DI SUSUN OLEH :
Makalah ini disusun guna menambah wawasan pengetahuan mengenai hukum ini disajikan
sebagai bahan materi mata kuliah Hukum Perjanjian.
Penulis menyadari bahwa kemampuan dalam penulisan makalah ini jauh dari kata sempurna.
Penulis sudah berusaha dan mencoba mengembangkan dari beberapa referensi mengenai hukum
perjanjian. Apabila dalam penulisan makalah ini ada kekurangan dan kesalahan baik dalam
penulisan dan pembahasannya maka penulis sangat sangat menyadari bahwa semua itu karena
keterbatasan kemampuan penulis. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis
dan pembaca.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar belakang..............................................................................................1
1.2 Rumusan masalah........................................................................................1
1.3 Tujuan..........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................2
2.1 Landasan Teori............................................................................................2
2.2 Asas-asas Hukum Kontrak ..........................................................................2
2.3 Penerapan Asas-asas Hukum Kontrak.........................................................5
2.4 Pengecualian asas hukum perjanjian...........................................................5
BAB III PENUTUP.................................................................................................6
3.1 Kesimpulan........................................................................................................6
3.2 Saran..................................................................................................................6
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................7
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ushul fiqh merupakan suatu ilmu pengetahuan yang objaknya dalil hukum atau sumber
hukum dengan semua seluk beluknya, dan metode penggaliannya. Dalam kata lain ushul fiqh
digunakan untuk menetapkan hukum dari suatu perbuatan berdasarkan dalil-dalil yang shahih.
Sebagaiman yang sudah disebutkan, bahwa untuk menetapkan hukum itu perlu adanya
dalil-dalil yang shahih dan bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah. Diantara dalil-dalil dalam Al-
Qur’an dan Sunnah itupun ditemukan adanya lafazh yang berbeda-beda. Ada dalil yang sudah
langsung dipahami tanpa butuh penjelasan (zhahir) dan ada pula yang mesti adanya penjelasan
dalam memahami dalil tersebut.
Sebagian dalil juga ada yang arti lafazhnya memiliki makna yang tidak pada zhahirnya,
itulah yang disebut dengan takwil.
Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai Zhahir dan Muawwal (takwil) agar tidak ada
terjadi kesalahan dalam memaknai dalil-dalil yang shahih.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Zhahir dan Muawwal ?
2. Apa saja objek kajiannya ?
3. Apa landasan dan dalil penunjang nya ?
4. Apa syarat-syaratnya ?
C. Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui apa itu Zhahir dan Muawwal.
2. Mahasiswa dapat mengetahui apa saja objek kajiannya.
3. Mahasiswa dapat mengetahui landasan dan dalil penunjang nya.
4. Mahasiswa dapat mengetahui syarat-syaratnya.
BAB II
ZHAHIR DAN MUAWWAL (TAKWIL)
A. Pengertian Zhahir
Al-Bazdawi memberikan defenisi zhahir sebagai berikut :
. إسم لكل كالم ظهر المراد به للسامع بصيغته
Artinya : “Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui
bentuk lafazh itu sendiri.”[1]
Definisi yang lebih jelas dikemukakan oleh Al-Sarakhsi :
.ما يعرف المراد منه بنفس السامع من غير تأ ّمل
Artinya : “Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa harus
dipikirkan lebih dahulu.”
Dari defenisi diatas, dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan zhahir itu adalah
suatu lafazh yang dengan mendengarkan lafazh itu pendengar bisa langsung mengerti apa
maksud nya tanpa perlu berpikir dan tidak bergantung kepada petunjuk lain.
Atas dasar defenisi-defenisi tersebut, Muhammad Adib Shaleh menyimpulkan bahwa
zhahir iru adalah :
.اللفظ الذي يد ّل عليها معناه من غير توقف على قرينة خارجة مع احتمال التخصيص والتأويل و قبول النسخ
Artinya : “Suatu lafazh yang menunjukkan suatu makna dengan rumusan lafazh itu sendiri
tanpa menunggu adanya qorinah yang ada diluar lafazh itu sendiri, namun mempunyai
kemungkinan ditakhsish, di ta’wil dan di nasakh.”
Adapun contoh yang dapat dikemukakan disini adalah firman Allah SWT yang berbunyi :
.َو أَ َح َّل هللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم الرِّ بَا
Artinya : “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Ayat tersebut petunjuknya sudah jelas bahwa mengenai halalnya jual beli dan haramnya
riba. Petunjuk itu diambil dari lafazh itu sendiri tanpa memerlukan qarinah lain. Kedudukan
lafazh zhahir wajib diamalkannya sesuai petunjuk lafazh itu sendir, sepanjang tidak ada dalil
yang men-takhsish-nya, men-takwil-nya atau me-nasakh-nya.
B. Hukum Zhahir
Yang dimaksud dengan hukum zhahir adalah, dalam hal bagaimana kita boleh atau harus
berpegang pada makna yang zhahir, dan dalam keadaan bagaimana pula kita boleh
meninggalkan arti zhahir.
Para ulama ushul fiqih memberi hukum tentang pemakain lafaz zhahir sebagai berikut :
الظاهر دليل شرعي يجب اتباعه إال أن يدل الدليل علي خالفه
Artinya : “Zhahir itu adalah dalil syar’I (yang) wajib diikuti, kecuali terdapat dalil yang
menunjukkan lain daripadanya.”
Maksudnya adalah, apabila tidak terdapat alasan yang kuat untuk mendorong pentakwilan
sesuatu lafaz, maka lafaz zhahirnyalah yang dipakai sebagai dalil yang wajib kita ikuti.[2]
C. Pengertian Takwil (Muawwal)
Secar etimologi, takwil ditrujuk dari kata : أَو ََّل – يُ َؤ ِّو ُل yang berarti At-Tafsir, Al-Maarja’,
Al-Mashir. Demukian pendapat Abu Ubaidah Ma’mar bin Al-Matsani dan keterangan yang
dikemukakan oleh Abu Ja’far Al-Thabary (Adib Shalih, 1984 : 356).
Disamping itu, takwil juga bermakna Al-Jaza’, seperti firman Allah SWT :
)59 : (النساء َذلِكَ خَ ْي ٌر َوأَحْ َسنُ تَأْ ِو ْيلاًل
Artinya : “..... yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akubatnya.”
Dengan demikian, takwil mempunyai makna At-Tafir (penjelas, uraian) atau Al-Marja’,
Al-Mashir (kembali, tempat kembali) atau Al-Jaza’ (balasan yang kembali padanya)[3].
Sedangkan menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam
mendefenisikan takwil. Para ulama salaf mendefenisikan takwil antara lain sebagai berikut[4] :
1. Imam Ghazali dalam kitab Al-Musthashfa (Al-Ghazali, 1973: 128)
.الظن من المعنى الّذي يد ّل عليه الظاهر
ّ ّ
ّ إن التأويل عبارة عن احتمال يغ
ضده دليل يصير به أغلب على
Artinya : “Sesungguhnya takwil itu merupakan ungkapan tentang pengambilan makna dari
lafazh yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat
dari makna yang ditunjukkan oleh lafazh zhahir.”
2. Imam Al-Mudi dalam kitab Al-Mushtashfa :
.حمل اللفظ على غير مدلوله الظاهر منه مع احتماله بدليل يغضّده
Artinya : “Membawa makna lafazh zhahir yang mempunyai ihtimal (probabilitas) kepada
makna lain yang didukung dalil.”
Kaum muhaditsin mendefinisikan takwil yaitu sejalan dengan defenisi yang dikemukakan
oleh ulama Ushul Fiqh, yaitu :
F. Landasan Takwil
Pada mulanya takwil itu tidak ada dan tidak terbentuk, kecuali dengan dalil. Kemudian dari
ide dasar tersebut, muncul bebrapa masalah juz’i, antara lain kewajiban untuk mengamalkan
setiap petunjuk yang berasal dari arti nash secara zhahir dan semua dalil dianggap hujjah karena
kejelasan dan keberadaannya, sehingga lafazh mutlaq berlaku sesuai kemutlakannya dan tidak
diikat, kecuali dengan dalil. Begitu juga dengan lafazh yang amm dan yang khash.[6]
Landasan umum takwil adalah mengamalkan dalil sesuai dengan konteks bahasanya dan
mengambil ketetapan hukumnya. Sesungguhnya takwil itu mencakup berbagai kemungkinan
yang berasal dari akal, bukan bersumber dari bahasa. Karena takwil itu merubah arti sesuai
dengan kebutuhan bahasa, takwil itu tidak ada kecuali dengan dalil.
Imam Syafi’i R.A berpendapat bahwa diantara penyebab timbulnya perbedaanpendapat
dikalangan umat Islam adalah kecerobohan dalam memahami teks dari berbagai nash. Kemudian
mereka membuat penakwilan tanpa menggunakan dalil-dalil yang shahih, bahkan mereka
mencoba mengadopsi hukum-hukum yang berasal dari filsafat Yunani, seperti Aristoteles, dan
sebagainya. Mereka berkata, “Manusia itu tidak akan bodoh dan saling berbeda pendapat kalau
tidak meninggalkan ucapan-ucapan orang Arab yang mengikuti Aristoteles.”[7]
Ada tiga ketentuan umum yang dapat dijadikan pegangan agar terhindar dari kesalahan
dalam berijtihad, juga berbagai cara meng-instinbat-kan hukum dari nash dengan
mengginakan takwil, yaitu :
1. Jika arti nash itu sudah mengandung hukum, jelas dan dalalahnya qath’i, maka tidak boleh di-
takwil-kan dengan akal.
2. Jika arti nash yang zhahir itu berarti umum, atau berarti zhanni yang tidak pasti, wajib
mengamalkan sesuai maknanya, karena kejelasan arti dan keberadaannya. Jangan sampai
diterangkan dengan berbagai kemungkinan yang tidak berdasarkan pada dalil.
3. Dibolehkan mengubah arti dari yang zhahir kepada arti lain sepanjang berdasarkan pada dalil,
bahkan diwajibkan untuk mengompromikan berbagai nash yang saling bertentangan.
G. Syarat-syarat Takwil dan Beberapa Contohnya
Dasar umum yang ditetapkan ulama untuk menetapkan adanya takwil berasal dari teks
bahasa dan uslub-uslubnya, yang menjaga agar ijtihad dan ra’yu tidak menjadi sesat. Para ulama
juga mewajibkan agar mengamalkan syari’at sesuai dengan zhahir ayat sehingga terdapat isyarat
untuk menggunakan takwil.
Persyaratan takwil bergantung pada makna teks agar ketetapan nash dan makna zhahir-nya
tidak bertentangan dengan syari’at. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa makna syari’at
yang berhubungan dengan takwil berkaitan erat dengan takhsish, taqyid, perubahan ke
arti majaziy dan pengompromian antara nash-nash yang zhahir-nya saling bertentangan.
Semuanya sesuai dengan dalil shahih yang kuat, dan tidak hanya berdasarkan kepada
pemahaman arti saja, tetapi juga makna hakikatnya.
Takwil itu erat kaitannya dengan maksud syari’at yang berasal dari nash, bukan hanya
dengan dalilnya itu sendiri. Hal itu juga termasuk salah satu metode ijtihad dengan ra’yu, yaitu
membatasi arti yang dimaksud dengan dalil. Agar lebih jelas, dibawah ini akan diterangkan
persyaratan takwil tersebut, yaitu :
1. Lafazh yang ditakwil, harus betul-betul memenuhi kriteria dan masuk dalam kajiannya
Telah diterangkan bahwa dalil-dalil yang telah ditafsirkan dan ditetapkan ketentuan
hukumnya tidak bisa ditakwilkan. Namun menurut Hanafiyah, takwlil itu boleh sekalipun
pada nash yang zhahir dan semua dalil yang berhubungan dengan syari’at Islam.
Adapun dasar-dasar umum syari’at adalah sumber takwil karena banyak nash yang
arti zhahir-nya mengandung makna juz’i.
2. Takwil itu harus berdasarkan dalil shahih yang bisa menguatkan takwil
Contoh takwil dan nash yang didalamnya terdapat pertentangan antara zhahir nash yang
mengandung arti juz’i dengan dasar umum syari’at, adalah hadits Rasulullah SAW yang
berbunyi :
.إن الميّت يعقّب ببكاء أهله
ّ
Artinya : “Sesungguhnya jenazah itu disiksa oleh tangisan keluarganya.”
Siti Aisyah menolak hadits tersebut karena menurutnya hal itu bertentangan dengan dasar
umum syari’at yang ada dalam Al-Qur’an yang berbunyi :
.و ال تزر وازرة وزر أخرى
Sebagian mujtahid menakwilkan kemutlakan hadits tersebut, kemudian mereka menaqyid
jenazah ketika masih hidupnya. Maka maksud ayat tersebut menjadi tidak bertentangan setelah
ditaqyid. Pengompromian ini dilakukan dengan mengamalkan dua nash secara bersamaan.
Metode seperti inilah yang lebih baik daripada mencela salah satunya.
Dari contoh diatas, dapat diketahui bahwa takwil itu ada karena pertentangan
dalam nash yang artinya zhahir.
a. Takwil berdasarkan dalil adalah Maslahat
yang dimaksud maslahat disini bukan berarti bahwa hikmah syari’at itu adalah nash tertentu,
tetapi dalil yang menakhsish dalil umum, atau mengistitsnakan dari landasan umum, baik
secara khas ataupun amm.
Takhsish merupakan salah satu bagian dari takwil, bahkan yang paling banyak dipakai.
Contohnya firman Allah SWT yang berbunyi :
....ض ْعنَ أَوْ الَ َده َُّن َحوْ لَ ْي ِن َكا ِملَ ْي ِن ُ َو ْال َوالِد
ِ َْات يُر
Artinya : “Para ibu hendaklah menyuusui anak-anaknya selama dua tahun penuh.”
Dari zhahir ayat tersebut dapat dipahami bahwa menyusui adalah kewajiban seorang ibu. Dan
kata al-waalidatu itu lafazhnya umum mencakup semua ibu.
Imam Maliki menaksish keumumannya dengan perbuatan adat (urf amaly). Dia berpendapat
bahwa seorang ibu diharuskan menyusui anaknya karena kesempurnaan derajatnya. Maka
apabila seorang ibu sakit sehingga tidak bisa menyusui anaknya, ia tidak diwajibkan menyusui
anaknya karena menjaga dari kemudharatan dan menjaga kemashlahatan adalah maslahat. Hal
itu juga bisa disebut kemaslahatan individu.
Golongan Hambali memperluas pelaksanaan takhsish umum,diantaranya dalam masalah
penetapan harga ketika negara sedang dalam krisis karena takwil seperti itu berlandaskan pada
kemashlahatan umum.
b. Mentakhsish keadaan umum dengan kemashlahatan
yang dimaksud kemashlahatan umum adalah kemerdekaan umum, atau dasar kebolehan yang
berdasar firman Allah SWT dalam Al-Qur’an :
ْ ِ َفإ
.....ط َعا ُم ِستِّ ْينَ ِم ْس ِك ْينًا
Artinya : “maka siapa yang tidak kuasa (wajib atasnya) memberi makan 60 (enam puluh) orang
miskin…..”
Golongan Hanafiyah mentakwilkan lafaz 60 (enam puluh) orang miskin dalam ayat
tersebut dengan 60 mud. Dengan demikian, maka berarti boleh memberikannya kepada seorang
miskin sejumlah 60 mud.
Namun, penakwilan diatas dianggap sebagai takwil ba’id dan dinyatakan batil menurut
Imam Syafi’i. Karena lafazh ‘asyarah adalah lafazh khusus yang menunjukkan
arti qath’i, sehingga tidak membutuhkan penakwilan.
Kecacatan Itakwil diatas disebabkan oleh beberapa perkara, yaitu :
1) Meremehkan ‘adad, lafazh khushus yang jelas menunjukkan arti yang qath’i, maka haruslah
menjaga arti yang qath’i tersebut dan tidak meremehkannya.
2) Penambahan kalimat terhadap nash adalah menyalahi ashal.
Kesimpulannya, kajian ijtihad dengan ra’yu dalam takwil, harus sesuai dengan
persyaratannya, tidak hanya sebatas pengambilan istibath berdasarkan akal semat-mata,
melainkan yang berlandaskan pada bahasa yang mampu menghasilkan arti yang tercakup dalam
arti lafazh tersebut.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Zhahir adalah suatu lafazh yang dengan mendengarkan lafazh itu pendengar bisa langsung
mengerti apa maksud nya tanpa perlu berpikir dan tidak bergantung kepada petunjuk
lain. Apabila tidak terdapat alasan yang kuat untuk mendorong pentakwilan sesuatu lafaz, maka
lafaz zhahirnyalah yang dipakai sebagai dalil yang wajib kita ikuti.
Sedangkan Takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang zhahir kepada makna lain
, tetapi bukan zhahirnya. Adapun kajian takwil kebanyakan adalah firu’ sebagaimana pendapat
Imam Asy-Syaukani. Selain itu hal-hal yang jelas dan nash yang merupakan kajian takwil juga.
Itu semua kajian takwil secara global dan terbatas bila belum ada panafsiran dari syari’at secara
menyeluruh.
Landasan umum takwil adalah mengamalkan dalil sesuai dengan konteks bahasanya dan
mengambil ketetapan hukumnya. Sesungguhnya takwil itu mencakup berbagai kemungkinan
yang berasal dari akal, bukan bersumber dari bahasa. Karena takwil itu merubah arti sesuai
dengan kebutuhan bahasa, takwil itu tidak ada kecuali dengan dalil.
Adapun syarat-syarat takwil itu adalah sebagai berikut :
1. Lafazh yang ditakwil, harus betul-betul memenuhi kriteria dan masuk dalam kajiannya.
2. Takwil itu harus berdasarkan dalil shahih yang bisa menguatkan takwil.
3. Lafazh mencakup arti yang dihasilkan melalui takwil menurut bahasa.
4. Takwil tidak boleh bertentangan dengan nash yang qath’i, karena nash tersebut bagian dari
aturan syara’ yang umum.
5. Arti dari penakwilan nash harus lebih kuat dari arti zhahir, yakni dikuatkan dengan dalil.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Djalil, Basiq, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010
Karim, Syafi’i, Fiqih Ushul Fiqih, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001
Koto, Alaiddin, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011
Shidik, Saifuddin, Ushul Fiqih, Jakarta: Intimedia, 2005
Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2007
[1] Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007),
hlm. 152
[2] Drs. H.A. Basiq Djalil, S.H, M.A., Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup, 2010), hlm. 45
[3] Drs. Saifuddin Shidik, M.Ag, Ushul Fiqih, (Jakarta: Intimedia, 2005), hlm. 126
[4] Drs. H.A. Basiq Djalil, S.H, M.A., Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup, 2010), hlm. 48
[5] Drs. H. A. Syafi’i Karim, Fiqih Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka setia, 2001),
hlm. 199
[6] Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2011), hlm. 165
[7] Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007),
hlm. 175
[8] Drs. H.A. Basiq Djalil, S.H, M.A., Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup, 2010), hlm. 49