Anda di halaman 1dari 18

QAWAIDH USHULIYYAH

“Konsep Al-Khas dalam Ushul Fiqh”

Disusun oleh Kelompok 5:

HARRY SETIAWAN SAPUTRA 1830102075


M. KHRIS ADITYA FAJARI 1830102080
IMAM RIFAI 1910102002

Dosen Pengampu :
IKHWAN FIKRI, Lc., LL.M

PRODI PERBANDINGAN MADZHAB


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) RADEN FATAH
PALEMBANG
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Shalawat serta salam tidak lupa kami
ucapkan untuk jujungan kita Nabi Besar Muhammad SAW. Kami bersyukur kepada Allah
SWT yang telah memberikan kami hidayah dan taufik-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah Mata Kuliah Qawaidh Ushuliyyah yang berisikan tentang “Konsep
Al-Khas Dalam Ushul Fiqh.”
Penulis menyadari bahwa makalah kami kurang dari kata sempurna. Namun, penulis
berharap agar tulisan yang di buat dalam bentuk makalah ini dapat membantu kita semua dalam
memahaminya.
Demikian makalah ini disusun, semoga dapat berguna untuk kita yang membaca.

Palembang, Maret 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................... i


DAFTAR ISI.................................................................................... ii
BAB I PENDAHULIAN ................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................. 1
C. Tujuan Makalah ................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................. 2
A. Pengertian Al-Khas ............................................................ 2
B. Hukum Al-Khas ................................................................. 5
C. Implikasi Al-Khas Pada Fikih............................................ 6
D. Macam-macam Al-Khas .................................................... 7
E. Karakteristik Al-Khas ........................................................ 11
F. Contoh Al-Khas.................................................................. 12
BAB III PENUTUP ......................................................................... 15
A. Kesimpulan ........................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengertian khash adalah lawan dari pengertian ‘amm (umum). Dengan demikian, jika
telah memahami pengertian lafaz ‘amm secara tidak langsung, juga dapat memahami
pengertian lafaz khash. Karenannya tidak semua penulis yang menguraikan tentang lafaz
khash dalam bukunya yang memberikan pengertian lafaz khâsh itu secara definitif.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dikaji dalam makalah ini diantara nya ialah :
1. Apa Pengertian Al-Khas ?
2. Bagaimana Hukum Al-Khas ?
3. Bagaimana Implikasi Al-Khas Pada Fikih ?
4. Apa saja Macam-macam Al-Khas ?
5. Apa Saja Karakteristik Al-Khas ?
6. Apa Saja Contoh Al-Khas ?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu
sebagai berikut:
1. Mengetahui PengertianAl-Khas.
2. Mengetahui Hukum Al-Khas.
3. Mengetahui implementasinya dalam kehidupan.
4. Mengetahui macam-macam konsep al-khas.
5. Mengetahui karakteristik konsep al-khas.
6. Mengetahui beberapa contoh konsep al-khas.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Khas
Abdul Karim Zaidan dalam kitabnya al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh menjelaskan
bahwa khâsh (‫ )الخاص‬secara etimologi bermakna munfarid (‫ )المنفرد‬artinya meyendiri,
terpisah. Dan secara terminologi berarti lafal yang dari segi bahasanya menunjukkan
individu tertentu secara menyendiri. 1
Sebagian ulama mendefinisikan khâsh (‫ )الخاص‬dengan beberapa pengertian. Wahbah
Zuhaili dalam bukunya Ushûl al-Fiqh al-Islami memaparkan bahawasanya khâsh adalah
lafal yang ditetapkan untuk menunjukkan makna perseorangan atau individu secara
2
menyendiri. Dalam hal ini khâsh mempunyai beberapa makna. Khâsh menunjukkan
individu tertentu misalnya nama-nama orang, seperti Zaid, Burhan, dan Muhammad. Atau
menunjukkan satu macam, seperti laki-laki, perempuan dan kerbau. Dan bisa juga
menunjukkan jenis, seperti manusia.
Dan khâsh juga berarti sesuatu yang menunjukkan satuan yang terbatas, seperti
sembilan, seratus dan seribu. Definisi khâsh yang dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili ini serupa
dengan apa yang dikemukakan oleh Abdul Wahhab Khallaf dalam kitab ‘Ilmu Ushûl al-
Fiiqh. 3 Dalam kitab Qurrat al-‘Ainii disebutkan bahwa khâsh adalah sesuatu yang tidak
mencakup dua hal atau lebih tanpa ada batas, tetapi sesuatu yang mencakup satu hal secara
terbatas.
Khas menurut bahasa (etimologi) adalah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu,
tidak meliputi arti umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari ‘amm. Sedangkan Khas
menurut istilah (trminologi) adalah lafadz yang menunjukkan sesuatu yang dibatasi dengan
pribadi atau bilangan. Sedangkan menurut Ulama’ Ushul Fiqh adalah Lafadz yang
diwadla’kan untuk menunjukkan kepada orang yang tertentu.
Sedangkan definisi khash yang diajukan al-Amidi adalah: “Suatu lafaz yang tidak patut
digunakan bersama oleh jumlah yang banyak.”. Definisi yang sedikit berbeda yang

1
Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushull al-Fiqh, Cet. 1, (Beirut: Muassasah ar-Risalah
Nasyirun, 2012), Hal. 222.
2
Wahbah Zuhaili, Ushull al-fiqh al-Islami, jilid 1, cet. XIX, (Damaskus: Dar al-Fîkr, 2011), Hal.
201.
3
Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Hadits, 2003), Hal. 178.

2
dirumuskan al-Khudahari Beik: “Lafaz yang obyeknya adalah dilâlah yang bermakna satu
dengan cara satu-persatu.”
Lafaz khash itu ditentukan untuk menunjukan satu satuan secara perorangan seperti
Ahmad atau satu satuan kelompok seperti laki-laki, atau beberapa satuan yang jumlahnya
tidak terbatas seperti “kaum” atau lafaz lain dalam bentuk satuan yang tidak terbatas, tetapi
tidak menunjukan seluruh satuannya (yang masuk dalam pengertian ‘amm). Ketentuan lafaz
khash dalam garis besarnya adalah :
1. Bila lafaz khash lahir dalam bentuk nash syara‘ (teks hukum), ia menunjukan artinya
yang khash secara qath‘i al-dilâlah (petunjuk yang pasti dan meyakinkan) yang secara
hakiki ditentukan untuk itu. Hukum yang berlaku pada apa yang dituju oleh lafaz itu
adalah qath‘i.
2. Bila ada dalil yang menghendaki (pemahaman lain) dari lafaz khash itu kepada arti lain,
maka arti khâsh itu dapat dialihkan kepada apa yang dikehendaki oleh dalil itu.
Umpamanya sabda Nabi SAW sebagai berikut:
‫ىف اربعني شاة شاة‬
Untuk setiap empat puluh ekor kambing (zakatnya) satu ekor kambing.
Oleh ulama Hanafi zakat kambing dalam Hadits itu ditakwilkan kepada yang lebih umum
yang mencangkup kambing dan nilai harganya. Juga mentakwilkan lafaz Hadits:
“segantung kurma” dalam kewajiban zakat fitrah, kepada “harga segantung kurma”.
3. Bila dalam suatu kasus hukumnya bersifat ‘âmm dan ditemukan pula hukum yang khâsh
dalam kasus lain, maka lafaz khâsh itu membatasi pemberlakukan hukum ‘amm itu.
Maksudnya, lafaz khâsh itu menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam lafaz ‘âmm itu
hanya sebagain afrad-nya saja, yaitu sebagain yang tidak disebutkan dalam lafaz khash.
Umpamanya hukum ‘amm yang di Firmankan Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat
228 yang berbunyi:

َ ‫َو ْال ُم‬


‫طلقَاتُ يَت ََربصْنَ بِأ َ ْنفُسِ ِهن ثَ ََلثَةَ قُ ُروء‬

Keharusan menjalani iddah selama tiga quru’ itu berlaku ‘âmm, mencangkup semua
perempuan yang bercerai dari suami-nya dalam keadaan apapun. Kemudian ada
ketentuan iddah yang berlaku secara khusus bagi perempuan yang hamil dalam Firman
Allah SWT , surat al-Thalâq ayat 4 yang berbunyi:

‫اْل َ ْح مَ ا ِل أ َ جَ ل ُ ه ُ ن أ َ ْن ي َ ضَ ع ْ َن حَ ْم ل َ ه ُ ن‬
ْ ‫ت‬ َ ُ ‫َو أ‬
ُ ‫وَل‬

3
Ada ketentuan khusus ini menjelaskan bahwa perempuan bercerai yang harus
ber-iddah 3 quru’ sebagimana ditetapkan dalam surat al -Baqarah ayat 228 itu
adalah perempuan-perempuan yang ditalak dalam keadaan tidak sedang
hamil, ka rena bagi yang sedang hamil sudah diatur secara tersendiri dengan
lafaz khâshdalam surat al-Thalâq ayat 4. Lafaz khâsh dalam hal ini membatasi
atau mengurangi afrad lafaz ‘âmm. Inilah yang dinamakan takhshîsh.

4. Bila ditemukan kontradiksi antara dalil khâsh dengan dalil ‘amm terdapat perbedaan
pendapat, yaitu:
a) Menurut ulama Hanafiyah, seandainya kedua dalil itu bersamaan masanya, maka dalil
yang khâsh men-takhshîsh kan yang ‘âmm, karena tersedianya persyaratan untuk
takhshîsh. Bila keduanya tidak bersamaan waktunya di sini ada dua kemungkinan: (1)
bila lafaz ‘âmm terkemudian datangnya, (2) bila lafaz khâsh yang terkemudian
datangnya, maka lafaz khâsh itu me-naskh lafaz ‘âmm dalam sebagaian afrad-nya.
b) Menurut jumhur ulama, tidak tergambar adanya kontradiksi antara dalil- ‘âmm dengan
dalil khusus karena keduanya bila datang dalam waktu bersamaan maka yang khâsh
memberi penjelasan terhadap yang ‘âmm, karena yang umum itu adalah dalam bentuk
lahir yang tetap berkemungkinan untuk menerima penjelasan disamping untuk
diamalkan menurut keumumannya hingga diketahui adanya dalil khâsh. Lafaz khâsh
itulah yang menjelaskan lafaz ‘âmm.

B. Hukum Khash
Menurut kesepakatan Imam Abu Hanifah dan mazhab yang
lainnya, khâsh menunjukkan suatu makna secara qath’i (pasti) bukan
bersifat zhanni (prasangka) selama tidak ada dalil yang memalingkannya ke makna yang
lain. Dan yang dimaksud qath’i disini yaitu tidak adanya kemungkinan makna lain yang
timbul. Misalnya firman Allah pada surat al-Maidah tentang kafarat yamin:

.‫َص َيا ُم ثَ ََلثَ ِة أَيام‬


ِ ‫فَ َم ْن لَ ْم َي ِجدْ ف‬

Artinya: “Tetapi jika dia tidak menemukan (hewan kurban atau tidak mampu), maka wajib
berpuasa tiga hari selama haji” (QS. Al Baqarah (2): 196)

Kesimpulan yang bisa diambil dari nash di atas menunjukkan wajibnya puasa tiga hari
karena lafal tiga termasuk lafal khâsh dan menunjukkan makna secara qath’i (pasti) dan

4
tidak ada kemungkinan untuk bertambah atau berkurang. Contoh lain firman Allah pada
surat al-Baqarah tentang perintah shalat dan zakat:

َ‫َوأَقِ ْي ُم ْوا الصلَوةَ و َءات ُ ْوا الزكَوة‬

Artinya: “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.”

Shalat dan zakat merupakan suatu perintah dan perintah itu termasuk bagian dari khâsh,
maka perintah tersebut bersifat qath’i (pasti). Tetapi jika ada suatu dalil yang memalingkan
lafal khâsh dari makna otentiknya maka dalalahnya tidak bersifat qath’i (pasti) dan
keadaannya harus sesuai dengan apa yang dituntut oleh dalil. Seperti sabda Rasulullah
Saw. dalam nisab zakat kambing. Beliau bersaba:

‫ي كُ ِل أَرْ بَ ِعيْنَ شَاة شَاة‬


ْ ِ‫ف‬

Artinya: “Pada setiap empat puluh kambing, zakatnya seekor kambing.”

Pada hadits di atas disebutkan bahwa nisab zakat empat puluh kambing dengan seekor
kambing. Lafal empat puluh ekor kambing dan seekor kambing itu termasuk
lafal khâsh karena tidak adanya kemungkinan angkanya bertambah atau berkurang dan
bersifat pasti. Ulama Hanafiyah berpendapat adanya qârinah yang memalingkan dari
makna aslinya yaitu tentang pensyariatan zakat bukan pada jumlah atau bilangan kambing.
Maksud pensyariatan nash disini untuk membantu orang fakir miskin serta memenuhi hajat
mereka.

C. Implikasi Khash pada Fikih


Khâsh mempunyai otoritas dalam permasalahan fikih, diantaranya sebagai berikut:
1. Tafsir pada lafal quru’
Menurut kesepakatan para ulama bahwasanya lafal qur`u merupakan lafal musytarak,
bisa berarti haid ataupun suci. Pernyataan ini serupa dengan apa yang disebutkan di
dalam kamus al-Mu’jam al-Wasith. Bahwa lafal qur`u artinya haid atau
suci.4 Nash dalam Al-Qur’an menyatakan bahwasanya idah perempuan yang ditalak
adalah tiga kali quru`. Firman Allah Swt. pada surat al-Baqarah:
َ ‫َو ْال ُم‬
‫طلقَاتُ يَت ََربصْنَ بِأ َ ْنفُسِ ِهن ثَ ََلثَةَ قُ ُروء‬

4
Majma’ al-Lughah al-Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasith, cet. V, (Kairo: Maktabah al-Syuruq al-
Dauliyah, 2011), Hal. 748.

5
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru`.”

Ulama Hanafiyah dan Hanabilah mengatakan quru’ artinya haid, karena


lafal tsalâtsah (‫ )ثَلتة‬merupakan lafal khâsh. Jadi secara pasti menunjukkan kewajiban
menunggu tiga kali quru` tanpa tambahan atau pengurangan. Tetapi kalau kita
memaknai lafal quru` itu suci seperti yang dikemukakan oleh Ulama Syafiiyah dan
Malikiyah maka waktu penantiannya bisa lebih dari tiga kali quru`. Dan hal ini tidak
boleh karena berkontradiksi dengan maksud nash.

Sesuatu yang mewajibkan adanya mahar Ulama Hanafiyah mengatakan


bahwasanya mahar diwajibkan karena akad pernikahan itu sendiri sesuai dengan
lafal ba (‫ )ب‬pada firman Allah pada surat an-Nisâ` yang berbunyi:

‫َوأُحِ ل لَكُ ْم ما َو َرآ َء ذَا ِلكُ ْم أَ ْن تَ ْبتَغُ ْوا ِبأ َ ْم َوا ِل ُك ْم‬

Artinya: “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri- istri
dengan hartamu.”

Lafal ba (‫ )ب‬pada ayat di atas adalah lafal khâsh, maka secara (qath’i) pasti
menunjukkan bahwasanya ibtigho (permintaan atau tuntutan) yang merupakan akad itu
sendiri harus berhubungan dengan harta, karena lafal khâsh menunjukkan sesuatu
secara dan tidak boleh meyelisihinya.

Pada pokok permasalahan lain bahwasanya mufawwidhoh (perempuan yang


dizinkan oleh walinya untuk menikah tanpa menyebutkan mahar) apabila suaminya
meninggal sebelum berjimak dan sebelum adanya suatu kesepakatan ukuran mahar,
maka menurut Ulama Hanafiyah wajib bagi perempuan itu untuk mendapatkan
mahar mitsli karena tidak adanya harta pada akad tersebut.

Akan tetapi Ulama Malikiyah berpendapat tidak diwajibkan bagi perempuan


tersebut untuk mendapatkan mahar karena mahar tidak wajib dengan adanya akad
tetapi mahar diwajibkan sebab adanya jimak atau adanya ucapan (kesepakatan untuk
membayar mahar).

2. Syarat untuk thuma’ninah dalam shalat

6
Thuma’ninah dalam kitab al-Imtâ’ bi Syarhi Matn Abî Syuja pada bab rukun shalat
adalah berdiri tegak dan berhenti dengan bertasbih.5 Maknanya juga bisa berarti tidak
gelisah. Ulama Hanafiyah (kecuali Abu Yusuf) tidak mewajibkan
adanya thuma’ninah dalam shalat, sesuai dengan firman Allah Swt. pada surat al-Hajj:

‫يَأَيُّ َها ال ِذيْنَ أَ َمن ُْوا ارْ َكعُ ْوا َوا ْس ُجد ُْوا‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu dan sujudlah kamu.”

Ayat di atas menunjukkan dalalah khâsh. Maka cukup dilakukan dengan rukuk
dan sujud dalam pelaksanaan shalat. Abu Yusuf dan Imam Syafii
mengatakan thuma’ninah itu wajib dalam shalat karena statusnya
menunjukkan khâsh. Pernyataan ini didukung oleh hadits sahih dari Abu Hurairah Ra.
bahwasanya ada Orang Arab shalat di Masjid Nabawi tanpa thuma’ninah lalu
Rasulullah Saw. bersabda:

َ ُ ‫جع لَ ْم ت‬
‫ص ِل‬ ْ ْ‫فَإِنكَ إِر‬, ‫ص ِل‬
َ َ‫ف‬

Artinya: “Kembalilah lalu shalatlah, sesungguhnya kamu belum shalat.”

Pada hadits di atas terdapat penjelasan yang gamblang bahwasanya setiap


rukuk, iktidal, dan sujud harus disertai thuma’ninah. Hikmah adanya thuma’ninah agar
kita senantiasa mentadaburi setiap lafal, bacaan, dan doa yang terlontar dari mulut kita
dan agar selalu ingat atas kekuasaan Allah sebagai salah satu identitas muslim yang
beriman dan bertakwa kepada-Nya.

D. Macam-macam Khash
Khash mempunyai beberapa macam. Yang paling fundamental ada empat macam,
yaitu muthlaq, muqayyad, amr, dan nahyu.

1. Muthlaq (‫)مطلق‬
a) Definisi Muthlaq
Menurut Syeikh Utsaimin muthlaq secara etimologi yaitu antonim
dari muqayyad. Kemudian secara terminologi muthlaq adalah sesuatu yang

5
Hisyam Kamil Hamid, al-Imta’ bi Syarhi Matn Abi Syuja’, cet. 1, (Kairo: Dar al-Manar, 2011),
Hal. 83.

7
menunjukkan suatu hakikat tanpa adanya batasan. 6 Seperti lafal ‫ رقبة‬dalam firman
Allah Swt. pada surat al-Mujâdilah:

‫مِن قَ ْب ِل أَ ْن يَتَ َماسا‬


ْ ‫ير َرقَبَة‬
ُ ‫فَتَحْ ِر‬

Artinya: “Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami
istri itu bercampur.”

Lalu menurut Muhammad Khudhari muthlaq adalah sesuatu yang


menunjukkan perseorangan atau kelompok bersama tanpa batas.7 Lain halnya dengan
Wahbah Zuhaili, beliau mendefinisikan muthlaq adalah lafal khâsh yang menunjukkan
perseorangan atau beberapa kelompok secara bersama dan tidak terikat oleh suatu
sifat,misalnya seorang laki-laki, beberapa laki-laki, sebuah kitab, beberapa kitab,
seekor burung, beberapa burung.

Jadi maksud dari pernyataan di atas menunjukkan bahwa


lafal khâsh itu menunjukkan suatu esensi serta hakikat sesuatu itu sendiri dan
lafal muthlaq itu sama seperti lafal nakirah. Dengan definisi yang serupa, Abdul Karim
Zaidan menjelaskan bahwasanya muthlaq adalah lafal yang menunjukkan
perseorangan atau kelompok yang tidak tertentu tanpa adanya batas.

b) Hukum Muthlaq,
Muthlaq berlaku sesuai dengan ke-ithlaq-kannya selama tidak ada dalil yang
menunjukkan adanya suatu taqyîd (limitasi). Seperti firman Allah Swt. pada surat al-
Mujâdilah:

‫عظُونَ بِ ِه َوّللاُ بِ َما‬


َ ‫مِن قَ ْب ِل أَ ْن يَتَ َماسا ذَ ِلكُ ْم تُو‬ ُ ‫مِن نِ َسائِ ِه ْم ثُم يَعُودُونَ ِل َما قَالُوا فَتَحْ ِر‬
ْ ‫ير َرقَبَة‬ َ ُ‫َوالذِينَ ي‬
ْ َ‫ظاه ُِرون‬

‫تَ ْع َملُونَ َخ ِبير‬

Artinya: “Orang-orang yang menzhihar istri mereka, kemudian mereka hendak


menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur.”

6 Muhammad bin Shalih Utsaimin, al-Ushul min ‘Ilmi al- Ushul, cet. 1, (Kairo: Muassasah Zad,
2012), Hal. 33.
7
Muhammad Khudhari, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Hadits, 2003), Hal. 190.

8
Ayat ini menjelaskan kafarat zhihar bagi suami yang meyerupakan istrinya
dengan ibunya dengan memerdekakan budak. Kata raqabah (budak) disini merupakan
lafal muthlaq karena tidak adanya sesuatu atau sifat yang membatasi kata tersebut. Jadi
membebaskan budak di sini bisa meliputi budak mukmin atau kafir.[23] Tetapi jika ada
dalil yang yang men-taqyîd pernyataan muthlaq maka yang diamalkan adalah
dalil taqyîd tersebut. Seperti firman Allah Swt.:

‫صية يُوصى ِب َها أَ ْو َديْن‬ ْ


ِ ‫مِن َب ْع ِد َو‬

Artinya: “Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya.”

Kata wasiat di atas merupakan lafal muthlaq karena tidak adanya taqyîd pada
ayat di atas dengan ukuran tertentu maka boleh memberikan wasiat dengan ukuran
tanpa batasan. Tetapi ada dalil yang men-taqyîd dengan sepertiga bagian dari wasiat,
yaitu hadits masyhur dari Sa’ad bin Abi Waqqash ketika Rasulullah Saw. melarang
untuk memberikan wasiat di atas sepertiga.

2. Muqayyad (‫)مقيد‬
a) Definisi Muqayyad
Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya Ushûl al-Fiqh menjelaskan
bahwasanya muqayyad adalah apa-apa yang menunjukkan suatu esensi yang dibatasi
dengan sifat, keadaan, ghoyah, dan syarat.8

Menurut Wahbah Zuhaili muqayyad adalah lafal khâsh yang menunjukkan


perseorangan secara bersama yang dibatasi dengan salah satu dari beberapa sifat.
Dengan ungkapan lain, lafal yang menunjukkan sesuatu tertentu. Misalnya pemuda
mukmin, beberapa pemuda mukmin, wanita yang lembut, wanita-wanita yang lembut.
Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidan muqayyad adalah lafal yang menunjukkan
suatu satuan dalam satu jenis yang dibatasi dengan beberapa sifat.

Contoh yang di-taqyîd dengan sifat:

‫فَتَحْ ِري ُْر َرقَبَة ُمؤْ مِ نَة‬.

8 Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Fîkr al-‘Arabi), Hal. 157.

9
Artinya: “Maka (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman.”

Contoh yang di-taqyîd dengan syarat, tentang kafarat sumpah:

‫َصيَا ُم ثَ ََلثَ ِة أَيام‬


ِ ‫فَ َم ْن لَ ْم يَ ِجدْ ف‬

Artinya: “Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya
puasa selama tiga hari.”

Puasa selama tiga hari di atas dibatasi apabila tidak bias memberi makan
sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan
seorang budak.

Contoh yang di-taqyîd dengan ghoyah (tujuan):

‫ام ِإلَى ال ْي ِل‬ ِ ‫ث ُ َم أَتِ ُّم ْوا‬


َ َ‫الصي‬

Artinya: “Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.”

Puasa di atas dibatasi oleh ghoyah (tujuan), yaitu waktu malam. Maka tidak
boleh puasa wishôl.

Contoh taqyîd dengan ghoyah (tujuan) menurut Syinqithi:9

ْ َ‫َوَل تَ ْق َرب ُْوهُن َحتى ي‬


َ‫ط ُهرْ ن‬

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka bersuci.”

b) Hukum Muqayyad
Hukum muqayyad wajib diamalkan sesuai dengan apa yang telah di-taqyîd,
selama tidak ada dalil yang menghapus atau membatalkan taqyîd tersebut. Misalnya
hukum tentang kafarat zhihar, Allah Swt. berfirman:

‫مِن قَ ْب ِل أَ ْن يَتَ َماسا‬ ِ ‫فَ َم ْن لَ ْم يَ ِجدْ ف‬


ْ ‫َصيَا ُم َش ْه َري ِْن ُمتَتَابِعَي ِْن‬

Artinya: “Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya)
berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur.”

9 Muhammad Amin bin Muhammad Mukhtar Syinqithi, Mudzakaroh fi Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-

Hadits, 2011), Hal. 209.

10
Perintah puasa diatas di-taqyîd dengan syarat dilakukan secara berturut-turut
dan dilakukan sebelum suami istri itu kembali berhubungan. Seperti halnya pada
kafarat pembunuhan khatha` (yang salah). Allah berfirman:

‫فَتَحْ ِري ُْر َرقَبَة ُمؤْ مِ نَة‬

Artinya: “Maka (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang


beriman.”

Maka konklusinya tidak boleh memerdekakan seorang hamba sahaya kecuali


dia orang yang beriman.

3. Al-‘Amr
Pengertian Al-amr dapat berarti suruhan, perintah dan perbuatan. Dapat pula berarti
menuntut untuk mengerjakan sesuatu dalam membuatnya. Memperhatikan
pengertian al-amr di atas, menunjukkan bahwa dalam arti suruhan, dapat berarti
orang yang menyuruh itu lebih tinggi derajatnya daripada orang yang disuruh; dapat
pula tidak diperlukannya yang menyuruh itu harus lebihvtinggi derajatnya daripada
yang disuruh. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa yang menyuruh harus lebih
tinggi derajatnya dari pada orang yang disuruh.

4. An-Nahyu
Nahi adalah suatu lafal yang menunjukkan suatu tuntutan untuk meninggalka
sesuatu yang dikerjakan dari atasan kepada bawahannya. Atau nahi adalah ungkapan
yang meminta agar sesuatu perbuatan dijauhi yang dikeluarkan oleh orang yang
kedudukanya lebih tinggi kepada orang yang kedudukanya lebih rendah. Larangan
seperti halnya perintah, membawa berbagai variasi makna. Meskipun makna pokok
dari nahi adalah keharaman, atau tahrim tetapi nahi juga digunakan untuk sekedar
menyatakan ketercelaan (karohiyah) tuntutan (irsyad) atau kesopanan (ta’dib) dan
permohonanan (do’a). Oleh karena itu nahi membawa berbagai makna, maka para
ulama’ berbeda pendapat tentang manakah diantara makna – makna ini yang
merupakan makna pokok (hakiki) sebagai lawan dari makna sekedar atau makna
metaforisnya8. Adapun tujuan dari suatu larangan adalah adalah perbuatan maka
tidak diperbolehkan mengguakan sifat yang tidak berhubungan dengan esensi dari
perbuatan itu Al-Nahy dapat berarti larangan cegahan.37 ayat pula berarti batas

11
adalah tujuan, atau dapat berarti al-qahadir (anakvsungai adalah sawah) dalam arti
bahwa air akan berhenti mengalir pada tempat tertentu.
Menurut istilah agama al-nahy dapat berarti tuntutan meninggalkan dari atasan
kepada bawahan.39 Hasbi menyebutkan bahwa al-nahy ialah: pekerjaan hentikan
kita menyuruh yang lafazh (‫ لفظ يدل على عن فعل على جهة اإلستعَلل‬yang diperintahkan
oleh orang yang lebih tinggi dari kita).40 Makna al-nahy dapat dipahami sebagai
sesuatu yang dilarang untuk dikerjakan dan senantiasa meninggalkannya atau
larangan merupakan kebalikan dari al-amr.
Dengan demikian, al-nahy merupakan suatu pernyataan yang bermakna adanya
suatu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi
kepada yang lebih rendah. Apabila ada kata kata yang yang mengandung lrangan
yang tidak sesuai dengan qarinah, maka tentu secara logika kita dapat memahami
bahwa keharusan yang diminta adalah larangan, jadi dapat dipahami bahwa Nahy
adalha tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan yang di perintahkan dari orang
yang lebuh tinggi tinkatanya kepada orang yang lebih rendah tingkatanya.

E. Karakteristik Lafadz Khas


Berdasarkan definisi lafadz khas sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, maka
lafadz khas dapat diketahui dengan karakteristik sebagai berikut:

1. Lafadz tersebut menyebutkan tentang nama seseorang, jenis, golongan, atau nama
sesuatu.
2. Lafadz tersebut menyebutkan jumlah atau bilangan tertentu dalam suatu kalimat.
3. Lafadz tersebut dibatasi dengan suatu sifat tertentu atau diidhafahkan.

Dari ketiga karakteristik di atas dapat dipahami bahwa lafadz khash menunjukkan
makna tertentu dan spesifik, yang cakupannya terbatas pada satu obyek atau satu satuan
yang menggambarkan jumlah, jenis dan macam dari sesuatu.

F. Contoh Konsep Al-Khas


Dalalah khusus mengacu pada dalalah qath'iyyah pada makna khusus yang dimaksud
dan hukum yang diindikasikannya adalah qath'iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil
yang mengubahnya ke makna lain. Misalnya firman Alloh:

12
‫َصيَا ُم ثَ ََلثَ ِة أَيام‬
ِ ‫فَ َم ْن لَ ْم يَ ِجدْ ف‬

“Tetapi jika dia tidak menemukan (hewan kurban atau tidak mampu), maka wajib
berpuasa tiga hari selama haji” (QS. Al Baqarah (2): 196

Kata tsalatsah (tiga) pada ayat di atas adalah tipikal , yang tidak dapat diartikan
kurang atau lebih dari arti yang diinginkan oleh kata, oleh karena itu dalalah artinya
adalah qath'iy dan dalalah hukumnya juga qath'iy.

Namun bila ada qarinah, maka pengucapan khusus tersebut harus dikaitkan dengan
makna lain. Sebagai contoh hadits Nabi yang berbunyi:

‫عن سالم بن عبد هللا عن أبيه عن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال أقرأني سالم كتابا كتبه رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫في الصدقات قبل أن يتوفاه هللا عز وجل فوجدت فيه في أربعين شاة شاة إلى عشرين ومائة فإذا زادت واحدة‬

Salim pernah membacakan sebuah buku tentang amal yang ditulis oleh Rasulullah Saw
sebelum Allah Azza Wa Jalla membunuhnya. Kemudian saya temukan di dalamnya
bahwa untuk setiap empat puluh kambing berbanding seratus dua puluh kambing,
zakatnya adalah satu kambing. (HR. Ibn Majah).

Menurut mayoritas ulama, arti kata empat puluh kambing dan satu kambing, keduanya
adalah pengucapan yang khusus. Karena kedua pengucapan tersebut tidak mungkin
untuk ditafsirkan lebih atau kurang dari arti yang ditunjukkan oleh pengucapan itu
sendiri. Jadi, dalalah lafadhnya adalah qath'iy. Namun menurut ulama Hanafi, dalam
hadits tersebut terdapat qarinah yang bergeser ke makna lain. Artinya, fungsi zakat
untuk membantu orang miskin. Bantuan bisa dilakukan tidak hanya dengan memberi
kambing, tetapi juga dengan menyerahkan harga kambing yaitu zakat.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Maka konklusi yang dapat kita terima bahwa khâsh adalah lafal yang ditetapkan untuk
menunjukkan makna perseorangan atau individu secara menyendiri, atau menunjukkan yang
khusus Dan hukum khâsh menunjukkan suatu makna secara qath’i (pasti) bukan
bersifat zhanni (prasangka) selama tidak ada dalil yang memalingkannya ke makna yang
lain.

Demikian pemaparan makalah singkat ini saya buat. Alhamdulillah atas segala
limpahan rahmat-Nya serta dukungan dari rekan-rekan makalah ini selesai, walaupun masih
banyak sekali kekurangan di setiap titik tulisan. Harapan penulis semoga pembaca mampu
memahami secara global otoritas khâsh dalam istinbâth hukum Islam sebagai salah satu
aspek ajaran Islam untuk memahami makna-makna lafal setiap hukum dalam suatu nash.
Saran dan kritik yang membangun tentu sangat penulis butuhkan mengingat pembuatan
makalah yang jauh dari kata sempurna. Karena kesempurnaan adalah hak prerogatif Allah
Swt. Wallâhu a’lam

14
DAFTAR PUSTAKA

Hamid, Hisyam Kamil. 2011. al-Imtâ’ bi Syarhi Matn Abî Syuja’. Kairo: Dar al-Manar.
Khallaf, Abdul Wahhab. 2003. ‘Ilmu Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Hadits.
Khudhari, Muhammad. 2003. Ushûl al-Fîqh. Kairo: Dar al-Hadits.
Majma’ al-Lughah al-Arabiyah. 2011. al-Mu’jam al-Wasith. Kairo: Maktabah al-Syuruq
al-Dauliyah.
Syinqithi, Muhammad Amin bin Muhammad Mukhtar. 2011. Mudzakaroh fî Ushûl al-
Fîqh. Kairo: Dar al-Hadits.
Utsaimin, Muhammad bin Shalih. 2012. al-Ushûl min ‘Ilmi al- Ushûl. Kairo:
Muassasah Zad.
Zahrah, Muhammad Abu. Ushûl al-Fîqh. Kairo: Dar al-Fîkr al-‘Arabi
Zaidan, Abdul Karim. 2012. al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh. Beirut: Muassasah ar-Risalah
Nasyirun.
Zuhaili, Wahbah. 2011. Usull al-Fiqh al-Islami. Damaskus: Dar al-Fikr.

15

Anda mungkin juga menyukai