berupa al-maqsud al-sholah.

1.Mafhum Muwafaqah

Adalah suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis
pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini
sesuai dengan masalah yang tidak tertulis karena ada persamaan dalam maknanya.
Disebut mafhum muwafaqah karena hukum yang tidak tertulis sesuai dengan hukum
yang tertulis. Mafhum muwafaah dibagi menjadi dua bagian:3
a. Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya dari pada
yang diucapkan. Contohnya firman Allah swt dalam QS. Al-Isra’ ayat 23: “Janganlah
kamu mengatakan kata-kata keji kepada dua orang ibu bapakmu.”Sedangkan kata-kata
keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.
b. Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang
diucapkan. Seperti firman Allah swt.: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan

3
Basiq Djalil. ,Ilmu Ushul Fiqih,( Kencana Prenada Media Group: Jakarta thn 2010)
harta benda anak yatim secara aniaya sebenarnya memakan api kedalam perut
mereka”.4

2. Mafhum mukhalaf
Adalah pengertian yang dipahami berbeda dengan ucapan, baik dalam istinbat
(menetapkan) maupun nafi (meniadakan). Oleh karena itu, hal yang dipahami selalu
kebalikannya dari pada bunyi lafal yang diucapkan. Seperti dalam firman Allah swt
pada QS. al-Jum’ah ayat 9: “Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada
hari jum’at, maka bersegeralah kamu mengerjakan dan tinggalkan jual beli. ”Dapat
dipahami dari ayat ini, bahwa boleh jual beli di hari jum’at sebelum adzansi mu’adzin
dan sesudah mengerjakan sholat.

B.dzahir dan muawwal

Pengertian Dzahir menurut istilah Ushul Fiqih adalah:

‫المتردد بين أمرين هو في احد هما اظهر‬

Artinya: "Kuragu-ragukan diantara dua perkara atau dua lafaz, sedangkan salah satunya
adalah lebih jelas 5

Maksudnya adalah, suatu lafazd yang bisa diartikan dengan dua makna, tetapi tinjauan
dari segi bahasa menunjukkan bahwa salah satu maknanya, artinya lebih jelas atau lebih
menonjol pada lafaz tersebut dari pada makna lainnya.
Al-Bazdawi memberikan defenisi dzhahir sebagai berikut:

‫إسم لكل كالم ظهر المراد به للسامع بصيغته‬

Artinya: "Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar,
melalui bentuk lafazh itu sendiri 6

Definisi yang lebih jelas dikemukakan oleh Al-Sarakhsi:

‫ما يعرف المراد منه بنفس السامع من غير تأمل‬

4
Hamka haq, ushul fiqh,(ujung padang: Yayasan ahkam, tt.), h.204
5
Abu Muhammad Zahrah,ushul fiqh, (Pustaka Firdaus:Jakarta thn 1994)
6
Syafei rachmat ,ilmu ushul fiqih (Pustaka setia,Bandung thn 2007)
Artinya: "Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa
harus dipikirkan lebih dahulu."7

Dari defenisi diatas, dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan dzahir itu adalah
suatu lafazh yang dengan mendengarkan lafazh itu pendengar bisa langsung mengerti
apa maksudnya tanpa perlu berpikir dan tidak bergantung kepada petunjuk lain.

3. Pengertian Mu'awwal

Mu'awwal menurut kamus istilah fiqih adalah memindahkan makna lafazh (Dzahir) Al-
Qur'an kepada yang mungkin dapat diterima oleh akal dari makna harfiyahnya.

Pengertian mu'awwal dalam penggunaan istilah adalah suatu usaha untuk memahami
lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur'an melalui pendekatan memahami arti atau maksud
sebagai kandungan dari lafazh itu. Dengan kata lain, mu'awwal berarti mengartikan
lafazh dengan beberapa alternatif kandungan makna yang bukan makna lahiriyahya,
bahkan penggunaan secara masyhur kadang- kadang diidentikkan dengan tafsir.8

Hukum Dzahir

Yang dimaksud dengan hukum dzahir adalah dalam hal bagaimana kita boleh atau
harus berpegang pada makna yang dzahir, dan dalam keadaan bagaimana pula kita
boleh meninggalkan arti dzahir.

Para ulama ushul fiqih memberi hukum tentang pemakaian lafaz dzahir sebagai berikut:

‫الظا هر دليل شرعي يجب اتباعه اال ايد ان يدل‬


‫الدليل على خال فيه‬

Artinya: "Dzahir itu adalah dalil syar'i (yang) wajib diikuti, kecuali terdapat dalil yang
menunjukkan lain daripadanya."

Maksudnya adalah apabila tidak terdapat alasan yang kuat untuk mendorong
pentakwilan sesuatu lafazh, maka lafazh dzahirnyalah yang dipakai sebagai dalil dan
yang wajib kita ikuti.

7
Anwar rosihon,ulum al-qur’an,(CV Pustaka setia:Bandung thn 2007)
8
Jumantoro totok,kamus ilmu ushul fiqh,(Amzah,Jakarta,thn 2009)
Hukum Mu'awwal

Landasan umum takwil adalah mengamalkan dalil sesuai konteks bahasanya dan
mengambil ketetapan hukumnya. Takwil itu mencakup berbagai kemungkinan yang
berasal dari akal, bukan bersumber dari bahasa. Takwil tidak akan ada kecuali dengan
dalil.

dalam berijtihad, juga sebagai cara meng- istimbath hukum dari nash dengan
menggunakan takwil

a. jika arti nash itu sudah tentu mengandung hukum, jelas dan dalalahnya qath'i, maka
tidak boleh ditakwilkan dengan akal.

b. Jika arti nash yang zahir itu berarti umum, atau berarti zhanni yang tidak pasti, wajib
mengamalkan sesuai maknanya.

c. Dibolehkan mengubah arti dari yang zahir kepada arti yang lain sepanjang berdasar
pada dalil, bahkan diwajibkan untuk untuk mengompromikan berbagai nash yang
saling bertentangan 9

D. Contoh dan Kaidah-kaidah Dzahir dan Mu'awwal

Firman Allah SWT:

َّ ‫شيْط ُن مِ ن المس ذُلِك بِأنَّ ُهم قالُوا إِنَّما البي ُع ِمث ُل‬
‫الربُوا‬ َّ ‫الَّذِين يأْكُلُون‬
َّ ‫الربُوا ال يقُو ُمون إِ َّال كما يقُو ُم الَّذِي يتخ ْبطُهُ ال‬
ُ‫صحُب‬ ْ ‫ّللا ومن عاد فأ ْولئِك أ‬ ِ َّ ‫الربوا ما سلف فأنتهى فلهُ موعِظة َّمن َّربِ ِه فمن جاءهُ إِلى‬ َّ ‫وأح َّل‬
َّ ‫ّللاُ البيع وح َّرم‬
‫ فِيها ُخ ِلدُون‬٢٧٥ ُ‫ار هُم وأمره‬ ِ َّ‫الن‬

Artinya: "orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka mereka (berkata) berpendapat,
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba". (QS. Al-Baqarah: 275).

Ayat ini datang, menurut konteks kalimatnya, untuk mengharamkan riba dan untuk
menjelaskan perbedaan antara riba dan jual beli. Akan tetapi, dari zhahir lafazhnya
mengandung pengertian diperbolehkannya jual beli 10

9
Munir samsul,kamus ilmu ushul fikih (Jakarta,tt)
10
Shihab,m.qurais,kaidah tafsir (lentera hati,Jakarta,thn 2013)
Contoh Lafadz Mu'awwal
Seperti lafaz "yadun" dari firman Allah yang berbunyi:

‫………والسما بنينا ها بأيد‬.

"Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan kami." (QS. Adz-Dzariyaat: 47).

Lafadz (‫ )يد‬pada ayat diatas, makna dzahir-nya adalah "tangan" sebagaimana


keterangan diatas. Tetapi oleh para ulama', lafadz (‫)يد‬atau (‫)ايد‬pada ayat diatas diartikan
"tangan" berarti mempersembahkan Allah dengan makhluk, sedang Allah tidak
mempunyai sesuatu pun sebagaimana difirmankan dalam Al-Qur'an yang berbunyi:

‫ليس كمثله شئ‬


satupun yang "Tidak ada menyerupai-Nya". (QS. A-s-Syura: 11).

Oleh karena itu maka ditakwil arti "tangan" menjadi "kekuasaan". Perubahan arti yang
demikianlah yang yang dianamakan takwil11

C. NASKH

Naskh menurut bahasa ‫( االزالة‬menghapus/menghilangkan), seperti ungkapan


‫ نسخت الشمس الظل اذاازالته ورفعته بانبساطها‬menghapus kegelapan ketika ia menghapus dan
menghilangkannya dengan membentang luas), dan adapula yang memberi makna:
ِ ‫ نس ْحتُ ما فِي هذا ا ْلكِتا‬saya
‫(النقل‬menyalin) seperti ungkapan ulama : ‫ب إِذا نقلتُ ما فِي ِه إلى آخر‬
menyalin apa-apa yang ada didalam kitab ini, ketika saya menyalin apa-apa yang ada
didalam kitab ketempat yang lain)

Sedangkan menurut syara' (istilah) NASKH ialah:

‫رفع حكم شرعي ِبدلِي ِل ش ْرعِي ُمتأ خر‬


"Menghilangkan hukum syara' dengan dasar dalil yara yang lebih akhir datangnya”

NASKH terbagi beberapa macam yaitu:

1.Menaskh tulisannya dan menetapkan hukumnya

‫ار ُج ُموها ا ْلبتَّة‬


ْ ‫شيْحةُ ِإذا ز ْيبًا ف‬
َّ ‫الشيخ وال‬

11
Basiq Djalil,op.cit,hal 120
"Orang tua laki-laki dan perempuan ketika berzina maka rajamlah mereka dengan
pasti”

Keterangan itu diyakini dulunya ada seperti yang diungkapkan oleh Umar bin Khattab
ra: "Saya sesungguhnya pernah membaca ayat in" (HR. Imam Syafi' dan lainnya), dan
hal itu tetap dipertahankan secara hukum sesuai Hadits Nabi :
(‫وقدْ رحم صلَّى للاُ عل ْي ِه وسلَّم ا ْل ُم ْحصنِين )متفق عليه‬

"Dan anwngguhnya Nabi Saw telah merajam para perina Muhshion (muttafag alaih)

Dan penjelasan tentang Pezina Muhshon adalah orang tua laki-laki dan perempuan.

2. Menasakh hukumnya dan menetapkan tulisannya

Firman Allah Swt dalam surat al-Baqarah: 240

‫صيَّةً ِّل ْزوج ِهم مِنعًا إِلى ا ْلح ْو ِل‬


ِ ‫والَّذِين يُتوفَّ ْون مِنكُ ْم ويذ ُرون أ ْزو ًجا و‬

"Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri.
hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yainu) diberi nafkah hingga setahun
lamanya dan tidak disurah pindah (dari rumahnya).

Ditakhsis dengan ayat dalam surat al-Baqarah 234


ْ َّ‫والَّذِين يُتوفَّ ْون مِنكُ ْم ويذ ُرون أ ْزو ًجا يترب‬
‫صن بِأنفُ ِس ِه َّن أ ْربعة أ ْش ُهر وع ْش ًرا‬
"Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-
isteri(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber' iddah) empat bulan sepuluh
hari"
3. Menasakh dat perkara sekaligus

Seperti Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Aisyah ra tentang berapa
kali seseorang menjadi anak susuan seorang ibu:

‫كان فِيما أ ُ ْن ِزل عش ُر رضعات م ْعلُومات يُح ِرمن فنُسِحْ ن ِبخ ْم ِس رضعات‬
‫م ْعلُومات يُحرمن‬
"Hukum yang berlaku adalah sepuluh kali menyu yang diketahui maka menjadikan haram
baginya, kemudian disalin menjadi lima kali menyusu yang diketahui yang menjadikan
haram baginya,"12
4. Menasakh Hadits dengan Al-Qur'an
Seperti dalam hal menghadap Baitul Maqdis sebagai Qiblat, yang ditetapkan didalam
sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim13

َّ ‫فإِنَّهُ اسْت ْقبلهُ فِي ال‬


‫صالةِ ِستَّة عشر ش ْه ًر‬
"Maka sesungguhnya Nabi Saw Meng0adap ke Baitul Maqdis dalam sholatnya selama 16
bulan"
Hadits ini dinasakh dengan firman Allah Swt dalam surat al-Baqarah: 144
ْ ‫قول و ْجهك ش‬
‫طر ا ْلمس ِْج ِد ا ْلحر ِام‬

.....Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram."


5. Menasakh Hadits dengan Hadits
Seperti Hadits nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

‫نه ْيتُكُ ْم ع ْن ِزيارة ا ْلقب ِْر ف ُر ْو ُروها‬


"Saya melarang kamu semua untuk berziarah kubur, maka kemudian berziarahlah"
Sebagian ulama berpendapat bahwa boleh menasakh al-Qur'an dengan al-Hadits

seperti pada surat al-Baqarah: 18

‫صيَّةُ ِل ْلولِدي ِْن و ْاّل ْقربِين‬


ِ ‫كُتِب عل ْيكُ ْم إِذا حضر أحدكُ ُم ا ْلم ْوتُ إِن ترك خي ًْرا ا ْلو‬
‫بِا ْلم ْع ُروفِ حقًّا على ا ْل ُمتَّقِين‬
"Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)

maur, jika ia meninggalkan harta yang banyak, herwaniat untuk ibu bapak dan karib
kerabatnya secara mu'ruf. (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa."
Yang dinasakh oleh Hadits Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi

dan Ibnu Majah:14

12
H.sukanan,khairudin,mabadi awaliyah ushul fiqh hal 15
13
H.sukanan,khairudin,mabadi awaliyah ushul fiqh,hal,16
14
H.sukana,khairudin,terjemah mabadi awaliyah,hal 17
‫اّلوصيَّة لِو ِارث‬
ِ
"Tidak boleh berwasiat kepada ahli waris"
D. MURADIF DAN MUSYTARAK
1. Pengertian Muradif dan Musytarak

Muradif menurut bahasa artinya adalah: membonceng / ikut serta. Muradif yang
dimaksudkan oleh ahli uṣul fiqih adalah: “beberapa lafaẓ terpakai untuk satu makna”.
Contohnya:

• Amān
• Janaḥū
• Dhimmah Bermakna
• Salām damai
• Ṣulḥu
• Hudnah
Itu semua bermakna damai
Musytarak menurut bahasa adalah, berserikat, berkumpul. Musytarak dalam uṣul
fiqih adalah : “lafaẓ yang dibentuk untuk dua arti atau lebih yang berbeda-beda”.

Contoh: lafaz yang diartikan dengan damai

• Amān (Sebuah keadaan yang tenang)


• Janaḥū (kecenderungan kepada perdamain)
• Lafaẓ yang diartikan Dhimmah (Memberi perlindungan)
• dengan damai Salām (Memberi ketentraman)
• Ṣulḥu (Menyelesaikan perselisihan)
• Hudnah (Menghentikan peperangan)

Muradif ialah lafaẓ-nya banyak sedang artinya sama (sinonim). Musytarak, ialah suatu
lafaẓ yang mempunyai dua arti yang sebenarnya dan arti-arti tersebut berbeda-beda. Seperti
lafaẓ laun yang artinya putih atau hitam. Apabila arti yang sebenarnya hanya satu dan yang
lain arti majaz, maka tidak dikatakan musytarak.15

2. Hukum lafaẓ muradif dan musytarak

15
M.alfatih suryadilaga, metodologi ilmu tasfir (Yogyakarta:Hak cipta, 2005),135.
a) Hukum muradif
Hukum muradif yang dimaksudkan disini adalah tentang timbulnya persoalan yang
dikarenakan adanya lafaẓ-lafaẓ muradif, dalam hal demikian, para ulama mempersoalkan
hukumnya, seperti misalnya apakah boleh satu lafaẓ diganti dengan lafaẓ lain yang
maknanya sama. Seperti lafaẓ ‫ جىحىا‬diganti dengan lafaẓ ‫ هدوه‬. Para ulama umumnya
berpendirian bahwa bacaan Al-Qurān yang bersifat ta’budi, tidak boleh diganti dengan
lafaẓ muradif-nya karena Al-Qurān dan seluruh lafaẓ nya adalah mengandung mukjizat,
sedang muradif satu lafaẓ dalam Al-Qurān bukanlah teks Al-Qurān yang dengan sendirinya
tidak mengandung mu‟jizat. 16
Sehubungan dengan masalah muradif ada juga para ulama yang berselisih pendapat
dalam hal-hal tertentu, seperti dalam masalah zikir. Dalam masalah zikir itu pun bagi
golongan yang membenarkan muradif, memberikan dua syarat yang harus dipenuhi, yakni:
1). Boleh dipakai lafaẓ muradif, bila penggantian lafaẓ muradif tersebut tidak
mendapat halangan dari Agama, baik secara jelas atau samar-samar.

2). Boleh dipakai lafaẓ muradif, bila penggantian lafaẓ boleh dipakai lafaẓ muradif-nya itu
berasal dari satu bahasa, yakni sama-sama bahasa Arab.17
b) Hukum Musytarak

Yang dimaksudkan dengan hukum musytarak. Disini adalah tentang boleh tidaknya
menggunakan lafaẓ musytarak. Tentang hal ini para ulama berselisih, pendapat satu pihak
membolehkan, sedang di pihak lain sebaliknya. Menurut jumhur ulama adalah :
‫استعمال المشترك في معنيه يجوز‬
Artinya: Menggunakan lafaẓ musytarak dalam dua makna atau beberapa makna adalah
boleh.
Mereka ini beralasan dengan firman Allah swt. (QS. Al-Haj: 18):
َّ ‫س وٱ ْلقم ُر وٱلنُّ ُجو ُم وٱ ْل ِجبا ُل وٱل‬
‫شج ُر وٱلدَّوآبُّ وكثِير مِن‬ ِ ‫ت ومن فِى ٱ ّْل ْر‬
َّ ‫ض وٱل‬
ُ ‫ش ْم‬ ِ ‫أل ْم تر أ َّن ٱ َّّلل ي ْس ُجدُ لهۥُ من فِى ٱلس ََّٰم َٰو‬
ِ َّ‫ٱلن‬
‫اس‬
Artinya: Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di
langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang
melata dan sebagian besar daripada manusia?
Lafaz sujud adalah musytarak, karena bisa berarti meletakkan dahi di tanah dan bisa berarti
tunduk. Dan dalam ayat tersebut ditujukan pada manusia dan makhluk yang tidak berakal

16
Kementerian agama RI,Al-qur’an al-karim wa terjemah……135
17
Basiq djalil,ilmu ushul fiqih(satu dan dua) (Jakarta:Kencana 2010),116-117
seperti bumi, langit, bulan dan lain-lain. Disamping itu, memang ada juga Ulama yang
beranggapan bahwa menggunakan lafaz musytarak dalam dua makna atau lebih adalah
tidak boleh.18

1). Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan Muradif dan Musytarak

ُ ‫إتفاعُ كُل مِن ا ْلموادِفي ِْن مكان ْاْلخر ي ُج‬


‫ور ِإذا ل ْم يقُ ْم عل ْي ِه طا ِل ُع ش ْرعِي‬
Artinya: Mendudukkan dua muradif pada tempat yang lain diperbolehkan jika tidak ada
ketetapan syara'.

Menetapkan dua muradif pada tempat yang lain itu dibolehkan jika dibenarkan oleh syara'.
Al-Quran adalah muzat karenanya tidak boleh mengubahnya. Bagi malikiah takbir sholat
tidak boleh kecuali kata Allah Akbar. Imam Syafi'i membolehkan dengan kata Allahu
Akbar. Sedangkan imam abu hanafiah membolehkan Allah Akbar diganti dengan Allah al-
Azim Allah al Ajal19
C. Pembagian Muradif dan Musytarak
Kembali kepada persoalan lafaz dan makna. Perlu juga dicatat bahwa tidak selalu kata
hanya memiliki satu makna, bisa jadi ada dua atau lebih maknanya,sebaliknya, tidak selalu
satu makna hanya memiliki satu lafaz Memang pada umumnya satu lafaz dengan makna,
para pakar mengamati bahwa ada empat macam bentuknya:
1. Lafaz-lafaz yang beraneka ragam dan mempunyai makna yang beraneka ragam pula,
seperti jika anda berkata insa (‫) إنسان‬manusia, faras (‫)فرس‬/ Kuda, qalam (‫ )قلم‬pena, dan lain-
lain. Lafaz-lafa; yang berbeda-beda ini masing-masing mempunyai makna tertentu yang
berbeda dengan makna lafaz yang lain. Macam inilah yang terbanyak dalam bahasa Arab,"

2. Satu lafaz yang memiliki aneka makna yang berbeda-beda seperti kata 'aîn (‫ )عين‬yang
dapat berarti mata, yakni organ yang digunakan melihat, dapat juga berarti perhatian, atau
mata-mata, atau sumber air, dan lain-lain. ini dinamai musytarak. Yang musytarak dapat
dibagi pada:
a. Musytarak lafzi
Musytarak lafzi adalah lafaz yang diletakkan untuk menunjukkan dua makna atau lebih.
Contohnya lafaz (‫ )العين‬yang memiliki makna mata kepala, matahari, mata air, mata-mata,
barang dagangan, dan emas" Dr. Muhammad Zaki Abdul memberikan perbedaan antara
musytarak dan 'amm. Lafaz 'amm itu mencakup semua afrad-nya namun dengan satu
makna, tapi musytarak dengan macam- macam arti. Sedangkan perbedaannya dengan lafaz

18
Syafi’I karim, fiqih/ushul fiqih (Bandung: pustia studio,1997), 195.
19
Kementerian agama RI, Al-qur’an al-karim wa terjemah…..,514
muthlak adalah kalau musytarak itu umum dan tidak diketahui mana yang dimaksud
kecuali yang berbicara, sedangkan muthlak itu baik yang bicara atau pendengar itu tidak
tahu mana yang diinginkan. Dengan demekian maka dapat disimpulkan bahwa musytarak
lafzi adalah tulisan dan pengucapannya sama, akan tetapi maknanya berbeda.
b. Musytarak makna

Musytarak makna adalah kata atau frasa yang tulisan dan pengucapannya berbeda, akan
tetapi maknanya sama, musytarak maknawi juga dimaksudkan untuk menunjukkan titik
temu (gadrun musytarak) di atas arti lafaz itu." Sedangkan dalam bahasa Indonesia sama
dengan makna polisemi contoh wanita dan perempuan maksud dari contoh di atas adalah
kalau dilihat dari makna biologis bahwa kata wanita dan perempuan memiliki kesamaan
yaitu memiliki ciri-ciri yang sama, akan tetapi di lihat secara bentuk sosial wanita itu
mempunyai makna negatif dan perempuan mempunyai makna positif."20
3. Beragam lafaz, nama mempunyai satu makna yang sama. Seperti kata saif (‫)سيف‬, husan
(‫)حسان‬, muhannad (‫)مهند‬, dan lain-lain. Ini dinamai mutaradif (‫ )مترادف‬sinonim

4. Lafaz yang mempunyai dua makna yang bertolak belakang, seperti kata "as as (‫)عسعس‬
(QS. at-Takwir :17). la bisa berarti datangnya malam, bisa juga kepergiannya. Atau kata
quru (‫( )قروء‬QS. al-Baqarah: 228), yang dapat berarti suci dapat juga haid. Ini dinamai
Adhdad (‫)اضداد‬
Mufasir harus memilih salah satu lafaz bila lafaz-lafaz lain tidak dapat diterima secara
bersama. Tetapi kalau keduanya keseluruhannya dapat digabung dengan benar maka
mayoritas ulama menyatakan bahwa kesemuanya dapat diterima.21
Perlu ditambahkan bahwa walaupun hampir dapat dikatakan bahwa mayoritas pakar
bahasa mengakui adanya musytarak dan mutaradif tetapi segelintir ulama Al-Quran
menolak adanya hal tersebut dengan dalil, kalau memang dalam Al-Quran ada kedua jenis
kata tersebut, maka:

a). Tentu ia harus disertai dengan indikator yang menunjukkan makna yang
dikehendakinya, dan ini mengakibatkan bertele-telenya uraian; satu hal yang bukan
merupakan sifat bahasa yang baik.

b). Kalau tidak disertai dengan indikatornya, maka tujuan memahamkan pesan pembicara
(Allah) kepada mitra bicara (manusia) tidak akan tercapai. Sehingga kesimpulannya tidak
ada musytarak dan mutaradif dalam Al-Quran.22

20
Safian Shidik. Ushul fiqh (Bandung: Kampus jaya 1993), 131.
21
M. Qurais Shihab, kaidah tafsir (Tanggerang:Lentera Hati, 2013) 275.
22
Wahbah az-zuhaili, ushul al-fiqih al-islami juz 1 (Damaskus:dar al-fikr,2009),275
Pendapat ini tidak diterima oleh mayoritas ulama Al-Quran. Bukankah Al- Quran pada
dasarnya menggunakan bahasa Arab, sedangkan bahasa Arab menggunakan kedua macam
lafaz itu sehingga tidak heran jika Al-Quran pun menggunakannya.
Memang, harus ada indikator dalam menetapkan makna satu lafaz musytarak. Di sanalah
tugas ulama untuk mencarinya, baik dari penggunaan kata tersebut oleh Al-Quran, maupun
dari luar Al-Quran, bermula dari Sunnah Nabi SAW. hingga pandangan pakar-pakar yang
kompeten
Adapun yang mutaradif, kaidah umum yang berlaku adalah: "Tidak ada dua kata yang
berbeda kecuali pasti ada perbedaan maknanya." Jangankan yang berbeda akar katanya,
yang sama akar katanya pun, tetapi berbeda bentuknya akibat penambahan huruf, seperti
kata rahman dan rahim, atau qatala dan qattala, maka pasti ada perbedaan maknanya,
sedikit atau banyak. Pakar-pakar bahasa menegaskan bahwa bentuk kata memengaruhi
makna. Sebagai contoh, kalau seseorang "mahir" melakukan sesuatu, sehingga sosoknya
sudah menjelma bagaikan alat, maka bentuk kata yang digunakan adalah bentuk Mifal
(‫)مفعل‬, seperti mihrab (‫ )محرب‬bagi yang demikian unggul dalam peperangan. Kalau dia kuat
/ sangat mampu melakukan sesuatu, maka bentuk kata yang digunakan adalah Fa'al (‫)فعل‬,
seperti kata syakur (‫ )شكور‬dan sabur (‫ )صبور‬bagi yang sangat kuat dan mampu bersyukur
atau amat bersabar. Sedang kalau ia sering melakukan sesuatu dari saat kesaat, maka bentuk
katanya adalah Fa'al (‫)فعل‬, seperti kata ghaffar (‫)غفار‬, yakni Allah menganugerahkan
pengampunan dari saat ke saat, sedang kalau sesorang telah melakukan satu aktivitas
sehingga menjadi adat kebiasaannya, maka bentuk kata yang digunakan adalah Mifal
(‫)مفعل‬, seperti mi’tha (‫)معطاء‬, yakni yang senantiasa dengan hati senang dan dengan mudah
memberi."23

23
Muhammad Zaki Abdul Barr, Taqnin Ushul al-Figh (Kairo; Maktabah Dir al-Turath)
BAB III
PENUTUP

A.KESIMPULAN
Mantuq adalah sesuatu yang ditunjuki lafal dan ucapan lafal itu sendiri.Mafhum, sesuatu
yang ditunjuk oleh lafal, tetapi bukan dari ucapan lafalitusendiri. Jadi mantuq, adalah
pengertian yang ditunjukkan oleh lafal di tempatpembicaraan dan mafhum ialah
pengertian yang ditunjukkan oleh lafal tidak ditempat pembicaraan.Dzahir adalah
lafal yang menunjukkan makna secara langsung tanpa memerlukan penyerta lain untuk
memahami maksud lafal itu dan memungkinkan adanya takhsis maupun takwil. Sedangkan
muawwal adalah lafal yang dikeluarkan dari makna dhohirnya pada makna lain yang
menghendakinyaberdasarkan bukti yang menunjukkan demikian, serta memungkinkan
adanyarajih.Nasakh dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqhi adalah:
Pembatalanpemberlakuan hukum syar'i dengan dalil yang datang belakangan dari
hukumansebelumnya, yang menunjukkan pembatalannya baik secara terang-
teranganatausecara kandungannya saja, baik pembatalan secara umum atau untuk
pembatalan sebagian saja karena suatu kemaslahatan yang menghendakinya.Muradif ialah
lafalnya banyak sedang artinya sama (synonim).Sepertilafal asad dan allaits (artinya
singa), hintah dan qarmhu (artinyagandum).Musytarak, ialah suatu lafal yang mempunyai
dua arti yang sebenamyadan arti-arti tersebut berbeda-beda.

B.SARAN

Seluruh pengerjaan makalah ini dilakukan oleh tangan-tangan manusia biasa yang kerap
membuat kesalahan, kami pemakalah sangat menyadari makalah ini pun tidak luput dari
kesalahan dan kekurangan tersebut. Oleh karena itu kami mengharap saran dan kritik yang
membangun dari pembaca sekalian agar nantinya kesalahan-kesalahan itu dapat diperbaiki
pada makalah-makalah yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr al-Arab, tt.
Al-Hudhari, Muhammad, Ushul Fiqh, Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyah, 2000.
Al-Qatthan, Manna' Khalil, Mabahits Fi Ulum al-Qur'an, Al-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-
Islami, Baerut: Dar al-Fikr, 1986
Khalaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Kairo: Dar al-Qalam, 1978.
Shihab, M.Quraish, Kaidah Tafsir, Jakarta: Lentera Hati, 2013.
Umam, Khairul dan Akhyar Aminuddin, Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 1989.
M. Quraish Shihab, Kaidah tafsir..... 208
Kementerian Agama RI. Al-Quran al-Karim wa Terjemah..... 514.
Basiq Djalil, Ilmu Usul Fiqih 122.
"Safian Shadik. Usul Fiqh bandung: Kampus Jaya, 1993, 131..
Wahbah az-zuhaili, ushul al-fiqih al-islami juz 1 Damaskus:dar al-fikr,2009,275
Basiq djalil,ilmu ushul fiqih (satu dan dua):Jakarta:Kencana 2010,116-117

Syafi’I karim, fiqih/ushul fiqih Bandung: pustia studio,1997, 195.

M.alfatih suryadilaga, metodologi ilmu tasfir Yogyakarta:Hak cipta, 2005,135.

Muhammad Zaki Abdul Barr, Taqnin Ushul al-Figh Kairo; Maktabah Dir al-Turath

Anda mungkin juga menyukai