Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“Kaidah Ushuliyah(Mutlaq dan Muqayad Mujmal dan Mubayyan)”


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah ushul fiqih
Dosen pengampu:
Ustad Aa Sofyan MHI

Disusun oleh:
Sahrul Gunawan 211110032
Muhammad Rizki Al ayubi 211110016
Disti Tiara maharani 211110017
Musfira Aziz 211110018

AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH (A)


INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL QUR’AN JAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2022/2023 M
KATA PENGANTAR

Puji beserta syukur atas kehadirat allah swt atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul kaidah ushuliyah(mutlaq
muqayyad mujmal dan mubayyan).
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah ushul fiqih maka makalah
ini bertujuan untuk menambah wawasan tentang kaidah ushuliyyah(mutlaq dan muqayyad
mujmal dan mubayyan) bagi para pembaca dan juga bagi punulis khususnya.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada bapak Aa Sofyan MHI selaku dosen
mata kuliah ushul fiqih dan ucapan terimaksih juga kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Penulis telah membuat makalah ini dengan semaksimal mungkin,namun dengan
segala kerendahan hati diharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak .Atas ktirik dan saaranya,penulis ucapkan terimakasih.
Jakarta oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.....................................................................................................1
A. Latar Belakang............................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah........................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................... 2
A. Pengertian Kaidah Ushuliyyah (Mutlaq, Muqayyad, Mujmal, dan Mubayyan)......... 2
1. Mutlaq......................................................................................................................... 2
2. Muqayyad....................................................................................................................3
B. Kaidah-Kaidah Mutlaq Muqhayyad............................................................................ 4
C. Mujmal dan Mubayyan..............................................................................................10
D. Macam-Macam Bayyan ( Penjelasan )...................................................................... 11
BAB III PENUTUP............................................................................................................ 13
a. Kesimpulan................................................................................................................13
b. Saran.......................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 15

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ushul Fiqh sebagai cabang ilmu tersendiri seperti yang kita kenal sekarang
ini,tidak dikenal pada zaman Rasulullah saw.Maka dalam ilmu ushul fiqih kita akan
mendapatkan pembahasan tentang Mutlaq,Muqayyad,mujmal dan Mubayyan dalam
ayat dan lafadz Al qur’an.Dengan mengetahui ayat-ayat yang mutlaq dan muqayyad
lafadz-lafadz mujmal dan mubayyan maka akan sangat memudahkan bagi kita untuk
memahami dan mengetahui maksud dari suatu ayat dan lafadz tersebut.Dan dengan
mengetahui ayat dan lafadz tersebut.Maka akan mudah bagi seorang mujtahid
beristimbat untuk mendaptkan suatu hukum.Ketika hukum sudah di dapat maka akan
memudahkan untuk mengamalkannya.Untuk memudahkan pemahaman tentang mutlaq,
muqayyad, mujmal, dan mubayyanb. Maka penulis akan membahas tentang pengertian
dan penjelasan mutlaq, muqayyad, mujmal dan mubayyan, disertai contohnya dari
ayat- ayat al-qur’an.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dari mutlaq,muqayyad,mujmal dan mubayyan?
2. Apa saja kaedah-kaedahnya?
3. Apa saja macam2 mutlaq,muqayyad,mujmal,mubayyan?

C. Tujuan Masalah
Tujuan dari makalah ini adalah untuk memahami dan menjelaskan lebih dalam
lagi apa yang di maksud dengan kaidah
ushuliyyah(mutlaq,muqayyad,mujmal,mubayyan) dan apa saja kaidah-kaidahnya.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah Ushuliyyah (Mutlaq, Muqayyad, Mujmal, dan Mubayyan)


1. Mutlaq
Kata mutlaq secara sederhana berarti tiada terbatas. Dalam bahasa Arab,
kata‫ ﻣـطـﻠـــق‬berarti yang bebas, tidak terikat. Menurut al-Khudhori Biek,
ً‫اَﻟْﻣُطْﻠَقُ ﻣَﺎ دَلﱠ ﻋَﻠﻰَ ﻓَرْدٍ اَوْأَﻓْرَادٍﺷَﺎﺋِــــﻌَـﺔٍ ﺑِدُوْنِ ﻗَـﯾْــــدٍ ﻣُﺳْﺗَﻘِــلﱟ ﻟَﻔْــــــظﺎ‬
Artinya:
“Mutlaq adalah perkataan yang menunjukkan satu atau beberapa objek yang tersebar
tanpa ikatan bebas menurut lafal.”
Dalam rumusan yang berbeda namun saling berdekatan, Amir Syarifuddin, mengutip
beberapa definisi para ulama ushul fiqh, sebagaimana berikut:
Al-Amidi memberikan definisi:
.ِ‫ھُوَاﻟﱠﻠـﻔْـظُ اﻟدﱠالﱡ ﻋَﻠﻰَ ﻣَدْﻟُـوْلِ ﺷَﺎﺋِــﻊٍ ﻓِﻰ ﺟِـﻧْـﺳِـــﮫ‬
artinya:
“Mutlaq ialah lafal yang memberi petunjuk kepada madlul (yang diberi petunjuk) yang
mencakup dalam jenisnya.”
Abu Zuhrah mengajukan definisi:
َ‫اَﻟﱠﻠﻔْــظُ اْﻟﻣـُــطْﻠَـقُ ھُوَاﻟﱠذِى ﯾَـدُلﱡ ﻋَﻠﻰَ ﻣَوْﺿُوْﻋِﮫِ ﻣِنْ ﻏَﯾْرِ ﻧَظَـــرٍ اِﻟﻰَ اْﻟوَاﺣِـدَةِ اَوِ اْﻟﺟَﻣْــﻊِ اَوِ اْﻟوَﺻْفِ ﺑَلْ ﯾَدُلﱡ ﻋَﻠﻰ‬
.َ‫اْﻟﻣَـﺎھِــﯾَﺔِ ﻣِنْ ﺣَﯾْثُ ھِﻲ‬
artinya:
“Lafal mutlaq adalah lafal yang memberi petunjuk terhadap maudu’nya (sasaran
penggunaan lafal) tanpa memandang kepada satu, banyak atau sifatnya, tetapi memberi
petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya.”
Contoh dari lafal mutlaq adalah dalam firman Allah swt
(QS. Al-mujadilah [58]: 3) yang menjelaskan tentang kifarat bagi seseorang yang telah
melakukan perbuatan zihar terhadap istrinya:
...‫ﻓَﺗَﺣْرِﯾرُ رَﻗَﺑَﺔٍ ﻣِنْ ﻗَﺑْلِ أَنْ ﯾَﺗَﻣَﺎﺳﱠﺎ‬...
Terjemah:

2
“…maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu
bercampur...”
Kata roqobah (seorang budak) pada ayat tersebut tidak diikuti oleh kata yang
menerangkan jenis budak yang disyaratkan untuk dimerdekakan sebagai kifarat
2zihar, sehingga ayat ini berlaku mutlaq. Oleh karena itu, pengertian ayat ini adalah
kewajiban untuk memerdekakan seorang budak dengan jenis apapun juga, baik yang
mukmin ataupun yang kafir tanpa adanya ikatan.3
Jika kita pahami secara sekilas, mungkin memang sulit untuk membedakan
antara lafaz `amm dengan lafaz mutlaq ini. Dalam hal ini Abdul Wahab Khallaf
mengemukakan perbedaan yang mendasar dalam kedua lafaz ini yaitu; bahwa lafaz yang
umum menunjukkan atas peliputan tiap-tiap individu dari individu-individunya. Sedangkan
lafaz mutlaq menunjukkan atas individu yang menyebar, atau beberapa individu yang
menyebar, namun tidak meliputi seluruh individu-individunya.4
2. Muqayyad
Secara bahasa, muqoyyad berarti terikat, atau yang mengikat, yang membatasi.
Secara etimologi, muqoyyad adalah suatu lafal yang menunjukkan suatu hal, barang atau
orang yang tidak tertentu (syai’ah) tanpa ada ikatan (batasan) yang tersendiri berupa
perkataan. Definisi ini sejalan dengan uraian yang dikemukakan oleh Imam al-Syafi’i
seperti dikutip oleh Muhlish Usman5, muqoyyad adalah lafal yang menunjukkan satuan-
satuan tertentu yang dibatasi oleh batasan yang mengurangi keseluruhan jangkauannya.
Pembatasan tersebut dapat berupa sifat, syarat, dan ghayah. Sebagai contoh adalah firman
Allah swt dalam (QS. al-Nisa’ [4]: 92), tentangkifarat bagi seseorang yang membunuh
tanpa sengaja, yaitu:
…...ٍ‫ﻓَﺗَﺣْرِﯾرُ رَﻗَﺑَــﺔٍ ﻣُــؤْﻣِﻧـــَﺔ‬
artinya:
“…maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin…”
Dalam ayat tersebut, kata roqobah adalah kata yang berlakumuqoyyad karena ia dibatasi
dengan kata mu’minah. Hal ini berarti bahwa tidak sembarang budak yang dapat

2 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang; Lentera Hati, 2013, Cetakan I), hlm 188 3
4 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, (Al-Azhar : Maktabah Al-Dakwah), hal 182
5 Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, 57
3
dimerdekakan dalam permasalahan kifarat bagi orang yang membunuh tanpa sengaja ini,
tetapi budak itu haruslah budak yang mukmin.6

B. Kaidah-Kaidah Mutlaq Muqhayyad


a. Kaidah 1
Hukum asal adalah menetapkan muthlaq pada kemutlakannya, hingga ada
dalil yang mengikatnya (menjadikan muqayyad)."
Suatu lafaz yang terdapat dalam suatu nash bentuknya muthlaq, maka hukum
asalnya adalah mengamalkan sesuai dengan kemutlakanya, kecuali jika
ditemukan suatu dalil yang mengikatnya. Oleh sebab itu, seseorang tidak
berhak mengurangi cakupan lafaz mutlak itu, kecuali ada dalil yang
mengikatnya, yang menerangkan bahwa yang dimaksudkan dari lafaz muthlaq
yang mencakup dalam jenis-jenisnya yang banyak, adalah satu lafaz tertentu.
Misalnya QS. Al-Baqarah: 184
ُ‫اَﯾﱠﺎﻣًﺎ ﻣﱠﻌْدُوْدٰتٍۗ ﻓَﻣَنْ ﻛَﺎنَ ﻣِﻧْﻛُمْ ﻣﱠرِﯾْﺿًﺎ اَوْ ﻋَﻠٰﻰ ﺳَﻔَرٍ ﻓَﻌِدﱠةٌ ﻣﱢنْ اَﯾﱠﺎمٍ اُﺧَرَ ۗ وَﻋَﻠَﻰ اﻟﱠذِﯾْنَ ﯾُطِﯾْﻘُوْﻧَﮫٗ ﻓِدْﯾَﺔٌ طَﻌَﺎم‬
َ‫ﻣِﺳْﻛِﯾْنٍۗ ﻓَﻣَنْ ﺗَطَوﱠعَ ﺧَﯾْرًا ﻓَﮭُوَ ﺧَﯾْرٌ ﻟﱠﮫٗ ۗ وَاَنْ ﺗَﺻُوْﻣُوْا ﺧَﯾْرٌ ﻟﱠﻛُمْ اِنْ ﻛُﻧْﺗُمْ ﺗَﻌْﻠَﻣُوْن‬
“(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa diantara kamu ada
yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib
bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang
dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya.
Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Firmna Allah “ٍ‫ ” ﻣﱢنْ اَﯾﱠﺎم‬dalam ayat tersebut yang berarti “beberapa hari
tertentu” bersifat muthlaq tidak ada ikatan padanya. Oleh sebab itu, tidak ada
petunjuk yang mewajibkan beberapa hari berturut-turut, atau beberapa hari secara
terpisah dalam mengqada puasa yang ditinggalkan karena uzdur. Ayat Al-Qur‟an
hanya mewajibkan jumlah puasa yang diqada dan tidak ada nash lain yang
mengikatnya.
Oleh sebab itu wajib menetapkan maksud nash sesuai kemutlakannya. Maka
mengqada puasa boleh memilih antara berpisah, atau berturut-turut dari beberapa

6 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, (Al-Azhar : Maktabah Al-Dakwah), hal 182
4
hari puasa yang ditinggalkan karena uzdur itu. Orang yang mensyaratkan berturut-
turut, syarat yang ditetapkannya itu dipandang marjuh (tidak kuat).7
b. Kaidah 2
“Muthlaq itu dibawa kepada makna sempurnanya."

Makna kaidah: muthlaq yang berbentuk nama dibawa maknanya itu kepada cakupan
utuh namanya tersebut.
Al-Hafizh ketika menerangkan hadis, “siapa yang berdo’a ketika mendengar azan…,”
berkata, “Maka hadis itu secara harfiah adalah bahwa orang itu membaca do‟a
tersebut ketika azan itu masih terdengar, tidak menunggu selesainya azan tersebut.
Tetapi yang dimaksud dengan azan itu sebenarnya adalah selesainya azan tersebut,
karena „yang muthlaq itu dibawa kepada makna yang sempurna.‟” (Maksud “berdo‟a
ketika mendengar azan” adalah berdo‟a setelah azan selesai karena “azan” adalah
muthlaq yang maknanya mencakup semua yang dalam lingkupnya sampai selesai).

Namun, sebagian ulama menyatakan bahwa makna muthlaq seperti itu hanya berlaku
pada kalimat positif bukan negative. Hal itu oleh karena sebuah kata berbeda
maknanya berdasarkan bentuk kalimatnya apakah positif ataukah negative tersebut.
Misalnya firman Allah QS. Al-Naml: 91

ۙ َ‫اِﻧﱠﻣَﺂ اُﻣِرْتُ اَنْ اَﻋْﺑُدَ رَبﱠ ھٰذِهِ اﻟْﺑَﻠْدَةِ اﻟﱠذِيْ ﺣَرﱠﻣَﮭَﺎ وَﻟَﮫٗ ﻛُلﱡ ﺷَﻲْءٍ وﱠاُﻣِرْتُ اَنْ اَﻛُوْنَ ﻣِنَ اﻟْﻣُﺳْﻠِﻣِﯾْن‬

“Aku hanya diperintahkan untuk menyembah Tuhan negeri ini”

Al-Hafizh mengutip Al-Khathabi, “Al-Baldah adalah nama khusus untuk


Makkah, itulah yang dimaksud ayat itu.” Al-Thayyibi mengatakan, “yang muthlaq
dibawa kepada sesuatu yang sempurn. Nama itu (Al-Baldah) menghimpun segala
sifat yang baik sampai tingkatnya yang paling tinggi secara utuh. Begitu juga
Ka‟bah dinamakan Al-Bayt dengan seluruh sifat sempurna yang utuh dari nama
tersebut.

c. Kaidah 3

7 Salman Harun,Kaidah-Kaidah Tafsir, (Jakarta Selatan:Qaf media Kreative, Maret 2020), hlm. 676
5
“jika terdapat dua qayid yang berbeda atas muthlaq dan memungkinkan di- tarjih
pada salah satu dari keduanya atas yang lain, maka wajib mengikutkan
muthlaq pada yang terkuat dari keduanya.”

Dalam al-Qur‟an terdapat ayat-ayat yang muthlaq dan ayat-ayat yang


muqayyad. Ada ayat-ayat yang muthlaq yang memungkinkan untuk diqayid dan ada
pula yang tidak boleh diqayid. Jika terdapat lafazh ayat muthlaq berada diantara dua
qayid yang berbeda, maka hendaklah diperhatikan, jika salah satu dari dua qayid itu
lebih dekat kepada muthlaq, maka muthlaq diikutkan kepadanya (muqayyad). Tetapi
jika salah satu dari keduanya tidak lebih dekat kepada muthlaq dari yang lainnya,
maka telah ada kesepakatan dari para ulama, bahwa muthlaq tidak diikutkan kepada
salah satu dari qayid itu.8

1. Contoh muthlaq terdapat padanya salah satu qayid lebih dekat kepada muthlaq
dari qayid yang lain. Firman Allah dalam QS.al-Maidah: 89 berkenaan
dengan kafarat (denda) sumpah:
ٌ‫وَﻋَدَ ﷲُّٰ اﻟﱠذِﯾْنَ اٰﻣَﻧُوْا وَﻋَﻣِﻠُوا اﻟﺻّٰﻠِﺣٰتِۙ ﻟَﮭُمْ ﻣﱠﻐْﻔِرَةٌ وﱠاَﺟْرٌ ﻋَظِﯾْم‬
“...Maka (kafaratnya) berpuasalah selama tiga hari...)”
Dalam ayat ini kafarat sumpah berpuasa tiga hari, tidak disebutkan apakah berturut-
turut atau tidak. Adapun dalam ayat puasa kafarat zhihar disebutkan qayid- nya yaitu
puasa berturut-turut. Firman Allah dalam QS.al-Mujadilah ayat 4:
‫ﻓَﻣَنْ ﻟﱠمْ ﯾَﺟِدْ ﻓَﺻِﯾَﺎمُ ﺷَﮭْرَﯾْنِ ﻣُﺗَﺗَﺎﺑِﻌَﯾْنِ ﻣِنْ ﻗَﺑْلِ اَنْ ﯾﱠﺗَﻣَﺎۤﺳﱠﺎۗ ﻓَﻣَنْ ﻟﱠمْ ﯾَﺳْﺗَطِﻊْ ﻓَﺎِطْﻌَﺎمُ ﺳِﺗﱢﯾْنَ ﻣِﺳْﻛِﯾْﻧًﺎۗ ذٰﻟِكَ ﻟِﺗُؤْﻣِﻧُوْا‬
ٌ‫ِّٰ وَرَﺳُوْﻟِﮫٖۗ وَﺗِﻠْكَ ﺣُدُوْدُ ﷲِّٰ ۗوَﻟِﻠْﻛٰﻔِرِﯾْنَ ﻋَذَابٌ اَﻟِﯾْم‬a‫ﺑِﺎ‬
“...maka barang siapa tidak dapat (memerdeakan hamba sahaya), maka
(dia wajib) berpuasa dua bulan berturut-turut...”
Kafarat zhihar dalam ayat ini muqayyad dengan berturut-turut dalam berpuasa.
Selanjutnya berkenaan dengan dam (kafarat) haji tamattu‟ disebutkan dalam
QS.al-Baqarah ayat 196:
ْ‫ِّٰ ۗ ﻓَﺎِنْ اُﺣْﺻِرْﺗُمْ ﻓَﻣَﺎ اﺳْﺗَﯾْﺳَرَ ﻣِنَ اﻟْﮭَدْيِۚ وَﻻَ ﺗَﺣْﻠِﻘُوْا رُءُوْﺳَﻛُمْ ﺣَﺗّٰﻰ ﯾَﺑْﻠُﻎَ اﻟْﮭَدْيُ ﻣَﺣِﻠﱠﮫٗ ۗ ﻓَﻣَن‬a َ‫وَاَﺗِﻣﱡوا اﻟْﺣَﺞﱠ وَاﻟْﻌُﻣْرَة‬
‫ﻛَﺎنَ ﻣِﻧْﻛُمْ ﻣﱠرِﯾْﺿًﺎ اَوْ ﺑِﮫٖٓ اَذًى ﻣﱢنْ رﱠأْﺳِﮫٖ ﻓَﻔِدْﯾَﺔٌ ﻣﱢنْ ﺻِﯾَﺎمٍ اَوْ ﺻَدَﻗَﺔٍ اَوْ ﻧُﺳُكٍ ۚ ﻓَﺎِذَآ اَﻣِﻧْﺗُمْ ۗ ﻓَﻣَنْ ﺗَﻣَﺗﱠﻊَ ﺑِﺎﻟْﻌُﻣْرَةِ اِﻟَﻰ اﻟْﺣَﺞﱢ‬
ْ‫ﻓَﻣَﺎ اﺳْﺗَﯾْﺳَرَ ﻣِنَ اﻟْﮭَدْيِۚ ﻓَﻣَنْ ﻟﱠمْ ﯾَﺟِدْ ﻓَﺻِﯾَﺎمُ ﺛَﻠٰﺛَﺔِ اَﯾﱠﺎمٍ ﻓِﻰ اﻟْﺣَﺞﱢ وَﺳَﺑْﻌَﺔٍ اِذَا رَﺟَﻌْﺗُمْ ۗ ﺗِﻠْكَ ﻋَﺷَرَةٌ ﻛَﺎﻣِﻠَﺔٌ ۗذٰﻟِكَ ﻟِﻣَنْ ﻟﱠمْ ﯾَﻛُن‬
‫اَھْﻠُﮫٗ ﺣَﺎﺿِرِى اﻟْﻣَﺳْﺟِدِ اﻟْﺣَرَامِ ۗ وَاﺗﱠﻘُوا ﷲَّٰ وَاﻋْﻠَﻣُوْٓا اَنﱠ ﷲَّٰ ﺷَدِﯾْدُ اﻟْﻌِﻘَﺎبِڂ‬

8 Salman Harun, Kaidah-Kaidah Tafsir, (Jakarta Selatan, Qaf Media Kreativa, Maret 2020), hlm. 681

6
“...maka wajib berpuasa tiga hari dalam (musim) haji dan tujuh (hari) setelah kamu
kembali...”
Dari tiga ayat diatas ditetapkan sebagai berikut: 9
a) Puasa kaffarat sumpah lafazhnya muthlaq dan ke-muthlaqannya dapat ditaqyid
dengan berturut-turut dalam melaksanakan puasa kaffarat sumpah tersebut dengan
mengikutkan pada puasa kaffarat zhihar, yaitu berturut-turut dalam melaksanakan
puasa kaffaratnya. Dengan demikian, kaffarat sumpah diikutkan pada kaffarat
yang muqayyad pada kafarat zhihar, karena ke-muthlaqannya lebih dekat
kepada qayid pada kafarat zhihar yaitu berpuasa berturut-urut.
b) Puasa kaffarat sumpah yang lafazhnya muthlaq tidak dapat di-taqyid dengan
sanksi kaffarat haji tamattu‟ yang muqayyad dengan tafriq,
yaitudipisahkan/dibedakan antara puasa pada musim haji dengan puasa ketika
kembali dari haji, tiga hari pada musim haji dan tujuh hari setelah pulang dari haji.
Muthlaq dalam kaffarat sumpah tidak dapat di taqyid dengan kaffarat haji tamattu‟,
karena kaffarat haji tamattu‟ tidak lebih dekat kepada yang muthlaq.
2. Contoh muthlaq yang tidak ada baginya salah satu qayid yang lebih dekat
kepadanya dari qayid yang lain. Firman Allah dalam QS.al-Baqarah ayat 184
tentang qadha puasa:
ٍۗ‫اَﯾﱠﺎﻣًﺎ ﻣﱠﻌْدُوْدٰتٍۗ ﻓَﻣَنْ ﻛَﺎنَ ﻣِﻧْﻛُمْ ﻣﱠرِﯾْﺿًﺎ اَوْ ﻋَﻠٰﻰ ﺳَﻔَرٍ ﻓَﻌِدﱠةٌ ﻣﱢنْ اَﯾﱠﺎمٍ اُﺧَرَ ۗ وَﻋَﻠَﻰ اﻟﱠذِﯾْنَ ﯾُطِﯾْﻘُوْﻧَﮫٗ ﻓِدْﯾَﺔٌ طَﻌَﺎمُ ﻣِﺳْﻛِﯾْن‬
َ‫ﻓَﻣَنْ ﺗَطَوﱠعَ ﺧَﯾْرًا ﻓَﮭُوَ ﺧَﯾْرٌ ﻟﱠﮫٗ ۗ وَاَنْ ﺗَﺻُوْﻣُوْا ﺧَﯾْرٌ ﻟﱠﻛُمْ اِنْ ﻛُﻧْﺗُمْ ﺗَﻌْﻠَﻣُوْن‬
“...yaitu beberapa hari tertentu...”
Dalam ayat ini tidak disebutkan cara puasa qadha, karena lafazh ayat
tersebut muthlaq, tidak menyebutkan apakah qadha puasa itu berturut-turut atau
tidak. Dalam surah al-Mujadilah ayat 4 tentang kewajiban bayar kaffarat
zhihar berpuasa dengan berturut-turut.
ِّٰa‫ﻓَﻣَنْ ﻟﱠمْ ﯾَﺟِدْ ﻓَﺻِﯾَﺎمُ ﺷَﮭْرَﯾْنِ ﻣُﺗَﺗَﺎﺑِﻌَﯾْنِ ﻣِنْ ﻗَﺑْلِ اَنْ ﯾﱠﺗَﻣَﺎۤﺳﱠﺎۗ ﻓَﻣَنْ ﻟﱠمْ ﯾَﺳْﺗَطِﻊْ ﻓَﺎِطْﻌَﺎمُ ﺳِﺗﱢﯾْنَ ﻣِﺳْﻛِﯾْﻧًﺎۗ ذٰﻟِكَ ﻟِﺗُؤْﻣِﻧُوْا ﺑِﺎ‬
ٌ‫وَرَﺳُوْﻟِﮫٖۗ وَﺗِﻠْكَ ﺣُدُوْدُ ﷲِّٰ ۗوَﻟِﻠْﻛٰﻔِرِﯾْنَ ﻋَذَابٌ اَﻟِﯾْم‬
“...maka barang siapa tidak dapat (memerdeakan hamba sahaya), maka (dia wajib)
berpuasa dua bulan berturut-turut...”
Sedangkan pada ayat tentang kaffarat haji tamattu “disebutkan dalam surah al-
baqarah 196:

9 Salman Harun, Kaidah-Kaidah Tafsir, (Jakarta Selatan, Qaf Media Kreativa, Maret 2020), hlm. 682

7
ْ‫ِّٰ ۗ ﻓَﺎِنْ اُﺣْﺻِرْﺗُمْ ﻓَﻣَﺎ اﺳْﺗَﯾْﺳَرَ ﻣِنَ اﻟْﮭَدْيِۚ وَﻻَ ﺗَﺣْﻠِﻘُوْا رُءُوْﺳَﻛُمْ ﺣَﺗّٰﻰ ﯾَﺑْﻠُﻎَ اﻟْﮭَدْيُ ﻣَﺣِﻠﱠﮫٗ ۗ ﻓَﻣَن‬a َ‫وَاَﺗِﻣﱡوا اﻟْﺣَﺞﱠ وَاﻟْﻌُﻣْرَة‬
‫ﻛَﺎنَ ﻣِﻧْﻛُمْ ﻣﱠرِﯾْﺿًﺎ اَوْ ﺑِﮫٖٓ اَذًى ﻣﱢنْ رﱠأْﺳِﮫٖ ﻓَﻔِدْﯾَﺔٌ ﻣﱢنْ ﺻِﯾَﺎمٍ اَوْ ﺻَدَﻗَﺔٍ اَوْ ﻧُﺳُكٍ ۚ ﻓَﺎِذَآ اَﻣِﻧْﺗُمْ ۗ ﻓَﻣَنْ ﺗَﻣَﺗﱠﻊَ ﺑِﺎﻟْﻌُﻣْرَةِ اِﻟَﻰ اﻟْﺣَﺞﱢ‬
ْ‫ﻓَﻣَﺎ اﺳْﺗَﯾْﺳَرَ ﻣِنَ اﻟْﮭَدْيِۚ ﻓَﻣَنْ ﻟﱠمْ ﯾَﺟِدْ ﻓَﺻِﯾَﺎمُ ﺛَﻠٰﺛَﺔِ اَﯾﱠﺎمٍ ﻓِﻰ اﻟْﺣَﺞﱢ وَﺳَﺑْﻌَﺔٍ اِذَا رَﺟَﻌْﺗُمْ ۗ ﺗِﻠْكَ ﻋَﺷَرَةٌ ﻛَﺎﻣِﻠَﺔٌ ۗذٰﻟِكَ ﻟِﻣَنْ ﻟﱠمْ ﯾَﻛُن‬
‫اَھْﻠُﮫٗ ﺣَﺎﺿِرِى اﻟْﻣَﺳْﺟِدِ اﻟْﺣَرَامِ ۗ وَاﺗﱠﻘُوا ﷲَّٰ وَاﻋْﻠَﻣُوْٓا اَنﱠ ﷲَّٰ ﺷَدِﯾْدُ اﻟْﻌِﻘَﺎبِڂ‬
“...maka wajib berpuasa tiga hari dalam (musim) haji dan tujuh (hari) setelah kamu
kembali...”

Dalam ayat ini disebutkan, bahwa kaffarat puasa haji tamattu‟ muqayyad dengan
tafriq (pemisahan) yaitu membedakan puasa pada musim haji di tanah Haram tiga hari dan
tujuh hari setelah kembali.

Qadha puasa Ramadhan yang lafazhnya muthlaq tidak dapat di-taqyid dengan kaffarat
zhihar dan kaffarat haji tamattu‟, karena tidak ada yang lebih dekat kepada muthlaq salah
satu dari keduanya.

Oleh sebab itu seyogyanya puasa qadha Ramadhan tetap dalam kemuthlaqannya,
karena tidak ada salah satu dari dua qayid yang lebih dekat kepada muthlaq yang dapat
menjadikannya muqayyad. Dengan demikian, puasa qadha tetap muthlaq. Ia boleh
dilaksanakan dengan berturut-turut, dan boleh tidak berturut-turut.

d. Kaidah 4
“Muthlaq itu menghendaki kesetaraan”
Hal itu merupakan hukum dasar muthlaq. Namun muthlaq bila mengandung
tingkatan, maka tingkatan itu perlu dipedulikan.
Al-Hafizh, ketika menerangkan sabda Rasulullah saw. “Puasalah tiga hari setiap
bulan...” yang merupakan bagian dari hadis yang termasyhur yang dilaporkan Abdullah
bin Umar menyatakan bahwa sabdanya, “Puasalah kalian tiga hari setiap bulan” setelah
sabdanya “Maka puasalah dan berbukalah!” itu, merupakan penjelasan
sesuatu yang mujmal (“puasalah dan berbukalah” tiap bulan tanpa diketahui kapan
waktunya), sekaligus menegaskan hukumnya (yaitu bhawa puasa sunnah itu tiga hari
setiap bulan. Dan bahwa hukumnya sunnah) hal itu karena “yang muthlaq itu
menghendaki kesetaraan”.10

10 Salman Harun, Kaidah-Kaidah Tafsir, (Jakarta Selatan, Qaf Media Kreativa, Maret 2020), hlm.
686
8
Maksud hadis itu secara berdiri sendiri adalah menyatakan kesamaan kedudukan
tiga hari yang disebutkan tersebut untuk dipuasakan (hari apa saja tiga hari
diperbolehkan). Namun, terdapat dalil-dalil tentang keutamaan puasa hari Senin dan
Kamis dan “hari-hari putih” jga ada larangan puasa hari Jumat dan Sabu secar
tersendiri. (jadi puasa sunnah tiga hari tiap bulan hari apa saja diluar hari-hari lain
yang ada dalilnya itu).
Contohnya Q.S An-Nisa ayat 92:
ۗ ٍ‫ﺗَﺣْرِﯾْرُ رَﻗَﺑَﺔٍ ﻣﱡؤْﻣِﻧَﺔ‬
“Hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.”
Ayat itu secara berdiri sendiri dipahami sesuai kaidah di atas (bahwa budak mukminah
manapun- anak, dewasa, merdeka, budak,dsb- sama kedudukan merek untuk
dimerdekakan). Tetapi bila dilihat dalil-dalil maka budak terbaik untukdimerdekakan
adalah yang lebih beriman dan lebih berharga bagi tuannya, sebagaimana
diinformasikan dari Rasulullah saw.

C. Mujmal dan Mubayyan


a. Mujmal

Secara bahasa berarti samar-samar dan beragam/majemuk. Secara istilah


berarti: lafadz yang maknanya tergantung pada lainnya, baik dalam menentukan
salah satu maknanya atau menjelaskan tatacaranya, atau menjelaskan ukurannya.
a) Contoh: lafadz yang masih memerlukan lainnya untuk menentukan maknanya:
kata ” rapat ” dalam bahasa Indonesia misalnya memiliki dua makna:
perkumpulan dan tidak ada celah. Sedangkan dalam al Qur’an misalnya surat al
Baqarah: 228
﴾٢٢٨ :‫……﴿اﻟﺑﻘرة‬. ٍ‫وَاﻟْﻣُطَﻠﱠﻘَﺎتُ ﯾَﺗَرَﺑﱠﺻْنَ ﺑِﺄَﻧْﻔُﺳِﮭِنﱠ ﺛَﻼَﺛَﺔَ ﻗُرُوء‬
kata ” ‫ ” ﻗﺮوء‬dalam ayat ini bisa berarti : suci atau haidh. Sehingga untuk
menentukan maknanya membutuhkan dalil lain.
b) Contoh: lafadz yang membutuhkan lainnya dalam menjelaskan tatacaranya.
Surat An Nur: 56
﴾٥٦ :‫وَأَﻗِﯾﻣُوا اﻟﺻﱠﻼَةَ وَآﺗُوا اﻟزﱠﻛَﺎةَ وَأَطِﯾﻌُوا اﻟرﱠﺳُولَ ﻟَﻌَﻠﱠﻛُمْ ﺗُرْﺣَﻣُونَ ﴿اﻟﻧور‬

9
Kata “ mendirikan shalat” dalam ayat di atas masih mujmal/belum jelas karena
tidak diketahui tatacaranya, maka butuh dalil lainnya untuk memahami
tatacaranya. Begitu pula ayat- ayat haji dan puasa
c) Contoh lafadz yang membutuhkan lainnya dalam menjelaskan ukurannya.
Surat an nur : 56 di atas. Kata ” menunaikan zakat ” dalam ayat di atas masih
mujmal karena belum diketahui ukurannya sehingga untuk memahaminya masih
diperlukan dalil lainnya.
b. Mubayyan
Mubayyan secara bahasa (etimologi) : ‫ ))اﻟﻣظﮭر واﻟﻣوﺿﺢ‬yang ditampakkan dan
yang dijelaskan. Sedangkan secara terminologi Mubayyan adalah seperti yang
didefinisikan oleh al-Asnawi sebagai berikut :
“Mubayyan adalah lafaz yang jelas (maknanya) dengan sendirinya atau
dengan lafaz lainya”.

Ada yang mendifinisikan Mubayyan sebagai berikut:


‫ إﻣﺎ ﺑﺄﺻل اﻟوﺿﻊ أو ﺑﻌد اﻟﺗﺑﯾﯾن‬،‫ﻣﺎ ﯾﻔﮭم اﻟﻣراد ﻣﻧﮫ‬
“Apa yang dapat difahami maksudnya, baik dengan asal peletakannya atau
setelah adanya penjelasan.”
Contoh yang dapat difahami maksudnya dengan asal peletakannya : lafadz langit
(‫)ﺳﻤﺎء‬, bumi (‫)أرض‬, gunung (‫)ﺟﺒﻞ‬, adil (‫)ﻋﺪل‬, dholim (‫)ظﻠﻢ‬, jujur (‫)ﺻﺪق‬. Maka kata-
kata ini dan yang semisalnya dapat difahami dengan asal peletakannya, dan tidak
membutuhkan dalil yang lain dalam menjelaskan maknanya.
Contoh yang dapat difahami maksudnya setelah adanya penjelasan Firman Allah
ta’ala :
َ‫اﻗﯾﻣو اﻟﺻﻼة وَآﺗُوا اﻟزﱠﻛَﺎة‬
“Dan dirikanlah sholat dan tunaikan zakat” (Al-Baqoroh : 43)
Maka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, keduanya adalah mujmal,
tetapi pembuat syari’at (Allah
ta’ala) telah menjelaskannya, maka lafadz keduanya menjadi jelas setelah
adanya penjelasan.
Dalam hubungannya dengan Mubayyan , maka dapat kita pahami ada tiga
hal disini. Pertama adanya lafaz yang mujmal yang memerlukan penjelasan atau

10
disebut Mubayan (yang dijelaskan). Kedua ada lafaz lain yang menjelaskan lafaz
yang Mujmal tadi atau disebut Mubayyan (yang menjelaskan. Dan yang ketiga
adanya penjelasana atau disebut Bayan.

D. Macam-Macam Bayyan ( Penjelasan )


Dalam pembahasan selanjutnya, para Ulama Ushul membuat kategori
daripada penjelasan atau Bayan tersebut. Ulama Syafiiyah membagi bayan kepada
7 macam sebagai berikut :
1. Penjelasan dengan perkataan ,
contohnya, Allah SWT menjelaskan lafaz ‫ ( ﺳﺑﻌﺔ‬tujuh ) pada surat al-Baqarah ayat
196, tentang jumlah hari puasa bagi yang tidak mampu membayar dam (hadyu)
pada haji Tamattu’. Dalam bahasa Arab lafaz tujuh sering ditujukan kepada arti
‘banyak’ yang bisa lebih dari tujuh. Untuk menjelaskan ‘tujuh’ itu betul-betul
tujuh maka Allah SWT mengiringi dengan firman-Nya “itu sepuluh hari yang
sempurna”.
2. Penjelasan dengan mafhum perkataan,
contohnya, firman Allah SWT dalam surat al-Isra’ ayat 23, tentang larangan
mengatakan ‫”اف‬ah” kepada kedua orang tua. Mafhum dari ayat tersebut adalah
melarang seseorang anak menyakiti orang tuanya, seperti memukul dan lain-lain,
karena mengucapkan “ah” saja tidak boleh, apalagi memukul.
3. Penjelasan dengan perbuatan,
contoh. Rasulullah SAW menjelaskan perintah mendirikan shalat, dalam ayat al-
Quran, lalu Rasulullah SAW mencontohkan cara melakukan shalat tersebut.
4. Penjelasan dengan Iqrar “pengakuan”
contohnya, Rasulullah melihat Qayis shalat dua raka’at sesudah shalat Subuh,
maka Rasulullah bertanya kepada Qayis, lalu Qayis menjawab dua raka’at itu
adalah shalat sunat fajar. Rasulullah tidak melarang. Ini menunjukkan dibolehkan
shalat sunat sesudah shalat Subuh.
5. Penjelasan dengan Isyarat,
contohnya penjelasan Rasulullah SAW tentang jumlah hari dalam satu bulan.
Beliau mengangkat kesepuluh jarinya tiga kali, yakni 30 hari. Kemudian
mengulanginya sambil membenamkan ibu jarinya pada kali yang terakhir.
Maksdunya bahwa bulan itu kadang-kadang 30 hari atau kadang-kadang 29 hari.

11
6. Penjelasan dengan tulisan,
contohnya Rasulullah SAW menyuruh juru tulis beliau menuliskan hukum-hukum
mengenai pembagian harta warisan dan lain-lain.
7. Penjelasan dengan qiyas,
contohnya Rasulullah SAW menjawab seorang penanya melakukan haji untuk
ibunya yang sudah meninggal. Rasullullah bertanya, ‘bagaimana kalau ibumu
punya hutang, apa kamu bisa membayarnya?. Hadits tersebut menqiyaskan
mengganti haji orang tua dengan membayar hutangnya.

12
BAB III
PENUTUP

a. Kesimpulan
Mutlaq adalah suatu lafaz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa
dibatasi oleh lafaz lainnya. Muqayyad adalah lafaz yang menunjukan pada makna
tertentu dengan batasan kata tertentu. Kaidah mutlaq adalah lafaz mutlaq tetap
dalam kemutlaqannya hingga ada dalil yang membatasinya dari kemutlaqan itu,
sedangkan
kaidah muqayyad adalah wajib mengerjakan yang muqayyad kecuali jika ada dalil
yang membatalkannya. Kaidah terkait mutlaq muqayyad ada empat, yaitu:
1) Hukum asal adalah menetapkan muthlaq pada kemutlakannya, hingga ada dalil
yang mengikatnya (menjadikan muqayyad).
2) Muthlaq itu dibawa kepada makna sempurnanya.
3) Jika terdapat dua qayid yang berbeda atas muthlaq dan memungkinkan di-tarjih
pada Salah satu dari keduanya atas yang lain, maka wajib mengikutkan muthlaq
pada yangTerkuat dari keduanya
4) Muthlaq itu menghendaki kesetaraan
1. Mujmal
Secara bahasa mujmal berarti samar-samar dan beragam atau majemuk. Mujmal
ialah suatu lafal yang belum jelas, yang tidak dapat menunjukkan arti sebenarnya
apabila tidak ada keterangan lain yang menjelaskan. Dapat juga dimengerti
sebagai lafaz yang global, masih membutuhkan penjelasan (bayan) atau
penafsiran (tafsir).
2. Mubayyan
Mubayyan artinya yang ditampakkan dan yang dijelaskan, secara istilah berarti
lafaz yang dapat dipahami maknanya berdasar asal awalnya atau setelah
dijelaskan oleh lainnya. AI Bayyan artinya ialah penjelasan, di sini maksudnya
ialah menjelaskan lafal atau susunan yang mujmal.

b. Saran
Adapun saran penulis kepada pembaca agar pembaca dapat mengetahui materi
yang telah tertulis diatas tersebut yaitu mengenai tentang mujmal dan mubayyan

13
Selain dari pada itu, penulis memohoh maaf apabila terdapat kesalahan karena
kami masih dalam proses pembelajaran. Dan yang kami harapkan dengan adanya
makalah ini, dapat menjadi wacana yang membuka pola pikir pembaca dan
memberi saran yang sifatnya tersirat maupun tersurat.

14
DAFTAR PUSTAKA

Harun, Salman, Kaidah-Kaidah Tafsir, (Jakarta Selatan, Qaf Media Kreativa,

Maret 2020)

Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Al-Fiqh, (Al-Azhar : Maktabah Al-Dakwah)

Murni, Dewi, Mutlaq Dan Muqayyad, Jurnal Syahadah Vol. VII, No. 1, April 2019.

Quraish, M. Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang; Lentera Hati, 2013, Cetakan I)

Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, (Rajawali Press:1997)

15

Anda mungkin juga menyukai