Anda di halaman 1dari 15

KAIDAH USHULIYAH( MANTHUQ DAN MAFHUN, DZAHIR DAN

MU’AWWAL, NASAKH, MURADI, MUSYTARAK)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Ushul Fiqh

Dosen Pembimbing :
Liantha Adam Nasution, S.H.I., M.H

OLEH
Kelompok 2 (MBS 1 A)

Oleh:
1. Riadoh Amalia
2. Linda Pulungan

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
MANDAILING NATAL
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT atas limpah
dan rahmat dan hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah yang
berjudul “Kaidah Ushuliyah (Manthuq dan Mafhum, Dzahir dan Mu’awwal,
Nasakh, Muradif dan Musytarak)”. makalah ini disusun guna menambah wawasan
pengetahuan mengenai Kaidah-kaidah ushuliyah..

Penulis menyadari bahwa kemampuan dalam penulisan makalah ini jauh dari
kata sempurna. Penulis sudah berusaha dan mencoba mengembangkan dari
beberapa referensi mengenai Kaidah-kaidah Ushuliyah yang saling berkaitan.
Apabila dalam penulisan akalah ini ada kekurangan dan kesalahan baik dalam
penulisan dan pembahasannya maka penulis sangat sangat menyadari bahwa
semua itu karena keterbatasan kemampuan penulis. Akhir kata, semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Panyabungan, Juni 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4
A. Latar belakang..............................................................................................4
B. Rumusan masalah........................................................................................5
C. Tujuan..........................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................6
A. Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Manthuq dan mafhum....................6
B. Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Dzahir dan Mu’awwal....................7
C. Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Nasakh............................................8
D. Kaidah-kaidah yangberkaitan dengan Mudarif dan Musytarak................12
BAB III PENUTUP...............................................................................................16
KESIMPULAN.....................................................................................................16
SARAN..................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika kita berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung didalam Al-
Qur’an, sebenarnya dari semua ayat yang didalam Al-Qur’an tersebut tidak
semuanya memberikan arti dan pemahaman yang jelas terhadap kita. Jika kita
mau telusuri, ternyata banyak sekali ayat-ayat masih butuh penjelasan yang lebih
mendalam mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat tersebut.
Sebagai sumber hukum islam, tidak dibenarkan jika memahami Al-Qur’an
hanya dengan mengandalakan pemahaman teks belaka. Dibutuhkan juga
pemahaman yang lebih dari sekedar teks. Dalam ilmu tafsir kita akan
menemukan sebuah pembahsan tentang Manthuq dan mafhun, Dzahir dan
Mu’awwal, Nasakh, Muradi, Musytarak. mengingat teks Al-Qur’an tidak serta
merta memberi makna yang jelas tentang apa yang dikandungnya, para mufassir
membuat pembahsan ini untuk mempermudah kita memahami kandungan teks.
Jika kita meneliti ayat-ayat Al-Qur’an, kan kita temukan beberapa ayat
yang memberikan pemahaman secara langsung dan jelas, juga ada ayat yang
maknanya tersirat dalam ayat tersebut. Oleh karena itu, agar kita semua
memahami dan mengetahui hukum atau makna yang terdapat dalam ayat-ayat Al-
Qur’an, penulis akan memaparkan pengertian, pembagian dari Manthuq dan
mafhun, Dzahir dan Mu’awwal, Nasakh, Muradi, Musytarak.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Manthuq dan Mafhum?
2. Apa saja kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Dzahir dan Mu’awwal?
3. Apa saja kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Nasakh?
4. Apa saja kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Muradif dan Musytarak?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kaidah-Kaidah Yang Berkaitan Dengan Mantuq Dan Mafhun

1. Pengertian Mantuq Dan Mafhum


Mantuq adalah sesuatu yang ditunjuki lafal dan ucapan lafal itu
sendiri. Mafhum, sesuatu yang ditunjuk oleh lafal, tetapi bukan dari ucapan
lafal itu sendiri. Jadi mantuq, adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafal di
tempat pembicaraan dan mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh lafal
tidak di tempat pembicaraan, tetapi dari pemahamanterdapat ucapan tersebut.
Seperti firman Allah:
َ Dَ‫دَكَ ۡٱل ِكب‬D‫ك َأاَّل ت َۡعبُد ُٓو ْا ِإٓاَّل ِإيَّاهُ َوبِ ۡٱل ٰ َولِد َۡي ِن ِإ ۡح ٰ َسنً ۚا ِإ َّما يَ ۡبلُغ ََّن ِعن‬
‫ا‬DD‫ ُدهُ َمٓا َأ ۡو ِكاَل هُ َم‬D‫ر َأ َح‬D َ ُّ‫ى َرب‬Dٰ ‫ض‬ َ َ‫۞ َوق‬
‫ َوقُل لَّهُ َما قَ ۡواٗل َك ِر ٗيما‬D‫ف َواَل ت َۡنهَ ۡرهُ َما‬ ّ ٖ ‫فَاَل تَقُل لَّهُ َمٓا ُأ‬
"Maka jangan kamu katakan kepada dua orang ibu bapakmu
perkataan yang keji" (QS. Al Isra ': 23).
Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq yaitu ucapan lafal itu
sendiri (yang nyata = uffin) jangan kamu katakan perkataan yang keji kepada
dua orang ibu bapakmu. Sedangkan mafhum yang tidak disebutkan yaitu
memukul dan menyiksanya(juga dilarang), karena lafal-lafal yang
mengandung kepada arti, diambil dari segi pembicaraan yang nyata
dinamakan mantuq dan tidak nyata disebut dengan mafhum.1
2. Pembagian Mantuq
a. Nash, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin di ta'wilkan lagi.
Seperti firman Allah SWT.: Artinya: "Barang siapa yang tidak sanggup
melakukan yang demikian maka kafaratnya adalah puasa selama tiga hari"
(QS. Al-Maidah: 89).
b. Zhahir, yaitu suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan
yang dimaksud dan menghendaki kepada penta'wilan Seperti firman Allah
1
Usman Muhlish, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta. PT:RajaGrafindo
persada.1996. Hal. 45
SWT.: Artinya: "Dan kekal wajah Tuhan engkau" (QS. Ar Rahman: 27).
Wajah dalam ayat diartikan dengan zat, karena mustahil bagi Tuhan
mempunyai wajah.
3. Pembagian Mafhum
Mafhum juga dapat dibedakan kepada 2 bagian:
a. Mafhum Muwafaqah; yaitu pengertian yang dipahami sesuatu menurut
ucapan lafal yang disebutkan. Mafhum Muwafaqah dapat dibedakan
kepada:
1.) Fahwal khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya
daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua lebih tidak boleh
hukumnya.
2.) Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya
dengan yang diucapkan, seperti fiman Allah SWT.: .
b. Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada
ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi (meniadakan). Oleh
sebab itu hal yang dipahami selalu kebalikan- nya daripada bunyi lafal yang
diucapkan.
B. Kaidah-Kaidah Yang Berkaitan Dengan Dzahir Dan Muawwal
1. Pengertian Dzahir dan Mu’awwal
Dzahir adalah lafal yang menunjukkan makna secara langsung tanpa
memerlukan penyerta lain untuk memahami maksud lafal itu dan
memungkinkan adanya takhsis maupun takwil serta nasakh di masa
Rasulullah SAW. (Ahmad Muhammad asy-Syafi, 1983 374).
Sedangkan muawwal adalah lafal yang dikeluarkan dari makna
dhohirnya pada makna lain yang menghendakinya berdasarkan bukti yang
menunjukkan demikian, serta memungkin- kan adanya rajih.2
Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Dzahir dan Muawwal adalah
sebagian berikut:
2. Masalah Faru'iah dan Takwil
2
Karim A. Syafi’I, Fiqih Ushul Fiqih,Bandung. Cv pustaka setia. 1997. Hal. 88
Jumhur ulama sepakat bahwa masalah-masalah furu'iah dapat
ditakwilkan. Kaidahnya: "Masalah furu'dapat dimasuki takwil secara ittifaq"

3. Masalah Aqoid, Ushuluddin, atau Ketuhanan dan Takwil


Dalam kaitan masalah yang esensi ini, para ulama berbeda pendapat
dalam penakwilan.
a. Golongan Musyabbahah tidak menghendaki adanya takwil pada masalah
aqoid
b. Golongan Salaf (Hanbaliah maupun Ibnu Taimiah) memper- bolehkan
adanya takwil pada masalah esensi namun pada akhirnya penakwilan itu
diserahkan pada Allah SWT.
c. Golongan Mutakallimin, seperti Asy'ariyah memperbolehkan adanya
takwil pada masalah esensi.
C. Kaidah-Kaidah Yang Berkaitan Dengan Nasakh
1. Definisi Nasakh
Nasakh dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqhi adalah: Pembatalan
pemberlakuan hukum syar'i dengan dalil yang datang belakangan dari hukum
ang sebelumnya, yang menunjukkan pembatalannya baik secara terang-
terangan atau secara kandungannya saja, baik pembatalan secara umum atau
untuk pembatalan sebagian saja karena suatu kemaslahatan yang
menghendakinya, atau nasakh ialah : menyatakan dalil susulan yang
mengandung penghapusan pemberlakuan dalil yang terdahulu.
2. Hikmah Penasakhan Hukum
Nasakh ini terjadi pada hukum ilahi dan terjadi pula pada semua
hukun asitif. Sebab maksud dari setiap hukum baik hukum Ilahi maupun
hukur sitif ialah mewujudkan kemaslahatan manusia. Kemaslahatan manusi
kadang mengalami perubahan dengan perubahan yang terjadi pada situasi
dan kondisi mereka.Terkadang suatu hukum diisvaratkan untuk
mewujudkan kemaslahatan yang dituntut oleh berbagni sebab, maka tidak
ada lagi kemaslahatan bagi tetapnya hukum itu, sebagaimana disebutkan
bahwa sejumlah delegasi dari kaum muslimin datang ke Madinah pada hari
Raya Idul Adha, kemudian Rasulullah SAW hendak meniamu di antara
teman-teman mereka dalam kelapangan, maka beliau melarang kaum
muslimin menyimpan daging kurban, sehingga para delegasi itu
menemukan kelapangan pada mereka. Lantas setelah mereka berangkat,
maka beliau memperboleh- kan kaum muslimin menyimpan daging kurban
lagi. Rasulullah SAW bersabda: "Aku melarang kamu menyimpan daging
kurban hanyalah karena ada penumpukan, ingatlah maka simpanlah !"
Di samping itu, karena keadilan pembentukan hukum menuntut
keber- tahapan dan tidak ada keterburu-buruan orang yang mensyariatkan
kepada mereka dengan sesuatu yang memberatkan mereka untuk
melaksanakannya, atau sesuatu yang berat bagi mereka untuk
meninggalkannya. Jadi, keber- tahapan ini menuntut keadilan dan
penukaran sebagaimana yang terjadi pada hukum khamar. Allah SWT.
tidaklah mensyariatkannya pada permulaan pentasyrikan. Akan tetapi Allah
menjelaskan bahwa khamar mengandung dosa vang besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, namun dosanya lebih besar daripada manfaatnya.
3. Macam-macam Nasakh
Nasakh terkadang sharih (jelas) dan kadangkala bersifat dhi
(kandungannya) Naskh yang sharih ialah: Syari' menyebutkan dengan jelas
dalam pentasyri'an yang menyusul terhadap pembatalan penetapan hukumnya
yang terdahulu.
Misalnya firman Allah SWT.:
ْ Dُ‫بِرُونَ يَ ۡغلِب‬D‫ص‬ َ ٰ َ‫رُون‬D‫ا ۚ ِل ِإن يَ ُكن ِّمن ُكمۡ ِع ۡش‬DDَ‫ض ۡٱل ُم ۡؤ ِمنِينَ َعلَى ۡٱلقِت‬ ٓ
‫وا‬D ِ ‫ٰيََأيُّهَا ٱلنَّبِ ُّي َح ِّر‬
ُ ‫ونَ ۡٱلَٰٔـنَ خَ فَّفَ ٱهَّلل‬DDُ‫م اَّل يَ ۡفقَه‬ٞ ‫ُوا بَِأنَّهُمۡ قَ ۡو‬
ْ ‫َئة يَ ۡغلِب ُٓو ْا َأ ۡل ٗفا ِّمنَ ٱلَّ ِذينَ َكفَر‬
ٞ ْ‫ِماَْئت َۡي ۚ ِن َوِإن يَ ُكن ِّمن ُكم ِّما‬
‫ف‬ٞ D‫اَْئت َۡي ۚ ِن َوِإن يَ ُكن ِّمن ُكمۡ َأ ۡل‬DD‫وا ِم‬D
ْ Dُ‫ة يَ ۡغلِب‬ٞ ‫ابِ َر‬D ‫ص‬ ٞ ْ‫ض ۡع ٗف ۚا فَِإن يَ ُكن ِّمن ُكم ِّما‬
َ ‫َئة‬ َ ۡ‫عَن ُكمۡ َو َعلِ َم َأ َّن فِي ُكم‬
َّ ٰ ‫يَ ۡغلِب ُٓو ْا َأ ۡلفَ ۡي ِن بِِإ ۡذ ِن ٱهَّلل ۗ ِ َوٱهَّلل ُ َم َع ٱل‬
َ‫صبِ ِرين‬
Artinya: "Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk
berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya
mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus
orang (yang sabar) di antara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu orang
dari orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak
mengerti. Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah
mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika di antaramu ada
seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus
orang, dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka
dapat mengalahkan dua ribu orang dengan keizinan Allah. Dan Allah
beserta orang-orang yang sabar". (Q. S. Al Anfal: 65-66)
Juga sabda Rasulullah SAW.:
Artinya: "Aku pernah melarang kamu berziarah kubur. Ingatlah, ziarahlah
ke kubur, karena sesungguhnya ziarah kubur mengingatkan kamu akan
kehidupan akhirat"
Serta sabda Rasulullah SAW.:
Artinya: "Aku melarang kamu menyimpan daging kurban hanyalah karena
penumpukan. Ingatlah, simpanlah daging itu"
Nasakh yang sharih ini adalah yang banyak terdapat dalam hukum
positif, karena kebanyakan undang-undang yang dikeluarkan untuk meng-
gantikan undang-undang terdahulu selalu menyebutkan secara jelas terhadan
nash-nash yang dibatalkan dalam undang-undang yang terdahulu, atau me-
nyatakan pembatalan seluruh hukum pada undang-undang terdahulu yang
bertentangan terhadap ketentuan yang disebutkan dalam undang-undang ini.
sebagaimana perintah kerajaan dalam Undang-Undang tahun 1930 menyebut-
kan secara jelas pembatalan Undang-Undang tahun 1923, sebagaimana
undang-undang pencatatan menyebutkan secara jelas terhadap pembatalan
sejumlah ketentuan dalam undang-undang perdata. Adapun nasakh dhimni
ialah: Syari' tidak menyebutkan secara terang- terangan dalam
pensyariatannya yang menyusul terhadap pembatalan pen- syariatannya yang
terdahulu, akan tetapi Dia mensyariatkan hukum baru yang bertentangan
dengan hukumNya yang terdahulu, padahal tidak mungkin mensintesakan
antara kedua hukum itu, kecuali dengan membatalkan salah satu dari
keduanya, sehingga nash yang menyusul dianggap menasakhkan terhadap
yang terdahulu secara kandungannya ( dhimni).3
Nasakh dhimni ini adalah yang banyàk terdapat dalam penetapan
hukum Ilahi.
Misalnya, firman Allah SWT.
‫ُوف‬ ۡ Dِ‫ َربِينَ ب‬D‫د َۡي ِن َوٱَأۡل ۡق‬Dِ‫يَّةُ لِ ۡل ٰ َول‬D‫ص‬
ِ Dۖ ‫ٱل َم ۡعر‬D ِ ‫ رًا ۡٱل َو‬D‫خَي‬ ُ ‫ر َأ َح َد ُك ُم ۡٱل َم ۡو‬Dَ ‫ض‬
ۡ َ‫ َرك‬Dَ‫ت ِإن ت‬ َ ‫ب َعلَ ۡي ُكمۡ ِإ َذا َح‬
َ ِ‫ُكت‬
َ‫َحقًّا َعلَى ۡٱل ُمتَّقِين‬
Artinya "Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk
ibu bapak dan karib kerabamya secara makruf" (Q.S.2 Al-Baqarah: 180).
Firman tersebut menunjukkan, bahwa apabila seorang yang memiliki
harta vang banyak kedatangan tanda-tanda kematian, maka wajib berwasis
untuk kedua orang tuanya, dan para kerabatnya terhadap harta
peninggalannya dengan cara yang makruf.
Dan firman Allah SWT. dalam ayat pembagian warisan
Artinya: "Allah mensyari'atkan bagimu tentang ( pembagian pusaka untuk )
anak-anakmu, yaitu bahagian dua orang anak perempuan...". (Q.S. 4 An
Nisa': 11)

C. Kaidah-Kaidah Yang Berkaitan Dengan Muradif Dan Musytarak


1. Pengertian Muradif Dan Musytarak
Muradif ialah lafalnya banyak sedang artinya sama (synonim). Seperti
lafal asad dan allaits (artinya singa), hintah dan qarmhu (artinya gandum).
Musytarak, ialah suatu lafal yang mempunyai dua arti yang
sebenamya dan arti-arti tersebut berbeda-beda. Seperti lafal jaun yang artinya
putih atau hitam. Apabila arti yang sebenamya hanya satu dan yang lain arti
majaz, maka tidak dikatakan musytarak.

3
Ash-Shadr, Ayatullah Baqit. 1993. Sejarah Singkat Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka
Hidayah. Hal. 90
2. Hukum Lafal Muradif
Meletakkan lafal muradif di tempat lafal lainnya, diperbolehkan
apabila tidak ada halangan dari syara'.
Pendapat lain mengatakan: Meletakkan lafal muradif di tempat
lainnya, diperbolehkan asal masih satu bahasa.
Tentang lafal-lafal Quran tidak ada perbedaan pendapat lagi, bahwa
kita disuruh membaca lafal-lafal itu sendiri. Lagi pula lafal- lafal Quran itu
adalah mukjizat yang tidak terdapat pada lafal-lafal lainnya.
Perbedaan pendapat tersebut hanya mengenai lafal selain Quran yaitu
zikir-zikir dalam alat dan lafal-lafal lainnya. Imam Malik mengatakan, tidak
boleh membaca takbir kecuali dengan lafal Allahu Akbar. Demikian pula
pendapat Imam Syafi'i. Imam Abu Hanifah membolehkan takbir dengan
lafal yang sama artinya dengan Allahu Akbar, seperti Allah Al A'dzam atau
Allah Al A'la atau Allah Al Ajall. Sebab perbedaan pendapat ini ialah,
apakah kita beribadat dengan lafalnya ataukah dengan maknanya.
3. Sebab-Sebab Timbulnya Lafal Musytarak
Sebagaimana terdapat lafal-lafal muradif, maka demikian pula
terdapat lafal musytarak. Bukan saja dalam bahasa Arab, tetapi bahasa- bahasa
lainnya penuh dengan kedua macam lafal tersebut. Tentang adanya lafal
musytarak tidak perlu kita perbincangkan lagi, tetapi yang perlu kita
perhatikan ialah timbulnya lafal musytarak. Sebab-sebab timbulnya:4
a. Bermacam-macam suku bangsa Arab terdiri dari dua golongan Adnan dan
golongan Qathan. Masing-masing golongan ini terdiri dari suku yang
bermacam-macam dan dusun yang berpencar-pencar yang berbeda-beda
tempat dan lingkungannya. Kadang- kadang suatu suku membikin nama
untuk sesuatu pengertian. Kemudian suku lain menggunakan nama
tersebut untuk sesuatu pengertian lainnya yang tidak dimaksud oleh suku
pertama. Kadang-kadang antara kedua pengertian itu tidak ada sangkut

4
Khallaf Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh,Semarang. Dina utama semarang (Toha putra
group). 1994. Hal. 83
pautnya. Tatkala bahasa Arab diambil orang lain dan dibukukan kedua
pengertian itu diambil begitu saja tanpa memperhatikan hubungannya
dengan suku yang membikinnya semula.
b. Antara kedua pengertian terdapat arti dasar yang sama karenanya, satu
lafal bisa digunakan untuk kedua pengertian tersebut. Inilah yang disebut
isytirak ma'nawi (persekutuan batin). Kadang-kadang lantas orang
melupakan arti yang dapat mengumpulkan kedua pengertian tersebut, dan
disangkanya hanya isytirak lafzi (persekutuan) lafal saja. Sebagaimana
lafal qur'un yang artinya semula ialah waktu tertentu. Karenanya malaria
disebut qur'un, karena mempunyai waktu yang tertentu. Orang perempuan
dikatakan mempunyai qur'un sebab ia mempunyai datang bulan yang
tertentu dan waktu suci yang tertentu. Arti dasar yang menghubungk an
berbagai-bagai pengertian qur'un ialah waktu yang tertentu (isytirak ma'
nawi). Tetapi arti yang menghubungkan arti ini kemudian dilupakan,
sehingga tidak dikenal hubungannya suci dan datang bulan dan
dinamakannya isytirak lafzi.5
c. Mula-mula sesuatu lafal digunakan untuk sesuatu arti, kemudian
berpindah kepada arti yang lain dengan jalan majaz, karena adanya 'alaqah
(hubungannya). Alaqah ini dilupakan dan kemudian hilang maka disangka
kata tersebut digunakan untuk kedua arti yang sebenamya (haqiqi) tanpa
mengetahui adanya alaqah tersebut.
4. Hukum Lafal Musytarak
Maksud daripada syari'at ialah agar kita beramal menurut ketentuan
arti lafal-lafal yang datang daripadanya. Lafal musytarak tidak dapat
menunjukkan salah satu artinya yang tertentu (dari arti- ti lafal musytarak)
selama tidak dapat menunjukkan salah satu artinya yang tertentu (dari arti-arti
lafal musytarak) selama tidak ada hal- hal (qarinah) yang menjelaskannya.
Apabila ada lafal musytarak tanpa penjelasan, padahal yang dikehendaki oleh

5
Djalil, Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih (Satu & Dua). Jakarta : Kencana Prenada Media
Group. Hal. 173
salah satu artinya maka dengan sendirinya lafal musyatarak tersebut
ditinggalkan. Sebab tidak mungkin kita bisa beramal sesuai dengan
petunjuknya (lafal musytarak) selama kita tidak mengetahui maksud
sebenamya. Berhubung dengan itu, tiap-tiap lafal musytarak yang datang dari
syari'at tentu disertai qarinah, baik qawliah (perkataan) atau haliyah (keadaan/
suasana). Contoh: Artinya: "Isteri-isteri yang diceraikan, hendaklah berdiam
diri (beridah) tiga kali suci". (QS. Al-Baqarah: 228)
Lafal Qur'un mempunyai dua arti, yaitu datang bulan (haid) dan suci.
Mana yang dikehendaki ayat tersebut dari kedua arti ini. Yang dikehendaki
ialah datang bulan menurut satu pendapat. Sebagaimana yang telah
diterangkan di atas, bahwa arti qur'un semula ialah waktu yang tertentu.
Waktu yang tertentu hanya terdapat dalam hal-hal yang bergiliran, yang
datang kepada keadaan yang asal (pokok). Maka yang bergiliran di sini tidak
lain hanya datang bulan, sebab suci adalah keadaan yang asal. Dapat pula
ditambahkan keterangannya:
a. Maksud 'iddah ialah untuk mengetahui tentang tidak adanya kandungan.
Tidak adanya kandungan hanya dapat diketahui dengan adanya datang bulan.
b. Quran tidak bisa menyebutkan hal-hal yang kurang baik di dengar.
Dari contoh di atas kita mengetahui bahwa yang dimaksud lafal
musytarak di sini hanya satu arti saja. Qarinah di sini ialah haliyvah
(keadaan).

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mantuq adalah sesuatu yang ditunjuki lafal dan ucapan lafal itu sendiri.
Mafhum, sesuatu yang ditunjuk oleh lafal, tetapi bukan dari ucapan lafal itu
sendiri. Jadi mantuq, adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafal di tempat
pembicaraan dan mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh lafal tidak di
tempat pembicaraan.
Dzahir adalah lafal yang menunjukkan makna secara langsung tanpa
memerlukan penyerta lain untuk memahami maksud lafal itu dan memungkinkan
adanya takhsis maupun takwil. Sedangkan muawwal adalah lafal yang
dikeluarkan dari makna dhohirnya pada makna lain yang menghendakinya
berdasarkan bukti yang menunjukkan demikian, serta memungkinkan adanya
rajih.
Nasakh dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqhi adalah: Pembatalan
pemberlakuan hukum syar'i dengan dalil yang datang belakangan dari hukum an
sebelumnya, yang menunjukkan pembatalannya baik secara terang-terangan atau
secara kandungannya saja, baik pembatalan secara umum atau untuk pembatalan
sebagian saja karena suatu kemaslahatan yang menghendakinya.
Muradif ialah lafalnya banyak sedang artinya sama (synonim). Seperti
lafal asad dan allaits (artinya singa), hintah dan qarmhu (artinya gandum).
Musytarak, ialah suatu lafal yang mempunyai dua arti yang sebenamya dan arti-
arti tersebut berbeda-beda.

DAFTAR PUSTAKA

Usman Muhlish, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta.


PT:RajaGrafindo persada.1996
Karim A. Syafi’I, Fiqih Ushul Fiqih,Bandung. Cv pustaka setia. 1997
Khallaf Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh,Semarang. Dina utama semarang (Toha
putra group). 1994
Faiso, Al-Hakaml. Modul Fiqh Wa Ushuluhu. Jombang : MAN Denanyar
Djalil, Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih (Satu & Dua). Jakarta : Kencana Prenada
Media Group.
Ash-Shadr, Ayatullah Baqit. 1993. Sejarah Singkat Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka
Hidayah.

Anda mungkin juga menyukai