Anda di halaman 1dari 17

"PENCATATAN, PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN"

DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA ISLAM INDONESIA

Disusun Oleh :

Endry 1910102001
Argius Pranata 1930102102
Rika Rahim 1930102101
Pepi 1730102114

Dosen Pengampu :

Dr. Qodariah Barkah, MHI

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN RADEN FATAH PALEMBANG


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... i


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................. 1
C. Tujuan Pembuatan Makalah .................................................................................. 2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hubungan Hukum perdata dan Perkawinan ......................................................... 3
B. PerjanjianPerkawinan ............................................................................................ 4
C. Pencegahan Perkawinan ........................................................................................ 6
D. Pembatalan Perkawinan ......................................................................................... 7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 14
B. Saran .................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... ii

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kehidupan, tidak terlepasnya dari kata hukum. Dimana hukum sendiri juga
merupakan suatu hal yang berupa adanya aturan dan langgaran. Dimana subjek dari
hukum itu sendiri ialah manusia dan badan hukum.

Sehubungan dengan itu, dalam dunia perkawinan juga memiliki hukum dalam
penerapannya. Salah satunya ialah perjanjian , pencegahan dan pembatalan perkawinan.
Perjanjian perkawinan sangat dibutuhkan oleh orang yang hendak menikah. Gunanya
untuk menjadikan suatu pernikahan yang ideal. Salah satu kegunaannya yaitu sebagai
keberlangsungan pendidikan untuk anak-anak yang akan dilahirkannya ketika hendak
mendaftarkannya. Selain pencegahan, adapun pencegahan perkawinan yang dapat
dicegah oleh beberapa pihak yang berwenang. Sama halnya dengan pencegahan,
pembatalan perkawinan juga memiliki faktor-faktor yang mempengaruhi serta syarat-
syarat untuk dilakukannya pembatalan perkawinan tersebut.

Banyak kasus yang terjadi di lingkungan mengenai perkawinan. Baik itu positif
maupun negatif. Untuk itu, diberitahukannya hal-hal yang harus dilakukan dan
pencegahan agar pernikahan dapat berlangsung dengan ideal. Berdasarkan hal tersebut,
makalah ini di tulis guna untuk memberi tahu hal-hal yang perlu diketahui mengenai
perkawinan. Yang tentunya dala m hal ini kita membicarakan mengenai hukum
perkawinan dalam lingkup hukum perdata di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan di bahas pada makalah ini ialah:
1. Apa hubungan hukum perdata dengan perkawinan ?
2. Apakah yang dimaksud dengan pencatatan perkawian ?
3. Apakah yang dmaksud dengan pencegahan perkawian?
4. Apakah yang dimaksud dengan pembatalan perkawinan?

1
C. Tujuan Pembuatan Makalah
Berdasarkan beberapa masalah tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan dari
pembuatan makalah ini ialah:

1. Untuk mengetahui hubungan hukum perdata dan perkawinan

2. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan pencatatan perkawinan


3. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan pencegahan perkawinan
4. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan pembatalan perkawinan

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hubungan Hukum perdata dan Perkawinan

Prof. Bowman dalam bukunya pengantar sosiologi berpendapat bahwa hidup


bermasyarakat adalah hidup beramai-ramai, dimana orang yang satu memandang yang
lain bukan sebagai barang, tetapi sebagai orang, orang berarti mempunyai hak dan
kewajiban Dalam hidup bermasyarakat, dapat timbul hubungan hukum, khususnya
hubungan Hukum Privat dimana satu pihak mempunyai hak untuk memperoleh sesuatu,
sedang pihak lain berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut pihak-pihak disini dapat
berbentuk hubungan hukum antar personal, antara personal dengan lembaga
Negara/swasta ataupun sebaliknya. 1

Hukum Perdata di Indonesia berasal dan bahasa Belanda yaitu Burgerlijk Recht,
bersumber pada Burgerlik Wetboek (B.W), yang di Indonesia di kenal dengan istilah
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Hukum Perdata Indonesia yang
bersumber pada KUH Perdata ialah Hukum Perdata tertulis yang sudah dikodifikasikan
pada tanggal 1 Mei 1848. Dalam perkembangannya banyak Hukum Perdata yang
pengaturannya berada di luar KUH Perdata, yaitu di berbagai peraturan perundang-
undangan yang dibuat setelah adanya pengkodifikasian.

Dalam hubungan antar manusia ini , kita mengenal juga yang namanya perkawinan.
Selain itu secara filosofis, menikah atau berpasangan itu adalah merupakan ciri dari
makhluq hidup. Allah SWT telah menegaskan bahwa makhluq-makhluq ciptaan-Nya
inidiciptakan dalam bentuk berpasangan satu sama lain.2

Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
untuk waktu yang lama. Dalam Pasal 26 KUH Perdata, perkawinan hanya dilihat sebagai
hubungan keperdataan saja. Perkawinan hanya sah jika memnuhi syarat-syarat yang

1 (R.I. 2019, 1)
2 (sarwat t.thn., 12)

3
ditetapkan di dalam KUH Perdata, termasuk di dalam berpoligami adalah suatu
pelanggaran terhadap ketertiban umum, artinya perkawinan tersebut dapat dibatalkan.

Berbeda dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1


menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan rumusan tersebut, bahwa
perkawinan bukan saja ikatan lahir batin tetapi mengikat kedua belah pihak. Sebagai
ikatan lahir batin perkawinan, perkawinan adalah ikatan jiwa karena adanya kemauan
yang sama, yang ikhlas sebagai suami isteri. Perkawinan sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. 3

B. PerjanjianPerkawinan
Perjanjian perkawinan dibuat oleh calon suami dengan calon isteri jika diperlukan
untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan harta kekayaan atau lain-lainya. Perjanjian
itu harus dibuat sebelum akat nikah dilangsungkan atau pada saat mau melakukan akat
nkah. Perjanjian perkawinan dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum.
Karena hukum perkawinan bersifat fakultatif lebih banyak mengatur, maka dalam
beberapa hal boleh disimpangidengan memmbuat perjanjian perkawinan. Dalam KUH
Perdata tentang perjanjian kawin umumnya ditentukan dalam pasal 139 sampai dengan
pasal 154. Menurut ketentuan pasal 139, bahwa “dengan mengadakan perjanjian kawin,
kedua calon suami isteri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari
peraturan Undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak
menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala
ketentuan dibawah ini menurut pasal berikiutnya. Hal ini terjadi karena dalam KUH
Perdata semenjak perkawinan berlangsung semua harta menjadi harta bersama, termasuk
harta yang sudah diperoleh sebelum perkawinan oleh masing-masing dari pasabgan suami
istri itu. Apabila harta yang telah diperoleh sebelum perkawinan berlangsung tidak ingin
dimasukkan kedalam harta bersama, maka harus dibuat perjanjian antara calon suami
dengan calon istri sebelum terjadi akat nikah. Jika sudah dilakukan akat nikah, perjanjian
itu tidak boleh dibuat lagi, karena secara hukum harta iru sudah menjadi harta bersama.

3 (yulia 2015, 32)

4
Meskipun dibenarkan membuat perjanjian kawin, namun tidaklah dibenarkan
sekenhendak hatinya, melainkan harus menjaga etika dan moral yang baik.
Perjanjian perkawinan juga diatur UU Perkawinan. Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974
menyatakan bahwa “pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua pihak
atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh
Pegawai Pencatatan Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
sepanjang pihak ketiga tersangkut (ayat (1)). Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan
bilamana melangar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan (ayat (2). Perjanjian
tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan (ayat (3). Selama perkawinan
berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah,kecuali bila dari kedua belah pihak
ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga (ayat (4)). 4

PerjanjianPerkawinan ini dapat dicontohkan seperti surat nikah dan juga akta
kelahiran anak. Perjanjianperkawinan ini merupakan suatu kewajiban untuk dilakukan.
Walaupun dalam agama, perkawinan tetap dibilang sah walau tidak ada catatan. Namun,
di mata hukum, suatu catatan ini sangat mempengaruhi dampak yang akan dipikul oleh
anak yang akan dilahirkannya. Seperti, jika anak hendak di daftarkan sekolah oleh orang
tuanya, maka orang tuanya harus memberikan berkas seperti catatan nikah dan akta
kelahiran. Maka dari itu, suatu Catatan Perkawinan sangat dianjurkan bahkan diwajibkan
oleh mata hukum agar terciptanya kedamaian dalam pernikahan seseorang.
Di Indonesia, Ketentuan yang mengatur tentang PerjanjianPerkawinan banyak
diperbedatkan. Sebagaimana pada pasal 2 ayat (2) UUP menyatakan bahwa “tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, dalam kaitan
ini pasal 5 ayat (1) dan (2) KHI menegaskan 5:
1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan
harus dicatat.
2. Perjanjianperkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat
Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 dan
Undang-undang No. 32 Tahun 1934.

4 (sanjaya dan faqih 2017, 71-76)


5 Aidil Muhammad, 2007, Hukum Keluarga Islam, IAIN Raden Fatah, hlm.52

5
C. Pencegahan Perkawinan
Pencegahan perkawinan dapat dimaknai dengan usaha untuk menyebabkan tidak
berlangsungnya suatu perkawinan. Pencegahan perkawinan dilakukan sebelum terjadinya
suatu perkawinan. Pasal 13 UU Perkawinan menyebutkan bahwa, perkawinan dapat
dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan. Hakikatnya perkawinan dapat dilangsungkan bila sudah ada sebab-sebab,
rukun, dan syaratnya serta sudah tidak ada lagi hal-hal yang menghalangi terjadinya
perkawinan itu. Artinya, pihak keluarga atau pihak-pihak terkait sudah mengevaluasi
sendiri segala pel rsyaratan kelangsungan perkawinan tersebut. Pihak-pihak itu pula yang
akan bertindak apabila melihat adanya syarat-syarat yang belum terpenuhi. Contoh
misalnya, wali tidak akan melaksanakan perkawinan jika ia tahu calon menantunya itu
tidak seagama dengannya. Hal tersebut dapat dilakukan karena didalam Pasal 61 KHI
telah menyatakan bahwa: “tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah
perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaaf ad-din”.
Pencegahan perkawinan biasanya berkenaan dengan masalah kafaah dan mahar. Kafaah
dan mahar merupakan harga diri dan gengsi dalam suatu keluarga. Pihak keluarga
perempuan merasa harga dirinya jatuh bila anak perempuannya kawin dengan lai-laki
yang tidak sekufu atau status sosialnya lebih rendah. Demikian pula mahar yang diterima
seorang anak perempuan lebih rendah dari apa yang diterima oleh anggota keluarganya
yang lain akan merasa harga dirinya jatuh (Amir Syarifuddin, 2006:151). Karena alasan
itulah biasanya anggota keluarganya yang lain akan mencegah terjadinya suatu
perkawinan diantara kedua pasangan tersebut. Pasal 14 UU Perkawinan mengatur tentang
siapa-siapa yang dapat mencegah terjadinya perkawinan. Lebih lengkapnya sepertitertera
dibawah ini:
(1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus
keatas dan kebawah, saudara, wali nikah,wali pengampu dari salah seorang calon
mempelai dan pihakpihak yang berkepentingan.
(2) Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya
perkawinan apabila salah dari calon mempelai berada dibawah pengampuan, sehingga
dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon
mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut
dalam ayat (1) pasal ini. Tujuan dari pencegahan perkawinan ini adalah untuk

6
menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan peraturan perundang-
undangan. Oleh sebab itu maka suatu perkawinan haruslah memenuhi segala sesuatu yang
memang harus dipenuhi untuk melakukan suatu perkawinan.

D. Pembatalan Perkawinan
Pembatalan perkawinan tidak seharusnya dilaksanakan karena pembatalan
perkawinan sama dengan perceraian di mana memisahkan ikatan perkawinan yang telah
sah menurut agama dan negara. Istilah pambatalan nikah tidak dikenal dalam Islam, akan
tetapi hukum
Islam hanya mengenal fasakh nikah. Fasakh artinya merusakkan atau membatalkan.
Maka fasakh sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan ialah merusakkan atau
membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung. Sedangkan fasakh dapat
disebabkan oleh dua macam yaitu:
1. Disebabkan oleh perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan syarat atau terdapat
adanya halangan perkawinan.
2. Disebabkan terjadinya sesuatu dalam kehidupan rumah tangga yang tidak
memungkinkan rumah tangga itu dilanjutkan.

Dengan demikian, penulis dapat memberikan batasan di sini agar dapa dipahami yang
dimaksud dengan pembatalan perkawinan tersebut, makapembatalan perkawinan penulis
artikan sebagai suatu tindakan guna memperoleh keputusan pengadilan yang menyatakan
bahwa perkawinan yang dilaksanakan batal. 6

Dalam UU Perkawinan Pasal 1 yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan bertujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu
penyebab putusnya perkawinan yaitu atas putusan pengadilan, atau dengan istilah
Pembatalan Perkawinan. Pasal 28 UU Perkawinan menyatakan “batalnya perkawinan
dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan
berlaku sejak perkawinan itu dilakukan.” Dan dalam Pasal 37 PP No. 9 tahun 1975
menyatakan “Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan.” dari

6 (Faisal vol.4 no.1 tahun 2018, 7)

7
dua hal tersebut dapat diperhatikan bahwa perceraian dan pembatalan perkawinan sama-
sama dikatakan putusnya perkawinan baru dinyatakan sah menurut hukum negara apabila
keluar keputusan pengadilan dan dilakukan di muka pengadilan. Pada Pasal 13 UU
Perkawinan menyatakan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkannya perkawinan.Sama halnya dengan pembatalan
perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau isteri itu sendiri, atau oleh para keluarga
sedarah dalam garis lurus keatas, atau oleh mereka yang berkepentingan atas kebatalan
perkawinan tersebut dan atau oleh kejaksaan. 7

Pembatalan perkawinan dikenal pada etimologi islam dengan kata fasakh dari kata fa sa
kha. Kata ini mempunyai arti yaitu merusak, jika dihubungkan dalam perkawinan berarti
merusak perkawinan atau membatalkan perkawinan. Ulama klasik menjelaskan fasakh
dengan penjelasan bahwa itu bentuk dari pisahnya suatu perkawinan selain dari talaq.
Terhadap hal ini 4 ulama mahzab berbeda pendapat seperti : Mahzab syafi’I menjelaskan
konteks fasakh akibat dari ketidakmampuan suami membayar untuk membayar mahar,
menafkahi, memberikan tempat tinggal, fasakh karena li’an, cacat, salah satu pasangan
murtad, diketahui ternyata satu saudara sesusuan. Ulama maliki mempunyai pandangan
perkawinan fasakh jika akadnya yang rusak. seperti kawin kontrak. Ulama hambali
mengatakan bahwa fasakh terjadi jika ada khulu’ tanpa diawali dengan niat talak, ada
cacat badan, dan itu semua harus melalui keputusan seorang hakim. Dan ulama hanafi
memperjelas bahwa fasakh dapat terjadi bila perkawinan itu tanpa para saksi.Fasakh
merupakan sebab dari pembatalan perkawinan, tentunya fasakh memiliki ciri atau tanda
yang dapat membatalkan. Tanda tersebut lebih kepada rukun dan syarat perkawinan yang
ditetapkan syariah. Fasakh karena tidak memenuhi rukun dan fasakh karena tidak
memenuhi syarat ini sama-sama memiliki konsekuensi perkawinan dapat dibatalkan, atau
dapat dicegah bila terdeteksi lebih awal. Tetapi bila merujuk judul pembatalan dalam
perkawinan, penulis berpendapat bahwa perkawinan itu telah dilakukan baru kemudian
ditemukan pelanggaran terhadap rukun dan syarat. Mengingat agar perkawinan itu dapat
dibatalkan, maka sebelumnya harus ada suatu perkawinan yang diselenggarakan.

7 (Permana 2018)

8
Konteks bahasan yang ada pada pembatalan perkawinan sesungguhnya tidak jauh
berbeda dengan konteks bahasan yang ada pada pencegahan perkawinan. Hanya saja
bahasan pada pencegahan perkawinan terjadi sebelum akad nikah dan pencatatan
dilakukan, sedangkan bahasan pembatalan perkawinan ini terjadi pada posisi ketika
perkawinan itu sudah terjadi dan dicatatkan . Menurut kamus besar bahasa Indonesia,
batal diartikan dengan tidak sah, tidak berlaku atau sia-sia. Kata batal ini bila dikaitkan
pada konteks perkawinan maka perkawinan itu diartikan sebagai proses pembuatan dan
membatalkan perkawinan. Hal ini disebabkan oleh hal-hal yang menyebabkan kerusakan
atau cacat pada akad nikah itu sendiri.122 Kita mulai dari pembatalan perkawinan yang
diatur pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang terdapat pada pasal 22 hingga pasal
28. Pada ketentuan tersebut penulis akan merincikan secara sederhana saja tentang poin-
poin bahasan pada bab pembatalan perkawinan di Undang-undang no. 1 tahun 1974.
Adapun poin-poin pembatalaan perkawinan yang ada pada undang-undang no. 1 tahun
1974 sebagai berikut :

1. Perkawinan dapat dimintakan atau diajukan pembatalan apabila kedua belah pihak
mempelai masih terikat perkawinan dengan pihak lainnya.

2. Apabila ingin poligami, maka ia harus mendapat persetujuan dari istri pertamanya
dengan melalui prosedur hukum yang berlaku (izin pengadilan).

3. Perkawinan yang dilakukan oleh petugas pencatat nikah yang tidak memiliki
wewenang.

4. Perkawinan yang dilakukan oleh wali nikah yang tidak sah.

5. Perkawinan yang dilakukan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi.

6. Perkawinan dilakukan dengan ancaman (paksaan) yang berpotensi adanya perbuatan


pelanggaran hukum.

7. Perkawinan yang dilakukan bila terjadi salah sangka tentang mengenai diri suami atau
istri pada waktu berlangsungnya perkawinan.

9
8. Dan sebagai pedoman dasar, bahwa perkawinan yang dilakukan dengan tidak
terpenuhinya syarat perkawinan sebagaimana diatur pada undangundang no. 1 tahun 1974
maka dapat dibatalkan. Seperti contoh perkawinan itu melanggar batas usia dalam
perkawinan. Alasan-alasan diatas ini merupakan sebab-sebab dapat dibatalkannya
perkawinan bersumber dari undang-undang no. 1 tahun 1974. Terhadap alasan diatas,
pihak yang diperbolehkan untuk mengajukan permohonan pembatalan adalah :

1. Keluarga dari mempelai suami atau istri dengan garis keturunan lurus keatas,

2. Suami atau istri

3. Pejabat yang berwenang selama perkawinan belum diputuskan.

Pihak yang hendak melakukan permohonan pembatalan dapat memohon kepada


Pengadilan Agama setempat dimana perkawinan itu dilaksanakan atau sesuai tempat
tinggal suami dan istri. Permohonan pembatalan itu akan diujioleh hakim Pengadilan
Agama untuk diputuskan apakah diterima (dibatalkan) atau ditolak. Putusan sebuah
pengadilan terhadap pembatalan perkawinan ini penting sebagai bentuk kepastian hukum
terhadap pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu pembatalan perkawinan menjadi sah
dan berlaku mengikat setelah putusan pengadilan itu mempunyai kekuatan hukum tetap
Kompilasi Hukum Islam sendiri juga mengatur tentang pembatalan perkawinan. Pada
prinsipnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara sebab pembatalan perkawinan
yang ada pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dengan KHI. Adapun KHI lebih
menyempurnakan sebab pembatalan perkawinan yang lebih dikhususkan pada umat
islam. Hal ini diasumsikan bahwa aturan pembatalan perkawinan dari keduanya bertujuan
untuk memberikan kemaslahatan bagi masyarakat di Indonesia. Adapun sebab-sebab
yang khusus yang memperkuat ketentuan yang ada pada Undang-Undang no. 1 tahun
1974 mengenai pembatalan perkawinan antara lain mengenai :

1. Tidak adanya persetujuan dari kedua calon mempelai (sukarela)

2. Tidak adanya izin dari orang tua/wali terhadap mempelai yang belum berumur 21 tahun

3. Umur mempelai pria mencapai 19 tahun dan mempelai wanita mencapai 16 tahun

10
4. Suami yang ingin menikah lagi (kelima) sedangkan ia tidak berhak karena sudah
mempunyai empat orang istri sekalipun salah satu dari keempat istrinya dalam masa iddah
pada talak raj’I.

5. Menikahi bekas istri yang telah di tuduh zina (di li’an)

6. Wanita yang masih menjadi istri pria lain yang pada saat kawin tidak diketahui secara
jelas keberadaannya (mafqud)

7. Menikahi bekas istrinya yang pernah ditalak tiga kali oleh suaminya, kecuali bekas
istrinya tersebut harus menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai ba’da dhukhul
(disetubuhi) dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.

8. Wanita yang masih dalam masa iddah dari kematian suami.

9. perkawinan itu dapat dibatalkan bila diketahui ternyata pada saat akad atau akan akad
mempelai wanita adalah bagian dari wanita yang dilarang untuk dikawini. Misalnya ada
hubungan darah, garis keturunan baik, ada hubungan semenda, satu sesusuan, ataupun
dilarangan oleh agama.

10. Menikah tanpa wali atau dilakukan oleh wali yang tidak berhak.

11. Perkawinan yang pelaksanaannya dengan ancaman, paksaan, atau salah sangka.

Terhadap kasus seperti ini, maka itu diberikan jangka waktu 6 bulan masa perkawinan.
Apabila pembatalan itu tidak dajukan, maka hak untuk mengajukan pembatalan
perkawinan menjadi gugur. Ada beberapa sebab fasakh atau pembatalan nikah yang
diuraikan oleh ulama klasik menurut kajian fiqihnya. Kajian fiqih tersebut disampaikan
dalam pendapat ulama mahzab syafi’I mengenai penyebab fasakh. Walaupun sedikit
berbeda, tetapi pendapat beliau mengenai fasakh perkawinan sejalan dengan apa yang ada
pada peraturan perundang-undangan seperti :

1. Murtadnya seorang suami dan ia sama sekali tidak mau kembali pada agama islam,
maka kemurtadannya yang terjadi setelah perkawinan menyebabkan akadnya fasakh.

11
2. Suami yang tadinya non muslim kemudian masuk islam, tetapi istrinya tetap dalam non
muslim, akad akadnya fasakh. Berbeda jika si istri adalah ahli kitab, walaupun wanita ahli
kitab sekarang diindikasikan tidak ada lagi.

3. Diketahui setelah kawin, bahwa didalam diri suami atau istri ada kecacatan, baik itu
cacat jasmani atau rohani. Dengan alasan tertentu, cacat ini berlaku alasan fasakhnya
perkawinan.

4. Suami meninggalkan istri dan tidak diketahui kemana perginya sehingga tidak
diketahui keberadaannya dalam waktu yang lama.

5. Fasakh karena salah satu pasangan melanggar perjanjian, maka pihak yang dirugikan
dapat mengajukan fasakh.

6. Fasakh karena ketidakmampuan suami dalam melakukan kewajiban didalam


perkawinan. Seperti member nafkah lahir dan batin.

Contoh dari pembatalan perkawinan ini yaitu , Pembatalan perkawinan yang terjadi di
wilayah hukum Kota Lubuklinggau dengan Putusan No.796/Pdt.G/2010/PA.LLg., 10
Desember 2010, faktor penyebabnya karena “wali nikah yang tidak berhak”. Karena
perkawinan yang kedua dilakukan tanpa menggunakan prosedur yang ditentukan dan
banyak ditemukan data identitas yang tidak sesuai dengan data sebenarnya. Hal tersebut
sesuai dengan ketentuan Pasal 71 KHI sub “e” bahwa: perkawinan dilangsungkan tanpa
wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak. Wali nikah dalam Islam merupakan
rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai perempuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 20 KHI. Wali nikah tersebut terdiri dari wali nasab dan wali hakim yaitu seorang
laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam. Dari beberapa aturan tersebut berkaitan
8
dengan hukum.

Dari sekian sebab fasakh yang menjadi pendapat ulama syafi’I diatas, pada
prinsipnya telah diakomodir didalam ta’lik talak perkawinan. Artinya proses fasakh atau
pembatalan perkawinan sama dengan proses fasakh dalam konteks ke permasalahan
talak. Pembatalan perkawinan mulai dapat diberlakukan apabila sudah ada putusan dari

8 (Turatmiyah, syaifudin dan Novera 2015)

12
Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Artinya putusan itu dibuat setelah
dilakukan proses persidangan dan pembuktian di hadapan majelis hakim. Masa waktu
pemberlakukan pembatalan dimulai sejak waktunya akad perkawinan atau saat
berlangsungnya perkawinan. Tentunya putusan\ pembatalan perkawinan yang telah
berkekuatan hukum tetap menimbulkan akibat hukum, adapun itu antara lain:

1. Putusnya perkawinan

2. Pisah karena fasakh tidak mengurangi bilangan talak

3. Pembatalan perkawinan sebelum adanya hubungan suami istri, istri berhak atas
maharnya

4. Wanita tersebut memiliki masa iddah seperti talak

5. Wanita tersebut tidak berhak atas nafkah, mewarisi.

6. Bila ada anak yang dilahirkan setelah dilakukan pembatalan, maka pembatalan tidak
berlaku surut terhadap anak yang dilahirkan. Karena batalnya suatu perkawinan tidak
memutus hubungan antara anak dan orang tua. Mengingat ini berkaitan dengan
pertimbangan kemanusiaan dan untuk kebaikan anak.9 anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan yang dibatalkan tetap merupakan anak yang sah dari kedua orang tuanya. Hal
ini didasarkan pada kemanusiaan dan kepentingan anak untuk mendapatkan perlindungan
hukum. Dengan demikian, anak-anak yang dilahirkan itu mempunyai status hukum yang
jelas dan resmi sebagai anak dari orangtua mereka. Sedangkan untuk masalah harta
kekayaan, anak-anak tersebut tetap mempunyai hak untuk dipelihara dan dibiayai semua
kebutuhannya oleh kedua orangtuanya karena tetap dianggap sebagai anak yang sah, dan
juga anak-anak tersebut tetap mendapat bagian harta kekayaan dari orangtuanya sebagai
hak mereka meskipun perkawinan orangtua mereka telah putus atau batal. 10

9 (Jamaluddin dan Amalia 2016, 56-58)


10 (Permana 2018)

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Manusia sebagai subjek hukum sebaiknya mematuhi hukum yang ada. Hukum
tidak akan ada jikalau tidak adanya subjek hukum. Berhubungan dengan hal tersebut, di
dalam hubungan perkawinan juga dilandasi dengan hukum. Salah satu hukum berlaku
pada perkawinan yaitu dalam pencatatan, pencegahan dan pembatalan perkawinan.

Perjanjianperkawinan yang berdasarkan Pasal 2 UU 1/1974, yang menyatakan


bahwa suatu perkawinan akan sah jika dilandasi dengan hukum-hukum yang berlaku serta
kesamaan dalam agama tiap calon. Tidak hanya itu, pencegahan perkawinan juga dibahas
dalam makalah ini. Suatu pencegahan dapat dilakukan oleh pihak suami, isteri ataupun
pihak hukum yang berlaku. Pembatalan perkawinan dapat dilakukan jika tidak memenuhi
syarat dan hukum dalam perkawinan.

B. Saran

Menikah memang suau yang lumrah untuk kebanyakan orang. Namun, tidak
banyak pula yang memahami hakikat nikah itu sendiri. Maka dibutuhkannya suatu
pengetahuan yang matang dan juga umur yang cukup sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku. Untuk itu, diberlakukannya hukum-hukum perkawinan sebagaimana yang
ada pada makalah ini agar kita senantiasa mengetahuinya, terlebih untuk pemuda-pemuda
yang hendak melaksanakan pernikahan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Ariane Utomo, Oki Rahadianto Sutopo. “pemuda , perkawinan dan perubahan sosial
diIndonesia.” jurnal studi pemuda, volume 9 nomor 2 tahun 2020: 77-87.
Faisal. “pembatalan pernikahan dan pencegahan.” Al-Qadha : jurnal hukum dan
perimdang - undangan, vol.4 no.1 tahun 2018: 7.
Jamaluddin, dan Nanda Amalia. Buku ajar hukum perkawinan . lhokseumawe: Unimal
Press, 2016.
Permana, Angga. “pembatalan perkawinan mmenurut UU No.1 Tahun 1974 Dengan
kitab Undang-Undang Hukum Perdata.” artikel ilmiah, 2018: 9.
R.I., Tim penyusun modul badan diklat kejaksaan. Modul hukum acara perdata. jakarata:
badan pendidikan dan pelatihan kejaksaan, 2019.
sanjaya, umar haris, dan ainur rahim faqih. hukum perkawinan islam. yogyakarta: GAMA
MEDIA , 2017.
sarwat, ahmad. fikih nikah. rumah fikih publishing, t.thn.
Turatmiyah, Sri, M. syaifudin, dan Arfianna Novera. “Akibat hukum pembatalan
perkawinan dalam perspwktif hukum perlindungan anak dan perempuan di
Pengadilan Agama Sumatera Selatan.” jurnal hukum IUS QUIA IUSTUM NO1
VOL.22, 2015: 168.
yulia. buku ajar Hukum perdata . lhokeumawe: CV.BieNa Edukasi, 2015.
Abdul Ghozali Rahman, M.A., Fiqh Munakahat, Jakarta, 2010.

ii

Anda mungkin juga menyukai