Anda di halaman 1dari 10

IMAM AL-BUWAITHI

Analisis Pemikiran Dan Karya Imam Al-Buwaithi

Oleh : M. Halim Asnawi


Forum Kajian dan Diskusi Mahasiswa
Program Studi Perbandingan Mazhab
Fakultas Syariah Dan Hukum
Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang

A. Biografi Imam Al-Buwaithi


Nama lengkap Imam Al-Buwaithi adalah Yusuf Bin Yahya, Abu Ya’qub Al
Buwaithi. Lahir di sebuah desa bernama Buwaith di Mesir dan nama Al-
Buwaithi itu sendiri di nisbahkan kepada desa tempat lahir dan tinggalnya. Imam
Al-Buwaithi wafat pada bulan rajab tahun 231 H. Kepergian ulama besar
pembawa kebenaran ini membuat para ulama di segala penjuru merasakan oase
ilmu pengetahuan baru (jadidah) seperti hilang tertimbun. Dan benar tentang
firasat Imam Syafi’i mengenai murid-muridnya yang diungkapkan ketika masih
hidup.
Suatu hari Imam Syafi’i berkata kepada muridnya yang bernama Imam Al-
Muzanni dan Imam Al-Buwaithi, ”Aku melihat kepada Al-Muzanni
bahwasannya engkau akan mati dalam perdebatan dan kepada Al-Buwaithi,
engkau akan mati dalam sebuah penjara”.1 Dan benar apa yang dikatakan Imam
Syafi’i bahwasannya Imam Al-Buwaithi menghembuskan nafas terakhir di
dalam penjara menjadi kenyataan.
Perjalanan Imam Al-Buwaithi mulai dari nol hingga wafat dapat menjadi
suri tauladan bagi umat manusia bahwa memperjuangkan Islam itu hakikatnya
membutuhkan pengorbanan dan kerja keras. Keberanian Imam Al-Buwaithi
untuk menyatakan kebenaran sebagai sikap kepahlawanan juga merupakan hal
yang sulit ditiru oleh orang lain.

1 Al-Madkhola Ila Mazhabil Imamissy Syafi’i Taklif Dr. Ikram Yusuf Umar Al Qasyimy
Taqdsim Fadhilah Ustadz Dr. Musthafa Sa’id Al Khan. Hal. 100-102
1. Riwayat Pendidikan
Bermula dari masa kecil Imam Al-Buwaithi dengan memulai belajar
menghafal Al-Qur’an, kemudian belajar fiqih, tafsir, ilmu kalam, bahasa
Arab dan ilmu-ilmu yang lain. Imam Al-Buwaithi sebelumnya bersandar
pada mazhab Imam Malik kemudian berpindah kepada mazhab Syafi’i
setelah Imam Syafi’i datang dan menetap di Mesir. Imam Al-Buwaithi
menjadi murid utama dan dianggap spesial oleh Imam Syafi’i sampai
dengan wafat. Dan menjadi salah satu murid yang menyebarkan mazhab
Syafi’i kepada masyarakat diantara Imam-imam besar lainya.

2. Dedikasi Dalam Dunia Pendidikan


Imam Al Buwaithi memimpin Lembaga Nahi Munkar atas perintah
yang diberikan oleh Imam Syafi'i, bersama jajaran imam-imam lainnya
bahu-membahu mencegah maksiat di Mesir. Imam Al-Buwaithi juga
memiliki kebiasaan baik melalui dedikasinya yang tidak hanya di dunia
pendidikan yaitu dengan membangun fasilitas umum untuk masyarakat, dan
tidak jarang juga Imam Al-Buwaithi mendapatkan kepercayaan dari Imam
Syafi’i untuk berfatwa.
Dalam satu kisah diceritakan bahwa suatu hari, datanglah seseorang
kepada Imam Syafi’i untuk meminta fatwa atas garis pembatas tanah namun
Imam Syafi’i tidak menjawab tetapi beliau membawa permasalahan tersebut
kepada Imam Al-Buwaithi seraya berkata,“Orang ini (Imam Al-Buwaithi)
adalah lisanku ”. Sehingga dengan dibawanya masalah tersebut kepada
Imam Al-Buwaithi, masalah tersebut dapat terselesaikan sebagaimana yang
diharapkan Imam Syafi’i.
Dalam satu riwayat lain yang serupa diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim
dengan sanadnya sampai kepada Ar Rabi’ bin Sulaiman Al Murodi: “Bahwa
Abu Ya’qub Al-Buwaithi memiliki kedudukan (tinggi) di sisi Asy syafi’i.
Dahulu ada seorang lelaki bertanya kepada Imam Syafi’i tentang satu
permasalahan maka Imam Syafi’i berkata: “tanyakan kepada abu ya’qub.”
Maka setelah abu ya’qub menjawabnya, lelaki tadi mengabari Asy syafi’i
akan jawaban Abu Ya’qub. Kemudian beliau berkata: “Jawaban atas
permasalahanmu adalah sebagaimana perkataannya (abu ya’qub)”.

3. Sejarah Terpilihnya Sebagai Penerus Majlis (Kursi Syaikh Imam


Syafi’i)
Diriwayatkan oleh Al Baihaqy dengan sanadnya sampai kepada Imam
Ar Rabi’ Al Murodi bahwa ketika Imam Syafi’i sakit yang mengantarkan
kepada wafatnya datanglah Muhammad bin Abdillah bin Abdil Hakim yang
berselisih dengan Imam Al Buwaithi untuk memegang “kursi syaikh” di
majlis Imam Syafi’i. Maka datanglah Imam Al humaidi yang ketika itu
berada di mesir, beliau berkata : “Imam Syafi’i berkata “Tidak ada seorang
pun yang berhak atas majlisku dari pada Yusuf bin Yahya, dan tidak ada
seorang dari ashab-ku yang lebih ‘alim darinya (Al-Buwaithi)…”
Imam Syafi’i berwasiat kepada para muridnya untuk terus berada di
majlis Imam Al-Buwaithi. Oleh karena itulah Imam Al-Buwaithi selalu
menggantikan peranan Imam Syafi’i dalam segala hal setelah beliau wafat.
Puncaknya, tidak sedikit para murid Imam Al-Buwaithi yang menjadi imam
dan menyebar keseluruh penjuru dunia. Bersamaan dengan derajat dan
kemasyhuran Imam Al-Buwaithi yang terus naik daun, tidak sedikit orang
yang dengki dan ingin menjatuhkan beliau.
Imam Al-Buwaithi adalah seorang yang sangat ‘alim bahkan masih
lebih unggul dari dua murid utama Imam Syafi’i yang lainnya yakni Imam
Al-Muzani dan Imam Ar-Rabii’ Al-Murodi, namun dua Imam yang terakhir
ini lebih banyak karyanya dan lebih sering disebutkan di dalam kitab-kitab
syafi’iyyah daripada Imam Al-Buwaithi. Hal ini dikarenakan Imam Al-
Buwaithi dipenjara oleh Khalifah Al Watsiq dan diseret dalam keadaan
membawa belenggu besi yang berat dari mesir ke baghdad dikarenakan
mempertahankan aqidah salafiyyah bahwa Al qur’an kalamullah bukan
makhluk.
Sementara dua murid Imam Syafi’i yang lain berusia cukup panjang
yakni lebih dari 30 tahun dari usia Imam Al-Buwaithi. Sehingga kesempatan
untuk mengajarkan madzhab Syafi’iyyah lebih banyak dan lebih banyak
murid-murid yang meriwayatkan dan menasabkan kitab-kitab Imam Syafi’i
kepada mereka berdua.

B. Analisis Pemikiran dan Karya Imam Al-Buwaithi

1. Melawan Paham Mu’tazilah Hingga Disiksa dan Dimasukkan Kedalam


Penjara Sampai Wafat
Dikisahkan dalam kitab Al-Madkhola Ila Mazhabis Syafi’i bahwa Abu
Laits Al-Hanafi iri dengan pangkat dan derajat daripada Imam Al-Buwaithi
dalam Mazhab Syafi’i dan disisi manusia. Atas dasar sifat tersebut Abu Laits
Al-Hanafi melaporkan kepada Khalifah Al-Watsiq mengenai pemikiran
Imam Al-Buwaithi yang menganggap bahwa Al-Qur’an kalamullah
bukanlah makhluk yang mana ketika itu sedang terjadi fitnah Khalqul
Qur’an. Abu Laits Al-Hanfi ingin menjebak Al-Buwaithi dengan pertanyaan
seputar Khalqul Qur’an, pertanyaan ini pada dasarnya memanglah diujikan
kepada semua ulama kala itu, bagi yang tidak setuju dengan khalifah Al-
Watsiq akan dipenjara.
Dikisahkan dalam kitab Mukhtashar Al-Muraddi bahwa kala itu kota
Baghdad jatuh dalam cengkraman Mu’tazilah, mereka menyebarkan doktrin
bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan menyiksa dengan kejam bagi siapa
saja yang berselih paham dengan mereka. Banyak ulama Baghdad yang
menyerah dan terpaksa mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk sebab
tak kuasa menerima siksaan tersebut.
Abu Bakar Al-Asyam yang ditunjuk oleh khalifah Al-Watsiq kala itu
sebagai Hakim Tinggi kaum Mu’tazilah lalu menyurati Hakim Agung
Ahmad bin Abi Daud untuk menangkap Imam Al-Buwaithi. Imam Al-
Buwaithi menegaskan pada gubernur Mesir: ”Pengikutku berjumlah ratusan
ribu, sesatlah mereka jika aku berpura-pura hanya agar selamat dari siksa”.
Maka dibelenggulah Imam Al-Buwaithi dan digiring ke Baghdad.
Dalam kitab yang sama Imam Al-Muraddi menceritakan “Aku
menyaksikan Imam Al Buwaithi dinaikkan ke kuda. Di lehernya ada
belenggu besi seberat 40 pon (17 kg/khilafiyah). Tangan dan kakinya
disatukan dalam satu borgol. Di antara belenggu leher dengan borgol
menjuntai rantai besi seberat 40 pon. Terjadinya peristiwa tersebut
disebabkan jawaban Imam Al-Buwaithi terkait Khalqul Qur’an,
sebagaimana jawaban Imam Al-Buwaithi ialah “Allah ciptakan makhluknya
dengan berfirman ‘KUN’, maka jadilah. Seandainya firman KUN ini
makhluk maka konsekuensinya Khaliq menciptakan makhluq yang
menciptakan makhluq (lagi). Seandainya aku bertemu khalifah Al Watsiq,
akan kusampaikan padanya tentang hal ini.”
Sayangnya justru karena ucapan tersebut Imam Al-Buwaithi dihalang-
halangi agar tidak berjumpa dengan khalifah Al Watsiq Billah. Salah seorang
pengawal Mu’tazilah mencatat ucapan dan hujjah beliau kemudian
melaporkannya pada Hakim Agung Ahmad bin Abi Daud, ia pun kaget
mengetahui betapa cerdas Imam Al Buwaithi hingga mampu merubah faham
Mu’tazilah hanya dengan beberapa kalimat, maka Ahmad bin Abi Daud
semakin menghalangi Imam Al-Buwaithi untuk berjumpa khalifah Al-
Watsiq Billah
Gubernur Mesir khalifah Al-Watsiq Billah yang sangat menghormati
Imam Al-Buwaithi sebagai ulama sekaligus penerus Kursi Syaikh Imam
Syafi’i tidak dapat melakukan apa-apa dan hanya bisa berpangku tangan
melihat kembali kejadian yang pernah menimpa Imam Ahmad bin Hambal
hingga merenggut nyawanya dan kemudian hal yang sama akan menimpa
Imam Al-Buwaithi.
Mewarisi ketajaman logika daripada gurunya yakni Imam Syafi’i,
kefasihan berbahasa dan kesantunan akhlaknya menjadikan sebab Imam Al-
Buwaithi diisolasi pada masa itu. Para pembesar Mu’tazilah khawatir
terhadap hal tersebut akan merenggut perhatian Khalifah yang selama ini
mereka nikmati sesuai dengan jalan pemikiran mereka sehingga
mengakibatkan Imam Al-Buwaithi mengalami hal keji sebagaimana
dikisahkan.
Sungguh naas dikisahkan oleh Imam Al-Muraddi bahwa Imam Al-
Buwaithi dikurung dalam penjara bawah tanah selama 4 tahun. Beliau paling
tersiksa ketika tidak diperbolehkan beribadah dan sulit menentukan waktu
sholat, hingga beliau menjadikan waktu-waktu siksa cambukan sebagai
patokan waktu sholat karena sudah berbulan-bulan hingga bertahun-tahun
tidak pernah melihat matahari.
Meski mengalami hal sedemikian keji dan kerasnya, Imam Albuwaithi
masih bisa melakukan kebiasaannya seperti membaca atau mengulang-ulang
bacaan Al-Qur’an sebab beliau hafal, berdzikir dan sholat malam (dengan
patokan waktu saat disiksa) secara sembunyi-sembunyi, tidak ada waktu
kosong yang disia-siakannya. Dikisahkan dalam kitab Mukhtashar Al-
Muzanni, Imam Abu Ibrahim Ismail Ibn Yahya Al-Muzani berkata “suatu
ketika setiap hari jum’at Imam Al-buwaithi selalu membersihkan diri dan
mandi untuk melaksanakan sholat jum’at, setiap kali beliau perkirakan
sudah masuk waktu sholat, beliau akan berdiri di depan pintu penjara
seraya berkata dan berdoa “ya Allah, aku hendak memenuhi panggilanmu,
namun mereka jelas-jelas menghalangiku”, sehingga demikianlah keadaan
Imam Al-Buwaithi ini”.
Dikisahkan di berbagai kitab, salah satunya dalam kitab yang sama
yang ditulis oleh Imam Rabii’ Ibn Sulaiman “Suatu hari, Imam Al-Buwaithi
menulis di atas sobekan bajunya yang kumal, dengan tinta darah dari
jemarinya, ia berusaha menulis surat untuk ulama lainnya. Seorang penjaga
penjara yang bersimpati kepadanya dan mau menyampaikan surat itu. Tapi
ia tidak tahu kepada siapa surat itu disampaikan. “Siapapun yang kau
anggap ulama dan masih istiqamah untuk tidak sudi mengatakan al-Qur’an
itu makhluk.” kata Imam Buwaithi kepada penjaga tersebut.
Padahal kala itu di kota Baghdad dan sekitarnya kebanyakan ulama
berdiam diri dan bersembunyi karena yang istiqamah menyatakan al-Qur’an
kalamullah akan dibunuh atau dipenjara sebagaimana Imam Al-Buwaithi.
Pada akhirnya penjaga itu rela meninggalkan pekerjaanya dan pergi ke
Khurasan untuk menemui seorang ‘alim ahli hadits bernama Imam Adz
Dzahali di majelisnya. Imam Adz Dzahali beserta muridnya menangis ketika
surat sederhana itu dibacakan. Isinya berbunyi, “Aku terhalang untuk bersuci
dan beribadah. Do’akan aku agar Allah mengaruniakan jalan terbaik bagi
hamba lemah sepertiku ini.”
Setelah membaca surat itu majelis berdo’a bersama-sama sambil
menangis karena terbayang betapa berat cobaan yang ditanggung oleh Imam
Al-Buwaithi sebagaimana diceriatakan mantan penjaga penjara yang
menghantarkan surat tersebut. Mungkin atas do’a daripada majlis Imam Adz
Dzahali juga Allah memberi jalan terbaik bagi Imam Al Buwaithi. Di tahun
231 H Imam Al-Buwaithi wafat dalam keadaan terbelenggu rantai dalam
penjara. Sebelum meninggal ia berulangkali mengucapkan syahadat serta
pernyataan bahwa al-Qur’an itu kalamullah.
Sehingga berakhirlah penderitaan Imam Buwaithi seperti penutup
kalimat wasiatnya pada Imam Rabi’ ibn Sulaiman; “Aku tahu akan mati
dalam penjara sebagaimana yang telah disampaikan oleh guruku Imam
Syafi’i agar umat nantinya tahu harga kebenaran yang ditebus dengan
nyawa dan derita para ulama. Ini layak dilakukan demi kebenaran sejati.”
Imam Rabi’ ibn Sulaiman menyatakan bahwa hal ini tepat seperti firasat
Imam Syafi’i saat menyatakan bahwa Imam Rabi’ kelak yang banyak
meriwayatkan ilmunya “Abdullah ibn Abdil Hakam akan kembali ke
Madzhab ayahnya yaitu Maliki dan Al Buwaithi akan gugur dalam penjara”.
Pemikiran daripada Imam Al Buwaithi yang memegang teguh
kebenaran ini layak dijadikan suri tauladan bagi ummat manusia, mengingat
di zaman sekarang kebenaran sudah sangat sulit ditegakkan. Hal ini juga
menjadi tugas wajib bagi para pelajar-pelajar syariah dimana kebenaran
harus berdiri diatas segalanya dan mematahkan statement bahwa berbohong
demi kebaikan itu tidaklah benar. Sekali di hukumi berbohong tetaplah
berbohong dan berdosa.

2. Karya Imam Al-Buwaithi


a. Sejarah Kitab Al Umm
Imam Syafi’i hidup dimasa menggeliatnya dunia penulisan kitab.
Sudah ada sejumlah ulama yang berhasil menuliskan karya-karyanya di
masa itu. Maka pada saat usia masih remaja pun, di Mekah beliau pernah
meminjam satu kitab untuk dibaca dan dihafalkannya. Hafalan kitab
itulah yang menjadi modal besar untuk menjadi murid penulisnya di
Madinah kelak.
Pada saat berada di Iraq, beliau diminta oleh banyak muridnya untuk
membantah buku-buku yang ditulis oleh para Ahlir Ra’yi. Namun karena
beliau hanya pernah mendengarnya dan belum pernah membacanya,
beliau minta buku-buku tersebut untuk dibaca terlebih dahulu. Maka
dikirimkanlah akhirnya kepada beliau karya-karya Muhammad ibn
al Hasan As Syaibani. Setelah mengkajinya selama kurang lebih satu
tahun, akhirnya beliau mulailah menuliskan kritik atas karya As Syaibani
tadi.
Kritik itulah yang kemudian menjadi sebuah kitab bernama Al
Hujjah. Beberapa riwayat menyebutkan nama lain seperti Al Mabsuth, Al
Baghdadi bahkan juga Al Umm. Tentang cerita ini, kita simak langsung
bagaimana proses awal penulisan tersebut dari salah satu murid Imam
Syafi’i yang bernama Imam Al-Buwaithi. Sebagaimana tercatat dalam Al
Manaqibnya Imam Baihaqi, Imam Al-Buwaithi mengisahkan apa yang
beliau dengar langsung dari As Syafi’i:
‫واليمكننرحنأنظ‬،‫فقلتالأعرفقولهم‬،ً‫فاجتمعأصحابالحديثعلىأنأضععلىرأبحنيفةكتابا‬
‫ثموضعتعليهم رفكتبهم‬،‫فنظرتفيهاسنة فحفظتها‬،‫فأمرتفكتبتلكتبمحمدبنالحسن‬
“...Maka para ashabul hadits berkumpul memintaku untuk menuliskan
satu buku yang menyanggah madzhab Abu Hanifah. Aku katakan, Aku
tak mengenal pandangan mereka. Tak mungkin Aku tuliskan kecuali
setelah meneliti kitab-kitab mereka. Maka diberikanlah kepadaku
kitab-kitab Muhammad ibn Al Hasan. Aku membacanya selama setahun
dan menghafalnya. Barulah kemudian aku tuliskan Kitab Al Baghdadi
itu.” (Al Baihaqi, Manaqib As Syafi’i, hal. 163-164)
Terkait dengan permintaan penulisan, ada juga kisah lain yang
merupakan awal-awal penulisan karya Imam Syafi’i. Yaitu tentang
permintaan Ibnu Mahdi dalam menulis Ar Risalah. Sebagian penulis
bibliografi, memasukkan kitab Ar Risalah sebagai bagian dari kitab Al
Umm. Karenanya beberapa cetakan Al Umm -misalnya tahqiq Dr. Rif’at
Fauzi- juga menyertakan Ar Risalah di dalamnya. Ar Risalah awalnya
adalah tulisan yang dimintakan kepada Imam Syafi’i oleh pakar hadits di
zamannya yaitu Abdurrahman ibn Mahdi.
Imam Syafi’i diminta menjelaskan tentang bagaimana memahami
ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka
dituliskanlah kitab Ar Risalah (Al‘Iraqiyah) itu yang kemudian membuat
Ibnu Mahdi sangat terkagum-kagum dengan ilmu Syafi’i itu. Sampai-
sampai sejak itu beliau tak pernah luput untuk medoakan Imam Syafi’i di
setiap shalatnya.2

b. Mukhtashar al-Buwaithi
Kitab Mukhtashar al-Buwaithi (‫ )مختصر البويطي‬adalah sebuah karya
fiqh dalam mazhab Syafi’i yang disusun oleh al-Imam Abu Ya’qub
Yusuf bin Yahya al-Buwaithi, seorang murid kesayangan Imam al-
Syafi’i. Beliau dilahirkan di Mesir dan wafat dalam penjara di kota
Baghdad pada tahun 231H.Imam Syafi’i pernah berkata tentang al-
Buwaithi, “ Tidak ada seorangpun di antara muridku yang lebih berilmu
dari al-Buwaithi ”. Imam al-Syafi’i pernah memberikan kebenaran
kepada al-Buwaithi memberikan fatwa dan mengizinkan al-Buwaithi
menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan di dalam majlis pengajaran
beli0au.
Kitab Mukhtashar al-Buwaithi merupakan ringkasan bagi kitab al-
Umm karya Imam al-Syafi’i. Dikatakan juga ia merupakan ringkasan
dari beberapa karya al-Buwaithi yang disusun berdasarkan pengajaran

2 Sutomo Abu Nashar. L.C Sekilas Tentang Kitab Al Umm Karya Imam Syafi’i,
Jakarta:Rumah Fiqhih Publishing, 2019. Hal, 19-21
Imam al-Syafi’i, yaitu; Kitab al-Mukhtashar al-Kabir, al-Mukhtashar al-
Shaghir dan al-Faraidh. Kitab al-Mukhtashar ini, walaupun dianggap
sebagai ringkasan “Kitab Al Umm” karya Imam al-Syafi’i, namun
begitu Imam al-Buwaithi tidak hanya sekadar meringkaskan sahaja,
beliau juga ada menambahkan beberapa hasil ijtihadnya terhadap
sejumlah masalah yang terkadang menyelisihi ijtihad Imam al-Syafi’i.
Kitab ini menjadi salah satu rujukan utama para ulama
terkemudian, bukan sahaja dari kalangan Syafi’iyah seperti al-Juwaini,
al-Syairazi, al-Ghazali, al-Mawardi, al-Rafi’i, dan al-Nawawi, bahkan
juga di kalangan para ulama mazhab yang lain. Kitab Mukhtashar al-
Buwaithi ini telah dicetak dan diterbitkan dalam satu jilid untuk pertama
kalinya oleh Dar al-Minhaj. Cetakan ini berdasarkan kitab yang ditahkik
oleh Prof. Dr. Ali Muhyiddin al-Qarhdaghi. Usaha pengeditan kitab ini
berdasarkan tiga buah manuskrip lama, yang tersimpan lebih dari 1200
tahun tanpa usaha penerbitannya. Usaha pengeditan ini telah dimulakan
sejak tahun 1980, baru tahun 2015 kitab ini dapat diterbitkan dengan
ketebalan 1152 halaman.

Anda mungkin juga menyukai