Dosen Pembimbing :
Liantha Adam Nasution, S.H.I., M.H
OLEH
Kelompok 2 (MBS 1 A)
Oleh:
1. Riadoh Amalia
2. Linda Pulungan
Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT atas limpah
dan rahmat dan hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah yang
berjudul “Kaidah Ushuliyah (Manthuq dan Mafhum, Dzahir dan Mu’awwal,
Nasakh, Muradif dan Musytarak)”. makalah ini disusun guna menambah wawasan
pengetahuan mengenai Kaidah-kaidah ushuliyah..
Penulis menyadari bahwa kemampuan dalam penulisan makalah ini jauh dari
kata sempurna. Penulis sudah berusaha dan mencoba mengembangkan dari
beberapa referensi mengenai Kaidah-kaidah Ushuliyah yang saling berkaitan.
Apabila dalam penulisan akalah ini ada kekurangan dan kesalahan baik dalam
penulisan dan pembahasannya maka penulis sangat sangat menyadari bahwa
semua itu karena keterbatasan kemampuan penulis. Akhir kata, semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4
A. Latar belakang..............................................................................................4
B. Rumusan masalah........................................................................................5
C. Tujuan..........................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................6
A. Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Manthuq dan mafhum....................6
B. Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Dzahir dan Mu’awwal....................7
C. Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Nasakh............................................8
D. Kaidah-kaidah yangberkaitan dengan Mudarif dan Musytarak................12
BAB III PENUTUP...............................................................................................16
KESIMPULAN.....................................................................................................16
SARAN..................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika kita berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung didalam Al-
Qur’an, sebenarnya dari semua ayat yang didalam Al-Qur’an tersebut tidak
semuanya memberikan arti dan pemahaman yang jelas terhadap kita. Jika kita
mau telusuri, ternyata banyak sekali ayat-ayat masih butuh penjelasan yang lebih
mendalam mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat tersebut.
Sebagai sumber hukum islam, tidak dibenarkan jika memahami Al-Qur’an
hanya dengan mengandalakan pemahaman teks belaka. Dibutuhkan juga
pemahaman yang lebih dari sekedar teks. Dalam ilmu tafsir kita akan
menemukan sebuah pembahsan tentang Manthuq dan mafhun, Dzahir dan
Mu’awwal, Nasakh, Muradi, Musytarak. mengingat teks Al-Qur’an tidak serta
merta memberi makna yang jelas tentang apa yang dikandungnya, para mufassir
membuat pembahsan ini untuk mempermudah kita memahami kandungan teks.
Jika kita meneliti ayat-ayat Al-Qur’an, kan kita temukan beberapa ayat
yang memberikan pemahaman secara langsung dan jelas, juga ada ayat yang
maknanya tersirat dalam ayat tersebut. Oleh karena itu, agar kita semua
memahami dan mengetahui hukum atau makna yang terdapat dalam ayat-ayat Al-
Qur’an, penulis akan memaparkan pengertian, pembagian dari Manthuq dan
mafhun, Dzahir dan Mu’awwal, Nasakh, Muradi, Musytarak.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Manthuq dan Mafhum?
2. Apa saja kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Dzahir dan Mu’awwal?
3. Apa saja kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Nasakh?
4. Apa saja kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Muradif dan Musytarak?
BAB II
PEMBAHASAN
3
Ash-Shadr, Ayatullah Baqit. 1993. Sejarah Singkat Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka
Hidayah. Hal. 90
2. Hukum Lafal Muradif
Meletakkan lafal muradif di tempat lafal lainnya, diperbolehkan
apabila tidak ada halangan dari syara'.
Pendapat lain mengatakan: Meletakkan lafal muradif di tempat
lainnya, diperbolehkan asal masih satu bahasa.
Tentang lafal-lafal Quran tidak ada perbedaan pendapat lagi, bahwa
kita disuruh membaca lafal-lafal itu sendiri. Lagi pula lafal- lafal Quran itu
adalah mukjizat yang tidak terdapat pada lafal-lafal lainnya.
Perbedaan pendapat tersebut hanya mengenai lafal selain Quran yaitu
zikir-zikir dalam alat dan lafal-lafal lainnya. Imam Malik mengatakan, tidak
boleh membaca takbir kecuali dengan lafal Allahu Akbar. Demikian pula
pendapat Imam Syafi'i. Imam Abu Hanifah membolehkan takbir dengan
lafal yang sama artinya dengan Allahu Akbar, seperti Allah Al A'dzam atau
Allah Al A'la atau Allah Al Ajall. Sebab perbedaan pendapat ini ialah,
apakah kita beribadat dengan lafalnya ataukah dengan maknanya.
3. Sebab-Sebab Timbulnya Lafal Musytarak
Sebagaimana terdapat lafal-lafal muradif, maka demikian pula
terdapat lafal musytarak. Bukan saja dalam bahasa Arab, tetapi bahasa- bahasa
lainnya penuh dengan kedua macam lafal tersebut. Tentang adanya lafal
musytarak tidak perlu kita perbincangkan lagi, tetapi yang perlu kita
perhatikan ialah timbulnya lafal musytarak. Sebab-sebab timbulnya:4
a. Bermacam-macam suku bangsa Arab terdiri dari dua golongan Adnan dan
golongan Qathan. Masing-masing golongan ini terdiri dari suku yang
bermacam-macam dan dusun yang berpencar-pencar yang berbeda-beda
tempat dan lingkungannya. Kadang- kadang suatu suku membikin nama
untuk sesuatu pengertian. Kemudian suku lain menggunakan nama
tersebut untuk sesuatu pengertian lainnya yang tidak dimaksud oleh suku
pertama. Kadang-kadang antara kedua pengertian itu tidak ada sangkut
4
Khallaf Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh,Semarang. Dina utama semarang (Toha putra
group). 1994. Hal. 83
pautnya. Tatkala bahasa Arab diambil orang lain dan dibukukan kedua
pengertian itu diambil begitu saja tanpa memperhatikan hubungannya
dengan suku yang membikinnya semula.
b. Antara kedua pengertian terdapat arti dasar yang sama karenanya, satu
lafal bisa digunakan untuk kedua pengertian tersebut. Inilah yang disebut
isytirak ma'nawi (persekutuan batin). Kadang-kadang lantas orang
melupakan arti yang dapat mengumpulkan kedua pengertian tersebut, dan
disangkanya hanya isytirak lafzi (persekutuan) lafal saja. Sebagaimana
lafal qur'un yang artinya semula ialah waktu tertentu. Karenanya malaria
disebut qur'un, karena mempunyai waktu yang tertentu. Orang perempuan
dikatakan mempunyai qur'un sebab ia mempunyai datang bulan yang
tertentu dan waktu suci yang tertentu. Arti dasar yang menghubungk an
berbagai-bagai pengertian qur'un ialah waktu yang tertentu (isytirak ma'
nawi). Tetapi arti yang menghubungkan arti ini kemudian dilupakan,
sehingga tidak dikenal hubungannya suci dan datang bulan dan
dinamakannya isytirak lafzi.5
c. Mula-mula sesuatu lafal digunakan untuk sesuatu arti, kemudian
berpindah kepada arti yang lain dengan jalan majaz, karena adanya 'alaqah
(hubungannya). Alaqah ini dilupakan dan kemudian hilang maka disangka
kata tersebut digunakan untuk kedua arti yang sebenamya (haqiqi) tanpa
mengetahui adanya alaqah tersebut.
4. Hukum Lafal Musytarak
Maksud daripada syari'at ialah agar kita beramal menurut ketentuan
arti lafal-lafal yang datang daripadanya. Lafal musytarak tidak dapat
menunjukkan salah satu artinya yang tertentu (dari arti- ti lafal musytarak)
selama tidak dapat menunjukkan salah satu artinya yang tertentu (dari arti-arti
lafal musytarak) selama tidak ada hal- hal (qarinah) yang menjelaskannya.
Apabila ada lafal musytarak tanpa penjelasan, padahal yang dikehendaki oleh
5
Djalil, Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih (Satu & Dua). Jakarta : Kencana Prenada Media
Group. Hal. 173
salah satu artinya maka dengan sendirinya lafal musyatarak tersebut
ditinggalkan. Sebab tidak mungkin kita bisa beramal sesuai dengan
petunjuknya (lafal musytarak) selama kita tidak mengetahui maksud
sebenamya. Berhubung dengan itu, tiap-tiap lafal musytarak yang datang dari
syari'at tentu disertai qarinah, baik qawliah (perkataan) atau haliyah (keadaan/
suasana). Contoh: Artinya: "Isteri-isteri yang diceraikan, hendaklah berdiam
diri (beridah) tiga kali suci". (QS. Al-Baqarah: 228)
Lafal Qur'un mempunyai dua arti, yaitu datang bulan (haid) dan suci.
Mana yang dikehendaki ayat tersebut dari kedua arti ini. Yang dikehendaki
ialah datang bulan menurut satu pendapat. Sebagaimana yang telah
diterangkan di atas, bahwa arti qur'un semula ialah waktu yang tertentu.
Waktu yang tertentu hanya terdapat dalam hal-hal yang bergiliran, yang
datang kepada keadaan yang asal (pokok). Maka yang bergiliran di sini tidak
lain hanya datang bulan, sebab suci adalah keadaan yang asal. Dapat pula
ditambahkan keterangannya:
a. Maksud 'iddah ialah untuk mengetahui tentang tidak adanya kandungan.
Tidak adanya kandungan hanya dapat diketahui dengan adanya datang bulan.
b. Quran tidak bisa menyebutkan hal-hal yang kurang baik di dengar.
Dari contoh di atas kita mengetahui bahwa yang dimaksud lafal
musytarak di sini hanya satu arti saja. Qarinah di sini ialah haliyvah
(keadaan).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mantuq adalah sesuatu yang ditunjuki lafal dan ucapan lafal itu sendiri.
Mafhum, sesuatu yang ditunjuk oleh lafal, tetapi bukan dari ucapan lafal itu
sendiri. Jadi mantuq, adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafal di tempat
pembicaraan dan mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh lafal tidak di
tempat pembicaraan.
Dzahir adalah lafal yang menunjukkan makna secara langsung tanpa
memerlukan penyerta lain untuk memahami maksud lafal itu dan memungkinkan
adanya takhsis maupun takwil. Sedangkan muawwal adalah lafal yang
dikeluarkan dari makna dhohirnya pada makna lain yang menghendakinya
berdasarkan bukti yang menunjukkan demikian, serta memungkinkan adanya
rajih.
Nasakh dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqhi adalah: Pembatalan
pemberlakuan hukum syar'i dengan dalil yang datang belakangan dari hukum an
sebelumnya, yang menunjukkan pembatalannya baik secara terang-terangan atau
secara kandungannya saja, baik pembatalan secara umum atau untuk pembatalan
sebagian saja karena suatu kemaslahatan yang menghendakinya.
Muradif ialah lafalnya banyak sedang artinya sama (synonim). Seperti
lafal asad dan allaits (artinya singa), hintah dan qarmhu (artinya gandum).
Musytarak, ialah suatu lafal yang mempunyai dua arti yang sebenamya dan arti-
arti tersebut berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA