Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

GERAKAN HUBUNGAN KEMANUSIAAN DALAM PERKEMBANGAN


PERILAKU ORGANISASI

DI SUSUN OLEH :

NAMA : JUBAIDA LEKO


JURUSAN : TARBIYAH
PRODI : MPI
MATA KULIAH : TEORI PERILAKU ORGANISASI
RUANG : I (SATU)
SEMESTER : II (DUA)
DOSEN : SAMAN FOKAAYA, S.IP., M.IP

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)


BABUSALAM SULA MALUKU UTARA
TAHUN AKADEMIK 2020-2021
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT atas limpah dan rahmat dan
hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “TIGA ASAS
HUKUM PERJANJIAN DAN PENGECUALIANNYA”

Makalah ini disusun guna menambah wawasan pengetahuan mengenai hukum ini disajikan
sebagai bahan materi mata kuliah Hukum Perjanjian.

Penulis menyadari bahwa kemampuan dalam penulisan makalah ini jauh dari kata sempurna.
Penulis sudah berusaha dan mencoba mengembangkan dari beberapa referensi mengenai hukum
perjanjian. Apabila dalam penulisan makalah ini ada kekurangan dan kesalahan baik dalam
penulisan dan pembahasannya maka penulis sangat sangat menyadari bahwa semua itu karena
keterbatasan kemampuan penulis. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis
dan pembaca.

Sanana, 26 Juli 2021

Ade Kalsum Lutia

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar belakang..............................................................................................1
1.2 Rumusan masalah........................................................................................1
1.3 Tujuan..........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................2
2.1 Landasan Teori............................................................................................2
2.2 Asas-asas Hukum Kontrak ..........................................................................2
2.3 Penerapan Asas-asas Hukum Kontrak.........................................................5
2.4 Pengecualian asas hukum perjanjian...........................................................5
BAB III PENUTUP.................................................................................................6
3.1 Kesimpulan........................................................................................................6
3.2 Saran..................................................................................................................6
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................7

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ushul fiqh merupakan suatu ilmu pengetahuan yang objaknya dalil hukum atau sumber
hukum dengan semua seluk beluknya, dan metode penggaliannya. Dalam kata lain ushul fiqh
digunakan untuk menetapkan hukum dari suatu perbuatan berdasarkan dalil-dalil yang shahih.
Sebagaiman yang sudah disebutkan, bahwa untuk menetapkan hukum itu perlu adanya
dalil-dalil yang shahih dan bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah. Diantara dalil-dalil dalam Al-
Qur’an dan Sunnah itupun ditemukan adanya lafazh yang berbeda-beda. Ada dalil yang sudah
langsung dipahami tanpa butuh penjelasan (zhahir) dan ada pula yang mesti adanya penjelasan
dalam memahami dalil tersebut.
Sebagian dalil juga ada yang arti lafazhnya memiliki makna yang tidak pada zhahirnya,
itulah yang disebut dengan takwil.
Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai Zhahir dan Muawwal (takwil) agar tidak ada
terjadi kesalahan dalam memaknai dalil-dalil yang shahih.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu Zhahir dan Muawwal ?
2.      Apa saja objek kajiannya ?
3.      Apa landasan dan dalil penunjang nya ?
4.      Apa syarat-syaratnya ?

C.    Tujuan
1.      Mahasiswa dapat mengetahui apa itu Zhahir dan Muawwal.
2.      Mahasiswa dapat mengetahui apa saja objek kajiannya.
3.      Mahasiswa dapat mengetahui landasan dan dalil penunjang nya.
4.      Mahasiswa dapat mengetahui syarat-syaratnya.
BAB II
ZHAHIR DAN MUAWWAL (TAKWIL)
A.    Pengertian Zhahir
Al-Bazdawi memberikan defenisi zhahir sebagai berikut :
. ‫إسم لكل كالم ظهر المراد به للسامع بصيغته‬
Artinya : “Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui
bentuk lafazh itu sendiri.”[1]
Definisi yang lebih jelas dikemukakan oleh Al-Sarakhsi :
.‫ما يعرف المراد منه بنفس السامع من غير تأ ّمل‬
Artinya : “Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa harus
dipikirkan lebih dahulu.”
Dari defenisi diatas, dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan zhahir itu adalah
suatu lafazh yang dengan mendengarkan lafazh itu pendengar bisa langsung mengerti apa
maksud nya tanpa perlu berpikir dan tidak bergantung kepada petunjuk lain.
Atas dasar defenisi-defenisi tersebut, Muhammad Adib Shaleh menyimpulkan bahwa
zhahir iru adalah :
.‫اللفظ الذي يد ّل عليها معناه من غير توقف على قرينة خارجة مع احتمال التخصيص والتأويل و قبول النسخ‬
Artinya : “Suatu lafazh yang menunjukkan suatu makna dengan rumusan lafazh itu sendiri
tanpa menunggu adanya qorinah yang ada diluar lafazh itu sendiri, namun mempunyai
kemungkinan ditakhsish, di ta’wil dan di nasakh.”
Adapun contoh yang dapat dikemukakan disini adalah firman Allah SWT yang berbunyi :
.‫َو أَ َح َّل هللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم الرِّ بَا‬
Artinya : “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Ayat tersebut petunjuknya sudah jelas bahwa mengenai halalnya jual beli dan haramnya
riba. Petunjuk itu diambil dari lafazh itu sendiri tanpa memerlukan qarinah lain. Kedudukan
lafazh zhahir wajib diamalkannya sesuai petunjuk lafazh itu sendir, sepanjang tidak ada dalil
yang men-takhsish-nya, men-takwil-nya atau me-nasakh-nya.
B.     Hukum Zhahir
Yang dimaksud dengan hukum zhahir adalah, dalam hal bagaimana kita boleh atau harus
berpegang pada makna yang zhahir, dan dalam keadaan bagaimana pula kita boleh
meninggalkan arti zhahir.
Para ulama ushul fiqih memberi hukum tentang pemakain lafaz zhahir sebagai berikut :
‫الظاهر دليل شرعي يجب اتباعه إال أن يدل الدليل علي خالفه‬
Artinya : “Zhahir itu adalah dalil syar’I (yang) wajib diikuti, kecuali terdapat dalil yang
menunjukkan lain daripadanya.”
Maksudnya adalah, apabila tidak terdapat alasan yang kuat untuk mendorong pentakwilan
sesuatu lafaz, maka lafaz zhahirnyalah yang dipakai sebagai dalil yang wajib kita ikuti.[2]
C.    Pengertian Takwil (Muawwal)
Secar etimologi, takwil ditrujuk dari kata : ‫أَو ََّل – يُ َؤ ِّو ُل‬  yang berarti At-Tafsir, Al-Maarja’,
Al-Mashir. Demukian pendapat Abu Ubaidah Ma’mar bin Al-Matsani dan keterangan yang
dikemukakan oleh Abu Ja’far Al-Thabary (Adib Shalih, 1984 : 356).
Disamping itu, takwil juga bermakna Al-Jaza’,  seperti firman Allah SWT :
)59 : ‫(النساء‬  ‫َذلِكَ خَ ْي ٌر َوأَحْ َسنُ تَأْ ِو ْيلاًل‬
Artinya : “..... yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akubatnya.”
Dengan demikian, takwil mempunyai makna At-Tafir (penjelas, uraian) atau Al-Marja’,
Al-Mashir (kembali, tempat kembali) atau Al-Jaza’ (balasan yang kembali padanya)[3].
Sedangkan menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam
mendefenisikan takwil. Para ulama salaf mendefenisikan takwil antara lain sebagai berikut[4] :
1.  Imam Ghazali dalam kitab Al-Musthashfa (Al-Ghazali, 1973: 128)
.‫الظن من المعنى الّذي يد ّل عليه الظاهر‬
ّ ّ
ّ ‫إن التأويل عبارة عن احتمال يغ‬
‫ضده دليل يصير به أغلب على‬
Artinya : “Sesungguhnya takwil itu merupakan ungkapan tentang pengambilan makna dari
lafazh yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat
dari makna yang ditunjukkan oleh lafazh zhahir.”
2.  Imam Al-Mudi dalam kitab Al-Mushtashfa  :
.‫حمل اللفظ على غير مدلوله الظاهر منه مع احتماله بدليل يغضّده‬
Artinya : “Membawa makna lafazh zhahir yang mempunyai ihtimal (probabilitas) kepada
makna lain yang didukung dalil.”
Kaum muhaditsin mendefinisikan takwil yaitu sejalan dengan defenisi yang dikemukakan
oleh ulama Ushul Fiqh, yaitu :

1.  Menurut Wahab Khalaf :


.‫صرف اللفظ عن ظاهر بدليل‬
Artinya : “Memalingkan lafazh dari zhahirnya, karena ada dalil.”
2.  Menurut Abu Zarhah :
.‫إخراج اللفظ عن ظاهر معناه إلى معنى آخر يحتمله و ليس هو الظاهر فيه‬
Artinya : “Takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang zhahir kepada makna lain ,
tetapi bukan zhahirnya.”
Dengan demikian pengertian takwil menurut bahasa lebih umum daripada pengertian khas,
amm, atau muthlak, karena lafazh-lafazh tersebut menunjukkan arti yang dimaksud dan
dianggap dalil qoth’i.
Penyebab adanya penakwilan terhadap lafazh-lafazh yang artinya dianggap kuat
diantaranya karena arti zhahir-nya tidak sesuai dengan arti yang hakiki, sehingga dalil
hasil takwil  yang tidak kuat menjadi kuat. Dengan kata lain, mengutamakan makna dari hasil
prasangka yang sesuai dengan maksud syara’.
D.    Objek Takwil
Kajian takwil sebagaimana ijtihad dengan ra’yu, tidak menyangkut nash-
nash yang qath’i, baik secara khusus maupun umum, yang merupakan landasan kaidah-kaidah
fiqih yang berguna untuk menentukan ketetapan hukum permasalahan furu’, sehingga para imam
dapat menerima dan mengamalkannya. Selain itu, takwil juga tidak menyangkut hukum-hukum
agama penting lainnya yang mudah ataupun sulit untuk dipahami yang merupakan dasar-dasar
syari’at. Juga tidak mencakup peraturan-peraturan syari’at yang bersifat umum, diantaranya
bahan-bahan yang memerlukan penafsiran dan pematokan hukum, karena maksud syara’ harus
diterangkan secara jelas dan digambarkan secara qath’i agar terhindar dari munculnya arti
spekulatif.
Adapun kajian takwil kebanyakan adalah firu’ sebagaimana pendapat Imam Asy-
Syaukani. Selain itu hal-hal yang jelas dan nash yang merupakan kajian takwil  juga. Itu semua
kajian takwil secara global dan terbatas bila belum ada panafsiran dari syari’at secara
menyeluruh.
Takwil  semakin berkembang pembahasannya, sehingga menurut Hanafi
mencakup nash dan zhahir.
E.     Dalail-dalil Penunjang Takwil
Takwil  pad adasarnya mencakup arti yang lemah yang memerlukan dalil untuk
memperkuat praduga hasil takwil  tersebut, sehingga arti yang tadinya lemah akan menjadi lebih
kuat karena sesuai dengan kemashlahatan umum dan dugaan para mujtahid.[5]
Dengan demikian, dalil penunjang takwil haris lebih kkuat daripada dalil penunjang arti
secara bahasa. Atau dalilnya harus lebih kuat daripada dalil-dalil yang menunjukkan bahwa
dilaksanakan ataupun tidak nash  tersebut sama saja. Dengan cara seperti itu, hasil penakwilan
akan lebih kuat dan menjadi takwil yang shahih.
Dalil yang dipakai untuk menguatkan takwil juga disyaratkan harus sesuai dengan
ketentuan syara’, diantaranya dalil yang memberikan batasan yang terlalu luas terhadap
maksud syara’,  atau yang memperluas arti haqiqiyang dikandung dalam maksud syara’.
Secara ringkas, dalil-dalil yang dipakai dalam takwil adalah sebagai berikut :
a.    Nash yang diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b.    Ijma’.
c.    Kaidah-kaidah umum syari’at yang diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah.
d.   Kaidah-kaidah fiqih yang menetapkan bahwa pembentukan syari’at memperhatikan hal-hal
yang bersifat juz’i tanpa batas.
e.    Hakikat kemaslahatan umum.
f.     Adat yang diucapkan dan diamalkan.
g.    Hikmah syari’at atau tujuan syari’at itu sendiri.
h.    Qiyas.
i.      Akal yang merupakan sumber perbincangan segala sesuatu.
Rusalnya penakwilan biasanya berawal dari mendatangkan sesuatu yang tidak perlu atau
menyalahi salah satu pembentuk syari’at kaidah-kaidah umum hukum. Hukum-hukum yang
bersumber dari dalil yang qath’i, dan melakukan takwil ba’id yang dilarang. Dengan kata lein,
jangan sampai melakukan ijtihad dengan takwil yang menyimpang dari kaidah-kaidah dasar
diatas.
1.    Dalil Penunjang Takwil Tidak disyaratkan Qath’i
Sudah jelas bahwa takwil  itu perubahan arti untuk membatasi maksud syara’ dengan dalil
shahih, baik yang qath’i, maupun yang zhanni. Maka hikmah syari’at yang bersifat zhanni bisa
dipakai dalil dalam ta’wil, diantaranya juga khabar Ahad dan Qiyas.
2.    Takwil Itu Dihasilkan Dari Perubahan Makna Bukan Perubahan Lafazh
Jika suatu syari’at memakai bahasa untuk mengungkapkan maksudnya, dasar umum yang
dipakai adalah yang sesuai dengan bunyi bahasa yang mempunyai kajian khusus. Setiap
mujtahid diharuskan untuk berpegang teguh kepada arti zhahir  yang kuat dan tidak boleh
mengamalkan berdasarkan arti lainnya yang dipandang lemah, meskipun sama-sama benar
selama tidak ada dalil yang kuat dan sahih.

F.     Landasan Takwil
Pada mulanya takwil itu tidak ada dan tidak terbentuk, kecuali dengan dalil. Kemudian dari
ide dasar tersebut, muncul bebrapa masalah juz’i, antara lain kewajiban untuk mengamalkan
setiap petunjuk yang berasal dari arti nash secara zhahir dan semua dalil dianggap hujjah karena
kejelasan dan keberadaannya, sehingga lafazh mutlaq berlaku sesuai kemutlakannya dan tidak
diikat, kecuali dengan dalil. Begitu juga dengan lafazh yang amm dan yang khash.[6]
Landasan umum takwil  adalah mengamalkan dalil sesuai dengan konteks bahasanya dan
mengambil ketetapan hukumnya. Sesungguhnya takwil itu mencakup berbagai kemungkinan
yang berasal dari akal, bukan bersumber dari bahasa. Karena takwil itu merubah arti sesuai
dengan kebutuhan bahasa, takwil itu tidak ada kecuali dengan dalil.
Imam Syafi’i R.A berpendapat bahwa diantara penyebab timbulnya perbedaanpendapat
dikalangan umat Islam adalah kecerobohan dalam memahami teks dari berbagai nash. Kemudian
mereka membuat penakwilan tanpa menggunakan dalil-dalil yang shahih, bahkan mereka
mencoba mengadopsi hukum-hukum yang berasal dari filsafat Yunani, seperti Aristoteles, dan
sebagainya. Mereka berkata, “Manusia itu tidak akan bodoh dan saling berbeda pendapat kalau
tidak meninggalkan ucapan-ucapan orang Arab yang mengikuti Aristoteles.”[7]
Ada tiga ketentuan umum yang dapat dijadikan pegangan agar terhindar dari kesalahan
dalam berijtihad, juga berbagai cara meng-instinbat-kan hukum dari nash dengan
mengginakan takwil,  yaitu :
1.      Jika arti nash itu sudah mengandung hukum, jelas dan dalalahnya qath’i, maka tidak boleh di-
takwil-kan dengan akal.
2.      Jika arti nash yang zhahir itu berarti umum, atau berarti zhanni  yang tidak pasti, wajib
mengamalkan sesuai maknanya, karena kejelasan arti dan keberadaannya. Jangan sampai
diterangkan dengan berbagai kemungkinan yang tidak berdasarkan pada dalil.
3.      Dibolehkan mengubah arti dari yang zhahir kepada arti lain sepanjang berdasarkan pada dalil,
bahkan diwajibkan untuk mengompromikan berbagai nash yang saling bertentangan.
G.   Syarat-syarat Takwil dan Beberapa Contohnya
Dasar umum yang ditetapkan ulama untuk menetapkan adanya takwil berasal dari teks
bahasa dan uslub-uslubnya, yang menjaga agar ijtihad dan ra’yu tidak menjadi sesat. Para ulama
juga mewajibkan agar mengamalkan syari’at sesuai dengan zhahir ayat sehingga terdapat isyarat
untuk menggunakan takwil.
Persyaratan takwil bergantung pada makna teks agar ketetapan nash dan makna zhahir-nya
tidak bertentangan dengan syari’at. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa makna syari’at
yang berhubungan dengan takwil berkaitan erat dengan takhsish, taqyid, perubahan ke
arti majaziy dan pengompromian antara nash-nash yang zhahir-nya saling bertentangan.
Semuanya sesuai dengan dalil shahih yang kuat, dan tidak hanya berdasarkan kepada
pemahaman arti saja, tetapi juga makna hakikatnya.
Takwil  itu erat kaitannya dengan maksud syari’at yang berasal dari nash, bukan hanya
dengan dalilnya itu sendiri. Hal itu juga termasuk salah satu metode ijtihad dengan ra’yu,  yaitu
membatasi arti yang dimaksud dengan dalil. Agar lebih jelas, dibawah ini akan diterangkan
persyaratan takwil tersebut, yaitu :
1.    Lafazh yang ditakwil, harus betul-betul memenuhi kriteria dan masuk dalam kajiannya
Telah diterangkan bahwa dalil-dalil yang telah ditafsirkan dan ditetapkan ketentuan
hukumnya tidak bisa ditakwilkan. Namun menurut Hanafiyah, takwlil  itu boleh sekalipun
pada nash yang zhahir dan semua dalil yang berhubungan dengan syari’at Islam.
Adapun dasar-dasar umum syari’at adalah sumber takwil karena banyak nash yang
arti zhahir-nya mengandung makna juz’i.
2.    Takwil itu harus berdasarkan dalil shahih yang bisa menguatkan takwil
Contoh takwil dan nash yang didalamnya terdapat pertentangan antara zhahir nash yang
mengandung arti juz’i dengan dasar umum syari’at, adalah hadits Rasulullah SAW yang
berbunyi :
.‫إن الميّت يعقّب ببكاء أهله‬
ّ
Artinya : “Sesungguhnya jenazah itu disiksa oleh tangisan keluarganya.”
Siti Aisyah menolak hadits tersebut karena menurutnya hal itu bertentangan dengan dasar
umum syari’at yang ada dalam Al-Qur’an yang berbunyi :
.‫و ال تزر وازرة وزر أخرى‬
Sebagian mujtahid  menakwilkan kemutlakan hadits tersebut, kemudian mereka menaqyid
jenazah ketika masih hidupnya. Maka maksud ayat tersebut menjadi tidak bertentangan setelah
ditaqyid. Pengompromian ini dilakukan dengan mengamalkan dua nash secara bersamaan.
Metode seperti inilah yang lebih baik daripada mencela salah satunya.
Dari contoh diatas, dapat diketahui bahwa takwil itu ada karena pertentangan
dalam nash yang artinya zhahir.
a.  Takwil berdasarkan dalil adalah Maslahat
yang dimaksud maslahat disini bukan berarti bahwa hikmah syari’at itu adalah nash tertentu,
tetapi dalil yang menakhsish dalil umum, atau mengistitsnakan dari landasan umum, baik
secara khas ataupun amm.
Takhsish merupakan salah satu bagian dari takwil, bahkan yang paling banyak dipakai.
Contohnya firman Allah SWT yang berbunyi :
....‫ض ْعنَ أَوْ الَ َده َُّن َحوْ لَ ْي ِن َكا ِملَ ْي ِن‬ ُ ‫َو ْال َوالِد‬
ِ ْ‫َات يُر‬
Artinya : “Para ibu hendaklah menyuusui anak-anaknya selama dua tahun penuh.”
Dari zhahir  ayat tersebut dapat dipahami bahwa menyusui adalah kewajiban seorang ibu. Dan
kata al-waalidatu itu lafazhnya umum mencakup semua ibu.
Imam Maliki menaksish keumumannya dengan perbuatan adat (urf amaly). Dia berpendapat
bahwa seorang ibu diharuskan menyusui anaknya karena kesempurnaan derajatnya. Maka
apabila seorang ibu sakit sehingga tidak bisa menyusui anaknya, ia tidak diwajibkan menyusui
anaknya karena menjaga dari kemudharatan dan menjaga kemashlahatan adalah maslahat. Hal
itu juga bisa disebut kemaslahatan individu.
Golongan Hambali memperluas pelaksanaan takhsish umum,diantaranya dalam masalah
penetapan harga ketika negara sedang dalam krisis karena takwil seperti itu berlandaskan pada
kemashlahatan umum.
b.  Mentakhsish keadaan umum dengan kemashlahatan
yang dimaksud kemashlahatan umum adalah kemerdekaan umum, atau dasar kebolehan yang
berdasar firman Allah SWT dalam Al-Qur’an :

ِ ْ‫ق لَ ُك ْم َما فِي األَر‬


....‫ض َج ِم ْيعًا‬ َ َ‫ه َُو الَّ ِذيْ َخل‬
Artinya : “Dia-lah yang menjadikan untuk kamu semua yang ada di Bumi...”
Di antara kemerdekaan umum adalah kemerdekaan berjual-beli dan hak memiliki barang.
Dengan mengutamakan persamaan, itu merupakan perbuatan yang diperbolehkan.
Rasulullah SAW melarang perdagangan yang diadakan untuk kaum badui, karena jual-beli
semacam itu dikategorikan jual-beli yang menggambarkan adanya penghinaan terhadap makanan
yang sangat penting bagi manusia.
Yang perlu diingat, sebuah larangan harus berdasarkan dalil, ,eskipun terkadang larangan
tersebut berupa keadaan umum sebagaimana yang telah disebutkan.
3.    Lafazh mencakup arti yang dihasilkan melalui takwil menurut bahasa
Penakwilan menurut bahasa dilakukan dengan cara tekstual, kontekstual atau majaz. Bisa
juga mencakup asas yang berasal dari pemakaian yang sudah dikenal atau adat syara’.
Adat syara’ telah banyak menakhsish dalil-dalil umum pada sebagian besar nash sehingga
para ulama Ushuliyyin berkata, “Tidak ada sesuatu yang umum, kecuali telah ditakhsish.” Hal
itu menunjukkan bahwa adat syara’ telah banyak menakhsish sebagian besar dalil yang umum,
sehingga takhsish  tersebut menjadi sunnah dalam syari’at. Hal itu cukup menunjukkan bahwa
bagian ini sah menjadi bagian takwil.
Semuanya tetap berlangsung sesuai dengan penempatan syara’ itu sendiri, yang
manunjukkan bahwa takwil  shahih membutuhkan keadilan dengan sendirinya. Apalagi kalau
yang mewajibkan adanya takwil itu adalah adanya pertentangan antara yang juz’iy dengan
yang kulliy.
Jika pembuat syari’at menetapkan istilah khusus dalam istilah syari’at, istilah khusus
haruslah didahului dari arti bahasa kalau keduanya bertentangan, sebagai realisasi terhadap
maksud pembuat syari’at dari segi artinya. Dengan demikian lafazh pembuat syari’at itu
berdasarkan pemahaman maksudnya sesuai dengan kabiasaan dalam penggunaannya.
4.    Takwil tidak boleh bertentangan dengan nash yang qath’i, karena nash  tersebut bagian
dari aturan syara’ yang umum
Takwil  adalah metode ijtihad  yang zhanni, sedangkan zhanni tidak akan kuat melawan
yang qath’i.  Contohnya menakwilkan kisah-kisah yang ada dalam Al-Qur’an dengan mengubah
arti yang Zhahir menjadi fiksi (yang tidak terjadi). Penakwilan seperti itu bertentangan dengan
kejelasan ayat yang qath’i  yang menjadikan kisah tersebut sebagai kejadian sejarah yang nyata.
5.    Arti dari penakwilan nash harus lebih kuat dari arti zhahir, yakni dikuatkan dengan dalil
Nash  yang berarti juz’i dikompromikan artinya dengan dasar umum, yaitu dengan cara
men-taqyid-nya dan dasar umum itu merupakan dalil yang lebih kuat. Sedangkan pertentangan
antara zhahur dan nash, tidak diragukan lagi bahwa nash menakhsish
yang zhahir  karena nash lebih kuat dan lebih jelas. Selain itu, ucapan juga membutuhkan arti
asli, maka nash harus diutamakan.
Penakwilan yang berdasarkan hikmah pembinaan syari’at. Hal itu merupakan
roh nash yang menguatkan dan merupakan tujuan pokoknya. Tidak dirgukan lagi bahwa maksud
disyari’atkannya sesuatu itu lebih kuat daripada zhahir lafazh-nya.
Takwil  itu terkadang tidak membutuhkan dalil sebagaimana telah dijelaskan, tetapi
dimungkinkan berdasarkan pada pemahaman yang dangkal, akal dan teks sesuatu. Takwil seperti
itu dinamakan oleh ulama Ushul dengan istilah takwil qorib yang cukup memakai dalil yang
terendah. Seperti firman Allah SWT :
ِ ِ‫صاَل ِة فَا ْغ ِسلُوْ ا ُو ُجهَ ُك ْم َوأَ ْي ِديَ ُك ْم إِلَى ْال َم َراف‬
.....‫ق‬ َّ ‫إِ َذا قُمتُ ْم إِلَى ال‬
Artinya : “Apabila kamu hendak mengerjakan shalat,basuhlah mukamu dan tanganmu sampai
siku,”
Arti zhahir ayat tersebut adalah mengharuskan berwudhu’ seteleh melaksanakan shalat.
Pemahaman seperti itu tentu saja bertentangan dengan syarat sahnya shalat yang mengharuskan
berwudhu’ terlebih dahulu. Dan syarat itu harus didahulukan, baik menurut akal ataupun syara’
agar shalatnya sah. Untuk itu, lafazh al-qiyamu dalam firman Allah ta’ala diatas harus
ditakwilkan. Kemudian diubah dari artinya yang hakiki kepada artinya yang majazi
yaitu al-‘ajmu (bermaksud) mendirikan, bukan mendirikan dengan sendirinya.
Itulah beberapa persyaratan takwil,  jika persyaratan tersebut tidak terpenuhi
dinamakan takwil ba’id.
H.   Takwil Ba’id
Yang dimaksudkan dengan takwil ba’id adalah suatu takwil yang mana makna takwil-nya
terlalu jauh hubungannya dengan makna dzahir-nya. Jika ada penyimpangan dari persyaratan
tadi, maka takwil seperti itu ditolak.[8]
Sebagai contoh misalnya: kifarat orang yang bersetubuh dengan istrinya dalam bulan puasa
wajib memberi makan 60 (enam puluh) orang miskin, sebagaimana firman Allah SWT yang
berbunyi:

ْ ِ ‫َفإ‬
.....‫ط َعا ُم ِستِّ ْينَ ِم ْس ِك ْينًا‬
Artinya : “maka siapa yang tidak kuasa (wajib atasnya) memberi makan 60 (enam puluh) orang
miskin…..”
Golongan Hanafiyah mentakwilkan lafaz 60 (enam puluh) orang miskin dalam ayat
tersebut dengan 60 mud. Dengan demikian, maka berarti boleh memberikannya kepada seorang
miskin sejumlah 60 mud.
Namun, penakwilan diatas dianggap sebagai takwil ba’id dan dinyatakan batil menurut
Imam Syafi’i. Karena lafazh ‘asyarah adalah lafazh khusus yang menunjukkan
arti qath’i, sehingga tidak membutuhkan penakwilan.
Kecacatan Itakwil diatas disebabkan oleh beberapa perkara, yaitu :
1)     Meremehkan ‘adad, lafazh khushus yang jelas menunjukkan arti yang qath’i, maka haruslah
menjaga arti yang qath’i  tersebut dan tidak meremehkannya.
2)     Penambahan kalimat terhadap nash adalah menyalahi ashal.
Kesimpulannya, kajian ijtihad dengan ra’yu dalam takwil, harus sesuai dengan
persyaratannya, tidak hanya sebatas pengambilan istibath berdasarkan akal semat-mata,
melainkan yang berlandaskan pada bahasa yang mampu menghasilkan arti yang tercakup dalam
arti lafazh tersebut.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Zhahir adalah suatu lafazh yang dengan mendengarkan lafazh itu pendengar bisa langsung
mengerti apa maksud nya tanpa perlu berpikir dan tidak bergantung kepada petunjuk
lain. Apabila tidak terdapat alasan yang kuat untuk mendorong pentakwilan sesuatu lafaz, maka
lafaz zhahirnyalah yang dipakai sebagai dalil yang wajib kita ikuti.
Sedangkan Takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang zhahir kepada makna lain
, tetapi bukan zhahirnya. Adapun kajian takwil kebanyakan adalah firu’ sebagaimana pendapat
Imam Asy-Syaukani. Selain itu hal-hal yang jelas dan nash yang merupakan kajian takwil  juga.
Itu semua kajian takwil secara global dan terbatas bila belum ada panafsiran dari syari’at secara
menyeluruh.
Landasan umum takwil  adalah mengamalkan dalil sesuai dengan konteks bahasanya dan
mengambil ketetapan hukumnya. Sesungguhnya takwil itu mencakup berbagai kemungkinan
yang berasal dari akal, bukan bersumber dari bahasa. Karena takwil itu merubah arti sesuai
dengan kebutuhan bahasa, takwil itu tidak ada kecuali dengan dalil.
Adapun syarat-syarat takwil  itu adalah sebagai berikut :
1.      Lafazh yang ditakwil, harus betul-betul memenuhi kriteria dan masuk dalam kajiannya.
2.      Takwil itu harus berdasarkan dalil shahih yang bisa menguatkan takwil.
3.      Lafazh mencakup arti yang dihasilkan melalui takwil menurut bahasa.
4.      Takwil tidak boleh bertentangan dengan nash yang qath’i, karena nash tersebut bagian dari
aturan syara’ yang umum.
5.      Arti dari penakwilan nash harus lebih kuat dari arti zhahir, yakni dikuatkan dengan dalil.
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Djalil, Basiq, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua,  Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010
Karim, Syafi’i, Fiqih Ushul Fiqih,  Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001
Koto, Alaiddin, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011
Shidik, Saifuddin, Ushul Fiqih, Jakarta: Intimedia, 2005
Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2007

[1] Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007),
hlm. 152
[2] Drs. H.A. Basiq Djalil, S.H, M.A., Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup, 2010), hlm. 45
[3] Drs. Saifuddin Shidik, M.Ag, Ushul Fiqih,  (Jakarta: Intimedia, 2005), hlm. 126
[4] Drs. H.A. Basiq Djalil, S.H, M.A., Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup, 2010), hlm. 48
[5] Drs. H. A. Syafi’i Karim, Fiqih Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka setia, 2001),
hlm. 199
[6] Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2011), hlm. 165
[7] Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007),
hlm. 175
[8] Drs. H.A. Basiq Djalil, S.H, M.A., Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup, 2010), hlm. 49

Anda mungkin juga menyukai