Anda di halaman 1dari 43

NAMA : TANTRI WIDIANA PUTRI

NIM : 90300120085

KELAS : ILMU EKONOMI C

MATA KULIAH : ILMU HADIS

DOSEN : M. KHAEDIR, S.TH.I., M.AG.

RESUME ILMU HADIS

Judul : Ulumul Hadits

Tahun terbit : 2008

Penulis : Drs. M. Solahudin, M.Ag & Agus Suyadi, Lc.M.Ag.

Penerbit : CV Pustaka Setia

BAB I

PENGERTIAN HADITS DAN BENTUK-BENTUK HADITS

A. PENGERTIAN HADITS

1. Pengertian Hadits secara etimologis

Menurut Ibn Manzhur, kata ‘hadis ‘ berasal dari bahasa arab, yaitu al-hadist, jamaknya al-Ahadist ,
al-Hadistan dan al-hudtsan. Secara etimologis , kata ini memiliki banyak arti, diantaranya al-jadid
(yang baru) lawan dari al-qadim (yang lama), dan al-khabar, yang berarti kabar atau berita.

2. Pengertian Hadits Secara Terminologi

Secara terminologis, para ulama, baik muhaditsin, fuqaha, ataupun ulama ushul, merumuskan
pengertian hadits secara berbeda-beda. Perbedaan pandangan tersebut lebih disebabkan oleh
terbatas dan luasnya objek tinjauan masing-masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan
pada aliran ilmu yang di dalaminya. Ulama hadis mendefinisikan hadis sebagai berikut : “Segala
sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal
ihwal Nabi.”. Adapun menurut istilah para fuquha, hadis adalah: “Segala sesuatu yang ditetapkan
Nabi SAW yang tidak bersangkut paut dengan masalah-masalah fardhu atau wajib.”

B. PENGERTIAN SUNNAH, KHABAR, DAN ATSAR

1. Pengertian Sunnah

Menurut bahasa, Sunnah adalah : jalan yang dilalui, baik terpuji atau tercela.
Kalau menurut istilah, sunnah atau hadits adalah : hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad Saw,
baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan maupun sifat beliau, baik berupa sifat fisik, moral,
maupun perilaku sebelum beliau menjadi Nabi maupun sesudahnya.

2. Pengertian Khabar

Secara bahasa berarti berita atau warta yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain.
Sedangkan menurut istilahyaitu segala sesuatu yang disandarkan atau berasal dari Nabi SAW atau
dari yang selain Nabi SAW.

3. Pengertian Atsar

Dari segi bahasa, atsar berarti bekas sesuatu atau sisa sesuatu. Menurut banyak ulama, atsar
mempunyai pengertian yang sama dengan khabar dan hadis, namun menurut sebagian ulama
lainnya atsar cakupannya lebih umum dibandingkan dengan khabar.

C. BENTUK-BENTUK HADITS

Bentuk-bentuk hadits terbagi pada qauli (perkataan), fi’li (perbuatan), taqrir (ketetapan), hammi
(keinginan), ahwali (hal ihwal), dan lainnya.

1. Hadits Qauli

Hadits qauli adalah segala bentuk perkataan, atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW, yang
berisi berbagai tuntutan dan petunjuk, peristiwa, syara’, dan kisah, baik yang berkaitan dengan
aspek aqidah, syari’at maupun akhlak.

2.Hadits Fi’li

Hadits fi’li adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi SAW. Dalam hadits tersebut
terdapat berita tentang perbuatan Nabi SAW, yang menjadi anutan perilaku para sahabat pada saat
itu dan menjadi keharusan bagi semua umat Islam untuk mengikutinya.

2. Hadits Taqriri

Hadits taqriri adalah segala ketetapan Nabi terhadap apa yang datang/ di lalukan oleh para
sahabatnya. Nabi SAW membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para
sahabatnya, tanpa memberikan penegasan, apakah beliau membenarkan atau
mempermasalahkannya.

3. Hadits Hammi
Hadits Hammi : hadits yang berupa keinginan/hasrat Nabi SAW yang belum direalisasikan,
seperti: hasrat berpuasa tanggal 9 ‘Asyura.

5.HaditsAhwali

Hadits ahwali: hadits yang berupa hal ihwal Nabi SAW yang tdk termasuk ke dalam kategori
keempat bentuk hadits diatas.

D. Hadits Qudsi

Hadits qudsi secara bahasaa berasal dari kata qadusa, yaqdusu, qudsan, artinya suci atau
bersih. Jadi, hadits qudsi secara bahasa adalah hadits yang suci.

Secara terminologi, terdapat banyak definisi dengan redaksi yang berbeda-beda. Meskipun
demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa hadits qudsi adalah segala sesuatu yang diberitakan Allah
SWT kepada Nabi SAW, selain Al-Quran yang redaksinya disusun oleh Nabi SAW.

E. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA HADITS QUDSI DAN HADITS NABAWI

Persamaannya yaitu : antara hadits qudsi & hadits nabawi sama-sama bersumber dari Allah SWT.
Kalau perbedaannya yaitu : hadits nabawi dinisbatkan kepada Rasul Saw dan diriwayatkan dari
beliau, sedangkan hadits qudsi dinisbatkan kepada Allah SWT & Rosul Saw hanya menceritakan dan
meriwayatkan dari Allah SWT.

F. PERBEDAAN AL-QURAN DENGAN HADITS QUDSI

1.Al-Quran Al-Karim adalah kalam Allah SWT yang menantang & mukjizat yang abadi hingga hari
akhir, sedangkan hadits qudsi tidak digunakan untuk menantang & tidak pula untuk mukjizat.

2.Al-Quran Al-Karim hanya dinisbatkan untuk Allah SWT, sedangkan hadits qudsi terkadang
diriwayatkan dengan disandarkan kepada Allah SWT & kadang juga disandarkan kepada Rasulullah
Saw.

3.Al-Quran Al-Karim dari Allah, baik lafadz maupun maknanya & merupakan wahyu Allah, sedangkan
hadits qudsi itu maknanya saja dari Allah & lafadznya dari Rasulullah Saw.
BAB II

A. SEJARAH PERKEMBANGAN HADIS

Perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadits dari masa lahirnya
dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi.

M. Habsyi Asy-Shidieqy membagi perkembangan hadits menjadi tujuh periode, sejak periode Nabi
SAW. Hingga sekarang, yaitu sebagai berikut.

1. Periode pertama : Perkembangan hadits pada masa Rasulullah SAW.

Periode ini disebut ‘Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin’ (masa turunnya wahyu dan pembentukan
masyarakat islam). Tokoh-tokohnya yaitu:

a. Abdullah Ibn Amr Ibn Al-’Ash, shahifah-nya disebut Ash-Shadiqah.

b. Ali Ibn Abi Thalib, penulis hadits tentang hukum diyat, hukum keluarga, dan lain-lain.

c. Anas Ibn Malik

2. Periode kedua : perkembangan hadits pada masa khulafa’ ar-rasyidin (11 H – 40 H)

Periode ini disebut Ashr-At-Tatsabbul wa Al-Iqlal min Al Riwayah (masa membatasi dan
menyedikitkan riwayat). Nabi SAW, wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan
dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan hadis (As-Sunnah) yang harus
dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.

3. Periode ketiga: Perkembangan pada masa sahabat kecil dan tabiin.

Periode ini disebut ‘ashr intisyar al-riwayah ila al-amshar’ (masa berkembang dan meluasnya
periwayatan hadis).

Adapun tokoh-tokohnya :

• Abu hurairah, menurut ibn al-jauzi, beliau meriwayatkan 5.374 hadits, sedangkan menurut al-
kirmany, beliau meriwayatkan 5.364 hadits.

• Abdullah ibn umar meriwayatkan 2.630 hadits.

• Aisyah, istri Rasul Saw. Meriwayatkan 2.276 hadits.

• Abdullah ibn abbas meriwayatkan 1.660 hadits.

• Jabir ibn ‘Abdullah meriwayatkan 1.540 hadits.


• Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan 1.170 hadits.

4. Periode keempat : Perkembangan Hadits pada Abad II dan III Hijriah

Pada periode ketiga ini, mulai muncul usaha pemalsuan hadits oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali r.a. Pada masa ini, umat Islam mulai
terpecah-pecah menjadi beberapa golongan : Pertama, golongan ‘Ali Ibn Abi Thalib, yang kemudian
dinamakan golongan syi’ah. Kedua, golongan khawarij, yang menentang ‘Ali, dan golongan
Mu’awiyah, dan ketiga, golongan jumhur (golongan pemerintah pada masa itu).

Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa At-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya,
penulisan & pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau asas inisiatif
pemerintah. Adapun yang atas perseorangan, sebelum abad II H hadits sudah banyak di tulis, baik
pada masa tabi’in, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi Saw. Masa pembukuan secara
resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz
tahun 101 H. Pada saat itu banyak perowi hadits yang meninggal, sehingga Khalifah Umar Ibn Aziz
berinisiatif untuk membukukan & mengumpulkan hadits-hadits dalam satu buku dari para
perowinya langsung.

Sekalipun demikian, yang dapat ditegaskan sejarah sebagai pengumpul hadits adalah :

1. Pengumpul pertama di kota Mekkah, Ibnu Juraij (80-150 H)

2. Pengumpul pertama di kota Madinah, Ibnu Ishaq (w. 150 H)

3. Pengumpul pertama di kota Bashrah, Al-Rabi’ Ibn Shabih (w. 160 H)

4. Pengumpul pertama di Kuffah, Sufyan Ats-Tsaury (w. 161 H)

5. Pengumpul pertama di Syam, Al-Auza’i (w. 95 H)

6. Pengumpul pertama di Wasith, Husyain Al-Wasithy (w.104-188 H)

7. Pengumpul pertama di Yaman, Ma’mar Al-Azdy (95-153 H)

8. Pengumpul pertama di Rei, Jarir Adh-Dhabby (110-188 H)

9. Pengumpul pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (11-181 H)

10. Pengumpul pertama di Mesir, Al-Laits Ibn Sa’ad (w. 175 H).

5. Periode Kelima : Masa Men-tashih-kan Hadits dan Penyusunan Kaidah-Kaidahnya

Abad ketiga Hijriyah merupakan puncak usaha pembukuan hadits. Sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij,
kitab Muwaththa’ – Al-Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan gembira, kemauan
enghapal hadits, mengumpulkan, dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli
ilmu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari
hadits.Para ulama pada mulanya menerima hadits dari para rawi lalu menulis ke dalam kitabnya,
tanpa mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak memperhatikan shahih-tidaknya. Namun,
setelah terjadinya pemalsuan hadits dan adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk mengacaukan
hadits, para ulama pun melakukan hal-hal berikut.

a.membahas keadaan rawi-rawi dari berbagai segi, baik dari segi keadilan, tempat kediaman, masa,
dan lain-lain.

b.memisahkan hadits-hadits yang shahih dari hadits yang dha’if yakni dengan men-tashih-kan hadits.

Tokoh-tokoh dalam masa ini yaitu : ‘Ali Ibnul Madany, Abu Hatim Ar-Razy, Muhammad Ibn Jarir Ath-
Thabari, Muhammad Ibn Sa’ad, Ishaq Ibnu Rahawaih, Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’I, Abu
Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah & Ibnu Qutaibah Ad-Dainuri.

6. Periode Keenam : Dari Abad IV hingga tahun 656 H (yaitu pada masa ‘Abasiyyah angkatan
ke-2).

Periode ini dinamakan ‘Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-Jami’.

Ulama-ulama hadits yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3, digelari mutaqaddimin, yang
mengumpulkan hadits semata-mata atas usaha sendiri & pemeriksaan sendiri, dengan menemui
para penghapalnya di berbagai pelosok negeri.

Setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga abad keempat yang degelari ‘mutaakhirin’.
Kebanyakan hadits yang mereka kumpulkan itu petikan dari kitab-kitab Mutaqaddimin, hanya
sedikityang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri kepada para penghapalnya.

Di antara usaha-usaha ulama hadits yang terpenting dalam periode ini adalah: mengumpulkan
hadits Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab, mengumpulkan hadits-hadits dalam enam kitab,
mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam berbagai kitab, mengumpulkan hadits-hadits
hukum & menyusun kitab-kitab ‘Athraf.

7. Periode Ketujuh (656 H-sekarang)

Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abasiyyah ke XVII Al-Mu’tashim (w. 656 H)
sampai sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu As-Sarhi wa Al-Jami’ wa At-Takhriji wa Al-Bahtsi, yaitu
masa pensyarahan, penghimpunan, pen-takhrij-an, dan pembahasan.

Usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini adalah menerbitkan isi kitab-kitab hadits,
menyaringnya dan menyusun kitab enam takhrij, serta membuat kitab-kitab Jami’ yang umum.

Sebagaimana periode keenam, periode ketujuh ini pun muncul ulama-ulama hadits yang menyusun
kitab ‘Athraf.
Tokoh-tokoh hadits yang terkenal pada masa ini adalah : Adz-Dzahaby (748 H), Ibnu Sayyidinnas (734
H), Ibnu Daqiq Al-’Ied, Mughlathai (862 H), Al-Atsqalany (852 H), Ad-Dimyati (705 H), Al-’Ainy (855
H), As-Suyuthi (911 H), Az-Zarkasy (794 H), Al-Mizzy (742 H), Al-’Alay (761 H), Ibnu Katsir (774 H), Az-
Zaily (762 H), Ibnu Rajab (795 H), Ibnu Mulaqqin (804 H), Al-Bulqiny (805 H), Al-’Iraqy (w. 806 H), Al-
Haitsamy (807 H), dan Abu Zurah (826 H).

B. MADRASAH-MADRASAH HADIS

Madrasah hadis adalah tempat atau pusat penyebaran hadis Nabi SAW. Berkembangnya madrasah
hadis ini diawali ketika Rasul mengutus para sahabat untuk berdakwah keberbagai pelosok negri,
seperti Irak, Yaman, Mesir, dan sebagainya. Ditempat inilah mereka mengajar agama termasuk
mengajar hadis-hadis yang telah mereka dapatkan dari Rasul SAW.

Madrasah hadis tersebut melahirkan tokoh-tokoh terkenal, baik dari golongan sahabat, tabiin,
maupun atba’ tabiin.

1. Madrasah Madinah

2. Madrasah Mekah

3. Madrasah Yaman

4. Madrasah Bashrah

5. Madrasah Kufah

6. Madrasah Syam

7. Madrasah Mesir
BAB III

SEJARAH PENULISAN DAN PEMBUKUAN HADITS

A. Penulisan Hadits

Sebelum agama Islam datang, bangsa Arab tidak mengenal kemampuan membaca dan menulis.
Mereka lebih dikenal sebagai bangsa ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun, ini tidak
berarti bahwa tidak ada seorang pun yang tidak bisa menulis dan membaca. Keadaan ini hanyalah
sebagai ciri kebanyakan mereka. Sejarah telah mencatat sejumlah orang yang mampu membaca dan
menulis. Adiy bin Zaid Al-Adi (w. 35 H) misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan
merupakan orang pertama yang menulis dengan bahasa arabdalam surat yang ditujukan kepada
Kaisar. Sebagian orang Yahudi juga mengajari anak-anak di Madinah untuk menulis Arab. Kota
Mekkah dengan pusat perdagangannya sebelum kenabian, menjadi saksi adanya para penulis dan
orang yang mampu membaca. Sebagaimana dinyatakan bahwa orang yang mampu membaca dan
menulis di kota Mekkah hanya sekitar 10 orang. Inilah yang dimaksut bahwa orang Arab adalah
bangsa yang ummi.

Banyak akhbar yang menunjukkan bahwa para penulis lebih banyak terdapat di Mekkah daripada di
Madinah. Hal ini dibuktikan dengan adanya izin Rosulullah kepada para tawanan dalam Perang Badar
dari Mekkah yang mampu menulis untuk mengajarkan menulis dan membaca kepada 10 anak
Madinah sebagai tebusan diri mereka.

Hadits atau sunnah dalam penulisannya kurang memporoleh perhatian seperti halnya penulisan Al-
Qur’an. Penulisan hadits dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidakresmi karena tidak
diperintahkan oleh Rosul. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadits-hadits
Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadits yang peernah mereka dengar dari Rosulullah
SAW.

Diantara sahabat Rosulullah SAW yang mempunyai catatan-catatan hadits Rasulullah SAW adalah
Abdullah bin Amru bin Ash yang menulis sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah. Sebagian sahabat
menyatakan keberatan terhadap pekerjaan yang dilakukan Abdullah.

Dan mereka berkata kepadanya, “Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi, padahal
beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalubaliau menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan
syariat umum.” Mendengar ucapan mereka, Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW. Mengenai
hal trsebut, Rasulullah kemudian bersabda :
ٌّ ‫اُ ْكتُبْ َعنِّ ْي فَ َوالَّ ِذيْ بِيَ ِد ِه َما َخ َر َج ِم ْن فَ ِم ْي إِاَّل َ َح‬
‫ق‬

“Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku berada ditanganNya, tidak keluar
dari mulutku, selain kebenaran.”

Menurut suatu riwayat, diterangkan bahwa ali mempunyai sebuah Sahifah dan Anas bin Malik
mempunyai sebuah buku catatan.

Abu Hurairah menyatakan, “ Tidak ada dari seorang sahabat Nabi yang lebih banyak (lebih
mengetahui) hadits Rasulullah SAW daripadaku, selain Abdullah bin Amru bin Ash. Dia menuliskan
apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya.” Sebagian besar ulama berpendapat bahwa
larangan menulis hadits di-nasakh (di-mansukh) dengan hadits yang memberi izin yang datang
kemudian.

B. Penghapalan Hadits

Para sahabat dalam menerima hadits dari Nabi SAW berpegang pada kekuatan hapalannya, yakni
menerimanya dengan jalan hapalan, bukan dengan menulis hadits dalam buku. Karena itu
kebanyakan sahabat menerima hadits melalui mendengar dengan hati-hati yang disabdakan Nabi.
Kemudian terekamlah lafadz dan makna itu dalam sanubari mereka. Mereka dapat melihat langsung
apa yang Nabi kerjakan dan mendengar pula dari orang yang mendengarnya sendiri dari Nabi karena
tidak semua dari mereka dapat mengikuti atau menghadiri majelis nabi setiap waktu. Kemudian,
para sahabat menghapal setiap apa yang diperoleh dari sabda-sabdanya dan berupaya mengingat
yang pernah Nabi lakukan lali menyampaikannya kepada orang lain secara hapalan pula.

Hanya beberapa orang sahabat yang mencatat hadits yang didengarnya melalui Nabi SAW. Diantara
sahabat yang paling banyak menghapal atau meriwayatkan hadits adalah Abu Hurairah. Menurut
ibnu Jauzi, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah berjumlah 5.374 buah hadits. Adapun sahabt
yang paling banyak hapalannya sesudah Abu Hurairah adalah:
1. ‘Abdullah bin Umar r.a. meriwayatkan 2.630 buah hadits

2. Anas bin Malik meriwayatkan 2.276 buah hadits

3. Aisyah meriwayatkan 2.210 buah hadits

4. ‘Abdullah Ibnu Abbas meriwayatkan 1.660 buah hadits

5. Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 buah hadits

6. Abu Said Al-Khudri meriwayatkan 1.170 buah hadits

C. Pembukuan Hadits

Pada abad pertama Hijriah, yakni masa Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin, dan sebagian besar
masa Bani Umayyah hingga akhir abad pertama Hijriah, hadits-hadits itu berpindah-pindah dan
disampaikan dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadits
berdasarkan kekuatan hapalannya.

Ide penghimpunan hadits nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukaan oleh Kholifah Umar
bin Khaththab (w. 23 H/644 M). Namun, ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena khawatir
bila umat islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Qur’an.

Pada masa pemerintaha Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama Hijriah,
yakni tahun 99 Hijriah, datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadits. Umar bin Abdul
Aziz terkenal sebagai seorang Khalifah dari Bani Umayyah yang terkenal adil dan wara’ sehingga
dipandang sebagai Khalifah Rasyidin yang kelima.

Beliau sangat waspada dan sadar bahwa para perawi yang mengumpulkan hadits dalam ingatannya
semakin sedikit jumlahnya karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera
dikumpulkan dan dibukukan dalam buku hadits dari para perawinya akan dapat memusnahkan
hadist-hadist itu dengan sendirinya.

D. METODE PEMBUKUAN HADITS

1. Metode Masanid.

Masanidyaitu jamak dari sanad, maksudnya, buku-buku yang berisitentang kumpulan hadits setiap
shahabat secara tersendiri, baikhadits shahih, hasan, ataupun dha’if. Kadangdiurutkan berdasarkan
huruf hijaiyah atau alfabet sebagaimana jugadilakukan oleh para ulama, kadang juga berdasarkan
kabilah atau suku,atau berdasarkan orang yang paling dulu masuk Islam.

Buku-bukuyang terkenal adalah:

- MusnadAbu Dawud Sulaiman bin Dawud at Thayalisi (wafat 204H) [1]

- MusnadAbu Bakar Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidy (wafat 219H)

- MusnadImam Ahmad bin Hambal (wafat 241H)

- MusnadAbu Bakar Ahmad bin Amru Al-Bazzar (wafat 292H)

- MusnadAbu Ya’la Ahmad bin Ali Al-Mutsanna Al-Mushili (wafat 307H)


2. MetodeAl-Ma’ajim

Metodeini adalah jamak dari mu’jam. Adapun menurut istilah par ahlihadits adalah: Buku yang berisi
kumpulan hadits-hadits yang berurutanberdasarkan nama-nama shahabat atau guru-guru penyusun,
atau negeri,sesuai dengan huruf hijaiyah.

Buku-bukuyang terkenal adalah:

-Al-Mu’jam Al-Kabir, karya Abul Qasim Sulaiman bin AhmadAt-Thabrani (wafat 360H), berisi musand-
musnad para shahbat yangdisusun berdasarkan huruf mu’jam (kamus), kecuali musnad Abu
Hurairahkarena dsendirikan dalam satu buku. Ada yang mengatakan: Berisi60.000 hadits. Aibnu
Dihyah berkat bahwa dia adalah mu’jam terbesardi dunia. Jika mereka menyebut “Al-Mu’jam”, maka
kitab inilahyang dimaksud. Tapi jika kitab lain yang dimaksud maka ad penjelasandengan kata lain.

-Al-Mu’jam Al-Awsath, karya Abul Qasim Sulaiman At-Thabraniyang disusun, berdasarkan nama-
nama gurunya yang jumlahnya sekitar2.000 orang. Ada yang mengatakan di dalamnya terdapat
30.00hadits.

-Al-Mu’jam Ash-Shaghir, karya At-Thabrani juga, berisi 1.000orang para gurunya, kebanyakan setiap
satu hadits diriwayatkan darigurunya. Ada yang mengatakan berisi 20.000 hadits.

-Al-Mu’jam Ash-Shaghir, karya At-Thabrani juga, berisi 1.000orang para gurunya, kebanyakan setiap
satu hits diriwayatkan darigurunya. Ada yang mengatakan berisi 20.000 hadits.

3. MetodePengumpulan hadits berdasarkan pembahsan Agama seperti kitab-kitabAl-Jawami’

Al-jawami’adalah jamak dari jaami’. Sedang jawami’ dalam karyahadits adalah apa yang disusun dan
dibukukan oleh pengarangnyaterhadap semua permasalahan agama. Maka dalam kitab semodel ini,
Andaakan menemukan bab tentang iman (akidah), thaharah, ibadah, muamalah,pernikahan, sirah,
riwayat hidup, tafsir, adab, penyucian jiwa,fitnah dan lain sebagainya. Kitab-kitabyang terkenal:

-Al-Jami’ Ash-Shahih, karya Imam Abu Abdillah Muhammad binIsma’il Al-Bukhari (wafat 256H),
orang yang pertama menyusun danmembukukan hadits shahih, akan tetapi belum mencakup
semuanya. Kitabini disusun berdasarkan urutan bab, diawali dengan Kitab Ba’duAl-Wahyu, dan
Kitabul Iman. Kemudian dilanjutkan denganKitabul Ilmi dan lainnya hingga berakhir dengan Kitabut
Tauhid.Julah semuanya ada 97 kitab. Pada setiap kitab terbagi menjadibeberapa bab, dan pda setiap
bab terdapat sejumlah hadits.

KitabShahih Bukhari ini mendapat perhatian yang cukup besar dari paraulama, diantaranya dengan
membuat syarahnya, dansyarha yang palingbaik adalah kitab Fathul Bari bi Syahri Shahihi Al-
Bukhari,karya Al-Hafizh Ibn Hajar Al-Asqalani (wafat 852H) dan UmadtulQari, karya Badrudin Al-Aini
(wafat 855H), dan Isrsyadus SariIla Shahihi A-Bukhari, karya Al-Qasthalani (wafat 922H)

-Al-Jami’ Ash Shahih, karya Imam Abul Husain Muslim bin HajjajAl-Qusyairi An-Naisaburi (wafat
261H), berisi kumpulan riwayat haditsyang shahih saja sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh
ImaMuslim, dimulai dengan Kitab Iman, kmudian Kitab Thaharah, KitabHaid, Kitab Shlalat dan dakhiri
dengan Kitab Tafsir. Jumlah semuanyaada 54 kitab. Setiap kitab meliputi beberapa bab, dan pada
setip babterdiri dari sejumlah hadits.

Menurut para jumhur ulama hadits, Shahih Muslim menempati peringkat keduasetelah Shahih
Bukhari. Sedangkan menurut sebagian ulama wilayahMaghrib bahwa Shahih Muslim lebih tinggi dari
Shahih Bukhari.
ShahihMuslim juga mendapat penerimaan dan perhatian yang sangat besar olehpara ulama,
diantaranya dengan cra membuat syarah terhadap kitabtersebut. Di antaranya adalah : “Al-Minhaj fi
Syarh ShahihMuslim bin AL-Hajjaj” karya Abu Zakaria Muhyiddin An-Nawawi(676H), kitab “Al-Ikmal fi
Syarh Shahih Muslim”karya Al Qadhi ‘Iyadh (wafat 544H), dan kitab “Ad-Dibaj’Ala Shahih Muslm bn
Al-Hajjaj”karya Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakr As-Syuyuthi (wafat911H).

-Al-Jami’ Ash Shahih karyaImam Abu Isa Muhammad bin Isa At-Tirmidzi (wafat 279H),
merupakankumpulan hadits shahih, hasan, dan dha’if. Namun sebagian besardijelaskan derajat
hadits tersebut, dengan urutan bab-bab berikut:bab Thaharah, bab Shalat, bab Witir, bab Shalat
Jum’at, bab Haji, babjenazah, bab nikah, bab persususan, bab Thalaq dan Li’an, babJual-beli, hingga
diakhiri dengan bab Al-Manaqib. Kitab ini biasanyadisamakan dengan sebutan “Sunan At-Tirmidzi”.

Selain itu juga telah ditulis kitab-kitab mustadrak atas kitab-kitab jami’.Yang paling masyhur adalah
Al-Mustadrak ‘Ala Ash Shahihainkarya Abu Abdillah Al-Hakim (wafat 405H)

4. Metode Penulisan Hadits Berdasarkan Pembahasan Fiqih

Karya ini tidak mencakup semua pembahasan agama, tapi sebagianbesarnya saja, khususnya
masalah fiqih. Metode yang dipakai dalampenyusunan kitab ini adalah dengan menyebutkan bab-
bab Fiqih secaraberurutan, dimulai dengan kitab Thaharah, kemudian kitab Shalat,Ibadah Muamalat,
dan seluruh bab yang berkenan dengan hukum danfiqih. Dan kadang pula menuebutkan judul yang
tidak berkaitan denganmasalah fiqih seperti: Kitab Iman atau Adab.

Karya yang terkenal dengan metode ini:

-As-Sunan, yaitukitab-kitab yang disusun berdasarkan bab-bab tentang fiqih dan hanyamemuat
hadits yang marfu’saja agar dijadikan sebagai sumber bagi para fuqaha’ dalammengambil
kesimpulan hukum.

1.As-Sunnan berbeda dengan Al-Jami’.Dalam As-Sunan tidak terdapat pembahsan tentang aqidah,
sirah,manaqib, dan lain sebagainya, tapi hanya terbatas pada masalh fiqihdanhadits-hadits hukum
saja. Al-Kittani mengatakan, “Diantaranyakitab-kitba yang dikenal dengan As-Sunanmenurut istilah
mereka adalah kitab-kitab yang disusun berdasarkanurutan bab-bab tentang fiqih mulai dari bab
Iman, Thaharah, Zakat danseterusnya. Tidak ada didalmnya sedikit pun hadits yang mauquf,sebab
mauquf menurutmereka tidak dinamakan sunnah,tapi hadits

Kitab-kitab Sunan yang terkenal adalah:

-Sunan Abi Dawud, karyaSulaiman bin Asy’ats As-Sijistani (wafat 275H).

-Sunan An-Nasa’i , yangdinamakan dengan “Al-Mujtaba, karya Abdurrahman Ahmad bin Syu’aibAn-
Nasa’i (wafat 303H)

-Sunan Ibnu Majah karyaMuhammad bin Yazid bin Majah Al-Qazwini (wafat 275H)

-Sunan Asy-Syafi’ikarya Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i (wafat 204H)

-Sunan Ad-Darimi karyaAbdullah bin Abdurrahman Ad-Darimi (wafat 255H)

-Sunan Ad-Daraquthnikarya Ali bin Umar Ad-Daraquthni (wafat 385H)

-Sunan Al-Baihaqi karyaAbu Bakar Ahmad bin Husein Al-Baihaq (wafat 458H).
2.Al-Mushannafat, jamakmushannaf. Menurutistilah ahli hadits adalah sebuah kitab yang disusun
berdasarkanurutan bab-bab tentang fiqih yang meliputi hadits marfu’,mauquf, dan maqthu’,atau di
dalamnya terdapat hadits-hadits Nabi, perkataan shahabat,fatwa-fatwa tabi’in dan terkadang fatwa
tabi’ut tabi’in.

5. Metode Kitab-kitab yang Penyusunannya Menyatakan Komitmen HanyaMenuliskan Hadits-hadits


yang Shahih

Selain kitab-kitab Shahihain, Al-Muwaththa’ karya Imam Malik danAl-Mustadrak karya Al-Hakim ada
beberapa kitab yang disusun dengankriteria shahih oleh penulisnya.

Kitab-kitabnya antara lain:

1. Shahih ibnu Khuzaimah,karya Abi Abdillah Muhammadn bin Ishaq bin Khuzaimah bin Al-
MughirahAs-Sulaimi An-Naisaburi, guru Ibnu Hibbah (wafat 311H).

2. Shahih ibnu Hibban,karya Abu Hatim Muhammad bin Hibban (wafat 354H). As-Sakhawi
berkata,“Ada yang mengatakan bahwa buku yang paling shahih setelah ShahihBukhari dan Muslim
dalah Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban

6. MetodeTematik

Sebagianahli hadits menyusun karya-karya tematik yang terbatas padahadits-hadits tertentu


berkaitan dengan tema tertentu, di antaranya:

1.At-Targhib wa At-Tahrib yaitu kitab-kitab hadits yang berisikumpulan hadits tentang targhib
(motivasi) terhadap perintahagama, atau tarhib (ancaman)terhadap larangannya, seperti targhib
untukbirrul walidain(anjuranuntuk ta’at kepada orang tua), dan tarhib untuktidak durhaka kepada
keduanya Karya-karya tentang hal ini antara lain:

-At-Targhib wa At-Tahrib,karya Zakiyuddin Abdul Azhim bin Abdil Qawiy Al-Mundziri (wafat656H).

-At-Targhib wa At-Tarhib,karya Abi Hafsh Umar bin Ahmad, dikenal dengan nama Ibnu Syahin(wafat
358H).

2. Buku tentan kezuhudan, keutamaan amal, adab, dan akhlaq, antaralain:

-Kitab Az-Zuhd karyaImam Ahmad bin Hambal (wafat 241H).

-Kitab Az-Zuhd karyaAbdullah bin AL-Mubarak (wafat 181H).

-Kitab Akhlaq An-Nabi karyaAbi Syaikh Abi Muhammad Abdullah bin Muhammad Al-Ashbahani
(wafat 369H).

-Kitab Riyadh As-Shalihin min Kalam Sayyid Al-Mursalinkarya Abi Zakaria Yahya bin Syaraf An-
Nawawi (wafat 676 H).

8. Metode Kumpulan Hadits Hukum Fiqih (Kutubul Ahkam)

Yaitu buku-buku yang memuat tentang hadits-hadits hukum fiqih saja,di antaranya yang terkenal
adalah:

-Al-Ahkam karya AbdulGhani bin Abdul Wahid Al-Maqdisi (wafat 600 H)

-Umdatul Ahkam ‘an Sayyidil Anam,karya Al-Maqdisi.


-A-Imam fi Haditsil Ahkam,karya Muhammad bin Ali yang dikenal dengan Ibnu Daqiqil ‘Ied (wafat702
H)

-Al Imam bi Ahaditsil Ahkam,karya Ibnu Daqiqil ‘Ied, ringkasan dari Kitab Al-Imam

-Al-Muntaqa fi Ahkam, karya AbdusSalam bin Abdullah bin Taimiyah Al-Harrani (wafat 652 H)

-Bulughul Maran min Adillatil Ahkamkarya Al-Hafizh Ahmad bin Ali bin Hajar Al ‘Asqalani (wafat 852
H).

8. Metode Merangkaikan Al-Majami’

Al-Majami’ jamak dari majma’yaitu setiap kitab yng berisi kumpulan beberapa mushannafdan
disusun berdasarkan urutanmushannaf yang telahdikumpulkan tersebut.

Di antara majami’ yang terkenal adalah:

- Jami’ Al-Ushul minAhadits Ar-Rasul, karya AbuAs-Sa’adat dikenal dengan sebutan Ibnu Al-Atsir
(wafat 606 H), didalamnya terdapat kumpulan Kutubus Sitah (kitab Hadits yang enamyaitu Shahih
Bukhari, Shahih Mulmi, Sunan Abu Dawud, SunanAt-Tirmidzi, Sunan An-Nasa’i, dan yang keenam
adalah Al Muwaththa’Imam Malik sebagai ganti dari Sunan Ibnu Majah, karena di dalamnyabanyak
terdapat hadits-hadits dha’if. Oleh karenanya, sebagianhuffazh menghendakisekiranya Musnad Ad-
Darimi menempatiposisi tersebut).

- Majma’Az-Sawa’id wa Manba’u Al-Fawa’id,karya Al-Hafizh Ali bin Abu Bakar Al-Haitsam (wafat 807
H), berisikumpulan hadits-hadits dalam Musnad Ahmad, Musnad Abu Ya’laAl-Mushili, Musnad Abu
Bakar Al-Bazzar, dan Mu’jam Ath-Thabrani yangtiga: Al-Mu’jam Al-Kabir, Al-Mu’jam Al-Awsath,dan
Al-Mu’jam Ash-Shaghir,yang tidak terdapat di kutubus sittah.

-Jam’u Al-Fawa’id min Jami’ Al-Ushul wa Majma’ Az-Zawa’id,karya Muhammadn bin Muhamadbin
Sulaiman Al-Maghribi (wafat 1094 H),yang merupakan kumpulan dari dua kitab. Yaitu kitab Ibnu Al-
Atsir dankitab Al-Haitsami dan ditabah dengan tambahan dari Munad Ad-Darimidan Sunan Ibnu
Majah. Kemudian muncul sebuah ensiklopedia baru yangmemuat ebih dari 10.000 hadits dari 14
kitab yaitu Shahih Bukhari,Shaih Muslim, Al-Muwaththa’, Sunan yang empat: Abu Dawud, An-
Nasa’i,At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, Musnad Ad-Darimi, Musnad Ahmad, MusnadAbu Ya’la, Musnad
Al-Bazzar dan Mu’jam Ath-Thabarani yang tiga:Al-Kabir, Al-Awsath, dan Ash-Shaghir.

9.Metode Al-Ajza’ (jamak dari juz)

Yaitu setiap kitab kecil yang berisi kumpulan riwayat seorang perawihadits, atau yang berkaitan
dengan satu permasalahan secaraterperinci, seperti:

- Juz’u Ma Rawahu AbuHanifah ‘an Ashshahabah, karyaUstadz bu Ma’syar Abdul Karim bin Abdush
Shamad At-Thabari.

- Juz’u Ra’fil Yadain fiAs-Shalat, karya Al-Bukhari

10.Metode Al-Athraf

Yaitu setiap kitab yanghanya menyebutkan sebagian hadits yang dapatmenunjukkan lanjutan hadits
yang dimaksud, kemudian mengumpulkanseluruh sanadnya baik sanad satu kisah ataupun sanad
dari beberapakitab. Para penulis biasanya menyusun urutannya berdasarkan musnadpara shahabat
dengan susunan nama sesuai huruf-huruf hijaiyah, lalumenyebutkan pangkal hadits yang dapat
menunjukkan ujunngya, sepertihadits nabi: “Kullukum ra’in...”, “Buniyal Islamu ‘AlaKhamsin...”, dan
“Al-Imanu Bidh’un wa Sab’una Syu’batan...”,demikian seterusnya.

Kitab-kitab Athraf yang terkenal adalah:

- Athrafu Ash-Shahihainkarya Muhamad Khalaf bin Muhammad Al-Wasithi (wafat 401 H).

- Al-Isyraf ‘Ala Ma’rifatiAl-Athraf atau AthrafAs-Sunan Al-Arba’ah karyaAl-Hafizh Abul Qasim Ali bin
Hasan dikenal sebagai Ibnu Asakir.

- Tuhfatul Asyraf biMa’rifatil Athraf atau AthrafAl-Kutub As-Sittah karyaAl-Hafizh Abul Hajjaj Yusuf
bin abdurrahman Al-Mizzi (wafat 742 H)

- Ithaful Muharah binAthrafil Asyarah, karyaAl-Hafizh Ahmad bin Ali Ibnu Hja Al-Asqalani (wafat 852
H).Al-Asyarahatau kitabyang sepuluh adalah: Al-Muwaththa’,Musnad Asy-Syafi’ie, Musnad Ahmad,
Musnad Ad-Darimi, ShahihIbnu Khuzaimah, Muntaqa Ibnul Jarud, Shaih Ibnu Hibban, MustadrakAl-
Hakim, dan SunanAd-Daruquthni. Jumlahnya menjadi11 karena Shahih Ibnu Khuzaimah hanyaberisi
seperempatnya saja.

- Athraf Al-Masanid Al-Asyarah,karya Abul Abbas Ahmad bin Muhammad Al-Buwaishiri (wafat 840
H).Al-Asyarah atau munad yang sepuluh adalah: Musnad Abu DawudAt-Thayalisi, Musnad Abu Bakar
Al-Humaidi, Musnad Musaddad binMusarhad, Musnad Muhammad bin Yahya Al-Adani, Musnad
Ishaq binRawaih, Musnad Abu Bakar bin AbiSyaibah, Musnad Ahmad bin Mani’,Musnad ‘Abd bin
Humaid, Musnad Al-Harits bin Muhammad bin Abi Usamah,dan Musnad Abi Ya’la Al-Mushili.

- Dzakha’ir Al-Mawarits fiAd-Dalalah ‘Ala Mawadhi’ Al-Hadits,ini merupakan kumpulan athraf


kutubus sittahdan Muwaththa’ ImamMalik, karya Abdul Ghani An-Nabulsi (wafat 1143 H)

11.Metode Kumpulan Hadits-hadits yang mesyhur diucapkan di lisan atautematik

Pada beberapa kurun waktu, para ulama banyak memperhatikan penulisanhadits-hadits yang
masyhur diucapkan di kalangan masyarakat lalumerka menjelaskan derajat hadits tersebut dari segi
dha’if danmaudhu’nya atau yang tidak jelas asalnya, meskipun sudah sedemikianmasyhur. Di antara
ulama juga ada yang meperhatikan penulisan haditspalsu secara khusus.

Buku-buku yang terkenal di antaranya adalah:

- Al-La’ali’ Al-Mantsurahfi Al-Ahadits Al-Musyataharah min Ma Allafahu At-Thab’u wa Laisa


LahuAshlun Fi Asy-Syar’i, karyaAl-Hafizh Ibnu Hajar (wafat 852 H)

- Al-Maqashid Al-Hasanahfi Bayani Katsirin Minal Ahadits Al-Mustaharah ‘alal Alsinah,


karyaMuhammad bin Abdurrahman As-Skahawi (wafat 902 H)

- Ad-Durar Al-Muntatsirahfi Al-Ahadits Al-Musytaharah,karya Jalaluddin As-Syuyuthi (wafat 911 H).

- Tamyizu At-Thayyib minAl-Khabits fi Ma Yadhurru ‘ala Alsinati An-Nas min Al-Hadits,karya


Abdurrahman bin Ali As-Syaibani (wafat 944 H)

- Kasyful Khafa’ waMuzilul Ilbas ‘Amma Isytahara minal Ahadaits ‘ala Alsinati An-Nas,karya Ismail bin
Muhamad Al-Ajluni (wafat 1162 H)

- Asna Al-Mathalib fiAhadits Mukhtalifil Maratib,karya Muhamad bin Darwisy yang terkenal dengan
nama Al-HuutAl-Bairuni (wafat 1276 H).

- Al-Maudhu’at,karya Ibnul Jauzy (wafat 597 H)


- Al-Manar Al-Munif fiAsh-Shahih wa Adh-Dha’if karyaIbnu Qayyim Al-Jauziyah (wafat 751 H),
ditahqiq Syaikh Abdul FattahAbu Ghuddah.

- Al-La’ali’ Al-Mashnu’ahfi Al-Ahadits Al-Maudhu’ah karyaJalaluddin Asy-Syuyuthi (wafat 911 H).

- Al-Mashnu’fi Ma’rifati Al-Hadits Al-Maudhu’,karya Allamah Nuruddin Ali bin Muhammad yang
dikenal dengan namaAl-Mulla Ali Al-Qari AlHarawi (wafat 1014 H), tahqiq: Syaikh AbdulFattah Abu
Ghuddah.

- Al-Asrar Al-Marfu’ah fiAl-Akhbar Al-Maudhu’ah, yangdikenal dengan, Al-Maudhu’at Al-Kubra,karya


Al-Mulla Ali Al-Qari’, tahqiq: Muhammad As-Shabbagh.

- Al-Fawaid Al-Majmu’ah fiAl-Ahadits Al-Maudhu’ah, karyaAsy Syaukani (wafat 125 H)

- Silsilah Al-HaditsAdh-Dha’ifah, karya SyaikhMuhammad Nashiruddin Al Albani.

12.Metode Az-Zawa’id

Zawa’id adalah karya berisi kumpulan hadits-hadits tambahan terhadaphadits yang ada pada
sebagian kitab-kitab yang lain.

Buku-buku yang terkenal dalam bidan ini antara lain:

- Mishbah Az-Zujajah fiZawa’id Ibnu Majah, karya AbuAbbas Ahmad bin Muhammad Al-Bushairi
(wafat 84 H), bukan Al-BushairiMuhammad bin Sa’id (wafat 696 H) sang penyair yang menyusun“Al-
Burdah”. Kitab in imencakup tambahan Sunan Ibn Majah ataslima kitab pokok aitu: Shahih Bukhari,
Shahih Muslim, SunanAt-Tirmidzi, Abu Dawud, dan An-Nasa’i.

- Ithafu As-Sa’adahAlMaharah Al-Khairah bi Zwa’idi Al-Masanid AL-‘Asyarah, karyaAl Bushairi juga


yang merupakan tambahan terhadap kutubussittah: (Musnad AbuDawud Ath-Thayalisi, Musnad Al-
Humaidi, Musnad Musaddad bin Musarhad,Musnad Muhammad bin Yahya Adani, Musnad Ishaq bin
Rahawaih, MusnadAbu Bakar bin Abu Syaibah, Musnad Ahmad bin Mani’, Musnad ‘Abd binHumaid,
Musnad Harits bin Muhammad bin Abu Usamah, dan Musnad AbuYa’a Al-Mushili)

- Al-Mathalib Al-‘Aliyah bin Zwa’idiAl-Masanid Ats-Tsamaniyah, karya Al-Hafizh Ahmad bin Ali Ibn
HajarAl-Asqalani (wafat 852 H), yang merupakan tambahan dari sepuluhmusnad di atas kecuali
Musnad Abu Ya’la Al-Mushili,Musnad Ishaq bin Rahawaihatas kutubus sittah danMusnad Ahmad.

- Majma’ Az-Zawa’id waManba’ul Fawa’id, karyaAl-Haitsami, yang telah kami sebutkan sebelumnya
dalam Al-Majami’.Kitab ini berisi beberapa buku hadits sehingga menyerupai majami’,dan karena
bersii kumpulan hadits-hadits ambahan pada sebagian kitab,maka layak pula disebut zawa’id.
BAB IV

HADITS SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMA

A. KEDUDUKAN HADIS DALAM ISLAM

1. Dalil / Dasar Kewajiban Mengikuti Sunnah

Dalil Al-quran, firman Allah:

Artinya”Apa yang diberikan Rosul kepada kalian, Maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagi
kalian, Maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh amat keras
hukumannya”. (QS. Al Hasyr [59]: 7)

2. Dalil Hadis Nabi SAW :

Artinya”aku tinggalkan dua pusaka kepada kalian. Jika kalianberpegang kepada keduanya, niscaya
tidak akan tersesat, yaitu Al-quran dan Sunnah Rasul-Nya”. (H.R. Al-Hakim dari abu Hurairah)

3. Ijma’

Dalil dari Ijma (kesepakatan Ulama) Umat Islam telah mengambil keputusa bersama untuk
mengamalkan sunah. Bahkan, hal itu mereka anggap sejalan dengan memenuhi panggilan Allah
SWT, Rasulnya yang terpercaya. Kaum muslimin menerima sunah seperti mereka menerima al-
Qur‟an, karena berdasarkan kesaksian dari Allah, sunah merupakan salah satu sumber syariat.
B. FUNGSI HADITS SEBAGAI AL-QUR’AN

 Bayan at-tafsir

 Bayan at-taqrir

 Bayan an-nasakh

BAB V

STRUKTUR HADITS

A. KOMPONEN-KOMPONEN HADITS

Secarai struktur, hadits terdiri dari tiga struktur, yakni sanad atau isnad (rantai penutur), matan
(redaksi hadits), dan mukharij (rawi). Berikut ini contoh hadits yang memuat ketiga unsur tersebut.

‫ ع َِن النَّبِ ِّي‬،ُ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنه‬ ٍ ِ‫َس ْب ِن َمال‬


ِ ‫ك َر‬ ِ ‫ ع َْن أَن‬،َ‫ ع َْن أَبِي قِالَبَة‬، ُ‫ َح َّدثَنَا أَيُّوب‬:‫ قَا َل‬،‫ب الثَّقَفِ ُّي‬ َ ‫ َح َّدثَنَا َع ْب ُد‬:‫ قَا َل‬،‫َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ ال ُمثَنَّى‬
ِ ‫الوهَّا‬
َ‫ َوأَ ْن ي ُِحبَّ ال َمرْ َء ال‬،‫ أَ ْن يَ ُكونَ هَّللا ُ َو َرسُولُهُ أَ َحبَّ إِلَ ْي ِه ِم َّما ِس َواهُ َما‬:‫اإلي َما ِن‬
ِ َ‫ث َم ْن ُكن فِي ِه َو َج َد َحال َوة‬
َ َّ ٌ َ‫ " ثَال‬:‫ال‬ َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
َ
َ َ َ ‫هَّلِل‬
)‫ َوأ ْن يَ ْك َرهَ أ ْن يَعُو َد فِي ال ُك ْف ِر َك َما يَ ْك َرهُ أ ْن يُ ْق َذفَ فِي النَّار(رواه البخاري‬،ِ ‫ِيُ ِحبُّهُ إِاَّل‬
Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad Al-Mitsniy, katanya: “Telah meriwayatkan kepada
kami Ayyub dari Qilabah dari Anas dari Nabi SAW., bahwa beliau bersabda, ‘Ada tiga hal, yang bila
ketiganya ada pada diri seseorang, orang itu akan merasakan manisanya iman. Hendaknya Allah dan
Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. Hendaknya ia mencintai orang (lain) hanya
karena Allah. Dan hendaknya ia membenci kembali kepada kekafiran sebagaimana kebenciannya
bila dilemparkan ke dalam neraka’.” (HR. Bukhari)

Dari hadits tersebut kita lihat bahwa hadits tersebut terdiri dari tiga komponen, yang pertama sanad,

‫ ع َِن النَّبِ ِّي‬،ُ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنه‬ ِ ‫ ع َْن أَن‬،َ‫ ع َْن أَبِي قِالَبَة‬، ُ‫ َح َّدثَنَا أَيُّوب‬:‫ قَا َل‬،‫ب الثَّقَفِ ُّي‬
ٍ ِ‫َس ْب ِن َمال‬
ِ ‫ك َر‬ َ ‫ َح َّدثَنَا َع ْب ُد‬:‫ قَا َل‬،‫َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ ال ُمثَنَّى‬
ِ ‫الوهَّا‬
َّ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسل َم‬
َ

Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad Al-Mitsniy, katanya: “Telah meriwayatkan kepada
kami Ayyub dari Qilabah dari Anas dari Nabi SAW.”

Kedua adalah matan,

‫ َوأَ ْن يَ ْك َرهَ أَ ْن يَعُو َد‬،ِ ‫ َوأَ ْن ي ُِحبَّ ال َمرْ َء الَ يُ ِحبُّهُ إِاَّل هَّلِل‬،‫ أَ ْن يَ ُكونَ هَّللا ُ َو َرسُولُهُ أَ َحبَّ إِلَ ْي ِه ِم َّما ِس َواهُ َما‬:‫ان‬ ٌ َ‫ثَال‬
ِ َ‫ث َم ْن ُك َّن فِي ِه َو َج َد َحالَ َوة‬
ِ ‫اإلي َم‬
‫فِي ال ُك ْف ِر َك َما يَ ْك َرهُ أَ ْن يُ ْق َذفَ فِي النَّار‬

Ada tiga hal, yang bila ketiganya ada pada diri seseorang, orang itu akan merasakan manisanya iman.
Hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. Hendaknya ia mencintai
orang (lain) hanya karena Allah. Dan hendaknya ia membenci kembali kepada kekafiran
sebagaimana kebenciannya bila dilemparkan ke dalam neraka.

Di samping dua komponen utama tersebut, dalam hadits tersebut juga ada komponen tambahan
yang menyebutkan sumber dan asal hadits itu dinukil, yang disebut dengan mukharij (rawi)

(‫)رواه البخاري‬

Riwayat Bukhari

Maksudnya hadits tersebut dikeluarkan oleh Bukhari sehungga kita bisa melacak hadits tersebut
dalam Shahih Bukhari.

B. SANAD HADITS
1. Pengertian Sanad Hadits

Sanad dari segi bahasa berarti bagian bumi yang menon-jol, sesuatu yang berada dui hadapan
Anda dan uang jauh dari kaki bukit ketika Anda memandangnya. Bentuk jamaknya adalah
Segala sesuatu yang Anda sandarkan kepada yang lain disebut disebut Dikatakan
maknanya’Seseorang mendaki gunung’. Dikatakan pulamaknanya ‘Seseorang menjadi tumpuan’.

‫الطر يقة المو صلة إلى المتن‬

Jalan yang menyampaikan kepada matan hadits

Yakni rangkaian para perawi yang memindahkan matan dari sumber primer-nya. Jalur ini adakalanya
disebut sanad, adakalanya karena periwayat ber-sandar kepadanya dalam menisbatkan matan
kepada sumbernya, dan adakalanya karena hafidz bertumpu kepada yang menyebutkan sanad’
dalam mengetahui shahih atau dhaif suatu hadits.

‫سلسلة الرجا ل المو صلة للمتن‬

Silsilah orang-orang yang menghubungkan kepada matan hadits

Silsilah orang-orang maksudnya adalah susunan atau rangkaian orang-orang yang menyampaikan
materi hadits tersebut, sejak yang disebut pertama sampai kepada Rasulullah SAW., yang perkataan,
perbuatan, taqrir, dan l;ainnya merupakan materi atau matan hadits. Dengan pengertian tersebut,
sebutan sanad hanya berlaku kepada serangkaian orang, bukan dilihat dari pribadi secara
perseorangan. Adapun sebutan untuk pribadi, yang menyam-paikan hadits dilihat dari sudut orang
perorangan, disebut rawi.

Dari definisi-definisi tersebut, dapat dipertegas pengertian sanad secara ter-perinci, sebagai berikut:

Jalan matan hadits, yaitu silsilah para rawi yang menukilkan matan hadits dari sumber yangpertama
(Rasulullah SAW)

Dengan demikian, sanad adalah rantai penutur atau perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas
seluruh penutur, mulai orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga
Rasulullah. Sanad memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Contohnya adalah hadits berikut:

2. Isnad, Musnad, dan Musnid

Selain istilah sanad, terdapat uga istilah lainnya yang mempunyai kaitan erat dengan istilah sanad,
seperti, al-isnad, al-musnad, dan al-musnid. Istilah al-isnad, berarti ‘Menyandarkan, menegaskan
(mengembalikan ke asal), dan mengangkat’ Yang dimaksud di sini adalah:

‫رفع الحد يث الى قاإله‬

Menyandarkan hadits kepada orang yang mengatakannya

Atau,
‫عز والحد يث الى قاإله‬

Mengasalkan hadits kepada orang yang mengatakannya

Menurut Ath-Thibi, seperti yang dikutip oleh Al-Qasimi, kata isnad dengan as-sanad mempunyai arti
yang hampir sama atau berdekatan. Ibn Jama’ah, dalam hal ini lebih tegas lagi. Menurutnya, ulama
muhaditsin memendang kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama, yang keduanya
dapat dipakai secara bergantian.

Istilah Al-Musanid mempunyai beberapa arti yang berbeda dengan istilah al-isnad, yaitu pertama,
berarti hadits yang diriwayatkan dan disandarkan atau di-isnad-kan kepada seseorang yang
membawakannya, seperti Ibn Syihab Az-Zuhri. Malik bin Anas, dan Amrah binti Abd. Ar-Rahman;
kedua, berarti nama suatu kitab yang menghimpun hadits-hadits dengan sistem penyusunan
berdsarkan nama-nama para sahabat rawi hadits, seperti kitab Musnad Ahmad; ketiga, berarti nama
bagi hadits yang memenuhi kriteria marfu’, (di-sandarkan kepada Nabi SAW) dan muttashil (sanad-
nya bersambung sampai akhirnya)

3. Jenis-jenis Sanad Hadits

a. Sanad ‘Aliy

Sanad ‘aliy adalah sebuah sanad yang jumlah rawinya lebih sedikit jika dibandingkan dengan sanad
lain. Hadits dengan sanad yang jumlah rawinya sedikit akan tertokal dengan sanad yang sama jika
rawinya lebih banyak. Sanad ‘aliy ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

1) Sanad ‘Aliy yang bersifat mutlak adalah sanad

Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu hanyalah bergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi
setiap orang hanya memperoleh (sesuai) apa yang ia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya menuju
(keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya itu kea rah (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan barang
siapa yang hijrahnya itu karena dunia yang ingin diraihnya atau karena seorang wanita yang akan
dikawininya, hijrahnya itu kearah apa yang ia tuju.

Terkait dengan matan atau redaksi, yang perlu dicermati dalam memahami hadits adalah:

1. Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muham-mad SAW atau bukan.

2. Matan hadits itu sendiri dalam hubungannya dengan hadits lain yang lebih kuat sanad-nya
(apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al-Quran
(apakah ada yang bertolak belakang).

C. RAWI HADITS

Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits (Naqil Al-Hadits).
Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang hampir sama. Sanad-sanad hadits
pada tiap thabaqah atau tingkatannya juga disebut rawi, jika yang dimaksud dengan rawi adalah
orang yang meriwayatkan dan memindahkan hadits. Begitu juga, setiap rawi pada tiap-tiap
thabaqah-nya merupakan sanad bagi thabaqah berikutnya.

Akan tetapi, yang membedakan antara kedua istilah diatas, jika dilihat lebih lanjut, adalah dalam
dua hal, yaitu: pertama, dalam hal pembukuan hadits. Orang yang menerima hadits-hadits,
kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin, disebut dengan rawi. Dengan demikian, rawi
dapat disebut mudawwin (orang yang membukukan dan menghimpun hadits). Adapun orang-orang
yang menerima hadits dan hanya menyampaikannya kepada orang lain, tanpa membukukannya,
disebut sanad hadits. Berkaitan dengan ini, dapat dikatakan bahwa setiap sanad adalah rawi pada
tiap-tiap thabaqah-nya, tetapi tidak setiap rawi disebut sanad hadits sebab ada rawi yang
membukukan hadits. Kedua, dalam penyebutan silsilah hadits, untuk sanad, yang disebut sanad
pertama adalah orang yang langsung menyampaikan hadits tersebut kepada penerimanya,
sedangkan para rawi, yang disebut rawi pertama, adalah para sahabat Rasulullah SAW. Dengan
demikian, penyebutan silsilah antara kedua istilah ini merupakan sebaliknya. Artinya, rawi pertama,
adalah sanad terakhir, dan sanad pertama adalah rawi terakhir.

Untuk lebih memperjelas uraian tentang sanad, rawi, dan matan di atas, lihat penjelasan lebih lanjut
pada hadits di bawah ini,

Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Abu Kuraib telah menceritakan (hadits) kepada kami, katanya: “Abu
MUawiyyah telah menceritakan (hadits) kepada kami, yang diterimanya dari Al-A’masy, dari Umarah
bin Umar, dari Abd Ar-Rahman bin Yazid dari Abdullah bin Mas’ud, katanya: ‘Rasulullah SAW telah
bersabda kepada kami: “Wahai sekalian pemuda! Barang siapa yang sudah mampu untuk melakukan
pernikahan, maka manikahlah. Karena, dengan menikah itu (lebih dapat) menutup mata dan lebih
dapat menjaga kehormatan. Akan tetapi, barang siapa yang belum mampu melakukannya, baginya
hendaklah berpuasa. Karena, dengan berpuasa itu dapat menahan hasrat seksual”. (HR. Bukhari dan
Muslim)

Dari nama Abu Bakr bin Abi Syuaibah sampai dengan Abdullah bin Mas’ud merupakan silsilah tau
rangkaian satu susunan orang-orang yang menyampaikan hadits. Mereka semua adalah sanad hadits
tersebut, yang juga disebut sebagai jalan matan.

Mulai kata “yama’ syara asy-syabab” sampai kata ”fainnahu lahu wijaaun”, adalah matan atau
materi atau lafadz hadits tersebut, yang mengandung makna-makna tertentu. Dalam salah satu
definisi, lafadz-lafadz tersebut disebut sebagai ujung atau tujuan sanad.

Adapun nama Bukhari dan Muslim, yang ditulis pada akhir matan di-sebut rawi (orang yang
meriwayatkan hadits). Karena keduannya (masing-masing) membukukan hadits, mereka disebut
mudawwin (yang membukukan hadits).

D. KEDUDUKAN SANAD DAN MATAN HADITS

Kedudukan sanad dalam hadits sangat penting karena hadits yang diper-oleh/diriwayatkan akan
mengikuti siapa yang meriwayatkan. Dengan sanad suatu periwayatan hadits, dapat diketahui hadits
yang dapat diterima atau ditolak dan hadits yang shahih atau tidak shahih, untuk diamalkan. Sanad
merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum islam. Ada beberapa hadits atau
atsar yang menerangkan keutamaan sanad, diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Muslim dari Ibnu Sirin,

Ilmu ini (hadits ini) adalah agama karena itu telitilah orang-orang yang kamu mengambil agamamu
dari mereka.

Abdullah Ibnu Mubarak berkata:

Menerangkan sanad hadits termasuk tugas agama. Andai tidak diperlukan sanad, tentu siap saja
dapat mengatakan apa yang dikehendakinya. Antara kami dengan mereka adalah sanad.
Perumpamaan orang yang mencari hukum-hukum agamanya, tanpa memerlukan sanad, adalah
seperti orang yang menaiki loteng tanpa tangga.

Perhatian terhadap sanad di masa sahabat, yaitu dengan menghapal sanad-sanad itu dan mereka
mempunyai daya ingat yang luar biasa. Dengan adanya perhatian mereka, terperiharalah sunnah
Rasul dari tangan–tangan ahli bid’ah dan para pendusta. Karenanya pula, imam-imam hadits
berusaha pergi dan melayat ke berbagai kota untuk memperoleh sanad yang terdekat dengan Rasul
yang dilakukan sanad ‘ali

Memperhatikan sanad riwayat adalah suatu keistimewaandari ketentuan-ketentuan umat Islam.


Dengan adanya sanad inilah, para imam ahli hadits dapat membedakan hadits yang shahih dan
hadits yang dhaif dengan cara melihat para perawi hadits tersebut. Jika tidak ada sanad, niscaya
Islam sekarang akan sama seperti pada zaman sebelumnya kaerena pada zaman sebelumnya tidak
ada sanad sehingga perkataan nabi-nabi mereka dan orang-orang saleh diantara mereka tidak dapat
dibedaka. Adapun Islam yang sekarang telah berumur 1400 tahun lebih masih dapat dibedakan
antara perkataan Rasulullah SAW dan perkataan sahabat.
BAB VI

ILMU HADITS

A.Pengertian Ilmu Hadits

Ulumul Hadits terdiri dari dua kata yaitu ulum dan hadits. Kata ulum dalam bahasa arab adalah
bentuk jamak dari ilm. Jadi artinya “ilmu”, sedangkan Al-Hadits menurut kalangan para ulama adalah
“segala sesuatu yang disadarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat”. Jadi
apabila di gabung kata ulum Al-Hadits dapat diartikan sebagai ilmu-ilmu yang mempelajari atau
membahas yang berkaitan dengan Hadits Nabi SAW.
Sedangkan menurut As-Suyuthi beliau mengemukakan pendapatnya tentang ilmu Hadits yaitu ilmu
pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan Hadits sampai kepada Rasul SAW, dari
segi hal ikhwan para perawnya yang menyangkut ke dhabitan dan keadilannya dan bersambung dan
terputusnya sanad dan sebagainya.

Penulisan ilmu-ilmu Hadits secara parsial dilakukan oleh para ulama pada abad ke-3 H. Jadi secara
garis besar para ulama Hadits mengelompokkan ilmu Hadits ini menjadi dua bagian yaitu :Ilmu
Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah.

1. Ilmu Hadits Riwayah

Kata riwayah artinya periwayatan atau, jadi secara bahasa Hadits Riwayah adalah ilmu Hadits yang
berupa periwayatan, sedangkan para ulama berbeda pendapat mendefenisikan tentang ilmu Hadits
Riwayah, namun yang paling terkenal di antara para ulama yaitu defenisi ibnu Al-Akhfani beliau
berpoendapatan bahwa ilmu Hadits riwayah adalah ilmu yang membahas ucapan-ucapan
danperbuatan-perbuatan Nabi SAW, periwayatannya, pencatatannya dan penelitian lafadz-
lafadznya.

Sedangkan menurut istilah Hadits Riwayah adalah ilmu yang menukukan segala yang disadarkan
kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taarir maupun sifatnya begitu juga yang
menukukan segala yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.

Sedangkan menurut Muhammad ‘Ajjaj Al-Khathib menjelaskan ilmu Hadits adlaah ilmu yang
membahas tentang pemindahan (periwayatan) segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW,
berupa perkataan, perbuatan, taqrir (pengakuan) sifat jasmaniah atau tingkah laku (akhlak) dengan
cara yang teliti dan terperinci.

Objek kejadian ilmu Hadits riwayah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW,
sahabat dan tabiin yang meliputi :

a.Cara periwayatannya yakni cara penerimaan dan penyampaian Hadits dari sesorang periwayat
(rawi) kepada periwayat lain.

b.Cara pemeliharaan yakni penghapalan, penulisan dan pembukuan Hadits.

Sedangkan tujuan atau urgensi ilmu Hadits Riwayah ini adalah pemeliharaan terhadappp Hadits Nabi
SAW agar tidak lenyap dan sia-sia, serta terhindar dari kekeliruan dan kesalahan dalam proses
periwayatannya atau dalam penulisan maupun pembukuannya.

Ulama yang terkenal dan yang terpandang sebagai pelapor ilmu Hadits Riwayah ini adalah abu bakar
Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (51-124 H). Jadi apabila kita lihat perkembangan sejarah Hadits, Az-
Zuhri ini sebagai ulama pertama yang dapat menghimpun Hadits Nabi SAW atas perintah khalifah
Umar bin Abdul Azis atau Khalifah Umar II.
2.Ilmu Hadits Dirayah

Menurut As-Suyuti ilmu Hadits Riwayah inimuncul setelah masa Al-Khatib Al-Baghdadi yaitu pada
masa Al-Akfani, ilmu Hadits Dirayah ini banyak juga nama sebutannya antara lain ilmu ushul Al-
Hadits, Ulum Al-Hadits, Musthalah Al-Hadits dan Qawaid Al-Hadits.

Secara istilah yang dimaksud dengan ilmu Hadits Dirayah adalah undang-undang atau kaidah-kaidah
untuk mengetahui keadaan sanad dan matan. Sedangkan para ulamapun memberikan defenisi yang
bervariasi tentang pengertian ilmu Hadits Dirayah diantaranya adalah ibn Al-Akfani memberikan
defenisi ilmu Hadits Dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-
syarat,macam-macam dan hukum-hukumnya keadaan para perawi, syarat-syarat mereka jenis yang
diriwayatkan dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya.

Sedangkan menurut M. Ajjaj Al-Kitab beliau mengatakan bahwa hadits Dirayah adalah kumpulan
kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi dari segi diterima
atau ditolaknya

Menurut At-Turmuzi mendefenisikan ilmu itu adalah kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan
sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan, sifat-sifat perawi dan lain-lain. Sedangkan yang
terakhir mendefenisikan ilmu Hadits Dirayah yaitu para ulama Hadits, beliau mengatakan bahwa
Hadits Dirayah adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang kaidah-kaidah, dasar-dasar,
peraturan-peraturan yang membantu untuk membedakan antara Hadits yang shahih yang
didasarkan kepada Rasulullah SAW dan Hadits yang diragukan penyampaiannya kepada beliau.

Sasaran kajian ilmu Hadits Dirayah adalah sanad dan matan dengan segala persoalan yang
terkandung di dalamnya yang turut mempengaruhi kualitas Hadits pokok pembahasan tentang
sanad adalah :

a.Persambungan sanad

b.Keterpercayaan sanad

c.Kejanggalan yang terdapat atau sumber dari sanad

d.Keselamatan dari cacat

e.Tinggi rendahnya suatu martabat seorang sanad.

Sedangkan sasaran kajian terhadap masalah yang menyangkut matan ada tiga yaitu :
a.Kejanggalan-kejanggalan dari redaksi.

b.Terdapat catat pada makna Hadits.

c.Dari kata-kata asing.

Sedangkan tujuan atau faedah ilmu Hadits Dirayah ini ada empat antara lain :

1.Mengetahui pertumbuhan danperkembangan ilmu Hadits.

2.Mengetahui tokoh-tokoh dan usaha yang dilakukan dalam mengumpulkan, memelihara,


periwayatan Hadits.

3.Mengetahui kaidah-kaidah yang digunakan oleh para ulama.

4.Mengetahui istilah-istilah dan kriteria-kriteria Hadits sebagai pedoman untuk menetapkan hukum
syara.

Jika kita lihat dalam sejarahnya ulama yang pertama kali berhasil menyusun ilmu Hadits Dirayah
secara lengkap adalah Al-Qadi Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzi.

B.Cabang-Cabang Ilmu Hadits

Dari ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah ini, muncul juga cabang-cabang ilmu Hadits lainnya seperti
ilmu Rijal AL-Hadits, ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil, ilmu Fannil Mubhamat, ilmu ‘Ilali Al-Hadits ilmu Gharib
Al-Hadits, ilmu Nasikh wa Al-mAnsukh, ilmu Taqfiq al-Hadits, ilmu Tashif wa at-Tahrif, ilmu Asbab al-
Wurud al-Hadits dan ilmu Musthalah ahli Hadits.

Secara singkat kami akan menjelaskan cabang-cabang ilmu Hadits sebagai berikut :

1.Ilmu Rijal Al-Hadits


Secara bahasa kata Rijal Al-Hadits artinya orang-orang di sekitar Hadits, sedangkan secara istilah kata
ilmu Rijal al-Hadits adalah ilmu untuk mengetahui para Perawi Hadits dalam kapasitas mereka
sebagai Perawi Hadits. Sedangkan para ulama Hadits menerangkan ilmu Rijal Al-Hadits ini adalah
ilmu yang membahas para Rawi Hadits, baik dari kalangan sahabat, tabiin maupun dari generasi-
generasi sesudahnya.

2.Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dul

Secara etimologi kata Al-Jarh dapat diartikan sebagai cacat atau luka dan kata Al-Ta’dil artinya
menyamakan, sedangkan secara terminologi ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil adalah kecacatan pada perawi
Hadits disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan perawi. Sedangkan para ulama Hadits
mendefenisikan ilmu ini adalah menyifatkan perawi dengan sifatsifat yang membersihkannya, maka
nampak keadilannya dan riwayatnya di terima.

3.Ilmu Fannil Mubhamat

Yang dimaksud dengan ilmu ini adalah ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak
disebutkan dalam Matan atau dalam Sanad.

4.Ilmu Ilal Al-Hadits

Secara bahasa kata ilal dapat diartikan penyakit atau sakit, namun secara istilah ilmu ‘ilal al-hadits
adalah sebab yang tersembunyi atau samar-samar yang terakibat tercatatnya hadits, namun dari
sudut zhahirnya nampak selamat dari sebab itu. Sedangkan menurut ulama ahli hadits
mendefenisikan ilmu ini adalah ilmu yang membahas sebab-sebab tersembunyi yang dapat
mencatatkan kesahihan hadits, seperti mengatakan bersambung terhadap hadits yang menqati,
memasukkan hadits ke dalam hadits lam dan lam-lam.

5.Ilmu Gharib al- Hadits

Menurut Ibnu shalah, beliau menjelaskan tentang ilmu Gharib al –Hadis yaitu ilmu yang digunakan
untuk mengetahui dan menerangkan makna yang terdapat paa lafal-lafal hadis yang jauh dan sulit
dipahami karena jarang digunakan orang umum.

6.Ilmu Nasikh wa Al-Mansuk


Secara etimologi kata nasakh mempunyai dua pengertian yaitu menghilangkan dan menyalin.
Sedangkan secara terminologi kata nasakh dapat diartikan sebagai syari’ mengangkat [membatalkan]
suatu hukum syar’i yang datang kemudian. Adapun yang dimaksud dengan ilmu Nasikh wa Al-
mansunkh menurut para pakar ahli hadis adalah ilmu yang membahas tentang hadis – hadis yang
berlawanan yang tidak dapat dipertemukan dengan ketetapan bahwa yang datang terdahulu disebut
Mansukh dan yang datang kemudian dinamakan Nasikh.

7.Ilmu Talfiq al-Hadits

Menurut ahli hadis ilmu talfiq dapat didepenisikan adalah ilmu yang membahas cara mengempulkan
hadis- hadis yang berlawanan.

8.Ilmu Tashif wa Al-Tahrif

Ilmu Tashif wa al- tahrif dapat didepenisikan sebagai berikut ilmu yang berusaha menerangkan dan
menjelaskan hadis-hadis yang sudah diubah titik atau sakal nya dan bentuknya.

9.Ilmu Asbab al-wurud al-Hadits

Secara bahasa ilmu ini dapat di artikan sebagai sebab-sebab adanya hadis, sedangkan secara istilah
dapat diartikan yaitu ilmu pengetahuan yang menjelaskan sebab-sebab atau latar belakang di
wurutkannya hadis, dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sedangkan menurut As-suyuti pengertian
ilmu ini adalah sesuatu yang membatasi arti suatu hadis, baik berkaitan dengan arti umum dan
khusus, mutlak atau muqqaiyad,dinasakhkan, dan seterusnya atau suatu arti yang dimaksud oleh
sebuah hadis saat kemunculannya.

10.Ilmu Musththalah Ahli Hadits

Menurut ulama ahli hadis mendefenisikan ilmu ini sebagai ilmu ini sebagai ilmu yang menerangkan
atau menjelaskan pengertian-pengertian atau istilah-istilah yang dipakai oleh ahli-ahli Hadits.

C.Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits

Apabila kita lihat dari praktinya, ilmu Hadits ini sudah ada sejak periode awal Islam dengan periode
Rasulullah. Ilmu ini mulai muncul bersamaan dengan mulainya periwayatan Hadits yang disertai
dengan tingginya perhatian para sahabat dalam menerima riwayat yang disampaikan Nabi kepada
mereka.
Pada periode Rasulullah, penelitian terhadap suatu Hadits menjadi cikal bakal ilmu Hadits. Apabila
seorang sahabat ragu menerima suatu riwayat dari sahabat lain, maka ia segera menemu Rasulullah
atau sahabat lain yang dapat dipercaya untuk dikompirmasikannya setelah itu barulah ia menerima
dan mengamalkan Hadits itu.

Sedangkan pada masa periode sahabat, penelitian Hadits ini menyangkut sanad dan matan, misalnya
khalifah Abu Bakar Ash-Siddiq beliau tidak mau menerima suatu Hadits yang disampaikan oleh
seseorang, kecuali dia mampu mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran riwayat yang
disampaikannya.

Demikian pula pada masa Umar bin Al-Khattab, beliau mengamcam akan memberikan saksi
terhadap siapa yang meriwayatkan hadits jika tidak mendatangkan saksi. Maka para sahabat dapat
menyimpulkan ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh sahabat dalam menyusun suatu
hadits yaitu :

1.Penyelidikan periwayatan hadits dan pembatasannya untuk hal-hal yang diperlukan saja.

2.Ketelitian dalamp eriwayatan, baik ketika menerima dan menyampaikannya.

3.Kritik terhadap matan hadits.

Ulama yang pertama kali menetapkan dasar-dasar ilmu hadits pada masa tabiin yaitu Ibn Syihab Az-
Zuhri atas perintah resmi dari khalifah bin Abd. Azis. Akhirnya kaidah-kaidah itu semakin
dikembangkan oleh para ulama yang muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah.

BAB VII

PEMBAGIAN HADITS
A. PEMBAGIAN HADITS BERDASARKAN KUANTITAS RAWI

1. Hadits Mutawatir

a. Pengertian Hadits mutawatir

Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut
antara satu dengan yang lain.

Sedangkan menurut istilah ialah Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh
sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk
dusta.

b. Pembagian Hadits Mutawatir

Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :

· Hadits Mutawatir Lafzi

Hadits yang lafad-lafad para perawi itu sama, baik hukum maupun ma’nanya.

· Hadits Mutawatir Ma’nawy

Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu
makna yang umum.

· Hadits Mutawatir Amaly

Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di
antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau
serupa dengan itu

2. Hadis Ahad

a. Pengertian hadis ahad

Menurut Istilah ahli hadis, pengertian hadis ahad ialah hadits yang tidak berkumpul padanya syarat-
syarat mutawatir.

b. Pembagian Hadits Ahad

Pembagian hadits ahad dilihat dari jumlah periwayatannya di bagi kepada tiga tingkatan yaitu :

· Hadits Masyhur

Hadits yang di riwayatkan oleh tiga orang atau lebih,serta belum mencapai derajat Mutawatir.

· Hadits ‘Azis

Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang, walupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu
thabaqah saja,kemudian setelah itu,orang-orang pada meriwayatkannya.

· Hadits gharib

Hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, di mana saja
penyendirian dalam sanad itu terjadi.
5. Hadits Gharib

Menurut bahasa, gharîb bermakna yang asing, bersendirian, atau yang jauh dari kerabatnya.

Menurut istilah, hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan bersendirian oleh satu orang,
walaupun hanya pada satu tingkatan sanad.

Hadits gharib kadang diistilahkan juga dengan “al-Fard”, walaupun sebagian ulama membedakan
antara keduanya.

B. KLASIFIKASI HADITS BERDASARKAN KUALITAS RAWI

1. Hadits Sahih

Hadits Sahih adalah hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan,
sanadnya bersambung-sambung, tidak berillat dan tidak janggal.

Hadits shahih terbagi kepada dua bagian:

· Shahih li-dzatihi

Hadits yang sanadnya bersambung-sambung, diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna
hafalannya dari orang yang sekualitas dengannya hingga akhir sanad, tidak janggal dan tidak
mengandung cacat yang para

· Shahih li-ghairih

Hadits yang keadaan rawi-rawinya kurang hafidh dan dhabith tetapi mereka masih terkenal orang
yang jujur, hingga karenanya berderajat hasan, lalu didapati padanya dari jalan lain yang serupa atau
lebih kuat, hal-hal yang dapat menutupi kekurangan yang menimpanya itu.

2. Hadis Hasan

Hadits Hasan adalah hadits yang dinukilkan oleh orang yang yang adil yang kurang sedikit
kedhobitannya, bersambung-sambung sanadnya sampai kepada nabi SAW. Dan tidak mempunyai
‘Illat serta syadz.

Menutut Ibnu Shalah, hadits hasan itu dapat dibagi menjadi dua:

· Hasan li-dzatihi

Berita Hadits yang terkenal para perawinya tentang kejujuran dan amanahnya tetapi hafalan dan
keteguhan hafalannya tidak mencapai derajat para perawi hadits shahih.

· Hasan li-ghairih
Hadits yang sanadnya tidak sepi dari seorang yang tidak jelas perilakunya atau kurang baik
hafalannya dan lain-lainnya.

C. KLASIFIKASI HADITS BERDASARKAN KUALITAS RAWI

1. Hadits Marfu’

Hadits Marfu’ adalah hadits yang disandarkan kepada Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan
atau semacam itu, baik sanadnya itu bersambung ataupun sanadnya itu terputus.

2. Hadits Mauquf

Hadits Mauquf adalah hadits yang disandarkan kepada sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan
atau semacam itu, baik sanadnya itu bersambung ataupun sanadnya itu terputus.

Contoh:

3. Hadits Maqtu’

Hadits Maqtu’ adalah yang disandarkan kepada tabi’in dan tabi’ut tabi’i serta orang yang
sesudahnya, baik berupa perkataan, perbuatan atau lainnya.
BAB VIII

ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL

A. Pengertian al jarh wa at ta’dil

Kalimat ‘al-Jarh wa at-ta’dil merupakan satu dari kesatuan pengertian, yang terdiri dari dua kata,
yaitu ‘al-jarh’ dan ‘al-adl’. Al-jarh secara bahasa merupakan bentuk mashdar, dari kata ‫ جرج – يجرح‬,
yang berarti, seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya
darah dari luka itu.

Secara terminology al-jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat
adilnya atau mencacatkan hapalan dan kekuatan ingatannya, yanga mengakibatkan gugur
riwayatnya atau lemah riwayatnya atu bertolak riwayatnya. Adapun at-tajrih menyifati seorang
perawi dengan sifat sifat yang membawa konskuensi penilain lemah ats riwayatnya atau tidak
diterima.

Kemudian pengertian al-adl secara etimologi berarti ‘sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa
sesuatu itu lurus’, merupakan lawan dari ‘lacur’. Adapun secara terminologi al-adl adalah orang yang
tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraan. Dengan demikian ilmu al-jarh
wa at-ta’dil berarti ilmu yang membahas tentang hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau
ditolak riwayat mereka.

Apabila seorang rawi dijarh oleh para ahli sebagai seorang rawi yang cacat, maka periwayatannya
harus ditolak dan apabila seorang rawi dipuji sebagai seorang yang adil, maka periwayatannya
diterima selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits dipenuhi.

Ilmu jarh wa ta’dil berarti ilmu yang membahas tentang kritik adanya aib (cacat) atau memberikan
pujian pujian adil kepda seorang rawi.

Dr. ‘Ajjaj al-Khathib mendefinisikannya sebagai berikut :

‫ْث قَبُوْ ِل ِر َوايَتِ ِه ْم أَوْ َر ِّدهَا‬


ُ ‫ث فِي أَحْ َوا ِل الرُّ َوا ِة ِم ْن َحي‬
ُ ‫ْال ِع ْل ُم الَّ ِذيْ يَ ْب َح‬

“Adalah suatu ilmu yang membahas perihal para rawi dari segi-segi diterima atau ditolak riwayat
mereka”

B. MANFAAT ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL


Ilmu al-jarh wa at-ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatannya seorang rawi dapat
diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dinilai oleh para ahli sebagai seorang
rawi yang cacat, periwayatannya harus ditolak, dam apabila seorang rawi dipuji sebagai seorang
yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadist
tersebut terpenuhi.

Apabila kita tidak memahami ilmu al-jarh wa at-ta’dil dan tidak mempelajarinya dengan seksama,
maka akan muncul penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadist ini dinilai sama.
Padahal, perjalanan hadist semenjak Nabi Muhammad SAW sampai dibukukan adalah perjalanan
yang panjang, dan diwarnai dengan situasi dan kondisi yang tidak menentu. Setelah wafatnya
Rasulullah SAW, kemurnian hadist harus diteliti secara seksama karena terjadi pertikaian dibidang
politik, masalah ekonomi dan lain-lain yang dikaitkan dengan hadist. Akkibatnya, mereka yang
menyandarkan hadist terhadap Rasulullah SAW, padahal yang diriwayatkannya adalah riwayat yang
bohong. Dan mereka melakukan itu untuk kepentingan golongannya saja.

Dengan mengetahui ilmu al-jarh wa at-ta’dil, kita juga akan bisa mnyeleksi mana hadist shohih,
hasan, maupun hadist yang dho’if, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya.

C. METODE UNTUK MENGETAHUI KEADILAN DAN KECACATAN RAWI DAN MASALAH-


MASALAHNYA

Dalam uraian yang baru lalu telah dikemukakan bahwa : menta’dilkan ialah memuji rawi dengan sifat
–sifat yang membawa ke-‘adalah-annya, yakni sifat-sifat yang dijadikan dasar penerimaan riwayat.
Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan, yaitu :

1. Dengan kepopulerannya dikalangan para ahli ilmu bahwa dia dikenal sebagai orang yang adil
(bisy-syuhrah). Seperti terkenalnya sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu bagi Anas bin
Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Asy-Syafi’I, Ahmad bin Hanbal, dan sebagainya. Oleh
karena itu, mereka sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu sehingga tidak
perlu diperbincangkan lagi tentang keadilannya.

2. Dengan pujian dari seseorang yang adil (tazkiyah), yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh
orang yang adil, yang semula rawi yang dita’dilkan itu belum dikenal sebagai rawi yang adil.

Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh :

- Seorang perawi yang adil, jadi tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang
menta’dilkan. Sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat (hadist). Oleh karena
itu, jumlah tersebut tidak menjadi syarat pula untuk menta’dilkan seorang rawi. Demikian menurut
pendapat para fuqaha’ yang mensyaratkan sekurang-kurangnya dua orang dalam mentazkiyah
seorang rawi.

- Setiap orang yang dapat diterima periwayatannya, baik ia laki-laki maupun perempuan dan
baik orang yang merdeka maupun budak. Selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat
mengadilkannya.

Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan :

- Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang
sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta dikalangan masyarakat, tidak perlu lagi
dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
- Berdasarkan pentarjihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya dia
cacat. Demikian ketetapan yang dipegang oleh para Muhadditsin. Sedang menurut para fuqaha
sekurang-sekurangnya harus ditarjihkan oleh orang laki-laki yang adil.

Masalah-masalah yang berkaitan dengan menta’dilkan dan menjarhkan seorang rawi, diantaranya
seorang rawi, diantaranya apabila penilaian itu secara mubham dan ada kalanya mufasaT. Tentang
mubham ini diperselisihkan oleh para ulama, dalam beberapa pendapat, yaitu:

- Menta’dilkan tanpa menyebutkan sebab-sebabnya dapat diterima, karena sebab itu banyak
sekali, sehingga kalau disebutkan semuanya tentu akan menyibukkan saja. Adapun mentarjihkan
tidak diterima, kalau tidak menyibukkan sebab-sebabnya, karena jarh itu dapat berhasil dengan satu
sebab saja. Dan karena orang-orang itu berlainan dengan mengemukakan sebab jarh, hingga tidak
mustahil seorang mentarjihkan menurut keyakinannya, tetapi tidak dalam kenyataan.

- Untuk ta’dil, harus disebutkan sebab-sebabnya, tetapi menjarhkan tidak perlu. Karena sebab-
sebab menta’dilkan itu bisa dibuat-buat, hingga harus diterangkan, sedangkan mentarjihkan tidak
bisa dibuat-buat.

- Untuk kedua-duanya, harus disebutkan sebab-sebabnya.

- Untuk kedua-keduanya, tidak perlu disebutkan sebab-sebabnya. Sebab si jarh dan mu’addil
sudah mengenal seteliti-telitinya sebab-sebab tersebut. Di antara sebab munculnya kriteria mubham
dan mufassar karena terjadi perbedaan pemahaman tentang penilaian terhadap rawi.

Masalah berikutnya adalah perselisihan dalam menentukannya mengenai jumlah orang yang
dipandang cukup untuk menta’dilkan dan mentarjihkan rawi, seperti berikut ini :

- Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah maupun dalam soal riwayah. Demikian
pendapat kebanyakan fuqaha’ Madina.

- Cukup seorang saja, dalam soal riwayah bukan dalam soal syahadah. Sebab, bilangan tersebut
tidak menjadi syarat dalam penerimaan hadist, maka tidak pula disyaratkan dalam menta’dilkan dan
mentarjihkan rawi. Berlainan dalam soal syahadah.

- Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal syahadah.

Adapun kalau ke’adalahannya (keadilannya) itu diperoleh atas dasar pujian orang banyak atau
dimashurkan oleh ahli-ahli ilmu, maka tidak diperlukan orang yang menta’dilkan (mu’addil). Seperti
Malik, As-Syafi’iy, Ahmad bin Hanbal, Al-Laits, Ibnu ‘I-Mubarak, Syu’bah, Is-haq dan lain-lainnya.

D. SYARAT-SYARAT BAGI ORANG YANG MENTA’DILKAN DAN MENTARJIHKAN

Kita tidak boleh menerima begitu saja penilaian seorang ulama terhadap ulama lainny, melainkan
harus jelas dahulu sebab-sebab penilaiannya. Terkadang orang menilai orang lain cacat padahal dia
sendiri juga cacat. Oleh sebab itu, tidak boleh menerima langsung suatu perkataan sebelum ada
yang menyetujuinya.

Bagi orang-orang yang menta’dilkan dan mentarjihkan diperlukan syarat-syarat berikut ini, yaitu :

- Berilmu pengetahuan

- Takwa
- Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan
makruhat-makruhat).

- Jujur

- Menjauhi fanatik golongan

- Mengetahui sebab-sebab untuk menta’dilkan dan mentarjihkan.

E. PERTENTANGAN ANTARA AL-JARH WA AT-TA’DIL

Terkadang, pertanyaan-pertanyaan ulama tentang tajrih dan ta’dil terhadap orang yang sama bisa
saling bertentangan. Sebagian mentarjihkannya, sebagian lain menta’dilkan. Bila keadaannya seperti
itu, diperlukan penelitian lebih lanjut tentang keadaan sebenarnya. Sebagian ulama mentarjihkan
dan sebagian ulama lainnya menta’dilkan dalam 4 pendapat, yaitu :

1. Jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu’addilnya lebih banyak daripada
jarhnya. Sebab bagi jarhh tertentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu’addil,
dan kalau jarih dapat membenarkan mu’addil tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja,
sedangkan jarihnya memberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui oleh si mu’addil. Pendapat
ini dipegang oleh Jumhuru ‘I-ulama.

2. Ta’dil didahulukan daripada jarh, bila menta’dilkan lebih banyak karena banyaknya yang
menta’dil bisa mengukuhkan keadaan rawi-rawi yang bersangkutan. Menurut ‘Ajjaj Al-Khatib,
pendapat ini dapat diterima, sebab yang menta’dil. Meskipun lebih banyak jumlahnya, tidak
memberitahukan apa yang menyanggah pernyataan yang mentajrih.

3. Bila jarh dan ta’dil bertentangan, salah satunya tidak bisa didahulukan, kecuali dengan adanya
perkara yang mengukuhkan salah satunya, yakni keadaan dihentikan sementara, sampai diketahui
mana yang lebih kuat diantara keduanya.

4. Masih tetap dalam keta’arudlannya selama belum ditemukan yang merajihkannya. Pengarang
at-Taqrib mengemukakan sebab timbulnya khilaf ini, ialah jika jumlah mu’addilnya lebih banyak,
tetapi kalau jumlahnya seimbang antara mu’addil dan jarihnya, maka mendahulukan jarah itu sudah
merupakan keputusan ijma’.

F. Lafadz-lafadz Jarh dan Ta’dil

Lafadz-lafadza yang digunakan untuk men-jarh dan men-ta’dil rawi itu memiliki tingakatan-tingkatan.
Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu Salah dan Imam Nawawi, lafadz-lafadz itu disusun menjadi 4
tingkatan. Menurut Al-Hafidz Al-Dzahaby dan Al-‘Iraqy tersusun menjadi 5 tingkatan dan Ibnu Hajar
menyusunnya menjadi 6 tingkatan, yaitu:[1][1]

1. Tingkatan dan lafadz-lafadz menta’dil rawi

a. Segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan menggunakan
lafadz-lafadz yang berbentuk af’alut tafdil atau ungkapan yang mengandung arti sejenis, misalnya:

ُ َ‫)أَوْ ث‬
Ø Orang yang paling tsiqah ( ْ‫ق النَّاس‬

Ø Orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya ( ً‫اس ِح ْفظًا َو َعدَالَة‬ ُ َ‫)أَ ْثب‬
ِ َّ‫ت الن‬
Ø Orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya (‫)إِلَ ْي ِه ْال ُم ْنتَهَى فِى الثّبت‬

Ø Orang yang tsiqah melebihi orang yang tsiqah ( ‫ق الثَّقَ ِة‬


َ ‫)ثَقَةُ فَ َو‬

b. Memperkuat ke-tsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang menunjuk
keadilan dan kedhabitannya, baik sifatnya yang dibubuhkan itu selafadz (dengan mengulanginya)
maupun semakna, misalnya:
ْ ‫ُت ثُب‬
Ø Orang yang teguh (lagi) teguh ( ‫ُت‬ ٌ ‫)ثُب‬

Ø Orang yang tsiqah (lagi) tsiqah ( ‫)ثِقَةٌ ثِقَ ْة‬

Ø Orang yang ahli (lagi) pandai dalam berargumen (hujjah) ( ‫) ُح َّجةٌ ُح َّج ْة‬

Ø Orang yang teguh (lagi) tsiqah ( ‫ُت ثِقَّ ْة‬


ٌ ‫)ثُب‬

Ø Orang yang kuat ingatannya dan ahli berargumen (hujjah) ( ‫) َحافِظٌ ُح َّج ْة‬

Ø Orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya (‫)ضابِطٌ ُم ْتقِن‬.


َ
c. Menunjuk keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti kuat ingatan, misalnya:
ٌ ‫)ثُب‬
Ø Orang yang teguh (hati dan lidahnya), ( ‫ُت‬

Ø Orang yang meyakinkan (ilmunya), ( ‫) ُم ْتقِ ٌن‬

Ø Orang yang tsiqah (ٌ‫)ثِقَة‬

Ø Orang yang hafidh (kuat hafalannya), ( ٌ‫)حافِظ‬


َ
Ø Orang yang hujjah ( ٌ‫) ُح َّجة‬.

d. Menunjukkan keadilan dan kedhabitan, tapi dengan lafadz yang tidak mengandung arti kuat
ingatan dan adil (tsiqah), misalnya:
ٌ ْ‫ص ُدو‬
Ø Orang yang sangat jujur (‫ق‬ َ )
Ø Orang yang dapat memegang amanat ( ‫) َمأْ ُموْ ٌن‬

َ ْ‫)اَل بَأ‬.
Ø Orang yang tidak cacat (ْ‫س بِه‬

e. Menunjukkan kejujuran rawi, tapi tidak terpaham adanya kedhabitan, misalnya:

ِّ ‫) َم ِحلُّهُ ال‬
Ø Orang yang berstatus jujur (ُ‫ص ْدق‬

Ø Orang yang baik hadisnya (‫) َجيِّ ُد ْال َح ِديْث‬

Ø Orang yang bagus hadisnya (‫) َح َسنُ ْال َح ِديْث‬

Ø Orang yang haditsnya berdekatan dengan hadis-hadis orang lain yang tsiqah (‫اربُ ْال َح ِديْث‬
ِ َ‫) ُمق‬.
f. Menunjukkan arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat yang sudah disebutkan diatas yang
diikuti dengan lafadz “Insya Allah”, atau lafadz tersebut di-tashgir-kan (pengecilan arti), atau lafadz
itu dikatikan dengan suatu pengharapan, misalnya:

Ø Orang yang jujur, insya Allah (‫ق إِ ْنشَا َء هللا‬


ٌ ْ‫ص ُدو‬
ُ )

َ ْ‫)فُاَل ٌن أَرْ جُوْ بِأ َ َّن اَل بَأ‬


Ø Orang yang diharapkan tidak memiliki cacat (‫س بِه‬
Ø Orang yang sedikit kesalehannya (‫)فُاَل ٌن صويلح‬

Ø Orang yang di harapkan diterima hadisnya (ُ‫)فُاَل ٌن َم ْقبُوْ ل َح ِد ْيثُه‬

Para ahli ilmu menggunakan haits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang dita’dil menurut
tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Sedang hadits-hadits para rawi yang
dita’dil menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila
dikuatkan oleh hadits perawi lain.[2][2]

2. Tingaktan dan lafadz-lafadz menjarh rawi[3][3]

a. Menunjukkan kepada kecacatan yang sangat kepada rawi dengan menggunakan lafadz-lafadz
yang berbentuk afalut tafhdil atau ungkapan yang lain (seperti sighat muballagah) yang mengandung
pengertian yang sejenisnnya dengan itu, misalnya:

Ø Orang yang paling dusta (‫ض َع النَّاْس‬


َ ْ‫)اَو‬
Ø Orang yang paling bohong ( ْ‫)اَ ْك َذبُ النَّاس‬

Ø Orang yang paling top kebohongannya ( ‫)اِلَ ْي ِه ْال ُم ْنتَقَى فِى ْال َوضْ ِع‬

b. Menunjukkan kesangatan cacat dengan menggunakan lafadz berbentuk sighat muballagah,


misalnya:

Ø Orang yang pembohong ( ُ‫) َك َّذاب‬


ٌ ‫) َوضَّا‬
Ø Orang yang pendusta (‫ع‬

Ø Orang yang penipu ( ْ‫) َدجَّال‬

c. Menunjukkan kepada tuduhan dusta, bohong atau yang lainnya, misalnya:

ِ ‫)فُاَل ٌن ِمتَّهَ ٌم بِاْلك َْذ‬


Ø Orang yang dituduh bohong ( ‫ب‬

Ø Orang yang dituduh dusta ( ‫)اَوْ ُمتَّ ِه ٌم بِ ْال َوضْ ِع‬


ْ َّ‫)فُاَل نُ فِ ْي ِه الن‬
Ø Orang yang perlu diteliti (‫ظ ُر‬

Ø Orang yang gugur ( ٌ‫)فُالَ ٌن َساقِط‬

Ø Orang yang hadisnya telah hilang (‫)فُاَل ٌن َذا ِهبُ ْال َح ِديْث‬

ُ ْ‫)فُاَل ٌن َم ْترُو‬
Ø Orang yang ditinggalkan hadisnya (‫ك الِ َح ِديْث‬

d. Menunjukkan kepada kelemahan yang sangat, misalnya:


ْ ‫) ُم‬
ُ ‫ط َر ُح ْال َح ِدي‬
Ø Orang yang dilempar hadisnya ( ‫ْث‬

َ ‫)فُاَل ٌن‬
ٌ ‫ض ِعي‬
Ø Orang yang lemah ( ‫ْف‬

Ø Orang yang ditolak hadisnya (‫)فُاَل ٌن َمرْ ُدوْ ٌد ْال َح ِديْث‬

e. Menunjukkan kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya, misalnya:

Ø Orang yang tidak dapat dibuat hujjah hadisnya ( ‫)فُاَل ٌن اَل يُحْ تَجُّ بِ ِه‬

Ø Orang yang tidak dikenai identitasnya ( ‫)فُاَل ٌن َمجْ هُوْ ٌل‬

Ø Orang yang mungkar hadisnya (‫)فُاَل ٌن ًم ْن َك ٌر ْال َح ِديْث‬


Ø Orang yang kacau hadisnya (‫)فُاَل ٌن ُمضْ طَ ِربُ ْال َح ِديْث‬

Ø Orang yang banyak menduga-duga ( ‫)فُاَل ٌن َوا ٍه‬

f. Menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tapi sifat itu berdekatan
dengan adil, misalnya:

Ø Orang yang didla’ifkan hadisnya (ُ‫ضعِّفَ َح ِد ْيثَه‬


ُ )

Ø Orang yang diperbincangkan ( ‫)فُاَل ٌن ُمقَا ٌل فِ ْي ِه‬


ٌ ‫)فُاَل ٌن فِ ْي ِه خَ ْل‬
Ø Orang yang disingkiri (‫ف‬

Ø Orang yang lunak (‫)فُاَل ٌن لَيَّن‬

Ø Orang yang tidak dapat digunakan hujjah hadisnya ( ‫س ِب ْال ُح َّج ْة‬
َ ِ‫)فُاَل ٌن لَي‬
Ø Orang yang tidak kuat (‫ْس بِ ْالقَ ِوى‬
َ ‫)فُاَل ٌن لَي‬
Orang yang ditarjih menurut tingkatan pertama sampai dengan tingkatan keempat haditsnya tidak
dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang ditarjih menurut tingkatan-tingkatan
kelima dan keenam, haditsnya masih dapat dipakai sebagai i’itibar (tempat membandingkan).

BAB IX

HADIS MAUDHU’

Hadits maudhu adalah hadits yang diada-adakan dan dipalsukan atas nama Rasulullah shallallohu
alaihi wa sallam secara sengaja.

Faktor munculnya hadis maudhu’:

· Pertentangan politik dalam soal pemilihan khalifah

· Adanyakesengajaan dari pihak lain untuk merusak ajaran islam

· Mempertahankan mazhab dalam masalah fiqh dan masalah kalam

· Membangkitkan gairah beribadah untukmendekatn diri kepada Allah

· Menjilat para penguasa untu mencari kedudukan atau hadiah

Ciri-ciri hadis maudhu’ :

Ø Ciri yang terdapat pada sanad

· Rawinya terkenal berdusta

· Pengakuan dari si pembuat sendiri

· Kenyataan sejarah

· Keadaan rawi dan faktor-faktorn yang mendorongnya membuat hadis maudhu’

Ø Ciri yang terdapat pada matan


· Keburukan susunan lafadznya

· Kerusakan maknanya

BAB X

TAKHRIJUL HADIS

Takhrij adalah penunjukan terhadap tempat hadis di dalam sumber aslinya yang dijelaskan sanad
dan martabatnya sesuai keperluan.

Tujuan pokok men-tahrij hadis adalah untuk mengetahui sumber asal hadis yang ditakhrij. Tujuan
lainnya, untuk mengetahui keadaan hadis tersebut yang berkaitan dengan maqbul dan mardud-nya.

. cara mentakhrij hadis:

· Pertama kita mencari subuah hadis

· Selanjutnya kita melihat salah satu fi’il dari hadis tersebut, misalnya saama

· Kata saama kita lihat di mu’jam hadis ( mu’jam almunfarras )

· Di situ akan tertera potongan hadis yang dimaksud, dan ada simbul perawi, misalnya kha
(bukhari), mim (muslim),dsb.

Misal: kha-iman-32 (berarti kita mencari hadis tersebut pada kitab shahih bukhari pada bab iman,
hadis yang ke 32)

· Setelah kita melihat pada kitab shahih bukhari pada bab iman dan hadis yang ke 32, disitu
tertera hadis yang di maksud dengan sanadnya yang lengkap.

· Setelah itu kita mencari tau biografi perawi secara lengkap ( nama lenkapnya,lahir,
tahun,masa, guru, murid, keterangan perawi, nilai ) satu-persatu dari perawi pada kitab tahzibul-
tahzib atau tahzibul kamal,dsb

· Untuk mengetahui tabaqatnya, kita bisa merujuk ke kitab tarikh al kabir.

BAB XI

INGKAR AS-SUNNAH

A. Pengertian Ingkar sunnah

Terdiri dari dua kata yaitu Ingkar dan Sunnah. Ingkar, Menurut bahasa, artinya “menolak atau
mengingkari”, berasal dari kata kerja, ankara-yunkiru. Sedangkan Sunnah, menurut bahasa
mempunyai beberapa arti diantaranya adalah, “jalan yang dijalani, terpuji atau tidak,” suatu tradisi
yang sudah dibiasakan dinamai sunnah, meskipun tidak baik. Secara definitif Ingkar al-Sunnah dapat
ddiartikan sebagai suatu nama atau aliran atau suatu paham keagamaan dalam masyarakat Islam
yang menolak atau mengingkari Sunnah untuk dijadikan sebagai sumber san dasar syari’at
Islam.Menurut Daud Rasyid (2006:207) “ Inkar as-sunnah adalah sebuah sikap penolakan terhadap
sunnah Rasul, baik sebagian maupun seluruhnya“. Secara bahasa pengertian hadits dan sunnah
sendiri terjadi perbedaan dikalangan para ulama, ada yang menyamakan keduanya dan ada yang
membedakan. Pengertian keduanya akan disamakan seperti pendapat para muhaditsin, yaitu suatu
perkataan, perbuatan, takrir dan sifat Rauslullah saw. Sementara pendapat Nurcholis Majid
(2008:27) “ Yang terjadi dalam sejarah Islam hanyalah pengingkaran terhadap hadits Nabi saw,
bukan pengingkaran terhadap sunnahnya “. Nurcholis Majid membedakan pengertian hadits dengan
Sunnah. Sunnah menurut beliau adalah pemahaman terhadap pesan atau wahyu Allah dan teladan
yang diberikan Rasulullah dalam pelaksanaannya yang membentuk tradisi atau sunnah. Sedangkan
hadits merupakan peraturan tentang apa yang disabdakan Nabi saw. Atau yang dilakukan dalam
praktek atau tindakan orang lain yang di diamkan beliau (yang diartikan sebagai pembenaran). Kata
“Ingkar Sunnah” dimaksudkan untuk menunjukkan gerakan atau paham yang timbul dalam
masyarakat Islam yang menolak hadits atau sunnah sebagai sumber kedua hukum Islam. Dan
menurut Ibid (2007:5) “Inkar as-sunnah tidak semata-mata penolakan total terhadap sunnah,
penolakan terhadap sebagian sunnah pun termasuk inkar as-sunnah “. Menurut Imam Syafi’I,
Sunnah Nabi saw ada tiga macam:

1. Sunnah Rasul yang menjelaskan seperti apa yang di nash-kan oleh al-Qur’an.

2. Sunnah Rasul yang menjelaskan makna yang dikehendaki oleh al-Qur’an. Tentang kategori kedua
ini tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama.

3. Sunnah Rasul yang berdiri sendiri yang tidak ada kaitannya dengan al-Qur’an.

B. Sejarah Ingkar As-Sunnah

1. Ingkar Sunnah Pada Masa Periode Klasik

Pertanda munculnya “Ingkar Sunnah” sudah ada sejak masa sahabat, ketika Imran bin Hushain (w.
52 H) sedang mengajarkan hadits, seseorang menyela untuk tidak perlu mengajarkannya, tetapi
cukup dengan mengerjakan al-Qur’an saja. Menanggapi pernyataan tersebut Imran menjelaskan
bahwa “kita tidak bisa membicarakan ibadah (shalat dan zakat misalnya) dengan segala syarat-
syaratnya kecuali dengan petunjuk Rasulullah saw. Mendengar penjelasan tersebut, orang itu
menyadari kekeliruannya dan berterima kasih kepada Imran. Sikap penampikan atau pengingkaran
terhadap sunnah Rasul saw yang dilengkapi dengan argumen pengukuhan baru muncul pada
penghujung abad ke-2 Hijriyah pada awal masa Abbasiyah. Pada masa ini bermunculan kelompok
ingkar as-sunnah.
2. Ingkar Sunnah pada Periode Modern

Tokoh- tokoh kelompok Ingkar Sunnah Modern (akhir abad ke-19 dan ke-20) yang terkenal adalah
Taufik Sidqi (w. 1920) dari Mesir, Ghulam Ahmad Parvez dari India, Rasyad Khalifah kelahiran Mesir
yang menetap di Amerika Serikat, dan Kasasim Ahmad mantan ketua partai Sosialis Rakyat Malaysia.
Mereka adalah tokoh-tokoh yang tergolong pengingkar Sunnah secara keseluruhan. Argumen yang
mereka keluarkan pada dasarnya tidak berbeda dengan kelompok ingkar sunnah pada periode
klasik. Tokoh-tokoh “Ingkar Sunnah” yang tercatat di Indonesia antara lain adalah Lukman Sa’ad
(Dirut PT. Galia Indonesia) Dadang Setio Groho (karyawan Unilever), Safran Batu Bara (guru SMP
Yayasan Wakaf Muslim Tanah Tinggi) dan Dalimi Lubis (karyawan kantor DePag Padang Panjang).

Sebagaimana kelompok ingkar sunnah klasik yang menggunakan argumen baik dalil naqli maupun
aqli untuk menguatkan pendapat mmereka, begitu juga kelompok ingkar sunnah Indonesia. Diantara
ayat-ayat yang dijadikan sebagai rujukan adalah surat an-Nisa’ ayat 87

‫َﻮﻤﻦ ﺍﺼﺪﻖ ﻤﻦ ﺍﷲ ﺤﺪﻴﺜﺎ‬

C. Argumentasi Kelompok Ingkar As-Sunnah

Sebagai suatu paham atau aliran, ingkar as-sunnah klasik ataupun modern memiliki argument-
argumen yang dijadikan landasan mereka. Tanpa argument-argumen itu, pemikiran mereka tidak
berpengaruh apa-apa. Argument mereka antara lain :

1. Agama bersifat konkrit dan pasti Mereka berpendapat bahwa agama harus dilandaskan pada hal
yang pasti. Apabila kita mengambil dan memakai hadits, berarti landasan agama itu tidak pasti. Al-
quran yang kita jadikan landasan agama itu bersifat pasti. Sementara apabila agama islam itu
bersumber dari hadits , ia tidak akan memiliki kepastian karena hadits itu bersifat dhanni (dugaan),
dan tidak sampai pada peringkat pasti.

2. Al-Quran sudah lengkap Jika kita berpendapat bahwa al-quran masih memerlukan penjelasan,
berarti kita secara jelas mendustakan al-quran dan kedudukan al-quran yang membahas segala hal
dengan tuntas. Oleh karena itu, dalam syariat Allah tidak mungkin diambil pegangan lain, kecuali al-
quran.

3. Al-Quran tidak memerlukan penjelas Al-quran tidak memelukan penjelasan, justru sebaliknya al-
quran merupakan penjelasan terhadap segala hal. Mereka menganggap bahwa al-quran cukup
memberikan penjelasan terhadap segala masalah.

Anda mungkin juga menyukai