Di Susun Oleh :
MIFTAHURROHIM (200202140)
MEILANI MAYA SARI (200202135)
MATARAM
2021
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN ……………………………………………………………………………
A. Latar Belakang ………………………………………………………………………..
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………………………..
C. Tujuan ………………………………………………………………………………….
BAB II
PEMBAHASAN ………………………………………………………………………………
A. Pengertian lafaz yang jelas dan tidak jelas maknanya ……………………………….
B. Lafaz yang jelas maknanya ………………………………………………………….
- zhahir ……………………………………………………………………………
- nash ……………………………………………………………………………..
- mufassar ………………………………………………………………………..
- muhkam ………………………………………………………………………..
C. Lafaz yang tidak jelas maknanya …………………………………………………....
- khafi ……………………………………………………………………………..
- musykil ………………………………………………………………………….
- mujmal …………………………………………………………………………
- mutasyabih ………………………………………………………………………
D. Cara Menunjukkan Makna ........................................................................................
- dilalah al-ibarah ..................................................................................................
- dilalah al-isyarah ................................................................................................
- dilalah ad-dhalalah ...............................................................................................
- dilalah al-iqtidha’ ...............................................................................................
BAB III
PENUTUP ……………………………………………………………………………………
A. Kesimpulan …………………………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ushul fiqih merupakan salah satu cabang dalam ilmu keislaman yang secara garis besar
membahas tentang bagaimana menggali dan memunculkan hukum syara’ praktis dari nash
yang ada, baik dalam Al-Qur’an maupun As-sunnah. Salah satu teori kebahasaan tersebut
adalah ialah memahami lafaz dari segi maknanya, baik jelas maupun tidak jelas. Lafaz-lafaz
tidak bisa diartikan secara langsung itulah yang menyebabkan banyak perbedaan penafsiran
makna terhadap lafaz tersebut. Maka para ahli ushul fiqih mengelompokkan pernyataan-
pernyataan (lafaz) ke dalam empat sudut kajian yaitu; lafaz dikaji dari aspek jelas tidaknya
makna, lafaz dikaji dari aspek cara penunjukkannya terhadap makna yang dimaksud, lafaz
dikaji dari luas sempitnya makna, dan lafaz dikaji dari segi formula perintah. Maka dalam
makalah ini, penulis akan membahas tentang lafaz dari segi aspek jelas tidaknya makna.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan lafaz jelas dan tidak jelasnya makna?
C. Tujuan
PEMBAHASAN
Lafaz adalah susunan beberapa huruf yang mengandung arti, lafaz dari segi kejelasan
maknanya terbagi menjadi dua macam, yaitu lafaz yang jelas dan lafaz yang tidak jelas.
Maksud dari lafaz yang jelas adalah lafaz yang penunjukkannya terhadap makna yang
dimaksud tanpa memerlukan penjelasan dari luar1. Sedangkan yang dimaksud dengan lafaz
yang tidak jelas adalah lafaz yang belum jelas penunjukkannya terhadap makna yang dimaksud
kecuali dengan penjelasan dari luar lafaz itu. Karena lafaz itu mengandung kekaburan
pengertian pada lafaznya. Kekaburan pada lafaz ini dapat dihilangkan dengan jalan
lafaz yang jelas maknanya dibagi menjadi empat tingkatan yaitu zhahir (jelas), nash
(lebih jelas), mufassar (sangat jelas), dan muhkam (paling jelas). Urutan ini sesuai dengan
tingkatan kejelasan makna yang dimaksud dari sebuah lafaz dari tingkatan kejelasan dengan
Zhahir adalah lafaz yang menunjukkan suatu pengertian secara jelas tanpa memerlukan
penjelasan dari luar, namun bukan pengertian itu yang menjadi maksud utama dari
pengucapannya, karena terdapat pengertian lain yang menjadi maksud utama dari pihak yang
1
Wahyu Setiawan, perbandingan mazhab ushul fiqh,(Lampung: STAIN JuraiSiwo Metro Lampung, 2014),
hal.90
2
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Cetakan ke-7 (Jakarta: Kencana,2017), hal.203
maksud dalam pelafazan. Dalil yang diungkapkan sudah jelas maknanya dan cepat ditangkap
dan memungkinkan untuk bisa dita’wilkan kepada makna lainnya. Lafaz zhahir itu disamping
mengandung arti menurut zhahirnya, juga dimungkinkan memahaminya dengan maksud lain3.
Arti zhahir yang cepat ditangkap dari ayat tersebut adalah kehalalan jual beli dan keharaman
riba. Makna zhahirnya menghadirkan makna yang mudah dan cepat ditangkap oleh akal tanpa
memerlukan penjelasan dari luar bahwa jual beli itu halal dan riba itu haram. Tetapi bukan
pengertian itu yang dimaksud menurut kontek ayat tersebut. Maksud utama ayat ini adalah
penjelasan tentang perbedaan antara jual beli dan riba. Karena ayat tersebut adalah sebagai
jawaban atas pernyataan orang musyrik yang menyatakan bahwa jual beli dengan riba itu sama4
ُ ۗۗم ْث ْ َ َّ ْ ُ َ ْ ُ َّ َ َ
ُ اۗال َب ْي
ۗۗالرۗبۗوا
ِّ ل ِّ ع اٱۗانم
ِّ ذ ِّۗلك ِّۗبانهمۗقالو
“Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
Kedudukan lafaz zhahir adalah wajib di amalkan sesuai dengan petunjuk lafaz itu
sendiri, sepanjang tidak ada dalil yang mentakhshishnya, menta;wilnya, dan menashakhnya5.
3
Dr. Misbahuddin, Ushul Fiqh II, (Makassar: Alauddin Press,2015)
4
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Cetakan ke-7 (Jakarta: Kencana,2017), hal.204
5
H. Satria Efendi Zein, UShul Fiqh, cet,1, (Jakarta:Kencana, 2005),h 224
Pengertian nash disini tidak berarti dalil syara’ dalam bentuk tertulis seperti Al-Qur’an
atau hadits dan bukan pula nash dalam arti fiqih mazhab yaitu pendapat imam mujtahid yang
dijadikan dasar berijtihad, tetapi kedudukan lafaz dari segi penjelasan artinya. Nash merupakan
bentuk lafaz yang menunjukkan pengertiannya secara jelas dan memang pengertian itulah yang
dimaksud oleh konteksnya. Secara singkat lafaz nash adalah lafaz yang penunjukan maknanya
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu,
maka tinggalkanlah”
Teks ayat ini secara teks bertujuan untuk menyatakan keharusan mengikuti rasul tentang
pembagian harta rampasan, baik yang diperbolehkan maupun yang tidak. Namun, teks ini juga
dapat dipahami artinya secara zhahir, bahwa kita wajib mengerjakan apa saja yang disuruh
Jadi kaidah yang berlaku disini adalah wajib mengamalkan pengertian nash tersebut,
namun mengandung kebolehjadian untuk dita’wil kepada pengertian lainnya bisa ada indikasi
c. Mufassar )(املفسر
Mufassar adalah lafaz yang menunjukkan kepada makna sebagaimana dikehendaki atau
lafaz yang menunjukkan kepada maknanya secara jelas dan perinci tanpa ada kemungkinan
untuk dipalingkan kepada penengertian lainnya. Lafaz mufassar dapat dibagi menjadi dua:
6
Ahmad Sadzali, Pengantar Belajar Ushul Fikih, (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum Islam, 2017)
- Pertama, lafaz yang maknanya jelas dan terperinci dari semula tanpa memerlukan
َۗاجل ُد ْو ُه ْم َۗثمۗن ْي َن َۗج ْلدة ْ اٱء َۗف َۗصۗنۗت ُۗۗث َّۗم َۗۗل ْۗم َۗۗي ْۗأ ُۗت ْۗوۗاۗب َۗۗا ْ َۗب َۗعۗة ُۗش َهد ْ ُْ َ َ َّ َ
ِّ ِّ َ ِّ ِّ ر ِّ َ وۗال ِّۗذ ْۗيۗن َۗۗي ْۗر ُۗم ْۗۗونۗۗالۗح
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan
Bilangan delapan puluh kali dera merupakan lafaz mufassar, sebab bilangan delapan puluh
merupakan bilangan yang pasti, maknanya tidak dapat dipalingkan dan pengertian angka
delapan puluh kali itu tidak dapat diubah dengan mengurangi atau menambah jumlahnya.
- Kedua, lafaz yang pada mulanya mujmal (global), kemudian pembuat syariat itu sendiri
datang penjelasan yang memerinci sampai jelas diamalkan. Contohnya dalam surah
An-Nur ayat 56 :
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi
rahmat”
Perintah shalat, zakat pada ayat tersebut merupakan lafaz yang masih bersifat global, tidak ada
penjelasan tentang cara dan segala hal yang terkait dengan pelaksanaan kedua bentuk ibadah
tersebut. Kemudia Rasulullah menjelaskan dan memerincinya melalui tindakan dan sabda
beliau. Kaidah yang berlaku pada lafaz mufassar adalah wajib diterapkan sesuai dengan
penjelasan dan rincian yang tidak mungkin dipalingkan dari makna tersebut.
d. Muhkam )(املحكم
Lafaz muhkam adalah lafaz yang menunjukkan kepada maknanya secara jelas
sehingga tertutup kemungkinan untuk dita’wil. Hukum yang ditunjukkan tidak menerima
pembatalan, karena merupakan ajaran-ajaran pokok yang tidak berlaku padanya nasakh,
misalnya kewajiban menyembah hanya kepada Allah, iman terhadap malaikat, kitab, rasul, hari
kiamat, qada dan qadar. Begitu juga menyangkut dengan nilai-nilai moral seperti berbakti
kepada orang tua, berlaku adil, kejujuran, dan sikap amanah. Lafaz muhkam tidak dapat di
nasakh pada masa Nabi SAW, apalagi pada masa berikutnya7. Contohnya dalam surah Al-
َ ُ َ َّ َ ْ ُ َ ْ َ َ
۞ۗهللا ِّۗبك ِّلۗش ْي ٍء َۗع ِّل ْي ٌمَو َّات ُقواۗهللاۗۗواعلمواٱۗان
“Dan bertaqwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah maha mengetahui segala
sesuatu”
Ayat diatas merupakan salah satu ajaran-ajaran pokok yaitu memerintahkan untuk bertaqwa
kepada Allah yang tidak akan mungkin mengandung makna lain ataupun tidak menerima
ta’wil, takhshish dan nasakh. Dan juga sifat mengetahui merupakan salah satu sifat yang
melekat pada zat Allah, tidak mungkin mengandung nasakh karena sifat maha mengetahui
Lafaz yang tidak jelas maknanya terbagi menjadi 4 macam tingkatan dalam hal
ketidakjelasan pengertiannya, yaitu khafi (tidak jelas), musykil (lebih tidak jelas), mujmal
(sangat tidak jelas), dan mutasyabih (paling tidak jelas). Penjelasannya sebagai berikut:
7
Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, Cetakan II (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hal.201
Lafaz khafi adalah bentuk lafaz yang pada dasarnya memunculkan makna yang jelas.
Namun kejelasan makna tersebut menjadi samar ketika makna tersebut diterapkan pada kasus
tertentu. Ketidakjelasan muncul karena bentuk kasus itu tidak sama persis dengan kasus yang
ditujukan oleh lafaz, sehingga terlihat adanya kontradiksi antara kasus yang terdapat dalam
lafaz dengan kasus turunan yang merupakan bagian dari kasus utama pada lafaz. Oleh karena
itu dibutuhkan penalaran yang mendalam untuk menghilangkan kesamaran makna tersebut8.
َ َ ْ َ ُ َ َّ َ ُ َّ َ
.......ۗالسۗا ِّرۗقۗةۗۗفۗاقۗط ُۗع ْۗوۗاٱۗا ْۗي ِّۗد َۗي ُۗه َما
ۗارقۗۗو
ِّۗ وۗۗالس
“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya”
Secara umum pengertian pencuri cukup jelas, yaitu orang yang mengambil harta orang
lain secara sembunyi dari tempat penyimpanan yang layak baginya. Hukuman dari pencurian
itu pun sudah sangat jelas, yaitu hukum potong tangan. Namun lafaz ayat yang semula jelas
menjadi tidak jelas ketika menerapkan ayat itu kepada pencopet yang secara lihai bisa
pengertian pencuri? Untuk mencari jawabannya adalah dengan jalan ijtihad, apakah pengertian
pencopet termasuk dalam pengertian pencuri sessuai dengan ayat diatas. Berdasarkan contoh
di atas, dapat disimpulkan bahwa kesamaran makna lafaz terjadi bukan akibat dari
ketidakjelasan lafaz itu, namun karena lafaz itu jika diterapkan pada kasus lain yang merupakan
8
Wahyu Setiawan, Perbandingan Mazhab Ushul Fiqh, (Lampung: STAIN Jurai Siwo Metro Lampung,2014),
hal. 106
Musykil adalah lafaz yang tidak jelas pengertiannya, dan ketidak jelasan itu disebabkan
oleh lafaz itu diciptakan untuk beberapa pengertian yang berbeda. Perbedaan antara lafaz khafi
dan musykil adalah bahwa lafaz khafi kekaburan maknanya bukan disebabkan dari lafaz itu,
sedangkan lafaz musykil kekaburannya berasal dari lafaz itu sendiri karena lafaz itu diciptakan
untuk beberapa makna9. Contoh lafaz musykil terdapat pada surah Al-Baqarah ayat 228 :
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ “
Kata quru’ dalam ayat tersebut dalam bahasa Arab berarti masa suci, Imam Syafi’I
mengartikannya dengan masa suci, sedangkan Abu Hanifah mengartikannya dengan masa
haid. Begitulah setiap lafaz musykil dalam Al-Qur’an dan sunnah, untuk memahaminya
memerlukan upaya ijtihad dalam mencari tanda-tanda atau dalil yang membantu untuk
memperjelas pengertiannya. Makna-makna lafaz musykil menjadi jelas dan hilang kesamaran
maknanya meskipun hasil yang dicapai berbeda atau beragam tergantung pada sudut pandang
masing-masing mujtahid.
Secara bahasa mujmal adalah samar, secara istilah para ulama ushul fiqih
sebagai suatu lafaz yang tidak dapat dipahami maksudnya kecuali ada penjelasan dari yang
mengeluarkan lafaz mujmal itu dan melalui penjelasannya diketahui maksud lafaz tersebut.
Wahbah Az-Zuhaili mendefinisikan mujmal dengan lafaz yang sulit dipahami maksudnya
kecuali melalui penjelasan dari yang mengucapkan, seperti lafaz shalat, zakat, puasa dan lain-
9
Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, Cetakan II (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), Hal.204
lain yang dilihat bukan dari makna kebahasaannya. Contoh lafaz mujmal pada surah Al-
Baqarah ayat 43 :
َ َّ ُ َ َ َّ َ
.........ۗواۗالزكۗوة َوا ِّق ْي ُمواۗالصلۗوةۗۗواۗت
Lafaz shalat menurut bahasa diartikan dengan doa, namun menurut syara’ ialah suatu perbuatan
tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Ayat diatas dijelaskan melalui
hadits Nabi Muhammad SAW baik dengan perkataan maupun perbuatan yang menjelaskan
Mutasyabih adalah lafaz yang memiliki kesamaran makna yang berasal dari lafaz itu
sendiri dan terputus semua upaya untuk mengetahui maknanya. Dalam istilah hukum, lafaz
mutasyabih adalah lafaz yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat digunakan untuk
mencapai artinya10. Pihak yang mengetahui makna lafaz ini hanyalah Allah SWT, maka tidak
ada peluang bagi akal manusia untuk menjelaskan makna lafa mutasyabih. Tuntutan bagi
manusia lebih pada penerimaan bentuk lafaz itu apa adanya dan menyerahkan segala maknanya
10
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2014), Cet, 7, hal. 24-25
Lafaz mutasyabih kebanyakan terdapat dalam nash-nash selain tentang hukum.
beberapa surah dalam Al-Qur’an seperti alif lam mim, kaf ha ain shad, yaa siin, dan
lain sebagainya. Potongan-potongan dalam bentuk huruf ini tidak mengandung arti apa-
apa bila ditinjau dari segi lafaznya. Allah dan Nabi pun tidak pernah menjelaskannya
sehingga setiap pembaca hanya akan mengatakan “wallahu a’lam” (hanya Allah yang
maha mengetahui)
makhluk-Nya sehingga tidak mungkin dipahami ayat itu menurut arti lughawinya
karena Allah SWT mempunyai sifat tidak ada yang menyamai-Nya dengan makhluk.
Para ulama sepakat mengatakan bahwa di dalam Al-Qur’an memang terdapat ayat-ayat
mutasyabih karena Allah sendiri yang mengatakannya dalam surah Ali Imran ayat 7:
“Dialah yang telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu. Diantara (isi)-nya ada ayat-
ayat muhkamat, dan itulah Ummul Kitab (pokok-pokok isi Al-Qur’an) dan yang lain adalah
(ayat-ayat) mutasyabihat”
Ada beberapa perbedaan pendapat pada ulama yang pertama ulama khalaf berpendapat
bahwa dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat mutasyabih dalam bentuk kedua, dalam arti bahwa
ayat-ayat yang arti zhahirnya menyamakan Allah dengan sifat-sifat yang terdapat pada
manusia. Meskipun tidak mengetahui artinya, namun mereka berusaha untuk sampai kepada
maksudnya dengan cara menta’wil atau memalingkan arti dari makna zhahirnya kepada makna
lain untuk menghindari diri dari menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Adapun ulama lain
yang menolak usaha mengalihkan arti itu kepada arti lain dengan kata lain pada ayat
mutasyabih tidak boleh dita’wil, mereka tetap memahami lafaz menurut apa adanya sambil
menyerahkan kepada ilmu Allah dan tidak mencoba untuk membahas dan menta’wilnya,
mengetahui dalalah (penunjukkan) lafaz terhadap makna kepada empat macam: yaitu dilalah
Dilalah al-ibarah yaitu makna yang dipahami dari lafaz baik berupa zhahir maupun
nash11. Maksudnya suatu makna dapat dipahami dari susunan kalimat lafaz itu sendiri
َ ُ َ َّ َ َ َ َ ُ َ َ َُ َ َ ْ َ َ َ ْ ُ َ َ َ َ ْ ُ ْ َ
ۗۗۗۗخ ْۗف ُت ْمۗاالۗت ْع ِّدل ْواۗف َو ِّاح َدة
ِّ
ْ ۗۗفۗا
ۗن ِّ ۗۗورۗبۗاع
ۗ ۗاءۗۗمۗثۗنۗىۗوۗثۗلۗث
ِّ ۗۗالنۗس
ِّ ۗۗمۗن
ِّ فۗان ِّۗكۗحۗوۗامۗاطۗابۗۗلۗكۗم
“maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) hanya seorang saja”
Ayat ini menunjukkan tiga pengertian: pertama kebolehan menikah, kedua kebolehan
menikah lebih dari satu wanita sampai empat, ketiga wajib membatasi hanya satu apabila
11
Muhammad, Abu Zahrah, Ushul Fiqh (terj.), (Jakarta:Pustaka Firdaus,2002), hlm.204
khawatir tidak dapat berlaku adil. Dua poin yang terakhir adalah yang dimaksud secara asli
dari konteks ayat. Adapun yang pertama bukan makna yang dimaksud.
2) Dilalah al-isyarah
Dilalah al-isyarah adalah makna yang dapat dipahami bukan dari lafaz dan susunan
kalimat lafaz itu sendiri, juga disebut dengan makna yang tersirat. Contoh dalam surah Al-
Berdasarkan ayat diatas khususnya jika melihatnya dari dilalah ibarahnya maka yang
dipahami adalah Allah telah menghalalkan jual beli dan riba, namun adapun makna yang
tersimpan atau tersirat pada lafaz di atas bahwasanya jual beli itu berbeda dengan riba.
Dilalah ad-dhalalah adalah makna secara suatu ketetapan hukum yang disebutkan
nashnya berlaku pula atas sesuatu yang tidak disebutkan karena terdapat pertautan illat hukum.
َ َ َّ ُ َ َ ُ ْ َ ْ َ َ َ ُ َ ُ َّ ْ ُ َ َ َ
اۗوق ْلۗل ُه َماۗق ْوالۗك ِّرْيمافلۗتقلۗلهماۗا ٍفۗۗوالۗتنهرهم
“Dan janganlah berkata uff kepada mereka, dan janganlah membentak mereka. Dan
Secara zhahir, ayat ini menjelaskan tentang tidak dibolehkannya berkata “ah” kepada
orang tua. Sehingga bisa disimpulkan berkata “ah” saja dilarang maka memukul dan mencaci
lebih diharamkan.
4). Dilalah al-iqtidha’
Dilalah al-iqtidha’ adalah pemahaman terhadap makna yang hanya didapat dengan
mengira-ngira, menurut Abdul Wahab Khallab, sedangkan menurut Dr. Wahbah Zuhaili
kenapa dalalah ini dinamakan iqtidha’ karena iqtidha’ sendiri mengandung makna meminta
ُ َّ َ ْ َ ْ َ
اسأ ِّلۗال َق ْرَيةۗۗال ِّت ْيۗك َّناۗ ِّف ْي َهاو
Ayat ini tidak dapat dipahami secara akal, karena tidak mungkin orang bertanya pada
kampung, sehingga disini dikira kirakan lafaz yang tersimpan yaitu ( اهلpenduduk) sehingga
yang dimaksud adalah bertanya pada penduduk yang ada di kampung itu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Lafaz adalah susunan beberapa huruf yang mengandung arti, lafaz dari segi
kejelasan maknanya terbagi menjadi dua macam, yaitu lafaz yang jelas dan lafaz yang tidak
jelas. Maksud dari lafaz yang jelas adalah lafaz yang penunjukkannya terhadap makna yang
dimaksud tanpa memerlukan penjelasan dari luar. Sedangkan yang dimaksud dengan lafaz
yang tidak jelas adalah lafaz yang belum jelas penunjukkannya terhadap makna yang dimaksud
kecuali dengan penjelasan dari luar lafaz itu. Lafaz yang jelas maknanya dibagi menjadi 4
macam yaitu zhahir, nash, mufassar, dan muhkam. Sedangkan lafaz yang tidak jelas maknanya
dibagi menjadi 4 macam juga diantaranya yaitu khafi, musykil, mujmal, dan mutasyabih.
DAFTAR PUSTAKA
Setiawan Wahyu, Perbandingan Mazhab Ushul Fiqh, Lampung: STAIN Jurai Siwo Metro
Lampung,2014
Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, Cetakan II, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013
Sadzali Ahmad, Pengantar Belajar Ushul Fikih, Yogyakarta: Pusat Studi Hukum Islam, 2017