Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH USHUL FIQIH II

LAFAZ YANG JELAS DAN TIDAK JELAS MAKNANYA

Di Susun Oleh :
MIFTAHURROHIM (200202140)
MEILANI MAYA SARI (200202135)

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

MATARAM
2021
DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN ……………………………………………………………………………
A. Latar Belakang ………………………………………………………………………..
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………………………..
C. Tujuan ………………………………………………………………………………….
BAB II
PEMBAHASAN ………………………………………………………………………………
A. Pengertian lafaz yang jelas dan tidak jelas maknanya ……………………………….
B. Lafaz yang jelas maknanya ………………………………………………………….
- zhahir ……………………………………………………………………………
- nash ……………………………………………………………………………..
- mufassar ………………………………………………………………………..
- muhkam ………………………………………………………………………..
C. Lafaz yang tidak jelas maknanya …………………………………………………....
- khafi ……………………………………………………………………………..
- musykil ………………………………………………………………………….
- mujmal …………………………………………………………………………
- mutasyabih ………………………………………………………………………
D. Cara Menunjukkan Makna ........................................................................................
- dilalah al-ibarah ..................................................................................................
- dilalah al-isyarah ................................................................................................
- dilalah ad-dhalalah ...............................................................................................
- dilalah al-iqtidha’ ...............................................................................................
BAB III
PENUTUP ……………………………………………………………………………………
A. Kesimpulan …………………………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Ushul fiqih merupakan salah satu cabang dalam ilmu keislaman yang secara garis besar

membahas tentang bagaimana menggali dan memunculkan hukum syara’ praktis dari nash

yang ada, baik dalam Al-Qur’an maupun As-sunnah. Salah satu teori kebahasaan tersebut

adalah ialah memahami lafaz dari segi maknanya, baik jelas maupun tidak jelas. Lafaz-lafaz

tidak bisa diartikan secara langsung itulah yang menyebabkan banyak perbedaan penafsiran

makna terhadap lafaz tersebut. Maka para ahli ushul fiqih mengelompokkan pernyataan-

pernyataan (lafaz) ke dalam empat sudut kajian yaitu; lafaz dikaji dari aspek jelas tidaknya

makna, lafaz dikaji dari aspek cara penunjukkannya terhadap makna yang dimaksud, lafaz

dikaji dari luas sempitnya makna, dan lafaz dikaji dari segi formula perintah. Maka dalam

makalah ini, penulis akan membahas tentang lafaz dari segi aspek jelas tidaknya makna.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan lafaz jelas dan tidak jelasnya makna?

2. Berapa macam yang termasuk lafaz yang jelas maknanya?

3. Berapa macam yang termasuk lafaz yang tidak jelas maknanya?

4. Bagaimana macam cara untuk menunjukkan makna?

C. Tujuan

1. Mengetahui pengertian lafaz yang jelas dan tidak jelas maknanya

2. Mengetahui macam-macam lafaz yang jelas maknanya

3. Mengetahui macam-macam lafaz yang tidak jelas maknanya


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian lafaz yang jelas dan tidak jelas maknanya

Lafaz adalah susunan beberapa huruf yang mengandung arti, lafaz dari segi kejelasan

maknanya terbagi menjadi dua macam, yaitu lafaz yang jelas dan lafaz yang tidak jelas.

Maksud dari lafaz yang jelas adalah lafaz yang penunjukkannya terhadap makna yang

dimaksud tanpa memerlukan penjelasan dari luar1. Sedangkan yang dimaksud dengan lafaz

yang tidak jelas adalah lafaz yang belum jelas penunjukkannya terhadap makna yang dimaksud

kecuali dengan penjelasan dari luar lafaz itu. Karena lafaz itu mengandung kekaburan

pengertian pada lafaznya. Kekaburan pada lafaz ini dapat dihilangkan dengan jalan

mengadakan penelitian dan ijtihad.

B. Lafaz yang jelas maknanya

lafaz yang jelas maknanya dibagi menjadi empat tingkatan yaitu zhahir (jelas), nash

(lebih jelas), mufassar (sangat jelas), dan muhkam (paling jelas). Urutan ini sesuai dengan

tingkatan kejelasan makna yang dimaksud dari sebuah lafaz dari tingkatan kejelasan dengan

kualitas terendah hingga tertinggi.

a). Zhahir )‫(الظا هر‬

Zhahir adalah lafaz yang menunjukkan suatu pengertian secara jelas tanpa memerlukan

penjelasan dari luar, namun bukan pengertian itu yang menjadi maksud utama dari

pengucapannya, karena terdapat pengertian lain yang menjadi maksud utama dari pihak yang

mengucapkannya2. Makna yang terbentuk dalam persepsi pendengar bukan merupakan

1
Wahyu Setiawan, perbandingan mazhab ushul fiqh,(Lampung: STAIN JuraiSiwo Metro Lampung, 2014),
hal.90
2
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Cetakan ke-7 (Jakarta: Kencana,2017), hal.203
maksud dalam pelafazan. Dalil yang diungkapkan sudah jelas maknanya dan cepat ditangkap

dan memungkinkan untuk bisa dita’wilkan kepada makna lainnya. Lafaz zhahir itu disamping

mengandung arti menurut zhahirnya, juga dimungkinkan memahaminya dengan maksud lain3.

Contoh lafaz zhahir dalam surah Al-Baqarah ayat 275:

ۗ‫ۗالربۗوا‬ َ ‫ۗهللا ْۗال َب ْي َع َۗۗو َح َّر‬


‫م‬ ُ ‫َو َا َح َّل‬
ِّ

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”

Arti zhahir yang cepat ditangkap dari ayat tersebut adalah kehalalan jual beli dan keharaman

riba. Makna zhahirnya menghadirkan makna yang mudah dan cepat ditangkap oleh akal tanpa

memerlukan penjelasan dari luar bahwa jual beli itu halal dan riba itu haram. Tetapi bukan

pengertian itu yang dimaksud menurut kontek ayat tersebut. Maksud utama ayat ini adalah

penjelasan tentang perbedaan antara jual beli dan riba. Karena ayat tersebut adalah sebagai

jawaban atas pernyataan orang musyrik yang menyatakan bahwa jual beli dengan riba itu sama4

yang dibeberkan dalam penggalan ayat sebelumnya:

ُ ‫ۗۗم ْث‬ ْ َ َّ ْ ُ َ ْ ُ َّ َ َ
ُ ‫اۗال َب ْي‬
ۗ‫ۗالرۗبۗوا‬
ِّ ‫ل‬ ِّ ‫ع‬ ‫اٱۗانم‬
ِّ ‫ذ ِّۗلك ِّۗبانهمۗقالو‬

“Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),

sesungguhnya jual beli sama dengan riba” (QS. Al-Baqarah: 275)

Kedudukan lafaz zhahir adalah wajib di amalkan sesuai dengan petunjuk lafaz itu

sendiri, sepanjang tidak ada dalil yang mentakhshishnya, menta;wilnya, dan menashakhnya5.

b). Nash )‫(النص‬

3
Dr. Misbahuddin, Ushul Fiqh II, (Makassar: Alauddin Press,2015)
4
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Cetakan ke-7 (Jakarta: Kencana,2017), hal.204
5
H. Satria Efendi Zein, UShul Fiqh, cet,1, (Jakarta:Kencana, 2005),h 224
Pengertian nash disini tidak berarti dalil syara’ dalam bentuk tertulis seperti Al-Qur’an

atau hadits dan bukan pula nash dalam arti fiqih mazhab yaitu pendapat imam mujtahid yang

dijadikan dasar berijtihad, tetapi kedudukan lafaz dari segi penjelasan artinya. Nash merupakan

bentuk lafaz yang menunjukkan pengertiannya secara jelas dan memang pengertian itulah yang

dimaksud oleh konteksnya. Secara singkat lafaz nash adalah lafaz yang penunjukan maknanya

sesuai dengan maksud pembicara. Contoh dalam surah Al-Hasyr ayat 7:

ْ َ ُ ُ ُ َ َّ ‫َو َماٱۗاۗت ُۗك ُم‬


‫ۗالر ُس ْو ُلۗفخذ ْو ُه َۗۗو َم َاۗنهۗك ْم َۗع ْن ُهۗفان َت ُه ْوۗا‬

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu,

maka tinggalkanlah”

Teks ayat ini secara teks bertujuan untuk menyatakan keharusan mengikuti rasul tentang

pembagian harta rampasan, baik yang diperbolehkan maupun yang tidak. Namun, teks ini juga

dapat dipahami artinya secara zhahir, bahwa kita wajib mengerjakan apa saja yang disuruh

rasul dan meninggalkan apa saja yang dilarangnya6.

Jadi kaidah yang berlaku disini adalah wajib mengamalkan pengertian nash tersebut,

namun mengandung kebolehjadian untuk dita’wil kepada pengertian lainnya bisa ada indikasi

atau dalil yang menunjukkan untuk itu.

c. Mufassar )‫(املفسر‬

Mufassar adalah lafaz yang menunjukkan kepada makna sebagaimana dikehendaki atau

lafaz yang menunjukkan kepada maknanya secara jelas dan perinci tanpa ada kemungkinan

untuk dipalingkan kepada penengertian lainnya. Lafaz mufassar dapat dibagi menjadi dua:

6
Ahmad Sadzali, Pengantar Belajar Ushul Fikih, (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum Islam, 2017)
- Pertama, lafaz yang maknanya jelas dan terperinci dari semula tanpa memerlukan

penjelasan, contohnya dalam surah An-Nur ayat 4 :

َۗ‫اجل ُد ْو ُه ْم َۗثمۗن ْي َن َۗج ْلدة‬ ْ ‫اٱء َۗف‬ َ‫ۗصۗنۗت ُۗۗث َّۗم َۗۗل ْۗم َۗۗي ْۗأ ُۗت ْۗوۗاۗب َۗۗا ْ َۗب َۗعۗة ُۗش َهد‬ ْ ُْ َ َ َّ َ
ِّ ِّ َ ِّ ‫ِّ ر‬ ِّ َ ‫وۗال ِّۗذ ْۗيۗن َۗۗي ْۗر ُۗم ْۗۗونۗۗالۗح‬

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka

tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan

puluh kali dera”

Bilangan delapan puluh kali dera merupakan lafaz mufassar, sebab bilangan delapan puluh

merupakan bilangan yang pasti, maknanya tidak dapat dipalingkan dan pengertian angka

delapan puluh kali itu tidak dapat diubah dengan mengurangi atau menambah jumlahnya.

- Kedua, lafaz yang pada mulanya mujmal (global), kemudian pembuat syariat itu sendiri

datang penjelasan yang memerinci sampai jelas diamalkan. Contohnya dalam surah

An-Nur ayat 56 :

َ ُ ُ َّ َ َّ ‫ۗوة َۗۗو َۗا ِّۗط ْۗي ُۗع‬


َ َّ ُ َ َ َّ َ
ۗ۞‫ۗواۗالر ُۗس ْۗۗو َلۗۗل َۗعۗلۗك ْۗمۗۗت ْۗر َۗح ُۗم ْۗۗون‬ ‫َوا ِّق ْي ُمواۗالصلۗوةۗواۗتۗواۗالزۗك‬

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi

rahmat”

Perintah shalat, zakat pada ayat tersebut merupakan lafaz yang masih bersifat global, tidak ada

penjelasan tentang cara dan segala hal yang terkait dengan pelaksanaan kedua bentuk ibadah

tersebut. Kemudia Rasulullah menjelaskan dan memerincinya melalui tindakan dan sabda

beliau. Kaidah yang berlaku pada lafaz mufassar adalah wajib diterapkan sesuai dengan

penjelasan dan rincian yang tidak mungkin dipalingkan dari makna tersebut.

d. Muhkam )‫(املحكم‬
Lafaz muhkam adalah lafaz yang menunjukkan kepada maknanya secara jelas

sehingga tertutup kemungkinan untuk dita’wil. Hukum yang ditunjukkan tidak menerima

pembatalan, karena merupakan ajaran-ajaran pokok yang tidak berlaku padanya nasakh,

misalnya kewajiban menyembah hanya kepada Allah, iman terhadap malaikat, kitab, rasul, hari

kiamat, qada dan qadar. Begitu juga menyangkut dengan nilai-nilai moral seperti berbakti

kepada orang tua, berlaku adil, kejujuran, dan sikap amanah. Lafaz muhkam tidak dapat di

nasakh pada masa Nabi SAW, apalagi pada masa berikutnya7. Contohnya dalam surah Al-

Baqarah ayat 231 :

َ ُ َ َّ َ ْ ُ َ ْ َ َ
۞‫ۗهللا ِّۗبك ِّلۗش ْي ٍء َۗع ِّل ْي ٌم‬‫َو َّات ُقواۗهللاۗۗواعلمواٱۗان‬

“Dan bertaqwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah maha mengetahui segala

sesuatu”

Ayat diatas merupakan salah satu ajaran-ajaran pokok yaitu memerintahkan untuk bertaqwa

kepada Allah yang tidak akan mungkin mengandung makna lain ataupun tidak menerima

ta’wil, takhshish dan nasakh. Dan juga sifat mengetahui merupakan salah satu sifat yang

melekat pada zat Allah, tidak mungkin mengandung nasakh karena sifat maha mengetahui

merupakan sifat ketuhanan.

C. Lafaz yang tidak jelas maknanya

Lafaz yang tidak jelas maknanya terbagi menjadi 4 macam tingkatan dalam hal

ketidakjelasan pengertiannya, yaitu khafi (tidak jelas), musykil (lebih tidak jelas), mujmal

(sangat tidak jelas), dan mutasyabih (paling tidak jelas). Penjelasannya sebagai berikut:

a). Khafi )‫(الخفي‬

7
Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, Cetakan II (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hal.201
Lafaz khafi adalah bentuk lafaz yang pada dasarnya memunculkan makna yang jelas.

Namun kejelasan makna tersebut menjadi samar ketika makna tersebut diterapkan pada kasus

tertentu. Ketidakjelasan muncul karena bentuk kasus itu tidak sama persis dengan kasus yang

ditujukan oleh lafaz, sehingga terlihat adanya kontradiksi antara kasus yang terdapat dalam

lafaz dengan kasus turunan yang merupakan bagian dari kasus utama pada lafaz. Oleh karena

itu dibutuhkan penalaran yang mendalam untuk menghilangkan kesamaran makna tersebut8.

Contoh lafaz khafi terdapat pada surah Al-Maidah ayat 38 :

َ َ ْ َ ُ َ َّ َ ُ َّ َ
.......‫ۗالسۗا ِّرۗقۗةۗۗفۗاقۗط ُۗع ْۗوۗاٱۗا ْۗي ِّۗد َۗي ُۗه َما‬
‫ۗارقۗۗو‬
ِّۗ ‫وۗۗالس‬

“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya”

Secara umum pengertian pencuri cukup jelas, yaitu orang yang mengambil harta orang

lain secara sembunyi dari tempat penyimpanan yang layak baginya. Hukuman dari pencurian

itu pun sudah sangat jelas, yaitu hukum potong tangan. Namun lafaz ayat yang semula jelas

menjadi tidak jelas ketika menerapkan ayat itu kepada pencopet yang secara lihai bisa

memanfaatkan kelalaian seseorang untuk mneguras hartanya, apakah termasuk ke dalam

pengertian pencuri? Untuk mencari jawabannya adalah dengan jalan ijtihad, apakah pengertian

pencopet termasuk dalam pengertian pencuri sessuai dengan ayat diatas. Berdasarkan contoh

di atas, dapat disimpulkan bahwa kesamaran makna lafaz terjadi bukan akibat dari

ketidakjelasan lafaz itu, namun karena lafaz itu jika diterapkan pada kasus lain yang merupakan

bagian dari kasus yang dinyatakan lafaz tadi.

b). Musykil )‫(املشكيل‬

8
Wahyu Setiawan, Perbandingan Mazhab Ushul Fiqh, (Lampung: STAIN Jurai Siwo Metro Lampung,2014),
hal. 106
Musykil adalah lafaz yang tidak jelas pengertiannya, dan ketidak jelasan itu disebabkan

oleh lafaz itu diciptakan untuk beberapa pengertian yang berbeda. Perbedaan antara lafaz khafi

dan musykil adalah bahwa lafaz khafi kekaburan maknanya bukan disebabkan dari lafaz itu,

sedangkan lafaz musykil kekaburannya berasal dari lafaz itu sendiri karena lafaz itu diciptakan

untuk beberapa makna9. Contoh lafaz musykil terdapat pada surah Al-Baqarah ayat 228 :

ْ ‫ص َنۗب َا ْن ُفسه َّن َۗثل َۗث َه ُۗق ُر‬


ْ َّ َ َ َ ُ َّ َ ُ ْ َ
ۗ‫ۗٱء‬
ٍ ‫و‬ ِّ ِّ ِّ ‫ب‬ ‫ر‬ ‫ت‬ ‫واْلطلقۗتۗي‬

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ “

Kata quru’ dalam ayat tersebut dalam bahasa Arab berarti masa suci, Imam Syafi’I

mengartikannya dengan masa suci, sedangkan Abu Hanifah mengartikannya dengan masa

haid. Begitulah setiap lafaz musykil dalam Al-Qur’an dan sunnah, untuk memahaminya

memerlukan upaya ijtihad dalam mencari tanda-tanda atau dalil yang membantu untuk

memperjelas pengertiannya. Makna-makna lafaz musykil menjadi jelas dan hilang kesamaran

maknanya meskipun hasil yang dicapai berbeda atau beragam tergantung pada sudut pandang

masing-masing mujtahid.

c). Mujmal )‫(املجمل‬

Secara bahasa mujmal adalah samar, secara istilah para ulama ushul fiqih

mendefinisikan mujmal dalam berbagai macam. Imam sarakhasi mendefinisikan mujmal

sebagai suatu lafaz yang tidak dapat dipahami maksudnya kecuali ada penjelasan dari yang

mengeluarkan lafaz mujmal itu dan melalui penjelasannya diketahui maksud lafaz tersebut.

Wahbah Az-Zuhaili mendefinisikan mujmal dengan lafaz yang sulit dipahami maksudnya

kecuali melalui penjelasan dari yang mengucapkan, seperti lafaz shalat, zakat, puasa dan lain-

9
Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, Cetakan II (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), Hal.204
lain yang dilihat bukan dari makna kebahasaannya. Contoh lafaz mujmal pada surah Al-

Baqarah ayat 43 :

َ َّ ُ َ َ َّ َ
.........ۗ‫واۗالزكۗوة‬ ‫َوا ِّق ْي ُمواۗالصلۗوةۗۗواۗت‬

“Dan laksanakanlah shalat”

Lafaz shalat menurut bahasa diartikan dengan doa, namun menurut syara’ ialah suatu perbuatan

tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Ayat diatas dijelaskan melalui

hadits Nabi Muhammad SAW baik dengan perkataan maupun perbuatan yang menjelaskan

detail-detailnya, mengenai rukun, syarat, dan caranya. Rasulullah SAW bersabda:

َ ‫ۗاۗك َۗمۗا َ َرۗا ْۗي ُۗت ُۗم ْۗۗون ْۗي ُۗۗا‬


‫ۗص ِّۗلي‬
َ ْ َ
‫صۗلۗو‬
ِّ

“Shalatlah seperti kamu melihat aku melakukan shalat”

d). Mutasyabih )‫(املتشابه‬

Mutasyabih adalah lafaz yang memiliki kesamaran makna yang berasal dari lafaz itu

sendiri dan terputus semua upaya untuk mengetahui maknanya. Dalam istilah hukum, lafaz

mutasyabih adalah lafaz yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat digunakan untuk

mencapai artinya10. Pihak yang mengetahui makna lafaz ini hanyalah Allah SWT, maka tidak

ada peluang bagi akal manusia untuk menjelaskan makna lafa mutasyabih. Tuntutan bagi

manusia lebih pada penerimaan bentuk lafaz itu apa adanya dan menyerahkan segala maknanya

semata kepada Allah SWT.

10
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2014), Cet, 7, hal. 24-25
Lafaz mutasyabih kebanyakan terdapat dalam nash-nash selain tentang hukum.

Sehingga mutasyabih itu ada dua bentuk yaitu:

- Dalam bentuk potongan huruf-huruf hijaiyyah yang terdapat dalam pembukaan

beberapa surah dalam Al-Qur’an seperti alif lam mim, kaf ha ain shad, yaa siin, dan

lain sebagainya. Potongan-potongan dalam bentuk huruf ini tidak mengandung arti apa-

apa bila ditinjau dari segi lafaznya. Allah dan Nabi pun tidak pernah menjelaskannya

sehingga setiap pembaca hanya akan mengatakan “wallahu a’lam” (hanya Allah yang

maha mengetahui)

- Ayat-ayat yang menurut zhahirnya mempersamakan Allah maha pencipta dengan

makhluk-Nya sehingga tidak mungkin dipahami ayat itu menurut arti lughawinya

karena Allah SWT mempunyai sifat tidak ada yang menyamai-Nya dengan makhluk.

Contohnya dalam surah Al-Fath ayat 10 :


َ َ َ َُ
ۗ‫ۗهللاۗۗف ْوقۗا ْي ِّد ْي ِّه ْم‬
ِّ ‫يد‬

Arti lughawinya “Tangan Allah berada di atas tangan mereka”

Para ulama sepakat mengatakan bahwa di dalam Al-Qur’an memang terdapat ayat-ayat

mutasyabih karena Allah sendiri yang mengatakannya dalam surah Ali Imran ayat 7:

ٌ ‫ش ۗاب َۗه‬ َ َ َ ُ َ َ ْ ُ َّ ُ ٌ َ َ ْ ُ ٌ َ ُ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ ‫ُ َ َّ ْ َ ْ َ َل‬


ۗ‫ات‬ ِّۗ ‫خ ُۗرۗ ُۗم ۗت‬
ۗ ‫ابۗ ۗوۗا‬
ۗ ِّ ‫نۗ ۗامۗۗ ۗال ِّۗك ۗت‬
ۗ ‫اتۗ ۗه‬
ۗ ‫ح ۗك ۗم‬
ۗ ‫اتۗ ۗم‬
ۗ ‫ابۗ ِّۗم ۗن ۗهۗاۗ ۗي‬
ۗ ‫كۗ ۗال ِّۗك ۗت‬
ۗ ‫يۗ ۗا ۗن ۗز ۗۗ ۗع ۗل ۗي‬
ۗ ‫ۗه ۗوۗ ۗال ِّۗذ‬

“Dialah yang telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu. Diantara (isi)-nya ada ayat-

ayat muhkamat, dan itulah Ummul Kitab (pokok-pokok isi Al-Qur’an) dan yang lain adalah

(ayat-ayat) mutasyabihat”

Ada beberapa perbedaan pendapat pada ulama yang pertama ulama khalaf berpendapat

bahwa dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat mutasyabih dalam bentuk kedua, dalam arti bahwa
ayat-ayat yang arti zhahirnya menyamakan Allah dengan sifat-sifat yang terdapat pada

manusia. Meskipun tidak mengetahui artinya, namun mereka berusaha untuk sampai kepada

maksudnya dengan cara menta’wil atau memalingkan arti dari makna zhahirnya kepada makna

lain untuk menghindari diri dari menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Adapun ulama lain

yang menolak usaha mengalihkan arti itu kepada arti lain dengan kata lain pada ayat

mutasyabih tidak boleh dita’wil, mereka tetap memahami lafaz menurut apa adanya sambil

menyerahkan kepada ilmu Allah dan tidak mencoba untuk membahas dan menta’wilnya,

pendapat ini berasal dari kelompok ulama salaf.

D). Cara Menunjukkan Makna (Dilalah)

Dalam metode Hanafiyyah, Mereka membagi cara-cara yang dipergunakan untuk

mengetahui dalalah (penunjukkan) lafaz terhadap makna kepada empat macam: yaitu dilalah

al-ibarah, dilalah al-isyarah, dilalah ad-dhalalah, dan dilalah al-iqtidha’.

1). Dilalah al-ibarah

Dilalah al-ibarah yaitu makna yang dipahami dari lafaz baik berupa zhahir maupun

nash11. Maksudnya suatu makna dapat dipahami dari susunan kalimat lafaz itu sendiri

contohnya dalam surah An-Nisa’ ayat 3:

َ ُ َ َّ َ َ َ َ ُ َ َ َُ َ َ ْ َ َ َ ْ ُ َ َ َ َ ْ ُ ْ َ
ۗۗ‫ۗۗخ ْۗف ُت ْمۗاالۗت ْع ِّدل ْواۗف َو ِّاح َدة‬
ِّ
ْ ‫ۗۗفۗا‬
‫ۗن‬ ِّ ‫ۗۗورۗبۗاع‬
ۗ ‫ۗاءۗۗمۗثۗنۗىۗوۗثۗلۗث‬
ِّ ‫ۗۗالنۗس‬
ِّ ‫ۗۗمۗن‬
ِّ ‫فۗان ِّۗكۗحۗوۗامۗاطۗابۗۗلۗكۗم‬

“maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian

jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) hanya seorang saja”

Ayat ini menunjukkan tiga pengertian: pertama kebolehan menikah, kedua kebolehan

menikah lebih dari satu wanita sampai empat, ketiga wajib membatasi hanya satu apabila

11
Muhammad, Abu Zahrah, Ushul Fiqh (terj.), (Jakarta:Pustaka Firdaus,2002), hlm.204
khawatir tidak dapat berlaku adil. Dua poin yang terakhir adalah yang dimaksud secara asli

dari konteks ayat. Adapun yang pertama bukan makna yang dimaksud.

2) Dilalah al-isyarah

Dilalah al-isyarah adalah makna yang dapat dipahami bukan dari lafaz dan susunan

kalimat lafaz itu sendiri, juga disebut dengan makna yang tersirat. Contoh dalam surah Al-

Baqarah ayat 275:

ۗ‫ۗالربۗوا‬ َ ‫ۗهللا ْۗال َب ْي َع َۗۗو َح َّر‬


‫م‬ ُ ‫َو َا َح َّل‬
ِّ

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”

Berdasarkan ayat diatas khususnya jika melihatnya dari dilalah ibarahnya maka yang

dipahami adalah Allah telah menghalalkan jual beli dan riba, namun adapun makna yang

tersimpan atau tersirat pada lafaz di atas bahwasanya jual beli itu berbeda dengan riba.

3). Dilalah Ad-dhalalah

Dilalah ad-dhalalah adalah makna secara suatu ketetapan hukum yang disebutkan

nashnya berlaku pula atas sesuatu yang tidak disebutkan karena terdapat pertautan illat hukum.

Contohnya dalam surah Al-Isra’ ayat 23:

َ َ َّ ُ َ َ ُ ْ َ ْ َ َ َ ُ َ ُ َّ ْ ُ َ َ َ
‫اۗوق ْلۗل ُه َماۗق ْوالۗك ِّرْيما‬‫فلۗتقلۗلهماۗا ٍفۗۗوالۗتنهرهم‬

“Dan janganlah berkata uff kepada mereka, dan janganlah membentak mereka. Dan

berkatalah kepada mereka dengan perkataan yang baik”

Secara zhahir, ayat ini menjelaskan tentang tidak dibolehkannya berkata “ah” kepada

orang tua. Sehingga bisa disimpulkan berkata “ah” saja dilarang maka memukul dan mencaci

lebih diharamkan.
4). Dilalah al-iqtidha’

Dilalah al-iqtidha’ adalah pemahaman terhadap makna yang hanya didapat dengan

mengira-ngira, menurut Abdul Wahab Khallab, sedangkan menurut Dr. Wahbah Zuhaili

kenapa dalalah ini dinamakan iqtidha’ karena iqtidha’ sendiri mengandung makna meminta

atau menuntut. Contohnya dalam surah Yusuf ayat 82:

ُ َّ َ ْ َ ْ َ
‫اسأ ِّلۗال َق ْرَيةۗۗال ِّت ْيۗك َّناۗ ِّف ْي َها‬‫و‬

“Dan tanyakanlah kampung tempat kami berada”

Ayat ini tidak dapat dipahami secara akal, karena tidak mungkin orang bertanya pada

kampung, sehingga disini dikira kirakan lafaz yang tersimpan yaitu ‫( اهل‬penduduk) sehingga

yang dimaksud adalah bertanya pada penduduk yang ada di kampung itu.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Lafaz adalah susunan beberapa huruf yang mengandung arti, lafaz dari segi

kejelasan maknanya terbagi menjadi dua macam, yaitu lafaz yang jelas dan lafaz yang tidak

jelas. Maksud dari lafaz yang jelas adalah lafaz yang penunjukkannya terhadap makna yang

dimaksud tanpa memerlukan penjelasan dari luar. Sedangkan yang dimaksud dengan lafaz

yang tidak jelas adalah lafaz yang belum jelas penunjukkannya terhadap makna yang dimaksud

kecuali dengan penjelasan dari luar lafaz itu. Lafaz yang jelas maknanya dibagi menjadi 4

macam yaitu zhahir, nash, mufassar, dan muhkam. Sedangkan lafaz yang tidak jelas maknanya

dibagi menjadi 4 macam juga diantaranya yaitu khafi, musykil, mujmal, dan mutasyabih.
DAFTAR PUSTAKA

Effendi Satria, Ushul Fiqh, Cetakan ke-7, Jakarta: Kencana,2017

Setiawan Wahyu, Perbandingan Mazhab Ushul Fiqh, Lampung: STAIN Jurai Siwo Metro

Lampung,2014

Syarifuddin Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Cet 7, Jakarta: Kencana, 2014

Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, Cetakan II, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013

Sadzali Ahmad, Pengantar Belajar Ushul Fikih, Yogyakarta: Pusat Studi Hukum Islam, 2017

Dr. Misbahuddin, Ushul Fiqh II, Makassar: Alauddin Press, 2015

H. Satria Efendi Zein, Ushul Fiqh cet I, Jakarta: Kencana, 2005

Anda mungkin juga menyukai