Anda di halaman 1dari 21

METODE LINGUISTIK ISTINBATH HUKUM

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Metodologi Studi Fiqih

Dosen Pengampu : Nafiul Lubab, M.S.I

Disusun Oleh:

1. Nova Yulia Rizqul Haq (2210610040)

2. Deni Erma Rizqiani (2210610045)

Kelas : B2TMR

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

FAKULTAS TARBIYAH

PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA

2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................3
A. Latar Belakang................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................3
C. Tujuan.............................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................5
A. Lafal Ditinjau dari Segi Jelas Tidaknya Maknanya........................................................5
B. Lafal dari Segi Cara Penunjukannya Terhadap Makna.................................................10
C. Lafal dari Segi Luas Sempitnya Cakupan Makna.........................................................14
D. Lafal dari Segi Penggunaannya.....................................................................................17
E. Lafal dari Segi Formula Taklif......................................................................................18
BAB III PENUTUP..................................................................................................................20
A. Kesimpulan...................................................................................................................20
B. Saran..............................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................21

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sumber pokok hukum Islam yaitu wahyu, baik itu tertulis seperti Al-Qur’an
kitab Allah, maupun yang tidak tertulis seperti sunah Rasulullah. Materi-materi hukum
yang terdapat di dalam sumber tersebut, secara kuantitatif terbatas jumlahnya. Oleh
karena itu, terutama setelah berlalunya zaman Rasulullah, dalam penerapannya
diperlukan penalaran. Permasalahan-permasalahan yang tumbuh dalam kehidupan
masyarakat adakalanya sudah ditemukan nashnya yang jelas dalam kitab suci Al-Qur’an
atau Sunnah Nabi, tetapi adakalanya yang ditemukan dalam Al-Qur’an atau Sunnah Nabi
itu hanya berupa prinsip-prinsip umum. Untuk pemecahan permasalahan-permasalahan
baru yang belum ada nashnya secara jelas, perlu dilakukan istinbath hukum, yaitu
mengeluarkan hukum-hukum baru terhadap permasalahan yang muncul dalam kehidupan
masyarakat dengan adanya melakukan ijtihad berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam Al-
Qur’an atau Sunnah.1
Seseorang yang ingin mengistimbathkan atau mengambil hukul dari sumber
Al-Qur’an maupun Sunnah, harus betul-betul mengetahui bahasa Arab dengan seluk
beluknya. Ia pula harus mengerti betul kehalusan dan kedalaman yang dimaksud oleh
dalalahnya. Harus dipahami apakah hal itu bentuk hakikat atau dalam bentuk majaz
(kiasan). Semuanya ini harus ditunjang dengan kemampuan dalam memahami nash atau
dalil dengan baik yang kemudian dapat mengambil hukum-hukum yang terkandung di
dalamnya.
Bagi seseorang yang hendak melakukan ijtihad, maka ilmu ushul fikih mutlak
diperlukan karena ia merupakan alat atau bahan acuan dalam melakukan istinbath hukum.
Dengan jalan istinbath itu hukum Islam akan senantiasa berkembang seirama dengan
terjadinya dinamika perkembangan masyarakat untuk mewujudkan kemaslahatan dan
menegakkan ketertiban dalam pergaulan masyarakat serta menjamin hak dan kewajiban
masing-masing individu yang berkepentingan secara jelas. Oleh karena itu, dalam
makalah ini akan menjelaskan tentang metode Istinbath hukum melalui pendekatan
bahasa beserta contoh-contohnya.

1
Samsidar, “Metode Istinbat Al-Tariqah Al-Istinbat Al Jami,Ah Baina Tariqah Al-Lafziyyah Wa Ma’nawiyah
Dalam Maqasid Al-Syari’ah Mazhab Syatiby,” STAIN Watampone Volume IV No. 2, Al-Bayyinah (n.d.): 70.

3
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana lafal ditinjau dari segi jelas tidaknya maknanya?


2. Bagaimana lafal dari segi cara penunjukannya terhadap makna?
3. Bagaimana lafal dari segi luas sempitnya cakupan makna?
4. Bagaimana lafal dari segi penggunaannya terhadap makna?
5. Bagaimana lafal dari segi formula taklif?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui lafal ditinjau dari segi jelas tidaknya maknanya


2. Untuk mengetahui lafal dari segi cara penunjukannya terhadap makna
3. Untuk mengetahui lafal dari segi luas sempitnya cakupan makna
4. Untuk mengetahui lafal dari segi penggunaannya terhadap makna
5. Untuk mengetahui lafal dari segi formula taklif

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Lafal Ditinjau dari Segi Jelas Tidaknya Maknanya

Lafal dari segi kejelasan maknanya, terbagi kepada:


1. Zhahir

Secara etimologis, zhahir yaitu sesuatu yang jelas (‫)الواضح‬. Sedangkan secara
terminologis, yaitu:

“Lafal yang mengandung dua kemungkinan makna, namun salah satu di


antara keduanya lebih jelas.”

Contohnya, terdapat dalam surat al-Fath [32]:10

“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka


berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa
yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya
sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan
memberinya pahala yang besar.”

Makna zhahir dari kata “Yad ( ‫ )يَ ُد‬dalam ayat tersebut di atas adalah “tangan”.
Karena itulah kata kata itu dibentuk dari mulanya. Namun ada kemungkinan bahwa
yang dimaksud bukan makna zhahirnya itu, tetapi makna lain, yaitu kekuasaan.
Makna tersirat itu baru boleh difungsikan, bilamana didukung oleh dalil seperti akan
dijelakan nanti dalam pembahasan takwil. Menurut ulama ushul fiqh, kaidah yang
berlaku di sini adalah setiap lafal zhahir harus dipegang makna zhahirnya itu selama
tidak ada petunjuk bahwa maksud pembicaraan adalah makna yang tersembunyi.2

2. Nash

Pengertian nash di sini bukan berarti dalil syara’ dalam bentuk tertulis seperti
Al-Qur’an atau Hadits atau bukan pula nash dalam afrti fiqh madzhab atau aqul
(pendapat) imam mujtahid yang dijadikan dasar berijtihad bagi pengikut mazhab,
tetapi kedudukan lafal dari segi kejelasan artinya.3

2
Mardani, Ushul Fiqh (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 322–324.
3
Mardani, Ushul Fiqh, 321–322.

5
Secara terminology, nash yaitu membuka ( ‫ )الكشف‬dan menjelaskan ( ‫)الظهور‬.
Ulama ushul memberikan definisi nash yaitu:

“Lafal yang menunjukkan artinya sebagai dalil yang tidak ada kemungkinan untuk
ditakwil.”
Contohnya terdapat dalam surah Al-Baqarah (2): 275
“Allah telah menghilangkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Secara nash, ayat tersebut bertujuan untuk menyatakan perbedaan nyata antara
jual beli dengan riba sebagai sanggahan terhadap pendapat orang yang
menganggapnya sama. Hal ini dapat dipahami dari ungkapan keseluruhan ayat
tersebut.
3. Mufassar
Secara terminologis, mufassar yaitu:
“Suatu lafal yang menunjukkan dengan sendirinya makna yang terinci, yang tidak
mungkin ditakwil.”
Contohnya, firman Allah dalam surah An-Nur (24):4
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh
itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya, dan mereka itulah orang-orang fasik.”
Bilangan pada ayat di atas tidak mungkin ditambah atau dikurang.4
4. Muhkam
Secara terminologis, muhkam yaitu:5
“Suatu lafal yang menunjukkan atas maknanya yang tidak mungkin menerima
pembatalan, pergantian, dan takwil, karena dalilnya telah jelas dengan sendirinya.”
Contohnya, terdapat dalam surah An-Nur (24):24
“Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka
itulah orang-orang yang fasik.”
Kata “ ‫( “َأبَدًا‬selama-lamanya) yamng tersebut dalam ayat di atas menunjukkan
bahwa tidak diterima kesaksiannya itu berlaku untuk selamanya, dalam arti tidak
dapat dicabut.
Contoh lain, misalnya hadis Rsullah saw. berikut:
“Ijtihad itu berlaku sampai hari kiamat.”
4
Mardani, Ushul Fiqh, 325.
5
Mardani, Ushul Fiqh, 326.

6
Penentuan batas hari kiamat untuk jihad itu menunjukkan tidak mungkin
berlakunya pembatalan dari segi waktu.
5. Mujmal
Secara etimologis, mujmal yaitu ‫(المبهم وا م]]وع‬sesuatu yang tidak jelas dan
menggabungkan). Sedangkan secara terminologis, mujmal yaitu:
“Lafal yang tidak diketahui maksudnya kecuali dengan bantuan lafal lain. Terkadang
dari aspek ketentuannya, sifatnya, atau kadarnya.”
Contohnya firman Allah dalam surah Al-Baqarah (2):43
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang
ruku’.”
Perintah shalat di atas masih bersifat mujmal, karena tidak dijelaskan
bagaimana tata cara dan sifat shalat. Dan perintah zakat masih bersifat mujmal, karena
tidak diejlaskan kadarnya.6
6. Khafi
Khafi (‫ ) الخفي‬secara bahasa, artinya tidak jelas, samar, tertetup atau
tersembunyi. Sedangkan menurut istilah ushul, sebagai berikut:7
a. Ali Hasaballah
Khafi yaitu suatu lafadz yang penunjukkan terhadap maknanya adalah jelas.
Tetapi terdapat beberapa hal yang menyebabkan kesamaran, yang diakibatkan
bukan karena lafaz itu, seperti,menjadi kata benda khusus, atau sifat yang
membedakan dari yang lain. Oleh karena itu, hal ini mengakibatkan ketidakjelasan
(subhat) yang masuk ke dalam keumuman makna lafaz, dan untuk hilangnya
subhat (ketidakjelasan) itu sangat bergantung kepada yang lain.
b. Abdul Wahab Khallaf
Yang dimaksudkan khafi menurut istilah para ahli ushul adalah lafaz yang
menunjukan pada maknanya dengan penunjukan yang jelas (dhahir), tetapi dalam
penggunaan maknanya terhadap sebagian satuan ada ketidakpaastian dan
ketidakkejalasan yang membutuhkan analisis dan pemikiran untuk
memperjelasnya. Oleh karena itu mempertimbangkan lafaz secara tersembunyi
berdasarkan sebagian satuan tersebut; dan munculnya ketidakjelasan ini
sesungguhnya ada satuan yang memiliki karakter berkontribusi menjadi penambah
atau pengurang kepada keseluruhan satuan-satuan yang ada, atau memiliki nama
6
Mardani, Ushul Fiqh, 324.
7
Agus Miswanto, Ushul Fiqh “Metode Istinbath Hukum Islam” (Yogyakarta: Magnum Pustaka Utama, 2019),
133–135.

7
tertentu. Maka nilai tambah dan pengurang, atau nama khusus ini menjadikannya
objek ketidakjelasaan. Oleh karena itu, lafaz menjadi samar karena factor
hubungan dengan satuan tersebut. Oleh karenanya mengambil (makna) nya tidak
difahami dari lafaz itu sendiri tetapi harus dari faktor luarnya.
Contohnya dalam Q.S. al-Maidah [5]: 3

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari
Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS al-Maidah [5]: 3)

Lafadz mencuri, yang berarti mengambil milik orang lain dengan cara paksa
untuk dimiliki, secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpananya. Dan makna
ini tertutup terhadap satuan makna lainnya (ifrad), seperti pencopet ataupun koruptor.
Pencopet adalah orang yang mengambil harta orang diwaktu hadir dan jaga, semacam
kemahiran menyembunyikan tangan dan kesigapan mata. Sementara koruptor
mengambil harta yang ada dalam penjagaan dan tanggung jawab serta pengawasannya
sendiri dengan melakukan khilah (cara-cara licik) sehingga sulit untuk dideteksi.

7. Musykil
Musykil (‫ ) المش]]]كل‬menurut bahasa ialah sulit, atau sesuatu yang tidak jelas
perbedaannya. Sedangkan menurut istilah ahli ushul, ada beberapa definisi sebagai
berikut:8
a. Ali Hasaballah
Musykil adalah lafaz yang penunjukan terhadap maknanya tidak jelas. Dan untuk
menghilangkan ketidakjelasanya tersebut masih memungkinkan dengan
melakukan pembahasan dan perenungan. Seperti lafaz yang terkumpul antara
makna yang sebenarnya dan makna kiyasan. Dan menentukan salah satunya masih
memungkinkan dengan cara melakukan pembahasan. Seperti lafaz quru’ dalam
firman Allah SWT.
b. Abdul Wahab Khallaf
Musykil ialah lafadz yang tidak ditunjukkan dengan sighatnya tentang apa yang
dimaksudnya itu karena terdapat kesulitan pada nash sehingga diperlukan qarinah
untuk menjelaskannya.
Contoh musykil dalam Q.S. Al-Baqarah [2] : 228

8
Miswanto, Ushul Fiqh “Metode Istinbath Hukum Islam,” 135–137.

8
“Perempuan-perempuan yang dithalaqi itu hendaklah menunggu tiga kali quruk.”
(Q.S. Al-Baqarah [2]:228)
Menurut bahasa quru’ ini artinya suci dan haid. Dua arti yang dimaksud dalam
ayat ini. Apakah masa iddah itu berlaku tiga kali haid atau tiga kali suci. Menurut al-
Syafi’i dan para mujtahid, yang dimaksud dengan quruk pada ayat ini ialah suci. Dan
penandanya (qarinah) dalam ayat ini adalah tatsniah, yaitu isim adad (kata benda yang
menunjukkan bilangan). Disini menunjukkan atas bilangan yang tersebut, yaitu suci,
bukan haid. Sementara menurut mazhab Hanafi dan sebagian mujtahid lain, yang
dimaksud dengan quruk dalam ayat ini yaitu haid. Hal ini menurut qarinah. Kata
Rasulullah SAW, talaq umat itu hanya dua kali, dan iddahnya dua kali haid.
Diterangkan bahwa iddah umat itu dengan haid.
8. Mutasyabih
Mutasyabih (‫ ) المتش]]]ابه‬menurut bahasa adalah sesuatu yang mempunyai
kemiripan, simpang siur, tidak jelas. Sementara menurut istilah, lafaz mutasyabih
adalah lafaz yang mengandung makna tidak asli dari yang dibawa oleh lafaz itu
karena adanya keraguan dan mengandung beberapa persamaan. Sementara syari’at
tidak memberikan penjelasan tentang makna itu, sehingga yang mengetahui makna
tersebut adalah diserahkan kepada Allah SWT.9
Mutasyabih dibedakan dalam dua kategori yaitu fawatih alsuwar dan
keserupaan (tasybih) Allah dengan makhluk-Nya:
a. Fawatih al-Suwar
‫ يس‬- ‫ ن – طه‬-‫ حم –عسق‬-‫ المر‬-‫الم‬
Huruf hijaiyah pada permulaan surat itu, Allah tidak menerangkan apa
maksudnya. Dia sendirilah yang mengetahui maksudnya. Allah menurunkan Al-
Quran untuk mengatur dan memberi peringatan, sebagaimana yang terdapat dalam
ayat-ayat tentang apa yang tidak ada jalan untuk memahaminya secara mutlak .
Huruf-huruf potong yang terdapat pada permulaan beberapa surat itu
menunjukkan bahwa Al-Qur’an tidak terjangkau oleh tangan manusia untuk
menyamainya, itu terbentuk dari huruf-hurufnya sendiri bukan dari huruf yang
lain, yang dianggap asing. Untuk itu orang dengan membaca huruf tersebut maka
orang akan teringat keagungan al-Quran itu.
b. Keserupaan Allah dengan makhluk-Nya

9
Miswanto, Ushul Fiqh “Metode Istinbath Hukum Islam,” 141–144.

9
Banyak ayat yang menerangkan bahwa Allah serupa dengan makhluknya.
Dalam hal, Dia mempunyai mata, tangan, dan tempat. Misalnya firman Tuhan
dalam Q.S. Al-Fath: 10 yang berbunyi
“Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar
janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan
barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya
pahala yang besar.” (QS al-Fath: 10)
Pada zahirnya Allah itu serupa dengan makhluknya. Tidak mungkin dipahami
dari ayat itu arti lafadz itu secara lughawi. Karena Allah itu suci dari tangan, mata,
tempat, dan sekalian apa yang menyerupai makhluk-nya. Syari’ tidak
menerangkan apa yang dimaksudnya. Dalam hal ini hanya Allah yang mengetahui
maksudnya. Begitulah ulama salaf mengartikan mutasyabih itu. Mereka
menyerahkan kepada Allah tentang pengetahuan itu. Adapun pendapat ulama
khalaf (mutaakhir), ayat ini menurut kenyataannya adalah mustahil. Sebenarnya
Allah tidak mempunyai tangan, tidak mempunyai mata dan tempat. Sekalian apa
yang di zahirkan itu adalah mustahil. Karena itu harus diubah dan dipalingkan dari
zahir ini. Dimaksud dengannya ialah arti yang terkandung dalam lafadz itu
sekalipun dengan jalan majazy (kiasan). Karena Tuhan tidak serupa dengan
makhluk.

B. Lafal dari Segi Cara Penunjukannya Terhadap Makna

1. Ibarah Nash
Para ulama ushul, menggunakan istilah dalalat al-‘ibarat atau ibarat al-nash
untuk satu pengertian. Secara bahasa ibarat bermakna melewati, melampaui,
pertimbangan, bunyi teks, susunan kalimat dalam teks. Sementara secara istilah
dilalah al-ibarat yaitu pemahaman lafaz apa adanya sebagaimana yang dijelaskan oleh
lafaz itu. Atau dalam pengertian lain, mengamalkan zahir lafal dari sisi siyaq al-
kalam; atau pemahaman secara tersurat.10

Contoh: Q.S. an-Nisa’ [4]: 3

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku
10
Miswanto, Ushul Fiqh “Metode Istinbath Hukum Islam,” 173–175.

10
adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS. an-Nisa’: 3)

Dari ayat tersebut dapat ditangkap pengertian sebagai berikut, yaitu: pertama
menikahi wanita yang baik-baik; kedua, pembatas maksimal jumlah wanita yang
boleh dinikahi adalah empat; ketiga, kewajiban pembatasan hanya satu orang wanita
yang boleh dinikahi ketika ditakutkan tidak bisa berlaku adil.

Pengertian pertama adalah hanya pengertian tambahan. Sementara yang kedua


dan ketiga pengertian dasar (asal) ayat tersebut. Hal ini dapat difahami dari susunan
kalimat dari ayat tersebut yang memberikan nasihat dan peringatan terkait
kekhawatiran prilaku dzalim kepada harta anak yatim. Kekhawatiran terhadap prikau
zhalim inilah yang menjadi sebab kewajiban mengawini seorang istri saja bila
khawatir tidak mampu berlaku adil.

2. Isyarah Nash
Para ulama ushul kadang menggunakan istilah dalalah al-isyarah atau isyarat
al-nash , dalam pengertian yang sama. Al-isyarah secara bahasa artinya penunjuk,
yang menunjukan, yang mengarahkan. Sementara secara istilah dilalah al-isyarat
adalah lafaz yang diungkapkan memberikan arti kepada suatu maksud, namun tidak
menurut apa yang secara jelas disebut dalam lafaz itu. Dengan ungkapan lain, bukan
makna yang tersurat, tetapi yang tersirat.11

Contoh Q.S. Al-Baqarah [2]: 233

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara
ma’ruf”. (QS al-baqarah [2]: 233).

Dari ayat tersebut dapat difahami bahwa nafkah ibu menjadi tanggung jawab
ayah. Inilah yang difahami secara cepat oleh akal. Dan dari isyarah yang dapat
ditangkap dari ayat ini adalah bahwa seorang ayah juga bertanggung jawab terhadap
nafkah anaknya itu.

3. Dalalah Nash
Dilalah al-dilalah atau dalalat al-nash, kedua istilah ini digunakan oleh para
ulama ushul dengan makna yang sama. Nash secara bahasa adalah teks atau tulisan.

11
Miswanto, Ushul Fiqh “Metode Istinbath Hukum Islam,” 177–179.

11
Sementara al-dalalah maknanya adalah petunjuk atau penunjukan. Sementara secara
istilah, dalalat al-nash adalah penunjukan lafaz yang tersurat terhadap apa yang
tersirat di balik lafaz itu. Hukum yang terdapat pada lafaz itu secara tersurat, maka
berlakuk juga pada apa yang tersirat di balik lafaz itu, karena di antara keduanya
terdapat hubungan.12
Contoh An-Nisa [5]: 10

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,


sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya an mereka akan masukke
dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. An-Nisa’: 10).

Secara tersurat ayat tersebut berbicara tentang larangan untuk memakan harta
anak yatim dengan zalim. Ulama berpendapat bahwa illat hukum dari ayat tersebut
tersebut adalah kelaliman. Oleh karenanya setiap bentuk kelaliman terhadap harta
anak yatim adalah masuk dalam cakupan makna ayat tersebut, baik dimakan, dirusak
atau dimusnahkan, dibakar adalah dilarang.

4. Iqtidha’ Nash
Dilalah Al-Iqtida’ atau sebagian ulama menggunakan istilah iqtidha al-nash.
Secara bahasa, iqtidha’ makanya adalah menghendaki dan menentukan. Sementara
secara istilah iqtidha al-nash adalah dalam suatu ucapan ada suatu makna yang
sengaja tidak disebutkan karena adanya anggapan bahwa orang akan dengan mudah
mengetahuinya. Namun dari susunan ucapan itu, terasa ada yang kurang sehingga
ucapan itu dirasakan tidak benar kecuali bila yang tidak disebutkan itu dinyatakan.
Menurut Ali Hasaballah, bahwa dilalah al-iqtida’ dapat dibedakan menjadi
tiga, yaitu:
a) Ditentukan dengan pertimbangan kebenaran kalimat
Contohnya adalah sabda Rasulullah saw:
“Dihilangkan dari umatku yaitu: kesalahan, lupa dan karena terpaksa”
Secara zahir kalimat hadis ini mengatakan akan ditiadakannya baik kekeliruan,
lupa maupun keterpaksaan dari umatku. Namun hal ini bertentangan dengan
sebuah keniscayaan yang ada. Oleh karenanya hadis tersebut dipahami dengan:
“Dihilangkan (dosa) dari umatku yaitu: kesalahan, lupa dan karena terpaksa.”
b) Ditentukan dengan pertimbangan kesahihan kalimat berdasarkan akal

12
Miswanto, Ushul Fiqh “Metode Istinbath Hukum Islam,” 180–183.

12
Contoh: firman Allah dalam Q.S. Yusuf ayat 82:
“Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada di situ.” (Q.S.Yusuf: 82)
Berdasarkan akal tidaklah mungkin jika suatu negeri dapat ditanya. Akan tetapi
yang dimaksud disini adalah penduduk negeri tersebut.
c) Ditentukan dengan pertimbangan kesahihan kalimat secara syar’i
Contoh: firman Allah surat an-Nisa’ ayat 23 dan al-maidah 3:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibumu.” (Q.S. an-Nisa’: 23)
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi.” (QS al-Maidah:
3)
Pada ayat yang pertama, para ulama menafsirkan pernyataan haram tersebut
sebagai keharaman untuk menikahi seorang ibu. Sementara pada ayat yang kedua,
para ulama menafsirkan bahwa haram disini dimaksudkan adalah memakanya dan
memanfaatkanya.
5. Mantuq
Mantuq (‫ ) المنط]]وق‬menurut bahasa artinya diucapkan. Sedangkan menurut
istilah adalah suatu makna atau pengertian yang diperoleh dari susunan lafal itu
sendiri [makna tersurat]. Abdul hamid Hakim, dalam kitabnya Mabadi al-Awwaliyah,
menyatakan sebagai berikut:13
Mantuq adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz dalam tempat
pengucapan.
Jadi Mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz ditempat
pembicaraan ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pembicaraan.
Contohnya yaitu firman Allah SWT. QS Al Isra’ [17]:23 yang berbunyi:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika
salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
Perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada
mereka Perkataan yang mulia.” (QS Al Isra’ [17]:23)
Penjelasannya mantuq dalam ayat tersebut yaitu ucapan lafadz itu sendiri,
yaitu kata uffin yang bermakna jangan katakan perkataan yang keji kepada kedua
orang tuamu.
6. Mafhum
13
Miswanto, Ushul Fiqh “Metode Istinbath Hukum Islam,” 157–158.

13
Mafhum (‫ ) المفه]]وم‬menurut bahasa berarti dipahami. Sedangkan menurut
istilah, Ustad Abdul Hamid hakim dalam kitabnya Mabadi al-Awwaliyah, beliau
menyatakan:
Mafhum adalah yaitu sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat
pengucapan.
Dari definisi di atas, dapat difahami bahwa mafhum adalah suatu makna atau
pengertian yang tidak diperbolehkan dari susunan lafal itu sendiri tetapi dari
pemahaman terhadap ucapan lafal itu [makna tersirat]. Dengan ungkapan lain, bahwa
mafhum adalah lafal yang hukumnya terkandung dalam arti dibalik mantuq (yang
tersurat) sehingga mafhum disini berupa penafsiran makna (makna tersirat).14
Contohnya dalam firman Allah dalam Q.S. an-Nisa [4]: 10 yang berbunyi
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS al-Nisa [4]: 10).

C. Lafal dari Segi Luas Sempitnya Cakupan Makna

1. ‘Âm
‘Âm menurut bahasa ialah cakupan sesuatu baik lafaz atau selainnya.
Sedangkan menurut istilah ialah lafaz yang menunjukkan pada jumlah yang banyak
dan satuan yang termasuk dalam pengertiannya dalam satu makna yang berlaku. 15
Adapun yang dimaksud dengan satu makna yang berlaku yaitu lafaz yang tidak
mengandung arti lain yang bisa menggantikan makna tersebut (bukan musytarak).
Contoh :

ِ ‫اس ِحجُّ ْالبَ ْي‬


‫ت َم ِن ا ْستَطَا َع ِإلَ ْي ِه َسبِياًل‬ ِ َّ‫ۚ وهَّلِل ِ َعلَى الن‬
َ

“Mengerjakan haji adalah suatu kewajiban manusia terhadap Allah.” (QS. Al-Imran:
97)

Pada ayat tersebut terdapat lafal “manusia” yang merupakan lafal umum. Yang
dimaksud dengan manusia pada ayat tersebut adalah para mukallaf. Karena dengan
akalnya, anak kecil dan orang gila bukan termasuk ke dalamnya.

2. Takhshîsh

14
Miswanto, Ushul Fiqh “Metode Istinbath Hukum Islam,” 160.
15
Wahbah al-Zuhailiy, Ushûl Al-Fiqhal-Islâmiy, juz I. (Dimasyq: Dâr al-Fikr, 1996), 243–244.

14
Takhshîsh ialah penjelasan bahwa maksud almutakallim (syari’) dari
keumuman lafaznya adalah sebagiannya, tidak keseluruhannya, agar pendengar tidak
mengira selain yang dimaksud.16
Contoh :

‫ت‬ ]َ ‫ِإاَّل ال َّ ِذ‬  ‫ْر‬


ِ ‫ين َآ َمنُوا َو َع ِملُوا الصَّالِ َحا‬ ٍ ‫ِإ َّن اِإْل ْن َسانَ لَفِي ُخس‬

“Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang


yang beriman dan beramal shaleh”.  (Q.S Ashr : 1-2)

Jadi yang dikhususkan pada ayat tersebut adalah orang-orang yang beriman
dan beramal shaleh. Pengkhususan pada ayat tersebut ialah dengan jalan
mengecualikan, yakni dengan memakai huruf istisna (َ‫)ِإال‬.

3. Khâs
Khas menurut bahasa ialah lawan daripada ‘âm. Sedangkan menurut istilah
ialah suatu lafaz yang menunjukkan arti tunggal yang menggunakan bentuk mufrad,
baik pengertian itu menunjuk pada jenis (‫)إنسان‬, atau menunjuk macam (‫)رجل‬, atau
juga menunjuk arti perorangan (‫)خالد‬, ataupun isim jumlah (‫)ثالثة‬.17

Contoh :

َّ‫فَتَحْ ِري ُر َرقَبَ ٍة ِم ْن قَ ْب ِل َأ ْن يَتَ َماس‬


“….maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri
itu bercampur…”. (Q.S Al-Mujadilah : 3)

Lafadz roqabatin (budak) dalam ayat tesebut ialah


lafadz khas yang mutlaq karena tidak diberi qayyid (pembatas) dengan sifat tertentu.
Dengan demikian, lafadz raqabatin dapat mencakup seluruh macam budak baik budak
mukmin ataupun kafir.

4. Muthlaq

Muthlaq menurut istilah ialah lafaz yang menunjukkan pada hakikat lafaz itu
apa adanya tanpa memandang jumlah maupun sifatnya. 18

16
Abu Ishâq al-Syâthibiy and al-Muwâfaqât, Fi Ushûl Al-Syarî’ah, juz III. (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah,
n.d.), 213.
17
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), 236.
18
al-Zuhailiy, Ushûl Al-Fiqhal-Islâmiy, 208.

15
Contoh :

‫فَتَحْ ِري ُر َرقَبَ ٍة ِم ْن قَ ْب ِل َأ ْن يَتَ َماسَّا‬

“Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang hamba sahaya sebelum kedua suami
isteri itu bercampur”. (Q.S Al-Mujadalah : 3)

Jadi posisi lafadz mutlaq pada ayat diatas terletak pada kata Hamba ‫ َرقَبَ ٍة‬dalam
artian posisi hamba disini luas, tidak terikat arti apapun selain arti kata hamba, baik
itu hamba yang mukmin ataupun tidak.

5. Muqayyad
Muqayyad ialah lafaz yang menunjukkan pada hakikat lafaz tersebut dengan
dibatasi oleh sifat, keadaan, dan syarat tertentu. Atau dengan kata lain, lafaz yang
menunjukkan pada hakikat lafaz itu sendiri, dengan dibatasi oleh batasan, tanpa
memandang pada jumlahnya.19
Contoh :

‫صيَا ُم ثَ ٰلثَ ِة اَي ٍَّام‬


ِ َ‫فَ َم ْن لَّ ْم يَ ِج ْد ف‬

“Maka (kafaratnya) berpuasalah tiga hari.” (Q.S Al-Maidah 89)


Kafarat puasa tiga hari tersebut disyaratkan bila orang yang melanggar
sumpah tidak mampu memerdekakan hamba sahaya atau memberi makanan atau
pakaian.

D. Lafal dari Segi Penggunaannya

1. Hakikat
Secara etimologi, hakikat merupakan dari kata haqqa yang berarti tetap. Ia
bisa bermakna subjek (fā’il); sehingga memiliki arti ‘yang tetap’ atau objek (maf’ūl),
yang berarti ‘ditetapkan’. Menurut Ibnu Subki menyatakan bahwa hakikat adalah
lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu ditentukan pada mulanya. Ibnu Qudamah
mendefinisikannya sebagai lafaz yang digunakan untuk sasarannya semula. semua
penjelasan tersebut mengandung makna terminologis tentang haqiqah, yaitu suatu
lafaz yang digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu.20

19
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, 251.
20
Satria Effendi, Ushul Fiqih (Jakarta: Kencana, 2008), 42.

16
Misalnya kata “kursi” menurut asalnya memang digunakan untuk tempat
tertentu yang memiliki sandaran dan kaki, tapi saat ini kata kursi dapat diartikan
kekuasan, namun tujuan semula kata kursi bukan itu tetapi tempat duduk.
2. Majaz
Pengertian Majaz adalah suatu lafad yang digunakan untuk menjelaskan suatu
lafad pada selain makna yang tersurat di dalam nash atau teks, karena adanya
persamaan atau keterkaitan baik antara makna yang tersurat di dalam teks maupun
maksud yang terkandung di dalam teks tersebut.21
Penelitian lebih rinci lagi telah dilakukan oleh Amir Syarifuddin yang
dimanifestasikan dalam bukunya Ushul Fiqh. Di sana, ia mengemukakan beberapa
definisi. Pertama, As-Sarkhisi mendefinisikannya sebagai nama untuk setiap lafaz
yang dipinjam untuk digunakan bagi maksud di luar apa yang ditentukan. Kedua, Ibnu
Qudamah: lafaz yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang
dibenarkan. Ketiga, Ibnu Subki berpendapat majaz adalah lafaz yang digunakan untuk
pembentukan kata kedua karena adanya keterkaitan. 22
Misal dalam surat yusuf ayat 82 ‘’ tanyakan kampung itu’’ secara makna kakikat
adalah tanyalahpenduduk kampung itu. Adanya kekurangan kata ‘penduduk’ dalam
kata ‘kampung’ itu menjadikannya sebagai majaz.
3. Sharih
Menurut bahasa shariẖ berasal dari kata sharaẖa yang berarti terang.
Sedangkan menurut istilah hukum, shariẖ berarti setiap lafadh yang terbuka makna
dan maksudnya, baik dalam bentuk hakikat atau majaz. Misalkan lafadh “cerai” untuk
memutuskan hubungan antara suami dengan istri. Dalam bentuk apapun kalau lafadh
itu diucapkan, maka berlangsunglah perceraian.
4. Kinayah
Kinayah adalah menurut bahasa adalah mengatakan sesuatu untuk
menunjukkan kata lain. Sedangkan menurut istilah apa yang dimaksud dengan suatu
lafadh bersifat tertutup sampai dijelaskan oleh dalil. Semua lafadh yang masih
membutuhkan penjelasan dari lafadh lain pada dasarnya disebut dengan kinayah. Dari
segi lafadh yang diucapkan seseorang, kalau suatu lafadh bukan menunjukkan pada
arti yang sebenarnya, maka kinayah itu sama dengan majaz. Tetapi di antara keduanya
terdapat perbedaan, yaitu pada majaz harus ada keterkaitan antara apa yang dimaksud

21
Effendi, Ushul Fiqih, 44.
22
Amir Syarifudin, Ushul Fiqih, Jilid 2. (Jakarta: Kencana, 2008), 29.

17
oleh lafadh sebenarnya dengan lafadh lain yang dipinjam untuk itu. Misalnya
ungkapan seseorang: "saya bertemu temanmu, dan kami bercerita", tidak disebutkan
siapa "temanmu" itu dan bercerita tentang apa.

E. Lafal dari Segi Formula Taklif

1. Amr
Menurut bahasa berarti perintah. Sedangkan menurut istilah Amr didefiniskan
oleh para ulama sebagai berikut:23

Pertama, Ustadz Abdul Hamid Hakim mendefiniskan sebagai:


‫طَلَبُ ْالفِ ْع ِل ِم ْن اَأْل ْعلَى ِإلَى اَأْل ْدنَى‬

Permintaan untuk melakukan pekerjaan yang berasal dari posisi yang tinggi ke posisi
yang lebih rendah (instruksi).

Kedua, Syaikh al-Utsaimin mendefinisikan sebagai:

Perkataan yang mengandung permintaan untuk dilakukannya suatu perbuatan, dalam


bentuk al-istila (dari yang lebih tinggi ke yang lebih rendah.

Dari definisi di atas dapat difahami bahwa amar (perintah) adalah perkataan
yang mengandung tuntutan pekerjaan dari orang yang memiliki otoritas lebih tinggi.

2. Nahi
Menurut bahasa Nahyu ialah larangan dan mencegah. Sedangkan menurut
istilah, ulama ushul memberikan definisi sebagai berikut:24
Pertama, Ustadz Abdul Hamid Hakim mendefinisikan sebagai:

‫ك ِمنَ اَأْل ْعلَى ِإلَى اَأْل ْدنى‬


ِ ْ‫َوه َُو طَلَبُ التَّر‬
Yaitu permintaan untuk meninggalkan (sesuatu) yang berasal dari yang posisinya
yang lebih tinggi kepada yang posisinya yang lebih rendah.
Kedua, Syaikh Utsaimin mendefinisikan sebagai:
‫ارع ْال َم ْق ُرونُ بِال الناهية‬
ِ ‫ض‬َ ‫قول يتضمن طلب الكف على وجه االستعالء بصيغة مخصوصة هي ال ُم‬
Perkataan yang mengandung permintaan untuk menahan diri dari suatu perbuatan
dalam bentuk isti’la’ (dari atas ke bawah) dengan bentuk khusus yaitu fi’il mudhori’
yang didahului dengan la nahiyah.
23
Miswanto, Ushul Fiqh “Metode Istinbath Hukum Islam,” 57–58.
24
Miswanto, Ushul Fiqh “Metode Istinbath Hukum Islam,” 49–50.

18
Dari definsi di atas, dapat difahami, bahwa larangan merupakan suatu lafadz
(ucapan) tertentu yang dipergunakan oleh seseorang yang lebih tinggi tingkatannya
kepada orang yang lebih rendah tingkatannya yang menuntut untuk tidak mengerjakan
atau menuntut untuk meinggalkan suatu perbuatan.
3. Takhyir
Definisi (Takhyir) menurut bahasa adalah pilihan atau memberi kebebasan
memilih. Sedangkan menurut istilah,
‫ التسوية بين الفعل والترك‬:‫وأما الحكم التخييري فهو‬.

Hukum tahyir adalah penyamaan antara mengerjakan dan meninggalkan.

Dari definsis di atas, dapat difahami bahwa takhyir merupakan perbuatan yang
diperintahkan oleh Allah SWT dan rosul-Nya untuk memilih antara melakukan atau
tidak. Jadi hukum yang ditujukan dalam bentuk tahyir adalah halal atau boleh
dilakukan dalam arti tidak berpahala jika dilakukan dan tidak berdosa jika
ditinggalkan.25

25
Miswanto, Ushul Fiqh “Metode Istinbath Hukum Islam,” 78–79.

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Metode dalam beristinbath hukum melalui pendekatan bahasa ditinjau dari


beberapa segi, di antaranya:
1. Lafal ditinjau dari segi jelas atau tidaknya, terdiri dari zhahir, nash, mufassar,
muhkam, khafi, musykil, mujmal, dan mutasyabih.
2. Lafal dari segi cara penunjukannnya terhadap makna, terdiri dari ibarah nash, isyarah
nash, dalalah nash, iqtidha’ nash, manthuq, dan mafhum.
3. Lafal dari segi luas sempitnya cakupan makna, terdiri dari ‘am, takhshish, khas,
muthlaq, dan muqayyad.
4. Lafal dari segi penggunannya terhadap makna terdiri dari hakikat, majaz, sharih, dan
kinayah.
5. Lafal dari segi formula taklif, terdiri dari, amar, nahi, dan takhyir.

B. Saran

Setelah penulis lakukan pembahasan mengenai “Metode Linguistik Istinbath


Hukum”, maka perlu dikiranya penulis menyampaikan saran-saran sebagai berikut:
1. Penting mempelajari Metode Linguistik Istinbath Hukum bagi mujtahid karena
pembahasan ini merupakan salah satu syarat utama sesorang berijtihad dalam rangka
melakukan istinbath hukum untuk menjawab setiap problematika kehidupan manusia
berbasiskan wahyu.

2. Penting bagi umat Islam untuk mengetahui tentang Metode Linguistik Istinbath
Hukum terkait kewajibannya mengamalkan Al-Qur’an dan Sunnah melalui ijtihad
mujtahid. Selain itu, kita sebagai umat Islam bukan hanya sekadar mengetahui suatu
masalah yang hukumnya wajib atau Sunnah, tetapi juga dapat mengetahui latar
belakang munculnya hukum tersebut. Apakah hal tersebut dengan bentuk hakikat atau
dengan bentuk majaz.

20
DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.

Effendi, Satria. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana, 2008.

Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

Miswanto, Agus. Ushul Fiqh “Metode Istinbath Hukum Islam.” Yogyakarta: Magnum
Pustaka Utama, 2019.

Samsidar. “Metode Istinbat Al-Tariqah Al-Istinbat Al Jami,Ah Baina Tariqah Al-Lafziyyah


Wa Ma’nawiyah Dalam Maqasid Al-Syari’ah Mazhab Syatiby.” STAIN Watampone
Volume IV No. 2. Al-Bayyinah (n.d.).

Syarifudin, Amir. Ushul Fiqih. Jilid 2. Jakarta: Kencana, 2008.

al-Syâthibiy, Abu Ishâq, and al-Muwâfaqât. Fi Ushûl Al-Syarî’ah. Juz III. Bairût: Dâr al-
Kutub al-‘Ilmiyah, n.d.

al-Zuhailiy, Wahbah. Ushûl Al-Fiqhal-Islâmiy. Juz I. Dimasyq: Dâr al-Fikr, 1996.

21

Anda mungkin juga menyukai